Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
Part 4. Bermain Peran

"Annisa...!!!" panggil seorang laki-laki dengan kadar lemak di tubuhnya yang lebih banyak dari kata ideal.

Annisa hanya menoleh singkat lalu melanjutkan langkahnya begitu tahu siapa yang memanggil. Sebenarnya tanpa menoleh pun dia sudah tahu.

Pria itu bergegas mensejajarkan langkahnya dengan Annisa. "Annisa, kamu udah tau kalo Randy masuk kampus ini?"

"Iya udah tau kok Rif. Kenapa emangnya?"

Arif yang berjalan terengah-engah masih berusaha mengatur nafasnya. Akhir-akhir ini memang berat badannya naik. Itu karena dia makan banyak karena ingin memiliki badan seperti Randy dan Justin namun karena tidak diimbangi dengan olahraga membuat tubuhnya hanya membesar di bagian perut.

"Perasaanmu gimana?" tanya Arif. Annisa menghela nafas singkat. Entah kenapa dia tidak suka jika pria di sampingnya itu terlalu ingin tahu urusannya.

"Enggak papa Arif. Aku biasa aja kok." Annisa benar-benar ingin mengakhiri obrolan itu sebelum Arif bertanya lebih banyak lagi.

Perempuan cantik itu tersenyum saat melihat malaikat penyelamatnya datang dan melambaikan tangan ke arahnya.

"Kak Justin!" seru Annisa sumringah dengan suara yang sengaja ia keraskan agar Arif tahu obrolan mereka tidak bisa disambung lagi karena Annisa akan pergi bersama kekasihnya.

Benar saja, ekspresi wajah Arif langsung berubah kecut kala itu. "Aku pulang dulu ya Rif. Udah dijemput pacarku." Annisa tidak peduli justru semakin mempertegas kalimat 'dijemput pacarku' agar lelaki yang ada di sampingnya sadar diri dan tidak terlalu dekat dengannya.

Annisa bergegas menghampiri Justin yang telah berdiri di samping pintu mobilnya dengan bersedekap. "Ayo kak!" ajak Annisa untuk segera pergi dari situ.

Justin melirik Arif sejenak sambil menaikkan salah satu sudut bibirnya kemudian mereka masuk ke dalam mobil.

"Itu tadi yang namanya Arif yah?" tanya Justin ketika mereka sedang membelah jalanan.

"Iya kak." Annisa mengeluarkan biskuit dari dalam tasnya lalu memakannya. Dia tampak tidak antusias dengan arah pembicaraan Justin.

"Kamu suka sama dia?"

Pertanyaan itu sontak membuat Annisa melotot ke arah Justin. Perempuan itu memajukan bibirnya beberapa senti tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Justin terkekeh melihat ekspresi Annisa yang sedikit kesal. "Mending Arif apa Randy?" goda Justin lagi.

Begitu mendengar nama Randy, Annisa buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. Bukan lagi menampilkan ekspresi kesal namun kini di wajahnya tampak seperti ada kegalauan yang sangat besar. Rasa kecewa, sedih, marah tapi rindu bercampur menjadi satu.

"Kak."

"Hmm...?"

Annisa kembali mengarahkan pandangannya ke arah Justin, menatap kedua manik mata Justin. "Aku boleh minta sesuatu?"

"Apa itu?"

"Jangan bilang sama Randy kalo kita pura-pura pacaran yah. Mungkin kalo dia tau pacarku itu kakak, dia gak bakal deketin Nisa lagi."

Justin diam saja. Dia tampak berpikir keras. Yang jadi masalah dia sudah terlanjur memberitahu Randy mengenai status hubungan mereka yang sebenarnya. Lagipula jika itu terjadi mungkin persahabatan mereka akan terputus.

"Maaf Nis. Kakak gak bisa lakuin itu. Tapi kakak akan bilang ke Randy supaya dia pura-pura percaya kalo kita pacaran," ujar Justin di dalam hati.

Sebuah persekutuan yang sangat membagongkan. Tapi lelaki itu tahu apa yang terbaik dan harus berada di kubu yang mana dan di posisi yang mana.

"Kenapa harus menghindar kalo kamu juga masih cinta sama dia?" sorot Justin.

"Siapa juga yang masih cinta," jawab Annisa lalu memandang tepi jalan yang sedang mereka lewati dari kaca jendela pintu mobil.

"Hmm..." Justin hanya mendehem. Dia tahu kalau sebenarnya Annisa masih sangat mencintai Randy tapi dia bersikeras mengorbankan perasaannya demi orang lain yang tak lain adalah mantan kakak iparnya. Seseorang yang telah melahirkan anak Randy.

Terlebih rasa kecewa Annisa yang merasa dikhianati dan dibohongi oleh Randy selalu menghantui yang membuat Annisa trauma membuka hatinya kembali.

"Oh iya sekarang kita mau kemana dulu nih? Apa mau langsung pulang?" tanya Justin untuk mencairkan suasana.

"Terserah kakak aja," balas Annisa singkat. Terlihat jika moodnya belum kembali seperti semula.

"Emm...bunda kesukaannya apa ya? Kakak mau beliin sesuatu tapi bingung."

"Tergantung tujuan kakak ngasih sesuatu ke bunda itu untuk apa. Kalo tujuannya buat ngerayu jangan kasih bunga atau barang-barang yang sifatnya hanya simbolis. Bunda gak akan suka, kakak tau kan bunda bukan seorang ABG lagi," cerocos Annisa.

"Menurutmu yang cocok untuk bunda itu apa?"

Annisa tampak berpikir. "Kakak serius mau deketin bunda kan? Beneran mau nikahin bunda?"

Justin terkekeh. "Emangnya kamu gak pengin punya ayah seganteng ini apa?" ujarnya sambil berpose memegang dagunya menggunakan jari di depan Annisa.

Perempuan itu memajukan bibir bawahnya sontak mengarahkan telapak tangannya ke muka Justin lalu sedikit meremas dengan gemas. Annisa kemudian tertawa renyah.

"Yee...pede amat. Bunda tuh gak akan luluh hanya dengan kata tampan. Kakak harus ambil langkah lebih jauh. Ingat kak, bunda gak akan mau nikah sama yang beda keyakinan," pungkas Annisa setelah berhasil mengendalikan tawanya.

Justin mencebikkan bibirnya berusaha agar terlihat kesal namun gagal. "Gak masalah kakak pindah agama demi bundamu."

"Annisa tersenyum tipis. "Oke kalo gitu mending kakak beliin seperangkat alat sholat dan..."

"Dibayar tunai...hahaha..." potong Justin cepat.

"Ishh...itu sih maunya kakak. Kenapa gak sekalian aja belajar ngaji biar nanti sampai waktunya kakak udah mantep buat hijrah."

"Hmm...ide bagus." Mereka lalu meluncur ke sebuah mall tak jauh dari situ.

Di sana mereka berbelanja beberapa barang. Justin sempat mencoba baju koko dan kopiah yang identik dengan muslim. Annisa mencoba gamis yang dibelikan Justin. Satu untuk Adibah satu untuk dirinya sendiri.

Dari kejauhan ada tiga orang wanita yang sedang berbelanja di sana juga. Mereka adalah Cindy, Aulia, dan Sandra. Salah satunya melihat keberadaan Justin dan Annisa.

"Ehh, bukannya itu kak Justin yah, kating kita sekaligus kapten tim basket GB? Sama siapa tuh?" seru Aulia penuh antusias.

Kedua rekannya pun langsung mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk. "Itu pacarnya, emang lu belum tau? Kudet amat," celetuk Sandra.

"Hah serius kak Justin pacaran sama dia? Kalo gak salah kan kak Justin itu non-muslim yah? Kok bisa sih pacaran sama cewek berjilbab itu?"

"Dia itu kalo gak salah Annisa, mahasiswi semester tiga anaknya pemilik pesantren Al-h*****h yang terkenal itu."

"Ihh...kok bisa sih anak pemilik pesantren pacaran sama orang non-muslim. Pacaran aja dilarang sama agama. Emang yah jaman sekarang agama cuma buat kedok doang," cerocos si tukang gibah Aulia.

"Lu gimana Sin? Kalah start yah hahaha...dia kan salah satu incaran lu."

Cindy melipat kedua tangannya di depan dada tampak tidak senang akan ucapan yang dilontarkan temannya itu. "Gak level gue saingan sama cewek munafik kaya gitu."

"Kita liat aja nanti siapa yang bakalan menang," lanjutnya penuh percaya diri. Dia yakin bahwa lelaki seperti Justin pasti akan cepat bosan dengan wanita yang memakai pakaian tertutup seperti itu.

Secara face memang diakui Annisa lebih unggul daripada Cindy. Wanita berhijab itu memiliki paras yang cantik, manis, dan anggun tanpa polesan make up yang berlebihan. Sedangkan Cindy cantik karena polesan make up dan perawatan yang cukup mahal.

"Udah yuk lanjut jalan. Ngapain juga ngeliatin orang pacaran, kaya gak ada kerjaan aja," ajak Sandra kepada mereka berdua.

•••​

Setelah menyempatkan diri makan siang di food court mall tersebut, Annisa dan Justin memutuskan untuk pulang. Dengan mobil sport miliknya mereka memasuki area pesantren.

Sudah beberapa hari Justin secara rutin mengantar Annisa pulang, lebih tepatnya setelah kesepakatan untuk pura-pura pacaran di depan ibunda Annisa.

Tokkk...tokkk...tokkk...

"Assalamualaikum!" Annisa mengucapkan salam.

"Waalaikumusalam!" Adibah membalas salam tersebut dari dalam rumah seraya membukakan pintu.

Melihat Annisa diantar Justin lagi membuat Adibah sedikit menarik nafas dan menghembuskannya dengan cepat.

"Assalamualaikum teh," ucap Justin memberi salam.

"Waalaikumusalam."

Setelah itu Annisa mencium punggung tangan ibundanya lalu mengajak Justin masuk. "Masuk kak, Nisa ganti baju dulu yah," ujar Annisa dibuat semanja mungkin.

"Iya sayang," balas Justin tak kalah mesra.

Adibah mencebik serta memutar bola matanya malas. Ia sebal karena mereka seolah sengaja mempertontonkan kemesraan mereka di hadapannya.

Pemandangan seperti itu beberapa hari ini selalu mengganggu konsentrasinya. Saat Adibah sedang melakukan apapun selalu kepikiran tentang hubungan antara anaknya dan Justin yang semakin hari semakin lengket saja.

Adibah kesal kenapa pria tersebut begitu cepat berpindah ke lain hati padahal sebelumnya Justin sangat gencar mendekati dirinya.

Bukan karena dia berharap akan bisa hidup bersama Justin. Hanya saja dirinya sudah salah menilai bahwa Justin adalah pria tangguh yang sangat berkomitmen dengan ucapannya tetapi yang ada lelaki itu malah berubah pikiran dengan cepat.

Adibah juga kecewa dengan sikap Annisa yang tidak bisa menjaga perasaan ibundanya, mengingat lelaki yang dipacarinya adalah lelaki yang pernah ibunya cintai. (Atau masih ia cintai)

Annisa menggandeng tangan Justin masuk ke dalam rumah layaknya orang yang sedang kasmaran. Dalam hati Annisa terkekeh geli melihat raut wajah ibundanya yang jengkel. Kelihatan sekali kalau Adibah masih memendam rasa terhadap Justin namun gengsi untuk mengakuinya.

Setelah Justin duduk, Annisa pergi masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Tinggallah Adibah dan Justin di dalam ruang tamu itu.

"Teh, ini saya beliin oleh-oleh buat teteh. Tadi sebelum pulang sempet mampir sama Annisa ke mall." Adibah menerimanya tanpa merubah raut wajahnya yang datar.

Ia melihat ke dalam isi tas berbahan dasar kertas karton tersebut. Senyum di bibirnya terbit, entah kenapa hatinya berbunga-bunga mendapatkan hadiah dari pria itu.

"Suka gak teh?" tanya Justin tiba-tiba membuat Adibah tersadar lalu mengangguk pelan namun dengan ekspresi wajah kembali datar seperti semula.

"Terima kasih Justin, kalo gitu teteh ke kamar dulu." Adibah lalu berdiri meninggalkan Justin.

Di dalam kamar Adibah duduk di tepi ranjang dan mengeluarkan isi kado dari Justin. Ia bentangkan kain berbahan katun tersebut di depan. Itu adalah sebuah mukena yang cantik.

Senyum manis terukir di bibir indah wanita paruh baya itu. Ia ciumi mukena tersebut sambil membayangkan wajah si pemberi.

"Makasih Justin." Sejenak Adibah memandangi benda itu. Pikirannya terbang entah kemana.

"Apa aku salah? Apa aku harus jujur terhadap perasaanku? Tapi bukannya ini sudah terlambat? Sekarang dia sudah bersama Annisa. Masa tega sih aku merebut pacar anakku sendiri," ucap Adibah bermonolog.

Dari dalam kamar Annisa mengintip ke arah ruang tamu. Ketika tidak mendapati sosok ibunya dia pun beranjak mendekati Justin. "Bunda mana kak?" tanya Annisa dengan nada sedikit dipelankan.

"Tadi masuk ke kamar."

Annisa hanya membulatkan mulutnya sambil mengangguk. Dia pun membuatkan teh untuk Justin lalu duduk di sampingnya.

"Gimana kak, udah dikasih?" Justin mengangguk.

"Udah bilang belum mau belajar ngaji?" Justin menggeleng.

Tiba-tiba Justin merapatkan posisi duduknya ke arah Annisa. Dia lalu melingkarkan tangan kanannya di belakang kepala Annisa.

Perempuan itu mengernyitkan dahinya bingung dengan apa yang dilakukan Justin. Perlahan wajah Justin mengikis jarak dengan wajah Annisa.

Justin kemudian mengedipkan salah satu matanya cepat sambil tersenyum simpul. Annisa langsung tanggap dengan kode yang dilakukan Justin. Matanya melirik sesaat ke arah pintu kamar Adibah.

Ada sepasang mata yang diameternya sudah mencapai ukuran maksimal menatap ke arah mereka. Diam-diam ternyata Adibah mengintip aktivitas yang dilakukan oleh Annisa dan Justin.

"Annisa! Apa yang kamu lakukan?!" batin Adibah dari balik pintu.

Annisa kembali tersenyum, ia berusaha memainkan peran untuk mengerjai ibundanya. Ini memang rencana Annisa dan Justin sejak awal agar Adibah sadar akan perasaan yang sebenarnya untuk Justin.

Annisa kembali menatap Justin. Ia pegang pipi lelaki itu lalu menariknya mendekati bahunya sehingga kepala Justin tertutupi kepala Annisa bila dilihat dari sudut pandang Adibah.

"Annisa! Jangan cium Justin! Bunda mohon!" Adibah gemetar. Kuku-kuku jari tangannya ia gigit melihat adegan itu.

"Tidak bisa dibiarkan!"

Annisa masih tenang. Ia memainkan perannya dengan sangat baik. "Bunda gimana kak? Masih diem aja?"

"Gak tau kan ketutupan kamu."

Saat mereka terpaku tiba-tiba suara bariton dari arah belakang mengagetkan mereka berdua. "Annisa! Justin! Apa yang kalian lakukan?!"

Keduanya tersentak lalu membenarkan posisi duduknya. Adibah yang sudah tidak tahan melihat mereka berciuman pun akhirnya memberanikan diri untuk menegur mereka.

Annisa maupun Justin sama-sama mengusap bibir mereka masing-masing seolah-olah mereka benar-benar berciuman.

Dada Adibah naik turun dengan cepat. Entah kenapa rasanya sangat sesak di sana. Cemburu, benar, ia memang sedang cemburu. Dirinya tidak rela Annisa bersama Justin namun dirinya juga tidak mau bersama pria itu. Memang egois tapi Adibah lebih bertindak masa bodoh.

"Annisa, kamu punya harga diri kan? Kenapa kamu mau-maunya ciuman sama laki-laki yang bukan muhrim kamu?!" Pandangan Adibah berpindah ke Justin.

"Dan kamu Justin, kalo kamu memang mencintai Annisa, kamu harusnya menjaga dia bukan malah merusaknya seperti teman kamu dulu!"

Annisa tertegun. "Duh, rencananya mau bikin bunda cemburu malah jadi bikin bunda marah," rutuknya dalam hati.

Memang prank yang mereka lakukan sedikit terlalu berlebihan. Tapi itu rencana yang muncul secara spontan di antara mereka.

"Annisa, kamu masuk ke kamar. Dan kamu Justin, silahkan kamu pulang sekarang juga. Kalian harus renungkan perbuatan kalian berdua."

Annisa beranjak ke kamarnya dengan lesu. "Kamu kenapa masih di sini?" tanya Adibah ketus.

Justin justru bersikap santai. "Teteh cemburu ya? Bilang aja gak papa kok. Annisa pasti rela ngelepas saya demi ibundanya," jawab Justin sedikit bergurau.

"Siapa juga yang cemburu? Saya jadi sadar ternyata kamu lelaki yang gak konsekuen sama ucapanmu."

"Oh ya? Ucapan yang mana kalo boleh tau?" tanya Justin dengan melakukan penekanan.

Adibah terdiam. Tidak mungkin jika dia mengungkapkan tentang janji lelaki itu yang akan selalu mencintai dirinya sampai kapanpun. Itu sama saja dengan mengharapkannya lagi.

"Yang...yang katanya kamu mau pindah keyakinan untuk mempersunting Annisa 'saya'." Adibah berucap secara spontan.

Bukan itu yang dia maksud sebenarnya tapi tidak ada alasan lain yang masuk akal. Jadi dia terpaksa mengucapkannya.

"Oh kalo soal itu saya gak lupa kok. Saya malah udah beli buku untuk belajar ngaji. Niatnya mau belajar sama teteh. Tapi kayaknya teteh gak mau."

Bola mata Adibah bergerak dengan cepat ke sana kemari. Tidak tahu apa yang harus ia ucapkan.

"Sampai kapan teteh akan keras hati seperti ini? Gak bisakah teteh liat ketulusan seseorang yang benar-benar mencintai teteh?"

"Atau ini yang teteh mau? Mengorbankan perasaan demi ego dan gengsi?"

"Ingat teh. Seseorang akan terasa sangat berharga jika dia sudah menjadi milik orang lain."

"Saya permisi dulu, assalamualaikum."

Justin lalu pergi dari rumah Adibah. Wanita paruh baya itu tidak sadar meneteskan air mata. Kata-kata Justin barusan benar-benar menusuk hatinya.

"Justin, sebenarnya kamu mencintai saya atau anak saya?"

•••​

Drrrt...drrrt...drrrt...

Ponsel yang tergeletak di atas nakas sebuah kamar tidur bergetar. Seorang lelaki yang sedang bermain bersama anaknya di atas kasur pun bergerak meraih benda tersebut.

Alisnya tertaut di tengah. "Mbak Sari? Kok tumben dia nelpon ada apa ya?" batin Randy.

Dia kemudian mengangkatnya. "Halo assalamualaikum mbak tumben nelpon ada apa?"

"..."

"Emm...bisa mbak, Randy siap-siap dulu ya bentar."

"..."

"Iya, waalaikumusalam."

Randy lalu mematikan ponselnya. Dia pun bangkit dari atas kasur. "Mau kemana Ran? Kok buru-buru banget?" tanya Icha yang sedang menyetrika pakaian.

"Ada urusan Cha. Aku titip Aira yah."

Randy mendekati Aira yang masih asik dengan bonekanya. "Papah pergi dulu yah. Aira yang nurut sama mamah. I love you." Randy mengecup puncak kepala Aira dan mengelusnya.

"Aku pergi dulu Cha." Randy mencium kening Icha diikuti dengan ciuman di bibirnya singkat.

"Hati-hati Ran." Randy hanya mengangguk lalu siap untuk pergi menemui Sari.

Dalam hati dia bertanya-tanya ada apakah gerangan Sari tiba-tiba ingin bertemu dengan dirinya?

To Be Continue...

Mwba266a_o.jpg
pDbhv5EL_o.jpg
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd