Suara sendok dan garpu saling beradu, gelak tawa mengiringi obrolan yang ada, sisanya sibuk dengan gawainya masing-masing. Begitulah suasana meja kami saat itu. Suasana menyenangkan selalu terjadi jika kami bersama. Namun aku sendiri tidak terlalu menikmati karena kegundahanku tiap mengingat esok sore aku akan terbang ke Boston. Bahkan Lidya di depanku pun lebih banyak melamun dan menunduk. Sungguh kontra dengan keriaan meja makan ini. Makanan lezat yang tersaji pun terasa tidak berselera.
“Ting! Ting!” suara sendok dipukulkan pelan oleh seseorang. “Perhatian semuanya!” seorang gadis manis berperawakan mungil dan berkulit putih bersih mengheningkan suasana meja seketika. “Gimana? Makanannya enak” kata gadis itu. “Enaaak, teh!” seru para member dan beberapa staff yang ada. Ya, gadis yang sering disapa teteh itu adalah Melody Nurramdhani Laksani. Ia sengaja menyusul dari lokasi shooting sebuah talkshow di salah satu stasiun TV dengan jargon “masa kini” untuk bergabung. “Nah, kayaknya cocok nih kalo kita dengar langsung kesan-kesan dari 2 orang yang kita istimewakan di meja makan ini. Dari yang ulang tahun dulu deh, silahkan Lidya cantik” ucap Melody lembut. Lidya yang sedari tadi sibuk dengan lamunannya pun terhenyak “Ah... Iya teh... Duh... apa ya...” Lidya tergagap seketika. Memang kebiasaan. Selalu panik jika ada sesuatu yang mendadak dan tidak sesuai perkiraannya.
“Uhhhmmm... Pertama terima kasih buat jamuan makannya. Nggak nyangka juga bakal dirayain seperti ini. Really means a lot for me. Dan semoga kekeluargaan ini akan selalu ada sampai kita punya anak dan cucu. Karena buat aku, kalian semua udah jadi bagian hidup aku. Amin” ungkap Lidya singkat
“Loh, buat Mas Leon mana?” sambar Melody dengan ekspresi yang mengandung banyak interpretasi.
“Ah... itu... uhm... Ya pokoknya sukses buat studynya dan terima kasih buat kerja samanya selama ini” ucap Lidya dengan paras yang merah padam. Entah menahan amarah atau memang malu.
“Hahaha... oke sekarang giliran Leon” ucapan Melody mau tidak mau membuatku bangkit dari dudukku.
“Ehemmm...” aku berdehem untuk mengusir gugupku. “Ya, terima kasih juga untuk makan-makan yang menyenangkan ini. Nggak nyangka juga bakal ada acara dadakan seperti ini” sambungku sambil sedikit melirik ke arah Lidya yang sedang tertunduk.
“5 tahun adalah waktu yang tidak singkat, bekerja bersama kalian adalah suatu kehormatan. Bertemu keluarga yang sangat enerjik dan menyenangkan. Dan tentu saja aku menemukan cinta...” Sengaja ku tekan kata cinta itu sambil melihat Lidya yang masih saja dingin melebihi gunung es. “... Ya, berkat kalian semua, saya jadi bisa berkeliling ke beberapa kota yang belum pernah saya datangi. Dan selain itu, yang paling penting adalah saya bisa mendapat beasiswa ke Amerika” sambungku lagi.
“Meski berat, namun akan saya jalani dengan senang hati dan ikhlas. Dan buat Lidya...” Seketika Lidya memicingkan matanya padaku. Mata kami saling bertemu. Sebuah tatapan yang aku rindukan “Selamat ulang tahun, semoga kedepannya kamu sukses, makin dewasa dan dapat menemukan orang yang tepat setelah lulus nanti” entah kenapa kata-kata itu keluar dari mulutku, sepertinya aku memang harus merelakannya. Lidya pun membuang pandangannya ke arah berlawanan denganku.
“Nah, sekarang kita lakukan penghormatan sekali lagi buat Leon” perintah Melody.
“Terima kasih atas kerja sama-nya, Kak Leon!” kompak semua member tanpa terkecuali Lidya yang tanpa ekspresi. Beberapa saat kemudian semua member nampak menyibukkan diri masing-masing, entah menunggu jemputan atau memang masih ingin berlama-lama di meja ini. Dan ini saat yang tepat aku untuk menyelesaikan permasalahanku.
“Lidya, I really need to talk with you” ketikku pada kolom chatnya. Tidak ada respon.
“Aku mohon, untuk terakhir kalinya” kembali aku mengirimkan pesan padanya. Cukup lama aku menanti dan akhirnya...
“Okay, make it quick” balasnya sangat dingin.
“Ketemu di P3, di tempat biasa” ku kirimkan pesan pada Lidya dan segera aku berpamitan dengan semua orang di situ “Hati-hati ya, cepat lulus ya!” ujar Melody yang ku balas dengan acungan jempol dan senyum.
-o00o-
Aku memutar-mutar ponselku untuk menutupi kegugupanku, aku bersandar di salah satu tiang beton parkir P3 mall kebanggaan kami, memikirkan kata-kata yang tepat, membayangkan segala kemungkinan yang terjadi setelah ini.
“Hufft... Mau ngomong apa? Cepetan!” suara sinis nan angkuh Lidya mengejutkanku. Makin gugup aku jadinya.
“Lid...” aku memberanikan memegang tangannya namun ia tepis. Demi apapun, aku jadi takut akan sikapnya ini.
“Apa sih? Katanya mau ngomong” sergah Lidya dan memalingkan mukanya
“Okay, maaf... aku cuma ingin memperbaiki hubungan kita sebelum aku berangkat” aku membuka obrolan. Ia masih tetap angkuh memandang ke arah lain.
“Hubungan apa? Kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi sejak kamu bohongi aku” seru Lidya yang membuatku semakin tidak karuan. Semua yang aku rencanakan tadi seakan menguap begitu saja.
“Lid, please... jangan begitu. Baiklah, kalau memang kita tidak ada hubungan apa-apa, kita masih bisa berteman. Aku mohon, setidaknya aku bisa menjalani 3 tahunku di sana tanpa rasa bersalah” Lidya masih angkuh. Rasanya ia telah membangun pagar tembok yang tebal dan sulit untuk ditembus.
“Tapi... aku nggak bisa berteman saja dengan kamu...” lirih Lidya. Nggak bisa berteman? “Aku sebenernya masih...” ia menggantung kata-katanya “Aku... nggak... ah udah pergi sana!” bentak Lidya mendorong tubuhku dan berbalik meninggalkanku. Aku yang tidak tinggal diam menarik lengannya dan memeluknya. Ia terkejut.
Aku makin erat memeluknya.
“Aku masih sayang kamu. Dan aku tahu perasaan kamu juga sama denganku. Aku minta maaf belum bisa jadi yang terbaik buat kamu. Tapi aku mohon... beri kesempatan aku sekali lagi. Kesempatan untuk memperbaiki semua. Aku janji, 3 tahun lagi aku akan kembali lagi buat kamu” ujarku panjang lebar memohon pada Lidya.
Nafas Lidya terdengar berat di telingaku, tubuhnya sedikit berguncang... dan ada setitik air jatuh di pundakku. Lidya meremas kaosku “Tapi aku nggak bisa... aku nggak bisa...!” derai tangis Lidya semakin keras. Ia memukul-mukul dadaku. Tak terasa sakit di badanku, tapi tidak perasaanku.
“Maaf...” ujarku lirih “Maaf jika caraku untuk membahagiakan kamu salah” sambungku lemah. “Jika memang itu sudah keputusan kamu...” aku kendurkan pelukanku “aku akan terima itu. Sekali lagi aku minta maaf” selanjutnya aku berbalik dan berjalan meninggalkan Lidya.
“PERGI SANA! AKU NGGAK BUTUH KAMU! AKU HARAP NGGAK KENAL KAMU DARI AWAL!”
Teriakan Lidya menggema. Memantulkan emosi yang Lidya tahan ke seluruh penjuru basement. Entah aku tidak tahu apakah ada yang mendengar atau tidak. Ku hentikan langkahku. Aku tidak ingin melihat Lidya di belakangku. Hanya membuatku semakin sakit. Dan tentunya makin membuat Lidya terluka. Aku menghela nafas dan kembali meneruskan langkahku. Terdengar derap langkah kaki yang cepat menjauhiku, aku menoleh ke arah suara tersebut dan mendapati Lidya tengah berlari sembari menyeka air mata. Berlari meninggalkan semua kisah kita yang terlarang ini.
Rasanya langit malam ini sangat kelam.
-o00o-
Tinggal menghitung jam saja menuju keberangkatanku ke Amerika. Semua pakaian dan keperluanku di sana sudah ku paketkan jauh-jauh hari pada temanku di Boston. Cukup menguras rekeningku namun tak apa. Aku tidak terlalu suka jike bepergian dengan menenteng banyak barang. Rumahku? Aku menitipkannya pada tetangga sebelahku yang sangat ku kenal baik. Ia dengan sukarela merawat rumahku selama aku di Amerika. Jarang sekali aku menemukan orang yang dengan sukarela memberikan pertolongan tanpa pamrih di ibu kota. Sementara mobil dan motorku ku titipkan pada Kang Angga. Dan kini aku sudah di dalam mobilku yang dikendarai olehnya.
“Woi! Ngelamun aja, kesambet setan jalan tol nyaho siah!” Seru Kang Angga mengagetkanku. “Hih! Amit-amit” panikku sambil mengetuk-ngetuk dashboard. “Jadi gimana? Selesai masalah?” tanya Kang Angga ingin tahu. “Kayaknya gue harus kuat lepasin dia, kang” jawabku. “Hmmm... jadi riweuh gini. Ya udah lur, ikhlasin aja. Masih banyak bule-bule sana yang khilaf sama maneh ahahaha” candanya menghiburku.
“Tapi gue masih berharap akan ada keajaiban, kang. Cuma Lidya yang bisa mewarnai kegelapan langit malam gue”
“Amiiiin. Nggak ada yang nggak mungkin kalo semesta sudah meridhoi”
Kini mobil melaju dengan tenang. Kepadatan arus tak terlalu membuat kami harus tergesa-gesa untuk sampai di bandara. Dan musik keras pun berdentum kencang mengiringi perjalanan kami
I'm losing grip, I'm out of touch
Too late to say I've had enough
It's like every breath could be my last
My demons won't stay in the past
Ku resapi lirik demi lirik Wage War – Gravity ini. Terlambat sudah aku menyesali semua ini.
All alone
On my own
Semua konsekuensi ini harus ku hadapi. Sendirian. Tanpa siapa pun bisa membantu. Kecuali dia.
Pull me close I feel the water reach around my neck
Don't let go just show me that there's better days ahead
Make me see I'm only half the person I should be
Pull me close set me free from this gravity
Aku merasa telah tenggelam dalam penyesalan. Aku hanya berharap padanya yang bisa menolongku. Menunjukkan bahwa akan ada hari esok yang lebih baik. Aku hanya ingin bersama dia dan terbebas dari segala gravitasi yang ada.
I can't move forward and keep looking back
Hindsight has left me where I'm at
I tried to run but I couldn't see
That you were right beside me
Bergerak maju pun aku tidak mampu. Terlalu banyak jejak yang kutinggalkan bersamanya. Mencoba lari namun tidak ada tujuan untuk berhenti. Dan sampai kapan pun, bayang Lidya akan selalu ada disampingku. Meski tidak bisa aku melihatnya kembali.
There is a light in the tunnel but it's distant
On my own I don't think that I can fix this
Set me free from this gravity
Namun seyakin-yakinnya aku akan ada harapan yang ada, namun itu terlalu jauh untuk aku raih. Namun selamanya aku tidak akan bisa memperbaikinya.
“Nah udah sampai, yang sabar ya, ini ujian” hibur Kang Angga. Aku hanya mengangguk lemah.
“Kayaknya sih beberapa jam lagi bakal ada keajaiban yang kamu tunggu, bro” sambung Kang Angga yang membuat dahiku mengerenyit.
“Maksudnya, kang?”
“Lihat aja nanti, okelah. Selamat belajar. Jangan lupa balik ya, kalo nggak ini mobil gue jual haha”
“Siap kang! Santai aja, akan ada alasan untuk gue pulang”
Perlahan Kang Angga melaju meninggalkan drop off bandara. Dan masih 3-4 jam untuk boarding. Aku putuskan untuk mencari kopi sembari menunggu waktu boarding.
Setelah aku membayar pesanan kopiku, aku segera memasuki lobby bandara. Segala pemeriksaan keamanan security bandara telah kulewati dan menuju kursi kosong yang terlihat olehku. Aku membuka galeri dan kembali melihat foto-foto Lidya yang ada di ponselku. Senyum Lidya tak akan pernah lagi ku lihat. Entah sampai kapan.
“Thanks for everything. Maafkan aku dan semua janji yang tidak bisa aku tepati. Aku harap kamu bahagia terus. Dengan atau tanpa aku. Kamu harus bahagia” ketikku dan mengirimkannya pada Lidya.
“Mungkin kamu nggak akan mau lihat aku lagi, tapi aku akan terus bisa melihat kamu dari kejauhan. Seperti kembang api di langit malam saat tahun baru.” Sambungku dan mengirimkannya lagi.
“read”
Begitu keterangan yang tertulis di layar. Aku sedikit tenang meski masih tetap tidak yakin akan semua ini.
“Kamu akan terus melihatku, tidak dari kejauhan” Lidya membalas. Hah? Apa maksudnya ini?
“Lihat ke belakang” ragu-ragu aku menengok ke belakang. Aku tidak ingin diperdaya keajaiban...
Dan mataku melihat sosok gadis manis berjaket hitam yang aku kenal siapa pemiliknya. Jaket hoodie Paramore seperti yang aku pinjamkan pada Lidya saat kami berteduh dari hujan mendadak. Ia berdiri dengan senyum manis yang setia menghias wajah orientalnya sekitar 50 meter dari tempatku sekarang.
“Lidya?” ucapku lirih. Kopi yang kupegang pun terjatuh karena keterjutanku. Entah dapat tenaga dari mana aku berlari menuju arahnya. Aku menghindari kerumunan orang-orang yang berlalu lalang di depanku. Tidak sedikit orang yang marah padaku karena tidak sengaja menyenggolnya. Sedikit lagi... ya sedikit lagi...
Dan aku pun memeluk Lidya yang sekarang ada di depanku. Nyata. Bisa kusentuh. Wangi parfum favoritnya pun mengisi rongga pernafasanku. Ya, Lidya ada di pelukanku!. Lidya pun membalas pelukanku tak kalah erat. Semua ini nyata.
“Aku minta maaf, mas. Aku memang bodoh. Aku terlalu menuruti emosiku” ungkap Lidya
“Nggak, Lid. Kamu nggak salah. Keadaan yang membuat kita begini. Tapi aku bersyukur kamu ada di sini. Aku jadi sempurna kembali. Ada kamu di sini yang kembali mengisi separuh aku yang hilang”
“Aku juga senang, mas. Aku masih beruntung nggak kehilangan kamu untuk selamanya” dan ku tatap mata Lidya yang sedikit sembab. Perlahan aku mencondongkan bibirku menuju bibirnya dan...
“Ssssst... jangan di sini, ikut aku” ajak Lidya seketika menarik tanganku. Entah menuju ke mana. Aku tidak peduli ke mana , asalkan aku bersamanya.
-o00o-
“Aman, yuk masuk” ternyata ia mengajakku ke toilet wanita yang paling ujung dari bandara ini. “Lid, mau apa kamu? Hey! Ini toilet wanita. Tidak seharusnya aku di sini sama kam...” Lidya menutup mulutku dan mendorongku masuk ke dalam bilik toilet yang ada di belakangku.
“Klek!” Lidya mengunci pintu toilet. “Let’s make it quick, okay?” ucap Lidya sambil menanggalkan Jaket. Lidya mendudukkan ku ke toilet duduk, membuka kancing dan retsliting jeansku dengan tergesa-gesa dan menurunkannya beserta boxerku. Lalu diraihnya penisku yang masih dalam keadaan normal. Ia mengocoknya perlahan. Dan aku hanya memandangnya tertegun dengan bodohnya. “Ahhhh... pelan, Lid!” erangku.
Kini penisku tegak dengan sempurna. Mataku terpejam selama ia mengocoknya sedari tadi dan ku rasakan sesuatu yang lembab dan basah. “Mmmmhhh clpppp hmmmmmmmahhh” Lidya mulai mengoral penisku. Geli dan nikmat rasanya. Jemari Lidya pun tak tinggal diam, ku lihat ia mulai memasukannya kedalam rok hitam berbahan kain warna hitam. Sepertinya ia merangsang dirinya sendiri agar basah. “You’re so fiery, Lid” batinku.
“Plop!” bunyi bibir terlepas dari ujung penisku. Dan ia mendekatkan bibirnya padaku. Aku pun tak tinggal diam, langsung ku sambar bibirnya. Tidak ada perasaan jijik dalam diriku meski ia baru saja mengoralku. Menjilati layaknya es krim kesukaannya. “Mmmmhhh ahmmmm clepppp mmmmyeaah” erang kami menikmati ciuman kami. Sedikit terasa asin. Mungkin berasal dari cairan pre-cum ku saat ia mengoralku tadi. Lidah kami yang sudah lama tak bertaut ala Francais seperti kata Silampukau di lagu Puan Kelana. Lidah yang aku rindu untuk ku belit di dalam rongga mulutku. Saliva yang ingin ku reguk layaknya anggur merah cap orang tua di kala aku menghadiri gigs band hardcore teman ku di kawasan Fatmawati. Ya, semua yang ada di tubuh Lidya sangat ku rindukan untuk ku sentuh. Seperti payudara kencangnya yang saat ini aku remas dengan lembut “Mmmm aaaah” desah Lidya saat ku remas payudaranya sekarang.
Lidya melepas pagutannya. Ia bangkit dan melepaskan celana dalam renda berwarna hitamnya. Tak terlepas dengan sempurna, masih tersangkut di sepatu Vans Authentics hitam belelnya. Ia menduduki selangkanganku dan mengarahkan ujung penisku ke lubang vaginannya “Ini saatnya, mas. Lakukan sesukamu. Do it fas... aaaaah!” Lidya mendesah tidak karuan saat penisku ku masukkan tanpa permisi. “Mmmhhh... ini yang aku kangen dari kamu” ujar Lidya disela ia beradaptasi dengan penisku. “Kangen itu apa yang punya?” sindirku nakal. “Mmmmhhh... kangen semua dari kamu, sayang aaaahh” kembali Lidya mendesah saat aku mulai menggerakkan pinggulku.
“Yaaah... teruuus... uuuuh... mmmhhh... yang cepet sayangghhhh... iyahhh begitu” erang Lidya menggairahkan. Hal itu membuat darahku mengalir cepat, dadaku terasa panas. Ku tenggelamkan wajahku ke payudaranya. Dipeluknya kepalaku menekan pada payudara Lidya. Samar-samar aku mendengar degup jantungnya. Seirama dengan degup jantungku saat ini.
Irama sodokanku perlahan mulai naik, Lidya makin mengerang tak terkontrol, bahkan kami tidak peduli apakah ada yang mendengar atau tidak. Kamihanya ingin menuntaskan nafsu kami secepat mungkin. Adrenalin membuat kami saling berlomba mencapai orgasme. Dan sepertinya kami mulai merasakan tanda-tanda akan mencapainya. “Hhhhhh.... hhhhh... Lidhhhh.... ough... aku mau keluar Lid” ucapku tepat ditelinganya. “Aku juga, mashhhh.... keluarin bareng... ough!” balas Lidya yang menyambar mulutku.
Ku percepat sodokanku untuk segera menuntaskan permainan berbahaya ini. Sensasi geli di ujung penisku mulai terasa. Ditambah pijatan kontraksi Lidya yang makin intens. “Akkkh... akkuuu... akhhh aku mau... keluaarrrghhh... ahhhh!!!” Lidya mengerang dengan hebatnya. Menjemput sensasi orgasmenya yang cukup lama tidak ia rasakan. “aku jugaaarghhhh ough... ough... ahhh... ughhh!” disusul olehku. Menyemburkan calon-calon anaku di vagina Lidya, yang semoga saja tidak dilahirkan 9 bulan 10 hari kemudian.
Helaan nafas kami saling bersahutan. Kami cukup kelelahan meski hanya sekejap melakukannya. “Tenang, sayang... hhhh... aku aman kok hari ini” ucap Lidya dan langsung ku cium bibirnya. Beberapa menit kemudian kami kembali merapikan diri masing-masing.
-o00o-
Saat ini Lidya menggelayut manja di pundakku. Kami duduk di ruang tunggu. Ia tidak peduli dengan sekitar, bahkan ia tak mempedulikan tatapan orang yang berlalu lalang di depan kami.
“Kamu kok bisa ke sini sih? Kan kamu nggak punya tiket” tanyaku ingin tahu. “Kata siapa, nih...” Ia mengeluarkan tiket pesawat menuju Yogyakarta. Keberangkatannya beberapa jam setelah aku boarding.
“Jogja? Mau ke mana kamu?” aku makin ingin tahu
“Kasih tahu nggak yaaaa...” goda Lidya
“Kamu kan nggak punya saudara di Jogja. Sayang duit, dek...” Sungutku.
“Emang, lagian aku punya kok saudara di Jogja, lebih dari saudara malah” pernyataan Lidya semakin membuatku bingung. “Siapa?”
“Calon mertuaku hihihi”
Ah, rupanya ia akan bertemu keluargaku. “Emang udah kasih tahu keluargaku?” tanyaku lagi. “Udah. Sebelum ke sini, aku telpon ibu kamu. Dan Ibu kamu udah nggak sabar ketemu aku” ucapnya girang. “Ihhh ke ge-eran kamu” ejekku sambil merusak tatanan rambutnya.
“Iiiiih! Jangan dirusakin rambut aku” geramnya
“Kamu mau berantakan juga cantik kok”
“Halah gombal!”
“Tapi suka kan?”
“Nggak... nggak salah”
Lidya pun masuk kedalam pelukanku. Makin berat aku berpisah dengan cintaku ini. “Eh tapi, kok kamu tahu toilet tadi? Kayaknya jarang ada orang ke sana” selidikku. “Coba tebak, siapa yang kasih tahu?” balas Lidya. Tidak mungkin orang itu. Cepat cepat aku ambil ponselku dan terdapat notifikasi chat yang belum terbaca. “Gimana bro? Enak gituannya? Kasih tahunya kalo udah di Amerika aja hahahaha” tulis Kang Angga. Aku hanya tersenyum kecut. Yang pasti akan ku balas kebaikkannya sekembalinya aku ke Indonesia.
“Lho, kamu kenal kang Angga dari mana?” kembali aku bertanya “nanti juga tahu sendiri. Nggak jauh-jauh dari kita kok hehe” jawab Lidya. Aku kembali merengkuhnya ke dalam pelukanku.
-o00o-
Sudah hampir menuju waktuku boarding. Dan Lidya menemaniku menuju boarding gate-ku. Tak lepas tangan kami bergandengan. Perlahan kami berjalan menikmati momen-momen terakhir kami. Dan sampailah kami di boarding gate kami.
“Ya, udah sampai nih kita” ucapku. “Iya.” Singkat Lidya menjawab. “Kita memang jauh secara fisik, tapi hati kita akan selalu dekat. Jangan sedih ya? Aku mau kamu bahagia terus. Singkat kata, aku bahagia kalau kamu bahagia” ucapku menenangkannya.
Lidya tersenyum dan tak mampu menahan air matanya “Aku bakal kangen kamu” ucapnya seraya memelukku. Aku pun membalas pelukannya, ku nikmati momen ini sedetil mungkin. Akan aku hafal aroma parfumnya, suasana ini, tempat ini. Semuanya. Suara pengeras suara menghentikan pelukan terakhirku sebelum aku berangkat. “Tuh, kamu udah dipanggil buat boarding. Buruan sana” kata Lidya sedikit mendorongku sambil menyeka air matanya. “Huffft... aku berangkat dulu ya? Jangan nakal” candaku namun tidak dengan hatiku. “Kebalik! Aku yang harusnya bilang gitu” rengek Lidya. Ku kecup kening Lidya dan ku susul dengan kata pertama yang aku pakai pada Lidya...
“Aku Cinta kamu” ujarku singkat.
“Aku juga cinta kamu...” sambung Lidya.
Aku berjalan menuju gate, memberikan boarding pass dan passportku pada petugas. “Silahkan mas, selamat menikmati perjalanan anda” ucap sang petugas. Aku melambaikan tangan pada Lidya yang disambut dengan senyuman. Akan aku ingat senyum itu. Sebagai penawar rindu di saat kami berjauhan. Kami pun saling memunggungi. Berjalan saling menjauh. Untuk pergi meraih mimpi masing-masing. Namun kami pergi untuk kembali. kembali untuk bertemu.
Kini aku sudah ada di dalam pesawat. Perlahan pesawat mulai lepas landas. Ketinggian naik sedikit demi sedikit hingga kami diizinkan untuk melepas seat belt. Dari jendela pesawat ku lihat kota Jakarta dengan segala gemerlap lampu. Indah, namun tak seindah kekasihku, Lidya. Dari kejauhan nampak letupan kembang api warna-warni, menghiasi langit malam Jakarta.
Dan seketika aku sudah merindukan dia. My fiery fireworks.
Lidya Maulida Djuhandar... tunggu aku kembali.
THE END (?)