Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
Ranty sifatnya emang gak banget saat ini tapi untuk urusan ranjang ranty juaranya
 
Part 12. Pertolongan Sari

Pukul setengah 9 malam itu Icha pulang setelah bekerja seharian. Sebenarnya ana 2 shift, shift pagi dan shift sore tapi karena ini hari pertama bekerja Icha memutuskan untuk kerja full time.

Lelah mendera. Pikirannya masih tertahan di kafe tempat ia bekerja. "Hari pertama yang sangat buruk," pikir Icha.

Benar juga. Apa yang lebih buruk dari bertengkar dengan customer yang seharusnya diperlakukan layaknya raja? Untung saja pak Agung masih bisa mentoleransi dan tidak langsung memecatnya, tapi entah hari berikutnya jika ia melakukan kesalahan lagi, apa yang akan terjadi padanya.

Seumur hidup Icha baru pertama kali bekerja dengan cara yang halal. "Apakah sesulit itu?" Dia hanya ingin memantaskan diri untuk jadi ibu dari seorang anak bernama Humaira.

Tak terasa ojek yang mengantar dirinya telah sampai di tempat tujuan. Setelah membayar Icha berjalan menuju rumah ibu Sri yang selama ia bekerja telah telah menjadi tempat penitipan anak untuknya.

Tidak enak sebenarnya tapi mau bagaimana lagi? "Assalamualaikum, bu Sri?!" sapa Icha dengan nada yang sedikit mengeras sembari mengetuk pintu.

Cukup lama ibu Sri keluar dari rumahnya. Mungkin sedang sibuk, warungnya juga sudah tutup. "Eh, nak Icha udah pulang?" Pertanyaan retoris itu hanya dijawab dengan anggukan saja oleh Icha.

"Aira dimana bu?" tanya Icha. Ia mengulurkan tangannya untuk mengecup punggung tangan ibu Sri layaknya seorang anak kepada ibunya.

"Aira ada di dalam lagi main sama bapak," ucap ibu Sri seraya mempersilahkan Icha masuk. "Biasanya jam segini Aira udah bobo."

"Iya tadi sore udah mau bobo tapi waktu bapak pulang kerja, dianya malah semangat banget pengin main padahal baru hari ini ketemu."

Icha sempat tertegun ketika ibu Sri membicarakan tentang 'bapak'. Maksudnya adalah suami dari ibu Sri. Mereka berjalan masuk namun tidak menimbulkan suara.

Dengan gerakan tangan ibu Sri menunjuk kepada dua orang berbeda generasi yang sedang bermain pesawat-pesawatan. Suami ibu Sri dan Aira belum mengetahui kedatangan Icha.

Dengan sedikit berbisik ibu Sri mendekatkan bibirnya ke telinga Icha. "Liat itu nak Icha. Mereka berdua itu udah kayak bapak dan anak yah, akrab banget." Entah kenapa kata-kata dari ibu Sri mengandung makna yang tersembunyi. Icha rasa begitu.

"Walaupun baru pertama kali ketemu tapi tuh bapak udah kayak sayang banget sama Aira. Bahkan setelah pulang bapak cuma mandi belum makan dari sore cuma nemenin Aira main."

"Gak kebayang kalo nanti kami berpisah sama Aira pasti kita sedih banget." Icha mulai menatap wajah ibu Sri yang menampilkan raut wajah kecewa.

Tunggu-tunggu! Apa maksudnya ibu Sri ingin memiliki Aira sepenuhnya dan memisahkan Icha dari darah dagingnya sendiri? Tidak-tidak, itu tidak akan pernah terjadi. Icha tidak akan pernah menyerahkan Aira kepada siapapun, bahkan Randy sekalipun.

"Ibu, maksudnya ibu gimana? Saya gak ngerti," Icha berusaha mencari kebenaran dari mulut wanita paruh baya itu. Semoga saja apa yang dia pikirkan salah.

"Kamu lihat kan rumah ibu? Rumah ibu besar, bahkan terlalu besar untuk ditinggali hanya untuk dua orang. Kami kesepian, bapak pasti juga. Bertahun-tahun kami mendambakan seorang anak dan belum juga dikasih tapi sekarang ibu sudah divonis tidak bisa memiliki anak. Ibu gak bisa berbuat apa-apa untuk itu." Ada suara getir di sana.

"Baru kemarin, saat Aira datang. Ibu merasa sangat senang. Ibu seperti punya energi baru. Ibu gak bingung lagi setelah ini mau ngapain, setelah itu mau ngapain. Mungkin bapak juga punya perasaan yang sama tapi gak mau bilang karena takut ibu tersinggung."

"Terus terang ibu merasa gagal jadi seorang istri karena tidak bisa memberikan bapak keturunan. Ibu merasa sangat bersalah. Bapak pantas mendapatkan seorang wanita yang lebih baik dari ibu."

Icha pun mencoba menyela karena ibu Sri terlalu banyak merendahkan dirinya sendiri. "Ibu jangan bicara seperti itu bu, yang namanya jodoh, keturunan itu sudah diatur sama yang diatas. Ibu tidak perlu menyalahkan keadaan. Bukan salah ibu tidak bisa memberikan keturunan, itu sudah menjadi..."

"Tapi kamu bisa..." sergah ibu Sri cepat. Kristal bening mengalir setetes di pipinya. Icha tampak membeku mendengar tiga kata yang keluar dari mulut ibu Sri.

Ibu Sri memandang wajah Icha sehingga kedua mata mereka bertemu. "M...maksud ibu apa?!" Icha kebingungan.

"Kamu bisa melahirkan anaknya bapak."

"Apaaaa...!!!???" Icha tidak dapat menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Matanya membulat pun dengan mulutnya yang langsung ditutupi oleh telapak tangannya sendiri.

Suara keras itu menginterupsi dua orang yang sedang berada di ruang tengah. Malaikat kecil itu menoleh ketika mendengar suara yang sangat familiar di telinganya.

"Maaa...!!!" Suara renyah keluar dari bibir mungil Aira. Dia berdiri lalu berlari ke arah Icha walaupun sedikit goyah karena belum sempurna berjalan.

Icha mendekap tubuh kecil itu lalu menggendongnya di samping dada. "Tadi Aira nakal gak?" seloroh Icha yang mendapatkan gelengan dari Aira seolah anak itu tahu yang ditanyakan oleh ibunya adalah hal negatif.

"Kalo gitu Aira pinter dong! Tos dulu..." Icha mengangkat tangannya yang disambut oleh Aira.

Tak lama pria paruh baya yang sedari tadi tiduran di atas karpet saat bermain dengan Aira pun menghampiri mereka bertiga.

"Eh, bapak kenalin ini namanya nak Icha. Dia ini ibunya Aira." Suami ibu Sri yang bernama Karso tersenyum ramah sambil sedikit membungkukkan badan seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

Icha melakukan hal yang sama dengan canggung. "Oh jadi ini ibunya Aira, pantesan Aira cantik." Pujian dari Karso hanya dibalas dengan senyuman singkat oleh Icha. Entah kenapa rasanya sangat canggung walau hanya sebatas melihat rupa dari suami ibu Sri itu.

"Jangan sungkan-sungkan kalo mau nitipin Aira di sini. Kita senang kok ada penghuni baru di rumah ini, iya kan bu?" Kata Karso kepada istrinya.

Ibu Sri ikut tersenyum. Walau penghuni baru itu bukan berasal dari darah daging mereka, itu sama sekali tidak masalah. Hadirnya seorang anggota keluarga baru memberikan warna tersendiri bagi mereka. Rumah itu menjadi hidup, tidak ada lagi sepi yang ada suara tawa anak kecil yang menggema di seluruh penjuru rumah, menambah suasana riang gembira.

Begitu pun dengan ibu Sri. Walaupun dia melihat ekspresi bahagia suaminya yang sudah lama tidak ia lihat tetap dari lubuk hatinya yang terdalam dia masih merasa belum lengkap.

Wanita itu ingin seorang anak yang berasa dari darah daging mereka untuk menemani Aira agar tidak kesepian. Kalau bukan dari Sri dari Karso pun tidak masalah. Paling tidak dengan begini suaminya memiliki generasi penerus yang bisa ia akui sendiri dan itu sudah pasti bukan dari rahimnya karena rahimnya mengalami kelainan sehingga tidak bisa punya anak.

"Ya sudah bu kalo begitu Icha pamit dulu kayaknya Aira udah ngantuk nih," ucap Icha dengan sedikit hati-hati. Sebetulnya bukan karena Aira yang mengantuk tapi lebih karena suasana yang semakin canggung setelah obrolan dia bersama ibu Sri tadi.

Sepasang suami istri itu pun mengangguk serta mempersilahkan Icha untuk pulang ke rumah kontrakannya. Di sepanjang jalan kenangan eh maksudnya jalan menuju rumah Icha kembali melamun. Dia masih kepikiran tentang hal yang dikatakan oleh ibu Sri.

Wanita paruh baya itu jelas-jelas bilang kalau Icha bisa mengandung anak suaminya tapi bukan kah ibu Sri tahu Icha sudah memiliki suami seperti yang dia katakan. Itu artinya ibu Sri meminta Icha untuk berselingkuh.

Ahh kepala Icha semakin pusing. Dia tidak bisa membayangkan memiliki anak dari seorang laki-laki yang bahkan sangat sungkan ia tetap mukanya. Lagipula Randy pasti menentang hal itu.

Icha menggeleng cepat. Ini bukan waktunya memikirkan hal itu. Kebahagiaan Aira adalah prioritas utamanya. Anak kecil itu tidak terasa sudah terlelap tidur di gendongannya.

•••​

Randy pulang, tapi bukan ke apartemen miliknya melainkan ke rumah Sari. Setelah mendengar penjelasan dari coach Roy, perasaan Randy menjadi kacau.

Randy mengetuk pintu. Tak berselang lama keluarlah seorang laki-laki yang sedikit menyeret kakinya. "Kamu?!" Lelaki itu memicingkan matanya.

Randy tersenyum sambil mengulurkan tangannya. "Apa kabar om Pram?" sapa Randy dengan ramah. Tangan itu dibiarkan menganggur, Pram hanya menatap telapak tangan Randy di hadapannya.

"Siapa mas yang dateng?" tanya Sari dari dalam. Wanita itu muncul dari balik punggung suaminya. "Eh Randy, tumben malem-malem dateng. Ayo masuk-masuk!" Ekspresi wajah Sari berubah ketika melihat Randy.

Bahkan perempuan itu sama sekali tidak menanyakan keperluannya datang malam hari malah justru langsung mempersilahkan masuk.

Pram bisa menangkapnya. Ekspresi yang sama sekali tidak hadir di wajah wanita cantik itu ketika bersama dirinya membuatnya diam-diam iri kepada Randy.

Randy masuk bersama Sari meninggalkan Pram yang masih mematung diri di depan pintu sambil menatap dua orang itu menjauh. Tangan Sari berada di belakang pinggang Randy.

Sari tidak berhenti-henti tersenyum. Wanita itu mengajaknya duduk di sofa ruang tengah padahal dia itu adalah tamu yang seharusnya dipersilahkan duduk di ruang tamu tapi kenapa Sari justru mengajak Randy duduk di sana? Sudah seperti Randy adalah salah satu anggota keluarga mereka.

"Kamu duduk di sini dulu yah, mbak mau buatin kamu minuman dulu," celetuk Sari setelah mereka berada di sana. "Nggak usah repot-repot mbak. Randy cuma mau ngobrol sebentar kok."

Sari hanya meletakkan satu jari telunjuknya di depan bibir sambil mengedipkan matanya. Dia kembali menarik sudut bibirnya sebelum berlalu ke dapur.

"Ada perlu apa kamu dateng ke sini malem-malem?" tanya Pram yang kembali dari pintu depan dengan tertatih. Tampaknya kecelakaan itu tidak hanya merenggut alat reproduksinya tapi juga sedikit bagian kakinya.

"Apa om sepenasaran itu ya?" Randy tersenyum memamerkan gigi putihnya yang tertata rapi. "Apa maksudmu? Dia itu istri saya. Saya berhak tau ada urusan apa dia dengan orang lain."

"Suami yang tidak dianggap."

"Suami yang tidak bisa memberikan nafkah batin."

"Suami yang dipertahankan karena rasa kasihan."


"Apa waktu om selingkuh om masih inget sama istri om?" Mata Pram membulat sempurna. "Kalo aja om gak mengemis-ngemis cinta sama mbak Sari, sudah pasti sekarang kalian sudah bercerai."

"Jaga bicara kamu ya!" bentak Pram yang tidak bisa menahan emosi. Bertepatan dengan Sari yang kembali dari dapur.

"Mas, apa-apanya sih? Dia itu tamuku. Mas jangan ikut campur. Lebih baik mas kembali ke kamar deh. Istirahat." Sari memandang Pram dengan tatapan tidak suka.

Berbeda, wanita itu sudah berubah. Tidak ada lagi kata-kata lembut, tidak ada lagi perlakuan manja. Sekarang yang ada Sari selalu berusaha menghindari komunikasi. Dulu wanita itu begitu hormat kepada suaminya. Kini bahkan dia bisa membentak.

Dengan hati yang remuk Pram berjalan masuk ke kamar. Sari hanya memandangi Pram yang berjalan di depannya tanpa berusaha menolongnya. "Maaf," gumam Sari lirih hampir tidak bisa didengar oleh indera pendengaran Pram.

Sari kemudian duduk di sebelah Randy setelah menyuguhi teh hangat di atas meja. Wajahnya kembali berubah. Raut sumringah tercetak di sana menandakan ia begitu senang pria itu datang menemuinya.

Tangan Sari disandarkan di sandaran sofa dengan posisi menyamping menghadap Randy menopang kepalanya. "Mau ngomongin apa Ran?" tanya Sari dengan lembut.

Sejenak Randy menghembuskan nafas berat. Sebenarnya Randy tidak ingin menceritakan hal ini kepada siapapun tapi curhat kepada Sari selalu membuat suasana hatinya jadi lebih baik.

"Emm...suami mbak udah masuk kan?" Randy sempat melongok pintu kamar Sari dan Pram yang tertutup.

Sari mengikuti arah pandangan Randy. "Udah Ran, emangnya mau ngomongin soal apa sih?" Sari tampak penasaran. Wajahnya mendekati Randy.

"Ini soal kejadian tempo hari di kamar hotel." Sari membulatkan matanya terkejut. Sari kembali menoleh ke pintu kamarnya memastikan Pram tidak mendengar apapun.

Sari lalu bangkit. "Kita ngobrolnya di kamar tamu aja yuk!" Dia menggandeng tangan Randy masuk ke kamar yang letaknya di sebelah ruang tamu.

"Ehemm...ini maksudnya mbak mau dengerin cerita Randy apa ngajak yang iya-iya nih?" tanya Randy dengan sedikit menggoda. Bagaimana tidak? Sari bisa saja mengajaknya ke ruang tamu yang letaknya juga jauh dari kamar Pram tapi wanita itu malah memutuskan untuk mengajaknya masuk ke kamar yang lain.

"Biar lebih privasi," ungkap Sari sembari mengunci pintu kamar.

"Terus nanti kalo suami mbak tau kita berduaan di dalam kamar gimana?"

"Gak papa," respon yang datar darinya seolah-olah itu bukan hal yang patut untuk dipikirkan.

Sari menghempaskan bokongnya di atas kasur. "Ayo sekarang boleh cerita." Kedua tangannya memegang pinggiran ranjang dan kakinya menjuntai ke bawah.

"Jadi gini mbak. Emm...Randy mulai darimana ya?" Sari mengernyit heran. Pria itu tampak ragu. Sari kemudian merangkul pundak Randy seraya tersenyum lembut memberikan kepercayaan kalau semua akan baik-baik saja.

Dagunya di letakkan di bahu kiri Randy dengan mata menatap wajah pria itu. "Cerita aja Ran, kamu percaya sama mbak kan?" Randy hanya mengangguk.

"Jadi gini mbak. Emm...kejadian waktu di hotel itu berbuntut panjang. Om Ginanjar gak terima, dia bahkan sampai minta coach yang melatih tim Randy buat ngeluarin Randy dari tim."

Sari terkejut. Dalam hati ia merasa bersalah karena telah melibatkan Randy dalam masalah ini. Sari yang sudah meminta tolong pada Randy, Sari lah alasan Randy berada di situ. Dia menyeret Randy yang tidak tahu apa-apa. Sekarang lelaki itu hanya menanggung akibatnya.

"Maafin mbak Ran. Gara-gara mbak kamu dapet masalah seperti ini. Seandainya mbak gak telfon kamu waktu itu pasti sekarang kamu..."

"Nggak. Bukan salam mbak kok. Randy merasa udah melakukan hal yang benar. Di sini satu-satunya yang harus di salahkan adalah om Ginanjar."

"Sebenarnya dia siapa? Kenapa dia punya wewenang sebesar itu? Sampai kamu bisa dikeluarkan dari tim?" tanya Sari yang masih penasaran.

"Randy juga gak tau mbak. Tapi yang pasti dia punya jaringan koneksi yang banyak. Termasuk pelatih dan manager tim Randy sekarang."

Randy memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. "Apa Randy lapor polisi aja ya? Dia kan udah coba perkosa mbak."

"Jangan. Kalo semisal kita lapor polisi pasti kita kalah. Pertama kita gak punya cukup bukti, kedua dia pasti punya cara biar bisa lolos dari jeratan hukum."

Ah betul juga. Jangan lupakan soal itu. Jangan lupakan siapa Ginanjar sebenarnya. Kenapa Randy bisa berpikir begitu? Otak lemotnya memang tidak pernah bisa diandalkan.

"Terus Randy harus gimana mbak? Apa Randy pindah aja dari tim GB sesuai saran dari coach Randy?"

Sari kembali menatap Randy dengan tatapan yang seolah tidak terima, lebih tepatnya tidak rela. "Jangan nanti mbak kesepian, ehh...maksudnya Annisa gimana kalo gak ada kamu? Pasti dia nyariin," alasan Sari seperti tidak relevan.

Bagaimana bisa Annisa mencari-cari dirinya sedangkan Annisa sendiri sekarang malah semakin membencinya. "Annisa apa mbak nih yang nyariin?" ucap Randy setengah meledek.

Sontak wajah Sari berubah memerah. Dia membuang pandangannya ke lain arah. "Pokoknya jangan. Untuk sekarang lebih baik kamu lihat-lihat situasi dulu. Semoga pak Ginanjar mengurungkan niatnya untuk balas dendam. Kamu juga sebisa mungkin jangan lagi berurusan sama dia," saran Sari.

Wanita itu memegang kedua pipi Randy dan mengarahkannya untuk menatap dirinya. "Semua akan baik-baik aja Ran. Kamu percaya sama mbak kan?"

Randy menarik sudut bibirnya ke samping seraya mengangguk. Entah kenapa meskipun tidak ada bukti tapi kata-kata Sari mampu melegakan hatinya.

Sari mendekatkan bibirnya mencium lembut bibir Randy. Ada rasa menggelitik di dada Sari. Tidak dipungkiri dirinya merindukan sosok Randy walaupun baru beberapa hari berpisah.

"Mbak, Randy pengin ini," ucapnya seraya mengelus perut Sari. Wanita itu mengernyitkan dahinya tidak paham. "Pengin apa Ran?" tanya Sari tidak tahu maksud Randy. Kalau dia mengusap bagian di antara pahanya mungkin Sari mengerti, tapi perut?

Randy hanya cengengesan tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya. Aksi lebih baik daripada ucapan. Itulah yang dilakukan Randy saat ini.

Dirinya sudah mendorong tubuh Sari di pembaringan dengan menggunakan bibirnya yang menekan bibir Sari.

Wanita itu memejamkan mata membalas tindakan Randy yang agresif. Teringat beberapa hari yang lalu dia sampai pingsan karena perilaku Randy yang menghancurkan raganya dengan cara yang nikmat. Namun saat tersadar hanya senyuman yang terukir di wajah Sari yang membuat ia selalu merindukan momen itu lagi.

"Hancurkan Randy! Hancurkan tubuh mbak sekali lagi! Kamu surga dunia yang mbak cari selama ini," batin Sari karena mulutnya terkunci oleh bibir dan lidah Randy yang bertamu di rongga mulutnya.

Pikiran Sari yang terbayang indahnya persenggamaan terakhir mereka membuat dirinya seratus persen pasrah mempersembahkan tubuhnya untuk pria yang ada di hadapannya itu.

"Gimana kalo suami mbak sampai mergokin kita mbak?" tanya Randy di sela-sela desahan Sari yang begitu keras. Seolah-olah dia tidak peduli kalau suaminya masih satu atap dan sedang menunggu di kamarnya sendiri.

Tampak terganggu karena Randy menghentikan aktifitasnya yang sedang nikmat-nikmatnya membuat Sari memberenggut. "Kamu takut sama mas Pram?"

Randy menggeleng. "Bukan takut. Lebih tepatnya Randy gak mau mbak Sari dapat masalah karena hubungan kita."

Sari tersenyum karena ternyata lelaki itu peduli dengannya. Hal kecil yang membuat Sari teramat sangat mencintai Randy. Ah bicara masalah cinta lebih baik wanita itu pendam saja daripada rasa itu semakin tumbuh dan sulit untuk mati.

Walau bagaimanapun juga cinta Randy sudah tersemat di hati adik kandungnya sendiri yaitu Annisa. Sari sama sekali tidak ingin merebutnya. Hubungan mereka hanya sebatas membantu Sari untuk memenuhi kebutuhan batinnya.

"Gak papa, biar dia sadar kalo sebenernya dia udah gak layak menyandang status sebagai suami bahkan untuk wanita manapun karena tidak dapat memenuhi kebutuhan batin seorang istri."

"Hmmm...kalo Randy layak dong jadi suami mbak," kekeh Randy guna menggoda Sari.

"Kamu itu laki-laki yang jadi impian semua wanita Ran. Kamu tampan, perhatian, lembut, dan yang paling penting perkasa di atas ranjang. Kamu punya sesuatu yang jauh lebih dari kata pantas jadi seorang suami," jelas Sari sambil memijat bahu Randy dari arah depan.

"Kalo gitu kita nikah aja. Siri."

Sari mencubit hidung bangir milik lelaki itu. "Jangan cuma ngomong doang. Buktikan!" cibir Sari yang ingin pembuktian dan bukan janji semata.

Randy hanya mengedipkan salah satu matanya lalu kembali menyergap Sari. Mereka kembali bergumul dengan mesra. Sesaat kemudian mereka sudah tidak mengenakan apapun. Dari ujung rambut sampai ujung kaki Sari tidak mengenakan apapun.

Mereka berdiri di hadapan cermin besar yang ada di sana. Terlihat kontras perbedaan ukuran tubuh mereka. Randy memeluk Sari dari belakang seraya menciumi leher jenjang wanita itu. Tangannya berguna memijat daging kenyal yang tergantung di dada Sari. Tangan satunya bergerak mengusap hutan gundul yang beberapa hari lalu ditebang habis.

Tangan Sari memeluk kepala Randy dari arah depan. Ia meremas-remas rambut Randy saat dirinya sudah dilanda nafsu yang memuncak. Dengan mata sayu Sari memandang wajah Randy dari pantulan cermin lalu bergerak ke bawah melihat helm pink Randy terselip di antara selangkangan Sari.

"Achhh...Ran, mbak udah gak tahan. Tolong masukin sekarang Ran! Punya mbak udah gatel pengin digaruk."

Randy mengangkat kaki kanan Sari lalu mengarahkan kejantanannya ke celah sempit milik Sari. "Enngghhh..." desah Sari ketika batang milik Randy malah mencelot ke luar. Sangat sulit memasukkan benda panjang itu tanpa bantuan tangan sedangkan kedua tangan Randy sudah sibuk sendiri.

Akhirnya tangan kiri Sari mengulur ke bawah memegangi penis Randy yang mengacung tegak. Dia arahkan hingga helm milik Randy membelah celah bibir vaginanya dan...

Blesss...

Senjata Randy sukses bersemayam di dalam inti tubuh Sari. Sari memejamkan mata kuat sembari mengepalkan tangannya akibat sensasi yang luar biasa nikmat di pangkal pahanya.

"Achhh...Ran, punya mbak penuh. Kamu gede banget," puji Sari sambil mengatur kontraksi agar pria itu juga menikmati momen bertemunya kelamin mereka.

Perlahan Randy mulai menggerakkan pinggulnya seirama dengan goyangan Sari. Mereka seperti sudah memiliki chemistry tersendiri. Tanpa perintah, tanpa permintaan mereka seperti tahu apa yang dimau pasangannya.

Dari arah cermin Sari dapat melihat inti tubuhnya dicabik-cabik oleh pisau tumpul milik pria itu. Nikmat, sangat nikmat dan hanya Randy yang mampu melakukannya. Paling tidak jika ia bandingkan dengan milik suaminya ketika masih berfungsi.

Seumur hidup memang Sari baru pernah berhubungan seks dengan dua orang pria. Pram dan Randy, calon adik iparnya itu. Dua orang yang jika dibandingkan bagaikan bumi dan langit. Randy bukan hanya perkasa tapi juga lembut dan penuh perhatian juga pengertian. Kalau Pram lebih mengutamakan kepuasan pribadi meskipun tak jarang Sari juga mendapatkannya tapi tetap saja tidak sebanding dengan Randy.

Plokkk...plokkk...plokkk...

Bunyi beradunya dua kelamin berbeda jenis itu nyaring terdengar di dalam kamar. Cairan putih bening mengalir dari dalam vagina Sari menuju testis milik Randy. Itu terlihat ketika Sari menatapnya di cermin.

Randy menurunkan kaki Sari lalu dengan bertumpu pada meja rias, Sari kembali disodok dari belakang. Sari melihat wajahnya sendiri dari dekat. Berantakan namun benar-benar sensual. Sepertinya dia baru pertama kali bersenggama dengan memandang mukanya sendiri. "Sungguh mesum," pikirnya.

Sari menggigit bibir bawahnya ketika berusaha mengetatkan otot-otot vaginanya. Hal itu berhasil membuat Randy menjadi blingsatan. Alhasil pompaan Randy semakin cepat membuat bumerang terhadap dirinya sendiri.

Niat hati ingin membuat Randy mencapai klimaks duluan malah dia yang semakin kewalahan merasakan hujaman yang bertenaga dan kuat.

"Achhh...Randyyy! Mbak mau nyhampeee...!!!" Beberapa detik kemudian Randy membenamkan sedalam-dalamnya penis miliknya ke vagina Sari.

Serrr...serrr...serrr...serrr...

Sari mendapatkan orgasmenya yang pertama. Nafasnya memburu, tangannya lemas saat berpegangan pada ujung meja rias itu. Randy lalu duduk di kursi kotak menarik pinggul Sari agar ikut terduduk di pangkuannya.

Mereka memandangi cermin. Tubuh mereka sudah mengkilap karena peluh yang keluar dari pori-pori mereka. "Aduh, capek Ran. Istirahat dulu yah." Randy hanya mengangguk.

Randy duduk memangku Sari. Kejantanannya masih kokoh di dalam milik wanita itu. Mata Randy menangkap sebuah buku yang lumayan besar. Randy penasaran karena di sampulnya tertulis album foto.

"Ini apa mbak?" tanya Randy sambil mengambil benda tersebut.

"Ini album foto mbak, kebanyakan foto sama Annisa karena dulu mbak deket banget sama Annisa. Eh gak tau kenapa kok bisa ada di sini ya? Padahal mbak cari-cari dari dulu."

Sari kemudian membuka buku tersebut. "Ini foto waktu mbak masih jadi guru." Sari menunjuk ke fotonya beberapa tahun silam.

O7re8CHJ_o.jpg

"Wah, mbak Sari pernah jadi guru?" tanya Randy tidak percaya.

"Masa sih? Perasaan mbak udah pernah cerita deh sama kamu." Randy mengedikkan kedua bahunya. "Hmm...mungkin Randy lupa."

"Jadi sebelum nikah mbak pernah jadi guru. Tapi setelah menikah mbak mutusin untuk fokus sama keluarga mbak."

Randy hanya mengangguk paham. "Nah ini foto Annisa. Jadi waktu itu mbak pernah pinjem hpnya Annisa dan waktu liat galeri mbak nemuin foto selfienya dia. Jarang banget Annisa selfie makannya mbak kirim ke hp mbak terus cetak deh. Cantik kan Annisa?"

9NcxAxYZ_o.jpg

Randy tersenyum namun tak ayal mengangguk setuju. "Iya mbak, Annisa cantik. Beruntungnya cowok yang bisa dapetin dia," desah Randy pelan.

"Kamu jangan patah semangat gitu dong. Cowok yang beruntung itu ya kamu. Mbak yakin Annisa masih cinta sama kamu," ucap Sari memberi semangat.

Aneh memang, dalam posisi kedua kelamin mereka saling bertemu seperti itu Sari menyemangati Randy untuk bisa mendapatkan hati adiknya lagi.

"Ini foto waktu mbak sama Annisa makan di food court mall."

szEv4UTX_o.jpg

"Wkwkwk...mbak kok melongo gitu. Gak aestetik banget deh," ledek Randy sambil menahan tawa.

"Iya tuh gara-gara Annisa mau jepret gak bilang-bilang dulu. Makannya mbak belum siap."

Sari kemudian kembali membalikkan album foto itu. "Dan yang ini...ehhh..." Buru-buru Sari menutupnya. Wajah Sari mulai berubah memerah seperti kepiting rebus.

"Mana coba Randy belum sempet liat." Randy mencoba merebut album foto itu dari tangan Sari namun wanita itu kekeh mempertahankannya sehingga badan mereka bergerak-gerak membuat sebuah desiran hebat karena kejantanan Randy yang tertancap di kewanitaan Sari.

"Achahaha...Randy geli!" pekik Sari yang tidak tahan digelitiki oleh Randy dari luar maupun dalam.

"Ya udah mana Randy pengin liat." Sari akhirnya menyerah. Dia terpaksa membuka buku itu lagi.

"Iya-iya ini." Sari menunjukkan foto yang tadi ia sembunyikan. Randy mengernyitkan dahinya.

"Ini siapa mbak?"

D99CYQJh_o.jpg

"Kembaran mbak," jawab Sari enteng. Namun tidak bagi Randy. Dia benar-benar terkejut mengetahui Sari punya kembaran.

"Jadi mbak punya kembaran?!" Randy bertanya dengan ekspresi cengonya. Sari terkekeh sambil mengangkat kedua bahunya. Mungkin dalam hati Sari mengatakan betapa bodohnya Randy bisa percaya begitu saja dengan ucapannya.

Randy sadar akan hal itu. "Jadi ini foto mbak ya? Mbak pernah gak pake hijab?"

"Enggak kok, mbak cuma foto kaya gitu sekali dan itu pun di dalam kamar gak di tempat umum. Dari kecil mbak udah dipakein jilbab sama bunda."

"Oh gitu ya, hahaha...unyu-unyu. Itu foto kapan mbak? Rambutnya panjang bener."

"Waktu SMA. Iya dulu mbak selalu pake hijab lebar jadi gak masalah rambutnya panjang."

"Cantik banget. Tapi masih kalah cantik sama yang lagi dudukin punya Randy nih." Sari sadar akan posisi mereka.

Namun ketika dirinya akan berdiri Randy justru menahannya dan mengangkat tubuh Sari dengan posisi kaki Sari mengangkang karena dipegangi oleh tangan Randy.

Mereka berpindah ke kasur dengan kelamin yang masih bersatu. Posisinya masih sama namun kini mereka rebahan miring.

"Randy gas lagi yah tadi belum nyampe nih." Sari mengangguk. "Lanjutkan Ran. Jangan di dalem yah!" ujar Sari memperingati. Namun sepertinya kata-kata itu hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

Tak lama berselang suara desahan kembali mengiringi jalan mereka menuju puncak kenikmatan yang hakiki.

2 jam kemudian.

Plokkk...plokkk...plokkk...plokkk...


"Achhh...Rhannn...mbak udah lemes banget, mbak bisa pingsan lagi nih kalo kaya gini terus..."

"Achhh...iyaaa...mbak sebentar lagi Randy nyampe kok..."

"Achhh...kamu dari tadi bilang bentar lagi bentar lagi tapi gak nyampe-nyampe."

"Ini Randy gas polll..."

Mereka kembali saling bergelut di atas ranjang yang sudah berantakan dan basah kuyup. Vagina Sari sudah mulai mati rasa karena gesekan yang intens dan dalam kurun waktu yang lama. Posisi mereka misionaris sehingga mulut mereka tidak henti-hentinya bertukar cairan.

Plokkk...plokkk...plokkk...plokkk...

"Ouhhh...Rhannn...jangan keluarin di dalem lagi kaya tadi! Kamu bandel banget ihhh..." protes Sari yang sebelumnya disembur oleh sperma Randy dalam rahimnya walau sudah diperingatkan.

Ini sesi ketiga untuk Randy. Sebelumnya dia sudah dua kali orgasme di dalam inti tubuh Sari dan Sari entah sudah yang keberapa kali mencapai klimaks.

"Gak janji mbak. Soalnya memek mbak enak banget sih. Bikin Randy ketagihan terus."

"Ouhhh...nakal kamu yah. Berani ngomong jorok...emhhh...tapi kontol kamu juga nikmat banget, keras..."

"Huh...huh...itu mbak juga ngomong jorok..***k heran, Randy kan muridnya mbak..."

Sari tidak lagi menimpali. Dia terlalu fokus untuk merasakan denyutan kuat yang sebentar lagi menerjangnya untuk yang kesekian kalinya.

"Ayo Ran, garuk memek mbak terus. Mbak bentar lagi nyampe..." racau Sari yang kini sudah tidak peduli apa-apa lagi. Bahkan jika dirinya akan tepar setelah itu dia sudah tidak peduli lagi.

Randy semakin mempercepat pompaannya di vagina Sari. Wanita itu melingkarkan kakinya di pinggang Randy sembari mengimbangi gerakan lelaki itu dalam memacu birahinya.

"Achhh...mbak Randy mau nyampe nih! Di dalem ya," pinta Randy di antara desahan mereka.

"Achhh...jangan..."

"Pleaseee...mbak!"

"Achhh...oke oke. Tapi cepetan jangan lama-lama. Mbak udah gak tahan..."

"Iya mbak..."

Randy mencapai puncak terlebih dahulu.

Crottt...crottt...crottt...

Hanya berselang beberapa detik Sari menyusulnya. "Awnghhhhhh...Rhannn...mbak nyhampeee...!!!"

Serrr...serrr...serrr...serrr...

Keduanya menegang merasakan masing-masing kelamin mereka saling menyemprotkan cairan kenikmatan. Sari memejamkan matanya menikmati sisa-sisa orgasme yang amat luar biasa dengan Randy.

Lima menit mereka masih dalam posisi yang sama. Randy memeluk Sari dari atas. Sari dapat merasakan kejantanan Randy mulai menyusut dan keluar cairan putih dari dalam vaginanya.

Sari memeluk kepala Randy dengan penuh kasih sayang. Diusapnya rambut belakang Randy serta mencium puncak kepalanya. Pikirannya kembali mengarah pada apa yang Randy ceritakan tadi. Masalah Randy membuat Sari merasa bersalah.

"Randy, mbak janji akan bantu kamu. Kamu yang sabar yah. Mbak akan lakukan apapun untuk menyelamatkan kamu dari pak Ginanjar."

Mata Sari menatap langit-langit kamar itu. Dia berpikir apa yang harus dia lakukan untuk menolong Randy. "Aku harus menemui pak Ginanjar. Yah, aku akan mengikuti kemauannya asalkan Randy bebas dari masalah ini."

To Be Continue...
 
Wah, makin seru alurnya. Adakah Icha bakal bermadu dengan Ibu Sri, kasian Sari akhirnya sendiri bakal nyerah diri ke Galinjar demi Randy tersayang.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd