Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

konfliknya yg 1 beres, abis ini menyusul lagi konflik baru yg pasti bakal lebih gregetan, ditunggu yaa master RB

have a good time 4 yaall
 
Keren suhu.. Akhirnya ketemu lagi sama stef-anus :Peace: Lanjutkan part berikutnya suhu RB kami setia menunggu update ceritamu.. :semangat::semangat:
 
MDT SEASON 2 – PART 20

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Mau ulang lagi?” tanyaku ke Nanang sambil tersenyum. Tidak seperti biasanya, mereka berempat tampak cerah. Mungkin karena ini hari terakhir rekaman. Mereka sudah menyelesaikan sepuluh buah lagu, yang nantinya setelah lebaran aku akan melakukan proses editing dan mastering, agar siap naik cetak.

“Gak usah mas, udah puas saya sama take yang ke lima tadi…” senyum Nanang, sumringah.
“Jadi udah nih?”
“Udah mas”

“Oke kalo gitu, It’s a wrap!” seruku sambil disertai tepuk tangan mereka berempat.

Betapa mereka hampir sebulan ini sudah menghabiskan banyak energi, menguras banyak ide dan mental mereka di tempa di ruangan kecil yang diberi nama studio ini. Usaha mereka kuyakin tidak akan sia-sia. Album ini pasti akan menggelitik kemapanan band-band indie di jogja dan menjadi awal penetrasi dari record label milik kami ke publik. Selanjutnya nantikan saja, setelah pilot project bersama Speed Demon ini kelar, album soloku akan menyusul, dan masih banyak lagi ide-ide di kepala yang harus segera dieksekusi.

“Alhamdulilah” Panji mendadak sujud syukur.
“Ra sia-sia yo… Batal puwasa sak minggu… albume wis beres saiki” bisik Billy disebelahnya, sama-sama sujud syukur.

“Batal puasa kan dibangga2in” tawaku.
“Abis kan pertaruhannya juga gede to mas….” jawab Billy.
“Ah, asal diganti aja ntar pas abis lebaran” balasku, tersenyum melihat mereka semua yang tampak begitu lega, tugas mereka telah beres.

“Abis lebaran mohon bantuannya ya mas, buat proses editing segala macem dan lainnya” Panji bangkit dari sujud syukurnya dan tampak ingin menyalamiku. Aku menyambut tangannya dan tangannya menjabat tanganku dengan erat sekali.

“Iya, udah biasa kok hahahah, jangan khawatir” tawaku, merasa lega, tapi juga bersiap-siap untuk proses editing dan mastering yang ngeri-ngeri sedap itu.

“Wah, tinggal balik nang Jogja iki” muka Ibam tampak ceria, dia meregangkan badannya, dengan aura penuh kelegaan.
“Gak juga”

“Eh apa lagi mas?” tanya Panji bingung.
“Besok ada acara di Kemang, semacam buka bersama gitu, tapi acara intinya sih kayak semacam peresmian bini gue gabung buat ngurusin café temen kuliah gue…. Kalian diundang juga, ntar berangkatnya bareng aja dari sini, atau kalau mau naik go-car atau uber kesana juga boleh” jelasku.

“Wah makasih mas, kita pasti dateng… Toh besok ndak ada acara apa-apa lagi selain istirahat di Jakarta sebelum pulang ke Jogja” senyum Panji.
“Ntar berangkatnya gampang mas, Janjian besok lagi aja” balas Nanang yang sedang membereskan gitarnya.

“Hahaha, beda banget kalian sekarang…. Pas pertama datang ke sini, mukanya tegang sama gugup semua, sekarang udah santai” tawaku.
“Iya mas, wong utangnya dah kebayar kok… sumpah, rasanya kok ya kayak abis buang air besar yang mules banget gitu, lega banget” jawab Billy asal.
“Ra sopan kowe” bisik Panji.
“Yo abis piye…” Billy

“Tapi emang gitu sih rasanya, kayak abis beres mules, atau pecah bisul, lega… Walau prosesnya menyakitkan” aku meringis membayangkan kedua hal tersebut.

“Hehe iya sih mas” Panji menggaruk-garuk kepalanya tanda bingung harus merespon seperti apa.
“Nah, sekarang kita nunggu jam buka deh, tinggal dua jam lagi, silakan istirahat, kalo yang udah keburu batal silakan aja kalo mau ngerokok di teras” tawaku.

“Siap Mas!”

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

dsc_8810.jpg

Ramai.

Malam ini ramai, semua orang datang, dan suasananya hangat. Café kecil ini agak penuh sesak, dengan beberapa orang yang familiar datang ke acara ini. Debut pertama Kyoko sebagai bagian dari “Mitaka”. Ya, nama Mitaka adalah nama yang dipilih oleh Zul sebagai nama baru café ini. Tentunya itu adalah tribute untuk istriku yang banyak merombak sistem kerja dan operasional café ini, agar lebih efektif dalam mendulang uang. Sentuhan kedisiplinan dan efektivitas ala Jepang akan dia integrasikan ke “Mitaka”.

Wajah-wajah yang tentunya sangat kuhapal ada disini. Anggia dan Rendy, misalnya. Lalu beberapa teman kuliahku seperti Anin dan lainnya, tapi sayang, salah satunya adalah Bram, yang selalu tampil dengan topi andalannya. Entah kenapa, manusia itu selalu memakai topi kemanapun dan dimanapun. Ada Arka juga, Jacob Manuhutu dan Toni. Dan jauh disana ada Bagas, yang tumben-tumbenan mau datang ke acara seperti ini, sedang melihat ke arah Toni dengan mata nanar. Entah kenapa. Sampai detik ini kami semua tidak tahu apa yang jadi masalahnya. Entah kenapa dia tidak suka kepada sosok Toni.

Dan aku duduk bersama Ai dan Stefan. Stefan cuek merokok, walau suasana penuh sesak.

“Bau” bisik Ai.
“Kontol” bisik Stefan.

“Gak sopan ih, gue kan bilang bau, yang laen ga pada berani kali negor elo”
“Udah biarin aja, lagian cafenya juga kan boleh ngerokok” aku mencoba mendamaikan mereka semua.
“Mentang-mentang temennya dibelain”

Aku cuma mengangkat bahu sambil tertawa dalam hati.

“Si Dian mana ya?”
“Masih di jalan katanya, tadi agak ribet, nitipin anak, terus jemput si Mas di kantornya… Ya maklum kalo datengnya rada telat” jawab Ai.

“Mas Arya!” mendadak ada suara yang agak familiar memanggilku dari belakang.
“Fans elo tuh” bisik Stefan, yang disambut oleh muka cemberutku ke arahnya.

Ya, Arwen. Aku bisa melihat dia mendekat dari sudut mataku. Sepertinya karena suasana ramai, aku tak sadar kapan dia datang ke tempat ini.

“Eh halo… Apa kabar? dah lama gak ketemu” aku berdiri dan menyapa gadis manis berambut seleher itu dengan gesture standar, bersalaman dan cepika cepiki. Dandanannya tampak casual, dengan celana jeans dan T-shirt.
“Baik, haha… Halo Mas semuanya....” Arwen menyapa Stefan dan adikku yang duduk manis di meja yang dibalas dengan senyum mereka.

“Lama gak kedengeran kabarnya rupaya Mbak Kyoko joinan sama Mas Zul… Hahaha, asik deh, kalo nongkrong kesini bisa ngobrol-ngobrol sama Mbak-nya” tawa Arwen.
“Tuh, orangnya, lagi sibuk di sana” aku menunjuk Kyoko dengan mataku. Kyoko tampak terlihat antusias, bekerja di balik mesin kopi, di dapur dan mengantarkan pesanan ke orang-orang.

Tak lama kemudian Kyoko tampak melihat Arwen, dan dia tersenyum ke arah kami. Dia lantas menghampiri kami, dengan muka yang benar-benar ceria.

“Halo… Apa kabar”
“Baik Mbak… Lama gak ketemu” mereka berdua bersalaman dan saling mencium pipi. Lucu, Kyoko sudah lama tidak bersalaman ala Jepang ke orang-orang. Dia sudah terbiasa dengan gaya menyapa ala perempuan Indonesia yang penuh kontak fisik lewat saling mencium pipi.

“Iya sudah lama tak bertemu, oh iya, apa sudah pesan?” Kyoko bertanya kepadanya.
“Eh iya, udah tadi ke Mas Zul, mudah-mudahan dia gak lupa sih hehehehe” tawanya kecil. Entah kenapa aku bisa menangkap aura jahil dari Stefan, yang sudah pasti ingin meledek situasi ini. Pasti dia mau meledek soal poligami dan lain-lainnya atau apa lah… Tapi aku bisa melihat Ai mencoba untuk menyibukkannya agar dia tidak mengganggu percakapan tiga arah antara Aku, Kyoko dan Arwen.

“Gak bakal lupa lah, kelebihannya si Zul itu daya ingatnya sama menu kuat banget, dulu aja waktu menunya masih banyak, gak kayak sekarang, dia inget siapa pesen apa kok” jawabku.
“Iya ya hehehe…”
“Ditunggu ya Arwen, Kyoko kembali ke sana lagi ya?” tanya Kyoko meminta izin.

“Iya Mbak….” senyum Arwen, sambil menatap Kyoko yang pergi menjauh.

“Udah lama gak liat kamu disini” aku mencoba berbasa-basi kepadanya.
“Yah biasa mas, namanya juga penyiar, dirolling mulu jam siarannya, dan banyak juga nge-mc di luar jadi yah....” dia nyengir sambil menjelaskan kesibukannya akhir-akhir ini.

"Ngomong-ngomong, aku kemaren sempet diundang ke satu acara" dia melanjutkan kalimatnya.
"Acara apaan tuh?"
"Ya jadi, ada band metal gitu, mereka konser akustik dan diiringin sama orkestra.... Kebetulan aku kenal sama beberapa orang behind the scene-nya, jadi aku dapet tiket gratis gitu hehehe"
"Lucu juga konsepnya" balasku, sambil membayangkan betapa menariknya konser yang seperti itu. Elevating the music, menurutku.

“Eh aku ada ide mendadak” matanya mendadak berbinar, sepertinya idenya menarik, atau setidaknya dia anggap menarik.

“Apa tuh?” aku menekuk dahiku tanda penasaran.
“Aku kan kenal sama music directornya yang kemaren ngerjain acara itu…. Kayaknya lucu kalau Hantaman bikin acoustic session, terus bikin versi orkestra sama mereka” lanjutnya.

“Gue setuju!” Mendadak Stefan berdiri dan ada di sebelah kami.
“Eh, bentar….” aku agak kaget.

“NIN! BAGAS! Sini lo bedua” panggil Stefan ke dua orang bersepupuan itu.
“Paan” jawab Anin yang sedang mengobrol dengan Jacob dan Arka.
“Sini gak usah pake nanya!”

“Eh Halo Arwen...” sapa Anin.
“Halo Mas… Hehehe” Arwen tampak senang karena Stefan menyambut dengan antusias idenya.
“Jadi dia ngajakin kita bikin acoustic session plus orkestra, kayak si band itu lho” jelas Stefan sambil menyebutkan nama band metal tersebut.

“Bisa-bisanya lo nguping” komentarku dengan melirik sedikit ke arah Stefan.

“Eh, saya gak ngajakin, saya ngidein doang, kalo ngajakinnya mah saya ga bisa, cuman bisa ngenalin ke music directornya” senyum Arwen.

“Gue mau, ayo jabanin lah, toh kita ada orang yang jago komposisi juga kan, ntar biar dia aja yang rapat segala macem, kitanya tinggal latihan” tawa Stefan sambil menepuk bahuku.
“Monyet” umpatku “Gue lagi yang dikorbanin”
“Tenang, ntar persenannya paling gede” tawanya.

Bagas hanya diam dalam dekat.

Aku menelan ludah sambil menerawang. Apakah ini adalah ide yang bagus? Mengingat sekarang aku bakal ada kesibukan mengurus album Speed Demon sehabis lebaran. Tapi ini menarik juga, mengeksplor musik Hantaman dengan cara yang berbeda. Entah kenapa komposisinya sudah terbayang di kepalaku akan seperti apa. Lucu pasti, menarik pasti. Lagu yang biasa berdistorsi tinggi kini dimainkan dengan lembut, dan diiringi oleh balutan orkestra.

“Gue suka sih idenya, gimana Gas?” tanya Anin ke Bagas.
“Ikut aja” jawabnya pelan. Tapi matanya menatap tajam ke arah Toni yang mendadak entah kenapa sekarang sedang ada di kursi yang tadi kududuki dan dia sedang berusaha mengobrol dengan Ai.

“Yaa… Boleh deh” aku menerima dengan terpaksa. Terpaksa bukan karena tidak mau, tapi terpaksa karena aku sedang bingung mengatur jadwalku dengan quartetku, mengerjakan album Speed Demon dan hal yang berkaitan dengan ide dari Arwen ini.
“Asik!” seru Arwen dengan muka bahagia. “Ntar abis lebaran janjian lagi ya Mas, ntar saya temenin buat ketemu sama Music Directornya, sekalian saya kenalin” senyumnya dengan lebar.

“Siap” jawabku singkat yang diamini oleh ketiga temanku. Siap yang berujung sial mungkin, karena aku sedang memutar otak soal jadwalku sendiri sehabis lebaran.

--------------------------------------------

latte_10.jpg

“Eh maaf datengnya telat…” Dian datang, dengan suaminya dan mereka membawa satu orang lagi.
“Telattt… Ini bini gue punya acara dia telat” keluhku.
“Ya maap, nitipin Alika dulu, terus jemput mahluk ini dari kantornya”
“Ya maaf, ada kerjaan yang ga bisa ditinggal” senyum suaminya.

“Dan ini?” tanyaku ke Dian.
“Eh kenalin, ini sepupunya laki gue, Nayla”
“Halo” aku mengulurkan tangan dan Nayla meraihnya.

“Halo Mas…” mukanya tampak berseri-seri.

“Si Nayla ini gak percaya kalo kita tuh bener-bener kenal sama kalian…” tawa Dian.
“Gak usah dipercayain kali ya…” tawaku.
“Eh tapi.. Boleh gak saya foto bareng Mas Arya hehehehe” tawa Nayla dengan polosnya.
“Buat?” tanyaku.

“Ya, elo tuh orang terkenal, coba sini, gue fotoin” jawab Dian dengan ketus. Suaminya hanya tertawa kecil sambil mencari tempat duduk. Tentunya tempat duduk yang jauh dari Bram. Bram terlihat asyik mengobrol dengan Rendy. Anggia tampak bosan tapi dia terlihat ceria kembali saat melihat ada Nayla, Dian dan Suaminya yang baru datang. Dia bangkit tanpa suara dan menghampiri Dian yang sedang mengambil foto ku dengan Nayla. Aku tersenyum dengan tegak, sedangkan Nayla tampak mengacungkan jarinya, membentuk huruf V.

Anggia lantas memeluk Dian dari belakang.

“Halo Bu”
“Halo calon Bu Rendy” jawab Dian cuek, sambil mengambil foto aku dan Nayla untuk kedua kalinya dengan handphonenya. “Nah udah, tar gue kirim ke Nayla ya” senyum Dian mengakhiri foto-fotonya.

“Makasiiiih” balas Nayla sambil tersenyum padaku dan Dian. “Eh itu kayak apal.... Itu penyiar radio bukan sih?” matanya tampak berbinar dan dia langsung ngeloyor begitu saja ke arah Arwen yang sedang bersama teman-temannya.

“Tu anak masih aja ya, suka norak kalo ketemu orang terkenal” tawa Anggia.
“Biarin lah, namanya juga bocah”
“Bocah kok udah ngantor” lanjut Anggia.
“Orangnya doang yang kayak bocah” senyum Dian ke arah Nayla.
“Dah sini, anterin gue ke laki lo… Gue males denger bacotannya si Bram.. Kalo boleh, gue pengen sumpel tu mulut pake paku” kesal Anggia sambil menarik Dian, menjauh dariku. Dan aku cuma bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku lantas menatap ke Stefan yang sedang duduk mengobrol bersama anak-anak Speed Demon. Kebetulan mejanya di sebelah meja Rendy, Bram dan beberapa orang lainnya.

Aku menghampiri mereka dan duduk di meja yang penuh asap rokok itu.

“Mas Arya” tegur Billy.
“Ya?” balasku.

“Saya bingung Mas”
“Bingung kenapa?”
“Sebenernya kita berempat bingung”
“Bingung kenapa?” tanyaku, mengulang.

“Kok banyak banget orang cantik disini, subhanallah….” Billy menggelengkan kepalanya sambil bolak-balik menatap perempuan-perempuan yang ada disini. Anggia, Dian, Nayla mungkin, dan Arwen bersama teman-temannya. Beberapa tampangnya memang familiar, mungkin muka mereka sering berseliweran di media sosial dan sebagainya.

“Lo orang pada main dimana sih di Jogja, bukannya di Jogja juga banyak yang good looking ya?” Stefan menyipitkan matanya yang sudah sipit itu.
“Ya tapi gimana ya Mas, kalo cewek Jakarta itu dandannya lebih berani, contohnya kayak mbak itu, yang rambutnya kayak cowok” Billy yang bertindak sebagai spokeperson mereka, menunjuk diam-diam ke Anggia. Ya, Anggia menggunakan skinny Jeans robek-robek, sneakers New Balance, dengan atasan portrait tops tanpa lengan, yang memperlihatkan leher, tengkuk dan bagian bawah lehernya dengan jelas. Tadi dia pakai jaket kulit sih, tapi dia lepas.

“Anggia emang begitu gayanya” tawaku melihat mereka tampak jelalatan kesana kemari.
“Temen Mas ya?” tanya Billy lagi.
“Iya”

“Kalo yang mirip sama Mbak Ai tapi rambutnya pendek itu?” tanya Ibam diam-diam.
“Itu namanya Dian, sepupu gue…”
“O.. Pantes mirip” sambut Ibam.

“Allahuakbar pokoknya” Billy menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tetap jelalatan.

“Ada-ada aja sih bocah” tawa Stefan sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Ah biarin, kita juga dulu kayak gitu kali pas masih seumur mereka” balasku.
“Gak sekampungan itu sih kayaknya”
“Elo kan emang penjahat kelamin Fan, beda” ledekku.

“Monyet, elu tuh, penjahat kelamin beneran, tiba-tiba ketemu sama si Arwen, eh, diajakin proyekan” tawa Stefan.
“Dianya mah engga kali, cuma penghubung doang antara kita sama si music producer ini, tapi siapa ya orangnya?” tanyaku retoris.
“Ga kenal, siapa tau malah pas ketemu lo kaget karena kita kenal”

“Ah ya pemusik di Jakarta pasti itu-itu lagi sih orangnya, kayaknya anak musik klasik kalo gitu mah” balasku.
“Iya”
“Tapi ngatur waktunya nih, pusing gue”
“Gapapa, nyiapinnya kan ga tiap hari, lagian lagu-lagu kita partiturnya lengkap, lo mau breakdown ama si Music Director bebas, kita mah ikut aja, paling ngasih masukan dikit” lanjut Stefan.

“Enak banget ikut-ikut aja, otak gue kram tau, udah mana ngedit sama mastering album mereka, terus disuruh ngecompose ulang lagu-lagu kita….” kesalku.
“Maaf ya mas” sela Panji.
“Udah biarin aja” balasku.

“Eh, kan ada music directornya, itu kerjanya dia, lo cuma bantuin dia doang, interpretasi musik kita, breakdown doang, pasti yang nulis partitur buat orkestranya dia kan, bukan elo? Atau mau elo juga yang nulisin part-part string sectionnya? Bebas itu sih, lagian kalo kita bikin konser model gini, anak-anak indie yang bukan anak rock juga pasti demen nonton kita, itung-itung kita expand lah, lagian kalo direkam, terus dijual rekamannya, duit lagi tuh….. Mikir tuh yang panjang, jangan mikir capeknya doang, mikir keuntungan yang jauh ke depan gitu loh….” ucap Stefan panjang, menjelaskan apa yang ada di kepalanya.

“Hebat, pantesan tajir” ledekku sambil memuji.
“Yang tajir bokap gue” Stefan meledek dirinya sendiri. “Lagian kalo ada produser nya sendiri, pasti mereka bikinin album kita, kita ga usah keluar biaya, ya kita tinggal terima duitnya, kita tau main, terus ada perjanjian entar, split royaltinya berapa” senyum Stefan.

“Hebat…” balasku lagi.
“Belajar taktis mikirnya Ya, biar kalo suatu saat tangan lo di makan monster terus lo ga bisa main gitar lagi, lo masih bisa makan” tegur Stefan.
“Monster apaan yang mau makan tangan gue?” kesalku.

“Monster kontol” balas Stefan Asal.
“Ih, ngeri banget ya mas kalo ada monster kayak gitu…. Kakinya dua pas di bijinya, terus jalan-jalan gitu di jalan raya, saya kok jadi takut” potong Nanang.

“Monyet, jangan dibayangin” bentak Stefan pelan ke Nanang. Dan yang dibentak cuma bisa mesem-mesem sambil menunduk.

Sementara itu, di sudut mataku, Zul naik ke panggung kecil yang biasa dipakai untuk akustikan dan tampaknya dia ingin bicara di microphone.

“Assalamualaikum semuanya, selamat malam” ucapnya di microphone, dan disambut oleh jawaban kami sebagai tamu. “Jadi, seperti yang udah saya kasih tau ke temen-temen semua lewat media sosial ataupun ngobrol langsung, setelah lebaran, kita bakal rebranding…. Dan rebranding ini gak lain dan gak bukan tentunya banyak dibantu sama teman kita, Kyoko” Kyoko lantas berdiri dan tersenyum ke arah semua orang.

“Singkat cerita, buat yang belom kenal Kyoko, Kyoko itu istrinya temen saya yang duduk disana” dia menunjuk kepadaku. “Arya, si artis, gitaris terkenal” ledeknya yang disambut tawa beberapa temanku. “Kyoko ini waktu di Jepang, dia ngurus café punya keluarganya, dan dia sekarang diboyong sama Arya kesini…. Dan dengan pengalamannya di Jepang sana, dia banyak inisiatif yang jujur gue sama sekali gak kepikir. Dan semua inisiatifnya itu bisa bikin tempat ini lebih baik lagi…” senyum Zul.

“Jadi, setelah kita tutup per hari ini untuk libur lebaran, kita bakal opening ulang, dengan nama baru, dan konsep baru, tentunya Kyoko juga akan on board disini”
“Gimana mau pake nama baru kalo sekarang gak ada namanya!” teriak Bram, maksudnya ingin melucu. Lucu sih, tapi karena orangnya Bram, jadi tidak lucu sama sekali. Beberapa orang tampak tertawa dan tersenyum mendengar Bram.

“Nama baru tempat ini adalah Mitaka, diambil dari kota tempat tinggal Kyoko sebelum kesini, mudah-mudahan ilmu dan kesuksesannya di Jepang sana bisa nular ke tempat ini, Amin” tutup Zul, yang diakhiri dengan tepuk tangan dari orang-orang yang hadir. “Nah sekarang, yang mau nambah kopi, dipersilahkan ya” senyum Zul sambil undur diri dari panggung.

Beberapa orang yang tak kukenal tampak menghampiri dirinya dan Kyoko, entah seperti sekedar memberi selamat atau mencoba mengajak mereka bicara.

Ah, akhirnya, ada juga tambatan Kyoko di Jakarta selain di rumahku. Mudah-mudahan café ini jadi tempat yang berkah karena kedatangannya. Mudah-mudahan ini pertanda baik untuk aku dan Kyoko. Aku tersenyum memperhatikan Kyoko yang tampak antusias dan dia terlihat sangat-sangat ceria.

Dan bisa dipastikan tidak akan ada lagi tangisan diam-diam, atau keluhan soal Jakarta lagi, dan aku….

“Kayaknya kok malah cocokan si Zul jadi lakinya daripada elo?” tawa Bram dari meja sebelahku.
“Hehe” tawaku garing, mencoba tidak memperpanjang omongan Bram yang memang nyelekit dan tidak pada tempatnya itu.

“Wah, Ya, siapa tuh” bisik Stefan.
“Temen kuliah gue, emang begitu orangnya, biarin aja….” aku berusaha menjelaskan soal Bram yang memang mengesalkan dan mulutnya tidak bisa dijaga. Beda tapi dengan Stefan, kalau Stefan kasar dan ceplas ceplos, kalau Bram tidak enak didengar karena kontennya nyinyir dan cenderung menyakitkan.

“Hati-hati ya, kalo lo ntar telat jemput bini lo sedikit aja, bisa jadi diembat sama temen kita” lanjut Bram.
“Hus” Rendy tampak gusar, mungkin tidak ingin ada kejadian nyiram kopi edisi ke dua.
“Temen kerja ada affair biasa lho” tawa Bram, seakan dia tidak peduli dan hanya ingin bicara. Apa-apaan sih, becanda tuh yang lucu gitu, kayak orang-orang lain, bukan yang gak enak kayak gitu. Aku diam saja, senyum pun tidak. Tapi aku tidak mau membuat masalah tambahan di malam yang bahagia ini.

“Kok tai sih” Stefan tampak gusar, dan dia melihat Bram sekarang malah lanjut ngobrol dengan yang lainnya dengan muka tak berdosa.
“Makanya kan disiram kopi sama si itu tuh” aku menunjuk ke meja sana dengan diam-diam, ke arah sepupu iparku.

“Harusnya disiram tai… Mana mukanya gak enak lagi” kesal Stefan.
“Gak bagus ah ngatain muka orang laen jelek”
“Bukan jelek mukanya, tapi gak enak mukanya diliatnya, kayak ada yang salah gitu, entah salah bikin atau salah pas sperma bokapnya nyampur di memek nyokapnya” Stefan tampak memperhatikan Bram terus menerus.

“Ngomong apa sih lo” aku berusaha mengalihkan perhatianku ke tempat lain, agar tidak terjadi apa-apa.
“Emang kayak tai kayaknya orang ini” Stefan menatap dengan tajam ke arah Bram, dengan sengaja melihatnya. Tentunya orang yang dituju sadar kalau ia diperhatikan.

“Liat apa Mas?” tanya Bram, ngesok.
“Liat elu, bego” jawab Stefan, sambil menghembuskan asap rokok.

“Wah mas, jangan berantem mas” bisik Panji ke Stefan, tapi Stefan tampaknya tidak mengindahkan bisikan Panji.
“Fan… Please don’t… Jangan rusak malem ini” bisikku.

“Siapa yang bego?” tantang Bram.
“Keluar yuk” ajak Stefan sambil tersenyum. “Sekarang” Stefan berdiri dan langsung keluar ke arah pintu. Dia melewati meja Bram. Dan sambil lewat ke pintu keluar, tangan jahil Stefan lantas menjulur dan menepis lidah topi Bram, sampai jatuh. Sambil menatap topi itu jatuh, aku melihat punggung Stefan yang dengan santainya keluar café.

Fuck.

Please, jangan rusak malam ini.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terima kasih updatenya. Masih jauh ini sepertinya, belum ribut sama karina
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd