#PoV Yuda#
The Continental. Itulah nama tempat ini. Aku tak tahu tentang sejarah tempat ini tapi di sini hampir semua pembunuh profesional ada. Aku membaca arsip para pembunuh profesional yang disebut dengan THE PROFESIONAL. Listnya bisa dengan mudah aku baca, karena ada sebuah buku yang bisa aku baca di sini. Mereka para pembunuh profesional dari awal sampai akhir. Salah satu pembunuh profesional yang paling disegani adalah WHITE WOLF. Hmm?
Kenapa disegani? Hampir semua korbannya mati secara wajar. Dan dia 100% menyelesaikan seluruh misinya. Kabarnya ia menghilang begitu saja. Tak meninggalkan apa-apa. Tak ada kabar berita. Tidak ada sama sekali. Aneh.
Bicara mengenai organisasi ini cukup unik. Ternyata tidak semua yang ada di pikiran orang-orang mengenai pembunuh bayaran itu benar. Mereka ternyata banyak yang ramah, banyak yang sikapnya biasa. Tidak seperti orang-orang yang ada dalam pikiran kita selama ini bahwa pembunuh bayaran itu pasti bengis, kejam, mengerikan. Tapi meskipun begitu ada sisi kesamaan di dalam diri mereka, sisi psikopat. Aku tak tahu seberapa psikopatnya mereka.
Bangun tidur aku mendapati Azkiya ada di bawahku. Aku terkejut karena menyadari bahwa kepalanya naik turun dan bibirnya mengelamuti kepala pionku. Uugghh...
"Azkiya, bukankah ini cuma satu malam?" tanyaku.
"Nggak ngaruh lagi," katanya.
"Ohhh...," desahku.
Lidahnya menstimulus kepala pionku, seketika itu listrik ribuan watt langsung membuat seluruh syarafku menegang. Darahku berdesir turun ke bawah, membuat penisku makin mengeras. Azkiya tampaknya tak peduli dengan mengerasnya batangku. Ia terus menjilati kepala pionku dan menggigit-gigit kulit batangku. Hingga kemudian ia menyapukan lidahnya ke pangkal penisku. Ia juga menjilati bola-bolanya. Aku melayang.
Ohh...aku mencintainya. Azkiya menghisapi buah dzakarku, lidahnya digerakkan memutar, aku makin lemas. Aku tak tahu kapan ia sudah melepaskan bajunya, aku juga sudah telanjang di atas ranjang. Aku jadi ketagihan berbuat mesum kepadanya.
"Enak ya?" tanyanya.
"Iyalah," jawabku. "Katanya just one night stand?"
"Aku tak tahu," katanya. Ia pun merangkak dan kini menindihku. Ia memegang batangku dan memposisikannya agar masuk ke lubangnya.
SLEBBB
"Ahhh...," kami menjerit bersamaan. Azkiya ambruk ke dadaku dan menciumi bibirku.
"Yuda, aku tak ingin berhenti mencintaimu. Aku bingung," katanya. "Jadilah kekasihku sekalipun itu hanya sesaat ya?"
"Aku akan jadi kekasihmu selamanya," kataku.
"Tidak, kamu ada Han Jeong. Jangan! Biarkan aku menikmati hubungan ini, sekalipun cuma sebentar," katanya.
Aku membelai rambutnya. Pantat Azkiya bergerak-gerak dengan otomatis. Aku pun makin keenakan dibuatnya. Apalagi liang senggamanya sangat seret. Kalau dipikir-pikir berarti selama ini ia tak pernah melakukan hubungan seks kecuali dengan sang dokter itu. Aku pun bangkit lalu duduk. Aku suka dengan posisi ini, duduk memangku dirinya. Azkiya menyerahkan buah dadanya kepadaku.
Aku tak menyia-nyiakannya, tangan kiriku menopang punggungnya tangan kananku meremas dada kirinya, lalu aku sudah mengenyot putingnya. Azkiya mendesis. Pantatnya naik turun menggesek kemaluanku. Rasanya tak ada habisnya kita bercinta. Aku bergairah sekali dengan perlakuannya, mungkin dia juga. Azkiya melingkarkan tangannya dileherku dan makin erat memelukku. Aku sampai tak bisa bernafas karena tekanan buah dadanya itu.
Hari sudah mulai siang, sinar matahari pun sudah mulai menyengat dan masuk melalui celan tirai jendela yang sedikit terbuka. Tapi di dalam kamar ini dua insan yang sedang dimabuk birahi sedang menikmati kebersamaan mereka. Azkiya makin cepat menggesek kemaluanku, hingga akhirnya dia menjerit kecil sambil menghisap leherku. Dia orgasme. Semburan cairan bening keluar dari kemaluannya, meninggalkan bau semerbak yang menggairahkan.
"Kamu belum ya Yud?" tanyanya.
"Kamu capek?"
Azkiya mengangguk.
"Ya sudah, kita lanjutkan nanti," kataku.
Azkiya menggeleng.
"Aku tiduran aja ya?" katanya. Aku kemudian membaringkannya. Setelah itu aku genjot dia. Aku percepat gerakanku karena aku tahu dia kelelahan karena aktivitas tadi malam. Azkiya menjerit ketika sodokanku benar-benar cepat, rangsangan-rangsangan yang diterimanya membuat dia melayang. Ia memejamkan mata, kepalanya bergerak kiri kanan. Dadanya yang besar itu naik turun, ohh...aku bergairah sekali. Pionku rasanya mau muntah.
"Azkiya...aahh...aku mau nyampe," kataku.
"Yudaa...aahhh...aahhh...ayo Yuda, semburkan....aku terima!" katanya.
CROOOTTT! CROOTTT!
Sedikit, tapi sungguh nikmat. Mungkin karena kantongnya habis karena sudah aku pakai tadi malam sehingga kedutannya hanya beberapa kali saja. Itu saja sudah cukup nikmat. Kami berdua orgasme bersamaan lagi. Aku masih membenamkan kemaluanku. Nikmat sekali persenggamaan ini, aku belai rambut Azkiya yang berantakan, keringatnya mengucur. Sebuah senyuman manis tersungging di bibirnya.
"Makasih Yud," katanya. Perlahan-lahan aku mencabut kemaluanku. "Aw..!"
"Mandi yuk?!" ajakku.
Kami pun bangkit walaupun dengan tubuh sempoyongan. Mungkin karena kami masih berjiwa muda. Baru masuk kamar mandi dan menyalakan shower, kami bercinta lagi di sana. Aku serang dia dari belakang, sambil dengan gemas aku remas kedua buah dadanya. Setelah persenggamaan di kamar mandi berakhir kami pun sarapan di restoran di bawah.
******o******
"Maaf, Nona Azkiya?!" sapa Silbi.
"Ya? Ada apa Silbi?"
"Tuan Bram sudah ada di ruang kerjanya, kalau kamu ingin menemuinya," kata sang resepsionis itu dengan sangat sopan.
"Baiklah, setelah ini aku akan menemuinya," kata Azkiya.
"Enjoy the breakfast," dia membungkuk sebelum beranjak.
Kami buru-buru menghabiskan makanan yang ada di meja. Sebenarnya tidak bisa disebut sarapan. Karena kami makan makanan berat. Hehehe. Mau gimana lagi tenaga kami benar-benar habis. Setelah perut kenyang dan energi kami pulih. Azkiya mengajakku ke sebuah tempat di lantai bawah tanah. Ruangannya agak tersembunyi namun bisa dijangkau. Setelah melewati tempat laundry dan mesin pendingin kami berada di depan pintu besi yang tertutup.
Azkiya mengeluarkan koin emasnya dan memasukkannya ke dalam sebuah lubang. Tiba-tiba dari lubang pintu bergeser sebuah celah. Seseorang botak dengan sorot mata menyelidik melihat kami berdua. Ia lalu menutup celah itu. Tak lama pintu pun terbuka.
Ini sebuah bar. Ya, sebuah bar. Itulah yang aku lihat ketika masuk ke tempat ini. Musik-musik retro terdengar dengan penyanyi cewek bersuara merdu. Aku melihat lampu warna-warni dan pelayan-pelayan yang lalu lalang memberikan minumannya ke para tamu. Melihat Azkiya dan aku masuk ke ruangan semua mata tertuju kepada kami.
Dengan santai Azkiya berjalan melintasi meja menuju ke sebuah sofa tempat seseorang memakai kacamata minus sedang mencatat di kertas dan memainkan gadgetnya. Azkiya kemudian duduk di sofa, aku ikut duduk di sampingnya.
"Azkiya, The Red Assasins. Apa kabar?" sapa orang ini. Apakah dia ini Bram?
"Halo Bram. Aku baik. Masih sibuk ngurusi pajak?" tanya Azkiya.
"Begitulah kamu tahu sediri, pemerintahan sekarang ini agak susah. Aku harus benar-benar mengatur bagaimana mereka tidak bisa mengendus keberadaan organisasi. Soalnya kalau sampai mereka tahu, bisnis bangkrut dan dunia assasins akan...buuummmss!" Bram mengisyaratkan jarinya seperti bom meledak.
"Ini!" Azkiya menyerahkan sebuah dokumen kepada Bram.
"Oh, aku lupa soal ini. Baiklah," kata Bram. "Berarti orangnya masih hidup?"
Azkiya mengangguk.
"Tumben, tapi aku tahu kamu akan memilih untuk tidak membunuhnya, karena bayaran dokumen ini lebih besar," Bram pun menerima dokumen yang diberikan oleh Azkiya. "Siapa dia?" Bram melirik ke arahku. Tangannya masih aktif menulis di kertas.
"Ini temanku. Dia membantuku," jawab Azkiya.
"Termasuk teman tidur kah?"
"Bisa juga," jawab Azkiya sambil tersenyum.
"Reputasimu luar biasa akhir-akhir ini. Para klien sangat senang. Dan itu artinya penghasilanku bertambah. Tentu saja anak dari Serigala Gurun, tak akan ada yang bisa mengalahkan reputasinya. Bagaimana kabar ibumu?" tanya Bram.
"Beliau baik-baik saja. Sebenarnya aku ingin bicara masalah bisnis denganmu," kata Azkiya.
"Oh, katakan!"
"Aku ingin berhenti."
Tangan Bram akhirnya berhenti menulis. Dia menoleh ke arah Azkiya. "Berhenti?"
"Iya, berhenti. Quit. Ends," kata Azkiya.
"Tunggu dulu Azkiya, ini terlalu mendadak. Kau tahu itu? Kamu sadar apa yang kamu katakan?" tanya Bram.
"Sadar sepenuhnya."
"Kenapa?"
"Aku ingin cari uang dengan cara lain."
"Cari uang dengan cara lain? Yang benar saja? Di sini kamu dapat uang banyak. Mau bagaimana? Jadi karyawan, usaha sendiri? Yang benar saja. Kamu itu aset di sini segala yang kamu butuhkan ada!"
"Aku tahu itu Bram, tapi aku ingin pensiun. Tak ada yang bisa mencegahku."
Bram mendesah. Ia meraih gelas tequila yang ada di mejanya. Ia teguk habis tequila itu, kemudian ia letakkan gelasnya. Tampak raut wajah tak suka terpancar dari Bram. "Tak ada yang bisa mencegahmu? Kamu tahu? Aku menghabiskan banyak untuk bisa melejitkanmu sampai sekarang. Dan masih ingat, kita punya kontrak. Jangan katakan kamu lupa akan kontrak itu."
Azkiya menghela nafasnya.
"Kenapa? Kontrak apa?" tanyaku.
"Kontrak bahwa dia harus memberikan 5.000 koin kalau ingin mengundurkan diri dari The Continental," jawab Bram.
"Itu benar," kata Azkiya.
"Itu namanya gila, pemerasan!" kataku.
"Pemerasan? Kamu kira semua pembunuh bayaran di sini gratis mendapatkan fasilitas ini? Mereka juga punya asuransi dan aku juga punya asuransi. Jaminannya adalah kalau seseorang pembunuh bayaran pensiun maka dia harus memberikan jamina kepada kami 5.000 koin. Kamu punya berapa koin?" tanya Bram.
"4.300 koin," kata Azkiya.
"Nah, tinggal sedikit lagi, tapi rasanya tidak bisa ya? Kamu harus membeli jantung buatan buat ibumu. Sayang sekali. Artinya kontrak kita masih lama lagi," Bram tersenyum.
"Tidak bisakah dinego?" tanyaku.
"Tidak, itu sudah keputusan kita. Semuanya menandatangani kontrak yang sama. Kamu bisa tanya seluruh pembunuh bayaran yang ada di tempat ini," kata Bram.
"Kalau tidak membayar?" tanyaku.
Bram mengerutkan dahinya. Ia melihat ke langit sambil menggaruk-garuk dagunya. "Ngomong-ngomong soal tidak membayar. Ada satu orang yang tidak membayar 5.000 koin. Dia cukup terkenal kalian mungkin tahu White Wolf."
"Assasin nomor satu?" gumamku.
"Ya, dia menghilang begitu saja. Tapi sebenarnya tidak menghilang. Dengan dia tidak membayar jaminan aku terpaksa menggunakan sesuatu yang tidak aku suka, aku membayar harga tinggi untuk bisa membunuhnya. Sebab memang tak ada yang sanggup mendekati White Wolf, maka aku tugaskan seseorang dengan kapasitas yang sanggup untuk membunuh White Wolf. Aku palsukan datanya menghack ke sistem NIS dan menugaskan agen terbaik mereka untuk menghabisi White Wolf. Hasilnya cukup memuaskan kepalanya hancur di Syberia. Kalau White Wolf yang tak bisa didekati saja bisa aku habisi, kenapa tidak bagi kalian? Jadi pikir baik-baik."
Aku menelan ludah. Aku berurusan dengan orang yang salah sepertinya.
"Jadi, mengundurkan diri?" tanya Bram dengan nada mengejek.
"Aku tetap mengundurkan diri," kata Azkiya. "Karena, aku sudah berjanji kepada seseorang."
Aku menoleh ke arah Azkiya. Dia serius, tatapan matanya benar-benar serius.
"Bayar saja 5.000 koin kalau begitu," kata Bram. "Aku akan melepaskanmu sesuai kontrak."
Aku tahu Azkiya sangat membutuhkan uang itu. Dan tak akan mungkin ia menyerahkannya. Aku lalu menggebrak meja Bram. Bram terkejut, Azkiya juga. Bahkan orang-orang yang berjauhan dari Bram pun terkejut. Mungkin mereka tak ada yang berani melakukan hal seperti yang aku lakukan. Apalagi kulihat dia orangnya sangat berkuasa di sini.
"Aku berjanji kepadamu Bram, kalau kamu tidak mengijinkan Azkiya mundur. Aku akan menghancurkan The Continental," kataku.
Bram tertawa terbahak-bahak. Cukup lama ia tertawa. Hingga air matanya keluar.
"You're fucking idiot. Memangnya kamu siapa? Kita tidak mengenal dirimu. Menghancurkan The continental?? Kamu perlu berpikir selama seribu tahun di rumah sakit jiwa anak muda. Sudahlah, pergi sana. Kumpulkan 5.000 koin lalu datang kembali kemari," kata Bram sambil menghapus air matany.
"Yuda, ayo pergi!" ajak Azkiya.
"Aku sungguh-sungguh," kataku. Aku melepas kacamata Bram, kemudian aku jatuhkan ke lantai kemudian aku injak hingga pecah.
Bram menatapku tajam. Dia tampaknya tidak suka. Sama, aku juga tidak suka.
"Kamu sudah melakukan kesalahan anak muda!" kata Bram.
"Maaf Bram, ayo Yud pergi!" kata Azkiya.
"Aku tak akan pergi sebelum kamu mengijinkn Azkiya mengundurkan diri," kataku.
Bram memberikan isyarat dengan menepuk tangannya tiga kali. Seketika itu semua orang berhenti melakukan aktivitasnya. Lagu-lagu yang dimainkan berhenti, semuanya tiba-tiba pergi mereka menyingkir. Berbondong-bondong semuanya pergi meninggalkan tempat mereka, keluar dari bar ini. Aku menoleh kiri kanan menyaksikan semua orang pergi. Dan sekarang setelah ruangan kosong masuklah beberapa orang, bukan beberapa tapi banyak sekali dan mereka semua mengitari kami. Semuanya memakai baju hitam dan armor. Sebuah helm hitam juga dikenakan. Di tangan mereka ada senapan yang sudah siap ditembakkan.
"Kamu telah melakukan sebuah kesalahan yang tak bisa dimaafkan," kata Bram.
"Yuda kamu tak perlu melakukan ini!" kata Azkiya.
"Aku perlu," kataku.
Aku tak sengaja menggerakkan kedua tanganku sehingga menyilang. Kedua gelang di tanganku bereaksi.
biip bipp biippp biipp!
Lampu indikatornya yang berwarna merah mulai menyala. Eh? Apa ini? Semuanya melirik ke arahku. Aku sendiri kebingungan sambil melihat ke arah gelangku. Azkiya apalagi.
"Apa itu Yud?" tanyanya.
"Itu bom?" gumam Bram.
"Sepertinya, karena aku terbangun dan ini tak bisa dilepas," jawabku jujur.
Seketika itu Bram dan yang lainnya mundur, kecuali Azkiya.
"Kamu bodoh Azkiya membawa seseorang dengan bom di tubuhnya," kata Bram.
"Hei, aku tak tahu!" kata Azkiya.
"Aku juga tak tahu dan tak yakin ini bom," kataku.
Tiba-tiba saja seolah-olah di dalam ruangan itu aku berada di atas angin. Bram mulai ketakutan. Oleh sesuatu yang dianggapnya "bom". Aku iseng membolak-balikkan gelang itu. Sampai kemudian aku menekan tombolnya dan menyatukannya.
Stand by! GNOME CHANGE!
"Hah? Gnome Change?!" gumamku. "Eh, bisa bunyi ternyata. Gitu toh cara mengoperasikannya."
Tiba-tiba tubuhku diselimuti cahaya putih, seketika itu juga tubuhku terasa berat dan aku sudah memakai sesuatu. Ada helm dan tubuhku terbungkus oleh sebuah armor. Bram terbelalak melihatku. Azkiya juga.
"Yud? Ini apaan?" tanyanya.
"Kamu tanya? Aku juga tak tahu," jawabku. Aku melihat tubuhku sendiri. Meraba wajahku. Aku memakai helm khusus tapi aku bisa melihat semuanya.
"Apa kabar Yuda?" kata sebuah suara.
"Siapa?" tanyaku.
"Aku adalah Ai, Artificial Intelegence yang ditanamkan di armor ini, engkau menamaiku itu. Dari sensorku mengatakan bahwa kamu mengalami cedera berat di kepala. Aku juga melihat bahwa engkau mengalami amnesia," kata Ai.
"Hah? Aku ini sebenarnya apa?" tanyaku.
FLASH UP!
Aku kaget ketika mendengar suara Ai seperti itu. Tiba-tiba semuanya aneh, sangat aneh. Seluruh orang mematung. Apa yang sedang terjadi?
"Kamu dalam mode Flash up. Mode ini akan membuatmu bergerak melebihi kecepatan supersonik. Di sini kita bisa bergerak lebih cepat dari siapapun. Melihat detak jantungmu yang cepat sepertinya kamu mengalami kesulitan. Jadi mode ini aku aktifkan otomatis. Melihat keterjutanmu sekarang sepertinya aku akan menceritakan siapa dirimu."
"Hmm...ii..iya, silakan."
"Engkau adalah Yuda Zulkarnain anak dari seorang Arczre Voljic Zulkarnain mantan anggota divisi Tangan Malaikat. Engkau sekarang memakai sebuah sistem yang disebut Gnome Soldier. Kita menyebutnya Gnome-X. Ini adalah baju tempur organik yang dengan memakainya engkau akan memiliki kekuatan yang tidak pernah engkau bayangkan sebelumnya. Engkau pernah membaca manualnya dulu, dan karena sekarang engkau mengalami amnesia, maka sepertinya kita tak punya waktu untuk berlatih lagi."
"Aku ingin tahu kenapa aku sampai mendapatkan amnesia."
"Aku menyimpan seluruh pertarungan terakhirmu. Kamu bisa melihatnya di layar display."
Di layar display aku melihat sebuah video.
Di video aku melihat monster besar seperti cumi-cumi lalu aku memukulnya. Wow, sampai monster itu terdorong hingga masuk ke dalam air. Kemudian ada seseorang yang terbang. Seorang wanita memakai armor berwarna hitam. Dia memukulku. Pukulannya sepertinya tak bertenaga, aku memegang kedua lengannya.
"Han Jeong, ini aku Yuda!" terdengar suaraku.
"Y...Yuda? Kamu Yuda??" tanyanya. Han Jeong? Apakah dia kekasihku yang diceritakan oleh Azkiya. Kenapa dia menyerangku?
"Ini aku sayangku. Ini aku,"
"Yuda...? Iya, kamu Yuda,"
"Inilah jawabanku Han Jeong. Biarkan aku menolongmu sekarang, sayangku maafkan aku selama ini. Aku tak bisa melindungimu, aku mungkin tak pernah sedikit pun mengerti dirimu. Setiap kita bertemu, kita selalu bertengkar, tapi ternyata aku baru tahu kalau kekasihku adalah seorang pahlawan. Dan aku sangat bangga sekali punya kekasih seorang superhero."
"Yuda..."
"Aku akan menyelamatkanmu. Aku berjanji."
"Aku percaya kepadamu, Yuda."
Di layar video aku melihat tanganku melepaskan pegangannya wanita itu memukulku. Tapi aku tak bergeming. Sebuah pedang menyerangku, tapi pedang itu rapuh dan hancur.
"Han Jeong, maaf. Tapi aku harus merusak belt ini," kataku.
Direkaman itu aku memegang belt Han Jeong, lalu aku remas beltnya. Seketika itu armor yang menyelimuti Han jeong menjadi debu. Aku memeluk Han Jeong. Wajah Han Jeong terlihat bercucuran air mata. Dia memelukku erat. Tiba-tiba air mataku meleleh. Diakah Han Jeong? Kenapa aku menangis?
"Yuda....aku mencintaimu," bisik Han Jeong.
"Ayo, kita cari tempat yang aman buatmu," kataku.
Han Jeong mengangguk.
"Syukurlah Han Jeong selamat!" seru sebuah suara. Aku tak kenal suara siapa itu.
Adegan berikutnya aku terbang kemudian menurunkan Han Jeong di atas sebuah gedung yang tinggi. Aku menurunkan tubuhnya di atas gedung itu.
"Ini gedung kakekmu bukan?" tanyaku.
Han Jeong mengangguk.
"Hana, aku turunkan Han Jeong di gedung M-Tech, jemput dia ya!?" kataku.
"Beres, Om Hiro! Han Jeong ada di gedung M-Tech!" kata suara wanita tadi yang aku panggil Hana. "OK, Om Hiro sedang menghubungi kakek. Yuda, bereskan monster itu!"
"OK," aku melepaskan bentuk Gnome-X.
Videonya berhenti sampai di situ. Aku bingung.
"Sampai di sini?" tanyaku.
"Sebagian rekaman videonya rusak karena terkena radiasi gelombang elektromagnetik yang terjadi ketika engkau mengalahkan monster laut itu. Ini video yang bisa aku selamatkan karena engkau berubah menjadi manusia sebelum berangkat mengalahkan monster itu."
"Wanita yang ada di video itu, siapa?"
"Dia Jung Han Jeong, kalian terlibat hubungan asmara. Dan sepertinya serius."
Ini sebabnya mataku berkaca-kaca. Walaupun aku hilang ingatan tapi sepertinya hatiku tidak. Hatiku masih mengingatnya. Arggh...apa yang sudah aku lakukan. Tapi...aku juga menyayangi Azkiya. Aku mencintai dia. Ternyata ini yang dia katakan kepadaku, aku sangat mencintai Han Jeong. Tapi aku tak ingat. Aku tak ingat. Han Jeong, seberapa dalam inikah rasa cintaku kepadamu? Bahkan sekalipun aku tak ingat melihat wajahmu saja hatiku bergetar, entah tiba-tiba saja di dadaku ada rasa kerinduan yang sangat dalam.
Aku melihat sekeliling. Semuanya bergerak dengan sangat lambat. Aku berada dalam kecepatan supersonik. Aku melihat wajah Azkiya, kenapa ini semua bisa terjadi? Aku juga mencintai dia. Aku menghela nafas.
"Ai, selamatkan Azkiya dari tempat ini dan.....hancurkan The Continental. Serta ajarkan aku cara memakai baju tempur ini. Kamu bisa?" tanyaku.
"Dengan senang hati.
AUTOPILOT MODE ON! FLASH OFF!"
Aku tiba-tiba dalam kecepatan normal. Semua orang kecuali Bram dan Azkiya menodongkan senjatanya ke arahku. Well, apakah akan terjadi rumble di gedung ini?
"Pelajari baik-baik Yuda, aku tahu kamu pintar. Kamu bisa belajar dari mode AUTOPILOT ini," kata Ai.
"Kamu yakin mau nembak aku?" tanyaku kepada Bram.
"Kenapa tak yakin?"
"Karena pelurumu tak ada apa-apanya buatku," kataku.
Tubuhku bergerak sendiri. Aku segera merangkul Azkiya. Dengan kecepatan super aku terbang ke atas, menjebol lantai demi lantai Hotel The Continental. Aku sudah ada di atas melayang-layan di udara sambil mendekap erat Azkiya. Dia agaknya keheranan melihatku seperti ini. Memakai armor, terbang dan memeluknya. Seperti Clark Kent dan Louis Lane.
"Yuda, kamu keren!" kata Azkiya.
Masih dalam mode Autopilot, kuturunkan Azkiya ke bawah. Semua orang yang melihatku terkejut mereka tentu saja kaget melihat seorang dengan kostum armor keren menurunkan seorang cewek cakep dan seksi seperti Azkiya. Kemudian terbang lagi ke udara. Tubuhku melayang jauh kemudian dengan cepat memukul-mukul dan menghancurkan tembok hotel The Continental ini. Dari dalam gedung Hotel puluhan orang menembakiku. Mereka memberondongku dengan senjata-senjata berat.
Tapi armor Gnome-X ini benar-benar kuat. Aku bisa menjebol tembok, menghancurkannya dan akhirnya para penghuninya berhamburan keluar karena aku benar-benar merobohkan hotel ini. Tapi aku bergerak sendiri, mode autopilot ini mengajarkanku cara untuk bergerak dan yang terakhir aku mencabut sesuatu di punggungku, seperti pedang.
"Ini namanya Gnome Blade. Satu saja kamu cabut kekuatannya sangat besar. Silakan bersenang-senang. Aku akan mematikan mode Autopilot. Kamu sudah mengerti cara mengoperasikannya bukan?" tanya Ai.
"Oke, aku mengerti Ai," jawabku.
ZAAAAAAASSSHHH!
Pedang yang aku cabut dari punggungku itu memancarkan cahaya yang sangat panjang. Sekuat apakah pedang ini bisa aku gunakan?
WUUUZZZ!
Aku mengayunkannya ke arah bangunan hotel. Tak perlu ditanya lagi bangunan itu hancur seketika. Debu pun mengepul bersama berhamburannya puing-puingnya. Aku pun turun ke tanah lagi, berdiri di depan hotel sambil menyimpan kembali pedangku di punggung.
"Yudaaa!" Azkiya berlari-lari kecil menghampiriku. "Kamu kereeeeennn!"
"Oke Ai, bagaimana cara untuk melepaskan armor ini?"
"Kamu tinggal menekan tombol yang ada di tengah gelang itu. Hal itu akan membuat aku juga tidak aktif," kata Ai.
"Oh, jadi kamu hanya aktif ketika aku mengaktifkan armor ini ya?" tanyaku.
"Precisely," kata Ai.
"Apakah gelang ini bisa dilepas?" tanyaku.
"Bisa. Kamu tinggal melepaskan Locked Mode. Yang ada di pinggiran gelang itu. Ada sebuah tombol kecil yang apabila kamu tekan maka gelang ini akan terlepas," jelas Ai.
"Oh, seperti itu ternyata. Thank's Ai. Aku akan menjadi manusia biasa dulu," kataku.
"Ok bye."
Aku tekan tombol di gelangku. Sebuah cahaya menyelimutiku lagi dan tubuhku terasa ringan lagi. Aku kembali menjadi manusia. Fiuh...Azkiya langsung memelukku hingga boobsnya menekan bahuku. Aku tersenyum kepadanya. Orang-orang tampak panik melihat hancurnya Hotel The Continental. Aku mendekat ke Hotel Continental. Tampak di tengah reruntuhan gedung itu Silbi tetap berdiri dengan tenang di meja resepsionisnya.
"Oh, Azkiya. Maaf kalau sedang ada kekacauan di tempat ini. Jangan khawatir kami akan memberikan kompensasi atas ini," ujar Silbi.
"Terima kasih, Silbi," jawab Azkiya.
"Aku sepertinya harus mencari pekerjaan baru, dengan hancurnya hotel ini rasanya memang waktuku sudah harus pindah," sambung Silbi.
Lelaki itu mengambil kopornya kemudian beranjak pergi di antara puing-puing tempat dia berdiri. Dia sama sekali tak panik, tak takut terhadap apa yang terjadi barusan. Hebat juga dia. Penasaran juga bagaimana dia sama sekali tak takut atau khawatir. Azkiya menggeretku masuk ke sebuah puing-puing lainnya. Dia kemudian mengambil sebuah kotak di antara reruntuhan itu.
"Apa itu?" tanyaku.
"Ini penyimpanan milik Bram," kata Azkiya. Dia membuka kotak itu. Aku melihat banyak sekali koin emas. Azkiya lalu menutupnya lagi. "Hihihihi, ayo kita pergi."
Aku tertawa melihat tingkahnya, kami pun pergi. Sebelum kami pergi tampak Bram merangkak dari puing-puing.
"Brengsek, aku akan mengejar kalian. Aku akan balas!" katanya.
"Coba saja, aku siap," kataku.
"Aarrrgghhhhhh!"
Azkiya dan aku menuju mobilnya kemudian kami pulang sambil membawa harta rampasan. Ya, kami anggap kotak berisi koin emas ini adalah harta rampasan. Dengan begini Azkiya bisa membeli jantung artificial buat ibunya. Dia sangat gembira sekali. Tapi yang pasti The Continental tidak akan tinggal diam terhadap kami. Mereka tahu siapa kami dan akan mengejar kami setelah ini.
(bersambung....)
Next chapter Hana & Ryu, bagaimana kehidupan mereka setelah Second Impact?
Stay tuned next update.