Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

Bimabet
menunggu update
 
CHAPTER 5


Aku sungguh tidak mengerti kenapa tiba-tiba aku berada di sebuah tegalan yang penuh dengan pohon buleleng (jagung gembal). Aku pun mencoba melihat sekitar yang terasa asing. Tempat yang belum pernah aku singgahi, dan juga belum pernah melihat tempat seperti ini. Tiba-tiba aku terperanjat hebat tatkala mataku menangkap seorang tua renta sedang dianiaya oleh tiga orang pria berbadan tegap. Si orang tua meringkuk di tanah menahan pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan dari ketiga pria yang memakai pakaian serba hitam dan wajah juga ditutupi oleh kupluk yang menutupi wajah.

Aku ingin bergerak, aku ingin menolong si orang tua, tetapi tubuhku tidak bisa bergerak. Aku berusaha keras melepaskan sesuatu yang menahan, tetapi gagal. Bahkan untuk berganti posisi saja rasanya tidak bisa. Aku berteriak tanpa henti, dan anehnya mereka sepertinya tidak mendengar suaraku. Suara teriakanku seolah hanya bunyi angin yang tidak penting. Tak ada yang bisa kulakukan lagi. Mataku terpejam erat, suaraku seolah tersekat di tenggorokan. Sebuah suara seolah mengatakan padaku bahwa telah tidak ada kesempatan untuk menolong si orang tua.

Saat mataku terbuka kembali, tubuh si orang tua dihujami belati. Salah satu pria penyiksa terlihat menggorok leher si orang tua yang sedang terkapar itu hingga darahnya mengucur bagai air mancur. Aku yang melihatnya sampai bergidik ngeri. Aku menjerit tetapi suaraku melepuh. Kali ini terasa gegaran di tubuh, seakan digoncang dan berpeluh. Aku lihat ketiga pria penyiksa itu tertawa-tawa dan mereka meninggalkan si orang tua yang sudah tak bernyawa.

Sial! Kenapa baru sekarang aku bisa bergerak setelah pria-pria penyiksa itu telah pergi. Aku berhambur menghampiri mayat si orang tua. Untuk yang kedua kalinya aku terperanjat hebat. Sungguh, tubuhku seperti tersengat listrik mendadak. Mataku seolah ingin meloncat dari kelopak. Wajah yang kulihat adalah wajah Pak Margo. Orang tua yang dikabarkan dibunuh itu kini ada di hadapanku. Belum juga rasa terkejut hilang, tiba-tiba telingaku menangkap suara, “Selamatkan tanahku ... Tanahku ... Tanahku ...

Suara petir di luar sana sukses membangunkanku. Aku terperanjat. Aku bangkit dari tidur dengan gerakan cepat dan memaksakan diriku untuk duduk. Napasku tersengal-sengal, keringat membasahi seluruh piyamaku. Rambutku telah kusut dan basah. Mataku terasa sangat perih bercampur lelah. “Selamatkan tanahku ... Tanahku ... Tanahku ...” Kalimat itu terngiang-ngiang di benakku. Mengapa aku memimpikannya? Mengapa harus mimpi semacam itu?

Aku menyibakkan rambutku ke belakang dan mengelap keringat di dahiku. Kuhirup napas dalam-dalam, berharap keterkejutanku ini segera berakhir. Mataku memandang ke sekelilingku. Aku menghela napas lega begitu mengetahui tadi itu hanya mimpi. Memang tak semua orang akan mempercayai keberadaannya secara langsung. Adakalanya mimpi dianggap sebagai bunga tidur saja. Setelah siuman lalu hilang ditelan angin kenyataan. Semu, nisbi, dan hilang entah kemana.

Tetapi mimpiku kali ini seperti bukan sekedar bunga tidur semata. Mimpi yang datang tadi seperti sebagai isyarat. Sampai suara yang berbisik dalam mimpiku itu seolah menegaskan sebuah misi dan sebuah tanggung jawab. Bahkan suara itu masih saja terngiang di kepalaku. Suara itu terasa semakin menjamak hingga membuatku tidak dapat menutup mata lagi, aku tidak bisa tidur.

Aku turun dari tempat tidur dan menuju ke arah jendela seraya membuka gorden. Dinginnya angin malam langsung menyergap tubuhku, tanpa kenal ampun tamparan keras angin malam langsung mendarat di wajahku. Kucari isyarat-isyarat yang mungkin tepat dari mimpiku tadi, sebelum akhirnya kututup kembali jendela tanpa ada isyarat yang kudapat. Akhirnya merenung di sisi ranjang adalah pilihanku. Setelah mempertanyakan sembari merenungkan apa yang sesungguhnya terjadi berikutnya lahirlah kesadaran bahwa itu kejahatan.

Bagaimana pun juga setiap kejahatan harus diadili sesuai hukum yang berlaku agar tegak hukum dan keadilan. Bagi banyak orang, mengatakan yang benar adalah benar dan mengatakan salah itu salah adalah perkara yang berat. Mungkin banyak orang lebih memilih diam dan mencari aman dalam melihat kejahatan apalagi ada ancaman yang begitu nyata. Tapi bagiku, tidak merasa tenang bila membiarkan kejahatan terus berjalan di lingkungan sekitarku. Karena itu, sesuai tuntutan hati nurani, aku akan membongkar kejahatan yang telah terjadi, apapun resiko yang akan dihadapi.

Setelah menghela napas, aku keluar kamar lantas membuat kopi di dapur. Aroma kopi memang selalu menggugah rasa. Aroma kopi selalu membuat jantungku berdebar lebih semarak seakan terkumpul lagi kekuatan untuk menghadapi hari ini esok dan seterusnya. Aku seruput kopi panas, berharap kantuk tak lagi mendera. Memang malam sudah hampir habis masa tayang karena subuh akan menjelang. Biasanya teman sejati kopi itu bernama rokok, tetapi malam ini walau dingin rokok pun tak kunjung mengepul dari mulutku. Bukannya tidak ingin merokok namun rokokku habis.

“Buatkan kakek kopi.” Tiba-tiba kakek muncul.

“Siap ... Tapi aku minta rokok dulu. Rokokku habis.” Kataku.

Kakek melempar bungkusan rokok kretek kesukaannya ke atas meja kemudian dia berjalan ke kamar mandi. Aku sambar bungkusan rokok kretek punya kakek. Sebagai penikmat kopi sejati, tak lengkap rasanya bila mengopi tanpa kehadiran batang-batang rokok. Kusulut sebatang sigaret kretek, dengan segera asap berhamburan dari kedua lubang hidungku juga lewat lubang mututku. Dan lagi kuseruput air kopi yang masih mengepul itu. Segera saja aku membuatkan kopi untuk kakek. Kopi pun siap ketika kakek keluar dari kamar mandi.

“Kakek mendengar kamu mengigau keras. Sampai kakek terbangun dan tidak bisa tidur lagi.” Ujar kakek dan tentu saja aku kaget.

“Aku mengigau?” Tanyaku tak percaya.

“Kamu berteriak-teriak gak jelas seperti orang kesurupan. Sebenarnya, apa yang kamu pikirkan?” Tanya kakek lalu menyeruput kopinya dan membakar sebatang rokok.

“Huuuffftt ... Aku bermimpi melihat Pak Margo dibunuh.” Jawabku.

“Terus ...?” Kakek bertanya lagi gak jelas tapi aku mengerti maksudnya.

“Pak Kades bilang kalau dia curiga, pembunuhan Pak Margo itu ada kaitannya dengan oknum polisi berpangkat jenderal.” Jawabku.

“Kakek juga berpikiran sama dengan Pak Kades. Karena tanah Pak Margo akan dijual oleh oknum jenderal dari Jakarta. Malah kakek pernah melihat orangnya pernah datang ke desa ini. Kakek melihat jenderal polisi itu ngobrol dengan si Tono. Kamu kenal Tono kan?” Kakek mengakhiri penjelasannya dengan bertanya.

“Pak Tono anak bungsu Pak Margo maksud kakek.” Kataku. Aku tentu mengenalnya karena sering berhubungan dengannya. Pak Tono adalah anak bungsu Pak Margo dari enam bersaudara.

“Benar. Kakek melihatnya waktu kakek ke kota kabupaten beberapa minggu yang lalu. Mereka bicara di restoran mahal. Entah kenapa, kakek berpikiran kalau pembunuhan ini ada kaitannya dengan si Tono.” Ungkap kakek yang kemudian menyesap rokoknya lagi.

“Pernah tersiar kabar, Pak Margo bertengkar hebat dengan si Tono. Ya mungkin gara-gara tanah itu.” Ungkap kakek lagi.

“Jadi untuk mengetahui kebenarannya, kita harus menyelidiki dulu Pak Tono.” Kataku yang langsung disambut dengan tatapan aneh dari kakek.

“Jangan coba-coba ikut campur dengan masalah itu. Lebih baik biarkan saja. Urusannya bukan dengan orang biasa. Biarkan saja yang berwenang yang menanganinya.” Kakek coba memperingatiku.

“Bagaimana mungkin kasus ini bisa terpecahkan? La wong yang melakukannya aparat.” Kataku.

“Makanya itu ... Kita gak akan menang, yang ada membahayakan diri sendiri.” Tegas kakek.

Aku tidak ingin berdebat lebih jauh dengan kakek. Aku memilih diam sambil terus menikmati kopi dan rokokku. Namun, aku akan tetap membongkar kejahatan yang telah terjadi. Di dunia ini semua ada porsinya masing masing, kebenaran dan keadilan harus diutamakan. Sungguh aneh sekali negeri ini. Kebenaran dan keadilan susah sekali dimengerti oleh rakyatnya sendiri. Kebenaran dan keadilan yang ada hanyalah berdasarkan persepsi, argumen dan analisis pribadi atau golongan. Kebenaran dan keadilan hanyalah milik Si kaya dan yang pandai memainkan hukum. Keadilan dan kebenaran bisa diperjual-belikan.

Kalau sudah ngobrol dengan kakek kadang aku sedikit lupa waktu. Padahal setiap hari aku selalu ngobrol seru dengannya. Keceriaan bersama kakek adalah hal lain yang selalu aku sukai, selalu saja ada obrolan menarik yang membuatku betah berlama-lama ngobrol dengan kakek. Sekitar jam enam pagi, aku mulai bersiap-siap berankat kerja. Hari ini pekerjaanku lumayan banyak. Selain itu, aku juga ingin mendatangi kantor BPN kabupaten untuk menanyakan perihal tanah almarhum Pak Margo.

Si Black pun keluar dari kandangnya. Setelah memanaskan mesin motor aku langsung melesat menuju kantor desa. Dua puluh lima menit kemudian aku sampai di kantor desa, tanpa membuang-buang waktu aku menyelesaikan pekerjaan untuk hari ini. Sekitar jam sepuluh, aku meminta izin Pak Kades untuk pergi ke kota kabupaten tanpa mengutarakan alasannya. Untung saja Pak Kades memberikan aku izin tanpa banyak bertanya.

Sepeda motor itu meluncur dengan kencang di jalanan yang beraspal. Perjalanan ke kota kabupaten memakan waktu kurang lebih dua jam. Saat matahari berada di puncak dunia, aku tiba di kota kabupaten. Langsung saja aku menuju kantor BPN. Aku diterima oleh pegawai BPN dengan sangat ramah. Bahkan keramahannya pun berlanjut saat aku menanyakan perihal tanah almarhum Pak Margo. Setelah melakukan pencarian yang memakan waktu satu jam lebih, akhirnya aku mendapat informasi jika tanah Pak Margo di wilayah Desa Pujon Kidul telah dijual oleh Pak Margo. Fakta ini tentu saja membuatku sangat bingung. Menurut pengakuan almarhum Pak Margo padaku beberapa hari yang lalu, almarhum Pak Margo tidak pernah menjual tanahnya tersebut.

Akhirnya aku kembali ke Pujon Kidul dengan membawa pertanyaan besar, “Siapa yang telah menjual tanah seluas tiga hektar milik almarhum Pak Margo?” Firasatku mengatakan bahwa akta jual beli yang kulihat di kantor BPN tadi adalah hasil permainan orang-orang di luar sepengetahuan almarhum Pak Margo. Lantas, “Siapakah orang-orang tersebut?” pertenyaan besar kedua langsung muncul di otakku.

Saat matahari akan tenggelam di ufuk Barat, aku sampai di rumah. Mandi dan berganti pakaian adalah ritualku sehabis bepergian. Seperti hari-hari sebelumnya, aku melanjutkan ritualku dengan minum kopi dan merokok bersama kakek di ruang depan. Tanpa diminta, aku langsung menceritakan penemuanku pada kakek. Untuk kali ini, kakek menjadi pendengarku yang setia.

“Jadi pertanyaannya, siapa yang menjual tanah itu?” Aku mengakhiri ceritaku.

“Kakek sih tetep nyangka sama anak-anaknya, terutama sama si Tono.” Jawab kakek teguh pada pendiriannya.

Aku harus menyelidikinya.” Ucapku dalam hati.

“Kamu harus hati-hati jika kamu ingin membongkar kasus ini. Jangan terang-terangan kamu harus sembunyi-sembunyi. Jika kamu ingin tahu siapa pembunuh Pak Margo, sebaiknya kamu menjadi bayangan. Bekerja seperti siluman. Jangan tunjukan dirimu kalau kamu sedang menyelidiki kasus pembunuhan ini.” Ucap kakek seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan.

“Baik kek ... Jujur, aku ingin membuka misteri pembunuhan ini. Kebenaran harus tetap diungkapkan dan keadilan harus juga ditegakkan. Aku tidak bisa tidur tenang jika pembunuhan ini tidak terungkap siapa pelakunya.” Kataku penuh keyakinan.

“Padahal, biarkan aparat kepolisian saja yang mengungkapannya. Kenapa kamu harus repot-repot melakukannya.” Kata kakek.

“Kakek kan tahu sendiri, siapa yang kita curigai. Rasanya kita tidak akan mendapat jawaban yang memuaskan kalau kita menunggu hasil dari kepolisian.” Kataku dan kakek hanya tersenyum.

Selepas ngopi dan merokok dengan kakek, aku memutuskan untuk menyelidiki Pak Tono yang aku sinyalir dialah orang yang ada di balik pembunuhan Pak Margo. Kupacu motorku ke arah timur, wilayah RW 16. Tidak sulit menemukan rumah orang yang aku cari. Rumah Pak Tono kebetulan letaknya agak jauh dari tetangga, jarak rumahnya dengan rumah tetangga sekitar 100 meter dan letaknya berada di ujung jalan buntu. Aku yang tadinya hanya ingin mengetahui rumah Pak Tono saja, tiba-tiba pikiranku berubah dikarenakan aku melihat ada sebuah mobil mewah terparkir di depan rumahnya. Mobil mewah itu tidak mungkin dipunyai warga Pujon Kidul, dan pasti mobil tersebut milik orang penting di ibukota. Saat itu juga aku berfirasat kalau mobil mewah yang aku lihat adalah milik jenderal polisi yang dikatakan kakek dan Pak Kades.

Aku parkirkan Si Black di pos ronda yang jaraknya sekitar 10 meter dari kediaman Pak Tono. Kutarik nafas dalam lalu menghembuskannya, ada sedikit rasa gugup ketika aku berjalan mendekati rumah di hadapanku saat ini. Sambil memasang kewaspadaan level tertinggi, aku mulai memasuki pekarangan rumah. Kuedarkan pandangan sejenak untuk memastikan tidak ada orang yang melihatku. Akhirnya aku berhasil mencapai teras dengan mengendap-endap.

Indera pendengaranku langsung menajam ketika terdengar suara-suara erotis yang berasal dari dalam rumah, entah itu geraman seorang pria maupun lenguhan seorang wanita, yang jelas suara-suara aneh tersebut sangat jelas terdengar olehku yang berada di luar rumah. Saking penasarannya aku tak lagi menghiraukan situasi, segera saja aku mengintip dari balik kaca jendela.

Luar biasa! Seorang wanita sedang dugagahi oleh dua pria sekaligus. Pria yang agak tua sedang memompakan pantatnya di antara paha si wanita, sedangkan pria yang lebih muda sedang menggagahi mulut si wanita. Si wanita itu sendiri tampak keenakan dengan ulah kedua pria yang menyetubuhinya. Erangan wanita itu terdengar tak berkeputusan. Wajahnya tampak menampilkan ekspresi nikmat yang tak terhingga. Tangan-tangan kekar dua pria tersebut secara bergantian meremasi payudaranya. Sesekali pantat si pria yang sedang memasuki vaginanya, bergerak maju-mundur dengan kasar, membuat kepala si wanita terangguk-angguk.

Adegan seru itu tidak lama. Begitu dirasanya puas, mereka langsung mengatur posisi lagi. Disuruhnya si wanita menungging di atas sofa, diikuti kedua pria sesudahnya pada posisi mereka masing-masing. Tak lama mereka sudah kembali bergoyang-goyang, memompa dan dipompa. Mereka bercinta dalam gaya anjing di atas sofa itu. Satu pria memompa vaginanya, pria yang lain dimanjakan penisnya oleh mulut si wanita. Si wanita tampak termehek-mehek merasakan betapa nikmat kedua lubangnya disumpal oleh dua penis sebesar itu. “Edan!!!” Hanya itulah ungkapan yang mewakili perasaan horny-ku saat ini.

Erangan dan desahan berat ketiganya bersahut-sahutan, merasakan nikmatnya permainan panas mereka. Rambut si wanita yang indah dijadikannya tali kekang oleh pria yang menggenjotnya dari belakang. Sementara tangan pria yang mendapatkan pekerjaan mulut dari si wanita asyik meremasi payudaranya secara bergantian. Begitupun ekspresi di wajah mereka. Ketampanan wajah kedua pria dan kecantikan si wanita menjadi lebih jelas terlihat.

Sial! Di ujung ruangan sebelah selatan aku melihat Pak Tono sedang duduk di sebuah kursi plastik. Wajahnya tampak bersedih dengan bibirnya yang bergetar-getar seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun tampak ada ketakutan dari pendar matanya. Saat aku mengalihkan pandanganku lagi pada ketika orang yang sedang berbuat maksiat nikmat itu, barulah aku sadar kalau si wanita yang sedang disetubuhi oleh pria-pria tersebut adalah Bu Nani, istri Pak Tono.

“Enak sayang?” Terdengar suara menggoda keluar dari mulut pria yang menggenjot vaginanya.

“Aahh.. Aahh.. Eennaaakk..” Jawab Bu Nani sambil mendesah-desah.

“Apakah suamimu pernah memberikan kenikmatan seperti ini?” Tanya si pria itu lagi tanpa menghentikan genjotannya.

“Gak peerrnnaaahh ... Diaa leemmaahh ... Aaaahh ...” Jawab Bu Nani dalam desahannya.

Kedua pria yang sedang bersenang-senang dengan tubuh Bu Nani tertawa terbahak-bahak. Sementara kulihat Pak Tono menundukkan kepalanya, terlihat juga tetesan air mata yang jatuh dari matanya. Melihat kejadian seperti ini tentu saja aku menjadi marah. Ini adalah pelecehan martabat paling parah yang pernah aku saksikan. Aku sangat yakin Pak Tono telah diintimidasi hingga dia tidak berani melawan dan menerima pelecehan yang mereka lakukan. Aku pun kini baru melihat ada pakaian dinas kepolisian yang tergeletak di lantai. Bisa aku pastikan sekarang jika pria itu adalah jenderal polisi beserta ajudannya.

Perlakuan yang diterima Pak Tono ini berupa perundungan seksual yang juga bisa disebut dengan bullying yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai ancaman serius terhadap harkat martabat manusia. Perundungan seksual dapat merugikan dan dapat mengubah kepribadian baik pelaku maupun korbannya. Penindasan dengan kata-kata dan perbuatan adalah bentuk pelanggaran harkat dan martabat manusia. Tindakan oknum polisi dan Bu Nani adalah tindakan merusak kemanusiaan, yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka. Mereka sudah kehilangan empati dan hati nurani. Saatnya aku akan memberi mereka pelajaran berharga.

Aku segera mengambil botol mineral tempat bersemanyam batu cahayaku. Aku teguk sedikit air dalam botol itu lalu aku membayangkan dan menghayal kalau mereka yang kini sedang bersetubuh gancet (gancet adalah kondisi ketika organ intim pria tersangkut di dalam vagina saat melakukan hubungan intim, red). Mereka tidak akan pernah bisa melepaskan kegancetan mereka sebelum mengakui secara jujur semua kejadian yang bersangkut paut dengan kasus pembunuhan Pak Margo.

Buru-buru aku meninggalkan rumah Pak Tono dan menghampiri Si Black. Aku dorong agak menjauh sebelum akhirnya aku melajukan motor kesayanganku. Setelah aku pikir-pikir, ternyata aku kejam juga telah membuat dua orang gancet. Tetapi mungkin itu adalah jalan agar kasus pembunuhan yang menimpa Pak Margo cepat terungkap. Lagi pula mereka pantas mendapatkannya karena telah merendahkan martabat orang.

Sialan! Selain rasa marah yang menggelayutiku, setiap ingat persenggamaan itu, libidoku seakan terpacu seperti orang yang sedang kehausan. Saat ini ‘juniorku’ sudah meronta untuk keluar dari celanaku dan ingin bersarang di tempat yang hangat dan basah. Aku tidak bisa menahan birahiku lagi, ‘juniorku’ terus menggeliat dan membesar. Hasrat ingin bercintaku sungguh susah dikendalikan.

Akhirnya aku pacu Si Black ke kediaman si bidan cantik, Bu Yati. Aku memacu sangat kencang motorku bagai seorang pembalap motor. Hal ini, tentulah membuat kedua ban motorku sumringah. Hari ini mereka merasakan kecepatan putaran yang belum pernah mereka rasakan. Berjumpa dengan tanah, debu, dan genangan air yang dahulu hanya dapat mereka jejaki dengan kecepatan lambat.

Setengah jam berlalu, aku sampai di kediaman Bu Yati. Setelah memarkirkan Si Black di samping teras rumah, aku pun lanjut ke pintu rumah. Aku menekan tombol bel rumah yang berada di samping pintu. Satu detik. Dua detik. Hingga akhirnya pintu terbuka menampakkan seorang wanita cantik nan seksi dengan balutan baju tidur dengan tali segaris dan bawahnya di atas lutut. Aku pikir baju tidur seksi berwarna merah muda itu benar-benar indah. Hasratku semakin menggelora. Nafsu birahi sudah mengambil alih nalar dan logikaku.

“Eh ... Kamu ... Aku telepon kok gak aktif?” Bu Yati langsung meneror dengan pertanyaan.

“Oh ...” Aku baru ingat kalau smartphoneku tertinggal di rumah karena sedang diisi daya. “Smartphoneku tertinggal di rumah. Tadi sedang charge dan mati.”

“Pantesan saja ... Ayo masuk ...” Ujar Bu Yati sembari menarik tanganku.

“Apa anak-anakmu ada di rumah?” Tanyaku sembar melangkah memasuki rumahnya.

“Tidak ada ... Mereka masih di Yogya ...” Jawabnya.

Saat pintu telah ditutup dan terkunci. Tanpa aba-aba aku langsung menyambar tubuh Bu Yati dan menggendongnya ala bridal style. Bu Yati memekik sambil melingkarkan kedua tangannya ke leherku. Sebagai laki-laki, aku sangat paham dari bahasa tubuhnya bahwa dia tidak menolak. Aku langsung membawanya ke dalam kamar lalu merebahkannya di atas ranjang.

“Hi hi hi ... Kamu ini kenapa?” Tanya wanita cantik itu saat aku lucuti baju tidurnya.

“Aku sudah gak tahan ... Aku ingin bercinta denganmu ...” Kataku dan kini tubuh Bu Yati sudah tak terlapisi gaun tidurnya.

Sejenak kemudian tampak pemandangan yang cukup mempesona. Dua bukit yang cukup segar terbungkus rapi dalam bra yang pas dengan ukurannya. Kulitnya putih, bersih dengan postur badan yang cukup indah. Sejenak aku menoleh ke bawah, tampak pahanya cukup menawan. Sementara itu onggokan kecil di selangkangan pahanya yang terbungkus celana dalam menambah panorama keindahan. Bidan cantik ini tidak menolak ketika aku membuka branya. Kuteruskan permainanku dengan mengitari sekitar bukit-bukit segar itu. Seluruh titik di bagian atasnya telah kutelusuri tidak ada yang terlewatkan, kini kedua bukti itu kuremas perlahan.

Ia mendesah, “Eeeeehhh...”

Tatkala kukulum puting susunya, badannya refleks bergerak-gerak, desahnya pun semakin jelas terdengar. Kuulangi lagi cumbuanku dari mulai mengulum bibirnya, mencium pipinya, kemudian lehernya. Kemudian kuciumi lagi bukit-bukit indah itu, dan kemudian kupermainkan kedua puting susunya dengan lidahku. Puting susu Bu Yati terasa sangat tegang dan keras. Gelinjangnya semakin terasa bergerak mengiringi desahannya yang terasa merdu sekali.

“Aaaahhh ... Sayaanngghh ...” Bu Yati mulai mendesah akibat rangsanganku yang sedikit brutal.

Petualanganku kuteruskan ke bagian bawahnya. Bu Yati tidak bereaksi, dan aku langsung saja menyingkirkan celana dalamnya ke bawah. Dalam keadaan telanjang bulat kini aku lebih leluasa memeluk dan mencumbunya, kuciumi pipi, leher dan payudaranyanya. Sedang tanganku terus menggerayang dari pinggul sampai lekukan pantatnya. Pundak Bu Yati beberapa kali bergerak merinding kegelian. Kedua tangannya kini ternyata membalas rabaan dan rangsanganku.

Beberapa saat kemudian aku bangkit berlutut di antara kedua pahanya. Sambil membuka seluruh pakaian, aku mengamati dua bibir yang mengapit lembah cintanya dihiasi bulu-bulu tipis. Sungguh pemandangan yang indah dan tanpa cela sedikit pun. Kupegang burungku sambil duduk mengangkang di atas kedua pahanya. Perlahan kukenakan kepala penisku ke arah celah bibir vaginanya, lalu kubuka bibir vagina itu dengan kepala penisku. Perlahan sekali kudorong kepala penisku masuk. Bibir vagina membuka dan dan mulai menutupi kepala penisku, terlihat lubang vaginanya yang sempit itu menggembung. Bibirnya yang berwarna coklat gelap dan pada bagian atas vaginanya, terdapat celah yang terkuak dengan selaput daging berwarna merah segar dan terdapat daging yang menonjol terkuak oleh kepala penisku.

Kudiam dulu, ingin kurasakan dulu daging yang menonjol itu lalu kulihat vaginanya. Betapa indahnya dia bertemu dengan penisku. Lalu kulihat wajahnya yang ternyata dengan mulut menganga dan mata terbeliak melihat ke vaginanya, melihat penisku menyatu dengan milik pribadi yang sekarang diberikannya kepadaku. Kemudian perlahan sekali aku masukan setengah batang penisku. Vaginanya makin menggembung kemasukan batang penisku. Dia memejamkan matanya, wajahnya menatap ke langit-langit.

“Oooohh… Sayaanngghh... Akuuu… Ooohh…..auh…. Sssshh…” Teriaknya sambil vaginanya makin menjepit, terasa di batang penisku.

Kuteruskan permainanku dengan mengeluarkan dan memasukkan setengah bagian penisku. Ia merintih kenikmatan. Selanjutnya kulihat burungku yang beruntung itu lebih mendesak ke dalam. Aku sudah tidak tahan untuk memasukkan seluruh burungku ke tempatnya yang terindah. Kemudian kurebahkan badanku di atas tubuhnya yang indah, kuciumi pipinya sambil pantatku kugerakkan naik turun. Sementara burungku lebih jauh menjangkau ke dalam lembah nikmatnya. Akhirnya seluruh berat badanku kuhempaskan ke tubuh seksi itu. Dan tanpa ampun seluruh burungku masuk ke dalam surga dunia yang indah.

“Ooooohhh ....” Bu Yati mengerang.

Setelah itu, aku pun mulai memainkan gerakan-gerakanku dengan gentle. Kini bidan cantik itu mulai mengikuti iramaku dengan menggerak-gerakkan pinggulnya. Genjotanku berubah semakin intens dan semakin lama semakin cepat, membuat Bu Yati sibuk mendesah merasakan kenikmatan di titik nikmatnya. Aku yang tengah menyetubuhi wanita cantik di bawahku ini menggeram pelan merasakan penisku dicengkeram erat oleh lubang berkedut milik Bu Yati. Lubang itu berkedut ganas seakan ingin menelan penis besar milikku yang tiada henti menggempur lubang peranakannya.

"Ssssshh... Sayangh… Aaahh...!" Aku menggeram rendah.

Suaraku bersatu padu dengan suara becek di alat kelamin kami, menimbulkan suara-suara erotis yang membangunkan libidoku hingga tingkat paling atas. Selang berapa lama kedua tangan Bu Yati lekat mencengkram punggungku, kakinya ikut menjepit kedua kakiku. Kemudian muncul erangan panjang diikuti denyut-denyut dari lembah sorganya.

"Sa... Saayyaannghh... Aaaahhhh..." Bu Yati mencapai orgasmenya. Bidan cantik itu mendesah panjang.

Aku pun, merasakan klimaksku akan segera tiba ketika lubang itu menyempit di saat Bu Yati mendapatkan orgasmenya. Aku tidak berhenti menyodok lubang nikmat itu dan semakin memperdalam sodokan, hingga satu menit berikutnya, klimaksku datang juga. Aku yang sudah tidak tahan lagi untuk menumpahkan seluruh kenikmatan, segera kucabut burungku kemudian kumuntahkan di luar dengan menekan ke selangkangannya.

“Eeehhh…” erangku juga. Cairan putih kental itu keluar sangat banyak dari lubang kecil di ujung penisku sehingga membasahi selangkangan Bu Yati.

Kami berdua menarik nafas panjang. Setelah agak lama aku duduk. Kuraih tissue, kemudian aku mengelap selangkangnya yang penuh dengan air kenikmatanku. Dengan telaten kubersihkan semuanya. Bu Yati pun tersenyum melihat tingkahku. Aku membalas senyumannya.

"Luar biasa." Gumamku takjub. Aku menatap wajahnya yang nampak kelelahan. "Maaf aku terburu-buru?" Kataku dengan nada lembut sambil merebahkan badan di sampingnya.

Bu Yati malah tersenyum lebar lalu berkata. "Itu… sangat hebat." Lirihnya.

Aku terkekeh mendapati ekspresi Bu Yati yang menurutku lucu. Aku menyingkirkan helaian poni yang menutupi keningnya, sebelum menarik tubuh seksi itu ke dalam pelukanku. Kami pun berciuman cukup lama, perlahan hingga menggebu-gebu, saling melumatkan bibir kami, membebaskan lidah kami saling menjelajah satu sama lain. Setelah dirasa nafas kami mulai menipis, kami pun melepaskan ciuman.

“Hi hi hi ... Kamu sange berat ya ...” Bu Yati mulai mencandaiku sambil mencubit hidungku.

“Aku ketagihan memekmu.” Kataku tanpa ragu.

“Hi hi hi ... Dasar ...” Bu Yati mencubit hidungku lagi.

Aku lumat lagi bibirnya sambil menindih badannya. Hingga akhirnya Bu Yati kembali pasrah dan membiarkan aku menciumi bibirnya. Lidah kami pun bergulat saling memelintir dan menghisap. Tak butuh waktu lama, libidoku kembali memuncak hanya dengan membuatnya terangsang. Sepertinya akan ada ronde yang selanjutnya. Tanganku sudah bergerak mengelus paha dalam Bu Yati dan menggesekkan jariku di klitorisnya membuat Bu Yati mendesah di sela ciuman kami.

Aku menyiapkan kejantananku yang sudah berdiri tegak di depan lubang vaginanya. Kejantananku pun mulai mencari jalan membelah kewanitaannya. Bu Yati melenguh saat kepala penisku mulai membelah bibir vaginanya. Kudorong pinggulku perlahan agar penisku semakin masuk ke dalam. Setelah beberapa goyangan, akhirnya penisku masuk seluruhnya ke dalam vagina si bidan cantik.

"Ssshhh ... kontolmu lebih gede dari punya suamiku, sayang ..."

Setelah beberapa hentakan, penisku semakin lancar keluar-masuk mengaduk vaginanya. Aku pun lantas memompa penisku semakin kencang. Saking kencangnya hingga membuat ranjang yang menjadi alas kami bercinta ikut berguncang. Aku terus memompa vagina Bu Yati dengan tempo cepat. Nafsuku semakin tak terbendung melihat lekuk tubuh Bu Yati yang sangat seksi. Genjotan pinggulku kelamaan menjadi sangat liar. Kuhentakan penisku dalam-dalam di kemaluan Bu Yati yang semakin lama semakin terasa nikmat.

Tiba-tiba dering smartphone milik Bu Yati berbunyi. Bidan seksi itu menyuruhku berhenti bergerak. Ia segera mengangkat teleponnya setelah sebelumnya memeriksa identitas si penelepon.

“Iya Ayu ... Ada apa?” Bu Yati langsung bertanya. Ayu adalah perawat di Puskesmas anak buah Bu Yati.

Bu ... Kita dibutuhkan orang penting. Segeralah ibu ke rumah Bapak Tono di RW 16 Desa Pujon Kidul.” Kata si penelepon yang kebetulan aku bisa mendengarnya sangat jelas karena Bu Yati mengaktifkan load speakernya.

“Tapi ada apa?” Tanya Bu Yati penasaran.

Ibu akan tahu apa yang terjadi saat ibu melihatnya. Saya tidak tega mengatakannya, bu ...” Ucap Ayu dan langsung sambungan telepon pun terputus.

Bu Yati menatapku bingung lalu berkata, “Aku harus ke rumah Bapak Tono di RW 16.”

“Bagaimana kalau kita selesaikan dulu.” Kataku yang merasa tanggung dan aku juga tahu tentang kejadian di rumah Pak Tono karena aku yang membuatnya.

“Tidak ... Saat panggilan tadi, posisiku sedang bertugas. Aku tidak mau karena kelalaianku nyawa seseorang menjadi melayang.” Ucap Bu Yati dengan nada seolah meminta ijinku.

“Baiklah ...” Aku pun memaklumi dan melepaskan penyatuan tubuh kami.

Aku dan Bu Yati segera mandi kemudian berpakaian dengan tergesa-gesa. Aku memutuskan untuk mengantar Bu Yati dengan menggunakan motorku. Selain lebih menghemat waktu, aku juga sangat paham letak rumah Pak Tono. Si Black melesat dengan kecepatan cukup cepat membawaku dan Bu Yati ke tempat kediaman Pak Tono. Sekitar 25 menitan, aku dan Bu Yati sampai ke tempat tujuan. Saat aku ingin masuk rumah Pak Tono, seorang pemuda berpakaian dinas kepolisian yang tadi kulihat sebagai ‘kawan bermain’ Bu Nani menghadagku.

“Maaf ... Saudara tidak diperkenankan masuk.” Suara tegasnya membuat langkahku terhenti.

“Ada apa mas? Kok saya tidak boleh masuk?” Tanyaku pura-pura.

“Hanya kalangan tertentu yang diijinkan masuk. Maaf.” Katanya lagi.

Meskipun kecewa, aku terpaksa menunggu di luar, bahkan di jalan. Aku bahkan tidak diperkenankan masuk ke halaman. Aku duduk di jok motor yang kini terparkir di pinggir jalan. Kuambil sebatang rokok lalu membakarnya. Sambil menyembur-nyemburkan asap rokok, otakku berputar memikirkan rencana yang bisa menjerat oknum polisi yang sedang terjebak kegancetan. Setelah beberapa menit berpikir, akhirnya aku mempunyai ide. Aku pun tersenyum dalam hati dengan rencanaku itu. Namun rencanaku harus menunggu hasil dari usaha Bu Yati terlebih dahulu yang sangat aku yakin dia tidak akan berhasil mengurai kegancetan tersebut.

Bersambung

Chapter 6 ada di halaman 40 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
mantap bang @Aswasada update ceritanya. semangat terus buat ceritanya
 
Matur suwun updet terbarune @Aswasada josss tenan
Sami-sama Kang Mas ... Wis ngopi durung?
1st?
Makasih updetannya hu
Sama-sama suhu ... Bacanya sambil ngopi ya ...
suwun updetnya @Aswasada
elat sepersekian detik tapi tetap yang pertama ... Terima kasih Ketum ...
mantap bang @Aswasada update ceritanya. semangat terus buat ceritanya
Dukungannya saja hu ...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd