Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA My Fiery Fireworks (Lidya M. Djuhandar of JKT48 Fanfixxx) [TAMAT]

Bimabet
Wih cerita lu mantap suhu, jadi ikut terbawa suasana. Haha. Ditunggu lanjutannya.

Syukurlah kalau berkenan, sementara update pending dulu. Ada kesibukan di RL yg ga bisa ditunda. Tapi sebisa mungkin nyicil update hehe
 
Mantap hu aku maraton bacanya...ayo updatenya jangan lama2 ya



Part dunia nyata emang nasib fans far hu senasib kita, duh jadi kangen kinal sama dek yupi loli...
 
Masih menunggu Leon baikan sama Lidya, ato Lidya Grad terus ikut Leon ke Amrik ya?
 
Jadi apakah Lidya sama Leon berlanjut "hubungannya"?


Jangan kelamaan updatenya ya suhu
 
Lagi di cicil saudaraku, sedang membereskan project penting nih heheh
 
Progress udah sekitar 70%. Maunya sih sama epilognya. Tapi kayaknya ga bakal nyampe bikinnya. Tapi ane coba usahakan. Sampai jumpa nanti malam.
 
PART 5 : Hanabi.


Kini aku terbaring di lantai kamarku yang beralaskan karpet merah. Memandang langit-langit kamar berwarna putih, seakan itu adalah layar besar dan mataku sebagai proyektor. Memproyeksikan segala memori tentang Lidya baik hari ini, kemarin atau kemarin lusa. Di mana semuanya masih baik-baik saja. Setibanya di kamar, entah rasanya aku enggan menggumuli ranjang empukku. Ranjang di mana aku memanjakan Lidya ketika ia berbaring di pahaku sembari bercerita tentang keluh kesahnya saat musik kesukaan kami diputar atau memacu tubuh Lidya hingga ia mengerang tanpa peduli sekitar. Terlalu pedih buatku. Kepalaku kini memutar obrolanku dengan Ayah Lidya beberapa jam yang lalu...

“Hmmm... begitu rupanya” respons Pak Djuhandar sambil menganggukkan kepala setelah aku menjelaskan duduk permasalahan kami.

“Begitulah, pak... Saya Cuma ingin menjadi seseorang yang bertanggung jawab untuk Lidya. Semua ini saya lakukan untuk masa depan kami yang lebih cerah. Mewujudkan mimpi kami bersama” balasku panjang lebar.

“Dan semoga saja dengan jenjang pendidikan saya yang lebih tinggi, saya bisa mendapatkan kepercayaan banyak orang” aku melanjutkan.

“Tapi... bukankah dengan banyaknya orang menaruh kepercayaan pada kamu, akan ada tanggung jawab yang lebih besar lagi? Apa kamu sanggup?” sanggah Pak Djuhandar sembari mencecap teh hangat buatan Ibu Lidya.

Kini aku hanya menatap cangkir teh ku yang masih tetap penuh. Tenggorokanku mendadak tidak ingin dimasuki cairan apapun selain ludahku. Pertanyaan ini terlalu menjebak, namun harus ku jawab...

“Saya akan terima segala risiko asalkan Lidya selalu bahagia” ujarku diplomatis.

Pak Djuhandar hanya melirikku sambil tersenyum. Entah apa maksud dari senyuman itu. Aura kebapakkannya terpancar. Wibawa seorang Ayah melindungi putri cantik satu-satunya terasa menusuk sanubariku, seorang laki-laki yang jauh dari kata sempurna, terkadang bajingan dan suka seenaknya sendiri.

Perlahan Pak Djuhandar meletakkan cangkir teh-nya. Ia sedikit berdehem untuk sekedar membersihkan tenggorokannya atau sengaja membuatku merasa gugup.

“Baiklah, saya sudah mengerti dan mengambil sikap. Sekarang kamu boleh pulang. Sudah cukup larut malam” Kata Pak Djuhandar tegas namun berwibawa. Dan aku hanya menganggukan kepala. “Baik, pak. Terima kasih atas pengertiannya. Saya permisi pulang dulu” ucapku lemah sambil meraih dan mencium tangannya tanda hormatku padanya.

“Pluk!”

Tangan Pak Djuhandar tiba-tiba mengusap lembut kepalaku.

“Kamu jangan khawatir, biar nanti saya bicara sama Lidya. Saya tidak ingin Lidya berada di tangan yang salah, maka dari itu... saya tidak rela jika kalian putus begitu saja”

Ucapan Pak Djuhandar tersebut otomatis membuatku terharu dan hampir membuatku meneteskan air mata. Namun masih bisa ku tahan. Aku tidak mau lemah dihadapan calon Ayah mertuaku. “Terima kasih, pak! Saya tidaka akan mengecewakan bapak!” ujarku sambil berkali-kali mencium tangannya.

“Uhmmm, pak...”

“Ya, nak?”

“Bolehkah saya berpamitan pada Lidya sebelum saya pulang?”

“Tentu boleh, sana hampiri calon istrimu”

Ucapan Pak Djuhandar sedikit membuatku tersipu.

-o00o-​

“Lid...” kataku sambil mengetuk pintu kamar Lidya. Tidak ada suara yang menyahut.

“Lidya, sayang...” kembali aku memanggilnya dan sang pemilik kamar pun sekali lagi tidak bersuara.

“Hufffft... Deee~” Tetap tidak ada respon.

“Aku pulang dulu, sudah larut. Aku minta maaf atas segala ke-egoisanku. Maafkan aku atas kebohongan yang aku lakukan. Aku harap kamu mau memaafkan aku” aku mengiba sambil menempelkan telapak tanganku di pintu. Berharap bahwa dibalik pintu itu ada Lidya yang sedang melakukan hal yang sama denganku saat ini. Setelah itu, aku menuruni tangga meninggalkan kamarnya. Terdengar suara kenop pintu yang diputar hati-hati. Namun aku tetap menuruni tangga rumah itu. Aku tahu Lidya sedang memperhatikanku, tapi aku tidak mau menoleh. Karena aku tahu, saat ini Lidya pasti sedang menangis karena kecewa padaku...

Kini kepalaku berhenti memutar potongan adeganku di rumah Lidya beberapa jam yang lalu. Bolak-balik aku memeriksa aplikasi chatku. Tidak ada balasan dari Lidya, bahkan dibaca pun tidak. Hanya kalimat pendek basa-basi “Lid, udah tidur?” diikuti dengan emoji malu. Hanya itu saja pesan terakhir yang muncul di jendela chat-ku dan membuatku tidak karuan.

Jemariku menari-nari di atas layar LCD ponsel pintarku. Tanpa sadar aku membuka menu drawer lalu menekan galleries, kemudian membuka folder foto terakhir... dan itu sebuah kesalahan.


Hatiku makin tidak karuan ketika ponselku menampilkan foto-foto kami saat di kebun binatang. Senyum Lidya sangat ceria di foto-foto itu. Beberapa pose swafoto kami di mana Lidya memeluk leherku dan menempelkan pipi tembamnya sambil memonyongkan bibir, atau dengan posisi yang sama ia tiba-tiba mencium pipiku dan aku berekspresi seakan tekejut atas perlakuannya... Dan yang paling membuatku makin tercabik-cabik adalah ketika ia tersenyum canggung saat ia akan berfoto dengan burung Macau berbulu hijau yang bertengger santai di lengannya. It’s totally devastating me.

Ku lempar pelan ke sembarang tempat. Aku tidak peduli apa itu akan merusaknya atau tidak. Barang bisa dibeli, namun orang tersayang yang kamu sakiti belum tentu memaafkanmu dan kembali memelukmu. Kemudian aku memejamkan mataku. Hingga perlahan aku tenggelam dengan pemikiranku sendiri dan menuju alam mimpi. Berharap esok lebih baik dari pada hari ini.

-o00o-​

Aku terbangun dari tidur tak nyenyak ku oleh suara ponsel. Bukan karena alarm namun karena panggilan masuk. Dengan malas aku mencari-cari di mana ponselku saat ini, kepalaku sangat berat. Bukan karena tidurku yang tak nyenyak. Berat karena sikap Lidya yang kini dingin, bahkan lebih dingin dari es di kutub yang justru makin menghangat karena pemanasan global.

“Nyokap” rupanya ibuku yang menelpon.

“Ya halo bu...” sapaku

“Pagi, nak... baru bangun?” balas ibuku diujung telpon.

“Iya, bu... ada apa bu? Tumben nelpon pagi-pagi. Biasanya siang pas aku kerja. Rumah aman kan bu? Semua sehat?” ujarku basa-basi.

“Nggak apa-apa, Cuma pengen nelpon aja. Puji Tuhan, aman dan sehat semua. Nah, sekarang pertanyaannya apakah anak ibu ini sehat?” selidik ibuku

Aku menghela nafas “Ya... kurang lebihnya” jawabku.

“Kamu ada masalah ya sama pacar kamu yang artis itu?” tembak ibuku dan sangat telak. “Nggak usah bohong, perasaan seorang ibu akan anaknya itu sangat kuat” kata ibuku. Ya, perasaan seorang ibu tidak pernah meleset. Bahkan seorang ibu bisa menemukan barang yang kita tidak tahu terselip di mana. Sebuah misteri yang belum bisa terpecahkan oleh ilmuan sekalipun.

“Iya bu, ada sedikit salah paham. Ibu tahu kan aku dapat beasiswa ke Amerika?”

“Iya, ibu tahu. Lho, kamu belum kasih tahu soal beasiswa itu ke pacar kamu?

“Dan itu yang jadi masalahnya, dia nggak sengaja menemukan surat itu”

“Kenapa kamu nggak bilang aja dari awal?” ibuku sedikit menaikkan nada bicaranya

“Nunggu waktu yang tepat aja” jawabku sekenanya

“Wanita itu butuh kepastian, nak. Bukan janji” seloroh ibuku blak-blakan. Aku hanya bisa mengusap wajahku berulang kali setelah mendengar pernyataan ibuku. “Jadilah seseorang yang jujur dan bertanggung jawab. Selama ini ibu membebaskan kamu untuk memilih jalan kamu sendiri. Jadi bijaklah dalam bertindak. Ibu tahu kamu bisa menyelesaikan masalah kamu” nasihat ibuku sedikit menenangkanku seketika.

“Iya, bu. Terima kasih. Aku akan melakukan segala perintah ibu. Aku jadi sedikit tenang sekarang” ungkapku. Aku bersyukur punya ibu yang sangat perhatian seperti beliau.

“Ya sudah kalau begitu, ibu mau beres-beres rumah dulu. Sudah siang, kamu nggak berangkat kegiatan?”

“Bentar lagi bu, ya sudah. Jaga kesehatan ya bu”

“Iya, kamu juga ya. Salam buat calon mantu ibu ya hahaha”

“Hhhhh... Iya, bu. Sedang diusahakan”

“tut!” nada akhir panggilan itu mengakhiri percakapanku dengan ibu pagi ini. Aku memeriksa beberapa chat yang masuk, hanya beberapa notifikasi dari grup dan beberapa promosi dari akun resmi saja. Namun tetap tidak ada balasan dari Lidya.

“Ting!” sebuah notifikasi chat masuk. “Mifumi Kato sent you a message” tulis notifikasi yang muncul di layar.

“Leon, can you go to the office now? Kamu mulai kerja lagi hari ini” ucapnya.

“Baik Mifumi-san. Saya akan siap-siap sekarang” balasku. Tanpa buang waktu lagi aku bangkit dari karpet yang telah menjadi alasku untuk berbaring malam tadi. It’s gonna be a long day actually.

-o00o-​

Apalah arti pagi jika tanpa secangkir kopi. Dan kini aku sedang di dalam mobil menembus keramaian ibu kota menuju kedai kopi milik temanku. Musik pun setia mengalun. Menemaniku mengarungi arus antusiasme warga menuju tempat mereka mencari harapan dan penghidupan. Dan sepertinya harapanku pun agak meredup...


Waking up to nothing when you're super far from home

And I watch you fall asleep at night and lay there on my own

Got me begging for affection, all you do is roll your eyes

Broken down, I've had enough

If this is love, I don't want it...

Seakan lagu Lany – Super Far ini sedang menyindirku. Ya, pagi ini aku terbangun dengan sebuah kehampaan. Lidya kini terasa jauh. Sangat jauh seperti kembang api di langit. Indah, namun tidak bisa digapai dan hanya bisa di kagumi dari kejauhan. Kembali aku membuka chat dari Lidya dan hasilnya sama saja. Hanya ia biarkan saja.


Aku beralih ke Instagram. Dan mendapati Lidya baru saja memposting sebuah foto ia sedang memegang kue ulang tahun dengan lilin 21 di atas kue. Ia menuliskan sebuah caption “Officially 21” dan diikuti dengan ucapan terima kasih untuk semua orang yang telah mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Ia nampak bahagia di sana. Namun di satu sisi, aku tahu ia sedang menyimpan kesedihan dan kekecewaan. Tidak ada yang lebih menyesakkan ketika orang yang kamu sayang dapat memposting sesuatu di sosial media namun sulit untuk membalas chat.

Chorus Super Far masih tetap mengalun. Iseng aku merekamnya dalam bentuk video singkat dengan pemandangan ramainya jalanan di depanku. Kemudian aku mempostingnya ke Instastory. Tak lupa ku bubuhkan potongan lirik Super Far. Besar harapanku Lidya melihatnya namun kami tidak saling memfollow. Aku menghela nafas dan melemparkan ponselku ke kursi penumpang di sebelahku. Dan bayangan Lidya muncul di sana. Bayangan ketika ia tersenyum dengan riangnya. Tanpa beban. Betapa manisnya ia kala itu. Kembali aku memfokuskan diri mengarahkan mobilku menuju kedai kopi temanku.

-o00o-​

Setelah berjibaku selama hampir 1 jam, aku sudah sampai di kedai milik temanku. Sebuah kedai sederhana bernama “Seiga”, bergaya minimalis modern di salah satu ruko yang ia sewa untuk beberapa tahun. Aku tidak tahu arti nama Seiga sendiri, kata temanku terdengar sangat Latin dan sexy. Meski sederhana, varian biji origin-nya sangat lengkap dan sangat memanjakan Coffee Snob sepertiku yang haus akan sensasi rasa yang berbeda dari biji kopi origin. Oh iya, dan ia me-roasting biji kopinya sendiri. Sebuah dedikasi tinggi untuk mencapai rasa yang terjaga.

“Woi, bro! Tumben kemari. Kemana aja lo? Tunggu... kusut banget muka lo?” sapa Raden Angga Kusuma atau yang akrab ku panggil Kang Angga melihat keadaanku pagi ini.

“Yah, gitu deh... kopi satu ya. Gue tunggu di luar ya” balasku sekaligus memesan kopi. Aku sengaja memilih tempat duduk di luar agar aku bisa merokok.

“Siap!” jawab Kang Angga singkat.

Sembari menunggu pesananku di sajikan, aku masih melekatkan pandanganku pada kolom chat-ku dengan Lidya. Masih sama. Tidak ada respon darinya. Sesekali aku memperhatikan Kang Angga dengan cekatan menyiapkan segelas kopi untukku. Ia teliti menggiling kopi dengan profil gilingan yang pas untuk setiap jenis kopi yang ingin disajikan. Kemudian ia mulai menyeduh kopi dengan metode Manual Brewing menggunakan Kalita. Menuang air panas dari ketel perlahan agar memunculkan aroma dan rasa dari kopi tersebut. Aku tidak tahu kopi apa yang ia sajikan. Tetapi, yang ku tahu kopi itu tidak selamanya pahit. Tergantung bagaimana si kopi itu di tanam, metode pasca panen, profil roasting dan segala macam proses panjang yang harus dilewati hingga tersaji di depan kita. Dan aku yakin bahwa masalah yang aku alami saat ini dengan Lidya adalah sebuah proses yang harus aku lewati. Dan aku harap proses itu akan membuahkan hasil yang manis.

“Nih, bro... Ciwidey kesukaan lo” Ucapan Kang Angga menyadarkanku dari lamunanku.

“Nuhun, kang. Lo emang tau apa yang gue mau” balasku berterima kasih.

“Hahaha... dan kayaknya lo ke sini pas ada masalah doang. Kabogohan nya? Saha eta... Lidya? Yang idol-idol itu?” Selidik Kang Angga dengan sedikit bahasa Sunda tercampur yang sedikit aku mengerti.

“Sluuuurrrp.... hufffft” helaku setelah mencecap segarnya kopi Ciwidey yang aku cecap

“Salut aing sama kamu teh. Bisa tahan pacaran sama Lidya. Laki mah pasti nggak tahan buat pamer pacar. Apa lagi teh pacarnya artis kayak dia. ” ujar Kang Angga sambil menepuk pundakku. “Etapi, fansnya mah beringas kayak Singa kurang dibelai. Emang ada masalah apa?” sambungnya.

Ku hembuskan asap keputihan dari rokok Mild Bold-ku “Masalah beasiswa kang, dia kayaknya nggak mau kalau gue pindah ke Amerika untuk sementara” ujarku “Ya, mau gimana lagi kang. Gue udah jatuhin pilihan ke dia. Sekali gue milih, nggak akan gue lepas. Sebagai cowok, gue akan lakuin apa aja buat lindungin dia. Ya meski sedikit bohong”

“Lah, hubungan maneh juga dimulai dari kebohongan, kenapa dia jadi marah ke kamu? Harus fair dong hahaha... becanda”

“Bingung gue sekarang, kang”

“Udah, sabar aja dulu. Biarin si Lidya sendiri. Nanti kalau udah adem, baru kamu kasih pengertian. Wanita itu kadang gengsinya tinggi! Semakin kita lawan gengsinya, bakal runyam. Ngalah bukan berarti kalah, lur”

“Huffft... Iya kang, kayaknya ini proses buat gue sama Lidya. Dan gue siap dengan segala kemungkinan yang terjadi”

“Nah, laki itu harus siap sama semua risiko dan konsekuensinya. Malu sama titit!”

“Anjrit! Bahasa lo frontal kang hahaha”

“Biar nggak kaku-kaku amat lah kayak pembantu baru. Okelah, gue tinggal dulu, beres-beres di dalam dulu. Kalo mau di sini lama-lama juga boleh. Oh, iya... kopinya hari ini buat lo gratis. Itung-itung hiburan buat lo haha”

“Ah, serius kang? Bener? Makasih lho”

“Iya, mana pernah gue bohong kayak lu. Okelah, ke dalam dulu ya?”

“Siaaap kang!”

Begitulah obrolan singkatku dengan Kang Angga. Seseorang yang cair, bisa menempatkan diri dengan siapa saja tanpa rasa canggung. Tidak salah pilih jika aku berkeluh kesah dengan Kang Angga. Bukan karena umur beliau yang jaraknya lumayan jauh dengan umurku. Tapi memang pengalaman telah menempa Kang Angga menjadi seperti yang aku kenal sekarang.

Kembali aku membuka Instagram dan memeriksa postingan storyku sejam yang lalu. Dan keterangan viewers ku sangat membuatku merasa tenang.

“Seen by jkt48lidya...”

Semoga menjadi pertanda baik untuk ke depannya. Kembali aku mencecap segarnya kopi Ciwidey racikan Kang Angga. Namun tiba-tiba ada sesuatu yang menyentuh paha atasku. Rupanya anjing liar yang menopangkan moncongnya ke pahaku. Aku mengelus-elus kepalanya tanda menerima keberadaannya dan ia pun menatapku dengan tatapan yang sendu dan menggoyangkan ekornya. Seakan mengerti akan segala kegundahanku saat ini. “Kamu kenapa, teman? Kamu lagi galau ya? Lagi marahan sama pasangan kamu?” tanyaku dengan bodoh seakan ia mengerti perkataanku. Dan sepertinya ia mengerti perkataanku. Lalu ia
merebahkan diri di samping kakiku. Ya, lumayanlah ada yang menemaniku menikmati kopi untuk beberapa saat ke depan.


Setelah kopi tandas masuk ke lambungku, aku bangkit dari tempat dudukku untuk segera menuju mobilku. Memeriksa ponselku apakah ada chat penting yang masuk sambil berjalan ke arah mobilku yang terparkir tidak jauh dari kedai Kang Angga. Sedikit aku menghindar sambil tetap melekatkan pandangan pada layar sentuh ponselku, karena ada wanita yang berjalan di depanku dengan kesibukan tangan yang sama denganku. Eh... Tunggu, sepertinya aku tidak asing dengan wanita yang baru saja aku lewati. Rambut panjang sebahu, fashionable meski hanya berkaos hitam dengan kaca mata bulat... Yona? Namun terlambat aku menengok ke arahnya. Wanita itu telah masuk ke kedai Kang Angga sehingga aku tidak bisa memastikan apakah itu benar Yona atau bukan. Ah, masa bodolah. Toh juga banyak wanita yang mirip dengan Yona.

Perlahan mobilku mulai berjalan perlahan meninggalkan kawasan ruko. Dan kembali aku membelah jalanan padat ibu kota.

-o00o-​

Jam berganti hari, hari berganti menjadi minggu, dan minggu pun berganti bulan. Tibalah di mana aku mengakiri minggu terakhirku sebagai Stage Manager sekaligus menandai keberangkatanku menuju Boston besok malam. Selama itu pula Lidya masih seangkuh karang dan sedingin es kepadaku. Segala macam upaya aku lakukan untuk berbicara menyelesaikan masalahku dengan Lidya namun ia menolak bertemu.

“Temen-temen, perhatian sebentar!” seru Viny melalui mikrofon menyela kesibukan persiapan Theater saat itu. “Jadi, selain hari ini adalah show spesial untuk perayaan kembalinya Lidya sekaligus ulang tahunnya. Hari ini juga adalah show terakhir Kak Leon sebagai Stage Manager kita” imbuh Viny diikuti riuh rendah member lainnya seolah sedih. “Karena besok malam Kak Leon akan berangkat ke Amerika untuk menempuh studinya selama kurang lebih 3 tahun. Jadi mari kita memberi penghormatan untuk Kak Leon atas kerja samanya selama ini. Yuk...” Ajak Viny yang diamini para member dan segera membentuk barisan memanjang. Heh? Aku pun sedikit terkejut atas pernyataan sang Kapten. Aku merasa tersanjung dan makin memberatkan hatiku untuk meninggalkan anak-anak ini. Terlebih Lidya. Oh, Lidya? Ia sedikit enggan dan segan untuk bergabung jika di lihat dari gesturnya, namun ia tetap bergabung bersama teman seperjuangannya.

“Se-nooo~... Terima kasih Kak Leon!” seru para member diikuti bungkukkan badan masing-masing. Aku pun membalas penghormatan itu dengan ikut membungkukkan badanku. Tepuk tangan pun terdengar setelahnya. It’s such an honor yet sad for me. Ya, beginilah keluarga seharusnya. Akan ada kesedihan jika ada salah satu dari anggotanya akan pergi jauh. “Oh, iya. Nanti setelah selesai show, diharapkan semua jangan pulang dulu. Akan ada makan bersama untuk merayakan ulang tahun Lidya dan perpisahan Kak Leon. Tenang, kita ditraktir management kok” seru Viny yang diikuti riuh rendah member K3. Wow, I didn’t expected that so far.

Dan beberapa jam setelah gladi bersih tadi, pertunjukkan pun di mulai. Suasana theater cukup penuh saat itu, mengingat malam ini adalah pertunjukkan untuk merayakan ulang tahun Lidya yang ke-21. Tepat dibawah FOH, ada beberapa orang yang membawa balon huruf yang dirangkai membentuk tulisan HBD LIDYA 21. Sebuah pemandangan yang membuatku salut akan dedikasi dan loyalitas mereka namun menjadi beban karena aku dan Lidya telah membohongi kesetiaan mereka.

“Hai, Aku Lidya! ketemu sebentar lagi ya!” seru Lidya yang malam itu didaulat menjadi shadow announcer untuk membacakan peraturan tata tertib dalam menonton pertunjukkan. Suara alto khasnya itu sangat menyenangkan untuk didengarkan meski ia sedang bermasalah denganku. Dan aku rindu ketika ia membisikkannya langsung di telingaku.

Beberapa saat kemudian, Overture diputar tanda pertunjukkan dimulai. Member K3 bersiap pada posisinya masing. Dan Lidya didapuk sebagai center malam itu. Ia sangat cocok dengan seragam cheers biru kuning khas K3. Kulit putihnya sangat padu dengan seragam itu. Dan aku ingat ia pernah bercerita bahwa ia adalah anggota Cheer Leader saat ia masih bersekolah dulu. Senyum tak pernah lepas dari paras orientalnya. Membuat penonton saat itu terkesima. Tanpa terkecuali aku. Power Lidya tidak kendur selama pertunjukkan. Ia mengeluarkan segala kemampuannya bahkan di lagu Ame No Pianists yang membuatku jatuh cinta padanya kala itu.

Menjelang akhir pertunjukkan, tibalah saat ritual tiup lilin untuk Lidya. Viny membacakan surat berisi kesan dan harapan untuk Lidya. Tangis sempat terselip saat Viny membacakan surat itu. “Terima kasih semuanya buat yang dukung aku dari umur aku 16 tahun sampai umur ke-21” ungkap Lidya. “Semoga di umur baru ini, aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan bisa menginspirasi banyak orang. Sebagai manusia, aku tidaklah sempurna. Dan berkat dukungan kalian saat ini, jadi makin memotivasi aku untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi” sambungnya. Air mata terlihat menggenang di mata Lidya, namun ia masih tegar untuk tidak meneteskannya. “Sekali lagi terima kasih buat yang udah sayang sama aku dan jujur aku tidak ingin yang aku sayangi ini pergi meninggalkan aku. Aku masih ingin terus bersama” Tangis pun tidak bisa terbendung lagi. Riuh penonton menyemangati Lidya. Aku tahu ia sedang membicarakanku secara tersirat. Dan itu sedikit membuat hatiku makin berat meninggalkan dia.

Pertunjukkan malam itu pun sukses terlaksana. Tanpa kesalahan sedikitpun. Dan purna sudah tugasku sebagai stage manager yang aku tunaikan selama 5 tahun.
 
Terakhir diubah:

Suara sendok dan garpu saling beradu, gelak tawa mengiringi obrolan yang ada, sisanya sibuk dengan gawainya masing-masing. Begitulah suasana meja kami saat itu. Suasana menyenangkan selalu terjadi jika kami bersama. Namun aku sendiri tidak terlalu menikmati karena kegundahanku tiap mengingat esok sore aku akan terbang ke Boston. Bahkan Lidya di depanku pun lebih banyak melamun dan menunduk. Sungguh kontra dengan keriaan meja makan ini. Makanan lezat yang tersaji pun terasa tidak berselera.

“Ting! Ting!” suara sendok dipukulkan pelan oleh seseorang. “Perhatian semuanya!” seorang gadis manis berperawakan mungil dan berkulit putih bersih mengheningkan suasana meja seketika. “Gimana? Makanannya enak” kata gadis itu. “Enaaak, teh!” seru para member dan beberapa staff yang ada. Ya, gadis yang sering disapa teteh itu adalah Melody Nurramdhani Laksani. Ia sengaja menyusul dari lokasi shooting sebuah talkshow di salah satu stasiun TV dengan jargon “masa kini” untuk bergabung. “Nah, kayaknya cocok nih kalo kita dengar langsung kesan-kesan dari 2 orang yang kita istimewakan di meja makan ini. Dari yang ulang tahun dulu deh, silahkan Lidya cantik” ucap Melody lembut. Lidya yang sedari tadi sibuk dengan lamunannya pun terhenyak “Ah... Iya teh... Duh... apa ya...” Lidya tergagap seketika. Memang kebiasaan. Selalu panik jika ada sesuatu yang mendadak dan tidak sesuai perkiraannya.

“Uhhhmmm... Pertama terima kasih buat jamuan makannya. Nggak nyangka juga bakal dirayain seperti ini. Really means a lot for me. Dan semoga kekeluargaan ini akan selalu ada sampai kita punya anak dan cucu. Karena buat aku, kalian semua udah jadi bagian hidup aku. Amin” ungkap Lidya singkat

“Loh, buat Mas Leon mana?” sambar Melody dengan ekspresi yang mengandung banyak interpretasi.

“Ah... itu... uhm... Ya pokoknya sukses buat studynya dan terima kasih buat kerja samanya selama ini” ucap Lidya dengan paras yang merah padam. Entah menahan amarah atau memang malu.

“Hahaha... oke sekarang giliran Leon” ucapan Melody mau tidak mau membuatku bangkit dari dudukku.

“Ehemmm...” aku berdehem untuk mengusir gugupku. “Ya, terima kasih juga untuk makan-makan yang menyenangkan ini. Nggak nyangka juga bakal ada acara dadakan seperti ini” sambungku sambil sedikit melirik ke arah Lidya yang sedang tertunduk.

“5 tahun adalah waktu yang tidak singkat, bekerja bersama kalian adalah suatu kehormatan. Bertemu keluarga yang sangat enerjik dan menyenangkan. Dan tentu saja aku menemukan cinta...” Sengaja ku tekan kata cinta itu sambil melihat Lidya yang masih saja dingin melebihi gunung es. “... Ya, berkat kalian semua, saya jadi bisa berkeliling ke beberapa kota yang belum pernah saya datangi. Dan selain itu, yang paling penting adalah saya bisa mendapat beasiswa ke Amerika” sambungku lagi.

“Meski berat, namun akan saya jalani dengan senang hati dan ikhlas. Dan buat Lidya...” Seketika Lidya memicingkan matanya padaku. Mata kami saling bertemu. Sebuah tatapan yang aku rindukan “Selamat ulang tahun, semoga kedepannya kamu sukses, makin dewasa dan dapat menemukan orang yang tepat setelah lulus nanti” entah kenapa kata-kata itu keluar dari mulutku, sepertinya aku memang harus merelakannya. Lidya pun membuang pandangannya ke arah berlawanan denganku.

“Nah, sekarang kita lakukan penghormatan sekali lagi buat Leon” perintah Melody.

“Terima kasih atas kerja sama-nya, Kak Leon!” kompak semua member tanpa terkecuali Lidya yang tanpa ekspresi. Beberapa saat kemudian semua member nampak menyibukkan diri masing-masing, entah menunggu jemputan atau memang masih ingin berlama-lama di meja ini. Dan ini saat yang tepat aku untuk menyelesaikan permasalahanku.

“Lidya, I really need to talk with you” ketikku pada kolom chatnya. Tidak ada respon.

“Aku mohon, untuk terakhir kalinya” kembali aku mengirimkan pesan padanya. Cukup lama aku menanti dan akhirnya...

“Okay, make it quick” balasnya sangat dingin.

“Ketemu di P3, di tempat biasa” ku kirimkan pesan pada Lidya dan segera aku berpamitan dengan semua orang di situ “Hati-hati ya, cepat lulus ya!” ujar Melody yang ku balas dengan acungan jempol dan senyum.​

-o00o-​

Aku memutar-mutar ponselku untuk menutupi kegugupanku, aku bersandar di salah satu tiang beton parkir P3 mall kebanggaan kami, memikirkan kata-kata yang tepat, membayangkan segala kemungkinan yang terjadi setelah ini.

“Hufft... Mau ngomong apa? Cepetan!” suara sinis nan angkuh Lidya mengejutkanku. Makin gugup aku jadinya.

“Lid...” aku memberanikan memegang tangannya namun ia tepis. Demi apapun, aku jadi takut akan sikapnya ini.

“Apa sih? Katanya mau ngomong” sergah Lidya dan memalingkan mukanya

“Okay, maaf... aku cuma ingin memperbaiki hubungan kita sebelum aku berangkat” aku membuka obrolan. Ia masih tetap angkuh memandang ke arah lain.

“Hubungan apa? Kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi sejak kamu bohongi aku” seru Lidya yang membuatku semakin tidak karuan. Semua yang aku rencanakan tadi seakan menguap begitu saja.

“Lid, please... jangan begitu. Baiklah, kalau memang kita tidak ada hubungan apa-apa, kita masih bisa berteman. Aku mohon, setidaknya aku bisa menjalani 3 tahunku di sana tanpa rasa bersalah” Lidya masih angkuh. Rasanya ia telah membangun pagar tembok yang tebal dan sulit untuk ditembus.

“Tapi... aku nggak bisa berteman saja dengan kamu...” lirih Lidya. Nggak bisa berteman? “Aku sebenernya masih...” ia menggantung kata-katanya “Aku... nggak... ah udah pergi sana!” bentak Lidya mendorong tubuhku dan berbalik meninggalkanku. Aku yang tidak tinggal diam menarik lengannya dan memeluknya. Ia terkejut.

Aku makin erat memeluknya.

“Aku masih sayang kamu. Dan aku tahu perasaan kamu juga sama denganku. Aku minta maaf belum bisa jadi yang terbaik buat kamu. Tapi aku mohon... beri kesempatan aku sekali lagi. Kesempatan untuk memperbaiki semua. Aku janji, 3 tahun lagi aku akan kembali lagi buat kamu” ujarku panjang lebar memohon pada Lidya.

Nafas Lidya terdengar berat di telingaku, tubuhnya sedikit berguncang... dan ada setitik air jatuh di pundakku. Lidya meremas kaosku “Tapi aku nggak bisa... aku nggak bisa...!” derai tangis Lidya semakin keras. Ia memukul-mukul dadaku. Tak terasa sakit di badanku, tapi tidak perasaanku.

“Maaf...” ujarku lirih “Maaf jika caraku untuk membahagiakan kamu salah” sambungku lemah. “Jika memang itu sudah keputusan kamu...” aku kendurkan pelukanku “aku akan terima itu. Sekali lagi aku minta maaf” selanjutnya aku berbalik dan berjalan meninggalkan Lidya.

“PERGI SANA! AKU NGGAK BUTUH KAMU! AKU HARAP NGGAK KENAL KAMU DARI AWAL!”

Teriakan Lidya menggema. Memantulkan emosi yang Lidya tahan ke seluruh penjuru basement. Entah aku tidak tahu apakah ada yang mendengar atau tidak. Ku hentikan langkahku. Aku tidak ingin melihat Lidya di belakangku. Hanya membuatku semakin sakit. Dan tentunya makin membuat Lidya terluka. Aku menghela nafas dan kembali meneruskan langkahku. Terdengar derap langkah kaki yang cepat menjauhiku, aku menoleh ke arah suara tersebut dan mendapati Lidya tengah berlari sembari menyeka air mata. Berlari meninggalkan semua kisah kita yang terlarang ini.

Rasanya langit malam ini sangat kelam.

-o00o-​

Tinggal menghitung jam saja menuju keberangkatanku ke Amerika. Semua pakaian dan keperluanku di sana sudah ku paketkan jauh-jauh hari pada temanku di Boston. Cukup menguras rekeningku namun tak apa. Aku tidak terlalu suka jike bepergian dengan menenteng banyak barang. Rumahku? Aku menitipkannya pada tetangga sebelahku yang sangat ku kenal baik. Ia dengan sukarela merawat rumahku selama aku di Amerika. Jarang sekali aku menemukan orang yang dengan sukarela memberikan pertolongan tanpa pamrih di ibu kota. Sementara mobil dan motorku ku titipkan pada Kang Angga. Dan kini aku sudah di dalam mobilku yang dikendarai olehnya.

“Woi! Ngelamun aja, kesambet setan jalan tol nyaho siah!” Seru Kang Angga mengagetkanku. “Hih! Amit-amit” panikku sambil mengetuk-ngetuk dashboard. “Jadi gimana? Selesai masalah?” tanya Kang Angga ingin tahu. “Kayaknya gue harus kuat lepasin dia, kang” jawabku. “Hmmm... jadi riweuh gini. Ya udah lur, ikhlasin aja. Masih banyak bule-bule sana yang khilaf sama maneh ahahaha” candanya menghiburku.

“Tapi gue masih berharap akan ada keajaiban, kang. Cuma Lidya yang bisa mewarnai kegelapan langit malam gue”

“Amiiiin. Nggak ada yang nggak mungkin kalo semesta sudah meridhoi”

Kini mobil melaju dengan tenang. Kepadatan arus tak terlalu membuat kami harus tergesa-gesa untuk sampai di bandara. Dan musik keras pun berdentum kencang mengiringi perjalanan kami


I'm losing grip, I'm out of touch

Too late to say I've had enough

It's like every breath could be my last

My demons won't stay in the past

Ku resapi lirik demi lirik Wage War – Gravity ini. Terlambat sudah aku menyesali semua ini.

All alone

On my own

Semua konsekuensi ini harus ku hadapi. Sendirian. Tanpa siapa pun bisa membantu. Kecuali dia.

Pull me close I feel the water reach around my neck

Don't let go just show me that there's better days ahead

Make me see I'm only half the person I should be

Pull me close set me free from this gravity

Aku merasa telah tenggelam dalam penyesalan. Aku hanya berharap padanya yang bisa menolongku. Menunjukkan bahwa akan ada hari esok yang lebih baik. Aku hanya ingin bersama dia dan terbebas dari segala gravitasi yang ada.

I can't move forward and keep looking back

Hindsight has left me where I'm at

I tried to run but I couldn't see

That you were right beside me

Bergerak maju pun aku tidak mampu. Terlalu banyak jejak yang kutinggalkan bersamanya. Mencoba lari namun tidak ada tujuan untuk berhenti. Dan sampai kapan pun, bayang Lidya akan selalu ada disampingku. Meski tidak bisa aku melihatnya kembali.

There is a light in the tunnel but it's distant

On my own I don't think that I can fix this

Set me free from this gravity

Namun seyakin-yakinnya aku akan ada harapan yang ada, namun itu terlalu jauh untuk aku raih. Namun selamanya aku tidak akan bisa memperbaikinya.

“Nah udah sampai, yang sabar ya, ini ujian” hibur Kang Angga. Aku hanya mengangguk lemah.

“Kayaknya sih beberapa jam lagi bakal ada keajaiban yang kamu tunggu, bro” sambung Kang Angga yang membuat dahiku mengerenyit.

“Maksudnya, kang?”

“Lihat aja nanti, okelah. Selamat belajar. Jangan lupa balik ya, kalo nggak ini mobil gue jual haha”

“Siap kang! Santai aja, akan ada alasan untuk gue pulang”

Perlahan Kang Angga melaju meninggalkan drop off bandara. Dan masih 3-4 jam untuk boarding. Aku putuskan untuk mencari kopi sembari menunggu waktu boarding.

Setelah aku membayar pesanan kopiku, aku segera memasuki lobby bandara. Segala pemeriksaan keamanan security bandara telah kulewati dan menuju kursi kosong yang terlihat olehku. Aku membuka galeri dan kembali melihat foto-foto Lidya yang ada di ponselku. Senyum Lidya tak akan pernah lagi ku lihat. Entah sampai kapan.

“Thanks for everything. Maafkan aku dan semua janji yang tidak bisa aku tepati. Aku harap kamu bahagia terus. Dengan atau tanpa aku. Kamu harus bahagia” ketikku dan mengirimkannya pada Lidya.

“Mungkin kamu nggak akan mau lihat aku lagi, tapi aku akan terus bisa melihat kamu dari kejauhan. Seperti kembang api di langit malam saat tahun baru.” Sambungku dan mengirimkannya lagi.

“read”

Begitu keterangan yang tertulis di layar. Aku sedikit tenang meski masih tetap tidak yakin akan semua ini.

“Kamu akan terus melihatku, tidak dari kejauhan” Lidya membalas. Hah? Apa maksudnya ini?

“Lihat ke belakang” ragu-ragu aku menengok ke belakang. Aku tidak ingin diperdaya keajaiban...

Dan mataku melihat sosok gadis manis berjaket hitam yang aku kenal siapa pemiliknya. Jaket hoodie Paramore seperti yang aku pinjamkan pada Lidya saat kami berteduh dari hujan mendadak. Ia berdiri dengan senyum manis yang setia menghias wajah orientalnya sekitar 50 meter dari tempatku sekarang.

“Lidya?” ucapku lirih. Kopi yang kupegang pun terjatuh karena keterjutanku. Entah dapat tenaga dari mana aku berlari menuju arahnya. Aku menghindari kerumunan orang-orang yang berlalu lalang di depanku. Tidak sedikit orang yang marah padaku karena tidak sengaja menyenggolnya. Sedikit lagi... ya sedikit lagi...

Dan aku pun memeluk Lidya yang sekarang ada di depanku. Nyata. Bisa kusentuh. Wangi parfum favoritnya pun mengisi rongga pernafasanku. Ya, Lidya ada di pelukanku!. Lidya pun membalas pelukanku tak kalah erat. Semua ini nyata.

“Aku minta maaf, mas. Aku memang bodoh. Aku terlalu menuruti emosiku” ungkap Lidya

“Nggak, Lid. Kamu nggak salah. Keadaan yang membuat kita begini. Tapi aku bersyukur kamu ada di sini. Aku jadi sempurna kembali. Ada kamu di sini yang kembali mengisi separuh aku yang hilang”

“Aku juga senang, mas. Aku masih beruntung nggak kehilangan kamu untuk selamanya” dan ku tatap mata Lidya yang sedikit sembab. Perlahan aku mencondongkan bibirku menuju bibirnya dan...

“Ssssst... jangan di sini, ikut aku” ajak Lidya seketika menarik tanganku. Entah menuju ke mana. Aku tidak peduli ke mana , asalkan aku bersamanya.

-o00o-​


“Aman, yuk masuk” ternyata ia mengajakku ke toilet wanita yang paling ujung dari bandara ini. “Lid, mau apa kamu? Hey! Ini toilet wanita. Tidak seharusnya aku di sini sama kam...” Lidya menutup mulutku dan mendorongku masuk ke dalam bilik toilet yang ada di belakangku.

“Klek!” Lidya mengunci pintu toilet. “Let’s make it quick, okay?” ucap Lidya sambil menanggalkan Jaket. Lidya mendudukkan ku ke toilet duduk, membuka kancing dan retsliting jeansku dengan tergesa-gesa dan menurunkannya beserta boxerku. Lalu diraihnya penisku yang masih dalam keadaan normal. Ia mengocoknya perlahan. Dan aku hanya memandangnya tertegun dengan bodohnya. “Ahhhh... pelan, Lid!” erangku.

Kini penisku tegak dengan sempurna. Mataku terpejam selama ia mengocoknya sedari tadi dan ku rasakan sesuatu yang lembab dan basah. “Mmmmhhh clpppp hmmmmmmmahhh” Lidya mulai mengoral penisku. Geli dan nikmat rasanya. Jemari Lidya pun tak tinggal diam, ku lihat ia mulai memasukannya kedalam rok hitam berbahan kain warna hitam. Sepertinya ia merangsang dirinya sendiri agar basah. “You’re so fiery, Lid” batinku.

“Plop!” bunyi bibir terlepas dari ujung penisku. Dan ia mendekatkan bibirnya padaku. Aku pun tak tinggal diam, langsung ku sambar bibirnya. Tidak ada perasaan jijik dalam diriku meski ia baru saja mengoralku. Menjilati layaknya es krim kesukaannya. “Mmmmhhh ahmmmm clepppp mmmmyeaah” erang kami menikmati ciuman kami. Sedikit terasa asin. Mungkin berasal dari cairan pre-cum ku saat ia mengoralku tadi. Lidah kami yang sudah lama tak bertaut ala Francais seperti kata Silampukau di lagu Puan Kelana. Lidah yang aku rindu untuk ku belit di dalam rongga mulutku. Saliva yang ingin ku reguk layaknya anggur merah cap orang tua di kala aku menghadiri gigs band hardcore teman ku di kawasan Fatmawati. Ya, semua yang ada di tubuh Lidya sangat ku rindukan untuk ku sentuh. Seperti payudara kencangnya yang saat ini aku remas dengan lembut “Mmmm aaaah” desah Lidya saat ku remas payudaranya sekarang.

Lidya melepas pagutannya. Ia bangkit dan melepaskan celana dalam renda berwarna hitamnya. Tak terlepas dengan sempurna, masih tersangkut di sepatu Vans Authentics hitam belelnya. Ia menduduki selangkanganku dan mengarahkan ujung penisku ke lubang vaginannya “Ini saatnya, mas. Lakukan sesukamu. Do it fas... aaaaah!” Lidya mendesah tidak karuan saat penisku ku masukkan tanpa permisi. “Mmmhhh... ini yang aku kangen dari kamu” ujar Lidya disela ia beradaptasi dengan penisku. “Kangen itu apa yang punya?” sindirku nakal. “Mmmmhhh... kangen semua dari kamu, sayang aaaahh” kembali Lidya mendesah saat aku mulai menggerakkan pinggulku.

“Yaaah... teruuus... uuuuh... mmmhhh... yang cepet sayangghhhh... iyahhh begitu” erang Lidya menggairahkan. Hal itu membuat darahku mengalir cepat, dadaku terasa panas. Ku tenggelamkan wajahku ke payudaranya. Dipeluknya kepalaku menekan pada payudara Lidya. Samar-samar aku mendengar degup jantungnya. Seirama dengan degup jantungku saat ini.

Irama sodokanku perlahan mulai naik, Lidya makin mengerang tak terkontrol, bahkan kami tidak peduli apakah ada yang mendengar atau tidak. Kamihanya ingin menuntaskan nafsu kami secepat mungkin. Adrenalin membuat kami saling berlomba mencapai orgasme. Dan sepertinya kami mulai merasakan tanda-tanda akan mencapainya. “Hhhhhh.... hhhhh... Lidhhhh.... ough... aku mau keluar Lid” ucapku tepat ditelinganya. “Aku juga, mashhhh.... keluarin bareng... ough!” balas Lidya yang menyambar mulutku.

Ku percepat sodokanku untuk segera menuntaskan permainan berbahaya ini. Sensasi geli di ujung penisku mulai terasa. Ditambah pijatan kontraksi Lidya yang makin intens. “Akkkh... akkuuu... akhhh aku mau... keluaarrrghhh... ahhhh!!!” Lidya mengerang dengan hebatnya. Menjemput sensasi orgasmenya yang cukup lama tidak ia rasakan. “aku jugaaarghhhh ough... ough... ahhh... ughhh!” disusul olehku. Menyemburkan calon-calon anaku di vagina Lidya, yang semoga saja tidak dilahirkan 9 bulan 10 hari kemudian.

Helaan nafas kami saling bersahutan. Kami cukup kelelahan meski hanya sekejap melakukannya. “Tenang, sayang... hhhh... aku aman kok hari ini” ucap Lidya dan langsung ku cium bibirnya. Beberapa menit kemudian kami kembali merapikan diri masing-masing.

-o00o-​


Saat ini Lidya menggelayut manja di pundakku. Kami duduk di ruang tunggu. Ia tidak peduli dengan sekitar, bahkan ia tak mempedulikan tatapan orang yang berlalu lalang di depan kami.

“Kamu kok bisa ke sini sih? Kan kamu nggak punya tiket” tanyaku ingin tahu. “Kata siapa, nih...” Ia mengeluarkan tiket pesawat menuju Yogyakarta. Keberangkatannya beberapa jam setelah aku boarding.

“Jogja? Mau ke mana kamu?” aku makin ingin tahu

“Kasih tahu nggak yaaaa...” goda Lidya

“Kamu kan nggak punya saudara di Jogja. Sayang duit, dek...” Sungutku.

“Emang, lagian aku punya kok saudara di Jogja, lebih dari saudara malah” pernyataan Lidya semakin membuatku bingung. “Siapa?”

“Calon mertuaku hihihi”

Ah, rupanya ia akan bertemu keluargaku. “Emang udah kasih tahu keluargaku?” tanyaku lagi. “Udah. Sebelum ke sini, aku telpon ibu kamu. Dan Ibu kamu udah nggak sabar ketemu aku” ucapnya girang. “Ihhh ke ge-eran kamu” ejekku sambil merusak tatanan rambutnya.

“Iiiiih! Jangan dirusakin rambut aku” geramnya

“Kamu mau berantakan juga cantik kok”

“Halah gombal!”

“Tapi suka kan?”

“Nggak... nggak salah”

Lidya pun masuk kedalam pelukanku. Makin berat aku berpisah dengan cintaku ini. “Eh tapi, kok kamu tahu toilet tadi? Kayaknya jarang ada orang ke sana” selidikku. “Coba tebak, siapa yang kasih tahu?” balas Lidya. Tidak mungkin orang itu. Cepat cepat aku ambil ponselku dan terdapat notifikasi chat yang belum terbaca. “Gimana bro? Enak gituannya? Kasih tahunya kalo udah di Amerika aja hahahaha” tulis Kang Angga. Aku hanya tersenyum kecut. Yang pasti akan ku balas kebaikkannya sekembalinya aku ke Indonesia.

“Lho, kamu kenal kang Angga dari mana?” kembali aku bertanya “nanti juga tahu sendiri. Nggak jauh-jauh dari kita kok hehe” jawab Lidya. Aku kembali merengkuhnya ke dalam pelukanku.


-o00o-​

Sudah hampir menuju waktuku boarding. Dan Lidya menemaniku menuju boarding gate-ku. Tak lepas tangan kami bergandengan. Perlahan kami berjalan menikmati momen-momen terakhir kami. Dan sampailah kami di boarding gate kami.

“Ya, udah sampai nih kita” ucapku. “Iya.” Singkat Lidya menjawab. “Kita memang jauh secara fisik, tapi hati kita akan selalu dekat. Jangan sedih ya? Aku mau kamu bahagia terus. Singkat kata, aku bahagia kalau kamu bahagia” ucapku menenangkannya.

Lidya tersenyum dan tak mampu menahan air matanya “Aku bakal kangen kamu” ucapnya seraya memelukku. Aku pun membalas pelukannya, ku nikmati momen ini sedetil mungkin. Akan aku hafal aroma parfumnya, suasana ini, tempat ini. Semuanya. Suara pengeras suara menghentikan pelukan terakhirku sebelum aku berangkat. “Tuh, kamu udah dipanggil buat boarding. Buruan sana” kata Lidya sedikit mendorongku sambil menyeka air matanya. “Huffft... aku berangkat dulu ya? Jangan nakal” candaku namun tidak dengan hatiku. “Kebalik! Aku yang harusnya bilang gitu” rengek Lidya. Ku kecup kening Lidya dan ku susul dengan kata pertama yang aku pakai pada Lidya...

“Aku Cinta kamu” ujarku singkat.

“Aku juga cinta kamu...” sambung Lidya.

Aku berjalan menuju gate, memberikan boarding pass dan passportku pada petugas. “Silahkan mas, selamat menikmati perjalanan anda” ucap sang petugas. Aku melambaikan tangan pada Lidya yang disambut dengan senyuman. Akan aku ingat senyum itu. Sebagai penawar rindu di saat kami berjauhan. Kami pun saling memunggungi. Berjalan saling menjauh. Untuk pergi meraih mimpi masing-masing. Namun kami pergi untuk kembali. kembali untuk bertemu.

Kini aku sudah ada di dalam pesawat. Perlahan pesawat mulai lepas landas. Ketinggian naik sedikit demi sedikit hingga kami diizinkan untuk melepas seat belt. Dari jendela pesawat ku lihat kota Jakarta dengan segala gemerlap lampu. Indah, namun tak seindah kekasihku, Lidya. Dari kejauhan nampak letupan kembang api warna-warni, menghiasi langit malam Jakarta.

Dan seketika aku sudah merindukan dia. My fiery fireworks.

Lidya Maulida Djuhandar... tunggu aku kembali.



THE END (?)
 
Terakhir diubah:
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd