ratu crot
Adik Semprot
- Daftar
- 12 Mar 2016
- Post
- 107
- Like diterima
- 101
Copas
===================================
Berikut ini adalah kisah hidupku yang penuh dilumuri
nafsu seks. Gara-gara menghindari guna-guna
seksual majikanku, aku malah terjerumus jadi
pemuas nafsu mbah dukun.
Sejak suamiku meninggal karena sakit pada akhir
Oktober 1994, aku tinggal di rumah sendirian. Kedua
anak kami, Basuki dan Nina, telah dua tahun ini
bekerja di Jakarta setelah lulus SMA-nya. Sewaktu
ayahnya meninggal, praktis mereka hanya satu
minggu tinggal di rumah menemaniku. Setelah itu
mereka harus kembali bekerja karena izin cutinya
habis. Ya, bagaimana pun kesedihan tak boleh
berlarut-larut. Satu minggu cukuplah sudah
menangisi kepergian orang yang sangat kami cintai
itu. Selanjutnya kami kembali harus berjuang
mempertahankan hidup, mengisi perut.
Kami tergolong keluarga kurang mampu. Suamiku
yang bekerja sebagai makelar tidak setiap hari
membawa hasil. Ia jadi makelar apa saja. Dari
sepeda motor, mobil, rumah, tanah bahkan kalau
perlu jual sepeda sekalipun. Prinsipnya, yang
penting halal dan menghasilkan. Aku kagum oleh
semangat kerja dan keuletannya. Dan hasilnya tidak
mengecewakan, terbukti dengan berhasilnya kedua
anak kami menyelesaikan studi di SMA. Tidak sia-
sia hasil jerih payah suamiku yang hanya lulusan
SMP itu. Aku, yang SMP pun tidak lulus, hanya
mendukungnya dengan sepandai mungkin mengatur
keuangan keluarga sejak kami menikah sekitar 20
tahun yang lalu.
Waktu naik ke pelaminan, usiaku masih 18 tahun,
sedangkan suami sudah 25 tahun. Sementara itu,
aku sendiri juga tidak mau diam menganggur di
rumah. Aku jadi buruh cuci pada keluarga-keluarga
yang memerlukan. Kadang cucian kubawa ke
rumah, tidak jarang pula aku harus mencuci di
rumah pelangganku. Gabungan penghasilan kami
cukuplah untuk kehidupan sehari-hari dan
menyekolahkan Basuki dan Nina meski hanya
sampai SMA. Bersyukur pula kami dikaruniai dua
anak yang penuh pengertian. Yang tidak menuntut
studi terlalu tinggi mengingat ketiadaan biaya.
“Kami akan bekerja dulu mengumpulkan uang, Bu.
Nanti kalau ingin kuliah akan kami biayai sendiri,”
kata kedua anakku membuat hatiku terharu
sewaktu melepas keberangkatan mereka bekerja di
Tangerang.
Basuki bekerja menjadi buruh pabrik sepatu,
sementara Nina yang dijemputnya setelah lulus
SMA tahun berikutnya bekerja jadi karyawati di
salah satu supermarket. Untuk menghemat biaya
mereka tinggal di satu kamar kos kecil di
perkampungan Tangerang yang sewanya 50 ribu
rupiah per bulan. Bila ada rejeki dan waktu
senggang mereka jalan-jalan ke Jakarta yang
jaraknya tidak terlalu jauh.
Suatu malam, beberapa minggu setelah peringatan
seratus hari meninggalnya suamiku, mendadak aku
terbangun dari tidur. Udara kurasakan panas sekali
saat itu. Padahal jam weaker waktu itu baru
menunjukkan pukul satu dini hari lewat beberapa
menit, namun panasnya serasa kalau kita berdiri di
jalan raya pukul 12 siang. Keringatku berleleran di
seluruh tubuh. Daster tidurku rasanya sudah basah
kuyup dan bisa diperas. Meski aku tinggal di
perkampungan padat penduduk, tapi tidak pernah
udaranya sepanas ini. Terpaksa daster kulepas dan
kukeringkan tubuhku dengan handuk sebelum
mengenakan daster baru. Namun sebentar saja
tubuhku sudah basah lagi oleh keringat.
Jendela kamar kubuka supaya udara masuk. Ini pun
tidak menolong, karena rumahku yang kecil berada
di sela-sela rumah besar lainnya yang bertembok
rapat. Tidak banyak angin yang masuk melalui
jendela. Akhirnya, setelah jendela kututup kembali,
kuputuskan keluar rumah. Kututup pintu perlahan di
belakangku tanpa menguncinya. Kuperhatikan
sekitar, malu kalau ketahuan malam-malam seperti
ini keluar rumah karena aku wanita.
Mendadak, seperti ada yang menarikku, kakiku
melangkah meninggalkan rumah. Aku yang semula
hanya ingin berangin-angin di depan rumah tidak
kuasa menahan kakiku yang berjalan dan terus
berjalan melewati jalan-jalan kecil berkelok-kelok.
Beberapa rumah tetangga sudah terlewati. Hatiku
menyatakan ingin berhenti dan pulang ke rumah,
namun pikiranku seperti kosong dan terus
mengikuti kemana kaki melangkah. Akhirnya
setelah beberapa puluh meter berjalan, aku sampai
di depan rumah Pak Kosim, pria berusia 50 tahunan.
Selama ini keluarganya juga menyuruhku membantu
mencuci pakaian.
Tidak lama aku berdiri, pintu rumah Pak Kosim
terbuka dan nampak pria itu menyambut
kedatanganku.
“Silakan masuk Surti,” langsung saja Pak Kosim
mempersilakanku masuk ke rumahnya.
Entah kenapa, aku pun tidak canggung lagi
melangkah masuk. Setelah menutup dan mengunci
pintu, Pak Kosim menuntunku ke dalam. Kemudian
aku tahu, karena sudah sering memasuki rumah ini,
bahwa kami sedang menuju ke kamar Pak Kosim.
Pintu kamar dibuka dan di dalamnya kosong.
“Kemana Bu Kosim?” hatiku bertanya.
Gilanya aku menurut saja ketika tanganku ditarik
Pak Kosim memasuki kamar itu dan dibimbingnya
ke tempat tidur.
“Ini diminum dulu, Sur.”
Entah kapan dibuat, ternyata di kamarnya sudah
tersedia segelas air teh yang sepertinya memang
disediakan untukku. Aku yang kepanasan segera
meminumnya habis.
“Tolong pijiti aku, Sur,” pinta Pak Kosim lalu
membuka kaos yang dikenakan dan merebahkan
diri ke ranjang.
Seperti terhipnotis, aku yang seumur hidup belum
pernah memijati orang lain selain suamiku, segera
saja melaksanakan perintah itu. Gila! Mulutku pun
rasanya kelu untuk berkata-kata menanyakan
kejanggalan ini. Sementara tanganku terus sibuk
memijat.
“Kamu kepanasan ya, Sur? Keringatmu sampai
keluar banyak sekali?” Pak Kosim melihatku sambil
membalik tubuhnya jadi telentang.
Aku hanya mengangguk. Tubuhku memang rasanya
bertambah panas saja.
“Buka saja dastermu kalau panas..” ucapnya lagi
sambil bangkit dan berupaya membantuku
membuka daster.
Herannya, aku yang tetap yakin ada yang tidak
beres, tidak menolaknya. Malahan diam saja ketika
Pak Kosim tidak hanya membuka dasterku, namun
juga seluruh yang melekat di tubuhku. Lalu
membaringkanku ke ranjangnya, dan ganti dia yang
memijatiku. Sebentar kemudian kurasakan tubuhku
sudah digelutinya.
“Ini perzinahan!” teriak bathinku.
Tapi lagi-lagi semua nuraniku melayang entah
kemana. Tambahan lagi aku yang sudah berbulan-
bulan “puasa” dari nafkah bathin mendadak
merasakan desakan kebutuhan itu meletup-letup.
Seperti kesetanan aku pun melayani kegilaan Pak
Kosim. Tubuh kami pun segera mandi keringat.
Aku tersadar ketika tubuhku digoyang-goyangkan.
“Bangun, Mbak. Bangun..!” samar-samar kudengar
suara beberapa orang.
Geragapan aku terbangun dan betapa kaget
mendapati diri tergeletak di pinggir jalan di bawah
pohon besar. Beberapa penduduk yang tugas ronda
menemukanku tertidur di situ sekitar pukul empat
pagi.
“Ini Mbak Surti, kan? Kenapa tidur di sini?” tanya
mereka.
“Ak.. aku sendiri juga tidak tahu,” sahutku bingung.
“Mbak dari bepergian ya?” tanya seseorang.
“Ti.. tidak,” jawabku.
Aku masih nanar, dan tidak begitu yakin apakah
pengalamanku dengan Pak Kosim itu kenyataan
atau bukan.
“Tadi aku tidur di rumah,” sambungku.
“Jangan-jangan..,” bisik yang lain, “Mbak Surti
dipindahkan setan penunggu pohon ini! Katanya
pohon ini memang agak angker.”
Aku jadi merinding mendengarnya. Meski begitu aku
diam saja. Demikian juga ketika mereka
mengantarku ke rumah. Aku tetap bungkam, dan
tidak hendak menceritakan pengalamanku tadi.
Pertimbanganku, kalau kejadian yang kualami tadi
hanya mimpi, pasti aku akan ditertawakan.
Sebaliknya kalau sungguh-sungguh terjadi aku
akan lebih malu lagi.
Setelah para peronda yang mengantarku pergi,
cepat-cepat kukunci pintu rumah, lalu bergegas ke
kamar mandi. Kuperiksa diriku, dan benar saja..,
masih terasa ada bercak-bercak cairan di sekitar
pahaku. Segera kubersihkan tubuhku dan mandi
keramas. Namun toh bayangan kejadian dengan
Pak Kosim itu tidak dapat lepas dari benakku.
Bahkan aku akhirnya meyakini perzinahan itu
sungguh-sungguh terjadi, meski tidak pernah tahu
bagaimana hal itu dapat berlangsung.
Beberapa hari setelah itu aku merasa sangat malas
keluar rumah. Pekerjaan mencuci kukerjakan di
rumah. Aku hanya mengambilnya dari rumah ke
rumah, lalu segera pulang. Untuk kemudian
mengembalikannya sore hari setelah rapih
kuseterika. Begitu pula dengan cucian keluarga Pak
Kosim yang sudah langganan tiga hari sekali harus
dicucikan. Aku agak jengah juga ketika mengambil
cucian ke rumahnya. Di sana kutemui Bu Kosim dan
anak-anaknya ada di rumah. Sementara Pak Kosim
seperti biasa tidak mau ikut-ikutan urusan cucian.
Aku sempat melirik kepadanya, tapi ia nampak
biasa saja membaca koran seperti tidak pernah
terjadi apa-apa. Hal ini membuatku jadi meragukan
kesimpulanku mengenai peristiwa memalukan
dengan Pak Kosim itu.
“Apa aku cuma mimpi ya?” bathinku bertanya.
Pertanyaan itu terjawab ketika tiga minggu
kemudian kualami kejadian serupa. Aku terbangun
dari tidur di tengah malam dengan tubuh mandi
keringat. Aku juga sadar sesadar-sadarnya
sewaktu membuka pintu, keluar rumah dan.. lagi-
lagi berjalan menuju ke rumah Pak Kosim. Namun
sejak minggu lalu aku sudah menyiapkan beberapa
potong kayu kecil dan selalu menaruhnya di meja
kamar. Kubawa kayu-kayu itu dan kuselipkan di
beberapa cabang pohon yang kulewati.
Kembali Pak Kosim menyambutku di pintu
rumahnya dan membawaku ke kamarnya, lalu
memberiku segelas teh manis. Gilanya, begitu teh
habis kuminum, mendadak birahiku meledak-ledak
menuntut pemuasan. Tanpa malu-malu kulepas
daster dan seluruh yang menempel di tubuh, lalu
serta-merta kutarik Pak Kosim. Sejenak kemudian
kami sudah berpacu di dalam nafsu. Entah berapa
kali aku minta dipuasi, yang jelas kurasakan Pak
Kosim berkekuatan bak kuda jantan, padahal
sehari-hari ia nampak seperti orang tua yang
lemah. Mungkin ia minum obat atau jamu tertentu?
Samar-samar kudengar jam dinding kuno
berdentang tiga kali ketika kami menyelesaikan
ronde yang entah keberapa. Meski masih ingin
terus berpacu, namun rasa kantuk yang amat
sangat memberatkan mataku. Aku terlelap dengan
mimpi indah bersama Pak Kosim. Sekonyong-
konyong mimpi indahku berantakan sewaktu
kurasakan tubuhku digoyang-goyang. Aku
terbangun dan mendapati diri tertidur di bawah
pohon besar itu lagi!
“Jangan tidur di sini, Mbak,” ucap yang
membangunkanku.
Aku terkejut. Di hadapanku berjongkok seorang
pemuda berjaket kulit dengan tubuh besar dan
atletis. Sedangkan dua temannya yang berpostur
hampir sama ikut pula berdiri mengelilingiku. Lampu
jalan yang tidak terlalu terang membuatku tidak
mampu mengenali wajah mereka yang
membelakangi lampu itu.
“Mari ke rumah saya saja, Mbak. Nggak jauh kok.
Besok pagi baru saya antar pulang,” ajaknya sambil
memegang lenganku dan membantuku berdiri.
Aku menurut saja ketika dia menuntunku, bahkan
memakaikan jaketnya, lalu merangkulkan
tangannya ke pundakku. Dalam keadaan yang
masih nanar, aku justru tidak memilih diantar
pulang. Kuikuti mereka hingga sampai ke sebuah
rumah kecil di sudut kampung. Pernah beberapa
kali aku melewati rumah itu di waktu siang, tetapi
keadaannya selalu tertutup. Rupanya pemuda ini
pemiliknya, pikirku. Aku pun jadi tidak kuatir pada
mereka. Mereka pastilah anak-anak kampung sini
juga.
Bersambung........
===================================
Berikut ini adalah kisah hidupku yang penuh dilumuri
nafsu seks. Gara-gara menghindari guna-guna
seksual majikanku, aku malah terjerumus jadi
pemuas nafsu mbah dukun.
Sejak suamiku meninggal karena sakit pada akhir
Oktober 1994, aku tinggal di rumah sendirian. Kedua
anak kami, Basuki dan Nina, telah dua tahun ini
bekerja di Jakarta setelah lulus SMA-nya. Sewaktu
ayahnya meninggal, praktis mereka hanya satu
minggu tinggal di rumah menemaniku. Setelah itu
mereka harus kembali bekerja karena izin cutinya
habis. Ya, bagaimana pun kesedihan tak boleh
berlarut-larut. Satu minggu cukuplah sudah
menangisi kepergian orang yang sangat kami cintai
itu. Selanjutnya kami kembali harus berjuang
mempertahankan hidup, mengisi perut.
Kami tergolong keluarga kurang mampu. Suamiku
yang bekerja sebagai makelar tidak setiap hari
membawa hasil. Ia jadi makelar apa saja. Dari
sepeda motor, mobil, rumah, tanah bahkan kalau
perlu jual sepeda sekalipun. Prinsipnya, yang
penting halal dan menghasilkan. Aku kagum oleh
semangat kerja dan keuletannya. Dan hasilnya tidak
mengecewakan, terbukti dengan berhasilnya kedua
anak kami menyelesaikan studi di SMA. Tidak sia-
sia hasil jerih payah suamiku yang hanya lulusan
SMP itu. Aku, yang SMP pun tidak lulus, hanya
mendukungnya dengan sepandai mungkin mengatur
keuangan keluarga sejak kami menikah sekitar 20
tahun yang lalu.
Waktu naik ke pelaminan, usiaku masih 18 tahun,
sedangkan suami sudah 25 tahun. Sementara itu,
aku sendiri juga tidak mau diam menganggur di
rumah. Aku jadi buruh cuci pada keluarga-keluarga
yang memerlukan. Kadang cucian kubawa ke
rumah, tidak jarang pula aku harus mencuci di
rumah pelangganku. Gabungan penghasilan kami
cukuplah untuk kehidupan sehari-hari dan
menyekolahkan Basuki dan Nina meski hanya
sampai SMA. Bersyukur pula kami dikaruniai dua
anak yang penuh pengertian. Yang tidak menuntut
studi terlalu tinggi mengingat ketiadaan biaya.
“Kami akan bekerja dulu mengumpulkan uang, Bu.
Nanti kalau ingin kuliah akan kami biayai sendiri,”
kata kedua anakku membuat hatiku terharu
sewaktu melepas keberangkatan mereka bekerja di
Tangerang.
Basuki bekerja menjadi buruh pabrik sepatu,
sementara Nina yang dijemputnya setelah lulus
SMA tahun berikutnya bekerja jadi karyawati di
salah satu supermarket. Untuk menghemat biaya
mereka tinggal di satu kamar kos kecil di
perkampungan Tangerang yang sewanya 50 ribu
rupiah per bulan. Bila ada rejeki dan waktu
senggang mereka jalan-jalan ke Jakarta yang
jaraknya tidak terlalu jauh.
Suatu malam, beberapa minggu setelah peringatan
seratus hari meninggalnya suamiku, mendadak aku
terbangun dari tidur. Udara kurasakan panas sekali
saat itu. Padahal jam weaker waktu itu baru
menunjukkan pukul satu dini hari lewat beberapa
menit, namun panasnya serasa kalau kita berdiri di
jalan raya pukul 12 siang. Keringatku berleleran di
seluruh tubuh. Daster tidurku rasanya sudah basah
kuyup dan bisa diperas. Meski aku tinggal di
perkampungan padat penduduk, tapi tidak pernah
udaranya sepanas ini. Terpaksa daster kulepas dan
kukeringkan tubuhku dengan handuk sebelum
mengenakan daster baru. Namun sebentar saja
tubuhku sudah basah lagi oleh keringat.
Jendela kamar kubuka supaya udara masuk. Ini pun
tidak menolong, karena rumahku yang kecil berada
di sela-sela rumah besar lainnya yang bertembok
rapat. Tidak banyak angin yang masuk melalui
jendela. Akhirnya, setelah jendela kututup kembali,
kuputuskan keluar rumah. Kututup pintu perlahan di
belakangku tanpa menguncinya. Kuperhatikan
sekitar, malu kalau ketahuan malam-malam seperti
ini keluar rumah karena aku wanita.
Mendadak, seperti ada yang menarikku, kakiku
melangkah meninggalkan rumah. Aku yang semula
hanya ingin berangin-angin di depan rumah tidak
kuasa menahan kakiku yang berjalan dan terus
berjalan melewati jalan-jalan kecil berkelok-kelok.
Beberapa rumah tetangga sudah terlewati. Hatiku
menyatakan ingin berhenti dan pulang ke rumah,
namun pikiranku seperti kosong dan terus
mengikuti kemana kaki melangkah. Akhirnya
setelah beberapa puluh meter berjalan, aku sampai
di depan rumah Pak Kosim, pria berusia 50 tahunan.
Selama ini keluarganya juga menyuruhku membantu
mencuci pakaian.
Tidak lama aku berdiri, pintu rumah Pak Kosim
terbuka dan nampak pria itu menyambut
kedatanganku.
“Silakan masuk Surti,” langsung saja Pak Kosim
mempersilakanku masuk ke rumahnya.
Entah kenapa, aku pun tidak canggung lagi
melangkah masuk. Setelah menutup dan mengunci
pintu, Pak Kosim menuntunku ke dalam. Kemudian
aku tahu, karena sudah sering memasuki rumah ini,
bahwa kami sedang menuju ke kamar Pak Kosim.
Pintu kamar dibuka dan di dalamnya kosong.
“Kemana Bu Kosim?” hatiku bertanya.
Gilanya aku menurut saja ketika tanganku ditarik
Pak Kosim memasuki kamar itu dan dibimbingnya
ke tempat tidur.
“Ini diminum dulu, Sur.”
Entah kapan dibuat, ternyata di kamarnya sudah
tersedia segelas air teh yang sepertinya memang
disediakan untukku. Aku yang kepanasan segera
meminumnya habis.
“Tolong pijiti aku, Sur,” pinta Pak Kosim lalu
membuka kaos yang dikenakan dan merebahkan
diri ke ranjang.
Seperti terhipnotis, aku yang seumur hidup belum
pernah memijati orang lain selain suamiku, segera
saja melaksanakan perintah itu. Gila! Mulutku pun
rasanya kelu untuk berkata-kata menanyakan
kejanggalan ini. Sementara tanganku terus sibuk
memijat.
“Kamu kepanasan ya, Sur? Keringatmu sampai
keluar banyak sekali?” Pak Kosim melihatku sambil
membalik tubuhnya jadi telentang.
Aku hanya mengangguk. Tubuhku memang rasanya
bertambah panas saja.
“Buka saja dastermu kalau panas..” ucapnya lagi
sambil bangkit dan berupaya membantuku
membuka daster.
Herannya, aku yang tetap yakin ada yang tidak
beres, tidak menolaknya. Malahan diam saja ketika
Pak Kosim tidak hanya membuka dasterku, namun
juga seluruh yang melekat di tubuhku. Lalu
membaringkanku ke ranjangnya, dan ganti dia yang
memijatiku. Sebentar kemudian kurasakan tubuhku
sudah digelutinya.
“Ini perzinahan!” teriak bathinku.
Tapi lagi-lagi semua nuraniku melayang entah
kemana. Tambahan lagi aku yang sudah berbulan-
bulan “puasa” dari nafkah bathin mendadak
merasakan desakan kebutuhan itu meletup-letup.
Seperti kesetanan aku pun melayani kegilaan Pak
Kosim. Tubuh kami pun segera mandi keringat.
Aku tersadar ketika tubuhku digoyang-goyangkan.
“Bangun, Mbak. Bangun..!” samar-samar kudengar
suara beberapa orang.
Geragapan aku terbangun dan betapa kaget
mendapati diri tergeletak di pinggir jalan di bawah
pohon besar. Beberapa penduduk yang tugas ronda
menemukanku tertidur di situ sekitar pukul empat
pagi.
“Ini Mbak Surti, kan? Kenapa tidur di sini?” tanya
mereka.
“Ak.. aku sendiri juga tidak tahu,” sahutku bingung.
“Mbak dari bepergian ya?” tanya seseorang.
“Ti.. tidak,” jawabku.
Aku masih nanar, dan tidak begitu yakin apakah
pengalamanku dengan Pak Kosim itu kenyataan
atau bukan.
“Tadi aku tidur di rumah,” sambungku.
“Jangan-jangan..,” bisik yang lain, “Mbak Surti
dipindahkan setan penunggu pohon ini! Katanya
pohon ini memang agak angker.”
Aku jadi merinding mendengarnya. Meski begitu aku
diam saja. Demikian juga ketika mereka
mengantarku ke rumah. Aku tetap bungkam, dan
tidak hendak menceritakan pengalamanku tadi.
Pertimbanganku, kalau kejadian yang kualami tadi
hanya mimpi, pasti aku akan ditertawakan.
Sebaliknya kalau sungguh-sungguh terjadi aku
akan lebih malu lagi.
Setelah para peronda yang mengantarku pergi,
cepat-cepat kukunci pintu rumah, lalu bergegas ke
kamar mandi. Kuperiksa diriku, dan benar saja..,
masih terasa ada bercak-bercak cairan di sekitar
pahaku. Segera kubersihkan tubuhku dan mandi
keramas. Namun toh bayangan kejadian dengan
Pak Kosim itu tidak dapat lepas dari benakku.
Bahkan aku akhirnya meyakini perzinahan itu
sungguh-sungguh terjadi, meski tidak pernah tahu
bagaimana hal itu dapat berlangsung.
Beberapa hari setelah itu aku merasa sangat malas
keluar rumah. Pekerjaan mencuci kukerjakan di
rumah. Aku hanya mengambilnya dari rumah ke
rumah, lalu segera pulang. Untuk kemudian
mengembalikannya sore hari setelah rapih
kuseterika. Begitu pula dengan cucian keluarga Pak
Kosim yang sudah langganan tiga hari sekali harus
dicucikan. Aku agak jengah juga ketika mengambil
cucian ke rumahnya. Di sana kutemui Bu Kosim dan
anak-anaknya ada di rumah. Sementara Pak Kosim
seperti biasa tidak mau ikut-ikutan urusan cucian.
Aku sempat melirik kepadanya, tapi ia nampak
biasa saja membaca koran seperti tidak pernah
terjadi apa-apa. Hal ini membuatku jadi meragukan
kesimpulanku mengenai peristiwa memalukan
dengan Pak Kosim itu.
“Apa aku cuma mimpi ya?” bathinku bertanya.
Pertanyaan itu terjawab ketika tiga minggu
kemudian kualami kejadian serupa. Aku terbangun
dari tidur di tengah malam dengan tubuh mandi
keringat. Aku juga sadar sesadar-sadarnya
sewaktu membuka pintu, keluar rumah dan.. lagi-
lagi berjalan menuju ke rumah Pak Kosim. Namun
sejak minggu lalu aku sudah menyiapkan beberapa
potong kayu kecil dan selalu menaruhnya di meja
kamar. Kubawa kayu-kayu itu dan kuselipkan di
beberapa cabang pohon yang kulewati.
Kembali Pak Kosim menyambutku di pintu
rumahnya dan membawaku ke kamarnya, lalu
memberiku segelas teh manis. Gilanya, begitu teh
habis kuminum, mendadak birahiku meledak-ledak
menuntut pemuasan. Tanpa malu-malu kulepas
daster dan seluruh yang menempel di tubuh, lalu
serta-merta kutarik Pak Kosim. Sejenak kemudian
kami sudah berpacu di dalam nafsu. Entah berapa
kali aku minta dipuasi, yang jelas kurasakan Pak
Kosim berkekuatan bak kuda jantan, padahal
sehari-hari ia nampak seperti orang tua yang
lemah. Mungkin ia minum obat atau jamu tertentu?
Samar-samar kudengar jam dinding kuno
berdentang tiga kali ketika kami menyelesaikan
ronde yang entah keberapa. Meski masih ingin
terus berpacu, namun rasa kantuk yang amat
sangat memberatkan mataku. Aku terlelap dengan
mimpi indah bersama Pak Kosim. Sekonyong-
konyong mimpi indahku berantakan sewaktu
kurasakan tubuhku digoyang-goyang. Aku
terbangun dan mendapati diri tertidur di bawah
pohon besar itu lagi!
“Jangan tidur di sini, Mbak,” ucap yang
membangunkanku.
Aku terkejut. Di hadapanku berjongkok seorang
pemuda berjaket kulit dengan tubuh besar dan
atletis. Sedangkan dua temannya yang berpostur
hampir sama ikut pula berdiri mengelilingiku. Lampu
jalan yang tidak terlalu terang membuatku tidak
mampu mengenali wajah mereka yang
membelakangi lampu itu.
“Mari ke rumah saya saja, Mbak. Nggak jauh kok.
Besok pagi baru saya antar pulang,” ajaknya sambil
memegang lenganku dan membantuku berdiri.
Aku menurut saja ketika dia menuntunku, bahkan
memakaikan jaketnya, lalu merangkulkan
tangannya ke pundakku. Dalam keadaan yang
masih nanar, aku justru tidak memilih diantar
pulang. Kuikuti mereka hingga sampai ke sebuah
rumah kecil di sudut kampung. Pernah beberapa
kali aku melewati rumah itu di waktu siang, tetapi
keadaannya selalu tertutup. Rupanya pemuda ini
pemiliknya, pikirku. Aku pun jadi tidak kuatir pada
mereka. Mereka pastilah anak-anak kampung sini
juga.
Bersambung........