Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Monreia: King of Cloak and Dagger (Episode 3: Homecoming)

Coup d'état



752 Sedas Era (SE)



Berdenmouth, Ibukota Kerajaan Harwick — Malam musim panas yang tenang menyelimuti kota ini. Sang raja berdiri memandangi kota dari atas balkon kastilnya, baju sutra mewahnya sudah terlepas menyisakan baju dalam kaus putih panjang yang menutup sampai ke lutut. Tangan kanannya memegangi gelas kaca berisi anggur Castanaro kesukaannya. Malam ini bulan purnama menyinari, cahayanya memantul dari sungai Gramney di kejauhan, jalan-jalan kota yang biasanya sudah gelap gulita pun di malam ini samar-samar dapat terlihat oleh sang raja yang sudah setengah sadar sambil menikmati minuman keras setelah makan malamnya. Di satu sudut, di luar perlindungan tembok setinggi 10 meter yang mengelilingi sebagian besar kota ini, masih terlihat penerangan dan orang-orang mabuk berlalu-lalang diikuti teriakan, tawa, dan nyanyian rakyat jelata yang melepas beban sehabis bekerja seharian penuh. Sang raja masih berdiri sendiri di balkon, rambut merah penanda darah bangsawan dinastinya terlihat pudar, beberapa pun sudah berubah menjadi uban. Kerutan di wajah sang raja nampak begitu jelas mendampingi janggutnya yang lebat dan kantung matanya yang besar, pengingat bagi dirinya sendiri bahwa waktunya di dunia mungkin sudah tak banyak lagi. Di dalam kamar, istrinya sang permaisuri sudah terlelap bersama putra bungsunya yang baru berumur 1 tahun.

Dug dug dug!

“Yang Mulia!” Seorang pria berteriak dari luar sambil memukuli pintu dengan keras, membuat Raja Rickard I menjatuhkan gelas anggurnya, sang permaisuri terbangun, begitu pula anaknya yang langsung menangis keras. Ia reflek mengambil pedang warisan leluhurnya, sebuah longsword dari Alirium yang bilahnya bersilau biru terkena cahaya.

“Siapa?!” Sang raja menggenggam pedang di satu tangan, dibukanya pintu itu dengan perlahan namun kemudian seseorang masuk dengan paksa, mendobrak pintu itu hingga terbuka lebar.

“KYAAAH!” Sang permaisuri terkejut dan berteriak sekencang-kencangnya. Pintu itu didobrak oleh seorang penjaga yang panik, wajahnya ketakutan.

“Yang Muli… aaargghhh.” Baru saja penjaga itu membuka mulutnya dan berbicara, sebuah anak panah menusuk menembus lehernya, tangannya menjatuhkan perisai dan pedang yang ia bawa lalu memegangi lehernya yang menyemburkan darah, ia berlutut kemudian jatuh terbaring tak berdaya, tercekik anak panah dan darahnya sendiri.

“RICKARD!” Sang permaisuri semakin histeris, ia terduduk di atas kasur mendekap anaknya yang menangis semakin keras.

Dari luar kamar tidur itu beberapa prajurit berlari masuk satu per satu, sang raja yang sudah paruh baya itu dengan lincahnya mengayunkan pedang, menebas tangan satu prajurit hingga terlepas, menyayat leher prajurit satunya.

“AAAARGHHH!” Kedua pria itu jatuh ke lantai, menyisakan seorang saja yang kini ragu-ragu untuk melawan raja.

“Ayo bajingan!” Teriak sang raja, ujung tajam bilah pedangnya terarah pada si prajurit yang langsung maju menerjang.

“AAKH!” Sang raja melangkah ke samping dan menebas betis prajurit itu, ia tersandung dan keluar ke balkon.

“Siapa yang mengirimmu?!” Tanya sang raja dengan muka geram, ia mencengkeram kerah baju tebal si prajurit, menariknya untuk berdiri.

“Lord Gerard akan berjaya, kau akan mati dan terlupakan! Cuih!” Air liur si prajurit mendarat tepat di wajah raja Rickard.

“Bangsat!” Raja Rickard melepas kerah baju prajurit itu dan menendangnya jatuh dari balkon, melayang beberapa puluh meter ke tanah di bawah. Ia kemudian masuk kembali ke kamar sambil mengusap wajah dengan lengan baju, istrinya masih gemetaran mendekap anak bungsunya.

Suara-suara pertarungan terdengar semakin dekat, jeritan prajurit, dentingan pedang yang saling berhantaman, dan langkah berat orang-orang berbaju zirah menggema di lorong-lorong kastil yang gelap malam ini. Dari langkah-langkah itu beberapa ada yang terdengar semakin keras, semakin mendekat ke kamar utama ini.

“Matilda…” Raja Rickard mengintip ke luar dari sudut pintu kamar, ia menggenggam gagang pedang dengan satu tangan dan memindahkan tangan satunya ke bilah, bersiap untuk half-swording karena dua orang prajurit berbaju zirah lengkap yang tak dikenal berlari-lari kecil menghampiri kamarnya.

Sesaat setelah mereka masuk kamar, sang raja langsung menusukkan pedangnya ke sela-sela baju zirah di leher salah satu prajurit yang tumbang tanpa dapat merespon apa-apa. Prajurit satunya langsung mencoba mengayunkan pedangnya ke arah Rickard yang dengan mudah menangkis serangan itu, kemudian dengan sekali gerakan half-swording-nya melucuti pedang si prajurit dan menebas titik lemah baju zirah di bawah ketiaknya.

“AAAARGH!” Teriak si prajurit sambil menjatuhkan diri ke lantai lalu memegangi ketiaknya yang berdarah, helmetnya sudah terlepas.

“Apa yang sedang terjadi?” Sang raja melepas genggamannya di bilah pedang, ia terlihat terengah-engah berusaha mengambil napas.

“Lord… Lord Gerard Icemane menyuruh kami untuk masuk dan menangkapmu…” Wajah si prajurit yang tadinya geram kini berubah meringis dan ketakutan. “Mohon ampun, Yang Mulia.”

“Gerard?” Sang raja mengernyitkan dahinya kebingungan, kemudian tanpa berpikir dua kali menyayat leher si prajurit. Gerard Icemane masih berkerabat dengan raja, keduanya sama-sama keturunan dari Raja Harwick II, namun Gerard berasal dari keluarga cabang. Raja Rickard menyerahkan posisi jenderal kepada Gerard dengan harapan keluarga utama dan keluarga cabang bisa menjadi dekat kembali, dan selama bertahun-tahun Gerard terbukti sebagai seorang jenderal yang kuat. Tentu saja Raja Rickard bingung mengapa saudara jauh dan jenderalnya memerintahkan hal ini.

“Matilda, dengar, bangunkan anak-anak dan keluar lewat pintu belakang, lari dan jangan berhenti.” Rickard meninggalkan sang permaisuri dan berlari melewati lorong-lorong penuh darah di lantai dua kastil itu.

Tanpa berpikir panjang Matilda sang permaisuri meninggalkan mayat-mayat di kamarnya itu dan berlari keluar ke arah berlawanan dari Rickard, bayinya yang masih menangis keras ia gendong dengan erat di antara lengannya. Koridor kastil yang sudah ia kenal bertahun-tahun itu terasa asing karena mayat-mayat yang bergelimpangan di sana-sini.

“Guards!” Teriakan raja menarik perhatian orang-orang di dalam ruangan itu, Lewentian Guards, pengawal pribadi raja yang sedang ikut bertarung kini semuanya menghampiri dan mengitari sang raja sambil menghalau serangan-serangan yang datang.

“Yang Mulia…” Kapten para Lewentian Guards itu adalah yang terakhir menghampiri raja, pedangnya sudah berlumur darah. “Kami berhasil menghalau mereka kembali ke sini.”

“Diamlah, Rodrick!” Rickard mengayunkan pedangnya dan dengan mudah merobohkan 2 orang musuh, namun 2 orang lagi datang mengisi tempat mereka. “Diamlah dan lindungi rajamu!”

Gerbang kastil dan pintu great hall masih tertutup rapat, orang-orang ini tidak datang dan menyerang dari luar, mereka adalah pasukan-pasukan Harwick bawahan Gerard yang sudah menginap di kastil beberapa malam ini. Rickard dan Lewentian Guardsnya kalah jumlah, mereka pun sudah terlihat kewalahan dan lelah meladeni pasukan Lord Gerard yang mengerubungi.

“Dubhenn haern am glândeal, morc'h am fhean aiesin!” Seruan dari sisi lain aula ini menggema memenuhi ruangan, seketika ketiga pengawal raja berteriak kesakitan, kulit mereka terbakar dan berubah menjadi arang yang membara. Pengawal-pengawal yang semula berdiri tegak melindungi raja mereka itu kini ambruk, bagian-bagian tubuh mereka hancur menjadi abu sebagaimana mestinya arang.

“Drahd…” Hanya sumpah serapah itu yang keluar dari mulut sang raja, tenaganya terkuras dan kini rasa putus asa menguasai dirinya yang diam dikelilingi musuh.

Pintu aula tanpa sadar sudah terbuka, sang jenderal, Gerard Icemane masuk bersama lebih banyak prajuritnya yang menuntun sang permaisuri dan anak-anaknya secara paksa. Di samping Gerard berdiri Celeste si penyihir sekaligus penasihat sihir kerajaan, seorang Court Wizard, wanita ini lah yang tadi menyerukan mantra. Semua anggota keluarga kerajaan kini berlutut di tengah aula, Rickard menjatuhkan pedangnya ke samping, sadar bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk selamat.

“Selamat malam, /Yang Mulia./” Gerard menatap sang raja sambil tersenyum lebar dan menepuk pipi salah satu keponakannya, Elrick, anak sulung dan pewaris takhta sang raja yang kini berlutut di lantai aula dengan tangan terikat.

“King Rickard the Just, first of His name, King of the Salmers, Protector of the Realm. Bagaimana rasanya punya gelar sepanjang itu? Hmm?”

Rickard tak menjawab pertanyaan itu, di dalam otaknya mencoba mencari cara bagaimana bisa keluar dari situasi ini. Mata Rickard memandangi anak-anaknya lalu istrinya, ia sadar bahwa anaknya yang masih bayi tidak ada di situ.

“Rickard? Lidahmu tidak terpotong saat bermain pedang tadi kan?”

“Katakan saja apa maumu, Gerard.”

“Ayolah, aku hanya berusaha sopan, apalagi di saat-saat terakhir sang raja.” Gerard menarik pisau dari sarungnya yang menggantung di sabuk, ia berjalan ke Matilda dan mengiris lehernya, lalu melakukan yang sama ke kedua anak perempuan Rickard. Pisaunya yang kini berlumuran darah diserahkan ke salah satu prajuritnya untuk diseka.

“MATILDA! ELEANOR! ISOLDE!” Rickard menahan diri untuk menghampiri anak dan istrinya yang jatuh tak bernyawa, puluhan pedang dan tombak yang diacungkan ke arahnya memisahkan Rickard dari ketiga anak laki-lakinya yang masih tersisa. Rickard semakin lemas, kakinya gemetaran hingga ia jatuh berlutut.

“Penjarakan Yang Mulia Raja ini.” Gerard melangkah pergi lalu berhenti dan berbalik badan. “Oh ya, dan anak-anaknya juga, yang masih hidup. Yang sudah mati, penggal, taruh di ujung tombak dan pajang di alun-alun.” Kini ia benar-benar pergi diikuti oleh Celeste di belakangnya.

Para prajurit yang ada di ruangan itu mulai bergerak dan bekerja, beberapa menyeret mayat-mayat yang ada di aula itu, yang lain menyeret raja dan anak-anaknya ke dalam sel di ruang bawah tanah kastil, tangan-tangan mereka dirantai ke dinding batu.

“Elrick, Wigberht, Athelstan… mana adikmu?” Sang raja di sisa-sisa tenaga yang ada di dalam dirinya masih memikirkan tentang anak bungsunya yang menghilang. Ketiga remaja itu saling melihat lalu hanya bisa menggelengkan kepala pada ayahnya. Hilangnya si anak bungsu menjadi misteri yang masih tak terpecahkan.

Selama beberapa hari ke depan mereka tetap tergantung tak berdaya di dalam sel, tak ada dari mereka yang menyangka bisa jatuh serendah ini. Bisa dibayangkan kondisi seorang raja dan ketiga pangeran itu tak mandi dan hanya bisa buang air di celana selama hampir seminggu. Di hari keenam mereka dibawa keluar dan disuruh berjalan ke alun-alun di tengah kota di mana orang-orang sudah berkerumun. Di satu sudut alun-alun sudah ada Gerard yang berdiri di atas panggung, di sebelahnya terpasang 4 tali gantung sementara di depan panggung ada 3 tombak yang berdiri tegak, di ujung masing-masing tertancap kepala sang permaisuri dan kedua anak gadisnya yang sudah mulai membusuk. Sisa-sisa keluarga kerajaan ini berjalan menyusuri warga yang berkumpul dengan dikawal oleh beberapa prajurit. Riuh omongan orang-orang mendadak berhenti saat sang raja dan anak-anaknya menaiki panggung, ribuan pasang mata tertuju pada mereka.

“Saudara-saudari! Segenap rakyat Harwick dari Kinleymock hingga Foweymock! Lihatlah! Di hadapan kalian adalah seorang tiran dan generasi penerusnya yang akan menjadi tiran-tiran baru jika kita tak menghentikan mereka sekarang dan saat ini juga! Candorough mengutuk Rickard Russellon dan keturunannya hingga hari akhir! Orang-orang Salmer menuntut hak mereka untuk mengambil alih kedaulatan dari tangan seorang khianat dan satu-satunya keadilan di mata Candorough untuk orang khianat adalah kematian!”

Pidato Gerard yang berapi-api tentu saja sebenarnya tak berdasar karena Rickard tak pernah berkhianat pada rakyatnya sendiri lebih-lebih sampai menyebabkan sentimen orang-orang untuk menggulingkan dirinya. Gerard butuh legitimasi, ia punya seluruh angkatan bersenjata Harwick saat ini namun orang-orang awam tetap butuh diyakinkan dengan tuduhan-tuduhan kejam. Rakyat jelata memang mudah dipengaruhi, beda halnya dengan golongan bangsawan dan ningrat di seantero Harwick yang masing-masing punya kepentingan mereka sendiri-sendiri dan tidak serta-merta akan tunduk pada seorang raja baru. Tetap saja, Gerard Icemane adalah seorang jenderal yang ambisius, terlebih karena keluarga cabang selama beratus-ratus tahun terjebak di bayangan keluarga kerajaan, dan jika suksesnya kudeta ini berarti akan ada konflik dengan para bangsawan, ya sudah.

Gumam kerumunan penonton mulai terdengar lagi setelah Gerard selesai berbicara. Seorang algojo menarik Rickard dan anak-anaknya yang kini hanya mengenakan secarik kain linen usang itu naik ke atas bangku. Leher mereka dilingkarkan tali gantung yang pendek yang berarti eksekusi ini tidak akan berlangsung singkat dan benar saja, bangku-bangku tempat mereka bertumpu ditendang sehingga sang raja dan ketiga pangerannya itu bergumul dengan cekikan tali gantung yang perlahan-lahan mengambil kesadaran diri mereka satu per satu, kematian yang sangat menyakitkan. Tubuh mereka dibiarkan tergantung selama sisa hari ini sebagai tontonan bagi orang-orang yang melintas. Dengan begitu saja, sebuah dinasti yang sudah berjalan beratus-ratus tahun terputus. The king is dead, long live the king.



Newcester, beberapa ratus kilometer dari Berdenmouth — Cahaya mercusuar di kejauhan adalah satu-satunya acuan bagi orang-orang yang sedang menuju Newcester, baik di darat maupun di laut. Sebuah kota kecil yang sibuk, Newcester adalah kota pelabuhan terdekat dari Berdenmouth dan kota itu dilalui Padtorough Road, jalan utama penghubung kota-kota di Kerajaan Harwick. Di waktu malam seperti ini, gelapnya sudut utara kota ynag berbukit nampak kontras dibandingkan dengan dermaga yang masih terang dan ramai karena selain dipenuhi oleh gudang dan kantor saudagar kaya, area dermaga juga menjadi lokasi tavern, bar, pub, dan rumah bordil tempat menguras upah pelaut-pelaut gaduh yang sedang berlabuh. Semua berlangsung normal di sini walaupun baru beberapa hari yang lalu terjadi sebuah kudeta di ibukota.

Tok tok tok. Sebuah rumah kecil di puncak bukit di utara kedatangan tamu, ketukan dari orang berjubah yang menutup dari kepala sampai mata kaki itu disambut sebuah suara dari dalam rumah.

“Siapa?” Suara dari balik pintu itu terdengar serak dan berat.

“Eigean evelienn deireadh.” Pria berjubah itu mengutip sebuah puisi dalam bahasa kuno yang namanya pun sudah lama terlupakan, tak banyak yang mengerti bahasa yang ia gunakan, apalagi mengetahui keberadaan penggalan puisi ini.

Pintu itu sedikit terbuka, menunjukkan sepasang mata yang mengintip dari dalam, tatapan matanya tajam mengamati si pria berjubah yang membalas tatapan itu sama tajamnya.

“Que'n esse, va en esseath.” Balas si laki-laki di balik pintu seraya membuka pintu itu lebih lebar dan mempersilahkan tamunya masuk.

“Sebagai tamu di rumah ini dan tamu bagi sang ibu, aku punya kewajiban untuk memperkenalkan diriku.” Ia berjalan di belakang si pria berjubah ke sebuah ruangan dengan meja besar di tengah dengan pencahayaan lilin-lilin di tengah meja. “Namaku Vincenzo.”

Jubah hitam tebal pria itu dibukanya, memperlihatkan seorang bayi yang sedang tertidur pulas, merahnya rambut bayi itu seakan menyala-nyala terkena cahaya lilin yang redup. Vincenzo masih tak tahu apa maksud pria di seberang meja itu.

“Ayd f'haeil moen Hirjeth taenverde.” Bisik si pria berjubah pada si bayi yang kemudian ia letakkan di atas meja, masih tertidur pulas.

“Aku tahu tak banyak lagi yang datang kepadamu atau saudara-saudaramu dengan cara seperti ini, tapi dengarlah.” Pria berjubah itu menyayat tangannya sendiri, darah yang keluar dari sayatan itu ia teteskan ke nyala api lilin di tengah meja, tangan satunya melepaskan pisau dan meraih sebuah kantong penuh koin emas yang ia letakkan di samping si bayi. “Dread Mother Pervical, I lend you my blood for the service of your child.”

Sebuah sakramen, perjanjian seseorang dengan Pervical harus dituruti oleh anak-anak dari The Dread Mother itu sendiri. Vincenzo adalah seorang agen dari sebuah organisasi rahasia yang menawarkan jasa pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya kepada orang-orang yang bisa membayar. Pada umumnya orang-orang itu hanya perlu membayar sejumlah uang muka, namun ada satu lagi cara yang mengikat antara seorang agen dan klien dengan sebuah ikatan mistis. Tidak mematuhi sakramen antara klien dengan sang ibu adalah dosa besar di mata tetua Eye of Pervical, nama organisasi itu.

“Baiklah.” Vincenzo mengangkat bayi dan kantong emas itu. “Apa yang harus kulakukan?”

“Rawat bayi itu hingga dewasa, tak masalah apa saja yang kau ajarkan dan terserah identitas apa yang kau berikan padanya. Kalau nanti ia sudah dewasa, kirim ia kembali ke tanah airnya, di sini, di Harwick.” Tanpa berbasa-basi si pria berjubah langsung berbalik arah dan keluar dari rumah itu, ia berjalan pergi, menyimpan identitasnya yang masih menjadi misteri bagi Vincenzo.



771 SE



Desa Vallano, Pulau Serne, Republik Castanaro — Angin dingin mulai berhembus dan daun-daun mulai berjatuhan pertanda musim gugur sudah tiba. Ladang-ladang gandum yang mengitari desa ini terlihat lebih ramai dari biasanya karena panen sudah di depan mata. Entah sudah berapa lama aku memperhatikan petani-petani kumuh ini dari pinggiran desa, semembosankan itu lah hidup di desa ini sampai tak ada hal menarik yang bisa dilakukan atau dilihat-lihat. Di tengah desa terdapat rumah semacam tuan tanah di daerah ini, lengkap dengan lumbung padi yang terbuka lebar di masa-masa sekarang. Dari yang kudengar, ladang-ladang pertanian sejauh yang bisa terlihat dari desa ini adalah milik si tuan tanah, entah benar atau tidak. Pendapatku? Omong kosong, tak mungkin satu orang mempunyai banyak sekali harta benda. Dari yang kudengar juga, tahun ini si tuan tanah meminta 20 karung gandum dari masing-masing petani yang mengelola lahannya sebagai bentuk pajak, entah untuk apa menimbun biji-bijian sebanyak itu.

“Hoaaaam!”

“Red!” Suara serak dan berat yang sudah kukenal itu datang dari arah desa. Aku menoleh dan melihat Vincenzo berjalan menghampiriku, suaranya yang memanggilku masih saja terdengar tegas meskipun kerutan di wajahnya bertambah satu setiap harinya.

“Sudah selesai dengan pertemuanmu, Vincenzo?” Aku mendorong diriku untuk berdiri dari pohon tempatku bersandar dari tadi.

“Sudah, apa yang kau pelajari?” Vincenzo dan aku berjalan berdampingan menyusuri jalan tanah keluar dari desa menuju selatan.

“Tak ada yang menarik, kecuali kalau kau tertarik dengan gandum.”

“Apa kau yakin? Tak ada yang terlihat menonjol?”

“Tak ada, hanya petani yang mondar-mandir.”

“Bagaimana dengan si tuan tanah?”

“Tak terlihat, hanya ada antek-antek pemungut pajaknya.”

“Baiklah.”

Sisa perjalanan ini kami lalui dengan diam. Seperti itu lah si tua Vincenzo, tak banyak bicara dan hanya bertanya soal hal-hal penting. Tugasku untuk menemaninya ke desa dan menunggu di luar sebenarnya untuk melihat-lihat keadaan desa, ada apa yang baru, dan apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang. Oh ya perkenalkan, kalau belum cukup jelas dari cara Vincenzo memanggilku, namaku Red. Red karena rambutku yang merah. Tentu saja itu bukan nama asli, tapi tak ada yang tahu nama yang diberikan oleh orang tuaku, aku sendiri pun tak tahu siapa orang tuaku. Yang kutahu sedari kecil aku sudah diasuh oleh orang-orang tua dalam gedung yang ada di depanku saat ini dan merekalah yang memberi nama Red padaku.

Aku dan Vincenzo sampai di sebuah komplek gedung-gedung yang tak terlalu besar, beberapa terbuat dari batu dan terletak lebih di tengah, gedung-gedung yang lebih kecil dan terbuat dari kayu mengitarinya, lalu ada tembok batu mengelilingi komplek di atas bukit pinggir pantai ini. Seorang wanita menunggu kami di gerbang, ekspresi wajahnya sama denganku saat tadi kebosanan melihat petani yang berlalu-lalang.

“Master Vincenzo.” Ia membungkuk yang dibalas anggukan oleh Vincenzo.

“/Master/ Viona.” Aku ikut membungkuk mengikuti Viona sambil tersenyum sarkastik ke arahnya.

EHq-St-Bn-U8-AAExb.jpg


“Apa sih?!” Viona menampar wajahku pelan.

“Hahahaha… ha…” Tawaku terhenti karena Vincenzo berhenti dan berbalik arah.

“Jangan berlama-lama lagi, para tetua sudah menunggu.” Vincenzo meninggalkan kami berdua.

Beberapa hari yang lalu aku dan Viona sudah diperingati oleh Vincenzo bahwa kami akan dipanggil oleh para tetua, sebuah dewan beranggotakan 10 lansia yang berasal dari pulau-pulau kecil di sekitar ‘sekolah’ ini. Ya, komplek gedung-gedung ini adalah sebuah sekolah, asrama, dan semacam markas besar dari Eye of Pervical, kumpulan orang-orang yang pekerjaannya membunuh demi uang. Kami pergi ke sebuah sungai kecil di balik bukit tempat sebuah kolam pembersihan kuno dibangun, salah satu syarat bagi seorang murid untuk bertemu para tetua adalah bersuci di kolam itu.

“Mandi duluan, Vi.” Aku mencoba berpaling dari kolam dan berencana untuk mandi bergantian.

“Langsung bareng aja, makin lama nanti.” Viona menarik tanganku, wajahnya kesalnya itu membuatku sedikit takut.

“I… iya deh.”

Aku memandangi Viona menanggalkan pakaiannya hingga telanjang bulat, dia atau murid yang lainnya pasti tak merasa aneh karena kami sudah diajarkan sedari kecil untuk mandi bersama, bayangkan lamanya orang-orang yang harus saling menunggu giliran mandi satu sama lain. Lagi pula kami diajarkan untuk tidak saling bernapsu antar sesama murid, jika ketahuan melakukan hubungan badan maka hukumannya adalah cambukan 50 kali, jika ketahuan hamil maka kedua orang yang melakukan hubungan itu akan dihukum mati. Ditambah Viona adalah sahabatku sejak kecil, aku tahu dia sudah terbiasa dengan ini, harusnya aku pun juga begitu, namun sejak kami sama-sama tumbuh dewasa aku perlahan-lahan mulai memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis secara seksual. Aku tak bisa menyalahkan naluri laki-laki, kan? Anyway, kini aku pun sudah telanjang dan ikut masuk ke dalam kolam bersama Viona, menurut tradisi, kami harus berada di kolam ini selama setidaknya setengah jam.

“Huuuft…” Air kolam yang sejuk dan jernih ini terasa segar setelah hampir setengah hari berdiri dan berkeringat sambil tak melakukan apa-apa. Aku duduk di pinggir kolam, berusaha tak menatap Viona yang duduk berseberangan dariku, semua bagian tubuhnya bisa terlihat dari luar jernihnya air kolam ini.

“Red, menurutmu para tetua mau apa dari kita?”

“Mau main tebak-tebakan?”

“Apa kita kena masalah?”

“Nggg… kayanya bukan itu, Vincenzo sendiri yang menghukum kita dan bukan para tetua.” Kubasuh wajahku dengan air. “Tak usah dipikirkan, sebentar lagi juga kita tau.”

“Ya sudah.” Viona mengusap-usap lengannya lalu mengangkat kaki dan mengusap pahanya bergantian.

“Vi, menurutmu kita bisa keluar dari hidup seperti ini?” Usahaku sia-sia untuk tidak menatap pemandangan indah tubuh Viona di hadapanku.

“Maksudmu?”

“Ya hidup di tempat terpencil dan diisolasi oleh orang-orang seperti ini.”

“Hmm… kita diberi makan, diberi tempat tinggal, belajar banyak hal. Menurutku jauh lebih baik dari kebanyakan orang di luar sana.”

“Tapi misal bisa hidup mewah, banyak uang, semua urusan hidup dikerjakan orang lain…”

“Udah ah, berkhayal terus gak baik.” Viona membentakku yang memang sedang berkhayal hidup mewah-mewahan, dengan makanan enak, pelayan yang banyak, dan uang untuk membeli semua yang aku butuhkan. Maklumi pemikiranku, semua murid-murid di sini adalah anak yatim piatu korban perang atau dipungut di jalan atau dalam kasus Viona, dijual oleh orang tuanya sendiri yang terlilit hutang. Ia tiba di sekolah ini waktu aku berumur 6, kami seumuran dan tidak perlu waktu lama hingga kami akrab. Kalau dipikir-pikir, Viona adalah satu-satunya sahabatku di sini.

Tak banyak lagi percakapan yang terjadi dan kami selesai berendam kira-kira sedikit lebih lama dari setengah jam. Setelah mengeringkan diri selama beberapa menit kami langsung memakai baju dan memasuki gedung paling tengah dan paling besar di komplek itu. Setelah melalui aula di depan dan naik ke lantai dua, kami memasuki sebuah lorong dengan kamar-kamar di sebelah kanan.

“Aaahh… aahh… ahh…”

“Aaaaahh! Aaaahh… aahhh…”

“Ooohh… aaaahh…”

Suara-suara yang teredam merembes keluar dari dalam kamar-kamar itu, aku dan Viona saling menatap dan menahan tawa. Kamar-kamar ini adalah ‘ruang kelas’ bagi para murid-murid wanita yang dinilai menarik dan dilatih untuk menggunakan seks sebagai cara menyelundup, mendapatkan informasi, dan membunuh target. Awalnya kukira Viona pun akan dilatih menjadi salah satu dari mereka, mengingat lekuk tubuhnya menggoda dan wajahnya yang cantik dibalik tatapan dinginnya itu, tapi ternyata bakatnya dalam mengendap-endap secara diam-diam, akrobat, dan keahliannya menggunakan belati lebih unggul daripada ketertarikan seksualnya. Kami tiba di depan sebuah ruangan, Vincenzo sudah menunggu di depan pintu ruangan itu.

“Bagus, para tetua sudah menunggu di dalam.” Vincenzo membukakan pintu bagi kami. Aku dan Viona masuk, di dalam ruangan terdapat tetua-tetua yang Vincenzo bicarakan, mereka memperhatikan setiap gerak-gerikku dan Viona.

“Selamat. Kalian berdua sudah menyelesaikan masa pelatihan. Semoga Pervical memberkati kalian.” Salah satu dari para tetua membuka pembicaraan.

“Selesainya masa latihan bukan berarti selesai pula tugas dan kewajiban kalian dalam melayani ibu kita. Kalian akan ditugaskan di Harwick.” Tetua satu lagi angkat bicara, jika dilihat-lihat mereka sudah cukup lama mendiskusikan hal ini. Aku dan Viona kembali saling menatap, sama-sama tak tahu apa yang harus dinyatakan pada para tetua.

“Kalian berangkat besok, silahkan kemasi apa yang harus dibawa. Termasuk kau juga, Vincenzo. Kau akan mengambil alih semua operasi agen-agen di Harwick.”

Kami bertiga meninggalkan ruangan itu dengan perasaan campur aduk, aku sendiri tak sabar melihat dunia luar, Viona mengatakan akan rindu dengan tempat ini, sementara Vincenzo seperti bernostalgia dan mulai bercerita tentang misi-misinya di Harwick semasa muda dulu. Aku tak punya ekspektasi apa pun, yang kutahu aku tak sabar melihat petualangan apa yang akan aku jalan nanti.

-TO BE CONTINUED-
 
mantap cerita baru
Weits mantap nih tentang kerajaan kerajaan
Ada cerita baru disini.
Menyimak cerita baru hu
Minggu sore.
Nitip sendal dulu hu :o
Oke dipantau
Bangun forward operation base dulu
Nitip absen dimari....
Set dunianya buaguss bakal jd cerita panjang smoga sukses
Tandai ini......
Pasang tenda dluu
sepertinya keren nih, pengetahuan baru
world buildingnya keren juga nih, nyimak hu
izin ngendon di sini
Wihhh konsepnya menarik nih, shikaaatt hu
makasih suhu-suhu semua yang mau mantengin, semoga suka yaa hehe

Woww.... Kayak game of thrones ya hu... Eh ceritanya jerry tetep dilanjutin kan hu... Wkwkwk...
tetep kok hu, ditunggu aja

Wah, keren nih, brad. izin bangun tenda ya :pandajahat:

btw, itu bikin petanya pake Azgaar kah?
iya pake azgaar untuk bikin coastline awalnya terus diedit-edit, semoga suka yaa suhu besar nih:o
waw mengingatkan saiya kepada Cloak of shadow, skill Rogue yang menihilkan Magic.
ini bakalan ada gelutnya kan?? saiya pasang sentry dulu ya.
dari episode pertama sudah cukup banyak gelutnya belum?

btw hayuklah gaskan wow private server wkwkkw

Anjaaay jadi inget dulu janjian sama temen main dnd tapi gak pernah kesampean:((
harus komitmen emang hu wkwkwk, sekali maen bisa berjam-jam dan harus janjian lagi buat ngelanjutin maennya
 
Baca chapter pertamanya jadi inget pas pertama nonton episode 1 game of thrones, bingung karena banyak karakter dan banyak settingnya :hammer:
 
Menarik hu biarpun saya masih rada rada susah catching up sama ceritanya, lanjutkan
 
Nah kan cerita baru nya udah tayang.
Semoga lancar, kak. Cerita yang ini, sama yang drama romansa satu lagi nya.

Belum ada yang bisa dikomen, sepertinya.
Btw dari keseluruhan Monreia, yang bakal jadi fokus ceritanya berarti harwick aja, ya?
 
Cloak & Dagger......

Baca judulnya gw kira Parody XXX dari Marvel Series....
 
Wuih mantep lah ceritanya
Suwun hu..... mantab

Lanjuuuuuttttt
makasih suhuu, pantengin yaa
Baca chapter pertamanya jadi inget pas pertama nonton episode 1 game of thrones, bingung karena banyak karakter dan banyak settingnya :hammer:
Menarik hu biarpun saya masih rada rada susah catching up sama ceritanya, lanjutkan
hehehe maklum hu harus dikenalin dulu semuanya
Wih asik nih ceritanya.. kompleks gt settingnya.. pasang tenda dl gan
Pasang tenda deh.. Asik nih cerita
wihh baru liat alias nenda duluu
Yang bangun tenda sama pasang tenda minggir .. Aye mau bangun diskotek :kangen:

Alias,

Konsepnya uwaw.. Izin mantengin om tees.. Pajek nya gampang lah :ngacir:
Bangun warkop dulu
rame nih udah ada tenda banyak, ada diskotek, ada warkop
Nah kan cerita baru nya udah tayang.
Semoga lancar, kak. Cerita yang ini, sama yang drama romansa satu lagi nya.

Belum ada yang bisa dikomen, sepertinya.
Btw dari keseluruhan Monreia, yang bakal jadi fokus ceritanya berarti harwick aja, ya?
petualangan Red dan Viona gak cuma di harwick doang kok, tapi iya harwick jadi fokusnya

gimana nih, tertarik?
Cloak & Dagger......

Baca judulnya gw kira Parody XXX dari Marvel Series....
hehe iya hu, cloak and dagger itu istilah umum
Plot utamanya bales dendam yah
ga juga hu, ini aja kan si red gak tau asal usul dia darimana, pantengin terus hu hehehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd