Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Bimabet
Makasih updatenya om racebannon:beer:
Ayo Fan! Ancurin si Bram....:getok:
Jadi penasaran alasan Bagas kagak suka ma Toni om? Feeling Bagas kan bagus
 
Asik mas Epan versi bajingan kembali nih. Versi pendeta kontol terlalu baek soalnya.
 
Efek kejutnya belom berasa wow, karna update di thread yg dulu udah lumayan jauh, dan masih inget dikit alur nya. Btw, tetep bintang 5 lah, ide bikin rockestra memang keren. Juga kelakuan stefan yg gokil. Thanks updatenya, master

Ane koq jadi kangen jepang uak gegara rebranding jd Mitaka.
Have a good time 4 yaall

Selamat Natal buat yg merayakannya.
 
Kalo baca comment2 dari para pembaca yg baru ikutin thread ini rasanya gatel banget pengen spoiler.hehehe:Peace::Peace:


Masih sabar menunggu sampai keluar part-part selanjutnya, tapi baca ulang masih tetep seruu!!

Ssmangat terus om RB!!
 
Arwen ... Apakah doi yang beberapa Kali sempet kimpoi dengan aya di edisi yg Dulu .. ?
 
MDT SEASON 2 – PART 21

--------------------------------------------

dsc_8810.jpg

Aduh, mau apa sih? Umur sudah segini, early 30s, masih berantem seperti anak remaja. Bukannya aku iya-iya saja terhadap bercandaan Bram yang tidak lucu dan sensitif itu, tapi kalau bisa, konfrontasi fisik seperti ini harus dihindari. Malam ini masih panjang untuk dipergunakan Stefan menunggu Bram keluar dari dalam, dan suasana Kemang di malam hari ini ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor.

Ai mendadak menghampiriku yang sedang bergegas keluar. Anak-anak Speed Demon masih terpaku, mereka tampaknya tidak mengharapkan ada hal-hal yang tidak menyenangkan terjadi malam ini. Malah dimana harusnya semuanya baik-baik saja tanpa ada suatu apapun.

Yang kupikirkan sekarang ini, adalah mencegah Stefan ngapa-ngapain Bram, walaupun aku tahu, beberapa orang di dalam cafe juga pasti ingin ngapa-ngapain Bram.

"Ada apa Mas?" Ai mengikuti langkahku.
"Si Stefan, biasa, sumbu pendek..."
"Apaan lagi?"
"Si Bram, biasa mulutnya ga bisa dijaga.........."

"Aduh..." aku dan Ai keluar. Kami baru mendapati Stefan yang sedang merokok di pojokan, dengan tenangnya.

"Mana si kontol?" tanya Stefan, ketika dia tahu yang mendekatinya adalah aku dan Ai.
"Di dalem kali, takut sama elo mudah-mudahan... Lagian ada Rendy dan kawan-kawan, bisa ditahan dia."

"Kok elo gak marah sih Ya dia ngomong begitu?" tanya Stefan kepadaku dengan ketus.
"Karena enggak penting, semua orang yang kenal dia tau kalo Bram itu gak penting, omongannya emang ga enak didenger, tapi emang ga usah didengerin" jawabku.

Stefan tampak gusar. Apalagi karena ini adalah ide dia. Mungkin dia merasa marah karena ide dia yang menyebabkan Zul dan Kyoko bekerja di satu atap. Atau mungkin, kemarahan Stefan bukan dipancing oleh itu, tapi oleh gaya ngesok Bram yang memang tidak sedap dipandang. Ya, mungkin gaya nya yang semaunya sendiri dan selalu bicara seenaknya itu, menyebabkan kesan "tidak enak dilihat" muncul dari Bram. Padahal secara fisik dia tidak jelek.

"Orangnya yang pake topi tadi ya, yang dijatohin sama Stefan?" tanya Ai sambil celingukan.
"Iya"
"Emang ngomong apa sih?"
"Dia bilang tadi kalo Kyoko dan Zul kerja satu tempat, kemungkinan bakal ada affair" jawabku.

"Ah elah gitu doang pake marah, yang marah si Stefan lagi, ga nyambung banget... Pasti lo mau ngesok doang kan" sinis Ai ke Stefan.
"Orangnya ngehe" balas Stefan pendek.

"Iya kita tau, makanya tadi lo nantangin dan ngejatohin topinya itu gak penting"
"Mukanya gak ngenakin, kayak apa ya, liat kecoa gitu, kayak wajib diinjek" lanjut Stefan.

Aku menghela nafas saja, sambil berharap Bram tidak keluar. Sepertinya memang bukan karena konten yang diomongkan, karena mungkin saja omongan semacam itu keluar dari mulut siapapun dengan maksud bercanda. Tapi lebih kepada Bram.

"Lo tau kan lo juga suka becanda soal masalah gituan Fan.... Soal selingkuh lah, poligami, terus incest...." aku menghela nafas, berharap Bram diredakan di dalam, karena dia tidak keluar sama sekali dari cafe.

"Tapi gue kan deket sama elu, lo juga biasa aja kan sama gue, paling gak suka lo bilang dan gue diem...."
"Ya... Makanya ini kan lebih karena orangnya lagaknya tengil aja, bukan karena apa yang dia omongin kan?" aku menatap Stefan, berusaha membuat dirinya kembali tenang. "Jadi udah lah, lo ngadem aja di luar, dianya juga ga berani kali, gue seumur-umur ga pernah liat Bram berani sama orang.... Cuma gede omong aja dia mah" senyumku.

Ya, mudah-mudahan reda. Sampai detik ini Bram juga tidak keluar dari dalam cafe. Dan sepertinya Stefan tak perlu marah. Karena aku pun tak marah. Tak ada gunanya marah sama orang seperti Bram. Gak penting dan gak berguna. Bukan marahnya yang gak berguna. Orangnya. Jadi sia-sia mau ngapa-ngapain juga. Karena orangnya memang mengesalkan dan tidak berarti buat kehidupan kamu.

Ai tampak bersender di dinding dan dia menggelengkan kepalanya.

“Karma” bisiknya pelan.
“Maksudnya karma apaan?” Stefan tampak bingung mendengar omongan adikku.

“Lo biasa suka ngeledekin orang-orang hal-hal yang sensitif, sekarang giliran ada orang becanda hal yang sensitif, elonya marah, sampe kayak tadi gitu.... Konyol”
“....” Stefan hanya diam, mungkin dia sudah menyadari kalau tidakannya konyol.

Ya memang konyol. Stefan memang mudah marah dan terpancing, dan kejadian seperti tadi, sering terjadi dulu. Waktu kami masih muda dan masih memulai karir kami di duni musik indie, Stefan memang sering bertengkar, berkelahi dan segala macam hal-hal yang tidak enak pernah dia alami. Untung waktu itu Kang Bimo dan Kang Wira sering membela kami, lalu sedikit demi sedikit mendidik Stefan, sehingga jadilah Stefan yang sekarang. Masih tengil dan bengal, tapi setidaknya sudah lebih terkontrol. Tapi masih ada waktu-waktu dimana amarah dan sikap emosiannya masih bocor dari bendungan.

“Iya deh... Gue konyol” Stefan menghela nafas dan menatap ke arah pintu cafe yang tidak bergerak. Ya, tidak mungkin Bram keluar. Kalaupun dia berani, mungkin dia sudah ditahan mati-matian oleh Anin dan Rendy.

“Fun fact” aku mendadak ingin meringankan suasana.
“Apa?” tanya Stefan yang mulai menyalakan rokoknya, diiringi angin Kemang.

“Lo coba liat deh” aku membuka handphone, menunjukkan keyboard virtual kepada Stefan. “Huruf T sama huruf Y itu sebelahan, jadi kalo lo tadi nyebut konyol dan salah tulis di hape, bisa jadi kontol” candaku.

“Gak lucu” muka datar Stefan mengiringi bercandaanku yang memang tidak lucu.
“Kok garing sih mas” tawa Ai. Tawa yang terpaksa, dia mungkin cuma tertawa karena menghormati kakaknya, bukan karena dia ingin tertawa.

Aku mengangkat tanganku dan tersenyum kepada mereka berdua. Stefan tertawa kecil dan berbisik. “Najis”

“At least i try”
“Ya gak senajis itu juga harusnya hahahahaha.....”

“Mas” mendadak Ai menunjuk ke pintu cafe dengan matanya.

Oh shit. Bram keluar, dengan nada tubuh yang tampak seperti buru-buru. Entah buru-buru kenapa. Dia menyelidik dan kemudian berjalan kearah kami.

“Minta maaf aja Fan, biar kelar” bisikku ke Stefan.
“Paham” Stefan menghela nafas, menghisap rokoknya dan mencoba menstabilkan posisi berdirinya.

Bram mendekat dan harusnya setelah Stefan minta maaf, masalah selesai dan tidak ada dendam lagi di antara kita. Mau gak mau kita harus bersikap dewasa kalau mau dianggap sebagai orang dewasa. Tapi tampaknya Bram tidak begitu.

“Ngapain lo tadi?”
“Sorry, kebawa emosi men.... Gue sangkain lo ga kenal-kenal amat sama Arya, taunya temen kuliah, gue pikir lo gak sopan, jadi gue tadi ngambek... Maaf” Stefan mengulurkan tangannya

“Apaan sih pake ngambek-ngambek, gak jelas” Bram tampak komplain, dan dia tidak menyambut tangan Stefan. Dia melipat tangannya di depan badannya, dengan gaya berdiri yang sangat tidak sedap dipandang. Kalau gaya berdiri orang bisa dinilai seperti lukisan, gaya berdiri Bram tampak seperti lukisan yang dibuat oleh anak kecil buta yang sebelum melukis, tangannya dua-duanya digergaji dan dia melukis sambil ditendang gajah.

“Iya makanya, salah paham, sorry” Stefan tetap mempertahankan posisi tangannya, menunggu Bram menerima jabat tangannya. Tapi Bram malah melihat Stefan dari ujung kaki sampai ujung kepala.

“Gue pikir vokalis band terkenal itu gimana, taunya orangnya gak sopan” ucap Bram dengan nada yang sangat tidak enak didengar. Mungkin suaranya biasa saja, tapi entah, apapun yang Bram ucapkan dan Bram lakukan sepertinya selalu terlihat salah di mataku.

Stefan meringis. Dia tampaknya emosi karena Bram malah mempersulit keadaan. Tapi dia mencoba untuk sabar dan menekan egonya. Karena jika tangan Stefan melayang, yang jadi salah jelas Stefan, karena dia yang membuka pukulan pertama kali. Dan ayolah, sudah gak jaman lagi main pukul-pukulan.

“Udah lah, gue gak marah tadi, udah tau kan elo pasti becanda, Stefan gak tau, dia salah paham..... Jadi gue pikir gak ada masalah ya, selesai disini” aku menepuk bahu Bram dengan terpaksa untuk menenangkannya.

Eh tapi si ******. Di luar dugaan dia malah menepis tanganku.

“Entar dulu lah, vokalis lo ini kayaknya musti diajarin sopan santun” lanjut Bram dengan gayanya yang ngesok. Entah kenapa Bram juga tidak maju atau tidak mengintimidasi Stefan dengan gerak badannya. Dia hanya diam saja, berdiri dengan gaya tidak enak, seperti yang kujelaskan tadi, sambil menatap Stefan, tapi tidak berani melihat matanya. Di titik ini aku merasa malah Bram yang ingin memperpanjang masalah. Mungkin karena Stefan mengaku salah dan semua orang ingin menghindar dari masalah yang berkepanjangan, dia merasa menang.

“Ya gak gitu juga kali.....” tawaku dengan terpaksa. “Udah ah, ga baik kayak gitu, dah tua kita”

“Justru karena umur kita udah segini, bagusnya temen lo diajarin sopan santun, dididik di rumah gak sih sama orang tuanya waktu dia kecil” umpat Bram tidak karuan.

Apa sih.

“Gak usah ngomong gitu, gak guna, udah lah.... Kok malah dipanjang-panjangin sih masalahnya?” aku berusaha menengahi, menghindari problem, menghindar dari rusaknya malam ini.

“Makanya gue ngomong kayak gitu, biar temen lo ini gak tengil-tengil amat, gue juga tau kok, dengan dari orang-orang kalo dia suka bikin masalah, sekarang, malah bikin masalah sama gue.... Gak sopan amat” lanjut Bram tak mau kalah.

Di sudut mataku aku melihat Stefan tampak memutar matanya, tanda kekesalannya sudah memuncak sampai ubun-ubun. Ai memperhatikan kami bertiga sambil berkacak pinggang, menatap Bram dengan tatapan jijik.

“Sorry ya men, iya gue emang emosian tadi, so... no damage done kan? Sorry soal topi lo, kelepasan” Stefan tetap mempertahankan tangannya di posisi berjabatan dan tetap menahan emosinya agar tak meledak. Stefan yang beberapa tahun lalu mungkin langsung melompat ke orang ini dan merubah muka Bram yang tadinya mukanya mirip manusia jadi sehancur karir politik Ahmad Dhani.

“Udah ya, bakal sering ketemu kan, ntar gak enak-gak enakan gak enak lho” senyumku dengan terpaksa.

“Mana bisa gitu, maaf-maaf, emang kalo maaf ngaruh, emang bakal jadi apa gitu?” omel Bram. “Kenapa mesti ada hukum di negara ini kalo semua masalah selesainya gampang, tinggal maaf” lanjutnya dengan nada tak enak.

Hukum ada biar negara jalan, bego.

“Ini nih... Model beginian ini nih yang berasa rockstar, enak aja bisa ngapa-ngapain seenaknya”
“Kan gue udah minta maaf. Dan gue masih minta maaf” wah, Stefan merendahkan dirinya serendah-rendahnya demi menjaga keutuhan malam ini. Salut.
“Emang minta maaf bisa bikin topi gue gak jatoh?”
“Gak bisa, tapi bisa bikin malam ini jadi tenang” lanjut Stefan dengan tatapan tajam. Tatapan macan yang siap menerkam mangsanya sampai lumat, sampai jadi bubur, hancur dengan cara-cara pedih yang masih memungkinkan.

“Malam ini udah rusak karena si Arya bawa-bawa elo kesini.... Harusnya acara ini cuma buat orang yang sering ke tempatnya Zul aja” lanjut si tai tanpa henti.
“Kan dia juga sering kesini, cuma ga pernah ketemu aja, ayo lah.... Gak ada gunanya lo ngomel gitu ah, jangan malu-maluin” tegurku.

“Dia yang malu-maluin”
“Makanya gue minta maaf” Stefan tersenyum dengan memaksa menggerakkan otot mukanya yang makin lama semakin kaku, bisa kurasakan getaran emosi ganasnya, hanya dengan melihat tampang Stefan yang seperti itu.

“Ah gampang amat minta maaf, dasar emang artis... apa lah, segala aja digampang-gampangin.... Emang orang dunia entertainment gini kali ya? Ga tau adat.... Enak amat abis bikin orang emosi terus minta maaf-minta maaf kayak apaan aja.... Segini doang ya emang sopan santunnya vokalis elo?”

“BANGSAT!!!” sebuah pukulan telak. Tonjokan lebih tepatnya, bersarang di rahang Bram. Dia kaget dan terpelanting jatuh. Aku kaget setengah mati. Bram juga kaget. Dia tidak menyangka sebuah tinju menghantam dirinya.

Bram diam, menatap kaget sambil melongo dari atas tanah.

“Berisik banget sih!! Ngomong ngalor ngidul gak jelas, mending kalo enak didenger, ini gak enak, udah kayak dengerin kucing kawin tau gak!! Pergi lo sekarang! Gue males liat muka orang jelek kayak elo bacot-bacot di depan kakak gue dan temen gue”

Stefan pun kaget.

Ai masih mengepalkan tangannya dengan tampang geram, melihat Bram yang duduk di tanah.

“Pergi gak? Atau perlu gue itung?” sentak Ai.
“Eh...”
“Satu”

“Iya-iya” muka Bram memerah, dan dia tampak buru-buru berdiri. Kami tidak ingin sama sekali membantunya berdiri.

“Dua”
“.....”

“Tiga”

Bram pun langsung ngacir ke dalam cafe. Dan tak lama kemudian, dalam hitungan detik, dia sudah keluar buru-buru sambil membawa tasnya sambil sedikit melirik ke perempuan yang tadi menonjoknya sampai jatuh.

“Apa lo liat-liat?” teriak Ai dengan muka merah. Bram kaget, lalu dia berjalan dengan cepat entah kemana, pokoknya menjauh dari kami. Menjauh dari cafe. Dan menjauh. Menjauh terus sampai kami berharap dia tidak akan mendekat lagi.

--------------------------------------------

latte_10.jpg

“Dan Bram yang legendaris itu pun pergi oleh pukulan seorang perempuan” Anggia menggelengkan kepalanya sambil menatap Ai yang sedang duduk. Tangannya dikompres oleh kantong plastik yang berisi es batu. Zul memegang plastik itu di atas tangan Ai. Mukanya tampak sangat senang.

“Sayang gue gak lihat” kesal Zul.
“Epic sih”

“Bram, yang sok jago itu, rontok sama tangan sekecil ini?” tanya Zul kepada kami semua.

Aku dan Stefan mengangguk bersamaan, sambil bertepuk tangan.

“Sakit ya ternyata mukul orang” Ai meringis. Tampaknya dia menyesali keputusannya untuk menonjok Bram. “Tanganku juga jadi pegel Mas” keluhnya.

“Elo gak pernah mukul orang sih, terus sekalinya mukul orang kayaknya pake nafsu gitu.... Ya gak mungkin gak sakit sih tangan...” Dian meringis, sambil bersandar ke bahu suaminya, membayangkan tampang tolol Bram tadi.

Ai memanyunkan mulutnya ke arah Dian. Dan kami semua masih kagum kepadanya. Setelah sekian lama, akhirnya ada juga orang yang berani berbuat seperti itu kepada Bram. Dan lucunya itu adikku sendiri.

Suasana di cafe sudah sepi, hanya tinggal Zul, Aku, Kyoko, Ai, Rendy, Anggia, Stefan, Nayla, Dian dan suaminya. Kami semua membicarakan betapa menyenangkannya malam ini. Bukan, bukan di bagian rebranding cafe. Hal itu sudah bosan kami bicarakan dari tadi. Tapi kami membicarakan prestasi Ai, menghajar Bram yang legendaris.

“Hebat ya elo” tawa Stefan sambil menghisap rokoknya. “Gue udah susah banget nahannya tadi. Cuman gue mikir, kalo gue tonjok entar panjang....”
“Gue udah ga tau harus ngapain, bacotnya ya Allah.... Gila, gue yang cewek aja masih kalah kali... udah kayak emak-emak ngomelin tukang sayur di pasar tuh orang tadi. Mana mukanya ga enak diliat lagi, kayak apa ya? Kayak gak enak aja gitu.... Tipe orang yang susah disenengin orang kayaknya” balas Ai.

“Emang” Aku dan teman-teman kuliahku yang tersisa berbicara hampir bersamaan.

“Jadi kayaknya Ai harus dikasih hadiah ya” senyum Zul ke adikku.
“Apaan ah, gitu doang..... Mana sakit banget lagi ini...” adikku memasang muka cemberut.
“Tiap dateng kesini first drink gratis deh”

“Apaan tuh, belom mulai chapter baru bisnis udah mau buang-buang duit?” sela Stefan.

“Ahaha, iya Zul, jangan, dengarkan kata Stefan. Lagipula masa Ai-chan diberi hadiah karena memukul orang?” tawa Kyoko yang duduk di sebelahku.

“Tapi ini the best!” Zul menunjuk ke arah Ai. Sepertinya dia senang karena Bram terusir. Terusir dengan memalukan. Terjatuh ke tanah karena dipukul di rahang oleh perempuan. Perempuannya Ai lagi, yang bertampang manis ala mbak-mbak kantoran. Tapi rasa senang ini pasti dirasakan oleh orang-orang yang mengenal Bram. Kalau saja semua teman kuliahku tahu dan melihat adegan tadi, sudah pasti kami syukuran seangkatan.

“Tapi gila ya, kita tahan juga sama dia” senyum Rendy kecut.
“Yah, dia nya juga caper sih, selalu ada kalo ada acara, malah dia yang selalu ngurusin apapun, mau jadi seksi repot.... Tapi baiknya udah, cuma itu doang. Sisanya mah gitu deh....” Balasku.

“Dua orang ya, Elo sama Ai.... Yang satu nyiram kopi panas, yang satu nonjok, gila, udah gitu sodaraan lagi... Besok-besok siapa yang ngapa-ngapain si Bram ya?” ucap Zul sambil menunjuk ke arah sepupuku dan Ai.

“Gak usah diapa-apain lagi” balas Ai dengan kecut.
“Kalo gue boleh ngapa-ngapain, pengen gue pipisin tu orang” balas Stefan.

“Yah, lain kali kayaknya Stefan harus didampingin sama orang terus ya, dulu yang beresin masalahnya dia Bagas mulu, sekarang aku, gimana sih mas, punya temen kok lemah gitu....” ledek Ai.

“Doain aja dapet hidayah” candaku.
“Kampret”

“Hahahaha... Pokoknya, next time Ai kesini lagi, udah pasti gue kasih apapun yang gratis-gratis lah” puji Zul kepada keberanian Ai menonjok si Bram.

“Pemborosan! Gue tutup tempat ini!” teriak Stefan.
“Emangnya elo FPI, nutup-nutup tempat orang?”
“Pemborosan!”

Aku tertawa lepas, entah karena apa. Mungkin karena senang, bahwa mungkin untuk sekian lama, mahluk bernama Bram itu tidak akan muncul-muncul dulu di sekitar kami, dan juga rebranding tempat ini. Tempat dimana ini menjadi pijakan awal Kyoko untuk hidup di Jakarta. Dan aku yakin, tempat ini akan jadi maju karena Kyoko.

Mitaka. Mitaka pasti akan maju oleh istriku.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Bimabet
Nah betul tuh bang memang liburan butuh banget nih ceritanya update soalnya gakemana2 sih haha
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd