Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

CHAPTER 13


Aku tidak langsung mengerjakan pekerjaanku. Kini aku termenung. Memikirkan kejadian-kejadian yang dibilang kebetulan yang menguntungkan bagiku namun janggal dan tak masuk akal. Lama semakin lama, asumsiku meningkat, memaksaku membenarkan asumsi itu. Aku sebenarnya memikul tanggung jawab yang besar yang datang bersama dengan kekuatan besar yang aku miliki. Seiring datangnya kekuatan besar, maka muncul tanggung jawab yang besar pula. Siapa aku? Ah, ternyata aku adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Kekuatan yang aku miliki telah kupergunakan untuk membunuh orang-orang yang seharusnya masih layak menikmati hidup. Aku merasa berdosa dan menyesal, karena banyak orang binasa dengan tanganku.

Aku pun kini bertanya pada diri sendiri, apakah aku layak memiliki kekuatan seperti ini? Hingga kemudian aku ragu dengan diriku sendiri, ragu dengan kemampuan pengendalian diriku sendiri. Aku pasti akan lupa dengan kodrat manusia dan akan menggunakan kekuatanku untuk mencapai sesuatu yang kuinginkan tanpa usaha. Ke sananya, aku akan menghalalkan segala macam cara guna mencapai semua yang aku inginkan. Pada akhirnya aku akan menjadi orang yang lupa diri dan menjahati orang lain.

Aku harus menghetikannya.” Kataku dalam hati. Akhirnya aku berkesimpulan bahwa aku harus kembali menjadi manusia normal.

Aku pun mulai mengerjakan pekerjaanku walau dengan pikiran yang tak menentu. Meskipun tersendat namun pekerjaanku dapat aku selesaikan. Tak terasa hari sudah di pertengahan, waktunya istirahat dan aku memutuskan untuk makan di luar. Kebetulan aku berpapasan dengan Pak Kades yang juga akan keluar. Pak Kades mengajakku untuk makan siang bersamanya namun aku tolak.

“Pak ... Aku minta ijin kerja setengah hari. Ada yang harus saya kerjakan.” Kataku saat Pak Kades hendak menaiki mobilnya.

“Urusan apa?” Tanya Pak Kades ingin tahu.

“Ada urusan yang harus aku selesaikan pak. Maaf, tapi ini urusan pribadi.” Kataku jujur.

“Ya, sudah ... Santai saja. Kamu boleh pulang sekarang. Lagi pula ini hari jumat, waktu yang singkat untuk bekerja. Selamat berakhir pekan.” Pak Kades memberikan ijinnya sambil tersenyum.

Setelah Pak Kades pergi, aku kemudian menghampiri Si Black. Kulajukan motor kesayanganku ini dengan kecepatan sedang menuju rumahku. Tidak memakan waktu sampai 15 menit, aku pun sampai di rumah. Kakek tidak ada, memang jika siang hari kakek selalu berada di ladang atau sawahnya. Aku langsung memburu kamarku, lalu mengambil botol air mineral tempat tinggal Petteri. Kuletakkan di atas meja. Pet sedang melayang-layang dengan sinar warna-warninya yang terlihat semakin bercahaya indah.

“Kelihatanya kau sedang bahagia?” Tebakku karena melihat gerakan melayang Pet yang agresif dan warna cahayanya yang semakin indah dipandang.

Ya ... Karena aku menunggu waktu kebebasanku. Selama lebih 80 tahun aku terkerung, sudah tiba waktunya aku bebas.” Ungkap Pet dan aku pun tersenyum bahagia.

“Aku ikut senang, Pet ... Tapi aku juga sekarang sedang galau.” Kataku sambil duduk di kursi menghadapkan wajahku ke arah Pet di dalam botol.

Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Aku setuju dengan pemikiranmu. Kekuatan besar menimbulkan tanggung jawab yang besar. Dan aku senang, selama ini kau menggunakan kekuatanmu dengan benar, walau ada sedikt yang kusesalkan.” Ujar Pet dengan nada riangnya.

“Apa itu Pet? Kenapa kamu menyesal?” Tanyaku pura-pura ingin tahu, padahal aku tahu penyesalan Pet terhadapku.

Kau jangan pura-pura. Aku tahu kau pura-pura. Pikiranmu ada di pikiranku. Apa yang kau pikirkan akan terbaca jelas olehku.” Katanya.

“Ha ha ha ... Iya Pet, aku minta maaf. Aku gak akan lagi menggunakan kekuatanku untuk hal yang merugikan orang lain. Untuk kasus Bu Rusdi dan Bu Sari, aku minta maaf.” Ucapku dengan kekehan kecil.

Sepanjang tidak vatal, aku masih bisa memakluminya. Lagi pula tindakanmu itu membantuku untuk lepas dari meteor sialan ini.” Kata Pet.

“Pet ... Aku ingin menjadi orang normal lagi. Aku takut memegang kekuatanku ini. Aku takut menjadi orang jahat. Bisakah kau menghilangkan kekuatanku ini?” Tanyaku.

Kalau itu maumu, aku akan menghilangkan kekuatan yang ada di tubuhmu, tapi tidak sekarang, karena aku masih membutuhkanmu. Tehoa yang aku perlukan masih memerlukan kekuatan itu dalam tubuhmu. Kamu jangan lupa, kalau kita terkoneksi. Koneksi itulah sebagai jembatan yang menyalurkan Tehoa darimu kepadaku. Kedua, kamu masih mempunyai musuh yang berbahaya. Jika kamu tidak mempunyai kekuatan, kamu akan menjadi buruan mereka.” Jelas Pet sangat logis.

“Ya ... Setelah aku memberantas musuhku dan kau bebas, aku ingin kekuatanku ini kau cabut. Aku merasa tidak pantas memilikinya.” Kataku.

Aku bahkan bangga padamu. Mungkin banyak orang yang ingin memiliki kekuatan sepertimu. Kamu bisa menjadi penguasa dan banyak harta, tetapi kamu memilih untuk melepaskannya. Aku sarankan, pertimbangkan lagi keinginanmu, karena aku berpendapat kamu layak memiliki kekuatan itu. Intinya, kau harus pegang semboyan yang kau pikirkan tadi, semakin besar kekuatan maka semakin besar tanggung jawab. Aku percaya kalau kamu orang yang bertanggung jawab.” Jelas Pet terdengar sedang memujiku.

“Baiklah Pet ... Aku akan berpikir lagi, aku hanya takut tidak bisa memegang kekuatanku ini dengan baik.” Kataku.

Akhirnya aku dan Pet menyambung obrolan tentang cerita jagat raya yang tak pernah bosan aku mendengarnya. Saat asik ngobrol, tiba-tiba smartphoneku berdering dan menandakan bahwa seseorang sedang menghubungiku. Segera saja aku mengambil smartphone dari saku celana lalu melihat siapa gerangan yang meneleponku. 'WINDI' begitulah yang terpampang di layar smartphone milikku. Aku tersenyum dan segera saja aku mengangkat teleponnya.

“Ya, sayang ...” Sapaku genit.

Aih ... Seneng banget dipanggil sayang ... Tumben ...” Windi malah menjawab sapaanku dengan kegenitannya.

“He he he ... Ya udah aku akan memanggil seperti biasa lagi.” Candaku.

Eh ... Jangan-jangan ... Aku senang dipanggil seperti itu.” Pekiknya.

“Ya udah ... Aku mau ke rumahmu sebentar lagi.” Kataku.

Oh benarkah? Apa mas gak kerja?” Tanya Windi yang suaranya berubah ceria.

“Aku dapat ijin kerja setengah hari. Aku mandi dulu ya.” Kataku.

Mandi di rumahku saja mas ... Bawa saja baju ganti.” Ucanya.

“Oh iya ... Kalau begitu aku meluncur sekarang.” Kataku lagi.

Ditunggu ya mas ...” Ucapnya semakin kegirangan.

Aku segera bangkit setelah sambungan telepon terputus. Setelah menyimpan Pet di bawah tempat tidur, aku mengambil pakaian ganti dan langsung memburu Si Black di halaman. Aku tunggangi motor kesayanganku ini lalu membawanya pergi menuju kediaman Windi. Aku bersiul-siul sambil mengendarai Si Black, rasa jalanan milik bapakku sendiri. Roda motorku bergerak, menggesek jalanan desa. Terus melaju hingga sampai di halaman rumah wanita yang kucintai.

“Cepet banget mas.” Seru Windi di ambang pintu.

“Iya dek ... Sengaja aku ngebut karena gak sabar gituin kamu lagi.” Candaku sembari turun dari Si Black.

“Idih dasar mesum!” Meski bibirnya cemberut tetapi kedua mata bulat indah itu bersinar penuh kebahagiaan.

Kami pun masuk sambil berpelukan tangan. Windi tak ragu-ragu lagi membawaku ke kamarnya. Aku bahkan dilarang mandi. Windi bilang mandinya setelah satu ronde awal saja. Tak ayal, acara pembuka hari ini adalah pertempuran cinta di atas ranjang. Setelah kami telanjang bulat, aku memulainya dengan menjilat dan menghisap vagina Windi. Bermain dengan klitoris binor seksi yang mengundang untuk digagahi. Desahan dan erangan tertahan Windi menjadi melodi indah yang mengiringi kegiatan panas kami di hari ini. Dari belakang, dua tanganku meremas dada montok Windi serta memilin putingnya. Kedua tangan Windi meremas rambutku, melampiaskan nikmat yang dia rasakan.

"Aaaahhhhh... Sssshhhh ooooghhh... Maasss aahhhhhh... aahhhsss hhhhh..."

Aku melepaskan kuluman bibirku pada vagina Windi yang sudah sangat basah. Mengarahkan junior besarku pada lubang kenikmatannya. Windi menggigit bibir bawahnya menggodaku. Sedangkan aku balik menggoda Windi dengan menggesekan ujung penisku pada vagina basah miliknya.

"Aaahhhhhssss... Maaaassss... Ceepppeettth... Masukin!!!" Desah Windi, sementara aku menahan tubuhnya yang menggeliat binal dengan memeluknya erat. Menenggelamkan wajahku pada leher Windi, menciumnya sangat mesra.

"Aaaaaaghhhhhhhhhh..." Kepala Windi mendongak. Dadanya membusung seksi dan mengerang nikmat ketika aku memasukan penisku ke dalam vaginanya.

Dua kaki Windi terbuka lebar dan ditahan olehku. Pinggangku bergerak maju mundur guna mengeluar-masukkan penisku dalam vaginanya. Memberi wanita itu getar kenikmatan yang tiada duanya. Erangan dan desahan kami saling bersahutan. Semakin lama gerakan pinggulku semakin cepat. Tanganku mencengkram pinggang Windi dengan sesekali bergerak berlawanan arah dengan gerakan pinggulku. Jadi ketika aku mendorong penisku masuk, pinggang Windi menyambutnya hingga penisku tenggelam semakin dalam memberikan nikmat pada kami berdua.

"Aaaaghhhh saayyangghh... Maauu keluuaaarrr... Oooghhhh..." Erang Windi.

"Ya... Sama-sama sayangh... Sshhhhh..."

"Ooooghhhhhhhh..." Windi mengerang keras karena tiba-tiba aku mengulum putingnya. Menghisap pelan dan memainkan ujung puting Windi dengan lidah hangatku.

Aku akhirnya tak sabar ingin segera menuntaskan permainan dengan menggenggam pinggangnya untuk membantunya bergerak sesuai tempo yang aku inginkan. Kami pun terus mengayuh kenikmatan yang seolah tidak ada habisnya. Ini terasa nikmat dan memabukkan kendati sebentar lagi aku akan mencapai batas yang sanggup kuterima. Kami mendesah dan mengerang tanpa henti. Sekujur tubuhku mulai mati rasa, dan yang kuinginkan satu ini hanyalah pelepasan.

"Ooooghhhh... Aaaghhhh sayy hhhh...” Aku mengerang ketika tubuh kami mengejang secara bersamaan.

“Sssshhhhh... Aaaghhhhhh..." Sementara Windi mendesah ketika sensasi hangat menjalar di rahimnya yang basah kuyup oleh cairan cintaku.

Karena kelewat nikmat, tubuhku pun ambruk di atas Windi. Aku tenggelam dalam kenikmatan bercinta yang tak bisa dirangkai dengan kata-kata. Windi mengelus rambutku dan menarikku ke dalam rengkuhan. Kami tetap seperti itu untuk sementara sebelum kudengar ia berujar pelan.

“Mas ...” Ucap Windi lemah.

“Ya ...” Jawabku sambil mengangkat muka hingga menatapnya.

“Maafkan aku yang sudah mengecewakanmu. Aku menyesal tidak memilih mas. Seandainya saja aku berani pergi saat itu, mungkin kita sudah bahagia hidup bersama.” Lirih Windi penuh penyesalan.

“Mungkin itu jalan hidup kita yang harus kita lalui. Jangan bersedih dengan adanya perpisahan, karena perpisahan bukan akhir dari kebersamaan, melainkan itu sebuah berkah yang akan menumbuhkan rasa berharga dan indahnya kebersamaan. Tak perlu bersedih dengan perpisahan karena perpisahan memang sudah ada sejak dulu, kita yang saat ini bersama, suatu saat nanti kita akan berpisah juga.” Kataku berupaya membesarkan hatinya dan juga untuk diriku sendiri.

“Oh mas ... Aku sangat mencintaimu.” Tiba-tiba Windi memelukku sangat erat.

Bibirku langsung menyambar bibirnya. Kulumat bibirnya pelahan, menyesapi manisnya bibirnya itu, sungguh lembut dan kenyal sangat nikmat serta memabukkan. Ciuman kami berlangsung cukup lama sampai Windi mendorong pundakku, menandakan ia kehabisan napas. Kulepas pangutanku dan mengelap ujung bibirnya yang terdapat lelehan saliva. Kukecup singkat bibir ranumnya, sementara ia masih sibuk menghirup napas panjang-panjang untuk mengisi paru-parunya. Kembali kusatukan bibir kami, kali ini ciuman yamg lembut kuberikan. Hisapan dan kuluman yang lamat-lamat pada bibirnya.

“Aku mencintaimu, mas ...”

“Aku juga, sayang ... Aku juga sangat mencintaimu ...”

“Ingat ya mas! Aku sangat mencintaimu ...”

“Aku tahu, sayang ...”

Bibir dan lidah kami kembali melekat. Begitu menuntut, basah, terkendali, dan membuatku menginginkan lebih dari sekedar ciuman. Dan akhirnya, tak bisa dihindari lagi tubuh kami bersatu kembali untuk kedua kalinya. Kami bergerak bersama mengarungi keindahan rasa yang kami resapi dalam setiap gesekan yang terjadi antara inti kami. Aku dan Windi tidak berniat berhenti, kami ingin mereguk kenikmatan bercinta sebanyak-banyaknya. Hari ini, kami akan menggapai surga dunia, surga yang tak akan pernah kami lupakan.

Sementara kekehan ringan terdengar dari bibir Windi, diiringi dengan rintihan dan desahan lembut mengalun merdu, ia menyelipkan namaku dibalik desahannya, membuat gerakan tarik ulur yang aku lakukan semakin menggila. Kejantananku yang memenuhi pusat tubuhnya secara menyeluruh, dalam, dan basah tak bisa lagi membuat Windi berpikir jernih. Seolah Windi bisa menikmati kejantananku tanpa penghalang apapun, dan aku juga selalu memberikan apa yang ia mau. Kenikmatan tanpa batas.

“Sleepp... Bleesss... Sleepp... Bleesss...!” Penisku keluar masuk dalam vagina Windi yang licin membasah itu. Rontaan Windi malah membuatku semakin bergairah menaik turunkan pinggulku. Tusukan penisku yang begitu mantab itu memberikan kenikmatan tersendiri, hingga memaksa Windi merintih pendek diantara lenguhan tercekiknya.

“Aaaaacchhh ... Maaassss ...” Windi menjerit menyambut gelombang kenikmatannya yang dahsyat, membuat tubuh Windi berkelojotan hebat. Pinggulnya terangkat-angkat naik ke atas menyambut tusukan penisku. Terasa cairan panas itu meledak dalam lubang vaginanya yang berkedut hebat. Tubuh Windi mengejang hebat, matanya yang melotot itu membeliak terbalik hingga hampir terlihat putihnya ketika tubuhnya dilanda orgasme. Beberapa saat tubuh mulus itu tampak masih mengejang, merasakan sisa-sisa ledakan orgasme. Pada saat yang sama aku merasakan denyutan nikmat pada penisku. Tubuhku menghempas kuat ke bawah, menusukkan penisku dengan kuat ke dalam vagina Windi.

"Uuuuuuhhh... Ooooohhhhhh... Nikmatnyaa... Aaaaaaahhh..."

Seerrr... Cruooottt... Ccruooottt... Ccrrreeettt...! Spermaku muncrat di dalam vagina Windi, membuat vagina yang sudah basah kuyup oleh cairan cintanya sendiri itu semakin meluber bercampur spermaku.

Setelah kenikmatan puncak itu, tubuhku melemas dengan sendirinya. Berangsur-angsur gelora kenikmatan itu mulai menurun. Untuk beberapa saat aku masih menindih Windi, keringat kami pun masih bercucuran. Setelah itu aku berguling di sampingnya. Aku temenung menatap langit-langit kamar. Begitupun dengan Windi. Tak lama, Windi bergerak. Ia meletakkan kepalanya di dadaku, dan aku pun mengelus dan mengusap rambutnya yang basah.

“Mas ... Lapar gak?” Tanya Windi.

“Aku masih kenyang, tapi aku ingin ngopi.” Jawabku.

“Kalau begitu, aku makan, mas ngopi.” Katanya.

“Yuk!” Ajakku.

Kami pun beranjak dari tempat tidur. Setelah memakai pakaian, kami menuju ke dapur. Aku sempatkan mandi sebelum menemani Windi makan dan aku menikmati kopi. Akhirnya, aku dan Windi menghabiskan hari dengan bercengkrama dan bercinta. Kami seakan tak pernah puas untuk terus bercinta. Hanya beristirahat sebentar saja, kami lanjutkan dengan bercinta. Kami bercinta sampai pagi hari berikutnya. Kami berdua seperti romeo and juliet yang terus mengarahkan biduk birahi kami menuju lautan kenikmatan bersama. Memadu kasih seakan tiada hari esok.

.....
.....
.....

Saat matahari sudah mulai muncul di ufuk timur, aku harus meninggalkan Windi karena orangtua dan suaminya akan segera datang. Aku menaiki Si Black dan melajukannya. Pagi ini jalan desa sudah ramai dilalui warga. Di sepanjang jalan yang aku lalui, ternyata aktifitas warga sudah kembali seperti biasanya. Petani kembali ke sawah atau ke kebun, yang berdagang di pasar juga kembali menggelar dagangan. Aku terus melaju santai sambil menikmati alam pedesaan yang begitu damai.

Tak terasa aku sudah sampai saja di rumah. Kulihat kakek sedang bersantai sambil menikmati kopi dan rokok kreteknya di teras rumah. Setelah memarkirkan Si Black, aku menghampiri kakek dan duduk di kursi sebelahnya. Satu hal yang kusuka dari kakek adalah dia orangnya ‘anti kepo’. Dari mana pun aku datang, jam berapa pun aku sampai, kakek tak pernah menanyakan kepergianku.

“Tadi malam Jafar datang ke sini.” Kata kakek masih dengan sikap santainya. Padahal ini adalah kabar yang sangat mengejutkanku.

“Mau apa? Dimana dia sekarang?” Tanyaku pada kakek.

"Dia masih tidur di kamar tamu." Jawab kakek.

Aku menghela nafas lega lalu bertanya, “Mau apa dia datang ke sini?”

“Dia memerlukan bantuanmu. Dia sudah lelah kabur-kaburan dan kehabisan bekal.” Jawab kakek dengan mimik datarnya.

“Sebaiknya memang masalahnya harus segera diselesaikan. Aku merasa kasihan padanya.” Kataku sambil mengambil bungkusan rokok kretek kakek lalu mengambilnya sebatang.

“Apa kamu punya rencana?” Tanya kakek sambil menyemburkan asap rokoknya.

“Belum.” Jawabku lalu membakar rokok yang sudah bertengger di bibirku. “Aku akan membicarakannya dengan Jafar.” Lanjutku setelah rokokku menyala.

“Hati-hati, cu ... Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berhadapan.” Kakek mengkhawatirkanku.

“Tenang saja kek ... Semua bisa aku atasi.” Jawabku sambil tersenyum.

“Azka ...” Tiba-tiba terdengar suara pelan dari dalam rumah. Aku pun menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Jafar yang memanggilku.

Aku segera bangkit dan menghampiri buronan mafia itu, “Kita bikin kopi dulu di dapur.”

Aku dan Jafar berjalan ke dapur lalu membuat kopi dua gelas. Sejenak kami menikmati kopi sambil merokok bareng. Aku banyak bertanya tentang perjalanan Jafar di pengasingannya. Jafar pun menceritakan banyak hal yang intinya dia sangat tersiksa harus berpindah-pindah tempat karena kelompok mafia terus mengejar-ngejarnya.

“Suatu saat mereka akan mengetahui keberadaanmu di sini, dan itu berarti kau telah membahayakan keselamatan kakek.” Protesku atas keputusan Jafar yang memilih rumahku sebagai tempat persembunyiannya.

“Hanya tempat ini yang aman buatku. Orang-orang yang mengejarku tidak berani macam-macam di sini.” Katanya.

“Loh ... Kenapa?” Tanyaku keheranan.

“Mereka mempercayai kalau kakekmu bisa mencelakakan mereka dari jarak jauh.” Jawab Jafar yang sontak membuatku tertawa terbahak-bahak.

“Ha ha ha ... Ada-ada saja ...” Responku sangat menggelikan.

“Kamu ingat waktu kamu aku datangi dengan anak buahku. Tiba-tiba saja aku dan teman-temanku ditahan di Polsek karena disangka berbuat tidak senonoh. Kami percaya kalau itu perbuatan kakekmu.” Ujar Jafar penuh keyakinan, dan kali ini aku tidak membantahnya.

“Oke ... Gak apa-apa kalau itu pikiranmu.” Kataku lalu menyeruput kopiku. “Sekarang, aku ingin tahu kenapa kau dikejar-kejar mafia itu?” Tanyaku kemudian.

“Aku menyembunyikan Heroin mereka. Terus terang aku mencurinya dari mereka. Lebih dari 1 kilo heroin. Tadinya aku akan menjualnya sendiri ke salah satu bandar kenalanku. Kamu bisa bayangkan, per gramnya berharga 3 juta, berarti 1 kilo akan menjadi uang 3 milyar. Aku tergiur dengan uang itu. Eh, aku ketahuan dan diburu mereka.” Jawab Jafar dengan wajah sendu.

“Kamu masih simpan heroinnya?” Tanyaku.

“Masih ... Di tempat yang aman.” Jawab Jafar lagi seolah tidak ingin memberitahukannya padaku.

“Ya, kau simpan saja dulu heroinnya. Nanti kalau keadaan sudah aman, kita kasih ke polisi.” Kataku lalu menyeruput lagi kopiku.

“Kapan? Kapan amannya?” Suara Jafar terdengar frustasi.

“Sebentar lagi.” Kataku santai sambil berdiri dan berjalan meninggalkan Jafar.

“Azka ... Dua temanku sudah mati terbunuh. Aku tidak ingin mati seperti mereka. Aku mohon perlindunganmu.” Ucapnya membuat langkahku terhenti.

“Kenapa padaku? Kakek yang lebih pantas yang bisa melindungimu.” Kataku tanpa menoleh.

“Kamu sangat cerdas dan banyak akal. Aku yakin kau bisa menyelesaikan masalahku ini. Aku mohon segera selesaikan permasalahanku. Aku juga tidak ingin dipenjara.” Ungkap Jafar sangat khawatir.

“Asal kau serahkan heroin itu ke polisi, aku yakin kau tidak akan dipenjara. Masalahmu dengan mafia, kita tunggu saja.” Kataku sambil melanjutkan langkahku menuju kamar.

Aku memasuki kamar lalu menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Aku benar-benar ngantuk dan lelah karena semalaman bahkan hampir menjelang subuh aku masih mengayuh kenikmatan bercinta dengan Windi. Perlahan kesadaranku menghilang karena kantuk yang sudah stadiun kronis. Tak lama aku pun terlelap dalam tidur yang sangat nyenyak. Rasanya aku sudah tertidur sangat lama, aku bangun dari tidur yang hanya sekedar tidur tanpa mimpi. Setelah melihat jam di lenganku, ternyata aku baru tertidur setengah jam, namun rasanya tubuhku sangat segar. Aku duduk di tepi ranjang sambil mengumpulkan sebagian jiwaku yang masih melayang-layang.

Terima kasih, Azka.” Tiba-tiba terdengar suara Pet.

“Buat apa?” Tanyaku masih belum pulih sepenuhnya kesadaranku.

Tehoa yang kau kumpulkan semalam, luar biasa besarnya.” Jawab Pet.

“Ya, Pet ... Itu sudah tugasku. Tapi, kapan kau bisa bebas?” Tanyaku lagi sambil merentangkan kedua tanganku guna melemaskan otot-otot lantas berdiri lalu menggerakan pinggang ke kiri dan ke kanan.

Sedikit lagi. Aku rasa tidak seminggu lagi aku terbebas berdasarkan siklus normal bercintamu.” Jawab Pet.

“Oh ... Syukurlah ...” Responku senang.

Tiba-tiba aku terhenyak saat mendengar gedoran pintu dan terdengar suara kakek memanggil-manggilku dengan suara yang panik. Tak biasanya kakek bertingkah seperti itu. Ini pasti ada sesuatu yang sangat besar terjadi. Aku pun berlari walau hanya beberapa langkah menggapai pintu kamarku.

“Ada apa kek?” Tanyaku juga dengan nada panik.

“Pak Rusdi mati dibunuh.” Jawab kakek yang membuatku terlonjak saking terkejutnya.

“Di mana?” Tanyaku sambil berjalan mengikuti kakek keluar rumah.

“Jenazahnya ada di rumah sakit daerah. Dia ditemukan di Hotel Tugu.” Jawab kakek.

“Azka ... Aku ikut ...” Tiba-tiba Jafar memanggil.

Aku menoleh ke belakang. Jafar rupanya memakai masker dan kacamata juga topi untuk menutupi wajahnya. Aku pikir Jafar tidak akan dikenali oleh siapa pun. Aku pun lantas mengiyakan keinginan Jafar untuk ikut ke kota kabupaten. Aku dan Jafar meluncur menunggangi Si Black, sementara kakek bersama ‘supir pribadinya’ bernama Sugeng. Dua motor melaju dengan kecepatan lumayan tinggi. Aku dan Jafar tidak bersuara sepatah kata pun selama perjalanan. Aku lebih fokus pada laju Si Black yang membuntuti motor Sugeng yang membawa kakek. Sekitar dua jam lebih, aku sampai di kota kabupaten dan langsung bergegas ke rumah sakit umum daerah tempat jenazah Pak Rusdi berada.

Sesampainya di ruang jenazah rumah sakit, ternyata sudah banyak orang yang berkumpul di sana. Diantaranya Bu Rusdi dan kedua anaknya. Kulihat Bu Rusdi menangis yang diapit oleh kedua anak laki-lakinya yang sudah remaja. Aku langsung masuk ke kamar jenazah dan melihat mayat Pak Rusdi. Mataku menyipit ngeri tatkala mendapati kepala Pak Rusdi berlubang tertembus peluru. Aku yang tak ingin berlama-lama melihat mayatnya segera keluar kamar jenazah dan langsung menghampiri Pak Kades yang kebetulan berada di rumah sakit ini.

“Bagaimana menurut polisi, pak?” Tanyaku.

“Polisi baru akan menyelidiki.” Jawab Pak Kades sendu.

“Sialan! Kasus dua mayat yang pertama saja belum selesai. Bagaimana nasibnya dengan kasus Pak Rusdi? Aku pikir polisi kita sangat lambat bekerjanya.” Kataku sangat kecewa.

“Entahlah ... Kita tak bisa berbuat aapa-apa.” Keluh Pak Kades.

“Azka ...” Tiba-tiba Jafar menarik tanganku. Aku menatap wajahnya sambil mengikuti laki-laki yang sedang menarik tanganku menjauh dari keramaian orang.

“Ada apa?” Tanyaku.

“Aku sangat yakin ini kerjaan mafia yang sedang mengejar-ngejarku.” Kata Jafar sangat pelan nyaris berbisik.

“Bagaimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu?” Tanyaku lagi.

“Aku sering mendengar kalau boss mafia itu punya orang kepercayaan di desa kita. Awalnya aku menyangka Pak Haji Yanto yang menjadi orang kepercayaan si boss mafia. Kalau dilihat cara kematian Pak Rusdi yang ditembak, aku sekarang yakin kalau orang yang dimaksud adalah Pak Rusdi. Kedua, aku yakin sekali kalau Pak Rusdi adalah tempat si boss mafia mencuci uangnya. Coba kamu perhatikan, bagaimana bisa orang biasa memberikan pinjaman uang hampir ke semua warga desa dengan bunga sangat rendah.” Papar Jafar sangat masuk akal.

Mendengar penuturan Jafar seperti itu, tiba-tiba amarahku naik ke ubun-ubun. Aku benar-benar marah sekarang. Dan aku tidak bisa mentolerir lagi perbuatan yang telah dilakukan gembong mafia itu. Siapa pun dia orangnya, aku akan mengejarnya! Aku akan tumpas kejahatannya! Aku tidak bisa lagi mengandalkan aparat kepolisian yang menurutku seperti mengulur-ulur waktu.

“Kalau begitu kita harus mencari boss mafia itu.” Kataku sambil mengepalkan tangan.

“Kau gila apa? Itu sama saja artinya nyetor nyawa!” Jafar mendesis sambil melotot.

“Kau gak usah khawatir. Aku akan sendiri mengurusnya. Kau tetaplah bersembunyi saja. Sekarang, aku minta alamat si keparat itu.” Kataku tegas.

“Azka ... Eling woy ...! Dia sangat berbahaya. Sangat mudah menghilangkan nyawa orang.” Jafar mendesis lagi.

“Sudah! Jangan banyak bicara! Mana alamatnya?” Kini aku agak membentak.

“Aku lupa nama jalannya, tapi aku ingat letak rumahnya. Dia tinggal di Yogya.” Jawab Jafar.

“Kalau begitu, kau ikut denganku!” Kataku.

“Oh Azka ... Selama ini aku menghindarinya, sekarang aku malah mendatangi kandangnya.” Jafar tetap bertahan.

Aku yang kesal dengan sifat pengecut Jafar kemudian menggunakan kekuatan otak superku untuk menggerakan tubuh Jafar tanpa ia kehendaki. Jafar mengikuti langkahku ke tempat parkiran sambil mengoceh tak karuan yang intinya ia merasa keheranan dengan tubuhnya yang bergerak sendiri tanpa bisa ia hentikan. Untungnya Jafar tidak berteriak-teriak, dia hanya mendesis-desis padaku. Tak lama, aku dan Jafar sudah di tempat parkir. Akhirnya aku lepas kekuatanku.

“Gimana bisa begitu? Apa yang kau lakukan padaku?” Pertanyaan itu mungkin sudah sepuluh kali keluar dari mulutnya.

“Kau harus percaya padaku. Kalau kau ingin masalahmu selesai maka kau harus ikut. Ayo naik!” Perintahku.

Jafar yang masih ragu, akhirnya naik Si Black membonceng di belakangku. Akhirnya aku besut Si Black menuju Kota Yogyakarta yang kuperkirakan waktu yang akan kutempuh sekitar delapan jam sampai sembilan jam. Sebelum melakukan perjalanan panjang, aku memberi minum dulu Si Black supaya tidak kehausan di jalan. Setelah itu, kupacu Si Black dengan kecepatan tinggi seakan berhitung dengan detik-detik waktu.

Perjalananku awalnya sangat lancar, dalam artian Si Black bisa berlari kencang. Perjalanan naik motor dari Malang ke Yogyakarta ini yang paling menyeramkan adalah rute di Nganjuk, karena semua kendaraan tumplak dalam satu jalan. Mobil dan bus besar keluar dari tol, pengendara motor seperti aku ini harus ekstra hati-hati. Karena bus-bus itu sangat buas.

Napas kembali plong ketika melewati Pondok Pesantren Putri Gontor di Ngawi. Ngegas jadi lebih mantap karena sedang di rute yang benar. Begitu masuk Ngawi, track mulai monoton dan jalanan mulai bergelombang. Kondisi lalu lintas memang lancar, tetapi aku sudah merasa suntuk di jalan. Tiba-tiba ada dua motor menyalip. Aku pun tersenyum. Entah, aku merasa bertemu teman senasib sepenanggungan. Aku merasa tidak sendirian. Meski kami tidak saling bertegur sapa. Sesederhana itu sudah bikin semangat lagi.

Lepas Ngawi aku memasuki Sragen kemudian Solo. Salah satu manfaat memilih rute perjalanan dari Malang ke Jogja melalui solo adalah bisa mampir untuk berkulineran. Setelah aku dan Jafar beristirahat sambil makan kurang lebih 30 menit, kami melanjutkan perjalanan menuju Klaten dan akhirnya sampai juga di Yogyakarta saat matahari sudah benar-benar tenggelam di ufuk barat. Jafar pun sibuk menunjukkan arah jalan, hingga Jafar menyuruhku berhenti di sebuah jalan besar beraspal licin. Si Black pun menyisi dan kumatikan mesinnya.

“Lihat rumah tingkat bercat putih itu. Rumah itu adalah rumah si Reno, boss mafia yang kau cari.” Ujar Jafar sambil menunjuk sebuah rumah megah sekitar 10 meter di depanku.

“Kau tidak akan masuk?” Tanya sambil turun dari Si Black.

“Kau sudah gila! Aku sudah memperingatimu sejak dari Malang. Azka, pikirkan lagi matang-matang dengan niatmu mendatangi orang terkejam di dunia itu.” Jafar tak lelah memperingatiku.

“Bawa saja motorku agak menjauh dari sini. Serahkan saja semuanya padaku.” Kataku santai.

“Oh Tuhan ... Aku gak tau lagi harus bicara apa. Baiklah, aku tunggu kau di ujung jalan sana. Di sana ada Warkop, aku akan menunggumu di Warkop itu. Jika kau selama dua jam tidak mendatangiku, aku anggap kau mati dan aku akan kembali ke desa menemui kakekmu.” Ucap Jafar dan tanpa menunggu jawaban dariku membawa Si Black menjauh.

Dengan lankah mantap dan kepercayaan diri level dewa. Aku melangkah menuju rumah megah yang ditunjukkan Jafar. Tak lama, aku berhenti di sisi jalan persis depan rumah yang aku tuju. Tampak gerbang tinggi nan lebar yang menjulang bak benteng kokoh. Di depan gerbang terlihat dua penjaga berbadan tinggi besar, mereka memakai kaos ketat sehingga otot-otot kedua pria tersebut tampak jelas dipandang mata. Saat aku berjalan mendekati mereka, salah satu dari mereka menghentikan langkahku.

“Mau kemana?” Tanyanya dengan nada kasar dan tak bersahabat.

“Aku ingin menemui Reno.” Jawabku santai.

“Siapa anda? Dan ada perlu apa menemui bos kami?” Tanya lagi semakin tak ramah.

“Aku hanya orang desa yang ingin bertemu dengannya saja. Berikan aku jalan kalau perlu antarkan aku padanya.” Jawabku tanpa rasa gentar sedikit pun.

“Jika tidak ada keperluan penting, lebih baik anda pergi dari sini.” Si pria kekar mulai memukul-mukul kepalan tangan kanannya ke telapak tangan kirinya. Sepertinya dia ingin mengintimidasiku.

Aku pun tersenyum lalu mengaktifkan kekuatan hayalanku. Kedua pria ini membukakan pintu gerbang untukku kemudian keduanya push up tanpa henti di depan pintu gerbang sampai mereka pingsan kelelahan. Hanya berselang kurang dari 7 detik, tiba-tiba pria kekar yang berdiri dekat pintu gerbang membuka gerbang. Aku secepatnya berjalan melintasi pintu gerbang. Tampak di mataku sebuah rumah yang bisa dibilang istana. Rumah di depanku ini begitu besar dengan pilar-pilarnya yang begitu kokoh. Lagi-lagi aku menemukan dua pria penjaga pintu masuk istana. Mereka memakai setelan jas berwarna hitam, kemeja putih dan celana katun berwarna senada dengan warna jas. Keduanya memandangku dengan tatapan curiga, malah salah satu dari mereka langsung mengeluarkan pistol dari balik jasnya.

“Siapa anda?” Pria bersenjata menghardikku sesaat setelah aku naik ke teras rumah.

Aku langsung mengaktifikan otak superku dan memerintahkan keduanya untuk membeku di tempat. Setelahnya aku berkata, “Aku ingin bertemu dengan bos kalian.”

“Ada keperlu ...” Pria bersenjata itu tidak melanjutkan ucapannya. Wajahnya berubah kebingungan. Begitu pula dengan rekannya, tampak wajahnya terkejut. Aku pikir mereka sadar kalau tubuhnya tidak bisa digerakan.

“Antarkan aku menemui boss kalian, kalau tidak nyawamu akan melayang.” Kataku sambil memerintah tangan pria bersenjata menodongkan pistolnya ke kepalanya sendiri.

“Ah ... I..ini ti..dak mungkin! A..apa yang aku lakukan?!” Ujar si pria yang telah meletakkan moncong pistolnya di kepalanya sendiri.

“Oh ya ... Kamu juga pasti memiliki pistol.” Kataku pada pria yang satunya lagi. “Ambil pistolmu dan letakkan moncongnya di kepalamu.” Kataku sembari menggunakan kekuatan pikiranku untuk menyuruhnya sesuai dengan yang aku perintahkan.

“Oh ... Ti..tidak ... Ini tidak mu..mungkin ...?!” Pekik si pria setelah moncong pistolnya tepat di batok kepalanya.

“Ja..jangan bu..bunuh kami ... Aku mohon ...” Ucap si pria pertama sangat memelas.

“Kalau begitu ... Antarkan aku menemui boss kalian!” Perintahku sangat tegas.

“Ba..baik ... Kami antar ...” Ucap pria pertama dengan badan gemetaran hebat dan seperti mau mewek.

Akhirnya kedua pria ini aku lepas sebagian kekuatanku agar mereka bisa berjalan walau dengan masih pistol mengarah ke kepalanya. Keduanya membuka pintu utama rumah hampir bersamaan dan berjalan di depanku. Baru saja masuk beberapa langkah, aku melihat empat orang lain yang sedang bermain kartu di sofa langsung berhamburan sambil berteriak-teriak marah.

“Hei! Ada apa ini?!”

“Woy ... Ada penyusup ...!”

“Habisi dia ...!”

Suara ancaman mereka tak menggentarkan nyaliku sedikit pun. Aku segera mengaktifkan mode kekuatan hayalan. Aku membayangkan keempat orang itu membuka pakaian mereka sampai telanjang bulat kemudian berlari-lari di jalanan kota Yogyakarta. Keempat orang tersebut sempat merangsek dan memburuku, namun tiba-tiba mereka berhenti lalu menelanjangi diri mereka masing-masing. Aku terus berjalan mengikuti dua pria penjaga pintu yang kulihat tubuh mereka semakin gemetaran. Aku sejenak menoleh ke belakang, keempat orang telanjang itu berhamburan ke luar rumah, dan sudah dapat dipastikan mereka pasti ‘jogging’ telanjang di jalanan.

Aku terus mengikuti langkah ‘tawananku’ dan kini aku memasuki ruang tengah yang sungguh membuatku takjub. Mataku menyapu ruangan yang begitu luas dengan cat putih juga beberapa barang yang sangat mewah. Kembali, aku dihadang oleh dua penjaga pintu sebuah ruangan. Tanpa ampun lagi, aku ‘membekukan’ mereka di tempat masing-masing sebelum mereka sempat mencabut senjata. Keduanya pun berteriak-teriak kencang yang masih berlagak jagoan, menyuruhku mundur.

Tiba-tiba pintu besar bercat coklat dengan ukiran yang sangat indah terbuka di hadapanku, menampilkan seorang pria yang kutaksir berusia sekita pertengahan 30 tahunan. Pria itu memakai jas hitam yang begitu elegan, potongan rambut yang keren, dan wajahnya sangat tampan. Namun demikian, wajah tampannya itu mengkerut pertanda dia sedang terkejut. Sebelum terjadi sesuatu yang membahayakan, aku pun langsung ‘membekukan’ tubuhnya.

“Sekarang kalian, para penjaga, keluar semua. Jaga pintu depan, jangan sampai ada orang yang masuk.” Kataku sembari mengeluarkan kekuatan hayalan untuk keempat pria penjaga yang aku bayangkan mereka menjaga pintu depan dengan sangat ketat. Setelah itu aku lepaskan kekuatan otak superku yang membekukan tubuh mereka.

“Siapa kau?!” Tanya si pria tampan yang aku kira dia adalah Reno, si boss mafia. Kini terlihat wajahnya sangat kebingungan. Dia mungkin merasa aneh saat tidak bisa menggerakkan badannya.

Aku tidak langsung menjawab. Aku memperhatikan terlebih dahulu para penjaga yang bersama-sama keluar dari ruangan ini. Setelah keempat penjaga tak terlihat lagi, baru aku mengalihkan pandangan pada si pria tampan di depanku. Sambil berjalan mendekatinya, aku pun berkata, “Kau telah banyak membuat kekacauan di daerahku. Saatnya aku membalas semua kejahatanmu.”

“Si..siapa ka.kaauu ...” Tanya si boss mafia. Aku bisa melihat dengan jelas ekspresi pria tampan di depanku yang terkejut dan wajahnya menjadi pucat pasi.

“Aku adalah warga desa yang terganggu oleh perbuatanmu. Saatnya aku akan menghentikanmu.” Kataku sembari berjalan melewatinya. Entah kenapa aku sangat tertarik untuk memasuki ruangan seorang boss mafia.

Saat aku berada di dalam ruangan si pria tampan itu, mataku terbelalak tatkala melihat tumpukan plastik ukuran satu kilo yang berisikan bubuk putih yang kuyakini itu adalah heroin. Aku mendekat ke tumpukan heroin tersebut dan kuperkirakan ada lebih dari 50 bungkus di sana. Saat aku ingin berbalik, sudut mataku melihat dua tas besar berisikan uang lembaran berwarna merah. Aku belokkan langkahku menuju dua tas berisi uang tersebut. Aku menghela nafas karena seumur hidupku, aku baru sekali ini melihat uang cash sebanyak itu.

“Reno ... Kemarilah ...!” Perintahku dan seperti robot saja, si boss mafia berjalan mendekatiku. Setelah mendekat, aku langsung mengaktifkan mode kekuatan hayalanku. Sambil membayangkan dan menghayal aku pun berujar, “Sekarang kau masukkan heroin itu ke dalam mobilmu. Setelah selesai, kau pergi dengan mobilmu itu ke Jakarta. Di Jakarta, kau merampok bank. Tapi ingat! Jangan ada korban nyawa. Lakukanlah sekarang!”

Tanpa berkata-kata, Reno bergerak sesuai dengan yang aku bayangkan. Segera saja aku menggunakan kekuatan hayalanku lagi untuk semua anak buah yang berada di rumah ini, untuk membantu Reno menempatkan seluruh heroin ke mobilnya. Tak lama empat anak buahnya datang langsung membawa heroin-heroin itu keluar dari ruangan, beberapa menit berselang dua orang kekar penjaga pintu gerbang datang dengan terseok-seok kecapaian dan membantu memunguti heroin. Aku tunggu sampai selesai lalu aku menutup resleting kedua tas berisi uang dan membawanya pergi. Sebelum benar-benar keluar rumah megah ini, aku sekali lagi mengaktifkan kekuatan hayalan. Keenam anak buah Reno kubayangkan berlari-lari telanjang di jalanan.

Aku berdiri di atas teras dengan menggendong dua tas sambil memperhatikan anak buah Reno yang mulai berlari dengan keadaan telanjang ke luar rumah milik si boss mafia. Satu menit berselang, kulihat mobil mewah Reno keluar melewati pintu gerbang. Aku pun segera melangkan meninggalkan rumah megah ini dan berjalan ke arah ujung jalan tempat sebuah Warkop mangkal.

“Ayo!” Ajakku pada Fajar yang sedang asik ngobrol dan ngopi dengan pemilik Warkop.

“Hah!” Jafar malah terbelalak sambil menganga.

“Ayo pergi!” Kataku.

“I..iya ...” Jawab Jafar gugup.

“Mas ... Bayar dulu kopi dan gorengannya.” Tiba-tiba si pemilik Warkop berkata.

“Oh ...” Sahut Jafar sambil menatapku tajam.

Aku mengerti lalu tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Aku letakkan tas yang sejak tadi aku jinjing di tangan kanan, kemudian aku mengeluarkan dompet dan mengambil uang pecahan sepuluh ribuan. Kuberikan uang itu pada Jafar. Jafar pun lantas membayar kopi dan gorengan yang ia makan.

“Ini kembaliannya mas ...” Ucap si pemilik Warkop.

“Ambil saja kembaliannya.” Kataku.

Jafar memberikan kunci motor padaku namun aku menolaknya, “Kau saja yang bawa. Dan ini simpan di depan.” Kataku kemudian sambil meletakkan tas di tangki bahan bakar. Tentunya tas yang lebih ringan yang aku simpan di sana.

“Apa ini?” Tanya Jafar.

“Itu buatmu.” Jawabku santai.

Karena mungkin penasaran, Jafar tiba-tiba membuka tas di depannya, “Ya Tuhan ... Ini untukku?” Pekik Jafar sambil menoleh ke arahku yang belum naik ke atas motor. Matanya membola seakan tak percaya.

“Ya ... Itu untukmu. Cepat ah! Aku ingin segera sampai di rumah.” Ujarku sembar naik di belakang Jafar.

“Wow! Yuhuy! Siap boss! Berangkat ...!” Teriak Jafar dengan sangat bersemangat.

Kami pun melaju dengan kecepatan standart, jarak tempuh ke Malang memakan waktu 8 jam sampai 9 jam, dan perkiraanku jam 6 pagi baru sampai di desa kami. Jafar tak henti-hentinya bertanya tentang kejadian di rumah boss mafia yang ia sangat takuti. Aku hanya menjawab kalau sekarang dia tidak perlu takut lagi karena Reno dan anak buahnya sudah ditahan polisi. Jafar tidak begitu saja percaya karena menurutnya tak ada bunyi sirine polisi. Aku pun membual kalau dialah yang tidak tahu kalau ada polisi yang datang. Sepanjang perjalanan aku berdebat dengannya tentang masalah usahaku menghentikan Reno. Jafar merasa tidak percaya kalau aku bisa dengan mudah memberantasnya. Aku pun terus menjawab dengan bualan dan senyuman.
Bersambung

Chapter 14 di halaman 89 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd