Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

MDT SEASON 2 – PART 7

------------------------------

"Aku minggu depan ke Jogja ya?” aku memberitahu Kyoko soal rencana kepergianku untuk bertemu Speed Demon.
“Hai Aya” jawabnya pelan sambil makan. Dia tampak fokus dengan makanannya, dan seperti sedang berpikir.

“Kamu mau ikut?” tanyaku.
“Tidak. Nanti tiketnya bagaimana? Kyoko tidak mau Aya beli dua tiket, harus hemat, Aya”

Iya. Akhir-akhir ini kondisi keuangan kami sedang agak babak belur, banyak terpakai. Selain untuk set-up recording company, kami juga baru saja membeli mobil dan membayarkan DPnya. Jadi kesimpulannya, harus agak berhemat untuk saat ini. Beruntung Hantaman ada beberapa gig kedepan yang bisa menggemukkan tabunganku lagi. Di sisi lain, pekerjaan di studio juga sedikit demi sedikit mulai banyak lagi, walau pekerjaannya hanya seputar mixing dan mastering digital. Sejauh ini, musisi atau band terakhir yang rekaman disini adalah Pierre T. Bisa dimaklumi, karena di era digital sekarang ini, merekam dan membuat musik jauh lebih mudah. Yang masih sulit adalah mixing dan mastering.

Dan untuk record company ini, kami baru saja akan menjalin kontrak dengan Speed Demon. Jelas, kami sudah mengalokasikan dana untuk modal, seperti biaya cetak CD, biaya promosi dan lain-lainnya. Kami juga sudah menjalin komunikasi dengan beberapa sponsor, seperti produk rokok, minuman keras, penyedia jasa seluler dan clothing company yang bisa nebeng ber-iklan di launching album maupun tur Speed Demon.

Selain itu semua, ada PR yang masih belum kuselesaikan. Yakni album soloku.

Ya, sudah jelas, aku akan bernaung di bawah labelku sendiri. Sejauh ini memang sudah mulai ada chemistry antara aku dan teman-teman yang bergabung di dalam working group ku, quartetku. Arka Nadiem di keyboard dan electric piano, lalu Jacob Manuhutu di upright bass, dan si anak ajaib, Toni. Lucunya sampai sekarang aku belum tahu nama panjangnya. Si tukang telat yang bermain dengan luar biasa itu.

Sekilas seperti tak ada problem karena chemistrynya sudah mulai ada. Tapi kami sedang sulit mencari gig dan ide untuk membuat lagu tidak keluar dari diriku.

Tentu sulit mencari gig, karena semua tempat sudah punya jadwal yang pasti sampai bulan puasa nanti. Hampir semua gig akan cuti pada saat bulan Ramadhan. Walaupun ada acara-acara yang bisa aman bermain di bulan puasa seperti Jazz Ramadhan atau sebagainya, slotnya sudah terisi semua dan susah untuk memasukkan kami ke acara-acara yang ada. Aku masih mencari kesempatan untuk bermain di luar kota, tapi kalau untuk luar kota, aku harus menunggu informasi-informasi yang simpang siur, terutama kalau gignya jauh.

“Sayang kamu gak ikut ntar ke Jogja, lumayan padahal ya jalan jalan….”
“…”
“Sayang?”

“Ah… Ano… Iya, betul… sudah makannya Aya? Kyoko bereskan….”

Kyoko tampak terlihat spacing out, alias melamun. Entah kenapa. Mungkin ada yang ia pikirkan, dan akhir-akhir ini sering terlihat seperti itu. Aku beberapa kali bertanya kepadanya, tapi dia lantas dengan cepat merubah ekspresinya menjadi ceria dan memakai alasan-alasan seperti capek atau membayangkan kodama di Mitaka sana. Alasan yang sebenarnya masuk akal, tapi entah kenapa agak terkesan menghindar.

Tapi aku tidak ingin menambah gangguan dengan terus bertanya. Aku mencoba berpikir positif saja, mungkin dia sedang kelelahan selama proses adaptasinya disini. Dari gampang kemana-mana, jadi harus memakai kendaraan pribadi kemana-mana kalau mau nyaman. Ditambah lagi Kyoko tidak bisa menyetir mobil maupun motor, jadi mau tak mau aku harus mengantarnya kalau ada keperluan di luar seperti belanja dan lain sebagainya.

Tapi dia pasti akan terbiasa. Dia sudah berjanji untuk membiasakan diri dan dia pasti bisa beradaptasi karena bisa dibilang, willpowernya untuk tinggal disini sangat besar. Terlihat dari jadwal hariannya yang benar-benar tight. Dan kalau ada waktu luang di sela-sela mengurusku dan mengurus rumah, dia pasti menyempatkan diri menonton acara berita dan membaca novel berbahasa indonesia untuk terus mengasah Bahasa Indonesianya.

Dulu sempat aku memberi ide, agar dia berkomunitas dengan ekspatriat-ekspatriat Jepang yang tinggal di Indonesia, tapi dia menolak. Dia bilang, dia ingin agar cepat berasimilasi menjadi orang Indonesia, dengan tidak banyak bergaul dengan orang Jepang lainnya. Terutama pada penggunaan bahasa sehari-hari, gesture serta kebiasaan orang Indonesia pada umumnya yang selalu ia usahakan untuk pelajari dan tiru. Sampai-sampai aku jadi takut Kyoko jadi tidak disiplin lagi seperti orang Jepang kebanyakan.

Untung, disiplinnya masih sangat terasa. Dan dia mengatasi kurangnya berjalan kaki dengan selalu berolahraga pagi.

“Aya nanti selain latihan, apa ada kegiatan lain?” tanyanya sambil mencuci piring, setelah kami beres makan siang.
“Cuma itu…. Kerjaan mastering sama mixing udah beres sih….. Bakal ada kerjaan lainnya, dari Rendy… Compose buat iklan viral di youtube…” jawabku.
“Rendy… Ano..”
“Rendy, temen kuliahku, yang pacarnya Anggia namanya….”

“Ah hai, Kyoko ingat kalau Anggia, yang totemo kirei itu kan?” tanyanya memastikan.
“Iyak. Tapi kalo buatku cantikan kamu”
“Haha” tawanya sambil menggelengkan kepalanya.

“Kopi dari Mitaka dah habis ya?” aku mengalihkan pembicaraan soal perempuan agar tidak terjadi jawaban dan pertanyaan yang tidak diinginkan.
“Sudah Aya, tapi akan dikirimkan lagi oleh Nii-san, sepertinya akhir bulan…”
“Oh bagus deh… Kangen aku sama kopi itu”

“Ditunggu ya Aya”
“Iya”

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Telat lagi pasti ya tu bocah?” tanyaku saat menunggu luntang-lantung di teras studioku.
“Dibiasain ya, untung banget lo majuin jadwal boong-boongan latihannya jadi jam lima….” jawab Arka Nadiem.

Iya, untuk mengantisipasi Toni yang suka telat tidak karuan, aku dan teman-teman di quartet lainnya sengaja membohongi dia. Jadwal latihan yang tadinya setiap hari selasa seminggu sekali dan dimulai pukul 6 sore, kami pura-pura majukan jadi jam 5 mulai hari ini. Dan sekarang sudah pukul 6 lebih 5 menit. Arka Nadiem dan Jacob memang sengaja datang beberapa menit lebih awal, sekitar 10 menit yang lalu. Berarti di hari pertama kami “majukan” jadwal latihan kami, Toni sudah telat satu jam lebih.

“Pengen gue marahin sih, tapi kalo pas liat dia main drum jadinya lupa kalo dia mustinya dimarahin”
“Lucunya gak ada yang pernah bisa ramah sama dia karena gesturenya dia selalu sopan dan main drumnya mengerikan sih…. Dan jujur aja, dia pernah telat manggung lho, dan temen-temen yang manggung sama dia sejak saat itu jadinya selalu boong sama dia soal jadwal main. Untung anaknya gak rajin ngecekin jam main….” tawa Arka.

“Yah….” Aku mengusap-ngusap mukaku sendiri tanda kecewa.

“Minggu depan jadi ke Jogja BTW?” tanya Arka.
“Jadi, gue mau sign contract ama Speed Demon…”
“Pulang pergi?”
“Iya” jawabku singkat.

“Nice, gue dapet tawaran manggung sih buat kita, tapi masih belom pasti, gue lagi uber….” lanjut Arka.
“Wah asik dong”
“Pas lagi di hari itu si Toni ada kuliah, gue culik aja abis kuliah biar dia ga kemana-mana terus telat lagi….”
“Please do that Dra, gue agak hopeless nih hari ini, udah sengaja kita majuin malah belom dateng”

“Tuh ada suara motor”

Ya, aku mendengar suara motor mendekat dan parkir di halaman rumahku. Tak berapa lama, sosok pemuda berkacamata yang dandanannya selalu rapih itu masuk dan berjalan dengan aura penuh percaya diri ke teras studio.

“Lelet amat?” tegur Arka.
“Maaf Mas, tadi motor saya kenapa-napa…” senyumnya dengan manis. Atau sok manis. Entahlah.
“Kok gak ngasih tau?”

“Ya maklum lah, langsung nyari bengkel, terus langsung sibuk ngeliatin, untung ga sampe lama”
“Segini mah udah lama atuh” tegurku.
“Nah ayo kalo gitu Mas, kita langsung latihan aja” dan Toni pun ngeloyor masuk ke dalam studio.

“Tapi ada satu hal di anak itu yang bikin kita jadi susah marah ama dia” bisikku ke Arka, menahannya bangkit dari duduk dan menyusul masuk ke dalam studio.
“Emang…” senyumnya, paham akan maksudku.
“Tapi apa ya?” bingungku sambil menatap Arka dengan penuh tanya.

“Aura bersahabat dan innocentnya kali, menurut gue sih gitu Ya”
“Hmm….”
“Yaudah, latian deh, udah dateng orangnya, besok-besok kita jadiin jam empat kali ya” bisik Arka, sementara kami berdua bersiap untuk masuk ke dalam studio.

“Ide bagus…” tawaku dan kamipun siap memulai latihan.

--------------------------------------------

Latihan sudah selesai, dan kami pun sudah makan malam. Seperti biasa, masakan Kyoko selalu membius. Stefan untung tidak datang malam ini, jadi porsi makanan bisa berlebih. Dan untung juga ibuku pulang ketika makan malam. Jadi dia bisa ikut makan malam bersama kami. Lucu rasanya melihat ibuku dan Kyoko seperti rebutan peran untuk mengurus dapur. Dua-duanya sama-sama cekatan dan terlihat bahwa mereka bisa kompak dalam waktu yang cepat.

Sekarang aku beristirahat di teras studio, memperhatikan jalan yang tembus ke garasi dan halaman.

Arka sudah selesai membereskan peralatannya, dan Jacob malah sudah pulang sebelum makan malam. Mendadak ada sosok yang familiar, ngeloyor dari garasi.

“Baru pulang? Kok gak kedengeran suara mobil masuk?” tanyaku bingung melihat Ai yang bermuka kusut.
“Hah….. Ga bawa mobil hari ini mas, aku abisnya hari ini kan ke Bogor…..”
“Oh, berarti aku yang gak perhatian ya hahaha….”
“Iya lah, mobilku nangkring di garasi gitu dengan manisnya” jawabnya sambil mendekat dan duduk di teras, di sebelahku.

“Capek abis dari luar kota?” aku melihat ekspresi adikku yang tampak kelelahan.
“Banget, gak kebayang kayak kalian gitu kalo tur keliling-keliling, bisa mati aku”
“Nikah dulu sebelom mati” candaku ke adikku sendiri.

“Cubit nih” kesalnya sambil berusaha mencubit tanganku. Aku menghindar dan usahanya tidak berhasil.

“Eh halo” aku dikagetkan oleh suara Toni dari pintu studio.
“Hai, abis latihan ya” sapa Ai ke Toni. Toni tersenyum mengiyakan.

“Iya nih, baru pulang kantor?” mendadak Toni tiba-tiba duduk di kursi, padahal dari gesturenya, tadi dia terlihat seperti sudah siap untuk pulang.
“Abis dari luar kota sih tepatnya”
“Oh dari mana?
“Bogor… Hehehe” jawab Ai agak canggung karena ini memang kali kedua ia bertemu dengan Toni.

“Pulang pergi apa nginep?” tanyanya dengan gesture yang super duper ramah.
“Pulang pergi sih, makanya capek, tadi habis ngobrol juga sama Mas Arya, kok bisa dia tur keliling kesana kemari, tapi gak secapek itu…..”
“Kalo band kayak Hantaman sih emang ditempa sama touring banget…..” komentar Toni.

“Iya, kan saya pernah ikut yang pas mereka ke Fuji Rock Festival, gila, ngikutinnya gak tahan banget, jadwal ketat, makan diatur kapan, terus belum sama acara-acara abis manggung dan lain-lainnya…. Untung Mas Arya gak minum dan gak ngerokok, Saya sih bingung liat Stefan, Anin gitu yang habis manggung, capek, malah bukannya istirahat, malah minum-minum…………”
“Kalo itu sih memang gila sih mereka, tapi banyak musisi yang lebih parah, kalo kayak Mas Stefan masih agak mending hahaha”

“Mending dari mana?” bingung Ai.
“Loh, banyak lho, abis manggung, selain minum-minum juga main cewek, parah sih” jelas Toni.

“Berarti elo gak kenal sama Stefan” komentar Ai dengan muka sinis.
“Lho, emang Mas Stefan kenapa?”
“Stefan kan kayak gitu, penjahat kelamin juga”
“Wow… Baru tau…” kaget Toni.

“Hebring juga elo ga tau soal Stefan Ton” komentarku.
“Ya kan saya selama ini Cuma liat dari jauh aja, gak pernah kenal orangnya… Hehe” jawabnya dengan ekspresi yang tenang.

“Makanya, dia juga parah banget, kacau sih…. Saya males ngebayangin dia gimana-gimana aja kalo abis manggung”
“Kayak waktu Rissa?” bisikku.
“Iya”

“Eh Rissa kenapa?” tanya Toni dengan ekspresi bingung.

“Eh…” Aku dan Ai mendadak berpandang-pandangan. Entah baik atau tidak menceritakan kejadian Stefan dan Rissa waktu di Bali kepada orang yang bisa dibilang baru mengenal Stefan. Selama ini kami memang tidak pernah membicarakannya. Dan kalau ada yang saling tidur-meniduri di antara orang-orang ini, selama bukan selingkuhan, maka kami seperti berkomitmen untuk tidak membahasnya. Asal tahu sama tahu saja. Semua orang butuh seks dengan cara mereka sendiri, selama tidak melanggar suatu hubungan yang resmi dan tidak resmi.

“Ah, nevermind” jawab Ai dengan menghela nafas panjang.
“Tadinya saya pikir, Mbak itu pacarnya Mas Stefan lho” Toni melanjutkan bahasan ini.

“Sial”
“Emang mereka mah kayak orang pacaran gak pake status” jawabku mewakili mereka berdua.

“Ogah” jawab Ai pelan sambil mencoba menendang kakiku. Dan lagi-lagi luput.

“Soalnya Mbak sama Mas Stefan keliatan super akrab gitu” lanjut Toni.
“Saya sama kakak saya juga akrab”
“Beda keliatannya….”

“Lagian risih ah dipanggil Mbak, kesannya saya udah tua banget” senyum Ai ke Toni.
“Habisnya mau gimanapun tetep aja saya pasti lebih muda, hehe….”

“Dia kan murid di tempat Arka ngajar”
“Oh, masih belasan dong hahaha…..”
“Enggak mbak, taun ini 20” senyum Toni.
“Tapi keliatannya sih kayak udah umur pertengahan 20 ya?” balas Ai.
“Ya, banyak orang bilang kayak gitu, kayaknya saya emang mukanya boros… Tapi walaupun saya lebih muda, kayaknya kita gak jauh mbak, Fresh Grad kan pasti?” tanya Toni.

“Fresh Grad dari hongkong hahaha…..”
“Gak nanya umurnya sekalian Ton?” godaku.

“Gak sopan lah nanya umur ke orang” balas Toni.
“Hahahah tapi makasih lho disangkain Fresh Graduate” senyum Ai.

“Beneran, kalo emang bukan, berarti awet muda banget… Sekilas sih kayak anak kuliahan” senyum Toni, dengan aura dewasa yang melebihi umurnya.
“Nah kalo itu salah banget, anak kuliahan mana yang nyinyirnya kayak ibu-ibu” candaku.

“Paling gak bisa ya denger aku dipuji emang Mas Arya nih” kesal Ai.
“BTW, saya gak muji lho, itu kenyataan” potong Toni.
“Aduh hahaha…” tawa Ai dengan muka hampir tersipu malu.

Wah kena nih. Pikirku. Ya, ini kelebihan Toni yang memang benar-benar terlihat. Dia tidak bisa membuat orang sebal dengannya, walaupun ada banyak kekurangan dirinya. Caranya menghandle situasi benar-benar terlihat dewasa. Jauh sekali dengan umurnya yang baru menginjak kepala dua. Cara dia memperlakukan perempuan yang baru ia kenal pun berbeda jauh dengan Stefan. Tentunya dengan penuh kesopanan, dengan penuh penghormatan dan lain-lainnya yang tidak berkesan genit.

Hebat bukan, berkali-kali telat ketika latihan, tapi tetap saja orang susah marah padanya. Senyumnya dan ketenangannya walaupun dia susah merubah kebiasaan buruknya, tidak pernah membuat orang jadi benci padanya.

“Pasti gak cuman saya kan yang bilang kalo mbak kayak anak kuliahan?” tanya Toni lagi, dengan aura penuh percaya diri. Tapi dipikir-pikir kampret juga ni orang, percaya dirinya bisa dibilang levelnya setengah mampus. Berani dia bicara hal-hal seperti ini ke Ai, di pertemuan keduanya.

“Tapi jangan panggil saya mbak lagi kalo gitu” Ai mendadak melunak.
“Oke kak” canda Toni.
“Jangan panggil pake sebutan kayak gitu hahaha”

“Tapi tetep itu gak ngerubah fakta kalo anak muda harus ngehormatin orang yang lebih dewasa” lanjut Toni. Kampret. Sialan juga anak ini. Aku menahan senyumku, berharap Arka keluar dari studio, sehingga aku bisa menyingkir dari Ai dan Toni.

“Yah, seenggaknya saya gak setua Mas Arya” tawa Ai.
“31 kamu sebut tua…”
“Dari perspektif orang umur 28 sih tua mas” canda Ai.

“28? tapi masih kayak mahasiswa? that’s something” komentar Toni dengan muka kaget.
“Something apaan hahahahaha” Wah gawat, Ai kena. Sudah lama tidak melihat dirinya hanyut dalam percakapan seperti ini.

“Arya bantuin aku plis” mendadak suara Arka mengalihkan perhatianku.
“Ngangkut rhodes?” tanyaku.
“iya…” jawabnya sambil meregangkan badannya.

“Ayo”

Kami berdua lantas masuk ke dalam studio, mengangtuk flightcase yang berat itu bersama-sama, lalu berjalan beriringan dengan tempo pelan ke arah halaman rumahku, untuk memasukkan peralatan tempur Arka Nadiem ke mobilnya.

“Repot emang kalo orang main kibor atau piano” keluh Arka.
“Makanya kalo keyboard lo jangan pake Rhodes, pake Logitech aja”
“Gak lucu” balas Arka.

“Tapi ada yang lucu sih…. Si Toni tuh, ngobrol sama Adek gue gak pake ba bi bu langsung akrab, gue jadi mendadak inget Anin yang kalo ketemu cewek langsung gelagapan kayak ikan sakaratul maut” komentarku sambil menatap ke arah Teras. Sulit terlihat dari Halaman, tapi aku bisa merasakan mereka berdua mengobrol dengan asyiknya.

“Itu kelebihan anak itu… Mulutnya manis, tapi gak bullshit kayak temen kita yang satu itu” komentar Arka.
“Temen kita si Stefan itu ya”
“Iya”

“Kalau yang itu mah ular, berbisa dan penuh trik” tawaku.
“Kalau Toni orangnya emang baik dan kerasa dia gak punya maksud apa-apa, kalo dia suka dan ngerasa perlu kenal sama orang, dia langsung aja, tapi dengan cara yang sopan dan enak ya, enggak lantas jadi sok akrab gitu…..” lanjut Arka.

“Yah, gue jadi mendadak inget nyokap gue sih” sambungku.
“Kenapa mendadak inget nyokap elo?”

“Iya, waktu abis gue kawin, dia ngomong sama gue… kalo dia juga pengen cepet-cepet liat adek gue punya pacar beneran dan kawin juga….”
“Wajar sih, apalagi adek lo juga umurnya bentar lagi 30, buat orang tua, walau ini jaman modern, mereka pasti pengen anak gadisnya cepet-cepet kawin” Arka mengiyakan pendapat ibuku.

“Dan jujur, seseneng-senengnya gue liat interaksi Stefan sama Ai yang selalu hampir-hampir aja, tapi gue emang khawatir sama gaya hidupnya Stefan dan gue lebih milih kalo adek gue deket sama cowok yang….. Seenggaknya punya orientasi nikah dan bisa ngebimbing adek gue”

“Lo ngomong kejauhan Ya, kalo cuman gara-gara liat si Toni tadi mah….” Arka menggaruh kepalanya dan mengunci mobilnya.
“Seenggaknya gue juga pengen adek gue settle dan hidup berkeluarga” senyumku.
“Coba gue jomblo ya” canda Arka.

“Gue kasih tau pacar lo aja ya, biar lo disate karena ngomong begitu” senyumku.

“Rela disate kalo buat adek lo mah, makanya buruan deh dia kawin hahahaha” tawa Arka, sambil berjalan ke dalam garasi untuk menuju studio. Masih ada beberapa barang lagi yang harus diangkut ke mobil. Tapi benar, sudah saatnya sepertinya untuk Ai memiliki hubungan yang serius dan menjurus ke pernikahan. Karena aku benar-benar menikmati pernikahan ini dan aku berharap adikku menemukan kebahagiaan yang sama.

Dan mudah-mudahan kebahagiaan baginya datang tidak lama lagi.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
MDT SEASON 2 – PART 8

------------------------------

17194610.jpg

Fajar baru saja menyingsing saat aku memasuki badan pesawat. Pramugari-pramugari cantik dalam balutan pakaian berwarna merah yang cenderung seksi itu menyambut kami saat kami masuk. Setelah melempar senyum, aku lantas berjalan menuju kursi yang sudah kupesan.

Hari ini aku berangkat ke Jogjakarta, dengan menggunakan pesawat terbang.

Kantuk masih merayapi mataku, karena aku tadi pagi bangun dengan terpaksa. Untung ada istriku, yang sudah mempersiapkan hal-hal yang kuperlukan malam sebelumnya. Tadinya aku akan menginap semalam di jogja, tapi karena banyak hal, aku mengurungkan niatku untuk bermalam. Pertama, karena aku ingin agar pengeluaran recording company yang sedang kurintis bersama Stefan dan Anin ini tidak boros di awal. Kedua, agenda hari ini cuma tanda tangan kontrak dan penentuan waktu rekaman yang dirasa cocok oleh kami semua. Dan yang ketiga, kalau bisa, aku tidak ingin tidur sendiri.

Setelah sekian lama tidur berdua dengan Kyoko, walau masih dalam hitungan bulan, tapi aku sepertinya agak tidak nyaman untuk tidur sendiri. Membayangkan tidur di hotel yang dingin, dengan hembusan AC yang kencang tanpa istriku di samping? Rasanya tidak nyaman. Justru kalau membayangkan tidur bersama Kyoko, rasanya nyaman dan tak ingin bangun-bangun.

Tidak cuma tiga itu alasannya sebenarnya. Besok, malamnya aku harus manggung di Kemang. Dan kali ini atas nama Arya Achmad Quartet. Jujur, ini pertama kalinya aku menaiki panggung sebagai frontman. Aku tidak pernah ada di posisi ini sebelumnya. Jadi, walaupun aku sudah ratusan bahkan ribuan kali menjajah panggung baik di dalam dan luar negeri, aku tidak pernah menjadi leader sebuah working group.

Apalagi untuk working group yang menjadikan namaku sebagai pengenalnya. Membawa nama Arya Achmad. Dan tanpa disadari, poster online yang disebar di facebook, instagram dan twit**ter semuanya menyambut dengan gegap gempita. Dan memang aku baru paham, bahwa banyak penggemar Hantaman yang tidak tahu bahwa aku basicnya adalah gitaris Jazz. Entah apa yang ada di pikiran mereka nanti kalau mereka menontonku di panggung, membawakan sebuah jenis musik yang asing untuk mereka.

Ya, inilah mungkin resikonya selama ini bermain aman di dunia jazz sebagai pengiring.

Aku menghela nafas dan menahan tarikan pesawat ketika ia sudah mulai lepas landas, terbang ke udara. Aku duduk tegak, menahan kaku yang biasa kita rasakan jika kita menaiki maskapai dengan penuh penghematan. Tapi tak kusangka awal mulanya begini. Tak kusangka Stefan dan Anin menawarkan bantuan mereka dari segi modal, tenaga dan pikiran untuk membangun record label ini bersama-sama. Ya, mungkin mereka ingin kami menjadi lebih dari sekedar band yang apa-apa mengurusi dirinya sendiri. Kami juga ingin bisa mengurus orang lain, dan melebarkan sayap kami, mengembangkan diri kami dan menambah isi tabungan kami, walau sampai saat ini, penghasilan record label kami masih bisa dibilang minus.

Dan sekarang mari menutup mata sejenak, agar istirahat dirasa cukup. Dan sebaiknya memang begitu, hari-hari kedepan pasti lebih berat, terutama dengan kesibukan baru mengurus sebuah band yang tampaknya masih butuh banyak bimbingan dari kami.

--------------------------------------------

14561710.jpg

“Cuma sehari aja mas di Jogja?” tanya Billy dan Nanang yang baru saja datang, dan kami berdua masih menunggu awak Speed Demon lainnya datang.
“Bentar, sebelom gue jawab, kalian berdua bolos kuliah nih jadi sekarang?” tanyaku balik.
“Iya dong mas” senyum mereka tampak lebar, seperti anak kecil sedang melihat etalase toko mainan.

“Haha, ya… Bagus lah, dulu gue juga sering bolos kuliah ngeband” senyumku.

Aku jadi mengenang masa-masa kuliahku dulu. Aku dan Anin, terutama, jadi sering bolos kuliah karena urusan musik, apalagi ketika Hantaman sudah semakin serius dan banyak jadwal manggung di dalam dan luar kota. Tak heran aku dan Anin jadi agak terkenal di hadapan para dosen. Ada yang mendukung, terutama dosen muda, ada juga yang merasa kami adalah contoh yang buruk untuk mahasiswa lainnya dan adik-adik kelas kami.

Untung saja masa-masa itu sudah lewat. Aku hampir tidak jadi meneruskan kuliah karena merasa musik jauh lebih menjanjikan daripada kuliah Desain Komunikasi Visual yang ternyata aku juga kurang tertarik mendalaminya. Dan untung saja lagi, ada Om Jaya yang malah rajin memarahiku tiap les gitar. Dia sampai memeriksa jadwal kuliahku, dan memastikan kalau tidak ada jadwal les yang bentrok dengan jadwal kuliah.

“Kamu harus minimal lulus S1, kalo ntar kamu tangannya patah terus gak bisa main gitar lagi, mau makan apa kamu?” begitu dulu nasihat Om Jaya yang selalu kuingat.

“Yang laen lagi di jalan mas, sabar dulu ya, maaf” sela Nanang di tengah-tengah siang yang cukup panas ini.
“Gapapa santai kok… Lagian gue baru balk ntar malem jam tujuh”
“Pusing gak mas naik turun pesawat gitu?” tanya Billy mendadak.

“Ya ndak pusing lah, emangnya kamu, kampungan belom pernah naek pesawat” sungut Nanang.
“Aku ndak pernah numpak pesawat su”
“Nanti rekaman ke Jakarta kita naek pesawat aja Bil”

“Kalo dapet murah gapapa naek pesawat, tapi kalo kalian pengen hemat ya naek kereta aja, pokoknya ntar kita kasih uang jalan….” jelasku kepada mereka.

“Jadi ntar naek pesawat aja”
“Opo numpak-numpak pesawat?” tegur Panji yang baru datang bersama Ibam.

“Eh mas…” Ibam dan Panji lantas menyalamiku sambil menunduk, persis anak sma yang telat, minta maaf kepada kepala sekolah yang menunggui mereka di depan gerbang.
“Duduk-duduk…. Mau minum apa? Udah makan? Makan dulu…” aku menawari mereka untuk makan dan minum, karena memang kami semua janjian bertemu di sebuah rumah makan.

“Anu… Boleh mas” senyum Ibam dengan gembiranya, sambil melihat dua botol minuman dingin yang sudah ada di depan Nanang dan Billy.

Aku mengangkat tangan memanggil waiter, untuk datang dan mencatat pesanan Panji dan Ibam yang baru datang. Muka mereka terlihat was-was. Lebih ke was-was karena mereka tidak enak bakal memesan sesuatu yang mereka tidak bayar sendiri. Ekspresi muka mereka terlihat begitu polos sambil mata mereka menjelajah ke daftar menu.

“Anu, saya teh botol aja Mas” bisik Panji.
“Saya Es Kelapa Muda, kalo boleh sama ini….”
“Woi” Panji mendadak menjitak Ibam. “Jangan ngelunjak su” bisiknya.

“Oh iya, es teh manis aja” senyum Ibam dengan gugupnya ke arah waiter.
“Eh kalo mau kelapa muda sama cemilan boleh aja lho”

Dengan mendadak mereka berempat saling lihat-lihatan dan entah kenapa seperti ada beban berat yang terangkat dari mata mereka.

“Jadi kalo gitu mas………..”

--------------------------------------------

“Serius udah dibaca yang bener, coba deh baca lagi… Pelan-pelan” tegurku disaat mereka sepertinya sudah puas dengan hanya membaca kontrak sekali saja.

“Anu, ini kan udah dibaca berempat mas, jadi udah dibaca empat kali” sahut Billy menjawabku.
“Asal kowe…. Ayok baca lagi” sentak Panji yang tampaknya terlihat jadi figur pemimpin untuk mereka.

Aku tersenyum dan tertawa saja tanpa suara, sambil melihat tumpukan gelas-gelas besar di depan mereka, yang isinya beraneka rupa jus dan es apalah entahlah, dan dua piring yang tadi isinya penuh dengan tempe mendoan dan cemilan lainnya yang mereka pesan tanpa ragu, sesaat setelah aku mengatakan bahwa mereka boleh memesan tanpa malu-malu. Dasar anak muda.

Rasanya lucu melihat mereka, di satu sisi mereka berusaha sekali untuk mengerem perilaku mereka di depan orang yang lebih tua dan mereka hormati, namun ketika ada kesempatan untuk berbuat yang mereka inginkan, mereka langsung pol-polan melakukannya. Bukti ya ya tumpukan empat gelas besar yang tadinya berisi es kelapa muda, dawet dan berbagai macam lainnya yang aku pun malas mengingatnya. Dalam hati aku bersyukur harga makanan dan minuman di Jogjakarta tidak semahal di Jakarta. Coba saja mereka di kemang, sudah habis berapa ini, tawaku dalam hati.

“So…. Biaya hidup di Jakarta nanti kalian catet tiap hari pas kalian rekaman ya”
“Siap mas” jawab Billy tanpa melihat ke mukaku.

Jadwal rekaman sudah ditentukan, yaitu ketika libur kuliah, yang tahun ini kebetulan bentrok dengan bulan puasa. Sebulan, kurang lebih waktu itu yang disiapkan untuk mereka dalam proses rekaman. Dari bulan ini sampai bulan puasa nanti, masih ada sekitar 3 bulanan yang bisa mereka gunakan untuk mengkomposisi lagu. Kata mereka, mereka sudah banyak stok lagu, yang sebagian sudah direkam seadanya dengan laptop, ataupun handphone. Mereka merekamnya di kamar, hanya dengan menggunakan gitar akustik seadanya.

Which is good.

Aku meminta mereka untuk mengirimkan semua file lagu ciptaan mereka yang ada, dan aku akan mencoba membuat komposisinya di komputer. Nanti dari sana, mereka tahu akan seperti apa arahan musik mereka di kepalaku. Sudah jelas mereka kalau live, sangat terpengaruh oleh band-band metal inggris jaman konon. Sebut sajalah Iron Maiden, Judas Priest, Black Sabbath ataupun Motorhead. Tapi untuk komposisi masih acak acakan, dari tiga lagu itu. Untuk sementara aku menyuruh mereka untuk lebih banyak mendengarkan band-band yang tadi disebutkan daripada lagu lain. Tapi kalau dalam prakteknya sebaliknya, tak apa, kita bisa menggunakan pengaruh musik yang tanpa sadar mereka dengarkan untuk memperkaya musik mereka.

“Ntar kami nginep di rumah saudara saya mas di Jakarta” senyum Panji sambil mengulang membaca draft kontrak itu. “Nanti makan dan lain-lainnya kami hematin, gak akan ngebebanin mas dan label”
“Oke” jawabku pelan sambil memperhatikan mereka.

“Kalau masalah alat musik, nanti gimana ya mas…. Gitar saya kan gitu doang” tanya Nanang.
“Tenang aja, gitar lo gak jelek kok, dan bisa dimaksimalin lagi. Intinya jangan ngayal pake alat-alat yang kalian gak familiar” senyumku.

“Ooo….” Nanang mengangguk dengan muka agak kecewa. Mungkin dia membayangkan kami akan meminjaminya gitar-gitar yang mahal dan top. Tapi tidak, rekamanlah dengan alat musik yang sudah menjadi bagian dari tubuhmu. Dengan begitu rasanya pasti lebih natural dan lancar.

“Terus Mas, karena puasa, paling ntar pas rekaman kita balik dulu ke rumah saudara saya ya pas buka” senyum Panji.
“Emang rumah saudaranya dimana?”
“Pulo gadung mas” senyum Panji dengan polosnya.

“Aa…..” aku tercekat mendadak, membayangkan perjalanan Pulo Gadung – Radio Dalam bolak balik.
“Kenapa mas?”

“Kalian tau gak jarak Pulo Gadung ke Radio Dalam itu jauh?” tanyaku.
“Oh kalo naek kendaraan umum ya gak kerasa mas” senyum Panji.
“Bukan gitu…. Kalian ada yang pernah ke Jakarta gak?”

“Kita semua udah pernah mas”
“Kapan?”
“Kalok gak salah pas masih TK dulu, ke Dufan” jawab Billy.
“Sama saya juga, kan saya se TK ama Billy” senyum Nanang.

“Kalo saya waktu masih bayi”

Aku mengangkat tanganku, untuk menghentikan pembicaraan mereka.

“Coba dengerin dulu” aku lantas menghela nafas. “Lo jalan pagi dari Pulo Gadung ke Radio Dalam tiap hari aja kalo gak nyubuh, gila lho, belom macetnya, dan kalian itu gak apal sama transportasi umum Jakarta….. Terus… Macetnya… Mendingan gue disuruh terbang ke bulan pake sepeda daripada bolak balik Radio Dalam ke Pulo Gadung pas jam buka puasa….”

“Oh gitu ya” mereka berempat tampak celingukan, tampaknya kecewa karena ide “brilian” mereka menguap.
“Istri saya rajin masak, nanti saya suruh masakin aja, kalo enggak, gampang, di Radio Dalam banyak makanan…. Oke?”

“Oke mas” ucap semuanya secara hampir bersamaan dengan senangnya.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

“Jadi, selamat datang di Matahari Dari Timur” senyumku kepada mereka tadi, disaat mereka berempat menandatangani kontrak. Tidak ada lagi yang perlu di revisi dari draftnya. Speed Demon menjadi kelompok musik pertama yang dikontrak Matahari Dari Timur. Walau label ini sudah mulai sedikit menghasilkan dari hasil penjualan dan live show Hantaman, tapi tetap saja, secara tertulis, Speed Demon adalah band pertama yang diasuh oleh label kami.

Masih beberapa bulan lagi untuk proses rekaman. Tapi road map mereka sudah jauh-jauh hari dirancang oleh aku, Stefan dan Anin.

Dari mulai rekaman – promo pra launching – launching – promo, semuanya sudah dalam kepala kami. Kami sudah mendapatkan sponsor untuk acara launching yang rencananya akan diadakan di Jogja, walaupun tempatnya belum pasti. Dan beberapa pihak eksekutif radio yang kami rasa cocok menjadi tempat untuk Speed Demon dipromosikan sudah mengiyakan, meskipun hanya dalam lisan. Tapi mereka semua kenalan akrab kami, terutama Stefan.

Pada saat inilah koneksi kuat Stefan ke beberapa relasi media menjadi sangat penting. Intinya, semua jalannya sudah siap, dan kami sangat berharap mudah-mudahan ketika mereka sedang rekaman, tidak ada halangan berarti. Jadi sehabis lebaran, ketika semua materi siap dirilis, semuanya tinggal jalan.

Untuk masalah promosi di sosial media, kami sangat beruntung ada Anin. Anin memang piawai dalam mengelola medsos Hantaman. Semua ia yang pegang dan updatenya pun selalu berkala juga rapih. Dia yang nanti akan menjalankan semua akun media sosial promosi bagi Matahari Dari Timur. Atau menurut Arka Nadiem, lebih enak disingkat MDT.

Jalanan Jakarta masih saja ramai malam ini walaupun tidak macet. Sudah hampir jam 10, dan taksi online yang kutumpangi dari bandara masih berada di jalan, walau menit demi menit berlalu, dan rasanya makin tidak sabar menemui istriku yang dari tadi sudah cerewet, tak sabar ingin melihatku.

Ah, lampu merah antara Ahmad Dahlan dan Radio Dalam.

“Nanti Radio Dalamnya dimana pak?” tanya sang supir, memastikan lokasi rumahku.
“Nanti bapak muter balik di deket PIM ya, ntar masuk Radio Dalam lagi, terus belok kiri di Jalan Dwijaya, rumah saya di Jalan Dwijaya no II” jawabku sambil menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.

Mobil kemudian berjalan lagi, dan aku menghela nafas lega karena aku sudah melihat bangunan-bangunan yang kuhapal. Rasanya sudah seperti berada di teras rumah.

“Aku sudah di radal, tunggu jangan tidur dulu” aku mengirim pesan ke Kyoko.
“Kyoko belum tidur, Aya kan belum makan malam, nanti Kyoko temani makan malamnya ^_^” jawabnya dengan manis.

Kalau dipikir-pikir, lucu juga selama aku dan Kyoko menjalani kehidupan dengan jarak terpisah begitu jauhnya. Radio Dalam – Mitaka. Berapa ribu kilometer itu jauhnya? Dan dengan ajaibnya, kini sosok yang selalu merindukanku di Mitaka, sudah tinggal di Radio Dalam, tidur bersamaku tiap hari. Dan rasanya tiap hari malah makin rindu, padahal tiap hari bertemu.

“Dwijaya disini ya pak?” tanya Supir sambil menunjuk ke kiri.
“Iya pak” jawabku sambil mematikan layar handphoneku.

Aku dengan sabar menunggu proses mobil ini belok ke jalan depan rumahku, dan akhirnya sampai juga. Setelah mengucapkan terimakasih dan menenteng tasku. Dengan penuh semangat aku pulang. Setelah menunggu mobil tersebut menghilang di malam Jakarta yang sumpek, aku membuka pintu gerbang rumah, menguncinya lagi, dan kemudian masuk ke rumah. Suasana sudah agak sepi, dan suara televisi terdengar di ruang tengah.

“Belom tidur?” tanyaku ke adikku yang tampak teronggok lemas di depan televisi.
“Belon”

“Muka lemes amat?” suara langkah kaki Kyoko terdengar tiba-tiba, turun tangga untuk menyambutku.
“Capek gila, sehari ada dua rapat” jawab adikku dengan muka kesal.

“Aya” sapa Kyoko saat dia sudah turun ke lantai satu.
“Yaudah, tidur gih, aku naro barang dulu terus mau makan” aku melewati adikku dan tersenyum ke istriku. Sebelum naik tangga, aku menyempatkan mengacak-ngacak rambutnya dan dia tersenyum sambil membiarkanku melakukannya. Kemudian ia mengikutiku ke kamar.

Sesampainya di kamar, aku menaruh tasku begitu saja di sofa kamarku.

guitar10.jpg

“Jangan taruh disana, Aya, nanti berantakan, sini, Kyoko bereskan” Kyoko meminta tas yang tadi aku tempatkan di bukan tempatnya.
“Nanti dulu” aku dengan sigap menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Aku lalu memeluk istriku, melumat bibirnya dengan kencang dan mendorongnya ke arah kasur.

“Aya…. Makan dulu…” senyum Kyoko sedikit menghindar.
“Nanti, sebentar aja, aku udah kangen sama kamu” balasku sambil menciumi lehernya yang wangi itu. Makin lama rasanya kamar ini jadi sama wanginya dengan wangi Kyoko.

Kami berdua jatuh ke kasur dan sedikit bergumul. Aku menciumi lehernya, sambil tanganku mencoba masuk ke dalam celananya. Aku mencoba menurunkan celananya dan mendadak Kyoko memegang tanganku.

“Aya, tidak sekarang”
“Kenapa?” tanyaku dengan ekspresi sedikit nakal.
“Chotto Ima Anne, CIA” bisiknya.

“Loh kapan?” Datang bulan toh.
“Baru saja tadi siang Aya”
“Jadi….”
“Hai”

“Jadi belum dulu ya ada penghuni disini” Aku menyentuh perutnya sambil mencium pipinya.
“Belum Aya” senyumnya.

Aku lantas memeluknya, dan dia masuk dalam pelukanku. Kami terdiam berdua, sambil memandang entah kemana dalam diamnya malam.

“Kalau Aya mau, Kyoko bisa….”
“Jangan deh” aku sudah membayangkan apa yang akan ia tawarkan kepadaku di masa-masa datang bulannya.
“Kenapa?”

“Kasian kalau Cuma aku yang enak, hehe… Jadi, temenin aku makan dulu ya…. Tapi mendadak aku males makan” bisikku.
“Kenapa malas, Aya?” tanya Kyoko sambil tidak bergerak dalam pelukanku.
“Keenakan”

Iya, terlalu nyaman ada di pelukan Kyoko. Terlalu enak ada di kamar berdua dengan istriku. Rasanya tidak ingin lepas lagi dan mataku pun seperti memaksa aku untuk tidak melepas pelukanku pada Kyoko.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Hajar lah om,maaf ikut nmpang psang pasak d mari.. Heuheu
 
Udah ngikutin MDT dari awal, tpi lupa Awren itu siapa cmn ingat acaranya doang, smpai2 googling, n finally I remember who is it.. ahh tunggu smpai ending..
 
“Dan jujur, seseneng-senengnya gue liat interaksi Stefan sama Ai yang selalu hampir-hampir aja, tapi gue emang khawatir sama gaya hidupnya Stefam dan gue lebih milih kalo adek gue deket sama cowok yang….. Seenggaknya punya orientasi nikah dan bisa ngebimbing adek gue”

Jadi penasaran gimana jadiannya ni si Ai sama si Zul?
Apa Ai keseringan nganterin Kyoko ke "Mitaka" kah yg buat mereka dekat atau apa ya?
Ups..spoiler ya om. Sorry :ampun:

& makasih double apdetnya:beer:
 
Mantap double update nya om @racebannon
Semakin cepet nyampe part yg nanggung sebelum negara api menyerang
Sehat selalu, om

Jadi penasaran gimana jadiannya ni si Ai sama si Zul?
Apa Ai keseringan nganterin Kyoko ke "Mitaka" kah yg buat mereka dekat atau apa ya?
Ups..spoiler ya om. Sorry :ampun:

& makasih double apdetnya:beer:
Kalo baca okasan harusnya ga spoiler sih om..
 
Thx updatenya om

Pelukan Kyoko sampai semelenakan itu? :D
Jadi semakin heran dengan Arya ketika melakukan "kenakalan" itu. Mbok ya jangan melupakan hal-hal sederhana yang dilakukan Kyoko yang membuat dia nyaman :Peace:
 
MDT SEASON 2 – PART 9

------------------------------

“Kecepetan ya gue datengnya?”
“Cuma orang tolol yang nanya itu Fan” aku memicingkan mata sambil menjawab Stefan.

live-j10.jpg

Karena Stefan memang terlalu cepat datangnya. Aku manggung jam 9 malam, sedangkan ini masih maghrib, bahkan Arka, Jacob dan Toni belum datang. Aku datang lebih awal memang, lebih cepat 30 menit daripada yang dijanjikan, karena aku ingin makan malam –yang juga terlalu cepat- bersama Kyoko di tempat ini sebelum aku naik ke panggung nanti.

“Stefan terlalu cepat datangnya, Apa Stefan tidak sedang sibuk di kantor?” tanya Kyoko sambil makan dengan pelan.
“Gue tadi ada ketemu orang di Kemang, jadi daripada balik ke kantor lagi udah jam segini, mending gue langsung kesini lah” jawabnya.

“Kayaknya elo makin kesini alasannya itu terus deh, tiap ditanya orang kok gak ngantor… Kayaknya lo bosen sama gawean kantoran ya?” tanyaku menyelidik.
“Kagak”

“Kagaknya terdengar palsu”
“Lo pikir lo detektif ya?”
“Bukan, gue kan udah kenal lama sama elo, kalo elo ada yang disembunyiin, biasanya omongan lo jadi konyol dan gak make sense” jawabku.

“Gitu ya?” Stefan menyalakan rokok dan matanya menerawang ke seluruh penjuru tempat ini. Sebuah restoran yang interiornya bergaya urban, dengan sebuah panggung yang dari awal tahun sering dipakai untuk acara jazz mingguan. Minggu lalu penampilnya Karina, ya taik memang. Tapi untung saja dia tampilnya minggu lalu, coba kalau sekarang, aku tidak ingin menemuinya sama sekali. Apalagi dalam kondisi aku sudah berkeluarga seperti ini.

Lagipula, musisi Jazz di Jakarta kan ada banyak. Banyak sekali malahan. Kenapa musti selalu ada nama Karina Adisti di setiap acara sih? Tapi jawaban atas pertanyaan tolol itu sudah langsung kutemukan dalam kepalaku. Karena dia memang salah satu pianis jazz muda papan atas di Jakarta. Jadi pasti laku di acara Jazz. Apalagi konsep acara Jazz di restoran ini, tiap seminggu sekali ada penampil, jadi mau tidak mau Karina pasti kebagian giliran.

“Arya Achmad, gitaris muda, yang biasa dikenal sebagai musisi rock, akan tampil bersama grupnya, Arya Achmad Quartet. Arya yang terdidik sebagai gitaris Jazz akan diiringi oleh para maestro seangkatannya, Arka Nadiem (keyboard/electric piano) yang populer sebagai solo artist dan session musician, Jacob Manuhutu (upright bass) yang tahun lalu baru saja merilis album solonya dan M Toni Iriawan (drum) yang merupakan pendatang baru di dunia musik Jazz.”

“Ngapain lo baca caption postingan acara ini di Instagram?” tanyaku ke Stefan.
“Lucu aja lo disebut gitaris muda”
“Kalo dibandingin sama yang laen sih emang gue muda Fan”
“31 dibilang muda hahahaha” tawanya.

“Elo juga 31 bangsat”
“Setidaknya ga pernah ada yang nyebut gue muda di medsos”

“Gini deh, kalo di scene rock indie, kita jadi benchmarknya, dah bisa disebut senior….. Malah banyak band yang muda-muda naik daun, jadi kita ga akan pernah disebut muda…. Sedangkan kalo di scene jazz, yang udah mateng tuh… Yang usianya 40-50 an, jadi elo… muda deh” balasku panjang.

“Tetep aja, muda hahaha….”

“Ah elo mah” kesalku. “Cari-cari bahan buat ngeledek orang…”
“Ano Aya, itu” Kyoko menegurku dan aku melihat Arka Nadiem dan Jacob Manuhutu masuk ke dalam restoran. Mereka melambaikan tangannya dari jauh dan mereka menunjuk ke meja di sebelahku. Aku mengangguk, mengiyakan kalau meja itu kosong. Tapi mereka keburu dicegat waitress, dan kemudian mereka digiring ke meja yang tadi ditunjuk.

“Sore Pak Bu” sapa Arka ke kami. Jacob tampak langsung duduk dan meminta bir ke waitress, tepat dua botol untuknya dan Arka.
“Selamat Sore menjelang malam” jawab Kyoko ramah.

“Dan Toni dah gue suruh dateng jam 5 tetep ya, kalo dia ga dateng sampe jam 7 gak bisa cek sound kita” keluh Arka.
“Dan katanya kayak gini udah biasa…..” celetuk Jacob asal sambil berusaha memaklumi kebiasaan terlambat Toni.

“Dan elo kayak orang ga ada kerjaan ngintilin kita Fan” tawa Arka sambil melihat ke arah waitress yang mengambilkan dua botol bir dingin untuk dirinya dan Jacob.
“Gue ada ketemu orang tadi di kemang, terus daripada gue balik ke kantor, mendingan gue kesini nonton elu-elu pade” jawab Stefan, dengan jawaban yang seperti jawaban template.

“Kita mainnya jam sembilan malam Fan” aku menjawabkan mewakili teman-temanku.
“Udah tau”

“Jadi waktu tiga jam ini kalo mau lo pake untuk ngobrol-ngobrol gak jelas sama kita, sama bini gue, dan liatin kita check sound, ya silakan aja” lanjutku sambil menyudahi makan malam yang agak kepagian itu.
“Nanti kalau Stefan bosan bisa bicara sama Kyoko” celetuk istriku dengan senyum lucunya.
“Gue gak sedesperate itu”

“Tar Ai dateng sih katanya”
“Itu informasi biasa, coba lo bilang Mariah Carey dateng, baru itu berita wah” balas Stefan ketus.

“Gak lucu sih yah” komentar Arka sambil menenggak bir yang ada di tangannya.
“Gue gak berusaha ngelucu nyet”
“Hahaha” tawa Arka mendengar kesinisan Stefan. “Elo tuh kebanyakan misuh-misuh ya, tapi kalo di depan cewek bisa aja mendadak jadi manis manja grup”

“Gue gak butuh baek-baek di depan elo Nyet”
“Mungkin butuh karena kalo si Arya rekaman, gue bakal jadi anak asuh elo” ledek Arka.
“Itu mungkin bakal setaun lagi sih kalian bikin album…..”

“Kok jadi gue” selaku.
“Gak ada yang ngomongin elo” balas Stefan.
“Lah ini, ngomongin bikin album setaun lagi, pasti bentar lagi ngeledekin gue nih, bilang kalo gue bikin lagu lama… Ya gak”

“Ge er aja... Yang pasti sih… Emang lama” tawa Stefan, diikuti oleh senyum-senyum mesem Kyoko sambil melirikku.

“Kok kamu ngetawain aku juga”
“Hehe.. Aya tapi pasti lama kalau membuat lagu, kan Aya banyak pekerjaan selain itu” lanjutnya.
“Nah, ini makanya gue kawinin, gak kayak elu, gak ngertiin gue”

“Najis gue harus ngertiin elo” balas Stefan dengan nada kesalnya yang familiar.
“Harus lah, kan homoannya” tawa Jacob di meja sebelah.

“Gapapa juga sih homoan ama orang ganteng, ya gak, orang ganteng kata cewek-cewek” Stefan melirikku sambil menahan tawa.
“Hus”

“Kata siapa Stefan?” Bingung Kyoko mendadak.
“Suami lo ini banyak yang bilang ganteng lho”
“Siapa?” Kyoko melirikku dengan muka penasaran.

“Nih baca aja” Mendadak Stefan menyodorkan screenshot artikel yang pernah ia perlihatkan ke Zee di Jepang.
“Ah kampret”

Kyoko mengambil handphone Stefan dan dia tampak membacanya dengan seksama. Dia tampak seperti berusaha mencerna kata-kata yang tertulis dengan cepat, dan ekspresinya berubah juga dengan cepat. Dari tadi tampak penasaran dan agak-agak muncul aura cemburu di wajahnya, lama-lama senyumnya terkembang dan ia tersipu-sipu.

“Ahaha…” tawanya makin terdengar.
“Awas ya lo Fan” kesalku.

“Kyoko tidak pernah tahu kalau Aya seterkenal ini” komentarnya pelan sambil seperti menahan tawa.
“Kalo kamu mau ketawa, ketawa aja, silakan” kesalku.

“Hehehe… Jadi, Aya Kakkoi ya menurut banyak orang” lanjut Kyoko sambil menatapku dalam.
“Hmm”

“Tapi kalau begitu Kyoko beruntung karena sekarang bersama Aya” dia lantas menunjuk hidungku dan menyentuhnya dengan jarinya.

Ya, dan aku juga beruntung bareng kamu sekarang.

--------------------------------------------

Check sound sudah selesai, dan aku tinggal menunggu detik-detik manggung. Aku duduk di meja terpisah dari istri, adikku dan Stefan. Aku dikelilingi oleh Arka, Jacob dan Toni. Sudah tinggal beberapa menit lagi. Semua peralatan kami sudah tersusun dengan rapihnya di panggung. Sound sudah di tata dan siap untuk dibunyikan.

“Katanya, kalau sebelom manggung selalu gugup itu tandanya kalo elo musisi serius” bisik Arka mendadak.
“Kenapa emangnya?” aku meremas tanganku sendiri, karena memang ini pertamakalinya aku manggung sebagai leader sebuah working group. Pemimpin sebuah kelompok musik.

“Itu nunjukkin kalo elo concern sama permainan elo dan semua yang bakal kejadian disana nanti” tunjuk Arka ke arah panggung.

Aku menjawabnya dengan senyum dan aku menatap kearah panggung. Aku melihat dari sudut mataku, tampaknya Stefan lagi-lagi menjahili Ai dan Ai tampak kesal. Kelucuan mereka berdua hanya ditimpali oleh tawa kecil Kyoko.

“Mas” bisik Toni.
“Hmm?”
“Itu Mbak Ai sama Stefan emang deket banget ya?” tanya Toni, tapi anehnya mukanya malah menunjukkan kepercayaan diri.

“Iya sih, tapi….”
“Paham”
“Paham?” tanyaku karena bingung, kalimatku belum selesai, tapi Toni sudah memotong kalimatku.

“Iya, saya pernah liat yang semacem itu juga, keliatannya aja deket, tapi diantara mereka gak ada apa-apa” senyumnya.
“Kepo amat lo merhatiin dan nanya soal ginian”
“Gapapa mas hehe” tawanya terdengar tenang dan penuh percaya diri. Aku hanya menggelengkan kepala melihatnya. Orang lain sedang fokus sama acara malam ini, dia malah fokus sama adikku.

Ah, akhirnya, penderitaan menunggu ini sepertinya akan berakhir. Manajer restoran ini naik ke atas panggung dan siap-siap bicara di microphone.

“Selamat malam, untuk penampil malam ini, saya akan bacakan profil singkatnya” senyumnya ke arah para penonton yang tampaknya sudah memenuhi tempat ini. “Arya Achmad, Lahir di Jakarta pada 13 September 198X, biasa dikenal sebagai gitaris band rock Hantaman. Dia menyukai dan mencintai musik Jazz, di luar karirnya sebagai gitaris rock. Pendidikan musiknya dia terima dari Yamaha Music School pada remaja, kemudian dilanjutkan berguru kepada Jaya Tedjasukmana, dan juga pernah mengikuti Short Course in Music Composing”

Tepuk tangan ringan penonton sudah mulai terdengar saat profilku dibacakan. “Pada malam ini akan tampil bersama Arya Achmad Quartet, diiringi oleh Arka Nadiem pada keyboard dan electric piano, dikenal luas sebagai pianis jazz papan atas, dan session musician ”

“Pada Upright Bass, Jacob Manuhutu, pada tahun lalu sudah merilis album solo, dan disana juga Arya Achmad berkontribusi sebagai sound engineer, producer dan guitar player. Jacob juga mengajar di beberapa tempat pendidikan musik”

“Dan yang terakhir, Muhammad Toni Iriawan, pada drumset”

Disaat tepuk tangan sedang bergemuruh untuk menyambut kami, disaat itulah kami naik berduyun-duyun ke panggung. Aku tersenyum ke arah Kyoko saat aku mengalungkan gitarku di badanku, dan dia membalas senyumanku.

“Selanjutnya, selamat menikmati Arya Achmad Quartet” sang manajer restoran menutup sesi bicaranya dan menyerahkan sepenuhnya kepada kami. Arka sudah terlihat nyaman di balik tumpukan keyboardnya, Jacob sudah memeluk upright bassnya yang besar itu. Dan Toni, dia terlihat siap, dibelakang sana, dikelilingi oleh beduk Inggris yang beraneka ragam bentuk dan ukuran.

“Malam semuanya”
“Malam…” jawab penonton dengan suara yang antusias. Tidak seramai konser musik rock, tapi semua yang datang disini memang berniat untuk menghapus rasa penasaran mereka, bagaimana jadinya kalau Arya Achmad mempunyai quartet musik.

“Mungkin bingung, kenapa saya manggung gak sama Hantaman, tapi yang saya pake tetep sama kok, pakaiannya masih sama, dan masih main gitar” aku mencoba berbasa basi di panggung. “Mungkin ada yang pernah denger lagu saya, Matahari Dari Timur?”

Beberapa jawaban yang berbeda-beda terdengar dari arah penonton. Aku tersenyum dan melanjutkan kalimatku.

“Nah, kalau malam ini kita gak akan kayak gitu bunyinya…. Untuk lagu pertama, lagu dari maestro gitar yang jadi panutan semua orang, Wes Montgomery…. 4 on 6” penonton bertepuk tangan dan aku mengangguk kepada Arka, yang dijadikan acuan untuk memulai lagu.

Dan akhirnya, dimulai juga.


Nada-nada miring yang indah itu lantas mengalir melalui tanganku, diiringi oleh ketiga orang ini. Chemistrynya sudah terbentuk dan aku merasa nyaman bermain dengan mereka semua. Arka, Jacob dan Toni memainkan alat musik mereka masing-masing, mengiringiku.

Ah memang, dengan working group yang tepat, semua rasanya menyenangkan. Mari kita tuntaskan malam ini.

--------------------------------------------

Tak terasa, sudah pukul setengah sebelas malam. Sedikit keringat membasahi mukaku, walau tidak separah ketika bermain bersama Hantaman. Rasanya berbeda, rasa nikmat yang kudapatkan berbeda.

“Jadi, sepertinya kita sudah sampai di lagu terakhir” bisikku di microphone. “Makasih buat temen-temen semua yang udah dateng nontonin saya, dan terutama buat sumber inspirasi utama saya, istri saya” aku menatap ke Kyoko sambil tersenyum, dan dia membalas senyumanku dari jauh. Entah kenapa malam ini, rasanya semua gelap di area penonton, dan hanya Kyoko yang mencuri perhatianku.

Mungkin karena aku belum pernah menunjukkan diriku sebagai musisi jazz di hadapan dia. Dia memang baru malam ini, melihatku bermain repertoar-repertoar lagu Jazz Standards yang dibawakan dengan komposisi yang kami berempat susun bersama.

Jujur, aku merasa beruntung bisa mengenal Toni. Kalau Jacob dan Arka, tidak usah ditanya, mereka berdua memang mumpuni dan salah satu musisi terbaik di kelasnya. Sedangkan Toni, bisa dibilang anak baru kemarin, bahkan statusnya masih mahasiswa sebuah sekolah musik. Tapi gaya bermainnya, kematangannya dalam mengiringi kami semua bermain, begitu membebaskan buatku.

“Lagu terakhir ini, dari Dizzy Gillespie, Blue and Boogie. Enjoy”


Tanpa banyak bicara lagi, suara musik bersahutan mulai terdengar di panggung. Suara gitarku dan suara rhodes Arka Nadiem saling membalas dan saling menyusul. Kemudian tema utama lagu, aku yang memainkannya. Rasanya aku seperti hanyut dalam permainan gitarku sendiri.

Entah mengapa, aku merasa lebih nyaman memainkan musik jazz kontemporer yang banyak dipengaruhi oleh nuansa Bebop. Ya, Bebop adalah sebuah sub-genre musik Jazz yang bisa dibilang memberontak dari arus musik utama musik Jazz, atau yang dikenal dengan “Swing”. Biasa mendengarkan Nat King Cole, Louis Armstrong atau Frank Sinatra? Ya, mereka adalah musisi Swing. Sedangkan Bebop, yang temponya lebih cepat, nadanya lebih lugas, dan lebih “miring”, tidak mengutamakan nada-nada indah dan mengalun mendayu-dayu seperti Swing.

Bebop menekankan di improvisasi, tempo yang ketat dan melodi yang sarat dengan spontanitas.

Tujuan utama Bebop, bukanlah sebagai musik hiburan, tetapi sebagai ekspresi musisi untuk melepaskan dirinya di atas panggung. Charlie Parker, Dizzy Gillespie, Thelonius Monk dan Bud Powell adalah pelopor sub-genre ini. Dan sub-genre ini sampai sekarang lekat dengan semangat dan aroma pemberontakan.

Ah, betapa indahnya mendengarkan improvisasi dari Arka Nadiem. Suaranya begitu menyayat telingaku, dengan permainan not-not nya yang miring dan cepat. Mungkin ini lah kenapa pada awalnya, sebelum bersama Hantaman, aku begitu tenggelam di musik Jazz. Karena memang membius.

Dan aku harus mengulang lagi pujianku terhadap Toni. Permainannya begitu dewasa, berbanding terbalik dengan umurnya. Begitu ketat dan membuat kami semua aman berimprovisasi.

Kami berempat menari di atas panggung, menari dalam irama-irama yang bisa dikatakan mungkin tidak familiar bagi kebanyakan orang. Dan pada saat ini, kami sudah tidak peduli lagi berapa nada yang kami langgar. Tapi, ketidak sempurnaan adalah kesempuranaan dalam musik itu sendiri.

“Kamu masih manusia” begitu nasihat Om Jaya pada saat aku masih belajar kepadanya. Aku masih ingat, waktu itu aku tampak stress, karena beberapa kali salah membunyikan not, pada saat mencoba berimprovisasi mengikuti permainan gitarnya. Karena aku tampaknya tidak nyaman dan menyalahkan diriku yang tidak begitu cermat dalam merangkai suara untuk menghasilkan nada-nada yang menurutku baik, Om Jaya lantas membuatku tersadar, bahwa kesalahan dalam bermain musik adalah wajar. Dan menurut dia, yang terpenting, adalah bagaimana membuat penonton tidak sadar kalau kita salah memainkan nada.

Dan itu yang sulit, namun kami berempat bisa melaluinya malam ini.

Dan kami sudah melaluinya. Kami sudah menutup rangkaian lagu tersebut, dan menyajikan improvisasi yang tepat dan lugas. Gemuruh tepuk tangan terdengar indah di telingaku. Aku memeluk gitarku dan tersenyum ke semua orang yang menonton. Puas rasanya, seperti habis menyatakan cinta kepada orang yang benar-benar kalian sayang.


Aku merasa harusnya aku melakukan ini dari dulu. Bermain dalam sebuah working group yang tepat, bermain di sebuah kelompok musik dan jenis musik yang membuatku tidak capek dalam memainkannya. Selain bersama Hantaman, aku merasakan kepuasan yang sama bermain disini. Arya Achmad Quartet katanya, tapi aku merasa teman-temanku yang bermain bersamaku malam ini juga memiliki peran yang luar biasa dalam membentuk musik kami

“Arka Nadiem, di keyboard”

“Jacob Manuhutu, Bass”

“Toni Iriawan, drum”

“Dan kalian semuanya, thanks, kalian akan sering lihat saya lagi di panggung seperti ini. Cheers!” Dan tepuk tangan penonton kembali terdengar jelas di telingaku.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

Sudah lewat tengah malam.

guitar10.jpg

Aku masih merasakan euforianya. Rasanya begitu nikmat. Kyoko berbaring dengan nyamannya di sebelahku, matanya sudah tertutup dan tampaknya dia sudah merasakan damainya tidur dan bermimpi. Sementara aku rasanya masih excited. Rasanya tanganku masih merasakan senar gitar. Rasanya bahuku masih berat, seperti ada gitar yang menggantung disana. Aku sedikit bergeser, membetulkan posisiku di atas kasur, agar bisa tidur dengan nyaman, setelah semua yang terjadi malam tadi.

Aneh rasanya, harusnya aku capek, tapi ternyata aku masih bisa terjaga tanpa sedikitpun merasa ngantuk. Mungkin karena rasanya sungguh-sungguh excited dan menyenangkan.

“Aya?” bisik istriku mendadak.
“Eh, kamu kebangun?” tanyaku, dengan perasaan sedikit tidak enak karena sudah membangunkan Kyoko.

“Sedikit, Aya belum tidur?” tanyanya sambil menggeser tubuhnya untuk menempel padaku.
“Belum bisa”

Kyoko lantas sedikit bangkit dan bertumpu di tangannya. Dia memandangku sambil tersenyum tipis, dengan matanya yang terlihat hanya segaris.

“Udah tidur lagi sayang, aku juga ntar lama-lama tidur kok” aku tersenyum balik kepadanya.
“Aya kenapa belum bisa tidur?”
“Masih excited kayaknya karena tadi”

“Hehe, Aya kelihatan sangat bahagia tadi ketika bermain. Aya pasti senangnya masih sampai sekarang” bisiknya sambil mencium hidungku dan lantas memelukku dari samping. Aku hanya mengangguk, mengiyakan dan menikmati keberadaan Kyoko di sampingku.

“Aya, mau bisa tidur?” bisik Kyoko dengan nada yang agak familiar.
“Kamu kan lagi gak bisa malem ini” Ya, dia masih dalam fase menstruasi.

“Kyoko bantu” bisiknya. Mendadak dia menggenggam penisku lembut, dan meremasnya sambil mencium pipiku. Sial. Dia pasti berusaha untuk membuatku ejakulasi dan kemudian bisa tertidur lelap.
“Sayang” bisikku berusaha menahannya, agar dia tidak repot-repot melakukannya. Tapi tampaknya badanku tidak menolak. Rasanya sulit untuk dilewatkan, setiap sentuhan dari Kyoko.

Aku lantas menoleh ke samping dan bibir kami berdua bertemu. Kami berciuman dengan hangat dan rasanya ada sesuatu yang menegang dibawah sana. Semakin lama rasanya semakin tegang. Sentuhan lembut tangan Kyoko telah membuatnya berdiri dengan tegak, melawan gravitasi.

Kyoko lantas menyingkap selimut yang menutupi badan kami berdua. Dan dia tampak berusaha menurunkan celanaku. Aku pasrah, dan membiarkan celana tidurku turun, mempertontonkan penisku yang sudah berdiri tegak di hadapan Kyoko. Dia sedikit melirik ke arahku dan senyumnya masih belum hilang.

“Jya… Atashi no shujin wa… Kakkoi ne…” haha, sial, dia bilang aku ganteng. Pasti dia bercanda, merefer ke artikel di majalah remaja putri yang tadi diperlihatkan oleh Stefan kepadanya. Dan gerakan selanjutnya, walaupun bisa ditebak, rasanya selalu mengejutkan buatku. Bibirnya mencium kepala penisku dengan lembutnya. Dia menciuminya dengan seksama, di tengah gelapnya kamarku. Bisa kurasakan sedikit demi sedikit, permukaan penisku dijelajahi olehnya.

Aku sangat menikmatinya. Aku dengan pasrah berbaring di kasurku, membiarkan istriku memuaskanku dengan mulutnya. Bisa kurasakan lidahnya mulai bermain, bermain menyapu permukaan penisku. Sedikit demi sedikit ia pun mengocok penisku dengan pelan, sambil membasahi permukaannya dengan lidahnya. Kyoko lantas menciumi kepalanya lagi.

“Shabutte ageru?” bisiknya pelan sambil menunggu responku. Aku mengangguk, mempersilahkannya untuk melakukan apa yang ia ingin lakukan. Dan lantas mulai terasa. Dia mengocok pelan penisku, sambil dengan perlahan ia memasukannya ke mulutnya. Dengan gerakan yang teratur dan perlahan, ia mengulum penisku dengan telaten. Matanya tertutup, menikmati prosesnya. Rasanya sungguh nyaman dan hangat, dan kenikmatan mulai menjalar dari penisku ke seluruh badanku.

Kyoko menggerakkan kepalanya dengan frekuensi yang konstan. Bibirnya mengatup, menyentuh permukaan penisku. Terasa lidahnya bermain di dalam mulutnya, dan dia benar-benar membuatku nyaman malam itu.

“Mmmnn…” dia bersuara, menikmati gerakan-gerakan spontan dari diriku yang merasakan rasa geli yang nikmat. Dia lantas menggerakkan kepalanya makin lama makin cepat, walau masih dalam irama yang stabil. Kyoko tidak menggunakan tangannya lagi, ia hanya menggerakkan kepalanya dengan konstan, dan tangannya bertumpu di pahaku.

Kadang ia menghentikan kulumannya, dan hanya menjilati kepalanya, sambil melirik manja ke arahku. Semua gerakannya lembut dan penuh kasih sayang. Kyoko lantas mengulumnya lagi, dan dia lalu memasukkan penisku penuh-penuh ke dalam mulutnya, dan dia mulai menggunakan tangannya untuk membantu memuaskanku.

Beberapa kali kudapati dia berusaha untuk memasukkan semuanya ke dalam mulutnya, hampir menyentuh tenggorokannya, tapi dia tampaknya agak kurang persiapan malam ini, sehingga beberapa kali gerakannya tertahan, namun aku tidak memaksakannya. Aku hanya menerima malam ini, sehingga aku pasrah menerima apapun yang ia akan lakukan kepadaku.

Penisku rasanya semakin menegang, semakin mengeras di dalam mulutnya. Bisa kurasakan dinding mulutnya menyempit, dan lidahnya bermain di dalam mulutnya. Dia begitu telaten, menggerakkan kepalanya untuk memuaskanku, mengulumku, memainkan semua indra perasaku yang berada di penisku. Seluruh kenikmatan yang mulutnya berikan rasanya benar-benar luar biasa. Dulu aku tidak bisa membayangkan sedikitpun perasaan kenikmatan seperti ini, ketika baru bertemu dengannya. S

“Ah… Sayang….” Aku mersakan gejolak-gejolak yang mungkin sebentar lagi akan meledak, dan aku tidak ingin merepotkannya dengan mengeluarkannya di dalam mulutnya. Tapi Kyoko tidak menggubrisku. Dia tetap mengulumku dengan seksama, dan menggunakan tangannya untuk membantu gerakan mulutnya.

Shit.

Kalau begini, aku tidak bisa menahannya lagi.

“Sayang…. Aku…” Kyoko tidak peduli. Dia malah bergerak makin kencang, makin ganas mengulum penisku. Lidahnya ikut bergerak di dalam mulutnya, memberikanku kenikmatan yang luar biasa. Dia tidak peduli, yang dia inginkan hanyalah aku mencapai puncak kenikmatan.

“Mmmhhh….Mhhh…” Kyoko bernafas dengan berat, mengikuti irama kulumannya. Tak terasa, ia menggerakkan tangannya begitu kencang, sehingga ledakan itu tidak dapat dihindarkan lagi.

“Ahh..” aku melepas tegangku begitu saja, dan perasaan nyaman yang membius lantas terasa di badanku.

“Nngghh…” dia mendesah, begitu merasakan cairan hangat itu keluar di dalam mulutnya. Tapi dia tidak melepaskannya dari dalam mulut. Dia terus mengocok penisku pelan, meremasnya, dan merelakan setiap tetes sperma yang mungkin keluar dari penisku menetes di mulutnya. Nafasnya berat, dan aku pun terkulai dengan lemas karena ulahnya. Dia tampak tidak ingin menyisakan sedikitpun cairan itu menetes ke kasur.

Dengan penis masih berada di dalam mulutnya, ia menatapku, dan matanya seperti tersenyum kepadaku. Dan di titik itulah, aku merasakan bahwa dia benar-benar mencintaiku. Dia benar-benar menyayangiku sehingga dia selalu ingin membuatku nyaman. Dan aku benar-benar mencintainya. Aku ingin agar ia merasakan hal yang sama denganku. Dan semua perjalanan dari kami menikah sampai sekarang, rasanya dia tampak bahagia. Dia tampak nyaman hidup disini, berdampingan denganku dan keluargaku.

Aku sangat yakin, dia akan selalu bahagia disini.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Kliatan emang submissive & totalitas Kyoko melayani Arya sebagai kalau bisa dibilang balas dendam atas ketidaksempatan bakti & kasih sayang yg dberikannya dengan Hiroshi

Trus terang ane lom move on atas kehilangan Hiroshi :D

Makasih apdetnya & ditunggu kelanjutannya:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd