Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

Ijin baca suhu...
Silahkan hu ... Saya harap ceritanya menarik ...
Wilujeng wayah kieu..
*Ngebul 🚬 bari nenteng ci kopi ☕ sorangan 😎

#tetapsemangat
#sehatselalu
#janganlupangopi
Ora mudeng ...
Semangat suhu
Makasih hu ...
Ngisi absen malam.
Kopinya mana?
G-translate plis

Melu absen bari jaluki kopi wae
Tuku ... Ojo jaluki kopi wong ae ...
 
Ijin absen dimari suhu...nice story :beer: :beer:
Siap hu ... Silahkan absen sambil ngopi ...
Tak tunggu neng protelon 🤣🤣🤣
Wasyem, bengi bengi di kei PR kon ubek ubek protelon
protelon kene pirang pirang sak ekrak bubar Om....
Menyimak ae lah ...
gassssss lagi hu
Siap hu ... Kita gasken ...
Lanjutkan hu
Siap hu ... Yuk kita lanjut ...
Menunggu kelanjutan cerita.
Harus sabar ya hu ...
Tak sengojo marathon cek gak kesuen ngenteni update :hore:
Suwun hu ... Ngombe kopi hu supaya ora kesuen ngenteni update ...
teriimakasih update nya suhu ...
Sama-sama hu ...
Menarik huuu, lanjutkann!!
Siap hu ... Mari kita lanjutkan ...
 
CHAPTER 6


Menghembus asap rokok keluar dari mulutku sembari menatap bulan purnama bersinar di antara bintang di langit malam. Kudengar suara orang dari dalam rumah. Suara mereka sarat dengan kepanikan yang amat sangat seperti akan didatangi sebuah musibah besar. Terdengar juga suara tangisan perempuan yang sangat terisak-isak. Aku duduk di atas motor sambil tersenyum sendiri dan dengan santai menghisap rokok lalu mengeluarkan asapnya ke udara. Sehisap demi sehisap kunikmati rokokku. Saat hisapan terakhir, aku membuang puntung rokok itu secara sembarang.

Tanganku lalu menggapai tas pinggang kemudian mengeluarkan botol air mineral tempat bersemayam batu cahaya. Kuteguk sekali air dalam botol kemudian memasukannya kembali ke dalam tas pinggang. Sambil tersenyum, aku menghayal dan membayangkan jasad almarhum Pak Margo datang ke ruangan di mana mereka berkumpul dari pintu belakang. Kubayangkan jasad almarhum Pak Margo seperti bangkit dari kubur dengan leher yang hampir putus, sebagaimana aku melihatnya dalam mimpiku. Kubayangkan pula, almarhum Pak Margo dengan kepalanya yang hampir putus berada di samping dua orang yang sedang gancet. Setelah kedua orang gancet itu pingsan karena ketakutan jasad almarhum Pak Margo pun menghilang.

Satu detik, dua detik, tiga detik ... Satu menit ...

“Aaaaakkkhhh ...!!!”

“Aaaakkkhhh ...!!!”

“Haaannntttuuu ....!!!”

“Aaammppuunn ... Paaakkk ...!!!”

Terdengar teriakan-teriakan yang tidak bisa dipastikan berasal dari siapa, karena semua orang di dalam sana berteriak untuk saat ini. Dalam beberapa detik, seperti serangga yang berhamburan, orang-orang yang berada dalam ruangan itu terbirit-birit keluar. Aku melihat Bu Yati berlari tergopoh-gopoh menghampiriku dengan wajah pucat pasi, rasanya semua darahnya hilang menguap kala ia masih gemetar dan shock.

“Ada apa?” Tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Ha..hantu ...” Suara Bu Yati bergetar hebat dan langsung naik ke jok motorku. “Ce..cepat pergi dari si..sini!” Pintanya hampir menangis.

Bidan cantik itu memeluk punggungku sangat erat, terlihat sangat ketakutan. Aku tertawa dalam hati melihat ekspresi wajah Bu Yati. Sebelum aku melajukan motor, tampak dua motor telah keluar dari halaman rumah Pak Tono dengan kecepatan kencang. Tampak juga Pak Tono lari bagaikan atlet pelari jarak pendek menjauhi rumahnya. Teriakan-teriakan histeris pun masih terdengar dari dalam rumah. Teriakan sepasang manusia yang sedang gancet itu sangat memilukan. Aku segera saja membawa Si Black menjauh dari rumah Pak Tono dan kembali ke rumah Bu Yati.

Perjalanan ke rumah Bu Yati tak memakan waktu yang lama. Aku tak bisa kemana-mana karena wanita ini menahanku agar aku tetap di rumahnya. Padahal aku sangat ingin menuntaskan ‘pekerjaanku’ untuk membongkar kejahatan atas pembunuhan Pak Margo. Tapi tak apa, itu bisa menunggu, dan malam ini aku hanya bisa menemani Bu Yati di rumahnya hingga keesokan pagi.

Matahari belum sempurna datang, itu artinya pagi masih ranum. Bahkan semburat malam masih ketara. Aku sudah meluncur di jalanan desa menuju rumahku. Udara dingin nan sejuk menyapa. Angin berhembus kencang menerpa wajah dan menerbangkan anak rambutku. Si Black akhirnya memasuki pekarangan rumah lalu kuparkirkan di depan teras. Aku berjalan memasuki rumah yang kebetulan pintu terbuka lebar. Langsung saja aku mendapati kakek yang sudah berdandan, tampak sekali dia akan bepergian.

“Kemana?” Tanyaku pada kakek saat berpapasan di ruang depan.

“Ke tempat Pak Tono ... Ada kejadian menggemparkan di sana. Antar kakek ke sana.” Kakek malah memintaku untuk mengantarkan dirinya.

“Ada apa kek?” Aku setengah pura-pura, dan setengahnya lagi aku benar-benar terkejut.

“Warga marah-marah di sana. Akan menghakimi pasangan mesum. Istri si Tono ketahuan mesum dengan selingkuhannya dan akan dihajar oleh massa. Pak Kades pun sudah di sana. Ayo! Jangan buang-buang waktu. Kita harus menghentikan aksi massa.” Ujar kakek sembari langsung berjalan melewatiku.

Aku pun langsung mengikuti langkah kakek dan menaiki Si Black, lalu kakek naik di belakangku. Dengan kecepatan sedang aku membawa kuda besi kesayangan membelah jalanan desa. Tak lama, aku dan kakek sudah sampai di tujuan. Benar saja, banyak warga yang berkumpul di sana. Nampaknya emosi warga sudah mereda. Mereka hanya berkumpul tanpa melakukan aksi-aksi yang meresahkan. Di teras rumah Pak Tono, terlihat Pak Kades sedang berbincang-bincang dengan beberapa warga termasuk saudara-saudara Pak Tono. Aku dan kakek lantas bergerak ke teras rumah menghampiri Pak Kades.

“Ki Barda, syukurlah cepat datang.” Ujar Pak Kades dan langsung menjabat tangan kakek.

“Sebenarnya gimana keadaannya?” Tanya kakek pada Pak Kades.

“Bu Nani dengan selingkuhannya gancet, Ki ... Mungkin Ki Barda bisa melepaskan mereka.” Jawab Pak Kades membuat kakek melebarkan bibirnya dan terlihat sedang menahan tawa.

Kakek memang dikenal sebagai ‘orang pintar’ yang sebagian warga bahkan menganggap paranormal. Namun kakek tidak suka dipanggil atau dianggap paranormal, kakek tidak pernah membuka praktek seperti itu. Keahliannya di bidang supranatural hanya kakek gunakan untuk menolong orang yang dia sukai saja. Tidak semua orang mau kakek tolong. Kakek melakukannya dengan alasan agar dia tidak dianggap paranormal oleh warga.

“Baiklah. Aku akan coba.” Katanya.

Saat aku ingin masuk bersama kakek, Pak Kades menahanku untuk tidak masuk ke dalam. Pak Kades mengatakan bahwa orang yang ada di dalam tidak mau orang-orang yang tidak berkepentingan melihatnya. Aku akhirnya mencari tempat untuk merokok. Kubakar sebatang rokok dan kuhisap dalam-dalam. Tiba-tiba otakku mendapatkan dentuman ide yang muncul secara tiba-tiba. Langsung saja aku ambil botol minuman mineral tempat batu cahayaku. Aku minum satu tenggakan air dalam botol itu. Kemudian aku membayangkan dan menghayal, kakek kedatangan arwah Pak Margo dan menceritakan bahwa kegancetan itu disebabkan kutukannya. Semua orang yang ada di dalam akan melihat kedatangan arwah Pak Margo. Di sana Pak Margo mengatakan kalau kegancetan akan terlepas setelah mereka atau salah satu dari mereka mengakui kesalahannya yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan. Aku yakin kakek tidak akan lari saat melihat arwah Pak Margo, karena kakek sepertinya telah terbiasa bertemu dengan makhluk-makhluk astral.

Kusimpan lagi botol air mineral di tempatnya kembali. Aku hisap lagi rokokku sambil menunggu waktu. Tak lama, terdengar teriakan-teriakan ketakutan dari dalam rumah. Orang-orang berhamburan ke luar dengan meneriakan nama Pak Margo. Dari sekian banyak orang, aku tak melihat kakek keluar. Selanjutnya, aku mengajak Pak Kades dan beberapa orang yang berani untuk masuk ke dalam rumah.

Pak Kades dengan dua orang bersamaku sampai menahan langkah mereka tatkala melihat sosok Pak Margo dengan leher hampir putus. Kepala Pak Margo menggantung di dadanya dengan tubuh telanjang penuh tanah, seolah makhluk bayangan yang aku ciptakan itu baru bangkit dari kubur. Aku pun melihat dua tubuh yang saling tindih di sofa terselimuti oleh kain. Keduanya tidak berani menoleh pada kami. Wajah mereka menghadap sandaran sofa.

“Apa yang Pak Margo inginkan sehingga datang ke sini?” Aku mendengar kakek bicara dan selanjutnya kakek manggut-manggut seakan dia sedang berdialog dengan makhluk ciptaanku. Semua yang ada di ruangan itu tidak bisa mendengar kecuali kakek seorang. “Baiklah. Akan saya sampaikan pada mereka.” Lanjut kakek setelah sekian saat. Makhluk ciptaanku pun menghilang.

Kakek menghela napas keras lalu berkata, “Untuk kalian berdua ... Jika kalian ingin terlepas, maka kalian harus mengungkapkan kejujuran. Almarhum Pak Margo ingin kalian jujur dan menginginkan keadilan. Jika kalian setuju, maka kutukannya akan dia lepas.” Ujar kakek yang tertuju pada pasangan gancet di depannya.

“Ya, aku akan jujur. Akulah yang menyuruh anak buahku untuk membunuh Pak Margo. Aku berjanji akan menyerahkan diri ke pihak yang berwenang.” Kata pria gancet yang membuatku semakin yakin kalau dia adalah oknum jenderal polisi.

“Bagaimana denganmu Nani?” Tanya kakek pada perempuan gancet.

“Saya juga mengakui bersalah. Saya ikut terlibat. Hiks ... Hiks ... Hiks ...” Jawabnya di sela tangisannya.

“Baiklah ... Kalian akan terlepas satu sama lain ... Tapi, ada satu pesan lagi dari Pak Margo. Apabila kalian ingkar janji, beliau akan terus mendatangi kalian dan meneror kalian. Bahkan Pak Margo mengancam akan menghabisi kalian dan keturunan kalian sampai tujuh turunan.” Ujar kakek lagi.

“Baik ... Aku akan menepati janji. Aku akan menyerahkan diri.” Jawab si oknum jenderal polisi.

“Saya juga ... Hiks ... Hiks ... Hiks ...” Sambung Bu Nani.

“Kalau begitu, kalian bisa berpisah.” Kata kakek.

Ajaib! Si oknum jenderal polisi kini bangkit. Gancetnya benar-benar terlepas. Pria itu langsung berlari ke belakang dengan tubuh telanjang. Sementara Bu Nani meringkuk sambil menangis tersedu di atas sofa dengan tangan menutupi wajahnya. Kakek menyuruhku dan dua orang warga untuk keluar rumah. Hanya Pak Kades yang ditahan oleh kakek untuk tetap berada di sisinya. Aku dan yang lain keluar rumah, sontak warga mengerumini kami bertiga. Dan aku pun menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya kepada warga.

Warga masih berkumpul bahkan bertambah banyak. Aku tidak menyangka ada wartawan yang datang, entah dari mana para wartawan mengetahui kejadian ini. Semakin siang datang juga wartawan dari stasiun televisi nasional. Rupanya kabar ini cepat menyebar. Dan akibatnya aku terpaksa harus menjadi nara sumber bagi para wartawan yang meliput kejadian yang menurutku akan menjadi sangat menggemparkan dan menjadi berita nasional. Saat siang menjelang sore, banyak mobil polisi yang berdatangan. Tentu saja suasana semakin menjadi ramai. Setelah aku, kakek, dan Pak Kades memberikan keterangan kepada polisi penyidik, barulah aku dan kakek memilih untuk kembali ke rumah.

Untuk membuat releks tubuh dan pikiran, aku dan kakek ngopi dan ngudud bersama di dapur. Seperti biasa kami bercerita seputar kejadian tadi pagi hingga sore ini. Terlihat wajah damai kakek yang merasa senang akhirnya kasus pembunuhan di desa bisa terungkap. Setelah menyeruput kopi yang sudah menghangat aku tiba-tiba teringat akan kepenasaranku pada kakek.

“Kek ... Apakah benar Pak Margo mengatakan akan meneror dan menghabisi mereka sampai tujuh turunan?” Tanyaku.

“Tidak ... Arwah Pak Margo tidak mengatakan apa-apa.” Jawab kakek santai.

“Lah ... Kok bisa kakek berkata seperti itu di depan si jenderal dan Bu Nani?” Tanyaku.

“Entahlah ... Kakek juga gak sadar. Tau-tau berkata seperti itu ...” Kakek tersenyum lalu menghisap rokoknya.

Aku pun tertawa terbahak-bahak. Tentu saja aku wajib menyangka kalau kakek saat itu terpengaruh oleh batu cahayaku. Ya, aku hanya berharap semuanya akan selesai sesuai keinginan tanpa ada kesalahan sedikit pun. Begitulah manusia! Apapun akan mereka laukan, sekotor atau sehina apapun pekerjaan mereka demi uang, apalagi uang besar, mereka tetap sanggup melakukannya. Namun aku masih yakin, masih ada orang-orang yang memiliki hati nurani dan pikiran yang bersih.

.....
.....
.....


Aku masih percaya bahwa kebaikan akan selalu memiliki musuh abadi, yakni keburukan. Tapi kebaikan itu harus menjadi mayoritas. Jika mayoritas masyarakat berperilaku positif, maka kebaikan akan menjadi panglima. Aku juga percaya kalau semua masalah dapat diselesaikan dan kebaikan akan menjadi akhir dari segala permasalahan tersebut. Begitu pula dengan kasus pembunuhan Pak Margo, setelah dua hari berlalu sejak terungkapnya kebenaran, semua orang yang terlibat pembunuhan berhasil ditangkap aparat yang berwenang. Semua terjerat oleh pasal pembunuhan. Dan tentu saja kasus ini kuanggap telah selesai.

Seperti biasa, aku berkutat dengan pekerjaanku. Kantor desa hari ini tampak sedikit lebih ramai dari biasanya. Sangatlah wajar karena bulan ini adalah bulan Dzul Hijjah atau orang jawa menyebutnya bulan Besar. Ada keistimewaan bulan ini dibandingkan yang lain. Hal ini berkaitan dengan orang punya hajat atau gawe. Baik itu hajatan mengkhitankan atau menikahkan putra putri mereka.

Hari ini saja aku sudah mengurus tidak kurang tujuh surat keterangan sebagai salah satu syarat melakukan pernikahan. Aku memeriksa surat pengantar nikah dari RT/RW juga berkas-berkas lain yang diperlukan untuk melengkapi syarat administrasi, seperti fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), fotokopi Kartu Keluarga (KK), Akta Kelahiran, dan surat pernyataan belum pernah menikah. Setelah itu, aku mengeluarkan surat keterangan yang harus warga bawa ke KUA.

“Fuuhhh ... Selesai juga akhirnya.” Gumamku bermonolog.

Aku melihat jam yang berada di lenganku, waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, waktunya jam kerja telah usai. Sesaat dengan sangat semangat aku bangkit dari kursi, namun sejurus kemudian aku terdiam. Mataku terpaku pada dua orang yang baru masuk ke ruanganku tanpa permisi. Tentu aku tidak bisa marah karena yang datang adalah Windi dan ibunya. Aku malah tertegun seperti orang linglung, efek dari senyuman gadis yang tidak pernah hilang dari hayalku.

“Siang Pak Sekdes.” Windi menyapa dengan suara yang biasa.

“Eh ... I..ya ... Silahkan ...” aku benar-benar bodoh kenapa cara bicaraku tergagap seperti ini.

“Maaf, aku langsung mendatangi Pak Sekdes, karena aku gak mau menunggu sampai besok. Aku ingin hari ini juga mendapat surat pengantar dari Pak Sekdes untuk dibawa ke KUA besok. Aku akan mendaftarkan pernikahanku untuk minggu depan.” Cerocos Windi yang berkarakter ceria.

“Silahkan duduk dulu ...” Pintaku.

“Gak usah! Cepat bikinkan saja surat pengantarnya!” Ucap ibunda Windi yang berkerudung hitam dengan wajah datar dan suara ketus. Meski sebenarnya aku ingin marah, tetapi itu tidak mungkin.

“Ibu ...! Kok ngomongnya gitu sih? Sudah bagus kita bisa ketemu langsung dengan Pak Sekdes!” Windi langsung memperingati ibunya.

“Ya, sudah ...” Kataku segera mengambil surat keterangan dari map biru yang tergeletak di atas meja. Lalu aku tanda-tangani dan diberi cap desa. “Ini ... Ambilah ... Keterangan identitas, kamu isi sendiri ... Sekarang! Kalian keluar dari ruanganku!” Aku memberikan surat keterangan pada Windi.

“Ma..maafkan kami ...” Lirih Windi sembari menerima surat keterangan dari tanganku.

“Ya ... Gak apa-apa ... Selamat menempuh hidup baru. Sekarang, silahkan keluar!” Kataku yang kemudian duduk sambil pura-pura membuka dokumen lain di mejaku.

“Terima kasih ...” Ucap Windi pelan.

Aku tak menjawab masih dengan kepura-puraanku di kursi meja kerjaku. Aku bahkan tak ingin melihat muka mereka. Tak lama, pintu ruanganku tertutup. Entah apa yang aku rasakan sekarang. Sedih, marah, kecewa, semua bercampur jadi satu. Semua itu terpicu oleh sikap tidak ramah dari ibunda Windi yang memandang aku ini orang rendah. Ia sangat meremehkanku dan itu adalah hal yang sangat menyebalkan bagiku.

“Ah ... Sudahlah ...” Lagi-lagi aku bermonolog sambil melepaskan beban di hati.

Kembali aku bangkit dari kursi. Kulangkahkan kaki keluar ruangan dan langsung ke parkiran. Sesaat setelah aku duduk di jok Si Black, tiba-tiba smartphoneku berdering tanda seseorang meneleponku. Ternyata itu Windi. Aku mengabaikan panggilan telepon itu tentu saja, dan lebih memilih untuk melajukan Si Black menuju ke rumahku. Kubiarkan dering smartphoneku terus berbunyi entah itu panggilan yang keberapa darinya hingga aku sampai juga di rumah. Smartphoneku berdering lagi dari orang yang sama saat aku selesai mandi dan berpakaian. Kali ini kuangkat dan kugeser tombol hijau dan kudengar suara Windi yang bernada kesal.

Kenapa kamu gak mengangkat teleponku?” Tanya Windi kesal.

“Ini aku angkat.” Kataku santai.

Aku tahu kamu marah karena ibuku. Tapi kamu gak boleh marah sama aku ... Hiks ... Hiks ... Hiks ...” Aku terkejut saat mendengar Windi menangis. Astaga, aku tidak kuat mendengarnya menangis dengan jelas.

“Aku tidak marah kok ... Aku tadi hanya di jalan, tidak mendengar kamu menelepon ... Sudahlah jangan menangis.” Kataku setengah berbohong.

Kamu bohong ... Kamu sengaja tidak mengangkat teleponku.” Katanya lagi disela tangisannya.

“Tidak Windi ... Kalau aku tidak ingin mengangkat teleponmu. Mungkin kita tidak sedang bicara saat ini. Sudahlah! Berhentilah menangis!” Kataku mencoba menghibrunya.

Aku hanya ingin minta maaf sikap ibuku tadi, dan aku ingin mengundangmu di pernikahanku.” Katanya dan langsung saja hubungan telepon terputus.

Perasaan tidak enakku kini bertambah. Gila, saat ini aku benar-benar galau. Pikiranku tak seperti biasanya. Kalau biasanya aku merasa bebas, namun sekarang aku merasa terbebani. Kalau sudah begini, hanya segelas kopi dan sebatang rokok yang bisa menentramkanku. Segera saja aku membuat kopi di dapur, dan setelahnya aku bawa kopi buatanku keruang depan bergabung dengan kakek yang telah dulu ngudud dan ngopi.

“Jalan di RW 12 kapan mulai dikerjakan?” Tanya kakek.

“Minggu depan kek ... Kita sudah mempersiapkan semuanya, tinggal pelaksananya. Aku masih berbeda paham dengan Pak Kades. Pak Kades ingin orang-orang pengalaman dari luar, sementara aku ingin warga yang mengerjakannya. Pikiranku supaya warga mendapat penghasilan dari perbaikan jalan itu. Kita hanya menyewa ahli yang membimbing warga untuk membuat jalan. Kedepannya, warga kita punya keahlian membuat jalan.” Jelasku sambil mengambil sebatang rokok dari bungkus lalu membakarnya.

“Idemu bagus juga. Memang kita harus memberdayakan warga. Jika kita perlu lagi membuat jalan, kita gak perlu menggunakan tenaga dari luar. Selain dekat dan cepat, warga juga terbantu kehidupannya. Kamu brilian juga.” Kakek akhirnya mendukung ideku.

“Tolong bujuk Pak Kades, kek ... Dia masih ingin menggunakan tenaga dari luar yang katanya lebih profesional.” Kataku lalu menyesap rokokku dalam-dalam.

“Ya ... Nanti kakek akan bicara sama Pak Kades.” Jawab kakek.

“Bagus ...” Aku mengangkat jempol buat kakek.

“Nah sekarang ...” Kakek menjeda ucapannya dengan menghisap rokoknya. “Kakek akan mengenalkanmu dengan seorang gadis. Siapa tahu kamu cocok. Kalau cocok, segeralah menikah.” Lanjutnya.

Aku langsung terperanjat, “Kakek tidak sedang menjodohkanku, kan?”

“Kata kakek kalau cocok ... Kamu berkenalan lah dengannya dulu. Coba dekat dulu dengan dia. Kalau merasa cocok, kamu bisa menentukan sendiri, manikahinya atau meninggalkannya. Itu terserah padamu.” Ucap kakek lumayan serius.

“Kalau aku tidak merasa cocok, kakek jangan marah ya.” Aku mengajukan syarat.

“Kakek tidak akan marah. Perjodohan sepenuhnya kamu yang menentukan. Kakek hanya ingin membantumu saja.” Kata kakek lalu menyeruput kopinya.

“Baiklah kek ... Kapan aku dikenalkan sama gadis itu?” Tanyaku.

“Secepatnya. Kamu kapan punya waktu?” Kakek malah balik bertanya.

“Paling hari libur. Kalau gak sabtu ya minggu.” Jawabku.

“Kalau sabtu depan, kamu bisa?” Tanya kakek lagi.

“Siap kek ... Mudah-mudahan gadis yang ingin kakek kenalkan padaku seksi dan cantik.” Candaku sambil cengengesan.

“Kakek yakin kamu akan langsung ingin menikahinya dengan melihat wajahnya saja.” Kata kakek penuh keyakinan.

“Serius kek? Secantik apa gadis itu?” Aku jadi penasaran dengan ucapan kakek.

“Kakek gak bisa menggambarkan atau menyamakan kecantikannya dengan seseorang. Tapi yang jelas gadis itu sudah banyak yang melamar tapi ditolaknya. Entah kenapa dia banyak menolak lamaran pemuda yang menyukainya.” Jawab kakek.

“Ha ha ha ... Aku mungkin kandidat pemuda yang akan ditolaknya.” Kataku setelah tertawa keras.

“Belum apa-apa sudah menyerah. Kamu itu pemuda tampan. Sebenarnya banyak gadis yang suka padamu. Kamunya saja yang terlalu memilih-milih, jadi susah jodoh.” Ungkap kakek yang membuat tertawaku semakin keras.

Kami pun melanjutkan obrolan santai sebelum smartphoneku berdering tanda seseorang mengirim pesan Whatsapp. Aku segera membuka aplikasi whatsapp dan ternyata Bu Yati mengirim pesan agar aku segera ke rumahnya. Tanpa berpikir lagi, aku segera berpamitan pada kakek, kemudian melajukan Si Black menuju rumah bidan cantik itu. Entah kenapa, aku selalu ingin melampiaskan birahi dengan bidan cantik itu, terlebih selama dua hari ini aku tidak bertemu muka dengannya.

Tidak lebih setengah jam, aku sudah berada di rumah Bu Yati. Aku dan wanita itu duduk di ruang tengah menikmati gorengan panas dan teh manis hangat. Kami bercengkrama layaknya sepasang suami dan istri, membicarakan hal yang tidak perlu dibicarakan. Setelah setengah jam berlalu, barulah Bu Yati membuka pembicaraan serius.

“Sayang ... Sebenarnya aku ingin bicara sesuatu yang mungkin akan mengejutkanmu.” Nada serius Bu Yati sontak mengubah mimik mukaku. Aku langsung menanggapi serius ucapannya.

“Kamu mau bicara apa?” Tanyaku.

“Em ... Gimana ya?” Ada keraguan yang terselip di ucapannya.

“Katakan saja. Kenapa harus ragu-ragu.” Kataku memberinya semangat.

“Kedengarannya memang aneh, tapi aku harus mengatakannya karena ini amanat.” Katanya lagi masih terlihat ragu.

“Ya udah ... Apa yang akan kamu katakan.” Aku sedikit mendesak karena mulai penasaran.

“Seseorang pernah melihatmu dan tertarik padamu. Dia menyukaimu.” Kata Bu Bidan yang sontak sebelah alisku naik.

“Lalu?” Tanyaku berlanjut.

“Em ... Dia ...” Tiba-tiba Bu Yati memalingkan wajahnya. Terlihat sekali pipinya langsung merona pertanda malu.

“He he he ... Bilang saja terima kasih sudah menyukaiku ...” Sekarang aku acuh tak acuh menanggapi pembicaraan ini.

“Bukan begitu ... Maksudku ...” Bu Yati menjeda lagi ucapannya sambil memandang wajahku. Tak lama ia melanjutkan ucapannya, “Dia ingin kamu menghamilinya.” Lanjut Bu Yati membuat tubuhku membeku. Aku memandang wajah bidan cantik itu dengan tatapan tak percaya.

Sesaat hening, kami hanya saling memandang sebelum akhirnya aku bersuara, “Maksudnya?”

“Dia ibu rumah tangga yang sudah lama menikah tetapi belum dikaruniai anak. Suaminya mandul. Ibu rumah tangga ini ingin kamu memberinya bayi. Dia telah mencari pria yang akan menghamilinya setahun ini. Dan itu jatuh padamu. Kamu tak perlu khawatir, karena suami si ibu rumah tangga ini mengetahui rencana istrinya.” Jelas Bu Yati.

“Kenapa harus aku?” Tanyaku ingin tahu.

“Karena wajahmu serupa dengan suaminya. Kalian mirip.” Jawab Bu Yati.

“He he he ... Kok aku jadi malu ya ...?” Kataku jujur yang memang merasa malu hati bicara seperti ini dengan wanita di depanku.

“Kenapa harus malu? Malu sama siapa?” Tanya Bu Yati sambil mengulum senyumnya.

“Aku malu sama kamu. Jadi kesannya aku ini seperti laki-laki mesum. He he he ...” Jawabku lalu terkekeh.

“Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu, sayang ... Ini kan kebetulan saja. Itu pun kalau kamu mau.” Ujar Bu Yati sembari menyandarkan tubuhnya kepadaku.

“Siapa namanya dan berapa umurnya? Apakah dia secantik kamu?” Aku pun merangkul tubuh seksi bidan cantik ini.

“Namanya Santi, umur 32 tahun. Dia cantik sekali. Wajahnya seperti Dian Sastro waktu muda. Tubuhnya seksi banget. Jauh jika dibandingkan denganku.” Jawab Bu Yati.

“Aku akan membantunya hamil, asalkan kamu mengijinkannya.” Kataku lalu mencium bibir bidan seksi ini.

“Benarkah?” Bu Yati langsung bergerak riang. Wajahnya begitu sumringah.

“Apakah kamu tidak berkeberatan kalau aku menghamili wanita itu?” Tanyaku ingin kepastian.

“Aku sungguh ingin kamu menghamilinya, sayang.” Ucapnya sangat bersemangat. Wajah Bu Yati berbinar-binar, seolah-olah hari ini adalah yang paling berkesan dalam kehidupannya.

“Kenapa kamu seperti ingin sekali?” Tanyaku heran.

“Oh ... Tidak ... Aku hanya senang saja.” Jawabnya masih dengan senyum bahagia.

“Hhhmm ... Baiklah ... Kapan aku bisa bekerja?” Tanyaku setengah bercanda.

“Hi hi hi ... Seperti proyek saja ... Aku obrolkan dulu dengan orangnya. Nanti aku kasih tahu kamu kapan waktunya.” Sahut Bu Yati.

Tiba-tiba Bu Yati berdiri dan menarik tanganku untuk berdiri. Kalau sudah begini aku tahu apa yang dia mau. Bu Yati membawaku ke kamarnya. Sesampainya di sana, kami langsung saja melepaskan seluruh pakaian. Dengan sama-sama telanjang, kami naik ke tempat tidur dan mulai melakukan pemanasan. Kami berciuman, berpelukan dan saling menyamping, menghadapkan tubuh masing-masing yang siap bersatu. Tiba-tiba Bu Yati bergerak ke bawah dan kini posisinya berada di antara kedua pahaku.

"Aaaahhh ... Sayanghh ..." Lenguhku saat Bu Yati mulai menggengam dan menjilati penisku layaknya lolipop, aku mengadahkan kepalaku nikmat saat merasakan lidahnya yang hangat sekaligus basah itu menyapa.

"Hi..hisap sayang ... Aaahh ... Eeennaakk ..." Racauku tersedat karena jilatannya yang benar-benar membuatku gila. "Aaaahh ... Shit ...!!!" Umpatku saat merasakan Bu Yati memasukkan penisku ke dalam mulutnya yang kecil dan hangat itu. Dia mulai menghisap-hisapnya dengan tempo sedang lalu ke mode hard. Kepalaku benar-benar pusing merasakan hisapannya.

"Mmmhh... Slurphh..." Kudengar Bu Yati melenguh saat aku ikut menggerakan penisku di dalam mulutnya. Entah, Bu Yati benar-benar sudah handal, tampang polosnya seperti hanya topeng untuk dirinya.

Aku yang tak tahan lantas menarik penisku hingga kulumannya terlepas. Bu Yati mengerti lantas ia bergerak ke atas menindihku. Kami berciuman sesaat sebelum aku membalikkan posisi, dan kini aku sudah berada di atas tubuhnya. Kumulai memposisikan diri untuk menggenjotnya dengan posisi missionary. Kumasukkan pelan-pelan penisku. Bu Yati pun mulai mendesah keenakan. Sungguh rapat jepitan dinding vaginanya. Otot-otot wanita paruh baya ini mengencang, mengapit kejantananku seolah mencegahku untuk masuk lebih dalam. Sensasinya membuatku menggertakkan gigi, menikmati kehangatan sekaligus rasa nikmat yang kurasakan saat otot-ototnya menggigit kejantananku. Begitu nikmatnya hingga aku tidak membiarkan hanya sebagian saja yang menikmatinya dan mendorong seluruh kejantananku di dalam tubuhnya. Kudorong masuk penisku lebih dalam membuat Bu Yati merintih menikmati permainanku. Kudorong terus hingga penisku masuk penuh ke dalam vaginanya.

“Punyamu rapat sekali ...” Kataku lembut yang dibalas senyuman manis oleh wanita di bawahku. Aku kemudian mengecupi kedua matanya, pipinya, lalu mengecupi beberapa kali bibirnya. Aku mulai menggesekkan kejantananku di dalam liang peranakannya.

“Aaaahh... Aaaahh... Sayangghh...” Lenguh Bu Yati saat aku mulai menggerakan keluar masuk kejantananku pada vaginanya.

"Aaahh ... Ka..kamu aaahh sempith sekali sa..yang." Ucapku terbata sambil menikmati gesekan nikmat di bawah sana.

Aku terus bergerak mengebor kewanitaan bidan cantik ini yang membuatnya mengeluarkan desahan nikmat yang tidak bisa dihentikannya. Setelah itu, aku berkali-kali menarik dan mendorong kejantananku hingga akhirnya aku menemukan tempat yang membuat Bu Yati membuka mulutnya dan menatapku dengan penuh nafsu. Aku menyeringai lebar, tahu bahwa inilah titik kenikmatannya. Dengan sengaja, kuserang titik itu berkali-kali hingga membuatnya mengerang seolah tersengat arus listrik. Bersamaan dengan itu, cairan panas pun turun membasahi kejantananku, membuat penisku lebih mudah untuk tergelincir ke dalam. Desahan wanita cantik ini memenuhi gendang telingaku dan membuat gairahku meningkat dengan pesat.

"Azzkkaa...!" Panggil Bu Yati sementara kedua tangannya terulur sehingga aku menempatkan kedua tangan itu di kedua bahuku, "Saayyannghh... Aaaahh..."

Bagaikan terhipnotis, suaranya membuat akal sehatku lenyap. Dengan kasar kudorong dan kuserang liang kenikmatannya yang membuat Bu Yati mengerang tanpa henti. Alat kelamin kami saling mengikat satu sama lain. Vagina Bu Yati mencengkram batangku dengan kuat, sementara penisku mengait rahim Bu Yati dengan kokoh. Kami begitu menikmati momen ini, ciuman kami semakin dalam, semakin erat, semakin hangat, dan semakin mesra. Sementara itu, kedua alat reproduksi kami pun sudah saling beradaptasi dan memberikan kenikmatan satu sama lain.

Benda tumpul keras milikku terus bergerak maju-mundur di dalam liang kewanitaan Bu Yati. Kecepatan genjotanku bertambah setiap menitnya. Semakin lama terasa semakin nikmat, kami semakin larut dalam kenikmatan persenggamaan yang begitu panas. Alat kelamin yang saling bergesekkan memang memberikan kenikmatan surga duniawi yang amat besar. Entah berapa lama, aku merasakan Bu Yati mulai gelisah, tubuhnya mengejang. Itu pertanda puncak kenikmatannya segera datang.

“OOOUUHHHH...!!!” Lenguh Bu Yati melepaskan orgasmenya. Aku mengubur penisku dalam-dalam di rahim Bu Yati dan mendiamkan burungku itu sejenak untuk membiarkan Bu Yati menikmati puncak kenikmatannya dan juga sekaligus menikmati burungku yang berendam dalam kehangatan cairan vagina Bu Yati.

“Panas sekali punyamu sayang.” Godaku yang disambut dengan pejaman mata dan senyuman.

Aku mendiamkan kejantananku terkubur di dalam vaginanya. Aku menciumi bibirnya dan sesekali meremas-remas buah dadanya. Setelah dua menit berselang, aku memulai lagi mengerjai lubang nikmat miliknya. Aku mencekoki vagina Bu Yati lagi. Kini, kami berdua menyelaraskan gerakan alat reproduksi masing-masing. Saat aku mendorong penis masuk, Bu Yati menekan vaginanya ke atas. Desahan-desahan Bu Yati menghiasi malam di kamarnya. Kami berpeluh keringat, sama-sama merasakan panasnya persenggamaan kami. Nafas kami sama-sama memburu, tubuh kami sangat menikmati. Aku mendekap tubuh Bu Yati dan menghujami liang kewanitaannya lebih cepat daripada sebelumnya.

“Aaahhh ... Oooohhh ... Mmmhhh ... Uuuhhh ... Aaaaahhh ...” Bu Yati mendesah dan mengerang merasakan nikmat yang dirasakannya.

Sodokan-sodokanku benar-benar cepat dan kuat, Bu Yati pun melingkarkan kedua kakinya di pinggangku. Batang penisku menjarah vaginanya dengan cepat dan penuh tenaga. Tubuh Bu Yati berguncang hebat dan payudaranya pun menjadi seperti terombang-ambing karena berguncang. Tanganku lalu kembali meremas sepasang bukit indah Bu Yati yang puting susunya sangat keras. Bu Yati mendesah tiada hentinya. Bu Yati benar-benar mendapatkan rangsangan ganda, karena batang penisku menggesek-gesek klitorisnya dan kepala penisku memberikan tekanan yang mantap pada daerah G-spotnya.

"Saayyannghh... A..aaku sudah... nggak tahan lagi..." Desah Bu Yati. Kutatap wajahnya yang manis yang sedang merasakan getaran-getaran ekstasi yang hebat. Bunyi 'plak-plak-plak' terdengar nyaring setiap kali selangkangan kami bertemu. Penisku tertarik keluar sampai ke ujungnya, kemudian langsung melesat ke dalam dengan cepat. Aku menginginkan kami mencapai orgasme bersama-sama. Beberapa saat kemudian ...

"Saayyangghh... Aaaarrrggghhh..."

"Cantik! Aaaahhh...!"

Sebuah gelombang orgasme yang panjang mengawali puncak kenikmatan kami. Bu Yati berteriak seiring dengan gelombang pasang naik orgasmenya yang dahsyat. Orgasme yang kami rasakan serasa tiada habis-habisnya. Dinding vagina Bu Yati menyelimuti sekujur batang penisku. Otot kemaluan bagian dalam vaginanya begitu halus namun menjepit kuat, ditambahi rasa hangat dan licin, apalagi seluruh dinding vagina wanita itu berkontraksi membuka menutup bagaikan mulut ikan yang sedang makan, membuat nafsuku yang memang sudah klimaks tak terbendung lagi. Selagi Bu Yati terbenam dalam orgasmenya yang kedua, penisku mengirimkan semprotan demi semprotan sperma yang memenuhi liang vagina dan rahimnya. Setiap aku ngecrot aku kuburkan penisku dalam-dalam di lubang surga dunia milik bidan cantik itu.

Ketika kami berdua sudah lemas lunglai, kami terjatuh lemas di tempat tidur, dengan aku masih menindih Bu Yati dan penisku masih terkubur di dalam vaginanya yang sempit itu. Kurang lebih dua menit kami terdiam. Herannya penisku masih keras dan masih gagah di dalam kemaluan Bu Yati.

Kesadaran Bu Yati kembali beberapa saat kemudian. Ia menatapku lemah namun bibirnya mencari-cari bibirku seperti sebelumnya. Aku pun segera menyambut bibirnya dan kembali melumatnya di dalam mulutku. Erangan yang manis kembali terdengar dan sekali lagi darahku berdesir. Untunglah malam masih sangat panjang.

"Jangan tidur dulu ya sayang!" Kataku sambil membelai rambutnya sementara matanya menatapku lelah, "Kita belum selesai."
Bersambung

Chapter Tujuh di halaman 45 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd