Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

MDT SEASON 2 – PART 6

------------------------------

"Ada kabar baik" aku mengawali percakapan lewat media sosial dengan Panji, Bassist nya Speed Demon.

"Wah apa tuh mas?" walau lewat media sosial, tapi aku bisa merasakan ketegangan yang mendadak terpancar dari layar handphoneku. Mungkin agak kurang tepat kalau disebut sebagai ketegangan, excitement mungkin lebih tepat.

"So, soal biaya rekaman lo semua nanti kalo gue produserin, semua bakal ditanggung sama record company gue, kebetulan gue kemaren baru set-up companynya, ntar setelah demo revisian lo kelar, gue ke Jogja dan gue ajuin kontrak ke elo.... Itu kabar baiknya" jelasku setelah mengetik panjang-panjang.

"ALHAMDULILAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH" jawabnya dengan huruf A yang sangat banyak, lebih banyak daripada jumlah perempuan yang pernah ditiduri Stefan mungkin.

"Nah, jadi kapan revisi demonya kelar?" tanyaku. "Dan kalian sejauh ini belom ngajuin ke gue berapa biaya yang bakal diabisin buat kelarin demonya...." dan sepertinya aku sudah menunggu revisi demo mereka terlalu lama.

"Emang belum mas, kita udah kontak ke studio-studio yang Mas Arya kasih tau, cuma...."
"Cuma kenapa?"
"Cuma mahal rekamannya, jadi ndak enak kita sama Mas...."

"Semahal-mahalnya studio mereka, lebih mahal kalo kalian rekaman di Jakarta..." jawabku dengan ekspresi yang tidak sampai. Aku sedang garuk-garuk kepala melihat jawabannya. "Jadi jangan gak enakan gitu dong, lagian kan ini urusannya profesional, uang yang gue keluarin buat ngecover rekaman demo kalian itu, ntar bakal balik lagi kok kalo kalian penjualan albumnya oke....... Jadi santai aja...."

"Oh gitu ya mas, oke deh, kami usahakan minggu ini ya" jawabnya, dengan aura yang sudah lebih agak terdengar legowo.
"Nah, ditunggu kabarnya"

Aku akhirnya mengakhiri pembicaraan pagi itu dengan Panji yang mewakili Speed Demon. Sekarang tiba saatnya untukku bangkit dari tempat tidur. Sudah pukul berapa sekarang? Aku tadi bangun, melewatkan alarm subuh Kyoko. Kyoko sekarang tidak ada di kamar, jelas saja. Karena memang hari sudah terang, dan dia sudah beraktivitas.

Jadwal paginya memang padat. Setelah bangun untuk shalat subuh, pasti dia langsung membantu ibuku di dapur setelahnya. Setelah itu, dia selalu rajin untuk jogging keliling kompleks rumahku, sampai-sampai dia jadi kenal dengan beberapa satpam yang malang melintang di seputaran radio dalam. Dia jadi rajin jogging karena sadar, di Jakarta dia tidak bisa berjalan kaki sebanyak di Jepang. Setelah Jogging, dia pulang dan mandi, dan lalu sarapan bersama.

Ah, jam 9 pagi. Lagi-lagi bangun kesiangan. Tadi malam aku tidur terlalu larut, mengerjakan mastering jingle iklan, dan berakhir tidak beres. Aku baru naik ke tempat tidur sekitar jam 2 pagi, melihat Kyoko yang tidur melingkar di atas kasurku.

Aku akhirnya bangkit, mencoba untuk mengumpulkan nyawa dan merayap turun ke bawah. Suasana sepi, hanya terdengar sayup-sayup lagu di dapur, tampaknya dari handphone. Benar, disana Kyoko sedang mencuci piring sambil mendengarkan lagu di handphone.

“Ohayo…” sapaku sambil duduk lemas di atas kursi.
“Hai aya, Ohayo… Kasihan sekali mukanya capai begitu….” jawabnya sambil tersenyum, setelah menatap mukaku yang terlihat capek dan kusut.

“Iya, dan kerjaannya belum kelar, masih butuh penyesuaian ini dan itu, lagipula mereka ada tiga versi jingle yang dikirim ke aku, ada yang buat di televisi, ada yang buat di radio, mereka ngerekamnya entah dimana, banyak track yang amburadul dan aku yang harus beresin semua…….” aku menghela nafas. “Dan aku curiga ada yang harus mereka take ulang karena terlalu parah….”

“Kalau begitu Aya sarapan dulu” Kyoko tersenyum lagi, menyudahi pekerjaannya di bak cuci, lantas dengan cekatan menyiapkan makanan untukku. Ibuku dan Ai pasti sudah pergi ke tempat mereka bekerja. Tak berapa lama, sarapan yang kutunggu itu sudah hadir di depan mataku, dan sudah pasti terlihat lezat.

“Itadakimasu” senyumku dengan manis ke arah istriku.
“Jya, Itadakimasu, dan Aya mau Kyoko buatkan apa? Kopi? Teh?” tanyanya dalam logatnya yang semakin lama semakin samar.

“Terserah, yang bisa bikin kerjaan jadi lancar apa ya kira-kira” candaku sambil mulai makan dengan agak kalap, karena perutku memang sudah meminta untuk diisi sedari mataku terbuka tadi.
“Kopi kalau begitu…. Kyoko masih ada sisa dari café, dibawakan Nii-san, Kyoko buatkan”

Aku lantas kembali melanjutkan makan pagi itu, sambil menunggu Kyoko selesai membuatkan kopi untukku. Walaupun tanpa alat-alat profesional, gerakannya tetap terlihat profesional. Tangannya yang cekatan dan perhitungannya yang pas akan suhu air yang cocok terlihat dari gerakannya. Dan segelas kopi panas dengan aroma yang luar biasa sudah tersaji di hadapanku.

Aroma yang membuat aku semakin mempercepat ritme makanku, agar aku bisa segera merasakan sejumput kopi yang rasanya mengingatkanku pada Mitaka itu. Dan akhirnya makanku selesai juga. Kyoko duduk di sebelahku sambil memperhatikanku makan.

“Waduh, enak ya….” aku menghirup kopi tersebut dan menyesapnya perlahan, dan rasanya mulai menjalar ke mataku melalui pipi.

“Aya selalu suka kopi yang itu” komentar Kyoko sambil mengambil piring kosongku dan mulai kembali mencuci piring.

“Soalnya enak banget” aku kembali menyeruput emas hitam yang luar biasa enaknya itu. Sebelas dua belas lah dengan kopi racikan Zul. Sepertinya mereka berdua harus bertemu dalam waktu dekat.

Sambil menikmati kopi pagi itu setelah sarapan, aku memperhatikan punggung Kyoko, dan mendadak timbul pertanyaan.

“Kyoko”
“Hai?” jawabnya spontan.
“Kamu gak kangen dengan kerjaan di café?”
“Ah… Kyoko tidak memikirkan…” jawabnya terdengar ceria seperti biasa.

“Masa gak mikirin, aku sebenernya penasaran, kamu lebih suka mana, jadi ibu rumah tangga kayak sekarang, atau kerja di café kayak dulu….”
“Kyoko lebih suka yang bersama dengan Aya”
“Jadi sekarang lebih suka?”
“Pekerjaan apapun, Kyoko lebih suka yang bisa bersama dengan Aya” dia menjawab, mengulang jawabannya dengan sedikit penekanan.

“Oke… Paham” aku tersenyum kecil, tapi entah kenapa aku seperti mendengar maksud lain yang agak tersembunyi dalam kalimatnya.
“Tapi kamu kangen sama pekerjaan di café? Kangen kan?” ya, aku mengulang pertanyaanku lagi.

“Kyoko lebih suka kalau tiap hari bisa lihat Aya seperti sekarang” dia menengok ke belakang, sehabis mencuci piring yang tadi kupakai, sambil tersenyum kepadaku.

“Hmm” jawabku pelan, sambil mencoba menelaah air mukanya. Terus terang tak tertebak, tapi aku merasakan ada sedikit kegetiran yang terasa di kalimatnya. Tapi, mungkin masih agak terlalu cepat menanyakan hal ini, karena usia pernikahan kami baru mau jalan tiga minggu.

“Tapi kalo kamu ngerasain kangen Mitaka, kesepian atau perasaan gak enak soal apapun, bilang ke aku ya, jangan ada yang ditutupin… Aku gak mau liat kamu sedih” lanjutku.

“Iya Aya, tapi Kyoko pasti bahagia kalau bersama Aya” jawabnya sambil duduk di hadapanku dan tersenyum lebar.

“Seneng dengernya” jawabku, sambil berusaha menekan perasaan tidak nyaman yang mendadak muncul. Dan kuharap perasaan ini salah, atau hanya sekedar proses adaptasi.

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Hoaaaaaaaaam…… Mau apa lo disini?” tanyaku sambil menguap dan menarik kedua tanganku ke atas, kepada Stefan yang duduk di sebelahku, sambil mempermainkan handphonenya.
“Terserah gue dong” jawabnya.

Iya, karena tidak biasanya Stefan ada di studio hari ini. Hari ini bukan jadwal latihannya Hantaman, dan juga bukan jadwal latihan quartet Jazz ku. Dan ini masih sore, jam 3 sore, masih jauh dari berakhirnya office hour tempat kerja Stefan.

“Ini masih sore, kok bisa kelayapan sih? udah dipecat sama bokap lo atau ini privilege sebagai anak bos?” tanyaku asal sembari kembali ke pekerjaan di depan komputer.
“Gue ada Meeting tadi di PIM, males balik kantor lagi, main kesini aja, ntar malem baru balik ke rumah” jawabnya dengan malas.

“Yah… jangan gangguin tapi” aku sedang berusaha membetulkan beberapa track yang amburadul. Dan aku paling benci kerjaan mastering lepasan seperti ini. Aku lebih suka mastering produk atau proyek yang kukerjakan sendiri dan direkam di hadapanku, jadi kalau ada kesalahan atau hal yang kurang pas, bisa langsung retake, jauh lebih simple daripada memanipulasi suara-suara yang tidak rapih ini.

“Jadi kapan elo ke Jogja?” tanya Stefan.
“Udah jangan gangguin ah” kesalku sambil terus fokus ke layar komputer.

“Ini bukan kerjaan label kita kan? Kalo gue suruh lo berhenti bakal nurut gak lo?” tawa Stefan meledekku.
“Berisik, sana gangguin kucing abu-abu di depan itu atau ngobrol ama Kyoko aja sana” jawabku asal.
“Arwen apa kabar?”
“Ga tau”

“Tumben fans lo gak dimaintain, dulu aja masih hang out mulu ama Kanaya “ entah apa yang Stefan berusaha pancing detik ini, tapi aku tidak peduli, dan masih fokus terhadap layar komputer, dan berulang kali aku memplayback file audio yang telah di edit, berulang kali menuju kesempurnaan.

“Gue ga mau bikin orang salah paham lagi, seenggaknya gue ga mau bikin Kyoko bete lagi sama hal-hal model kayak gitu” jawabku.
“Elo nya yang mau atau demi bini lo doang?”
“Gue yang mau”
“Boong”

“Diem nyeeet gue kelewat lagi tuh di detil yang tadi abis gue compress…. Ah tokai kan” kesalku karena konsentrasiku terpecah. Aku mengambil handphoneku, menghentikan sementara kegiatanku dan mengetik pesan untuk Kyoko, agar dia menyelamatkanku dari Stefan, entah bagaimana caranya. Entah dengan cara mengajak ngobrol, atau menawarkan kopi atau apalah. Dan Kyoko menanggapi dengan emoticon-emoticon yang menggambarkan kalau dia memaklumi tingkah laku Stefan, lantas menyetujui untuk datang ke studio, mengalihkan perhatian Stefan dariku.

Dan tak berapa lama kemudian, kami mendengar suara pintu studio terbuka.

“Hai Stefan….” Sapa Kyoko, sambil membawakan secangkir kopi. Bisa kulihat uap mengepul dari cangkir di atas nampan itu.
“Eh, Bu Arya…” jawabnya tanpa melihat, dan dia masih menatap ke layar komputerku, tampak gatal ingin merecoki apapun yang sedang kukerjakan.

“Kopi, Stefan? Kyoko bawa dari Jepang, dari café…” lanjut istriku sambil menaruh cangkir di atas meja.
“Wah, makasih” Stefan masih belum teralihkan.
“Ini sudah habis, tidak ada sisa lagi, so… special untuk Stefan…”
“Wah” Stefan akhirnya menengok ke arah Kyoko.

“Sana gih ngobrol…. Tinggalin gue sendiri”
“Stefan mau makan? Untuk teman kopi? Kyoko tinggal jalan keluar, beli cake atau apa?” tanya Kyoko lagi, berusaha mengajak Stefan untuk berhenti mengganggu.

“Hmm… Apa ya?”

“Gue ada ide” ucapku mendadak. “Gimana kalo elo berdua pergi ke tempatnya Zul, sekarang…. Sekalian lo kenalin si Kyoko, entar gue nyusul 1-2 jam kemudian?”
“Lah terus kopi gue?” tanya Stefan bingung.
“Buat gue” aku mengambil kopi yang di hadapan Stefan dan langsung meminumnya.

“Ah, yaudah…. Ntar gue tunggu deh elo di tempatnya si Zul….” kesal Stefan sambil berdiri dengan buru-buru. “Ayo, Bu Arya, kita ngedate, suaminya ga pengen di ganggu soalnya”

“Hai Stefan, sebentar, siap-siap terlebih dahulu” jawab Kyoko dengan senyumnya.

--------------------------------------------

Pukul 5 sore. Jalanan sudah agak macet dimana-mana. Tapi karena aku menggunakan motor, jadi halangan macet bukan merupakan sesuatu yang menghambat. Bagaimana dengan mobil yang katanya akan kubeli? Tenang, karena mobil tersebut sudah tersimpan rapih di garasi rumahku. Mobil Jepang yang kecil, yang sepertinya cukup untuk membawa sepasang suami istri dan dua anak. Dan opsiku untuk jalan keluar semakin banyak. Kalau menemani Kyoko belanja keperluan sehari-hari, pakai mobil. Kalau untuk husband and wife date, pakai motor. Jadi lebih fleksibel.

Tak terasa motor khas italia ini sudah membawaku mendekati café nya Zul.

Sesampainya disana, dan setelah merapihkan posisi parkir, aku lantas berjalan masuk. Dan aku menemukan Stefan duduk sendiri sambil merokok, sambil memainkan handphonenya. Kyoko terlihat ada di balik coffee machine, terlihat berdiskusi entah apa dengan Zul.

dsc_8810.jpg

“Woi” sapaku ke Stefan sambil menaruh badanku di atas kursi.
“Akhirnya datang juga…. Gue malah garing nurutin elo ngajak Kyoko kesini” keluh Stefan.
“Kenapa emangnya kok garing?”
“Bini lo langsung ngobrol ngalor ngidul sama si Zul masalah kopi dan sebagainya, dan bahkan dari tadi sibuk ngebahas sesuatu entah apa di balik sono”

“Haha, emang dunianya mereka sih, gue masuk aja mereka masih sibuk ngobrol, ga ngelirik gak apa…. Untung lagi sepi ya” balasku.
“Sepi” Stefan membeo dan menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Udah baca grup Hantaman?” tanya Stefan.
“Belom”
“Kayaknya pas tadi di elo di jalan, si Anin bilang kita ada gig di Bandung sebulan lagi” lanjutnya.
“Oh, bagus lah, duit lagi”

“Ada tapinya Ya” senyum Stefan tipis menjurus ke sinis.
“Apa tapinya?” tanyaku sambil melambai ke arah Kyoko dan Zul yang sudah sadar kalau aku ada disana.

“Lo liat grup aja”
“Males ngambil hape, ada di saku jaket”
“Kan gampang tinggal masukin tangan ke saku, kontol” ucap Stefan dengan gusar.
“Kasih tau aja kenapa sih…. Sok-sok main surprise” kesalku.

“Liat aja” Stefan menatap dengan tajam ke arahku dan aku hanya bisa menggelengkan kepala tanda malas. Akhirnya aku bangkit dan berjalan menghampiri Kyoko dan Zul.

“Hai Aya” Kyoko melambai kecil saat aku menghampiri mereka.
“Aya?” bingung Zul.
“Nama gue kalo disebutin pake lidah Jepang jadinya R nya ilang Zul, gue mau minum dong….” jawabku dengan intonasi yang agak datar.

“Jadi feminim banget nama lo….” tawanya.
“Biarin biar imbang…. Kasih gue teh aja deh sore ini, gak kopi, tadi udah minum kopinya bini gue”
“Oh, jadi lebih suka ngopi di rumah daripada disini sekarang?”
“Iya” jawabku pelan sambil menunjuk ke salah satu tulisan di menu. Teh. Teh hangat.

“Aya, mesin kopinya bagus disini, sayang Aya sudah minum di rumah, kalau belum Kyoko bikinkan disini hahaha” Kyoko tampak terlihat begitu senang dengan kunjungan di café ini.

“Kamu sering-sering main sini aja, diskusi sama Zul, kali-kali aja jadi sesuatu…. Kan lumayan buat elo men, jadi ada menu baru atau ada pegawai gratis” jawabku.
“Ya gak gitu juga hahaha… Kesannya gue seenaknya banget….” komentar Zul.

“Oh iya, kali sekalian makan malem ya kita disini, pesenin KFC ntar ya Zul buat tiga orang” senyumku ke Zul sambil berjalan kembali ke meja.
“Kampret” umpatnya.

Aku kembali ke meja, sambil melirik ke arah muka Kyoko yang terlihat senang. Sepertinya dia tampak gembira karena hari ini dia berkesempatan untuk melakukan hal yang ia sukai, yaitu beraktivitas di café, diskusi soal kopi dengan orang yang sama-sama mengerti. Ah, andaikan Zul mencari pegawai, pikirku. Tapi dia tidak pernah bicara soal pegawai, karena memang volume cafenya yang kecil dan pasti berat untuknya menggaji orang. Apalagi pasti standard gaji untuk orang dengan pengetahuan dan skill di balik coffee machine seperti Kyoko pasti tinggi.

“Liat dong grup Hantaman” tegur Stefan saat aku sudah kembali ke meja.
“Kenapa sih, malah jadi gak pengen gue liat” aku menyipitkan mataku ke arah Stefan. Gerak-gerik gusarnya aku sudah hapal sekali. Stefan memang tidak pernah bisa untuk menyembunyikan suasana hatinya. Pasti semua terekam di ekspresinya.

“Liat aja”
“Bentar” aku merogoh dan meraih handphoneku yang ada di saku jaket. Tapi belum sempat aku membukanya, Kyoko sudah ada disebelahku, membawakan teh yang kupesan tadi.

“Eh, makasih, kok jadi kamu yang nganter?” tanyaku sambil menepuk paha Kyoko.
“Tidak apa, sekalian Kyoko hampiri Aya” senyumnya sambil menatapku.

“Coba gue liat apa, sih yang bisa bikin si Stefan ini mendadak mukanya jadi ditekuk kayak sekarang” bingungku.

Aku membuka handphoneku, dan melihat ke media sosial dimana grup chat Hantaman berada. Tidak banyak chat. Hanya ada satu pesan yang belum terbaca. Aku jadi semakin bingung, aku pikir ada perbincangan yang ramai dan panjang antara Anin dan Stefan di grup soal sesuatu entahlah yang membuat Stefan tampak kurang nyaman, dan Bagas pasti tidak pernah nimbrung bicara walaupun nomernya ada di dalam grup itu.

Cangkir teh kudekatkan ke mulutku dan teh panas yang membuat suasana sore semakin tenang masuk ke dalam mulutku. Dan mendadak aku hampir tersedak membaca tulisan Anin di grup.

“Guys, kita diundang ke bandung bulan depan, awal bulan, which is cuma itungan dua minggu lagi. Pensi anak SMA, tapi tempatnya di Sebuah gedung di belakang PTN ternama di Bandung. Headliners acaranya ada tiga. Yah dua diantaranya, Kita, sama Dying Inside My Heart”

“Wow hahaha” tawaku melihat nama terakhir.
“Yeah I Know, Fuck” kesal Stefan sambil membakar sebatang rokok lagi.

“Gak bakal kejadian apa-apa lah Fan, kan mereka pasti takut ama Bagas” aku berusaha menenangkan Stefan.
“Bukan mereka yang gue takutin, tapi gue yang takut sama diri gue sendiri”
“Kenapa musti takut, kan bisa lo atur lah kelakuan lo di depan mereka”

“Gue paling gatel liat bocah tengil….” lanjutnya.
“Ga bakal tengil lagi mereka kalo ketemu Bagas”
“Gue gak jamin…”

“Udah lah, gak usah dilanjutin kejadian yang dulu, udah cukup itu…. Cukup mengesalkan dan cukup gak dewasa” aku memberi kesimpulan.
“Ah, kita liat nanti…..”

“Lagian ga ada berita tengil lagi soal mereka kan?” tanyaku ke Stefan.
“Gue tadi kebetulan langsung nelpon temen gue yang di EO, yang kemaren baru aja nanggep acara apa gitu, yang main DIMH”

“Buset iseng amat?”

“Iya gue googling tadi, cari jadwal main mereka dan EO yang bersangkutan…. Kebetulan temen gue ada disana…”

“Kepo lo keterlaluan juga ya Fan……..”
“Kata temen gue, mereka masih tengil, Cuma sekarang lebih sopan, ga di aplot ke medsos…. Ya, mereka masih suka ngerepotin panitia dengan gaya ngesok dan lala-lala lainnya”

“Oleh karena itu lo yang harus jaga supaya emosi lo gak mendadak kepancing” senyumku.
“Ga janji”

“Come on, lo udah dewasa kan?”
“Gak sedewasa itu kayaknya”

“Santai aja, gue jagain elo, tapi inget, jangan repotin Bagas lagi kalo ada yang aneh-aneh” tegurku.

“Ah whatever lah….. Gimana entar…..”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
dimh , hmm....
gw ngebayangin band emo alay yg lirik ama musik nya gajelas juntrungan nya....
ahahahaaa....
 
“Kyoko lebih suka kalau tiap hari bisa lihat Aya seperti sekarang” dia menengok ke belakang, sehabis mencuci piring yang tadi kupakai, sambil tersenyum kepadaku.

Ni kalimat klu blm baca kisah cintanya Kyoko pasti rasanya biasa aja. Bagi yg dah baca pasti lah haru biru bin ngences. Semacam penebusan dosa Kyoko kepada Hiroshi gitu kan kalau menurut ane sih ya.

“Hmm” jawabku pelan, sambil mencoba menelaah air mukanya. Terus terang tak tertebak, tapi aku merasakan ada sedikit kegetiran yang terasa di kalimatnya. Tapi, mungkin masih agak terlalu cepat menanyakan hal ini, karena usia pernikahan kami baru mau jalan tiga minggu.

Menguatkan asumsi ane

So makasih apdet nya om. Malmingan 2 atw 3 part kek apdetnya. Kan senang ane :D
 
Ane blm pernah baca MDT 2, udah keburu di hapus..dan ada bagian dari cerita okanohakoi waktu Stefan dan Arya ngobrolin soal cewek2 di masa lalu Arya, dan ada 1 cewek yg bikin ane penasaran, yaitu pas stefan nanya 'kalo si itu gimana?' dan Arya jawab 'shut up'..

Moga cewek tersebut terkuak di cerita ini

Biar ga penasaran lagi:D
 
Aaaaaaaaaarrgh&......arghhhh. .. .


I dont believe it.. I dont believe it... Makacih ya kk RB... .


MUACH..... MUACH.. . MUACH.. ..:cup::cup::cup::hore:
 
Udah berharap dari lama, cerita ini bakalan lanjut. Akhirnya kesampaian juga. Terimakasih suhu RB. Semoga sehat selalu.
 
Blm lengkap hari minggu nya klu blm baca apdetan MDT2
Ayo om di buka pintu bioskop nya :D
 
Bimabet
Lelawan itu yg mana ya ceritanya? udah pernah baca semua tulisan suhu RB kecuali yg lelawan itu, link please buat yg tau

Cerita ini berada di universe yang sama dengan Lucky Bastard, Amyra, Penanti, Lelawan dan Okasan no Hatsu Koi
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd