Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Monreia: King of Cloak and Dagger (Episode 3: Homecoming)

Bimabet
Advent

Galvica, ibukota Republik Castanaro —
Sudah sepekan berlalu sejak aku, Viona, dan Vincenzo pergi meninggalkan sekolah dan berangkat menuju Harwick. Kami tiba di Galvica tiga hari yang lalu dan harus menunggu jadwal keberangkatan kapal yang Vincenzo sewa. Para tetua membekali kami masing-masing dengan jubah, sekantong koin emas, dan sebilah belati panjang dan tipis; senjata yang sudah sangat familiar bagiku dan Viona yang berlatih menggunakan belati setiap saat.

Riuh kicauan burung camar di pagi hari membangunkanku dari tidur. Dengan setengah sadar aku melihat-lihat sekelilingku. Aku masih terbaring di kasur, telanjang dan diapit oleh dua orang wanita ‘penghibur’ yang kusewa tadi malam di penginapan ini. Mereka masih terlelap dalam tidur berbantal bahuku sementara kedua lenganku melingkari tubuh mereka. Angin pagi bulan oktober yang dingin berhembus masuk ke dalam kamar lantai tiga ini, meniup tirai jendela terbuka dan membuatku menggigil, reflek kudekap lebih erat kedua gadis ini sambil meremas bokong mereka, pagi hari yang dingin dan aku baru saja terbangun di antara dua pelacur telanjang yang menjadikanku guling, bisa ditebak penisku sudah setegang apa.

“Hmm? Sudah bangun?” Gadis yang di sebelah kiri terbangun, ia mendongak melihatku, ia lalu menepuk pipi gadis satunya agar ikut bangun.

“Sekali lagi buat pagi ini bisa kan?” Kutarik kepala kedua gadis itu untuk saling mendekat.

“Hihi… mmmhh… slrp slrp… chpp…” Mereka berciuman di depanku, lidah mereka saling beradu dengan liar.

“Mmmhh… sayangnya jam kerja kita sudah habis, tuan muda. Enam kali semalam masih kurang?” Mereka melepaskan lenganku lalu berdiri dan mulai memakai baju.

“Ayolah. Sekali saja, kutambah satu koin emas buat kalian.” Aku ikut beranjak dari kasur, kuraba payudara kedua gadis itu, mencoba merayu mereka.

“Hahaha, kembali nanti malam kalau kau benar-benar ingin tambah.”

Sebuah kecupan di pipiku menjadi salam perpisahan seraya mereka keluar dari kamar.

“Gimana rasanya ditolak pecun?” Aku terkejut, Viona tiba-tiba sudah duduk di jendela sambil memainkan belatinya. Ia melihatku sambil tertawa kecil. Viona pasti memanjat ke atap di gang sebelah penginapan ini lalu turun ke jendela kamarku.

“Vivi?!” Kututupi penisku yang masih tegang dan cepat-cepat mengenakan pakaianku.

“Itu kontol ikut kaget juga? Tegang banget hahahaha.” Viona mengejekku sambil tertawa, aku sadar sekarang mengapa ia tak dipilih untuk jadi Succubus atau agen yang mengandalkan seks. Sikapnya yang terlalu terus terang dan sarkastik ini tidak cocok di dalam skenario sebuah jamuan dan pesta bangsawan di mana para Succubus diharuskan untuk bisa menggunakan etiket dan tata krama dalam mencari mangsa.

“Berisik!” kutuntaskan memakai semua pakaian dan mengambil barang-barang. Belatiku dan sarungnya kuselipkan ke sabuk, kantong koin emasku yang kini sudah terasa ringan juga kuikat ke sabukku. “Masih pagi udah ganggu aja, ada apa sih?”

“Kata Master Vincenzo kita berangkat hari ini.” Jawab Viona yang kini sudah tidak memperhatikanku dan kembali memainkan belatinya. “Oh iya, dia juga bilang, kalo Red buang-buang uang buat ngentot lagi potong aja kontolnya.”

“Enak aja!” Kugenggam belatiku dan mengambil selangkah mundur.

“Hahahaha… serius banget sih, becanda.” Viona turun dari jendela ke dalam kamar lalu menyarungkan belatinya. “Tapi beneran deh, gak usah buang-buang uang, apalagi buat pecun.”

“Uang kalo gak dipake ya gak guna, Vi.” Kulepas genggamanku di gagang belati. “Lagipula kalo aku lagi pengen, siapa yang mau muasin? Kamu?”

“Hah?!” Viona menyilangkan lengannya di dada, wajahnya mendadak merah, sesaat ekspresinya malu lalu kemudian berubah marah. “Nggak lah! Itu tangan dipake, gampang.”

“Iya-iya becanda. Kita disuruh ngapain?”

“Beli makanan buat nanti di kapal, ayo.” Viona menarik tanganku dan kami keluar dari kamar lalu menuruni tangga.

Suasana inn pagi ini berbeda dengan semalam yang ramai dengan pemabuk yang bernyanyi ditemani pelacur-pelacur dan diiringi musik kecapi. Hanya ada si pemilik yang sibuk membersihkan sisa-sisa kekacauan tadi malam, tak peduli padaku dan Viona yang berjalan melaluinya.

Tangan Viona terasa kasar, kapalan di tangannya mengingatkanku pada latihan fisik yang sudah bertahun-tahun kami lalui bersama. Viona masih menggenggam tanganku erat sembari kami menyusuri jalan tepi pelabuhan kota Galvica yang sudah mulai sibuk. Kapal yang berlabuh datang dan pergi, beberapa sedang bongkar muatan sementara ada kapal-kapal yang masih menunggu giliran menepi dengan jangkar yang diturunkan. Kami sampai di sebuah jembatan besar dan menyeberangi sungai Borco yang mengalir membelah kota ini. Di ujung jembatan terlihat sebuah halaman luas, banyak kios-kios kayu kecil dengan atap kain tersusun membentuk pasar dan gang-gang kecil di dalamnya.

Aku bersandar di pagar jembatan sementara Viona menghampiri salah satu penjual dan mulai membeli bekal untuk di kapal. Beberapa menit berlalu dan Viona masih sibuk bercakap-cakap dengan si penjual paruh baya yang dikelilingi barang dagangannya itu.

Waktu senggangku menunggu Viona kuhabiskan untuk mengamati kegiatan orang-orang di sekitar pasar ini. Jalan utama di Galvica ini pada hari-hari biasa sudah sangat sibuk dengan lalu-lalang kafilah dagang dari kota-kota lain, namun beberapa pekan belakangan membuat kota ini lebih padat dengan kiriman hasil panen dari lahan pertanian di pedesaan luar kota.

Di ujung halaman terlihat seorang bentara yang sedang membacakan putusan-putusan terbaru pemerintah republik kepada rakyat yang lewat, beberapa orang bahkan berhenti untuk menyimak apa yang ia sampaikan. Setelahnya ia membacakan berita-berita terbaru seraya orang-orang makin berkerumun di depannya.

“Red!” Viona melambaikan tangannya di depan wajahku.

“Hah? Apa?”

“Ayo ke kapal.”

“Belanjaannya gimana?”

“Aman, nanti dianter.”

Viona kembali merampas tanganku dan menarikku menyusuri jalan yang sudah ramai.

“Vi, santai aja lah.”

“Berisik, ayo!” Viona dengan lincah menuntunku melewati kerumunan pejalan kaki, tak lama kami sudah sampai di area pelabuhan.

Dari kejauhan terlihat Vincenzo yang sedang berbincang-bincang di samping sebuah kapal yang sedang berlabuh di ujung dermaga kayu panjang, Viona langsung melepas tanganku dan kami berjalan menghampiri Vincenzo.

“Master.” Viona membungkuk di depan Vincenzo, aku membungkuk mengikutinya.

Vincenzo menoleh dan mengangguk pada kami, lalu kembali berbicara kepada orang di depannya yang ternyata adalah kapten kapal di sebelah kami ini, seorang pria paruh baya dengan rambut pirang sebahu dan janggut tebal yang terlihat jarang ia rawat.

“Kapten Siegfried. Ini kapalku, Brunhild.” Siegfried memperkenalkan dirinya padaku dan Viona, mendengar aksen dan gaya bicaranya saja orang ini jelas-jelas berasal dari Freigach.

Kami dipersilahkan untuk naik ke atas dek, Vincenzo dan Siegfried mengikuti di belakang sementara anak buah kapal masih sibuk mengangkat kotak-kotak dan barel kargo.

“Ikuti aku ke kabin kalian.” Siegfried membuka sebuah pintu kolong di lantai dek dan turun ke bawah. Aku, Viona, dan Vincenzo mengikutinya pelan-pelan sambil berusaha menyesuaikan mata dengan gelapnya bawah dek.

Terlihat sebuah ruangan luas dengan beberapa kursi dan meja untuk duduk-duduk, di ujung ruangan terdapat beberapa pintu kabin.

“Master Vincenzo, ruangan anda di sebelah sana.” Siegfried menunjuk ke sebuah pintu kabin, lalu ia menoleh ke ujung lain ruangan ini. “Kalian berdua, di kamar itu.”

Aku membuka pintu kamar dan masuk ke sebuah ruangan kecil, hanya ada dua hammock yang tergantung bersebarangan dan sebuah meja kecil dengan lilin yang sudah setengahnya meleleh.

“Dua minggu sempit-sempitan sama orang sange…” Mulut Viona menganga terkejut, aku juga masih tak percaya dengan kondisi tempatku harus tidur, namun mendengar berapa lama kita akan berada di kapal ini membuatku semakin terkejut.

“Dua minggu?!”

Viona hanya mengangguk sambil merebahkan diri di hammock, payudara dari balik kemeja hitamnya itu semakin terlihat, kancing kemejanya juga semakin susah menahan tonjolan yang menurutku tak seberapa dibanding punya pelacur sewaanku tadi malam, tapi tetap saja terlihat menggiurkan. Aku memandangi dadanya hingga melamun, tak sadar Viona memerhatikan tingkahku yang aneh.

“Heh! Baru juga disindir sange!” Viona menutupi dada dengan kedua lengannya.

Bentakan Viona menyadarkanku dari khayalan-khayalan mesum. Dengan lemas aku menghampiri hammock kosong di seberang Viona dan berbaring.

“Huft… dua minggu.” Aku bergumam, memandangi langit-langit kayu kabin ini dengan sinar dari atas yang menembus celah-celah kecilnya. Tenagaku terkuras karena membayangkan lamanya aku harus terombang-ambing di atas kapal ini.







Brunhild, kapal dagang kelas menengah, lautan lepas — Sudah sepekan lamanya aku berada di kapal ini. Empat hari pertama adalah masa-masa terberat karena aku mual tak henti-hentinya selagi tubuhku menyesuaikan diri. Kini kami semua sudah cukup terbiasa, aku tak lagi muntah sesering kemarin-kemarin. Penumpang kapal juga diberikan tugas masing-masing oleh sang kapten tapi tak seberat pekerjaan awak kapal. Aku dan Viona ditugaskan menaiki tiang utama setiap harinya dan mengawasi cakrawala karena nampaknya kami berdua adalah yang paling mahir memanjat. Vincenzo yang sudah renta itu dimaklumi dan tak diberi tugas bersama dengan dua penumpang lainnya, seorang saudagar Xingwen yang baru saja bangkrut lalu memilih untuk mengadu nasib ke Monreia ditemani putrinya yang masih muda dan cantik. Kami berkali-kali berpapasan di atas dek dan tiap kali ada kesempatan itu aku selalu melirik dan menggoda yang dibalas dengan senyuman malunya dan tatapan tajam ayahnya.

Hari ini berjalan seperti biasa, Kapten Siegfried berkeliling mengawasi awak kapal dan berbincang-bincang dengan para penumpang. Viona sudah bangun pagi-pagi buta dan langsung mengerjakan tugasnya, lalu aku menggantikan. Sore kemudian datang, tanda sebentar lagi aku akan terbebas dan bisa turun.

Aku duduk sambil bersandar di pucuk tiang utama kapal ini, matahari sudah sangat rendah dan aku bersiap untuk turun sambil melihat-lihat sekitar untuk yang terakhir kalinya. Hembusan angin kencang dari arah belakang kapal membuatku menggigil seraya aku berputar menghadapi arah angin. Di kejauhan terlihat sebuah tiang dan bendera, tanda keberadaan kapal yang tampaknya mendekat dari belakang dengan cepat.

“Kapal!” Teriakku sambil menunjuk.

Semua orang melihat ke arahku lalu ke arah aku menunjuk. Kapten Siegfried sontak berlari dari geladak utama ke buritan sekaligus anjungan kapal, ia mengeluarkan sebuah teropong yang langsung dipakainya. Beberapa detik berlalu, ia kemudian menutup teropong itu.

“Bendera merah hitam! Bajak Laut Rethers!”

Para awak kapal bergegas menghentikan pekerjaan mereka dan masing-masing mengambil sebilah pedang dan perisai sementara para penumpang disuruh masuk ke dalam kabin masing-masing. Aku masih terpaku di atas, tak tahu apa yang harus dilakukan. Kapten Siegfried mengambil alih kemudi dan memutar kapal mengikuti arah angin tapi tetap saja kapal perompak Rethers yang mengikuti kami jauh lebih cepat dan tak perlu waktu lama sebelum mereka bertambah dekat dan aku bisa melihat orang-orang di kapal seberang.

Sesaat kemudian puluhan anak panah datang melesat, para awak kapal dengan sigap melindungi diri mereka dengan perisai, termasuk Kapten Siegfried. Berkali-kali hujan anak panah menghantam Brunhild, beberapa ada yang tertancap di perisai dan badan kapal dan ada pula yang patah dan serpihannya berterbangan. Posisiku ini tidak dapat dijangkau tembakan busur itu, membuatku semakin mantap untuk tetap diam.

Kapal perompak Rethers itu semakin dekat dan kemudian menabrak dan mengguncang kapal kami, aku berpegangan erat pada tiang kapal berusaha untuk tak terjatuh. Kait-kait besi kini berterbangan lalu tersangkut di berbagai bagian kapal. Anak panah berganti lembing-lembing yang dilempar dan menembus perisai awak kapal yang tidak terlalu tebal, beberapa bahkan menusuk lengan mereka di balik perisai. Lemparan-lemparan lembing yang kedua yang lebih mematikan, kuhitung dari atas sini ada setidaknya tujuh orang yang tertusuk dan langsung jatuh terkapar. Kedua kapal ini sekarang sudah tak berjarak dan hanya beberapa detik berlalu kemudian perompak-perompak itu menerjang awak kapal.

“Tahan!” Kapten Siegfried menembak seorang perompak dengan crossbow yang kemudian langsung ia buang.

“Kau, cepat turun dan bantu!” Kapten Siegfried sekilas menunjukku dengan pedangnya sebelum menghalau beberapa perompak sekaligus.

Awak kapal yang masih syok dari hujanan anak panah dan lembing tampak kewalahan menghadapi kawanan perompak yang lebih banyak. Dengan terburu-buru kuturuni tiang kapal, belatiku sudah kugenggam di tanganku. Kekacauan di bawah sana benar-benar membuatku berpikir dua kali untuk turun tapi kuberanikan diriku. Aku melompat ke bawah dan mendarat tepat di atas seorang perompak yang sedang bertarung dan tak sadar akan kedatanganku, belatiku tertancap di lehernya dan ia langsung tak berkutik.

Situasi semakin tak terkendali, teriakan dan suara besi beradu memenuhi Brunhild. Kulihat sekelilingku, orang-orang tak memperdulikan apa yang baru saja terjadi dan sibuk dengan lawan masing-masing. Kucabut belatiku dari leher mayat perompak yang kutindih ini dan berdiri, dengan cepat kumainkan belatiku dan menghabisi perompak-perompak di dekatku, mereka semua jatuh terkapar tanpa sempat merespon seranganku.

Tiba-tiba tubuhku diterjang hingga terjatuh masuk ke kabin bawah dek bersamaan dengan orang yang menabrakku itu, ia kini menduduki tubuhku.

“HAHAHA!” Tawanya dengan mulut terbuka lebar dan pedang yang diacungkan padaku.

Reflek aku menusuk mulutnya, langsung kutarik belatiku keluar. Perompak itu menjatuhkan pedangnya dan memegangi lehernya yang mulai dipenuhi darahnya sendiri. Kudorong ia ke samping dan langsung berdiri.

Kabin di bawah dek kapal ternyata sudah dimasuki oleh sepasang perompak yang sekarang sedang mencoba membuka pintu kamar si saudagar. Mereka sepertinya tak sadar bahwa aku baru saja membunuh teman mereka. Kulangkahkan kakiku secara perlahan dan berhati-hati mendekati kedua perompak itu. Belum sempat aku menjangkau bajingan-bajingan itu, mereka telah berhasil mendobrak masuk.

“KYAAA!” Teriakan perempuan terdengar dari dalam bersamaan dengan derap langkah perompak-perompak itu yang menyerbu masuk.

Akhirnya kuputuskan untuk berlari menyusul mereka. Si saudagar sudah berlumuran darah dan tak bernyawa di lantai kamar, anaknya terpojok di sudut sambil menangis. Kedua perompak itu terkejut dan menoleh ke arahku, sebelum mereka bisa bereaksi, belatiku sudah menyayat leher keduanya dalam sekali tebasan. Mereka tumbang menindih mayat si saudagar, menyisakan aku dan anaknya di kamar sempit ini.

Langkah kaki kembali terdengar menuruni tangga, kulihat ada beberapa perompak yang sedang mencari-cari barang yang bisa dirampas. Pintu kamar kututup rapat dan menghampiri gadis yang ketakutan di pojok kamar itu. Kuisyaratkan padanya untuk tak bersuara dengan menempelkan telunjuk di bibirnya namun isak tangisnya tak bisa ditahan. Aku duduk di sebelahnya lalu kudekap ia dalam pelukanku, wajahnya kubenamkan ke dadaku untuk meredam tangisnya.

“Tenanglah, semua akan baik-baik saja.” Bisikku di telinganya sambil tetap memperhatikan pintu kamar.

Tubuhnya yang gemetaran perlahan menjadi tenang seraya kuusap punggungnya pelan.

“Hiks… kak…” Ia membalas pelukanku dan menengok ke atas memandang wajahku.

“Ssst… diem.” Kuelus kepalanya, mataku tak berpaling dari pintu.

Kumatikan lilin di meja, satu-satunya penerangan di kamar ini dan berharap para perompak itu tidak menghampiri kami.

Setengah jam berlalu hingga pelukanku membuat gadis ini tertidur. Hanya ada suara napasnya yang pelan di dalam kamar gelap ini. Dada kami saling menempel, membuatku bisa merasakan getaran detak jantungnya dan lembut payudara gadis muda ini. Sejak tadi posisi kami pelan-pelan berubah dari duduk bersandar di dinding kayu hingga berbaring di tempat tidur kamarnya. Jika saja situasinya tidak seperti ini sudah kuturuti napsu birahiku yang bergejolak.

“Red! Red! Reeed!” Dari balik pintu kudengar suara Viona memanggil namaku. Kulepas pelukan ini dan membuka pintu. Sontak Viona langsung menoleh ke arah suara pintu terbuka.

“Red!” Viona berlari dan memelukku erat, sesaat kemudian ia melepas pelukan itu dan memegangi bahuku.

“Darimana sih? Kirain kamu mati tau!”

“A… tadi… bantuin ini…” Kutunjuk ke dalam kamar di belakangku, cahaya dari luar kini bisa memperlihatkan tumpukan tiga mayat di tengah kamar dan anak si saudagar yang masih tertidur lelap. “Kamu… khawatir?”

Plak! Tamparan Viona telak mendarat di pipi kiriku.

“Enak aja! Bukan gitu! Kalo kamu mati nanti Master Vincenzo mau bilang apa ke para tetua?!” Bentak Viona tepat di depan wajahku. Aku memandanginya kebingungan, sekilas wajahnya memerah sama seperti di kamar hotel di Galvica pagi itu.

Viona melangkah melewatiku dan melihat keadaan kamar lebih jelas.

“Dia… kamu apain?”

“Cuma kutenangin aja, itu… ayahnya terbunuh.”

“Terus yang dua lagi?”

“Itu yang bunuh ayahnya.”

Viona memicingkan matanya padaku. Aku mendengus lalu memperlihatkan belatiku, bilahnya ternodai darah yang sudah mengering, darah para perompak yang kubunuh tadi.

“Oh iya. Kita menang?” Aku menaiki tangga dan menuju ke dek kapal, Viona membuntutiku.

Terlihat awak kapal yang tersisa sedang sibuk melucuti barang-barang berharga dari mayat-mayat yang bertebaran. Mayat-mayat perompak langsung dibuang ke laut, sementara mayat-mayat awak kapal mereka doakan terlebih dahulu.

“Anak muda!” Kapten Siegfried berjalan pincang menghampiri kami berdua. Terlihat jelas ada perban yang melilit paha kirinya. “Kalian semua aman?”

“Ee… iya, pak… eh… kapten.” Jawabku ragu. “Tapi si saudagar Xingwen tak selamat.”

“Sial.” Wajah Kapten Siegfried berubah kesal. “Anaknya?”

“Anaknya selamat, sekarang sedang tidur.”

“Ya sudah, nanti kusuruh beberapa orang untuk memungut tubuh ayahnya.” Kapten Siegfried kemudian berjalan meninggalkan kami, masih pincang.

Pertarungan tadi ternyata kami menangkan. Kapal perompak itu kabur setelah sekian lama tak bisa menemukan barang berharga yang memang disembunyikan oleh awak kapal. Mereka pergi meninggalkan kami dengan hanya mengambil nyawa beberapa awak kapal dan tentunya si saudagar.

Matahari sebentar lagi benar-benar terbenam. Kami kini berkumpul di dek untuk mendoakan mayat-mayat terakhir yang akan dibuang ke laut, salah satunya adalah mayat si saudagar. Anaknya berdiri di sampingku, ia tampak kesulitan memandangi jenazah ayahnya, tangisnya tak terbendung lagi. Kurangkul pundaknya yang langsung ia balas dengan memelukku.

“Kak… temani aku tidur malam ini.” Bisiknya padaku.

Kujawab dengan mengangguk pelan, tak mau mengganggu keheningan orang-orang yang sedang berkabung. Dari seberang barisan mayat terlihat Viona yang melirikku lalu ke gadis yang kupeluk ini dengan wajah jengkel.



Malam tiba, tugas para awak kapal masih berlanjut sementara para penumpang sudah bersiap untuk tidur di kamar masing-masing. Sesuai permintaan, kini aku sedang berada di kamar si anak saudagar yang namanya pun belum kuketahui hingga kini. Ia hanya duduk memeluk lututnya sambil menatap lantai merenung.

“Kamu… kenapa?” Tanyaku dengan suara pelan, aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya di atas tempat tidur. “Kenapa aku harus tidur di sini?”

“Setelah kejadian tadi cuma kakak yang aku percaya.” Matanya masih terpaku pada lantai. “Aku masih ingat waktu orang-orang itu mendobrak pintu kamar… masih ingat waktu perut ayah ditusuk berulang kali… masih ingat tawa mereka yang… yang…” Ia kembali menangis dan langsung memelukku erat.

“Sudah-sudah.” Kubalas pelukannya dan mencoba menenangkannya walaupun aku tahu tak ada yang bisa membuat seseorang melupakan kejadian semenyakitkan itu.

Kecuali…

“Hei…” Kutarik wajahnya mendekat ke wajahku. “Aku tau kamu pasti sangat sedih tapi tak ada yang bisa dilakukan untuk membuat ayahmu kembali. Yang terbaik sekarang adalah untuk tetap menjalani hidup, buat ayahmu di atas sana bangga.”

Ia mengangguk dan mengusap air matanya.

“Aku punya sesuatu yang bisa buat kamu lupa, meski hanya sesaat.”

“Apa itu?”

“Tutup matamu.”

Ia memejamkan matanya lalu dengan lembut kucium bibirnya yang tebal itu. Balasan darinya masih terasa kaku namun ia belajar di tiap lumatan bibir yang saling kami tukar.

“Mmmh…” Suara desahnya tertahan ciuman kami, tanda bagiku kalau ia menikmati ini.

Ciuman kami berlangsung lama hingga akhirnya kuputuskan untuk menurunkan tali gaun tidurnya, membuat tubuhnya tak tertutupi apa pun. Langsung kulahap putingnya yang sudah menegang itu.

“Ahh… kak… nggghh…”

Lidahku menjilati ujung putingnya sambil kuisap. Perlakuanku tetap lembut namun ia malah tak bisa diam, kepalaku dipeluknya erat sementara pahanya menutup menahan geli di vaginanya yang sudah basah ketika jariku meraba-raba di bawah sana.

“Uhhh… geli… geli banget… aduuuhhh…”

“Aihhh… terussh… aaaangggghhh…”

Kuisap putingnya bergantian sementara jari tanganku memainkan klitorisnya. Tak lama tubuhnya menegang, pelukannya semakin erat. Rangsangan yang kuberikan ini tak biasa ia dapatkan. Napsuku semakin tinggi, seorang gadis polos nan lugu tengah menikmati orgasme pertamanya sambil memelukku.

Kuhentikan jari dan lidahku agar kami berdua bisa mengambil napas, untuk sementara waktu kami berdua berbaring sambil saling menatap. Tubuhnya yang telanjang bulat kini sudah bermandikan peluh.

“Gimana?” Tanyaku padanya.

“Iya… hah… enak banget… hah hah… jadi lupa…” Jawabnya sambil mengusap keringat di perut dan payudaranya.

“Mau lagi?”

“Kaya tadi lagi?”

Aku menggelengkan kepalaku. “Lebih enak.”

Kubuka celanaku lalu dengan sekali gerakan langsung berguling dan berada di atas gadis manis idamanku ini. Penisku sudah berdiri setegang-tegangnya sejak tadi saat kutahu jari-jariku sedang memainkan bibir vagina perawan miliknya. Kembali kumainkan vaginanya itu, kini dengan gesekan penisku.

“Ahhh… lebih… ohh… enak?” Tanyanya sambil melihat penisku dengan penuh rasa penasaran, pinggulnya mengikuti arah gesekan penisku.

“Iya, berkali-kali lipat.” Kumasukkan kepala penisku ke dalam, meraba-raba letak selaput dara miliknya.

“Aaak… hngggghh…” Pergelangan tanganku dicengkeram, kuhentikan gerakanku tepat ketika penisku menyentuh sebuah dinding pemisah di dalam sana.

“Tahan ya.” Kuciumi wajahnya, bibirnya mencari-cari bibirku yang kemudian saling bertemu, ciuman kami kali ini penuh napsu, lidahku dan lidahnya saling melilit. Tanganku tak diam saja, kumainkan putingnya dengan satu tangan dan klitorisnya dengan tangan yang lain, berusaha menggiring perhatiannya dari penisku yang menerobos masuk mengambil keperawanannya itu.

“Mmmhh… chlpp… iyahh… uhhh…”

“Kak… uhhh… ssshhhh… itu itu… iyahh…”

Racaunya semakin tak jelas ketika kocokan jariku di klitorisnya kupercepat, ciuman kami masih terus berlanjut sementara penisku pelan tapi pasti kupaksa masuk membelah dinding vagina sempit ini.

“Ahhhh… ahh… ahhhh… kak…” Ciuman kami terhenti, ia menatapku dengan mata melotot dan mulut menganga, kedua pundakku diremasnya keras. Ia baru merasakan vaginanya jebol saat penisku sudah masuk semuanya, memenuhi vagina merah mudanya yang kecil dan sempit.

“Mmmh… i… nggh… iya?” Gerakan sekecil apa pun sama-sama membuat kami merasakan rangsangan yang dahsyat. Penis besarku benar-benar bisa merasakan setiap inci dinding vaginanya, kuyakin ia pun bisa merasakan penisku.

“Pelan… sssshh… pelan…” Pintanya itu hanya kujawab dengan anggukan yang langsung diikuti dengan gerakan pinggulku maju mundur dengan pelan.

“Hahh… pelan… ngghh… kak! Pelaaan… ngggghhhh…” Kuhentikan gerakanku. Orgasmenya yang kedua datang tak lama setelah aku mulai menggerakkan pinggulku walau sama sekali tak cepat. Vaginanya mengisap dan membasahi penisku dengan cairan hangat.

“Gimana? Hmm?” Bisikku di telinganya yang kemudian kujilati, membuat sekujur tubuhnya merinding.

“Hahhh… hah hah hah… Uhhh… iyah… enak…”

Jilatanku turun ke lehernya lalu ke payudara dan putingnya. Pinggulku kembali bergerak maju mundur.

“Ahhh… ahh… ahhh…” Desahnya di tiap hujaman penisku.

“Ahhh… ahhh… ahhh ahhh ahhh… mmhh ahhhh ahhh kak! Ohhh…”

Pelan-pelan kupercepat gerakanku hingga ia kewalahan menghadapi nikmatnya rangsangan penisku dan kesusahan mengatur napasnya mengikuti gerakanku yang semakin cepat. Ciumanku naik lagi ke leher lalu ke telinganya.

“Mmmhh sial… kamu enak banget…” Bisikku tepat di telinganya. “Ohhh… aku mau keluar!”

“Iyah… ahh… kak aku juga… ngggh…”

“Aku… mmmhh… belum tau namamu… ngghh… siapa namamu?”

“Ahhh ahh ahh… Je… Jesslyn… ahhh… kak!”

“Ohhh… ahh… Jesslyn!”

Kugenggam pinggangnya dengan kedua tangan. Orgasme ketiganya dan ejakulasiku datang bersamaan ketika penisku tercabut. Kutuntun tangannya yang lembut itu untuk memegang dan mengocok penisku, menyemburkan seminggu lebih spermaku yang tersimpan.

98279732-961301710956123-131334424122247433-n.jpg


Penisku melemas setelah semburan terakhir spermaku yang kini melumuri tubuh Jesslyn mulai dari perut lalu naik hingga payudara, leher, hingga wajahnya. Aku kemudian tumbang dan terbaring di sampingnya, kami sama-sama ngos-ngosan dan bengong, masih merasakan nikmatnya memuaskan napsu birahi. Perjalanan kami di Brunhild masih seminggu lagi, namun kuyakin seminggu ini akan terasa cepat bila tiap hari kuhabiskan bersama Jesslyn.

Apa setelahnya? Apa yang akan terjadi setelah kami sampai di Harwick? Sejujurnya aku tak berpikir sejauh itu. Yang kutahu saat ini aku ditemani seorang gadis cantik setiap harinya, seorang gadis cantik yang sudah kukunci hatinya hanya untukku.
 
Judulnya kek salah satu skill di dota yak
user riki nih wkwkwk salah satu skill ngeselin kalo lawan spellcaster
Judulnya keknya plesetan song of ice and fire bukan hu...
mirip ada of sama and doang hu tapi inspirasinya bukan dari sono
Lanjut lagi ga nih hu? Ini karakter utamanya siapa ya jadinya?
tentu saja Red dan Viona dong hu hehe
Wah cerita baru nih , anjayyy ini yang kusuka
semoga suka ya suhuuu
 
Efek baca tengah malem jadi masih kurang mudeng sama nama-nama kerjaannya wkwk

Tapi mantep dah Jessyln wkwkk:mantap:
 
Waduh, tangan viona kasar, bikin jadi awkward pasti ntar pas "main" wkwkw

Kok saya jadi kebayangnya Assassin's Creed ya, apalagi pas lompat dari tiang terus langsung stealth kill, hmm.
 
Wadu cece jesslyn

Waahh jejes hehe

Ciciiiiiiiiiiiiiiii

Wah cici jesslyn. Ditunggu lanjutannya hu

hehe cijejes hehe, awalnya semangat makin semangat lagi setelah kemarin dikasih live sr cosplay maid

Suwun hu.... mantab

Lanjuuuuttttt
suwun suhuu, pantengin terus ya
Pasang pato duls

ijin nandaiin suhu
silahkan hu
can't wait for next chapter~
ditunggu ya suhu
Efek baca tengah malem jadi masih kurang mudeng sama nama-nama kerjaannya wkwk

Tapi mantep dah Jessyln wkwkk:mantap:
nah ini aku jadi bertanya-tanya juga, worldbuildingnya terlalu kompleks kah? minta pendapatnya dong suhu-suhu semua
Waduh, tangan viona kasar, bikin jadi awkward pasti ntar pas "main" wkwkw

Kok saya jadi kebayangnya Assassin's Creed ya, apalagi pas lompat dari tiang terus langsung stealth kill, hmm.
main? vionanya aja masih denial tsundere-tsundere gitu wkwkwk

kayanya efek saya main black flag + sea of thieves sambil ngerjain update ini, combatnya juga malah jadi ngikut hehe
 
menurut saya udah oke nih hu :beer:

ga terlalu rumit atau njelimet
 
wadidaw, update SS pertama langsung nona Jesslyn.
luar biasa.
belakangan nona Jesslyn memang terlihat menggoda, ya, Kak?
ehehe'

kalo buat aku sendiri, ceritanya gampang dimengerti, cuma yang bikin bingung tuh terlalu banyak nama yang harus kuhafal.
ehehe'

mungkin memang ngejarnya detail sih, ya. makanya kalo soal detail mah kak gnomegnome juara lah.

lanjutkan kak. bawa member-member yang masih jarang keekspos. Komaril misalnya.
ehehe'

cheers


(Btw, kalo red rambutnya dibotakin, apa namanya tetep red?)
 
nah ini aku jadi bertanya-tanya juga, worldbuildingnya terlalu kompleks kah? minta pendapatnya dong suhu-suhu semua
Hahaha engga suhuu.. kemaren emang mata nyisa beberapa watt aja

Worldbuildingnya keren kok detailnya :mantap:
 
main? vionanya aja masih denial tsundere-tsundere gitu wkwkwk

kayanya efek saya main black flag + sea of thieves sambil ngerjain update ini, combatnya juga malah jadi ngikut hehe
Cepat atau lambat pasti main sama viona, yakali ngga wkwk

Saya juga masih main black flag sampe sekarang, cuma buat liat double kill animation atau triple kill pake pistolnya, keren soalnya hehe
 
Cepat atau lambat pasti main sama viona, yakali ngga wkwk
di ceritanya yang satu lagi itu ngetease main sama jinan sampe 20 chapter hu... tapi ga main main juga sampe sekarang... wkwkwk...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd