Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
Part 17. Perkelahian di Klub

Malam ini Sari tampak gugup di depan cermin. Ia mengoleskan lipstik tipis di bibirnya. Dengan hijab syar'i dia bersiap untuk menemui seorang lelaki yang tidak ia harapkan untuk bertemu. Tetapi tidak ada pilihan lain karena dia sudah bertekad untuk menyelamatkan karir Randy.

Benda pipih yang ia letakkan di atas meja rias berdering. Ia tahu siapa yang menghubunginya. "Halo, assalamualaikum?"

"..."

"Iya pak, saya sudah siap."

"..."

"Emm...iya mas," ralat Sari. Sepertinya di balik telepon itu pria yang sedang menelponnya tidak ingin dipanggil pak melainkan mas.

"..."

"Iya saya sudah tau tempatnya. Saya akan ke situ sekarang juga." Sari menutup telepon itu.

Dia bergegas keluar dari kamar namun langkahnya terhenti ketika mendengar Pram berbicara. "Kamu mau kemana dek? Udah malem loh ini." Sari menoleh ke arah ranjang mereka. Ternyata Pram terjaga dan melihat Sari sedang merias diri barusan.

"Mau ada acara pengajian di pesantren mas," ucapnya berbohong. Pram mengangguk. "Hati-hati di jalan ya..."

"Iya mas." Sari kemudian melanjutkan langkahnya keluar menemui sopir taksi online yang sudah sampai di titik jemput.

Mobil melaju ke tempat yang ditunjuk oleh Ginanjar. Berkali-kali hatinya berkata ragu walau saat di rumah ia sudah meyakinkan dirinya. Dia menyayangi Randy, dia harus melakukan apapun untuk menyelamatkan Randy. Apalagi Randy seperti ini juga karena telah menyelamatkannya.

Tiga puluh menit perjalanan akhir Sari sampai tujuan. Dia melihat gedung yang tinggi menjulang. Itu adalah apartemen yang ditinggali oleh pria itu.

Sari berjalan menuju ke ruangan Ginanjar. Saat berada di depan pintu itu, dia langsung disambut oleh lelaki paruh baya itu. Dengan senyuman yang memuakkan dia menarik Sari untuk masuk ke dalam.

Tubuh Sari bergetar karena di dalam sana hanya ada mereka berdua. Sari tahu dia tidak bisa mundur lagi sekarang. Tidak akan ada lagi yang menolongnya. Dia tidak akan menghubungi Randy lagi kalau terjadi apa-apa dengannya malam ini.

"M...maaf pak Ginanjar." Pria itu melihat tidak suka kepada Sari. "M...maksud saya mas Ginanjar." Barulah dia tersenyum setelah Sari meralatnya.

Ginanjar mendekati Sari seraya mengambil tangan kanan wanita itu lalu diangkat ke atas. Lelaki itu mencium lembut punggung tangan Sari sambil menatap wajahnya yang memerah.

"Keputusan yang baik, sayang..." ucap Ginanjar penuh kemenangan. Tangan Sari diturunkan.

"Maaf mas. Saya ke sini ingin membicarakan sesuatu, bukan melakukan sesuatu," ucap Sari dengan wajahnya melengos karena tangan Ginanjar hendak menyentuh pipinya.

"It's okay. Saya sudah tau apa yang mau kamu bicarakan. Tapi untuk mengabulkan permintaanmu itu tidak secara cuma-cuma. Kamu harus melakukan apa yang aku perintah sayang..." Suara itu terdengar menjijikan di telinga Sari. Tapi itu tidak akan memengaruhi keputusannya.

"Hanya untuk malam ini dan kita selesai. Jangan ganggu Randy lagi!" Sari bersuara dengan nada yang sedikit meninggi.

Ginanjar malah terkekeh mendengar ucapan Sari. "Saya malah ragu jika anda akan berhenti setelah melakukannya." Ginanjar melirik dengan seringai di wajahnya.

Sari muak! Sangat muak dengan lelaki paruh baya ini. Apa yang dimaksud berhenti setelah melakukannya? Apa yang dia maksud berhubungan seks dengan dirinya? Sari ragu jika Ginanjar mampu melampaui kemampuan Randy dalam urusan ranjang.

"Baiklah, lebih baik kita selesaikan sekarang juga. Saya tidak punya banyak waktu lagi!" Ginanjar berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ckckck...santai dulu sayang, malam kita masih panjang. Kita tidak akan melakukannya di sini," ucap Ginanjar santai. Mata Sari membulat. "Lalu?!"

"Nanti juga kamu tau." Ginanjar beranjak dari tempat dia berdiri menuju lemari pakaian. Diambilnya beberapa setelan baju yang nampak terlalu terbuka menurut Sari.

"Lepas jilbabmu lalu pakai ini." Sari melotot tidak percaya. "Apa-apaan ini? Saya gak mau pakai pakaian itu!" protes Sari.

Ginanjar melipat tangannya di depan dada. "Oke kalo gak mau gak papa. Besok saya pastikan sebuah surat cinta dari kepolisian akan mampir ke rumah Randy."

Sari terhenyak sesaat. Saat Ginanjar hendak memungut pakaian itu dari atas meja tiba-tiba Sari menahan lengannya. "Tunggu! Oke saya akan pakai itu. Jangan laporkan Randy ke polisi." Mendengar ucapan Sari, salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas.

Dengan terpaksa Sari masuk ke dalam kamar mandi dan memakainya. Sejenak dia menatap dirinya sendiri dari arah cermin. Dia bahkan tidak mengenali bayangan yang ada di hadapannya saat ini.

Rambut yang diikat kini ia gerai panjang. Dia menutupi belahan dadanya yang rendah dengan telapak tangan. "Ya ampun gak muat dadaku. Gimana kalo ada orang yang kenal aku?" Sari mencoba melihat cermin dari sudut pandang yang berbeda. "Aku aja gak kenal sama yang ada di depanku apalagi orang lain."

Berkali-kali Sari menarik turun dress itu yang jauh di atas paha mulusnya. Tapi memang ukurannya segitu, mau di tarik ke bawah berapa kali pun pasti akan naik ke atas lagi. Pahanya kini terlihat dengan jelas. Pasti laki-laki yang melihatnya akan ngiler dengan kemolekan tubuh Sari yang selama ini tersembunyi di balik pakaian yang tertutup.

Sari menarik nafasnya kasar. "Kenapa sih ada perempuan yang nyaman pake pakaian seperti ini?" gerutu Sari.

Wanita itu keluar dari kamar mandi. Ia menutupi belahan payudaranya dengan tangan kiri sedangkan celah pahanya dengan tangan kanan. Ginanjar yang melihatnya hanya bisa melongo karena keindahan tubuh Sari yang terawat itu begitu mempesona. Bahkan mungkin sang istri yang sedang berada di rumah juga kalah mempesona dibandingkan wanita yang ada di hadapannya itu.

"Cantik sekali," gumam Ginanjar. Dia mendekati wanita dewasa itu langsung memeluk pinggangnya membuat dia terhenyak.

Sari berusaha menahan jarak dadanya pada Ginanjar meskipun tubuh bagian bawahnya sudah saling menempel. Wajah Sari berpaling ke samping tidak ingin menatap mata lelaki yang sudah diselimuti nafsu itu.

Dengan bibir yang dimanyunkan Ginanjar mencium pipi kiri Sari. Wanita itu langsung menatap tajam ke arah Ginanjar. Jijik, ingin rasanya menampar lelaki yang kurang ajar itu tapi di sini Sari tidak memiliki kuasa. Akhirnya dia hanya diam menahan amarah.

"Ayo kita pergi sekarang." Ginanjar mengangkat sedikit lengannya untuk memberi isyarat kepada Sari agar menggandengnya.

Lagi-lagi Sari tidak punya pilihan untuk menolak. Dia menggandeng tangan lelaki paruh baya itu dengan enggan. "Kita mau kemana?" tanya Sari.

"Nanti kamu juga tau, sayang..." Seringai Ginanjar kembali terukir di wajahnya. Sungguh sebenarnya Sari sangat risih keluar ke tempat umum dengan memakai pakaian terbuka seperti ini. Sari hanya bisa menunduk sambil berjalan melewati orang-orang yang menatapnya tanpa berkedip.

"Aku melakukan ini semua demi Randy." Begitulah isi dalam hatinya. Randy terjebak dalam masalah ini karena dirinya dan Sari harus bertanggung jawab untuk itu.

Mereka berdua sudah berada di dalam mobil. Sekali lagi Ginanjar mengecup punggung tangan Sari dan memperlakukan wanita itu bag seorang ratu malam ini. Sari membuang muka ke arah samping. Dia sama sekali tidak terkesan dengan apa yang dilakukan oleh pria itu. Dia hanya ingin malam ini cepat berakhir dan Randy lepas dari bayang-bayang Ginanjar sesuai janji lelaki itu.

"Apa-apaan sih!" sentak Sari yang merasa kesal karena Ginanjar mengelus pahanya yang tersingkap sebagian.

"Kamu lupa ya? Malam ini kamu milikku," respon Ginanjar yang tidak suka dengan penolakan itu.

Sari mendelik. "Siapa yang bilang gitu?" Dia menyingkirkan tangan nakal Ginanjar dari atas pahanya. "Kita cuma mau negosiasi untuk mencapai kesepakatan."

Ginanjar menyeringai. "Iya, kita negosiasi dengan caraku. Kamu gak mau kan karir Randy hancur karena kamu?" Lagi-lagi Sari bungkam setelah mendengar nama Randy disebut-sebut.

Mereka sampai di tempat tujuan. Ginanjar membukakan pintu untuk ratunya malam ini. Sari menelan salivanya dengan susah payah. Beberapa laki-laki dan wanita berjalan berseliweran sambil saling merangkul. Penampilan mereka tidak jauh beda dengannya.

"Ayo sayang," ucap Ginanjar lembut sambil mengulurkan tangannya yang di terima oleh Sari. "Ini diskotik?!" tanya Sari. Ginanjar hanya mengangguk menampilkan senyum yang begitu sulit untuk diartikan.

"Maaf, saya gak bisa masuk ke sini. Lebih baik saya pulang aja." Sari tampak menolak masuk ke dalam tempat itu. Tempat dimana para pendosa mengumbar kesenangan.

Namun saat Sari hendak berbalik Ginanjar langsung menahan tangannya. "Kamu tau kan apa yang akan terjadi dengan Randy jika kamu mundur sekarang?!" tanya Ginanjar dengan nada ancaman. Yah, lagi dan lagi lelaki itu menjadikan Randy sebagai senjata yang membuat Sari tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauannya.

Kini Sari sudah berdiri di samping Ginanjar. Lelaki itu tanpa permisi langsung melingkarkan tangannya di pinggang ramping Sari. Dengan sedikit agak risih Sari berjalan memasuki tempat laknat itu.

Suara dentuman musik yang memekakkan telinga langsung terdengar oleh Sari. Suasana sangat pengap. Ini adalah kali pertama Sari masuk ke tempat seperti itu. Ginanjar menarik Sari ke sebuah meja yang dikelilingi oleh sofa melingkar. Di sana ada seorang lelaki paruh baya bersama seorang wanita muda yang bergelayut manja di pangkuannya.

"Selamat malam pak Baskoro. Kenalkan ini...emm...Kartika, iya Kartika..." ucap Ginanjar memperkenalkan seorang wanita yang dia bawa.

Wanita yang berada di pangkuan Baskoro lalu berdiri disusul oleh lelaki itu. "Oh jadi ini wanita yang diceritakan sama Ginanjar. Cantik juga..." Baskoro lalu mengulurkan tangannya ke arah Sari.

Sari hanya menatap mata Baskoro lalu berpindah ke arah tangan itu tanpa ada niat untuk menjabatnya. "Well, sepertinya wanita anda masih belum jinak," celetuk Baskoro yang membuat Sari merasa tersinggung.

"Hahaha...biasa lah pak. Dia jinak kalau bersama pemiliknya. Ya gak sayanggg?" ujar Ginanjar seraya memeluk pinggang Sari.

Sari memejamkan mata merasa emosinya hampir meledak. "Huft...sabar Sari, hanya malam ini..." batin Sari berusaha meredam emosinya.

"Ayo silahkan duduk pak Ginanjar. Oh ya kenalkan juga ini Ranty, wanita saya malam ini," ungkap Baskoro memperkenalkan perempuan yang dibawanya kepada Ginanjar.

Ranty dengan senyuman khasnya berjabatan tangan dengan Ginanjar. Lalu bergantian menjabat tangan Sari.
Saat kedua perempuan itu berjabat tangan tampak Sari mengernyit menatap wajah Ranty. Dia merasa tidak asing dengan orang itu.

Ya, mereka pernah bertemu sebelumnya. Bahkan Ranty dan ibunya pernah menghadiri pesta pernikahan Sari dan Pram dahulu. Ranty pun merasa familiar dengan wajah Sari. Namun karena sudah lama tidak bertemu ditambah penampilan Sari jauh dari kesan alim seperti saat terakhir mereka bertemu.

Mereka berempat pun sudah duduk di sofa tersebut. Di sekelilingnya terdapat empat orang bodyguard yang bertubuh besar dan kekar berotot.

Ginanjar menuangkan wine ke dalam gelas lalu menyodorkan kepada Sari. Wanita itu menggelengkan kepala tidak mau meminum air haram itu.

Sari yang duduk di sebelah Ginanjar menatap jengah wanita itu. Tanpa ragu Ranty meneguk cairan yang dituangkan oleh Baskoro untuknya. Beberapa kali Baskoro mencuri-curi ciuman kepada Ranty yang hanya direspon dengan rajukan manja.

Ginanjar kembali memaksa Sari untuk meminum minuman yang ia berikan. Sari masih sempat menolak hingga Ginanjar terpaksa mencekoki Sari hingga wanita malang itu terpaksa menenggak cairan hangat itu ke dalam mulutnya.

"Uhukkk...uhukkk..." Sari terbatuk-batuk kala minuman itu berpindah ke dalam kerongkongannya dalam beberapa kali tegukan.

Gelas yang dipegang Ginanjar secara reflek ditepis oleh Sari hingga pecah di atas lantai. Suaranya memang tidak terdengar jelas karena tertutup dengan suara dentuman musik yang menggelegar tetapi efek pecahannya mengenai seorang pria yang langsung menggeram tidak terima.

Pria itu langsung mendekat ke arah Ginanjar sambil mengacungkan kepalan tangannya. Keempat bodyguard yang berjaga pun langsung pasang badan. Hal itu membuat suasana menjadi ricuh.

•••

POV Randy

Segelas whiskey berhasil aku minum dalam sekali tenggak. "Ayo tambah lagi bro!" Terdengar seorang temanku kembali menuangkan ke gelas kosong itu. "Ini buat ngerayain kemenangan kita sob. Dan ini buat lu sebagai mvp tim kita."

Aku menggeleng menolak untuk kembali minum. Sebenarnya aku malas ikut dengan acara pesta perayaan kemenangan dari musuh bebuyutan kita. Tapi aku dipaksa karena kemenangan ini adalah berkat penampilan impresif ku sebagai small forward. Mereka mentraktir minum sepuasnya.

Justin pun terpaksa ikut. "Udah, kalo gak kuat minum mending udahan aja bro," ucap Justin sambil terkekeh. Bukannya aku tidak kuat minum, tapi aku harus menjaga kesadaran ku agar pulang nanti aku masih bisa bertemu dengan Aira.

Aku menenggak sekali lagi whisky dalam gelas itu untuk yang terakhir kali. "Yeah, this is for you brooo...!!!" celetuk salah satu temanku sambil bergoyang di atas lantai dansa.

Tiba-tiba. "Woyyy...!!! Apa-apaan lu...!!!" Hampir semua orang yang ada di sekitar langsung menoleh ke arah sumber suara termasuk aku.

Terlihat seorang pria berbadan tinggi besar tengah adu urat dengan empat orang yang memiliki postur tubuh serupa. Awalnya aku tidak peduli dengan semua orang-orang itu. Sudah biasa ketika orang yang sedang dalam pengaruh alkohol diganggu pastilah mereka tidak terima dan berujung perkelahian.

Namun sudut netra mataku menangkap sosok yang sangat tidak asing tengah menegang karena bentakan dari lelaki tersebut. Setelah mataku membidik wajah wanita itu aku pun terkejut setengah mati hampir saja tidak percaya apa yang aku lihat.

"Mbak Sari?!" Aku yakin sekali itu dirinya. Aku kenal sekali ukiran bentuk wajahnya walaupun kini tidak mengenakan hijab dan berpakaian layaknya jalang.

Aku beranjak dari dudukku lalu berjalan cepat ke arahnya. Aku masih belum percaya jika belum memastikannya secara langsung. Para bodyguard sudah mendorong lelaki tadi ke arah yang lain hendak menghabisinya mungkin.

"Mbak!" panggilku dengan perasaan hati yang remuk. Kenapa bisa dia ada di sini?! Dan bersama...Ginanjar!

Wanita itu terkesiap dengan wajah pucat pasi melihat kedatanganku. Tubuhnya bergetar seperti seorang maling yang ketahuan mencuri. Mulutnya ia bekap dengan tangannya sendiri.

"R...Randy..." Satu lagi kejutan yang aku terima malam ini mendengar seorang wanita yang masuk dalam jangkauan indera penglihatan ku namun aku abaikan.

"K...kak Ranty?!" Aku sungguh tidak bisa berpikir lagi saat itu. Otakku yang pas Pasan langsung ngeblank. Aku lihat tangannya digenggam oleh lelaki yang ada di sampingnya dengan sangat posesif. Yang membuatku semakin miris adalah kak Ranty sama sekali tidak berusaha untuk melepaskan genggaman tangan itu. Mereka sudah seperti pasangan kekasih!

"K...kak, k...kenapa?!" Hanya kata itu yang mampu terucap oleh bibirku. Wanita itu yang dahulu sering menemani ku, berbagi momen bersama, menyemangati ku di saat aku rapuh, wanita pertama yang aku bayangkan menjadi istriku kelak saat usiaku belum cukup matang untuk berpikir. Wanita yang menjadi semangatku untuk jadi pemain basket profesional. Kini dia...

"Ran, kakak bisa jelasin Ran!" Kak Ranty hendak mendekatiku namun tangannya di tahan oleh lelakinya. Dia menarik kak Ranty ke dalam pelukan seraya mencium bibir kakakku dengan ganas seolah-olah menegaskan bahwa wanita itu kini miliknya.

Harga diriku sebagai lelaki diinjak-injak olehnya. Aku geram bukan main. Aku mendekatinya dengan menyiapkan pukulan ku yang mengarah ke rahangnya. Namun mbak Sari menahan lenganku. "Jangan Randy!" Mungkin dia khawatir denganku karena pria tua itu tampak bukan orang sembarangan. Persetan! Aku tepis tangan mbak Sari dengan kasar hingga dia mengaduh kesakitan.

Ku layangkan pukulan ku ke arah wajah bandot tua itu. "Harghhhhhhh...!!!"

Sreggg...

Aku merasa tubuhku dipeluk dari belakang. Rasanya berat sekali hingga aku kesulitan untuk bernafas. Lalu aku merasa tubuhku melayang kemudian terlempar jauh.

Brakkk...!!!

"Arrrggghhh...!!!" Tubuhku terjerembab membentur meja yang ada di sebelahnya hingga minuman yang ada di atasnya jatuh berserakan di lantai.

"Randyyy...!!!" Kedua wanita itu memekik hampir bersamaan. Aku berdiri memukul lantai dengan amarah yang memuncak.

"Arghhh...sialll...!!!" Aku tidak ingin menjadi pecundang. Aku berlari sekencang mungkin lalu melompat ke arah bodyguard yang tadi melempar tubuhku sambil melayangkan dwi chagi milikku ke arah ulu hatinya.

Brakkk...!!!

Tubuh besar itu tersungkur dengan mudah. "Hah...badan doang gede tapi lemahhh...!!!" Suasana semakin ricuh.

Aku hendak menyerangnya namun lagi-lagi dari arah belakang tanganku di tahan oleh bodyguard yang lain. Saat dia akan memukulku, Justin menendangnya ke samping membentur meja milik kak Ranty dan lelakinya.

Justin sudah berancang-ancang untuk membantuku mengalahkan keempat bodyguard itu. Ditambah temanku yang lain yang berjumlah tujuh orang ikut dalam perkelahian.

"Arghhh...!!!"

Bakkkkkkk...!!!

Bughhhhhh...!!!

Brakkkkkk...!!!

Dughhhhhh....!!!

"Anjinkkk...kauuu...!!!"

"Sialannn...!!!"

"Matiii...kauuu...!!!"

Aku sempat beberapa kali menerima pukulan di wajah dan perutku.

Braghhhhhh...!!!

Brughhhhhh...!!!

Baghhhhhh...!!!

Bughhhhhh...!!!

Total empat orang bodyguard melawan tujuh orang ditambah satu dari orang yang pertama dikeroyok oleh mereka berempat.

Aku sudah kesetanan. Sayup-sayup terdengar orang memanggil namaku sambil terisak menahan tangis. Aku sama sekali tidak peduli. Aku hanya ingin membunuh seseorang. Tampaknya salah satu bodyguard itu bisa jadi mangsa yang tepat.

Brughhhhhh...!!!

Lelaki berbadan kekar itu akhirnya tumbang. Aku tindih badannya kemudian dengan membabi buta aku melayangkan pukulan tepat ke arah wajahnya berkali-kali. Akan ku jadikan wajah itu menjadi rempeyek.

Bughhhhhh...!!!

Bughhhhhh...!!!

Bughhhhhh...!!!

Bughhhhhh...!!!


Lelaki itu sudah tidak bergerak namun aku terus meninju mukanya tanpa henti. Beberapa saat kemudian tubuhku ditahan dari belakang. "Udah Randy! Nanti dia bisa mati!" cegah Justin. Aku memberontak belum puas dengan apa yang aku lakukan. Pokoknya sebelum dia jadi bubur aku belum mau berhenti.

Dari sudut mataku kak Ranty ditarik paksa oleh lelakinya keluar dari club. Dia sempat sempat menangis sambil mengulurkan tangannya ke arahku. "Randyyy...hiksss...hiksss..." pekiknya yang perlahan menghilang menjauh.

Hingga akhirnya karena aku masih terus memberontak kepalaku digetok oleh benda yang cukup keras.

Pletakkk...!!!

"Aduh sakit begoooo...!!!" Aku pun bangkit sambil mengusap kepalaku yang terkena jitakan Justin. "Lu yang bego! Liat tuh orang udah sakaratul masih lu pukulin juga."

Aku menatap lelaki yang baru saja aku pukuli. Tubuhnya kejang-kejang dengan wajah yang dipenuhi dengan darah. Giginya nyaris tanggal semua sedangkan hidungnya masuk ke dalam.

Aku meringis sendiri melihat keadaannya. Aku tidak sadar sudah melakukan sejauh itu. Entah kenapa seolah ada jiwa yang merasuki ku jika diriku sedang marah. Setelah sadar semua tampak kacau.

Kemudian pandanganku beralih ke arah mbak Sari yang tampak ketakutan melihat ke arah ku. Aku mendekatinya.

"Pak Ginanjar, kalo anda gak mau bernasib sama seperti orang itu. Lebih baik anda lepaskan tangan kotor anda dari mbak Sari!" Nadaku terdengar menuntut membuat nyali lelaki paruh baya itu menciut.

Ginanjar mundur satu langkah seraya mengangkat kedua tangannya ke atas. Tanpa menunggu lama aku langsung menarik tangan mbak Sari untuk keluar dari tempat itu. Aku melihat dirinya tampak kesulitan mengejar langkahku karena dia memakai heels.

Aku berhenti. "Lepasin heelsnya!" Mbak Sari menurut, dia melepaskan sepatunya. Ku lempar benda itu jauh membuat mbak Sari semakin ketakutan.

Aku lepaskan jaket kulit milikku lalu mengerubungi tubuhnya agar auratnya sedikit tercover.

"Kenapa mbak?! Kenapa mbak lakuin itu?!" tanyaku dengan nafas yang sesak. Jujur aku sangat kecewa dengannya. Aku tidak menyangka dia akan melakukan hal yang memalukan seperti itu.

"M...maaf Ran. Mbak melakukan ini demi kamu."

"Demi apanya...???" Mbak Sari terlonjak kaget mendengar bentakanku.

"Pak Ginanjar mengancam kalau mbak gak nurutin kemauan dia, maka dia akan menghancurkan hidup kamu. Mbak ingin menyelamatkan kamu dari dia karena gara-gara mbak kamu jadi mengalami masalah seperti ini. Seandainya dulu mbak gak hubungi kamu untuk minta tolong..."

"Gak usah sok jadi pahlawan mbak! Randy gak butuh! Randy itu laki-laki dan bukan anak kecil lagi yang harus dilindungi sama perempuan. Randy bisa nyelesein masalah Randy sendiri."

"Tapi Ran..."

"Tapi apa mbak?!" Aku kembali memotong ucapan mbak Sari.

"Dengan mbak melakukan ini sama aja dengan merendahkan harga diri mbak sendiri! Dan apa Randy bakalan terkesan? Enggak sama sekali!"

Mbak Sari tampak menangis terisak. Wajahnya ditekuk ke bawah.

"Randy bisa nyelesein masalah ini sendiri. Mbak Sari gak usah ikut campur." Kembali aku menarik tangannya menuju ke arah motorku diparkir.

Dia menurut dan bungkam ketika aku mengantarnya pulang. Hatiku kacau saat ini. Dua orang yang aku sayangi mengkhianati ku. Pertama kak Ranty kedua mbak Sari.

Saat di perjalanan tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Ahh, aku tidak bawa mantel, jadinya kita basah kuyup. Biarlah air hujan ini yang memadamkan api emosiku. Saat ini bagian diriku yang rapuh mengambil alih tubuhku. Air mataku jatuh ke pipi. Untung saja hujan menyamarkannya. Aku tidak boleh terlihat lemah. Aku harus kuat.

Akhirnya kami sampai di rumah mbak Sari. "R...Randy mampir dulu?" tanya mbak Sari ragu-ragu. Aku menatapnya datar. Tidak dipungkiri rasa kecewa masih merambat di dalam dada.

"Jangan melakukan hal bodoh ini lagi mbak." Bukannya menjawab tawaran darinya aku justru memberikan saran.

"Sebelum masalah ini selesai lebih baik kita gak usah ketemu dulu. Jangan jadi sosok penolong kalo mbak Sari aja gak bisa menolong diri mbak sendiri." Sungguh apa yang aku katakan sangat pedas di telinga. Bukannya aku tidak menghargai pertolongan darinya tapi lebih tidak mau terjadi apa-apa terhadap mbak Sari.

"Jangan pernah menemui lelaki brengsek itu lagi. Tutup semua aksesnya. Randy yang akan menyelesaikan masalah ini."

Setelah mengucapkan hal itu aku langsung pergi meninggalkan mbak Sari yang terlihat seperti tidak rela diriku pergi. Namun dia tidak mengucapkan apapun. Sepertinya dia tahu keadaan tidak memungkinkan untuk berpikir secara logika saat ini.

Hujan, dingin, sepi. Itulah yang aku rasakan sekarang. Hatiku dihancurkan oleh dua orang sekaligus.

Aku tidak menyangka ternyata selama ini kak Ranty sudah selingkuh di belakang ku, ahh bukan selingkuh, lebih tepatnya menjajakan diri pada pria hidung belang. Itu juga sebabnya saat terakhir kali kita bersenggama aku merasa aneh. Ada bercak kemerahan di dada hinggap leher kak Ranty yang ia tutupi dengan make up. Namun keringat menghapus make up tersebut hingga bekas cupang itu terlihat. Sejak kapan? Itulah pertanyaan ku saat ini. Apakah sudah lama? Ataukah baru-baru ini saat dirinya menerima pekerjaan baru itu.

Dan mbak Sari. Aku tidak habis pikir dengan isi di kepalanya. Aku kira dia selalu bisa membuat keputusan dengan kepala dingin tapi kali ini dia benar-benar ceroboh. Dia rela memberikan harga dirinya demi diriku? Itu tidak masuk akal! Mbak Sari benar-benar membuatku seperti seorang lelaki yang tidak ada gunanya. Aku kecewa. Sangat kecewa.

"Haaaarrrrgggghhhhh....!!!"

Aku berteriak sekencang-kencangnya. Aku sungguh frustasi saat ini. Aku rapuh, aku hancur. Kemana aku pergi sekarang? Aku tidak punya tujuan.

Satu tujuan yang terlintas dipikiran ku. Icha! Ya hanya dia tempat berlabuh di saat aku terpuruk. Hanya dia yang tidak pernah mengkhianati ku.

Aku langsung tancap gas pergi ke rumah Icha. Di jalanan yang sepi ini aku memacu motorku 100 kilometer per jam. Aku butuh tempat bersandar. Aku butuh seseorang untuk berbagi rasa. Ya, hanya Icha yang bisa mengobati sakit di dalam hatiku.

To Be Continue...
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd