Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Bimabet
Hey..hoo numpang camping disini om sembari dengerin melodi dari Arya:mancing:
 
MDT SEASON 2 – PART 3

------------------------------

55ed0c10.jpg


Aku sudah tidak bisa lagi menghitung berapa kali kami melakukannya dari dulu sampai sekarang. Sejak dari awal kami terbuka soal perasaan masing-masing dan sampai ke pernikahan kami, hal ini selalu menjadi excitement yang tidak pernah ada habisnya bagi kami berdua.

Aku duduk di pinggir kasur, dengan kakiku menyentuh lantai kamar hotel, dan sudah bisa ditebak, aku dalam kondisi tidak memakai busana sama sekali. Kyoko ada di pangkuanku, memelukku, membiarkan kepalaku terbenam di tengah belahan buah dadanya. Kyoko hanya memakai pakaian dalam saja, dan itu pun hanya atasannya saja, yang sampai detik ini masih setia menutupi bagian-bagian yang sensitif.

Kepalaku terbenam dan bibirku tanpa henti menciumi kulit lembut buah dadanya. Dia memelukku, terkadang membelai rambutku dan menciuminya. Tanganku menggenggam pantatnya yang dari tadi dengan aktif bergerak, memberikan rangsangan yang mematikan indraku untuk sejenak.

Dinding kewanitaannya menyelimuti organ vitalku dengan hangatnya. Dan sedari tadi aku terus bersemangat meremas pantatnya yang lembut itu dan membenamkan kepalaku di belahan buah dadanya. Rasanya tidak akan pernah kulepas badan ini dari tubuhku. Terlebih rasa nikmat luar biasa yang kurasakan sekarang, menjalar dari dirinya ke diriku. Hangat dan begitu merangsang. Bisa kurasakan degup jantungnya, nafas beratnya, mengikuti irama pantatnya yang bergerak naik turun di atas penisku.

“Sayang?” bisikku.
“Nnnh?” balas Kyoko setengah melenguh.

“Aku sayang kamu”
“Onaji”

Dan bibir kami berdua bersentuhan. Aku tidak mampu lagi menahan tubuhnya yang kemudian menimpaku. Aku berbaring, tanpa daya, membiarkan Kyoko mengambil alih kendali atas tubuhku. Dia bergerak begitu nyamannya, dengan segala tenaganya, memberikan kenikmatan dengan tubuhnya. Bagian tubuhku yang spesifik itu terasa berdenyut kencang, pertanda aliran darah sedang begitu derasnya dibawah sana.

Begitu hangat, lembab dan semuanya terasa begitu licin. Kyoko bergerak naik turun, mencoba memuaskan suaminya dengan wajah yang terasa penuh kasih sayang. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain membiarkannya melakukan apapun yang ia inginkan kepadaku. Dan aku sudah tidak bisa menahan lagi apapun yang akan keluar dari badanku. Badanku menegang, dan Kyoko sudah hapal bahasa tubuhku. Setiap aku merasa akan mencapai orgasme, pasti aku akan mengambil alih, untuk setidaknya memberikan Kyoko kenikmatan terlebih dahulu, atau berusaha mencapainya bersama.

Tapi kali ini tidak. Dia menahan badanku untuk tetap dibawah, sementara aku makin menegang sejadi-jadinya.

Dia tersenyum kecil, memberi semua tanda yang bisa ia beri lewat ekspresi wajahnya agar aku tidak mengambil alih kendali. Dia bergerak dengan cepatnya, menggenggam batang kemaluanku begitu erat dengan dinding area kewanitaannya. Sial. Badanku begitu kaku, kalah oleh sensasi geli yang istriku ciptakan. Dia dengan sekuat tenaga menahan diriku agar tidak bangkit. Kedua tangannya bertopang di bahuku, dan dia berhasil memaku diriku dibawah dirinya.

“Kyoko…”

“Sonna koto… Ahh… Shiteru…” bisiknya, mengatakan bahwa dia tahu apa yang sebentar lagi akan terjadi.
“Aku…”
“Damareruyo…..” dia menyuruhku untuk diam, sialan.

“Aya….” bisiknya, merasakan kenikmatan yang terjadi karena aku terlalu tegang dan menghunjam dirinya terlalu dalam.

Sial.

Sial.

“Kyoko aku… Ahhhh….” Badanku menegang dan aku tidak bisa lagi menahan muntahannya. “Ugh…..” bisikku lemas saat cairan hangat itu meleleh di dalam tubuh istriku. Kyoko bergerak pelan sekarang, memberi isyarat untuk menyudahi persetubuhan malam ini. Dia tampak tersenggal-senggal nafasnya, dengan muka memerah yang penuh dengan aura kepuasan, tapi bukan kepuasan akibat orgasme. Tapi kepuasan diri, karena ia berhasil membuat suaminya ejakulasi dengan sukses. Bisa kurasakan leleh hangat itu turun dan mulai membasahi pangkal alat kelaminku.

“Jya… Owarimasu…..” tawa Kyoko, melihatku yang lemas.
“Awas… Nanti di Jakarta aku balas” candaku dengan penuh kepasrahan.

Kyoko hanya menjulurkan lidahnya dengan malu-malu, sambil tersenyum ke arahku. Dia lantas menunduk, mencium hidungku sambil tertawa geli.

“Aya.. Daisuki!” bisiknya dengan penuh cinta.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

14561710.jpg

"Jadi gimana mas?" senyum lebar Panji dan Ibam terpampang lebar di hadapanku. Nanang dan Billy tidak bisa ikut bersama kami pagi ini, karena jadwal perkuliahan mereka tidak mengizinkan. Aku menghadapi dua pemuda yang penuh mimpi dan harapan itu sendirian pagi ini. Istriku sedang berada di kamar, sedang packing untuk penerbangan kami pulang ke Jakarta nanti.

"So far oke, ya tapi masih ada sedikit banyak kekurangan cuma itu kan bisa diperbaikin...." jawabku.

"Kurangnya apa mas?" tanya mereka antusias, berharap dikoreksi pada saat yang sama, dengan mata berbinar penuh mimpi.

"Hmmm.... Salah satunya soal gitaris kalian.."
"Nanang?"
"Iya, dia terlalu teknikal, jadi di lagu yang slow, pas lagi solo gitar dia mendadak berisik sendiri... Hahahaha...."

"Terus apalagi mas?"

Ibam tampak mengetik panjang lebar di handphonenya. Entah mencatat, atau entah dia langsung live report soal percakapan denganku di lobby hotel ini ke teman-temannya via media sosial.

"Banyak dan gak bakal habis kalo diomongin sekarang, tapi gue harus bilang kalo kalian emang pengen garap album dan pengen gue jadi produsernya, gue mau…."

"Apa mas?" muka Panji dan Ibam mendadak terpaku, dan Ibam menghentikan kegiatannya di handphone. Mereka berdua tampak kaget, bisa dilihat dari ekspresi mereka yang kaku dan pupil mata mereka yang membesar.

"Eh... Gue mau sih… jadi produser kalian" aku tersenyum awkward melihat ekspresi mereka.

Bletak. Handphone Ibam jatuh ke lantai.

Mereka berdua mendadak berdiri.

"Makasih banyak mas!!!" mereka mendadak berlutut dan hampir bersujud di hadapanku.
"Woi woi woi!!" aku panik dan langsung menarik tangan Panji, menuruh mereka untuk segera berdiri.

"Alhamdulillah... Nanti tumpengan di rumah......" bisik Ibam ke Panji.
"Eh....." aku menggaruk kepalaku karena aku bingung dengan reaksi mereka. Aku ikut berjongkok dan mencoba membangkitkan mereka dari posisi berlutut. Beberapa orang yang melewati kami sampai menengok penasaran oleh ekspresi kegirangan mereka.

"Bangun ah... Apaan sih...." kesalku.
"Makasih banyak maaas...." ucap Panji untuk kesekian kalinya, bersyukur pada jawabanku.

"Album kalian belum beres tau, dibikin aja belom"
"Tetep mas, makasih....."
"Iya makanya bangun...."

"Makasih mas..."
"Bangun dong..."
"Mas makasih banget...." lanjut mereka dengan hebohnya.

"Mau lanjut diskusi lagi gak nih?"
"Makasih mas...."
"Yaudah gue tinggal yak" aku bangkit berdiri, mengambil handphoneku yang tergeletak di meja.

"Wah jangan mas jangan"

Mereka buru-buru bangkit dan langsung kembali duduk manis di kursi tadi. Aku menarik nafas panjang dan menatap Panji dan Ibam secara bergantian.

"Ah, jadi gini... Pertama, gue produser, tapi gue bukan record label.. Gue gak bisa modalin kalian dan gak bisa distribusiin musik kalian, yang gue bisa, adalah mandu kalian bikin album....." aku menarik nafas panjang. "Kayak Hantaman, kalo kalian boleh tau, modal kita bikin album itu asalnya dari pribadi semua, dan distribusi musiknya dihandle sama pihak lain, dan itu ada itung itungan bisnisnya.... Tugas gue untuk kalian adalah mastiin album kalian siap buat dicetak.... Dan dicetak atau enggaknya, tergantung sama kesiapan dana, dan karena musik indie... Yah, mau gak mau biaya sendiri atau cari pemodal...." jelasku panjang.

"Anu...." Panji dan Ibam saling menatap.
"Jadi, memang banyak yang musti kita bicarain sebelom proses pembuatan album, dan kita beda kota.... Untung sekarang sosmed gampang ya..."
"Motorku laku piro Nji kalok dijual" bisik Ibam mendadak.
"Koyoke aku juga mesti..."

"Woi! Dengerin dulu"
"Siap mas" mereka mendadak diam dan duduk dalam sikap sempurna.

"Jadi... Biar gue bawa album kalian, dan gue kasih denger ke temen-temen gue yang lain... Dan gue juga kasih tau mereka kalo gue mau jadi produser kalian... Soalnya gue ngerasa banyak hal yang bisa diulik dari kalian, kalian udah punya feel musik yang mateng, cuma butuh dipoles dikit aja, pasti oke banget" lanjutku.
“Jadi piye mas?”

“Jadi jangan sampe kalian jual motor….. Dan gue punya Pe Er nih buat kalian…” senyumku.
“Pe Ernya kapan dikumpulin mas?”
“Terserah, yang penting hasilnya bagus….”

“Kita disuruh ngapain mas?” tanya Panji untuk kesekian kalinya.

“Kalian rekam lagi, lagu pertama sama lagu ketiga, suruh gitaris kalian kalem sedikit kalau solo sama kalau gue bilang, bass nya tolong berani nakal dikit ya…. Dan kalian bikin lagu satu lagi, lagu yang slow, tapi kalo bisa nuansanya sama kayak lagu ketiga dan pertama kalian di demo ini…….” aku menatap mereka, memberhentikan kalimatku sejenak. “Dan, biaya rekamannya, kasih tau ke gue berapa abisnya, ntar gue gantiin….. Tapi jangan korupsi ya”

“Gak akan mas, kita cari yang semurah mungkin rekamannya!” seru Panji penuh semangat.
“Gak musti yang paling murah, cari yang menurut kalian paling oke aja, tapi jangan yang suaranya mendem kayak di demo ini….. Kalo gak sabar dengerinnya bisa males lho…” balasku sambil mengkritik.

“Sing murah….” gumam Ibam.
“Jangan langsung mikir yang murah dong….” selaku.
“Abisnya ndak tau banyak studio bagus mas di sini….” jawab Ibam malu-malu.

“Eh… Hm… Yaudah, tar balik Jakarta, gue kasih kontak studio-studio yang gue tau di Jogja mau?” tanyaku dengan nada agak memaksa. Oke, aku terpaksa membongkar tumpukan kartu nama atau brosur entah apalah di laci meja studioku.
“Wah… Boleh mas… Tapi jadi ndak enak…” Panji tampak menggaruk-garuk kepalanya yang ditutupi oleh massa rambut yang banyak itu.

“Dienak-enakin aja lah, anggap aja modal kenalan sama modal bikin demo yang bener, ntar kirim ke gue hasil demonya, jangan lewat CD, email aja…. Terus nanti gue kritik lagi, tapi sementara, ini CD yang isi rekamannya mendem sama lagu kedua gak nyambung tone nya sama lagu yang lain ini gue kasih denger ke temen-temen Jakarta dulu ya….” balasku panjang.

“Eh… Boleh Mas….” jawab keduanya hampir bersamaan.

“Nah, abis ini, kalian rembukin, kita kontak-kontakan terus ya, gue pikir…. Kalo kalian sih musiknya udah mateng lah, Cuma butuh diapa-apain dikit, tapi gue mesti tau apa yang diapa-apainnya itu….. Caranya entar rekaman yang bener, dan jangan lupa ntar si sound engineer studionya suruh ngobrol ama gue dulu sebelom kalian pada rekaman…” lanjutku.

“SIAP” seru mereka dengan penuh pengharapan.
“Nah, bagus, sekarang, gue mau balik ke atas ya, mau beres-beres, kan mau pulang”
“Oke mas… Tapi, Nanang ama Billy dah beres kuliahnya hari ini….” senyum Ibam sambil memperlihatkan deretan giginya di mukaku.

“Terus kalo dah beres kenapa?” tanyaku dengan seribu kebingungan, apa korelasinya antara kalimat itu dengan situasi hari ini.
“Eh… belum beres sih… Bentar lagi katanya” muka Ibam mendadak bingung.

“Terus?” tanyaku dengan muka menyelidik.
“Katanya sih mau nyusul kesini mas……” lanjut Ibam.
“Buat?”
“Katanya mau ikutan ngobrol”
“Ngobrolin apa?”

“Ngobrolin yang tadi…..” senyumnya dengan ekspresi yang super duper awkward.
“Eh?” bingungku.
“Anu… Mau ikut ngobrolin yang tadi…..”
“Kan udah beres ngobrolnya, mau ngobrolin apa lagi…..” bingungku dengan jidat yang sangat-sangat berkerut.

“Ya, siapa tau mas mau ngobrol langsung sama mereka….” jawab Ibam dengan ekspresi yang super aneh, dan bisa kulihat Panji menatapnya dengan nanar.
“Wis telat su… “ bisiknya
“Yo tak pikir kuwi bocah loro arep nyusul nang kene….”
“Kowe ngomong opo sih…. Ra di konsep..” kesal Panji melihat Ibam yang bicaranya berbelit-belit.

Panji mendadak membuka handphonenya, tampaknya melihat grup whatsapp, atau line, atau entahlah mereka dan kemudian geleng-geleng kepala.

“Rai ketek” kesalnya sambil berbisik ke arah Ibam.
“Opo su…”
“Iki opo maksute?”
“Ya tak kandani, yen arep nyusul, beres kuliah, langsung motoran nang kene….”

“Kowe ngerti ora, kampuse bocah loro iku adoh….”
“Ra ngerti…”
“Kon…”

“Jadi?” tanyaku bingung, berusaha mencerna dan mengartikan kata-kata mereka dalam bahasa Indonesia yang baik dan mendingan.

“Anu mas, jadi si Ibam karena saking senengnya nyuruh Nanang ama Billy kesini, tapi kuliahnya baru beres 10 menit lagi, lagipula jauh mas kampuse dari sini…. Maaf mas…” Panji berusaha menerangkan apa yang baru saja terjadi.

“Oh….” aku menggaruk-garuk kepala, bingung oleh tingkah mereka yang serba salah tingkah dan membingungkan.

“Jadi kayaknya sekarang pamit dulu mas, siapa tau ditunggu ama Mbak nya…..” Panji menunjuk dengan jempolnya ke arah lift.
“Hehehe… Iya lah…. Kalian ati-ati ya pulangnya, sampe ketemu lagi, jangan lupa, kalo mau rekaman lagi kasih tau gue….” aku lantas menguap dan berdiri, lalu bersalaman dengan mereka.

Aku membalikkan badanku dan….

“Maaf mas” bisik Ibam mendadak.
“Ya?” apaan lagi nih.

“Anu, minta tanda tangannya mas….” mendadak Ibam menyodorkan CD Hantaman, album kedua kami, yang rilis dua tahun lalu itu.
“Oh, sip…” aku meraih CD itu dan membukanya, mencari spot tanda tangan yang cocok.

“Anu mas….” Ibam terlihat panik dan merogoh saku celana jeansnya.
“Apaan lagi sih?” bingungku. Mendadak hasrat ingin menjedukkan kepala di tembok muncul.

“Anu, masnya punya spidol atau pulpen gak, saya ndak bawa………” senyum Ibam dengan anehnya.
“Lo pikir gue tukang potokopi jualan pulpen?” kesalku setengah ingin tertawa.

“Nah itu…” Ibam bingung mendadak.
“Minjem wae nang resepsionis su!” kesal Panji yang melihat temannya gelisah kesana kemari tanpa kejelasan yang pasti. Ibam lalu bergerak kalang kabut mencari pulpen di meja resepsionis dan dia tampak bertanya tanpa konsep ke penjaga resepsionis. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa pulpen.

“Ini mas…”
“Sip…” aku meraih pulpen itu, dan merasakan tatapan nanar sok dewasa Panji ke arah Ibam yang tengsinnya setengah mati.

Nah, disini saja, langsung saja kutanda tangani dan……..

“Bentar mas, anu, boleh ditulisin, buat Anissa Retno Wulandari gak mas….” senyumnya dengan ekspresi penuh harap.
“Siapa nih? Pacar?” tawaku.
“Amin mas…” jawabnya penuh semangat.
“Ngarep!!” bentak Panji pelan sambil melotot ke arah Ibam.

Aku menahan tawa sambil menuliskan nama yang disuruh, dan langsung kububuhkan tanda tanganku disana. Ah, selesai juga akhirnya.

“Oke… Makasih banyak mas, sekali lagi kami haturkan terimakasih…. Bahwasanya….” Panji mendadak kembali tampak ingin bersujud di hadapanku.
“Sekali lagi gue liat elo sujud di depan gue, gue gak bakal bikinin album buat elo….” tatapku sinis ke arah Panji.

“Oh siap mas…”
“Nah, inget, kabarin ya….” ucapku menutup percakapan ini.

“SIAP”

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

guitar10.jpg

Jakarta. Pagi buta. Semalam tidurku cukup lelap karena perjalanan dari Jogja ke Jakarta cukup melelahkan, walau kita hanya duduk di dalam pesawat terbang.

Aku terbangun karena bunyi alarm yang tidak familiar terdengar di kamarku. Entah darimana datangnya bunyi itu. Aku melirik kesebelahku dan melihat istriku menggeliat dengan lucunya. Dia lantas membuka matanya dengan malas, sambil menatapku di tengah gelap. Tunggu. Masih gelap? Jam berapa ini?

“Pagi Aya” bisik Kyoko lemah. Aku meraih handphoneku. Setengah lima pagi? Sepertinya bunyi tadi datang dari handphone Kyoko, tapi entah untuk apa dia menyalakan alarm jam setengah lima pagi.

“Pagi amat bangunnya sayang?”
“Jya…. Bangun Aya, untuk ano…” dia lantas terduduk dan tangannya menunjukkan pose orang shalat.
“Ah… iya, setengah lima pagi adalah waktu subuh.

“Aya mau pimpin Kyoko, atau Aya mau tidur lagi?” senyumnya, memberikan pilihan kepadaku. Aku menelan ludah oleh kedua pilihan itu. Dan aku tertawa dalam hati. Seorang istri asal Jepang niat sekali bangun pagi dan memulai hari dengan shalat subuh.
“Bareng deh yuk…” tawaku, melihat antusiasmenya pagi ini, memulai pagi di Jakarta. “Ntar abis solat kita tidur lagi”

“Ah, tidak… Kyoko mau bantu Okasan masak” senyumnya.
“Eh emang mama mulai masak jam berapa?” bingungku.
“Jam Lima, sehabis subuh, Aya…. Kalau Aya tidur lagi sehabis salat, tidak apa, Kyoko bangunkan ketika sarapan sudah siap” jawabnya.

Aku seperti ingin menertawakan diriku sendiri. Mengaku beragama Islam, tapi sudah berapa lama aku bangun siang dan menjalankan shalat subuh? Mengaku anaknya Ibuku, tapi sendirinya tidak tahu jam berapa dia mulai beraktivitas? Dan pagi ini aku terbangun oleh Kyoko, yang auranya tampak lebih cocok menjadi penghuni rumah ini daripada aku. Aku tersenyum sejenak dan baru tersadar. Bahwa selama ini, sejak pertama kali kita tidur bareng sebagai suami istri dan sewaktu di Jogja, aku selalu menemukan ia bangun lebih pagi daripada aku. Mungkin selama ini aku tidak terbangun oleh alarm subuhnya Kyoko.

Haha, jadi malu sendiri aku.

Kyoko bangkit dari tempat tidur dan berdiri dengan lucunya sambil meregangkan badan. Aku menyusulnya, dan menghampirinya. Aku memeluknya dari belakang, melingkari perutnya dan menyandarkan kepalaku di bahunya.

“Aku ngerasa nyaman kamu ada disini” bisikku.

Kyoko hanya tersenyum dan menepuk pipiku dengan tangannya. Dia menengok dan menatap mataku dalam-dalam. Aku lantas mencium bibirnya dengan lembut, dan dalam hati berterimakasih karena diberi kesempatan yang luar biasa untuk selalu bersamanya, mulai detik ini.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
gw ketawa terus ngebayangin scene anak2 jogja itu hadeuhhh...
pas banget penggambarannya kayak temen2 gw di jogja sono... sopan tapi ngeselin wkwkwkw..
 
aduh hikayat arya dan teman teman ini selalu menyita perhatian master

terima kasih banyak sudah mau nge-revive seri kedua ini

salam sayang dari penggemar setia petapa kontol
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd