Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
kemaren ranty, trus icha mau jadi korban, skrng mba sari mau nyerahin diri ke pak ginanjar juga aduhhh semua cewe yg sama randy kok jadi main sama om om jangan jangan bentar lagi annisa kena juga tuh wkwkwk
 
kemaren ranty, trus icha mau jadi korban, skrng mba sari mau nyerahin diri ke pak ginanjar juga aduhhh semua cewe yg sama randy kok jadi main sama om om jangan jangan bentar lagi annisa kena juga tuh wkwkwk
Kan si Annisa sdh sempat di obok-2 dan secelup 2 celup sama pak kyai
 
Apes benar nasib rendi, sari otw dikentu ginanjar , tidak lama lagi ica dikeloni tetangganya dihamili pula. Makin sangar saja cerita ini
 
Hmm akankah ustazah Sari menyerahkan tubuhnya demi karier Randy.. Lalu dengan linangan air matanya sang ustazah Sari disenggamai Ginanjar penuh nafsu... Betapa murkanya Randy bila hal itu sampai terjadi. Bahkan bukan lagi cuma menghajar Ginanjar lagi, melainkan bisa saja membunuhnya. Dan hanya kasih sayang sang buguru ustazah Sari lah yang bisa redam amarah Randy. Melembutkan hatinya dengan tutur kata nasihat bijak Sari, lanjut menenangkannya dengan persenggamaan nikmat ala Sari yg keibuan, bak bidadari yg menenangkan singa jantan kesayangannya. wiu wiu wiu
 
Part 13. Jadi Gigolo

Pagi itu Icha masih terlelap tidur saat anaknya duduk sambil memasukkan jari tangannya ke lubang hidung Icha. "Nun!" celoteh Aira seolah-olah mencoba membangunkan ibunya karena hari sudah siang. Icha yang terusik lalu menelentangkan tubuhnya sambil meregangkan otot-ototnya. "Nun!" (Bangun!) seru Aira lagi.

Icha pun mengerjapkan matanya. Semalam memang dia susah tidur. Setelah mendengar permintaan ibu Sri, Icha benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Apakah ibu Sri sudah gila sehingga dia rela menyerahkan suaminya sendiri pada wanita lain? Apalagi alasannya agar sang suami bisa memiliki keturunan dari darah dagingnya sendiri.

Sejenak matanya menangkap benda yang tergantung di dinding berbentuk lingkaran. Sepasang netra itu membulat kala jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah 8. Dia pun langsung melompat dari kasurnya seraya berlari ke arah kamar mandi. "Aira! Mama telat!" Aira hanya menepuk keningnya sendiri melihat kelakuan ibunya di pagi ini.

Icha bergegas mandi karena dia tak memiliki waktu lagi. Kafe buka jam 8 sedangkan setengah 8 dia bahkan baru bangun tidur, belum ganti pakaian, belum sarapan, belum memandikan Aira. UPS...tunggu-tunggu. Iya benar. Aira belum mandi dan masih ada di atas ranjang.

"Gak ada waktu lagi!" Tanpa pikir panjang Icha keluar dari kamar mandi dengan keadaan basah kuyup tanpa mengenakan apapun. Dia lalu menggendong Aira dan membawanya ke kembali ke kamar mandi. Untung saja mereka sendirian di rumah.

Mereka kemudian mandi bersama. Susah juga ketika Icha mandi sekaligus memandikan Aira. Anak itu malah berteriak riuh sambil menampar-nampar air di dalam bak. Hal itu mempersulit Icha untuk bergerak dengan cepat.

Setelah mandi seadanya, mereka langsung bersiap-siap. Itu saja sudah memakan waktu 15 menit. Belum lagi mengantar Aira ke rumah ibu Sri yang bisa memakan waktu sampai 5 menit, belum lagi jarak antara rumah ibu Sri dan kafe yang cukup jauh. Jika jalan kaki sudah pasti terlambat, jika menunggu ojek online juga memakan waktu yang lama. Apalagi jam sibuk seperti ini, banyak yang pergi bekerja.

Mereka berjalan setengah berlari. Belum sempat sarapan tetapi Icha sudah menyiapkan makanan untuk Aira. Kuran dari 5 menit mereka telah sampai di kediaman ibu Sri. Icha terlihat ngos-ngosan karena jalan cepat.

"Nak Icha kok siang banget berangkatnya? Bukannya kafe buka jam 8 ya? tanya ibu Sri sambil mengambil Aira dari gendongan Icha.

"Iya Bu, Icha bangun kesiangan, duh mana tukang ojeknya masih jauh lagi," jawab Icha panik.Dia melihat aplikasi yang ada di hpnya. Driver belum menanggapi. Dia sedikit melirik jam. Pukul 07.50.

"Biar bapak yang antar," kata ibu Sri. Icha terdiam mendengar tawaran dari ibu Sri. Wanita paruh baya itu langsung memanggil suaminya. "Bapak! Tolong anterin nak Icha berangkat kerja!" seru ibu Sri.

Tak berselang lama pak Karso muncul dari dalam rumah. "Kenapa Bu?"

"Tolong anterin nak Icha kerja. Udah kesiangan nih!" ucap ibu Sri lagi.

"Ya udah Bu, bapak keluarin motor dulu." Pak Karso buru-buru mengeluarkan motor bitnya. Hanya memanaskan sekitar 30 detik dia menyuruh Icha untuk segera naik.

"Ayo nak Icha naik, nanti terlambat loh." Icha sempat ragu namun waktu yang semakin mepet membuat dia tidak punya pilihan lain. Icha akhirnya membonceng pak Karso dengan posisi menyamping.

"Pegangan nak Icha!" Ibu Sri mengarahkan tangan Icha agar melingkar di perut suaminya. Icha membeku. Ibu Sri tersenyum seraya mengangguk kepada Icha. Dia seolah sengaja agar Icha dan suaminya semakin dekat. Walau tampak risih tapi Icha tidak menolak. Bukan waktunya untuk memikirkan hal itu yang terpenting sekarang adalah dia bisa cepat-cepat sampai ke tujuan.

Motor bermesin matic itu mulai bergerak. Icha terpaksa mempertahankan pegangannya di perut pak Karso karena dia tidak memiliki pegangan lain. Di samping itu motor melaju cukup cepat.

Jam menunjukkan pukul 8 kurang 2 menit. "Terima kasih pak, sudah mau anterin Icha," ucap Icha sambil mencium punggung tangan pak Karso. Suami ibu Sri itu tersenyum seperti seorang ayah kepada anaknya. "Hati-hati ya nak ya. Jangan terlalu capek." Pesan dari pak Karso membuat hati Icha menghangat.

Dia seperti mendapatkan sosok ayah di dalam diri pak Karso. Perasaan yang tidak pernah Icha rasakan karena ayah kandungnya adalah seorang yang bejat. Tapi pak Karso berbeda. Dia sungguh memilih jiwa kebapakan meskipun dia belum pernah memiliki seorang anak.

Icha sudah menganggap pak Karso seperti seorang ayah baginya. Bagaimana mungkin Icha bisa menikah dengannya apalagi mengandung anaknya seperti permintaan dari ibu Sri?

Icha bekerja dengan tidak bersemangat. Raganya di sana tapi pikirannya entah kemana. Padahal baru beberapa hari Icha bekerja di sana. Hal itu membuat rekan-rekannya geram. "Cha, kamu sebenernya niat kerja gak sih?" tanya salah satu karyawan kafe kepadanya.

"Eh, niat kok mba!" Icha menunduk sambil melanjutkan mencuci piring dan gelas di atas wastafel.

"Udah kamu di depan aja sana! Gantiin Ika di meja kasir. Kalo gini terus gak selesai-selesai," kesal temannya. Icha menurut. Dia lalu berjalan ke meja kasir.

"Mba, di suruh ke belakang sama mba Yuni. Biar saya yang gantiin."

"Emang kamu udah bisa pake mesin kasir?" tanya Ika.

"In syaa Allah mbak," jawab Icha yakin. Walau begini juga Icha pernah kuliah meskipun tidak sampai tamat. Dimana rata-rata pegawai di situ hanya lulusan SMA. Menggunakan mesin kasir yang berbasis komputer cukup mudah untuk dipelajari.

Saat itu keadaan kafe masih cukup senggang. Ketika sedang mengamati pengunjung tiba-tiba pandangannya tertuju pada seseorang yang dia kenal bahkan dia rindukan. Seseorang yang berjasa membuat dirinya berhijrah.

•••​

Paras ayu nan manis dengan ditopang tangannya yang berada di atas meja sedang cemberut. Dari tadi yang dia lakukan hanya mengaduk-aduk jus alpukat tanpa ada hasrat untuk meminumnya.

Di depannya ada seorang gadis yang jarinya sibuk menari-nari di atas keyboard laptop miliknya. "Kenapa sih Nis? Dari kemarin mukanya ditekuk terus? Gak ditekuk aja jelek apalagi ditekuk, hehehe..." canda Indah tanpa melirik ke wajah Annisa yang sudah berada pada mode badmood.

"Ndah, kamu pernah punya mantan?" ucap Annisa tiba-tiba membuat Indah menghentikan aktifitasnya sementara. "Mantan gue banyak," jawab Indah sedikit sombong. Annisa menarik bibirnya ke samping dengan malas.

"Gimana caranya move on dari mantan?" tanya Annisa kepada Indah. Ya, akhir-akhir ini masalah yang mendera Annisa adalah virus gagal move on.

Sekuat mungkin Annisa melupakan satu-satunya mantan yang pernah mengisi hatinya tetapi hancur hanya dengan sekali kejadian yaitu saat Randy mencium bibirnya beberapa hari yang lalu. Perjuangan dia selama ini seolah kembali ke titik nol.

"Gampang itu mah. Nih, yang pertama jangan simpan pemberian mantan, apapun itu." Sejenak Annisa berpikir. Sepertinya tidak ada pemberian Randy yang tersisa. Satu-satunya pemberian Randy yang masih membekas di relung hatinya adalah janin mereka yang kini telah berada di surga.

"Yang kedua, hindari mantan. Jangan berhubungan dalam bentuk apapun. Walau itu hanya di telfon aja." Bagaimana Annisa bisa menghindari Randy jika mereka kini malah satu kampus.

"Yang ketiga...hehehe. Tentu aja cari gantinya dong..." ujar Indah sambil terkekeh. Cari gantinya? Annisa tidak pernah dekat dengan lelaki manapun. Paling hanya Justin. Itupun dia tidak memiliki rasa apa-apa terhadap lelaki itu. Dia hanya pacar bohongannya. Bagaimana dengan Arif? Dia mengejar-ngejar Annisa dari sejak mereka SMP tapi lagi-lagi Annisa tidak memiliki rasa apapun terhadapnya.

"Apa lu udah putus sama kak Justin dan lagi berusaha move on dari dia?" tanya Indah mengagetkan Annisa.

"Hahh?! Enggak kok. Aku masih pacaran sama dia." Annisa terpaksa berbohong.

"Terus lu lagi berusaha move on dari mantanmu yang lain? Ahh...kalo gue pacaran sama kak Justin sih bakalan gampang banget move on dari mantan sebelumnya. Secara kak Justin kan tipe cowok yang sempurna. Ganteng, tinggi, atletis, uhhh...rahimku anget masss..." Mata Indah terpejam membayangkan dirinya di bawah kungkungan lengan tebal milik Justin.

Namun beberapa detik kemudian Indah tersadar apa yang telah ia lakukan barusan. Dia menceritakan fantasinya kepada wanita yang menjadi pacar lelaki yang dia bayangkan. Tiba-tiba wajahnya merah menahan malu dan khawatir Annisa akan marah padanya.

"M...maaf Nis. Gu...gue gak bermaksud gitu kok. Gue gak ada niat ngerebut kak Justin dari lu." Berbeda dengan Indah yang malu dan takut, Annisa justru tertawa renyah. Indah berhasil mengembalikan moodnya saat ini. Annisa sama sekali tidak marah kalau temannya itu memiliki fantasi seperti itu. Mungkin jika Annisa tidak ingat bahwa Justin adalah calon ayah tirinya, bisa jadi perasaan akan tumbuh di dalam dada.

"Hahaha..***k perlu takut Ndah. Apa yang kamu bayangin udah pernah aku alamin..." ujar Annisa spontan tanpa berpikir panjang. Tanpa dia sangka yang dia katakan sebentar lagi akan membuat dirinya menyesal.

Indah melongo mendengar ucapan Annisa barusan. Annisa yang sadar apa yang barusan keluar dari mulutnya pun kini wajahnya memucat. Ia tutupi mulut laknatnya dengan telapak tangannya sendiri. "Ja...jadi kalian udah ngelakuin sampai sejauh itu?!" Indah tampak tidak percaya namun Annisa tidak mungkin berbohong sespontan itu.

Annisa cemas. Dia bingung harus menjelaskan apa kepada Indah. Maksudnya bukan dengan Justin melainkan lelaki yang memiliki ciri-ciri seperti Justin. "Ehhh...enggak kok, aku kan cuma becanda, hehehe..." respon Annisa kikuk seraya memijat punggung lehernya.

Indah memanyunkan bibirnya sambil manggut-manggut. "Iya lah, mana mungkin Annisa yang taat beribadah ini ngelakuin hal seperti itu, ya kan?" goda Indah yang membuat Annisa pucat pasi.

"Hahaha...jangan bengong. Nanti mulutnya kemasukan lalat loh!" seloroh Indah melihat keterdiaman Annisa.

"Udah ah, gak usah dibahas lagi. Mending sekarang kita bayar terus balik ke kelas. Lima belas menit lagi kita ada mata kuliah." Annisa lalu bangkit dan berjalan menuju kasir untuk membayar pesanan mereka.

"Meja nomer 18 mba," kata Annisa di depan petugas kasir. Annisa sedikit memicingkan matanya melihat sosok yang menggunakan masker sedang mengetik di hadapannya itu.

"K...kak Icha?!" tebak Annisa. Bagai tersambar petir di siang bolong, kasir itu terlonjak kaget. Keringat deras mengalir dari keningnya. Sekuat tenaga dia berusaha menyembunyikan identitasnya namun dalam sekali lihat Annisa sudah mengetahui yang sebenarnya.

"E...ehh...eee..." respon Icha tidak mau mengakui maupun mengelak. Dia lebih memilih diam menunggu Annisa berbicara lagi.

"Apa kabar kak?" tanya Annisa dengan nada pelan. Sungguh Icha tidak berekspektasi kalimat itu keluar dari mulut Annisa.

Dia pikir Annisa masih sangat membenci dirinya karena telah merebut Randy, tapi melihat senyum simpul Annisa yang menyiratkan kerinduan membuat hati Icha seakan lolos.

Lantas Icha pun menjawab. "Alhamdulillah kakak baik, kamu gimana?" Icha sudah tidak menutupi lagi.

"Alhamdulillah baik juga. Kakak sekarang kerja di sini? Terus Aira sama siapa?"

"Iya, Aira kakak titipin sama oma opanya." Annisa mengangguk tanpa menanyakan lebih perihal siapa yang Icha sebut oma opa.

"Apa Randy gak ngebiayain kebutuhannya Aira sampai-sampai kakak harus kerja?"

Icha sontak menggelengkan kepalanya. "Enggak Annisa. Randy selalu kasih uang yang cukup buat kakak sama Aira. Dia orangnya sangat bertanggung jawab. Kakak cuma ingin menabung untuk masa depan Aira karena setelah kalian menikah fokus Randy akan terbagi. Kakak gak mau ngerepotin dia."

Annisa menelan salivanya dengan susah payah. "Siapa yang mau nikah kak? Kakak tau kan kalo Annisa dan Randy udah selesai. Kita gak akan mungkin bersatu lagi. Akan lebih baik kalo Randy nikah sama kak Icha biar Aira enggak kehilangan sosok ayah."

"Annisa, Randy itu cintanya sama kamu, bukan sama kakak. Kamu juga cinta kan sama dia? Sudah cukup kakak jadi duri di antara kalian berdua. Kalian harus US bersat..." Belum sempat Icha menyelesaikan kata-katanya, seorang pengunjung yang berada di belakang Annisa sudah ngomel-ngomel. "Woy, kalo mau curhat jangan di sini! Saya buru-buru ini mau bayar!"

Icha pun mengangguk meminta maaf. "Ya udah kak, lain kali kita sambung lagi. Annisa pergi dulu." Setelah menyelesaikan transaksi mereka, Annisa pergi menyusul temannya yang sudah lebih dulu keluar dari kafe.

Sejenak Icha menghembuskan nafas lega. Ternyata Annisa tidak membenci dirinya. Sepertinya hubungan mereka bisa diperbaiki mulai saat ini. Tidak dipungkiri Icha sangat merindukan saat-saat mereka masih satu rumah.

•••

"Papa...!!!" Seluruh mata langsung tertuju pada seorang bocah cilik yang berlari sambil merentangkan tangannya. Dia berlari ke arah Randy setelah selesai latihan. Dengan sigap Randy langsung mengangkat anak itu ke gendongannya.

"Haduhhh...anak darimana lagi nih Ran? Gue udah angkat tangan deh. Gila, anak lu dimana-mana, kasihan Annisa. Ckckck..." ucap Justin diselingi dengan decakan.

Randy menatap Justin tajam. "Ini bukan anak gue, sumpah deh! Dia ponakan yang suka manggil gue papa," jelas Randy yang hanya dibalas gelengan kepala oleh Justin. Mana mungkin dia percaya penjelasan yang tidak masuk akal itu.

Pandangan Randy beralih ke bocah itu. "Reihan ke sini sama siapa?" Anak itu menunjuk ke arah pintu masuk tempat latihan Randy. "Sama mamah." Di sana berdiri seorang wanita dengan menggunakan blazer dan rok selutut.

Perempuan itu berjalan dengan langkah pasti ke arah mereka berdua. Randy menatapnya dengan sinis. "Ada perlu apa tante dateng ke sini?" Randy sama sekali tidak melihat wajah tante Dewi. Dia beralih ke Reihan.

Ada rasa sesak di dada kala lelaki yang pernah berbagi peluh dengannya kini bersikap dingin. Seolah-olah mereka tidak pernah mengenal satu sama lain. Dewi berusaha memenangkan hatinya sebelum menjawab. "Tante dateng ke sini karena Reihan merengek terus minta ketemu sama kamu."

Randy mengangguk. Alasan yang cukup masuk akal karena mereka memang sudah lama sekali tidak bertemu. Diam-diam Randy juga rindu dengan sosok bocah petakilan yang sangat energetik dan susah untuk diam.

"Reihan biar sama saya aja tante. Nanti kalo udah selesai akan Randy antar ke rumah." Dewi terdiam. Dia merasa diusir secara halus. Padahal dia kemari bukan hanya karena anaknya rewel tetapi juga karena dia ingin bertemu dengan Randy.

"Ran, ada hal yang mau tante bicarakan." Randy tersenyum sinis. "Sepertinya gak ada yang harus dibicarakan lagi di antara kita."

Pria itu kemudian berbalik hendak meninggalkan Dewi yang masih membeku. "Kalo tante mau menunggu silahkan. Sepertinya sekarang ada yang mau main-main dulu di sini," celetuk Randy yang kemudian membawa Reihan ke dalam lapangan yang telah kosong karena latihan telah berakhir.

Tanpa kata-kata Dewi pergi meninggalkan tempatnya berdiri dan duduk di tempat tribun penonton. Di dalam court terlihat dua laki-laki beda generasi sedang bermain-main dengan sebuah bola basket. Reihan tampak sangat senang kala itu. Ini adalah kali pertama Reihan tertawa lepas sejak kepergian Randy dari hidup anak tersebut...dan hidup Dewi.

Yah, lagi-lagi Dewi merasa seperti melihat seorang ayah yang sedang bermain sekaligus melatih anaknya bermain basket. Rasa itu datang lagi, rasa ketika saat Randy masih tinggal di rumahnya sebagai supir pribadinya. Lelaki itu bukan hanya memberikan kepuasan batin untuknya tetapi juga memberikan kehangatan layaknya seorang kepala rumah tangga.

Sungguh Dewi sangat menyesal telah memercikkan api dengan berselingkuh dengan Pram. Dia sekaligus kehilangan cinta dua orang pria, suaminya dan Randy. Entah kalau waktu dapat terulang kembali, rasanya dia ingin memupuk cintanya hanya untuk Randy seorang. Untuk Ginanjar? Ah, persetan dengan lelaki semacam itu. Bahkan kini dia tidak pernah pulang. Kalau berkunjung ke kota ini dia lebih memilih untuk tinggal di apartemen alih-alih pulang untuk menjenguk istri ataupun anaknya.

Karena hal itu kini ladangnya seakan mengering. Rumput-rumputnya gersang ingin disiram oleh mata air yang jernih. Ah, pikirannya entah kemana. Sebenarnya Dewi bisa saja menyewa gigolo, namun hal itu akan mengurangi value-nya sebagai wanita. Dia ingin melakukannya dengan seseorang yang tepat dan mungkin Randy lah jawabannya.

"Eyan nanti kalo dah gede mau jadi kaya papa!" celoteh Reihan kepada Dewi ketika mereka telah selesai bermain. Keringat deras menghiasi wajah imutnya.

"Iya nanti Reihan jadi kaya papa ya." Dewi menimpali seadanya.

"Uhhh...Eyan cape pengin istirahat pulang. Papa ikut Eyan pulang yuk!" ajak Reihan. Sejenak Randy merasa bimbang. Bukan apa-apa tetapi dia tidak ingin bertemu dengan Ginanjar dan sepertinya Dewi mampu membaca pikiran Randy.

"Suami tante udah gak pernah pulang." Randy menatap Dewi dengan tatapan yang sulit diartikan. Dewi yang ditatap justru membuang muka ke arah lain.

Dengan bujukan Reihan terus menerus akhirnya Randy setuju untuk mengantar Reihan pulang. "Pake mobil tante aja, motormu tinggal sini." Tidak mau memperpanjang urusan Randy menurut saja. Lagian Reihan pasti ingin pulang bersama Randy sedangkan tidak memungkinkan untuk naik motor membawa Reihan.

Di perjalanan pulang hanya diisi oleh celotehan Reihan. Walau dia sangat lelah tapi dia gembira karena telah bertemu dengan 'papanya' itu.

Sesampainya di rumah, Randy menggendong Reihan yang saat itu sudah terlelap tidur ke kamarnya. Tanpa menunggu lama Randy bermaksud untuk pamit pulang karena sudah tidak ada lagi urusan di sana.

Dewi yang menunggu Randy keluar dari kamar anaknya pun mencegah dia untuk pergi secepat itu. "Randy, tunggu!" Dewi melangkah menghampiri Randy yang baru saja akan pergi.

Dewi berdiri tepat di hadapan pria itu dengan mendongak karena tubuh Randy yang jauh lebih tinggi dari tubuhnya. Ada desiran aneh dalam dadanya yang berusaha menyeruak keluar.

"Ran..." gumam Dewi lirih. Ingin sekali dia menghambur ke pelukan lelaki itu namun masih ia tahan-tahan.

Randy masih diam menunggu apa yang Dewi akan lakukan selanjutnya. Perlahan disentuhnya dada bidang Randy dari balik kaos basket miliknya. Basah keringat Randy semakin membuat Dewi mabuk kepayang.

Saat Dewi hendak mengecup bibir Randy yang menggoda tiba-tiba Randy melengos. Dewi memandang Randy dengan perasaan kecewa. Sebegitu bencinya Randy terhadap dirinya sekarang?

"Tante, Randy rasa kita udah gak ada hubungan apa-apa lagi. Sepertinya kita gak perlu melakukan itu."

"Apakah harus ada hubungan agar kamu mau melakukannya?"

Randy mengangguk pelan. "Iya, gak ada alasan untuk kita melakukannya." Ketika Randy hendak mengangkat kakinya ke depan Dewi kembali menyeletuk. Kali ini membuat Randy memicingkan matanya.

"Kalo gitu tante akan bayar kamu!" Dewi yang sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk membujuk Randy akhirnya berbuat nekad.

"Kenapa? Itu alasan yang masuk akal kan? Kamu puasin tante, tante bayar kamu," ucap Dewi dengan mata sedikit berair. Biarlah kini ia dianggap sebagai tante girang dia sudah tidak peduli lagi.

Randy menaikkan salah satu sudut bibirnya. Melihat kegigihannya patut diacungi jempol. Pria itu menatap lekat mata Dewi dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

"Berapa?" tanya Randy membuat mata Dewi kian membulat. "Apa?! Randy menyetujuinya?" batin Dewi.

Tidak mau Randy berubah pikiran, Dewi langsung mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya lalu membuka aplikasi m-banking kemudian ia sodorkan benda pipih itu ke arah Randy. "Masukkan aja nominal yang kamu mau!"

Randy menerima ponsel tersebut lalu mengetikkan sebuah nominal. "Ini, tarif untuk sekali kencan." Randy kembali memberikan benda itu kepada Dewi.

Tanpa pikir panjang Dewi langsung menekan tombol transfer. "Sudah tante transfer ke rekening kamu." Dewi memperlihatkan bukti transfer itu kepada Randy.

Lelaki itu cukup terkejut karena nominal yang dia masukkan tidak bisa dibilang kecil. Randy sengaja melakukan itu karena ingin membuat Dewi mengurungkan niatnya untuk menyewanya dengan nilai uang yang tidak sedikit. Ternyata Dewi orangnya sangat royal. Dia rela menggelontorkan dana yang cukup banyak hanya untuk bisa bersama Randy. Dia juga lupa siapa Dewi sebenarnya. Nominal itu tidak ada 10 persen dari pemberian suaminya perbulan.

"Sekarang sudah resmi. Kamu milik tante selama satu hari penuh." Randy melirik jam yang tersemat di tangannya. "Jam 10 besok pagi waktu sewa Randy selesai."

Dewi mengangguk. "Di sini atau...di hotel?" tanya Randy memastikan. "Di sini aja. Gak akan ada yang ganggu kita."

"Bi Lastri?"

"Dia ada di belakang. Gak akan ganggu kok." Randy masih ragu. Bagaimana kalau tiba-tiba bi Lastri datang ke ruangan itu?

"Ya udah, Randy mau bersih-bersih dulu. Badan Randy bau keringat dan lengket." Ketika Randy hendak beranjak dari tempat dia berdiri, Dewi langsung menahannya.

"Gak usah, nanti juga keringetan lagi." Kini senyum sedikit terbit dari bibir manisnya.

"Oke." Sekarang Randy mulai mendekati tubuh sintal milik Dewi itu. Dia pegang kedua sisi pinggang Dewi dan perlahan melingkar di sana.

Desiran birahi langsung menerpa kulit Dewi yang menjadi sangat sensitif dengan sentuhan yang dikirim oleh Randy.

Dewi tidak menyangka kini ia secara tidak langsung sudah menjadi sugar mommy yang menyewa seorang gigolo untuk memuaskan nafsunya. Randy pun demikian, dengan ini ia telah resmi menyandang status lelaki pemuas nafsu tante girang.

Randy memijat pinggang bagian belakang Dewi dengan pijatan yang lembut. Dia tidak ingin mengecewakan pelanggan pertamanya. Hal itu membuat perut rata Dewi membentur sebuah benda mirip ular yang bersarang di dalam celana Randy.

Satu desahan lolos dari bibir Dewi. "Achhh..." Tangan Randy beralih ke dua bongkahan balon yang cukup besar di area bawah serta memijitnya pelan.

Dewi melingkarkan tangannya di leher Randy. Wanita itu berjinjit agar ia bisa meraih benda kenyal yang menggodanya.

"Mmmhhh...ssscccppllpp..." Dua pasang bibir mereka saling bertautan. Lidah mereka saling bergulat berusaha menyerang satu sama lain.

Inilah yang Dewi inginkan selama ini. Sentuhan-sentuhan yang dibuat Randy semakin membuat Dewi terbakar api birahi. Dewi menghisap benda lunak yang keluar dari mulut Randy dengan rakus, tidak menyisakan satu tetes pun.

Tiba-tiba datang seorang wanita paruh baya, "permisi nyonya, tadi ada pesan dari tuan Ginan..." Langkahnya terhenti, mulutnya menganga dengan lebar. Dia melihat majikannya sedang bercumbu dengan seorang pemuda.

Tautan antara keduanya pun terlepas. Berbeda dengan bi Lastri yang sangat terkejut dengan muka memerah, Dewi dan Randy hanya memasang wajah santai. Randy tahu semua sudah berada di bawah kendali Dewi saat dia memutuskan untuk melakukan permainan di sini.

Dewi beranjak mengambil dompet di tasnya. Diambilnya dia lembar uang seratus ribuan lalu ia berikan kepada bi Lastri. "Ini buat bi Lastri. Jangan ke sini kalo enggak dipanggil ya bi, dan jangan bilang apa-apa sama suami saya."

Bi Lastri menunduk seraya mengangguk paham. Sejenak ia melirik Randy dari sudut matanya. Pria itu menyunggingkan senyum sembari mengerlingkan matanya membuat bi Lastri menjadi salah tingkah. Wanita paruh baya itu langsung pamit ke belakang.

Dewi memutar tubuhnya menghadap Randy. "See? Gak ada yang perlu ditakutkan, kan?" ucap Dewi yang kini sudah tidak terlihat canggung lagi. Dia tahu Randy tidak akan mengacuhkannya kali ini. Dia sudah membayarnya.

Sekarang giliran Dewi yang agresif. Randy tahu Dewi ingin memimpin permainan. Dia didorong hingga duduk di atas sofa yang empuk. Dengan sekali tarikan Dewi berhasil meloloskan celana basket milik Randy itu dan hanya menyisakan celana dalam yang basah karena keringat.

Dewi bersimpuh di hadapan Randy. Dia tatap kain basah yang membungkus suatu benda luar biasa yang sebentar lagi akan mengantarkannya ke surga dunia tertinggi.

Kain itu terlihat sangat menggugah gairah di mata Dewi. Tanpa ragu ia hirup benda terakhir yang membungkus pusaka Randy. Baunya sangat menyengat, tidak bisa dikatakan wangi bahkan mungkin sebaliknya. Tapi di dalam indera penciuman Dewi itu terasa seperti parfum termahal sekalipun.

Ia ciumi dan jilati celana dalam Randy hingga basahnya bukan hanya karena keringat tapi juga air liur Dewi. Perlahan Dewi turunkan kain pembungkus itu lepas dari kaki Randy. Tongkat keras milik Randy yang selalu ada di angan-angan Dewi terpampang jelas di hadapannya.

Matanya berbinar-binar. Kegersangan sawah miliknya sebentar lagi akan disirami oleh sebuah mata air segar yang sudah siap membasahinya.

Sejenak Dewi menghisap dalam-dalam celana dalam Randy yang masih berada di tangannya. Dengan seringai ia lemparkan benda itu jauh ke belakang.

Dewi mulai menggenggam tongkat besar itu yang sebesar lengan bayi. Dikocoknya sebentar sambil mulut mereka kembali saling menukar saliva satu sama lain.

Setelah puas berciuman, Dewi menurunkan kepalanya untuk mengisap kejantanan Randy yang sudah mengacung dengan keras. "Achhh..." Lolos lah lenguhan Randy. Dia tampak menikmati servis dari wanita yang membayarnya.

Lidah Dewi menari-nari di atas kepala pink milik Randy, sesekali ujung lidahnya menjorok masuk ke dalam lubang kencingnya memberikan sensasi yang luar biasa bagi si empunya.

Bau yang menyengat karena keringat tidak membuat Dewi mual. Dia semakin aktif melancarkan serangan untuk menaklukkan Randy duluan. Randy yang sudah berpengalaman tidak mudah menyerah begitu saja. Lelah terus mengulum tanpa ada hasil yang berarti, Dewi kemudian melepaskan benda itu dari mulutnya. "Huhh...huhh...huhh..." Nafas Dewi terdengar memburu. Kini kocokannya digantikan oleh tangannya lagi.

Randy bangkit. "Sekarang giliran tante," ujar Randy seraya mengangkat tubuh Dewi dan menjatuhkannya di atas sofa.

Dewi pasrah saja. Dia menggigit seluruh jari kukunya menunggu apa yang akan dilakukan lelaki itu terhadap tubuhnya. Randy duduk disebelah Dewi. Dia mengangkat rok yang dikenakan Dewi sampai pinggang. Wanita itu sedikit mengangkat pinggulnya untuk mempermudah Randy.

Mereka kembali berciuman. Tangan kiri Randy merangkul bahu Dewi sedangkan tangan kanannya bergerilya di lembah basah yang terus menerus mengeluarkan cairan licin. "Emphhh...ssshhh..." Jari tengah Randy membelah bibir vagina Dewi dari celah celana dalam yang masih terpasang.

Jari manis menyusul masuk sedangkan jempol Randy memijit-mijit kacang Dewi yang sudah membengkak. "Achhh...emphhh...nikmat sayang, terusss..." Mata Dewi tertutup sepenuhnya, yang keluar hanya desahan dan lenguhan nikmat.

Randy membuka kancing blazer Dewi, mengeluarkan isinya yang berupa gundukan empuk. Ujung payudara Dewi yang berbentuk seperti kelereng kecil berwarna coklat pun menjadi sasaran selanjutnya. "Emmmhhh...hisap! Hisap yang kenceng sayang! Achhh...nikmat bangettt..." cerocos Dewi melayang menerima servis dari gigolonya tersebut. Diremasnya rambut tebal Randy dengan blingsatan.

Kedua niple milik Dewi bergantian diberi kenikmatan oleh mulut Randy. Bagian bawah sudah sangat banjir. "Achhh...udah sayang. Tante udah gak tahan lagi...tante pengin dimasukin sekarang!" Dewi mendorong Randy agar sedikit menjauh. Dia lalu memposisikan duduk di antara paha Randy.

Kini Randy membiarkan wanita itu berbuat sesukanya. Lagipula dia sudah membayar atas tubuhnya. Dewi kemudian mengangkang seraya menuntun tongkat tumpul itu ke goa lendir miliknya yang sudah lama tak berpenghuni itu.

Sesaat ia gesek-gesekan helm Randy di area bibir vaginanya. "Uhhh...begini saja sudah sangat nikmat, apalagi masuk." pikir Dewi. Perlahan ia turunkan pinggulnya ke bawah hingga membuat kejantanan Randy perlahan membelah celah sempit nan nikmat itu. Seluruh saraf di tubuhnya sampai merinding merasakan gesekan benda padat itu dengan dinding vagina Dewi.

"Ssshhh...aahhh..." Tubuh Dewi bergetar. Setruman-setruman kecil menggelitik di sekitar area perut Dewi. Sensasinya berbeda, Randy memang beda dari lelaki pada umumnya. Tidak bisa disandingkan dengan Pram apalagi Ginanjar.

Dia mampu memberikan sengatan-sengatan kecil hanya dengan menggunakan pusakanya. Entah itu nyata atau hanya sugesti tetapi Dewi benar-benar merasakannya.

Seperti janji Randy, dia akan diam saja sebelum ada perintah. Dewi masih beradaptasi dengan ukuran Randy yang besar. Meskipun itu bukan pertama kali bagi mereka tetapi itu sudah sangat lama. Dewi butuh kembali penyesuaian. Wanita itu melepaskan sisa pakaian yang mereka kenakan hingga keduanya telanjang bulat.

Setelah mendapatkan kenyamanan di dalam sana, Dewi mulai mencoba untuk menggerakkan pinggulnya ke atas bawah. "Achhh...nikmat bangettt..." Setiap gesekan menyetrum Dewi melepaskan aura-aura negatif dari dalam tubuhnya.

Semakin lama semakin cepat. Terlalu fokus dengan gerakannya sendiri, Dewi sampai lupa jika Randy hanya terdiam bagaikan patung. Ditatapnya wajah datar Randy yang membuat Dewi sedikit kesal. Lelaki itu tampak terpaksa melakukannya dan Dewi tidak menyukai hal itu.

"Perlakukan tante seperti kamu melakukannya dulu!" pinta Dewi penuh harap.

Randy mengangguk. Dia tidak mungkin menolak permintaan orang yang sudah membayarnya. "Oke istriku sayang," ujar Randy dengan senyuman khasnya.

Kata-kata itu mampu menyihir Dewi. Wajah merona merah ketika dipanggil 'istriku' oleh Randy. Tak berselang lama kedua bibir mereka kembali saling berpagutan. Tangan Randy mengangkat bokong Dewi yang semok ke atas lalu menghujamkannya ke bawah. Begitu seterusnya.

"Ouhhh...terus sayanggg...ouhhh..."

"Achhh...memekmu nikmat banget...berasa dijepit kuat...punyaku..."

"Ouhhh...emmmhhh... kontolmu juga nikmat banget...ssshhh...achhh..."

"Yeahhh...achhh...achhh...uhhh..."

Suara desahan antara keduanya menggema di seluruh penjuru rumah. Bi Lastri yang saat ini berada di belakang pun pasti mendengarnya. Mereka seperti sama sekali tidak takut akan ketahuan orang lain. Bi Lastri sangat setia dengan Dewi. Dia tidak mungkin akan mengadu pada tuannya.

Gerakan semakin lama semakin cepat dan kuat. Hal itu membuat Dewi kelimpungan. Otot-otot vagina Dewi semakin berkontraksi kuat. Sebentar lagi dia akan menyongsong orgasme pertamanya saat itu. Dirinya tidak tahan akan sensasi nikmat yang begitu candu baginya.

"Achhh...achhh...achhh...aku mau keluar sayanggg..." desah Dewi yang vaginanya sudah berkedut-kedut nikmat.

"Keluarin aja sayanggg...achhh...keluarin istriku sayanggg..." Maka dalam waktu tiga detik pertahanan Dewi lolos dengan sangat luar biasa.

"Aaaaaaaaaaacccccchhhhhhh......!!!!" teriak Dewi mengiringi orgasmenya yang sangat dahsyat.

Serrr...serrr...serrr...serrr...serrr...

Tubuh Dewi ambruk di atas Randy. Nafasnya terengah-engah. Tulangnya berasa dilolosi. Seketika beban berat di atas bahunya hilang tersapu bersama badai orgasme yang ia alami barusan.

Randy masih memeluk punggung Dewi yang berlumuran keringat. Di elus-elus dengan lembut serta tangan satunya memijat salah satu bokong milik wanita itu.

Tubuh Dewi ambruk ke samping. Kedua tangannya berada di atas perutnya yang mengejang. Dia terkulai lemas di sana. Ini baru ronde pertama dan Randy sama sekali belum keluar. Bagaimana jika hal itu terjadi sampai besok? Akankah Dewi kuat menghadapinya? Dia tidak mau ambil pusing yang penting sekarang dia memutuskan untuk menutup matanya sebentar.

Randy dengan masih bertelanjang bulat bangkit dari duduknya. Ekspresi wajahnya kembali datar seperti semula. Dirinya menyakini kalau dia melakukannya karena sudah dibayar. Yah, memang sama sekali tidak terlintas dipikirannya untuk menjadi gigolo. Hal itu tercetus begitu saja akibat tawaran Dewi.

Randy masih menatap wajah polos yang kini sedang memejamkan mata dengan nafas yang tenang. Diam-diam senyum terukir di bibirnya.

Dari arah lain ada sepasang mata yang memperhatikan aktivitas mereka sedari tadi. Dia menonton pertunjukan bokep live action itu sambil mengusap gundukan liang surgawi yang ditumbuhi rambut-rambut yang sudah memutih karena penuaan.

Dalam hati dirinya bergumam, "nyonya, Randy, kalian benar-benar bikin bibi iri. Kalian pasangan yang serasi. Seandainya ada lelaki yang mau menjamah nenek-nenek tua seperti bibi ini. Ahh, nyonya, bolehkah bibi ikut merasakannya? Hanya sekali saja. Randy, maukah kamu menjamah wanita tua seperti bibi?" batinnya penuh harap.

To Be Continue...
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd