Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Lagi.. Lagi... Lagi donk updatenya master RB

Meski ga seliar petualangan TLB, MDT tetep jd favorit di jamannya pertama posting, prinsip persahabatan & kekeluargaannya bener2 refleksi budaya anak nongkrong jaman mtv, hehehe
 
Makasih updatenya om racebannon:beer:

Sampe MDT2 tapi masnya Dian kagak ketahuan namanya ya:(
 
“Hahahaha... Pokoknya, next time Ai kesini lagi, udah pasti gue kasih apapun yang gratis-gratis lah” puji Zul kepada keberanian Ai menonjok si Bram.
..
Apa ini awal ceritanya.... Di ujung jalan mereka nikah ..?
 
MDT SEASON 2 – PART 22

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

Aku menatap layar komputerku di studio dengan perasaan sedikit lega. Tepat siang ini, aku baru saja menyelesaikan proses mastering dua buah lagu Speed Demon. Tidak dosa merasa sedikit lega, walaupun masih ada delapan lagu lainnya yang harus kukerjakan. Aku lantas bangkit dari dudukku dan beranjak ke dapur untuk makan siang, dan hari ini aku sendirian di rumah.

Setelah lebaran, Kyoko memang tidak akan ada di rumah hampir setiap hari. Dia akan sering ada di Mitaka, tempat yang kini ia kelola bersama Zul, teman kuliahku.

Sejak bergabungnya Kyoko, tempat itu kini punya jadwal jam buka yang berbeda. Kalau dulu buka jam 10 pagi sampai hampir tengah malam, sekarang dia hanya buka dari jam 11 – 2 siang dan jam 5 sore – 9 malam. Efektivitas jam buka cafe dan restoran ala Jepang. Hal yang diklaim Kyoko akan menurunkan biaya produksi cafe. Kyoko biasanya ada di sana dari jam 10 pagi sampai jam 10 malam. Menurut Kyoko, hanya butuh sejam sebelum dan sesudah untuk mempersiapkan cafe, beres-beres lainnya dapat dikerjakan di jam istirahat buka. Kadang juga di jam istirahat tersebut, kalau sedang lowong, Kyoko akan pulang sebentar, atau aku yang berkunjung kesana, menghabiskan waktu siang menuju sore bersama istri tercinta di Kemang.

Lucu rasanya makan siang sendiri lagi, dan rasanya memang lega, karena Kyoko terlihat sangat nyaman menjalani rutinitas barunya ini. Dia terlihat makin luwes dan bahagia. Jujur, aku harus berterimakasih sangat banyak ke Stefan, karena berkat idenya ini, proses adaptasi Kyoko di Indonesia semakin lancar.

Sambil makan, aku mengingat bagaimana lucunya pengalaman pertama Kyoko di suasana lebaran yang ramai kemarin. Berkumpul dengan saudara-saudara di rumah kakekku dan bertemu dengan banyak orang baru? Itu hal baru buat Kyoko. Dia tampak menikmatinya, terlebih karena mungkin banyak anak-anak disana. Bisa dibayangkan, dia pasti sibuk meladeni semua kepolosan dan kejahilan anak-anak ketika lebaran.

Apakah ada pertanyaan klasik ketika lebaran?

Ada.

Dulu, ketika aku masih bersama dengan Karina, pertanyaan yang klasik adalah, kapan nikah? Dulu aku cuma bisa jawab, mohon doanya saja.

Sekarang, setelah menikah dengan Kyoko, pertanyaannya berubah. Yakni pertanyaan-pertanyaan semacam “Kapan isi?” atau “Babynya mana?”. Terus terang pertanyaan seperti ini biasanya mengganggu. Tapi buatku dan Kyoko tidak. Karena memang kami berdua tidak ingin menunda-nunda untuk mempunyai anak dan kami sangat mengharapkan kedatangan keturunan. Tapi sampai detik ini, belum ada tanda-tanda kehamilan. Entah kenapa.

Mungkin karena dia tidak rileks, dan dalam kondisi stress, kualitas hubungan suami istri kami jadi menurun. Mungkin karena itu juga, buah hati yang kami tunggu belum hadir ke dunia. Tapi apapun itu, kami tidak pernah berhenti berusaha untuk menghadirkan Arya Junior atau Kyoko Junior di rumah ini sebagai pelengkap keluarga kecil kami.

--

Kyoko sedang asyik menggendong Alika, anak Dian, sepupuku. Balita yang menggemaskan itu tampak pasrah menjadi “mainan” Kyoko di tengah suasana lebaran ini. Aku sedang duduk manis di sebuah sofa sambil makan. Makan apa? Tentunya makanan khas lebaran. Opor plus ketupat plus sambel goreng kentang, you name it.

Kyoko tampak nyaman dikelilingi anak-anak di sekitarnya.

Dian ada di sebelahku, sambil sibuk memainkan handphonenya.

“Lebaran gitu amat, liat hape mulu” candaku setengah meledek.
“Maklum lah, kudu balesin satu-satu nih ucapan lebaran…. Capek, pegel, akhirnya gue kopas aja..”
“Ntar aja kali maleman di rumah kalo lo udah nyantai..”

“Mana ada nyantai, itu si bocah pasti kalo udah di rumah manjanya gak ketulungan…..” tawanya.

Aku tertawa tanpa suara, sambil membayangkan repot-repotnya memiliki anak. Pasti repot, tidak mungkin tidak repot. Tapi direpotkan oleh sesuatu yang kita cintai justru adalah makanan jiwa yang paling luar biasa. Untuk anak, istri, dan orang tua, kita pasti senang kalau kita direpotkan oleh mereka. Itu adalah salah satu cara menunjukkan cinta yang paling sederhana menurutku.

“Kyoko gimana nih lebaran pertama?”
“Bingung”
“Bingung gimananya? Lucu deh pasti tu anak ngadepin lebaran pertama…” sambung Dian.
“Dia bingung, ketemu orang banyak plak plek gini semua sodara, mana dia tadi nanya, kok kita mesti maaf-maafan sama orang yang ga pernah ketemu? Dia bilang kalo maaf-maafannya sama yang udah pernah ketemu wajar, kalo ini kan ketemu aja ga pernah, kok maaf-maafan…” jawabku geli.

“Sejujurnya itu juga jadi pertanyaan di kepala gue sih, tapi karena udah biasa, lama-lama jadi biasa” senyum Dian.
“Sama hahaha….. Tapi kan ini tradisi ya, gue kasih tau aja kalo ini kebiasaan, anggep aja ngedoain orang itu atau minta maaf sama sesuatu yang mungkin bakal kejadian, dianya sih manggut-manggut aja” lanjutku sambil menatap ke arah Kyoko yang tampaknya nyaman sekali menggendong balita mungil super imut itu. Ah, entah nanti akan seperti apa tampang anakku dan Kyoko. Pasti lucu dan menggemaskan, kalau melihat tampang ibunya.

“Eh gimana tuh, yang kerjaan elo… Yang anak jogja itu, yang pas di tempatnya Zul plonga-plongo doang itu?” tanya Dian.
“Ah, iya, lagi gue beresin…. Mayan ribet sih, untung dikerjain bareng-bareng..” jawabku.

--

Dan sekarang pikiran di kepalaku lari lagi ke kesibukanku sehari-hari. Selain mengurusi produksi album Speed Demon yang sudah masuk ke tahap mixing dan mastering, aku juga akan segera mengurusi ide dari Arwen yang ternyata disetujui teman-temanku. Yakni konser akustik + string orchestra plus pembuatan albumnya. Baru besok aku akan bertemu dengan music directornya.

Untuk masalah acara launching album Speed Demon sendiri, aku tidak begitu khawatir karena itu menjadi ranah pekerjaan Anin dan Stefan. Biar merekalah yang mengatur acara, mulai dari rundown dan hal-hal lainnya yang aku tidak begitu ingin turut campur. Karena aku sudah mempunyai job desc ku sendiri, yaitu mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan produksi.

Ah, aku tidak sabar tapi untuk besok. Walaupun pada awalnya aku agak malas mengurusi masalah konser ini, tapi melihat antusiasme Stefan dan Anin, aku jadi ikut semangat juga. Ya, memang kalau untuk masalah komposisi dan pra produksinya aku pasti yang bakal banyak repot, tapi toh ini pekerjaan bersama lagi buat satu unit Hantaman, dan keuntungan secara finansial pasti akan masuk ke kantong kami juga. Jadi tidak ada salahnya untuk excited.

Sambil menarik nafas panjang setelah banyak berpikir, aku lantas mengalihkan perhatianku ke handphone. Ada pesan singkat dari Kyoko.

“Aya sudah makan?” tanyanya dengan emoticon-emoticon lucu khas dirinya.
“Sudah”
“Baguslah, disini Kyoko sedang istirahat, sempat tidak kalau Kyoko pulang sebentar ke rumah?” tanyanya, membalas jawabanku.
“Gak usah pulang, kasian capek, ntar malem aja... Cucian piring dan lain2 aku yang beresin” balasku.
“Eh tidak Aya, tinggalkan saja nanti pulang akan Kyoko bereskan”
“Haha, kamu pulang udah bersih semua”
“Ah baiklah, tapi yang bersih ya Aya”

Senang membacanya. Dulu dia terlalu khawatir soal tugas-tugas rumah. Sepertinya hanya dia saja yang harus mengerjakannya. Tapi semenjak dia memiliki kegiatan di luar rumah, dia jadi lebih ikhlas soal mengurus rumah. Toh kami bertiga dari dulu sudah terbiasa mengurus rumah ramai-ramai, ada atau tidak ada Kyoko sekalipun.

Dan aku pun bangkit menuju bak cuci piring, menyelesaikan tugasku setelah makan, sambil berharap yang baik-baik untuk besok.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

eco-dr10.jpg

“Kamu dimananya?” tanyaku ke Arwen lewat sambungan telpon sambil menyetir lewat handphone.
“Depan bekas minimarket Mas, atau mau saya nyebrang aja, biar Mas gak usah muter?” balasnya.
“Lah udah muter ini, udah tunggu aja”
“Oke”

Aku pun lantas menutup handphoneku dan fokus melihat ke kiri jalan, sambil merapatkan mobilku ke kiri. Tak berapa lama, aku melihat dia berdiri di pinggir jalan. Dengan skinny jeans, print t-shirt, backpack dan kacamata hitam. Aku lantas merapat dan membuka jendela.

“Eh... Hai Mas Arya!” dia tampak kaget melihatku di dalam mobil.
“Hai juga.. masuk cepetan, kasian mobil di belakang” sapaku.

Tanpa suara dia lantas membuka pintu mobilku dan duduk di kursi penumpang. Oke beres. Kami sekarang jalan ke kantor produksinya yang tak jauh dari tempat ini.

“Sori kalo lama, tadi rada telat berangkatnya” aku membuka percakapan.
“Gapapa kok, saya juga baru banget tadi di pinggir jalannya.... Tadi dari rumah?” tanyanya.
“Engga, dari Kemang, abis nyamperin bini bentar buat makan siang. Soalnya dia tadi pagi gak masak dan nyokap juga gak masak, jadi sekalian deh makan di luar bareng”

“Gimana Mbak Kyoko di Mitaka?” senyumnya terkembang lebar saat dia menanyakan kabar Kyoko.
“Lucu dengernya, kan Kyoko emang beneran dari Mitaka... Hahahaha”
“Jangan-jangan Mbak-nya ya yang ngasih nama?” tanya Arwen.
“Bukan, Zul yang ngasih nama.... Gara-gara Kyoko gabung sih kayaknya...” jawabku sambil fokus menyetir di jalanan Jakarta yang kadang macet dan kadang macet banget itu.

“Ooo.... Belum main kesana lagi sih, jadi penasaran kabarnya”
“Kabarnya baik, dia sih seneng banget ngurusin tempat itu” balasku.

“BTW, Mas Stefan sama Mas Anin gak ikut?” dia memeluk backpacknya di sebelahku.
“Enggak, mereka bilang, kalo urusan ini mah saya dulu aja, soalnya diantara mereka semua, yang banyak bikin komposisi dan aransemen ya orang ini” aku menunjuk ke diriku sendiri.

“Oh ya? Tapi di CD, kebanyakan ditulis writer lagunya Mas Anin...”
“Soalnya emang dia yang bikin, tapi yang bikin komposisi, part-part nya ya banyakan saya, maklum lah... Mereka kan bukan musisi fulltime... Dan yang banyak pengalaman bikin komposisi ya orang ini lagi...” aku menunjuk diriku lagi. Bukan, bukan membanggakan diri ini, tapi curhat terselubung, karena membuat komposisi dan aransemen lagu itu repotnya bukan main. Serepot mixing dan mastering di sebuah proses rekaman.

“Berarti yang nulis partitur segala macem dan ngatur sequence musiknya Mas Arya?”
“Seratus buat kamu”

“Capek pasti” tawanya.
“Worth it lah, soalnya selain emang suka, toh mereka selalu nyambung sama komposisinya, nah biasanya Stefan sama Anin baru komentar-komentar dan ngasih ide kalo aransemen udah mau beres. Untung gak suka ngerepotin” jelasku.
“Kalo Mas Bagas gimana? Kok kayak gak disebut tadi?” bingung Arwen.
“Ah dia mah....”

Aku jadi bingung sendiri setiap harus menjelaskan ke orang lain soal Bagas. Pria satu itu. Entah kalimat apa yang cocok untuk mendeskripsikan dirinya. Dia mahluk yang cukup unik. Orang yang tanpa ekspresi, malas bersosialisasi, tapi tak jarang dia menghadirkan solusi bagi masalah-masalah yang sedang kami hadapi, walaupun caranya jauh dari normal. Dan apa pula yang dia pikirkan soal Toni. Memang sih, Toni terlihat tidak wajar. Dia memang sangat sering telat tapi lucunya tidak satupun diantara kami semua yang marah akan kebiasaannya itu. Kami seperti mewajarkan, walau kami mungkin bersungut-sungut sebelum dia datang.

Eh tapi...

Bagas kan tidak pernah mengalami ada di posisi seperti itu. Bagas tidak pernah merasakan telatnya Toni yang luar biasa parah itu. Dia hanya bertemu dua kali. Sekali ketika Toni mengambil stik drum nya yang tertinggal di studioku, dan kedua, sewaktu rebranding cafenya Zul menjadi Mitaka.

Entahlah.

“Mas...” tegur Arwen.
“Ya?” aku agak sedikit kaget, terbangun dari lamunanku.
“Entar kita ketemu sama dua orang ya... Gak cuma music directornya doang, tapi si producernya juga katanya mau ketemu... Nah si producernya ini yang lebih banyak ngomongin dari sisi bisnisnya katanya...”

“Oke... Tapi kamu gak papa kan, dengerin kita semua ngobrol soal ini?” tanyaku ke Arwen.
“Gapapa, saya kan harus tanggung jawab ngenalin, paling sekarang doang kan, sisanya sih saya gak mau ikut haha... Takut ganggu, lagian saya juga ga ngerti ngurusinnya” senyumnya kepadaku.

Aku membalas senyumnya. Lagipula, tidak baik melibatkannya terlalu dalam di urusan ini. Dia pun paham, dan membatasi kontribusinya hanya sebatas mengenalkan aku ke dua orang yang nanti akan jadi bagian penting dalam project ini. Music Director dan Producer. Senang rasanya bakal bertemu dengan orang-orang seperti itu. Pasti dalam proses pengerjaannya akan menarik.

Mobil yang kusetir ini sedang menuju ke sebuah music hall di Jakarta Selatan. Disanalah mungkin konsernya akan berada, dan disanalah juga pasti terletak kantor produksinya.

“Mbak Kyoko sama Mas ga kangen Jepang?" tanyanya mendadak.
“Lumayan kangen sih... Sayang saya belom pernah ke Eropa, pengen juga kapan-kapan” balasku.
“Hantaman udah dua kali manggung di Jepang ya? Enak banget”
“Iya, pertama waktu Fuji Rock, kedua waktu promo album yang kedua” jawabku.
“Pengen dong kapan-kapan kalo ke Jepang lagi ikut” lanjutnya berbasa-basi.

“Masukin bagasi apa kabin ikutnya?” candaku.
“Masukin bagasi juga boleh, lumayan ga usah pake bayar tiket...” Dia menatapku dengan senyumnya yang lebar. Aku memperhatikan jalan sambil mengingat-ngingat Kyoko. Mengingat kejadian di Jepang waktu itu, ketika insiden terakhir dengan Zee.

Jaga jarak. Itu yang penting.

Untungnya hanya sekali ini saja dia ikut. Toh memang dia berjanji untuk mengantar dan mengenalkan. Sisanya dia tidak akan ikut nimbrung lagi. Paling nanti di acara konser akustiknya dia nonton. No big deal.

“Saya sempet ngobrol ama Mas Zul, katanya Mas Arya koleksi piringan hitamnya banyak ya?” tanyanya dengan mata berbinar. Tidak. Matanya memang selalu berbinar, dengan kepolosan ala anak-anak atau remaja.

“Iya banyak... Kamu koleksi juga?” tanyaku balik.
“Pengen sih, tapi baru punya dikit.... Banyakan Mas beli dimana sih? Saya kalo nyari di toko-toko di Jakarta jarang nemu yang saya pengen”
“Lewat Kang Bimo tuh”

“Frank’s Chamber?”
“Iyak... Dia kan punya toko di Bandung. Dan dia suka nemu aja yang bagus dan langka, entah dari mana. Katanya sih dia kadang suka cari-cari ke kota-kota kecil gitu, siapa tau ada yang punya dia beliin, entah buat dijual lagi atau koleksi pribadinya... Ntar saya kasih kontaknya deh, biar bisa langsung nanya-nanya ke dia” jawabku.

“Asiiikkk” senyumnya terkembang lebar.
“Hati-hati kalap belanjanya”
“Hahaha... kayaknya bakal gitu deh...”

“Eh itu kan masuknya disana?” tanyaku sambil menunjuk jalan masuk yang terlihat.
“Yup”

Aku pun lantas berbelok, dan mencari parkir yang nyaman. Tak berapa lama kemudian kami bedua turun dari mobil dan berjalan memasuki gedung.

“Tunggu disini aja Mas, biar saya yang ke resepsionis ya” senyum Arwen, menyuruhku menunggu di sofa. Aku menurut, aku lantas duduk dan memperhatikan ke sekeliling. Aku memperhatikan dekorasi ruangan dan segala macam hal-hal berbau musik yang ada disana.

5a8e7910.png

Arwen lalu mendekatiku dan ikut duduk di sebelahku.

“Bentar ya, lagi dipanggilin”
“Iya...” aku lantas mempermainkan handphoneku dan melihat ke media sosial. Sepi. Kyoko pasti sibuk mengurus Mitaka.

Sang resepsionis terlihat berjalan mendekati kami berdua. “Mas, Mbak, ikut saya ya…..” senyumnya. Kami berdua lantas berdiri dan mengikuti sang resepsionis ke sebuah ruangan rapat kecil. Setelah dia menyalakan AC dan lain-lainnya, dia menyuruh kami untuk menunggu lagi.

“Tunggu-tungguan mulu ya?” senyumku ke Arwen.
“Ya wajar sih, ini kantor hahaha”

“Satu hal yang pengen saya tanya..” tegurku.
“Apa Mas?”
“Kenapa kamu pikir kita bagus buat bikin album akustik? Tambah orkestra pula” ini sebenarnya hanya basa-basi belaka, untuk membunuh waktu sampai orang yang kami tunggu datang.

“Simple sih, kalo menurut saya, musik akustik itu lebih jujur.... Entah kenapa hehehe”
“Terus kenapa kita?” aku tersenyum, karena ini bukan pertanyaan yang ditanyakan atas dasar ketidaktahuan, tapi lebih kepada ingin menggali pendapat pribadi.

“Kalian tuh apa ya, menurut saya sih, kalian kayak punya energi marah yang gak habis-habis, dan saya sebenernya bingung juga kalau harus ditanya kenapa saya idein ini ke Hantaman....” tawanya. Senyumnya lucu sebenarnya. Disaat dia tersenyum, matanya selalu menyipit seakan-akan hilang. Pembawaan anak ini selalu ceria dan luwes. Gerak tubuh dan bahasa yang ia gunakan menyiratkan bahwa orangnya tidak cuek dan super ramah.

“Permisi...” seorang laki-laki berumur pertengahan 30 an masuk. Orang ini mungkin sang producer ataupun sang music director.

“Halo Mas Awan...” senyum Arwen. Mereka lantas berpelukan sambil cepika cepiki. “Kenalin Mas...” Arwen berusaha mengenalkan orang yang disebut sebagai Mas Awan itu kepadaku.

“Arya..”
“Rahmawan, panggil aja Awan”
“Siap Mas...”

“Lama nunggu ya?” tanyanya sambil duduk.
“Gak kok Mas...” jawab Arwen dengan muka yang sangat-sangat menunjukkan aura ceria.

“Akhirnya saya ketemu sama Mas Arya, hahaha... Saya kaget juga kemaren pas saya dikasih tau kalo dia ngasih ide supaya Hantaman dibikinin konser orkestra juga juga...” lanjut Mas Awan.
“Haha iya mas, kebetulan saya sama anak-anak yang lain juga tertarik, terus dijanjiin mau dikenalin ke pihak-pihak yang terlibat” senyumku.

“Saya producernya sih kemarin, kebetulan saya tadinya di label, terus saya resign, nah pas resign itu saya ditarik sama music hall ini tapi sifatnya freelance. Pas udah beres, ada ide untuk diulang sama Hantaman, saya tertarik, dan saya kontak BOD-nya, merekanya sih seneng ya, katanya ini big opportunity juga buat mereka bisa kerjasama sama Hantaman....” jelasnya panjang.

Ah, produsernya rupanya. Orang ini mantan major label sepertinya, karena aku belum pernah mendengar namanya atau bertemu dengan orangnya. Mungkin dia biasa mengurusi musik pop sebelumnya. Tapi tentunya kita butuh sentuhan tangan yang biasa mengerjakan musik pop kalau urusannya dengan album model akustik. Tentunya karena album seperti ini diharapkan bisa mengenalkan musik-musik seperti musik Hantaman ke telinga orang awam lebih banyak lagi.

“Cuman saya dititipin satu hal nih Mas....” lanjutnya.
“Apa tuh... Pesan sponsor ya?” tawaku.
“Yah, dari sponsor bilang sih kalo bisa Vokalisnya nanti gak terlalu ganas bahasanya pas lagi gak nyanyi di panggung”

“Iya mas” balasku sambil tertawa dan mengingat betapa kasarnya mulut Stefan, sambil masih tetap menunggu sang music director.
“Belum dateng ya?” tanya Arwen ke Mas Awan, dengan muka tersenyum, tapi menyiratkan bahwa dia tidak enak membuatku menunggu lama.

“Udah ada disini sih tadi, tapi tadi ke WC sebentar, tapi kayaknya sih gak usah kenalan lagi ya sama Mas Arya....” senyum Mas Awan.
“Oh, dia kenal sama saya ya ?” tanyaku. Tidak aneh sih kalau dia kenal denganku. Mungkin kami pernah bertemu entah dimana bahkan mungkin kami pernah bekerja sama entah dimana, secara aku juga banyak mengiringi musisi Jazz lain, dan banyak dari mereka yang kadang-kadang dihire untuk jadi music director di film maupun acara apapun yang butuh musik tematik.

“Iya.... Dia kan..” mendadak pintu terbuka. Ini pasti dia. Aku memasang muka tersenyum menyambut sang music director.

Tapi mendadak senyumku hilang.

Senyum Arwen mendadak terkembang dengan lebar dan dia menyambut sang music director. Kontras dengan senyumku yang mendadak hilang tanpa bekas.

“Pa kabar Arwen ?” tanyanya.
“Baik Mbak Karina...” dan mereka berdua berpelukan dan bertukar ciuman pipi.

Karina Adisti.

Di depanku.

Senyum kami berdua sama-sama menghilang ketika mata kami bertemu.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd