Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
Tolong ya itikad baiknya untuk terus melanjutkan cerita ini, udah jadi canduuu Hu x scene dapet drama mantep plot twist gila juga d best lah
 
Part 23. Perubahan Randy

Suara dentuman musik memekakkan telinga saat seorang wanita dengan pakaian seksinya menyelesaikan gelas wine untuk yang ke-lima kalinya. Dengan ditemani seorang lelaki paruh baya, dia meracau tidak jelas. Tampak raut frustasi terpancar dari wajahnya.

"Udah jangan minum lagi, entar aku yang repot!" cegah lelaki itu saat Ranty, wanita yang dimaksud hendak menuangkan gelas ke-enamnya.

"Man, cowok gue man! Hiksss...cowok gue ninggalin gue. Padahal dia pernah janji buat nikahin gue tapi sekarang apa? Dia bahkan gak mau ketemu gue lagi, hiksss..." Dalam keadaan mabuk Ranty masih bisa merasakan kesakitan yang ditorehkan oleh lelaki yang ia cintai.

Suherman mendengus mendengar keluhan Ranty. Sebenarnya ini salah wanita itu juga, tetapi jika menyanggah ucapannya saat ini bukan ide yang baik. Suherman lebih memilih untuk diam sambil menunggu Ranty puas meracau lalu tertidur dan membawanya pulang.

"Man, emang semua cowok itu sama aja ya...brengsekkk!!! Randy brengsekkk...!!! Padahal gue mau bantuin dia biar hidup lebih baik dan bergelimang harta, tapi apa balasannya?" Ranty memukul meja bartender itu.

"Hiksss...gue gak sanggup lagi hidup kayak gini man. Gue mau mati aja. Cara bunuh diri yang gak sakit gimana ya, man? Hmm? Kasih tau dong." Ucapan Ranty semakin ngelantur dan tidak terkendali. Suherman jadi merasa khawatir dan prihatin. Tapi Suherman masih diam memperhatikan. Dia tahu wanita itu tidak serius dengan ucapannya.

Ranty kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya lalu menaruhnya di atas meja. "Man, lu punya barang gak? Nih gue kasih, tapi bagi dua ya." Sontak Suherman langsung merampas barang itu dan memasukannya ke dalam saku celana.

"Gila kamu, Ranty! Kamu bawa barang beginian ke tempat umum! Gimana kalo tiba-tiba ada sweeping dari polisi?!" Suherman mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah. Takut ada yang memperhatikan gerak-gerik mereka.

"Hehehe...kalo ketangkep sama pak pol, ya tinggal masuk penjara. Gitu aja kok repot," ujar Ranty santai. Ia merebahkan kepalanya di atas meja bartender dengan isakan tangis yang mulai kembali setelah sempat berhenti.

Suherman semakin was-was karena barang haram itu kini ada di dalam sakunya. Kalau saja ada sweeping pasti dia kena dan dites urine positif. Yang mana akan berbuntut panjang karena merembet ke perusahaan agensi milik Baskoro yang selama ini menjalankan usaha terselubung.

Tiba-tiba saja. "Hoekkkk...!!!" Ranty memuntahkan isi perutnya tepat di kemeja Suherman hingga membuat pakaiannya kotor. Lelaki itu langsung memalingkan wajahnya dengan ekspresi jijik karena baunya cukup menyengat.

Suherman langsung berdiri sambil mengibaskan kemejanya agar bekas muntahan itu terjatuh ke lantai. "Sial! Sepatuku juga kena lagi!" runtuknya.

"Hehehe...gue jackpot, man. Hoekkkk...!!!" Untuk kedua kalinya Ranty mengeluarkan isi perutnya.

Kali ini Suherman bisa menghindar. Ranty kemudian memegang perutnya. "Aduhhh...man, perut gue sakit..."

"Udah, kita pulang sekarang!" perintah Suherman. Ranty menurut saja. Dia dibawa ke apartemen milik Ranty, tepatnya milik Randy yang ditinggalkan.

Wanita itu direbahkan di atas kasur. Ranty sudah tidak sadarkan diri namun beberapa kali masih menggumamkan nama 'Randy'. Suherman lalu mencari pakaian ganti karena merasa tidak nyaman dengan pakaiannya saat ini yang terkena muntahan Ranty.

Ternyata ada kaos untuk laki-laki di lemari. Suherman memutuskan untuk mandi dan memakai kaos yang agak kebesaran untuknya. Padahal badannya sudah besar dengan perut membuncit ke depan tetapi kaos itu lebih besar lagi. Jadi bisa dipastikan pacar Ranty itu berpostur tinggi besar.

Setelah mandi Suherman beranjak ke ranjang Ranty. Ternyata wanita itu sudah terjaga. Dia sedang duduk di sebelah ranjang dengan bersandar di sisi kasur.

Setelah diperhatikan ternyata Ranty sedang menghisap barang yang tadi dia bawa ke diskotik. Wanita itu memejamkan mata dengan mulut terbuka sesaat setelah menghisapnya lalu terus berulang.

Terlihat kantung mata yang sangat lebar. Jelas Ranty jauh dari kata sehat. Postur tubuhnya juga semakin meramping. Melihat kedatangan Suherman, Ranty menyodorkan benda itu. "Mau, man?" tawarnya.

Suherman duduk di sebelahnya lalu mengambil alih alat tersebut. Dia melakukan hal yang sama seperti Ranty. Wanita itu kemudian bangkit berbalik dan melompat ke atas kasur untuk kembali tertidur. "Kamu bangun cuma mau ngisep aja?"

"He'ehh..." respon Ranty singkat.

Dengan waktu yang semakin malam, akhirnya mereka tidur dalam satu pembaringan yang sama hingga pagi menjelang.

•••

Berbeda dengan Ranty dan Suherman, di sudut kota bagian lainnya tengah tertidur tiga anak manusia dalam satu ranjang yang sama, yang membedakan adalah satu manusia belia masih menggunakan pakaian lengkap, sedangkan dua manusia lainnya bertelanjang bulat dan hanya dicover oleh selembar selimut tebal.

Randy, Icha, dan Aira. Di pagi yang belum menampakkan sinar matahari sepenuhnya, salah satu dari mereka sudah membuka mata. Jam setengah empat.

Itu adalah Icha. Dia tengah memeluk Randy dari samping sedangkan Randy terlentang dengan salah satu tangannya melingkar di punggung Icha. Aira berada di kiri sendirian.

Pagi itu disambut dengan senyuman penuh semangat dari wanita yang belum beranjak dari tubuh lelakinya. Malam penuh gairah yang mereka lewati ditambah pagi hari Icha bisa dengan puas menatap detail ukiran wajah Randy dari dekat membuat hatinya ingin melompat bahagia.

Hidung mancung, bibir tipis, kelopak mata yang tengah tertutup, serta jambang tipis yang tumbuh di sekitar dagu Randy menambah kesan maskulin pria itu.

Icha menduselkan hidungnya ke leher Randy yang lengket akibat keringat yang mengering. Bukan cuma di leher tetapi di seluruh tubuh mereka berdua hingga kulit mereka seperti mendapatkan perekat alami.

Wanita itu kembali memejamkan mata sambil menghirup aroma tubuh Randy. Tangannya dengan setia melingkar di leher Randy. Setengah jam berlalu Icha kembali terjaga. Kini entah bagaimana posisinya justru terungkap di atas tubuh Randy.

Bola mata Icha melirik ke atas. Ternyata kini Randy yang tengah memandangi wajah Icha. Dia lalu menegakkan wajahnya hingga berhadapan dengan Randy. "Selamat pagi sayang," ucap Randy. Icha tidak menjawab melainkan menyunggingkan senyum malu-malu.

Untuk menutupi rona merah di pipinya, Icha kembali membenamkan wajahnya di ceruk leher Randy sekaligus menduselkan badan telanjangnya di kulit polos Randy.

"Mmmhhh...masih mau gini. Bentar lagi yah." Icha semakin merapatkan tubuh mereka. Terasa hembusan nafas hangat di leher Randy.

Bukan hanya Icha yang merasa nyaman dengan posisi begitu, Randy pun merasakannya. Setengah jam lagi dalam posisi seperti itu. Mereka berdua sama-sama enggan untuk bangun. Rasanya ingin selamanya begitu. Tapi itu tidak mungkin.

Aira terjaga. Mau tidak mau kedua insan yang saling memberikan kenyamanan itu berpisah.

Kini mereka tengah bersiap-siap untuk berangkat. Icha berangkat kerja sedangkan Randy berangkat kuliah. "Cha, nanti Aira bawa aku ya?" pinta Randy.

"Gak usah, nanti Aira aku titipin sama bu Sri aja. Kasihan, dari kemarin ditanyain terus kenapa Aira gak di bawa ke sana."

Randy tidak menimpali. Namun dalam hati dia bertanya-tanya ada hubungan apa antara Icha dengan seseorang yang ia sebut sebagai 'ibu Sri'.

Setelah menyelesaikan sarapan, mereka bertiga berangkat menggunakan motor Randy. Mereka terlebih dahulu pergi ke rumah ibu Sri untuk menitipkan Aira.

Sesampainya di tujuan, ibu Sri ternyata sudah menyambutnya di depan rumah. "Halo Aira sayang. Udah cakep nih, sini sama oma. Oma kangen sama Aira." Kini Aira sudah berpindah tangan ke tangan ibu Sri.

"Nak Icha, kamu berangkat sama bapak ya. Sekalian bapak ada job ngecat rumah deket kafe kamu."

"Emm..***k usah deh bu, takut ngerepotin. Icha berangkat bareng papanya Aira aja." Icha memutar pandangannya ke arah Randy diikuti oleh ibu Sri. Icha sengaja meyebutkan Randy sebagai 'papanya Aira' ketimbang 'mantan suami' karena memang itu kenyataannya. Icha tidak perlu memasang wajah berbohong.

Terlihat jelas raut wajah tidak suka dari ibu Sri. Niat hati ingin mendekatkan suaminya dengan Icha agar mereka semakin dekat dan nyaman antara keduanya tetapi lelaki yang berdiri tidak jauh dari mereka itu sudah mendahuluinya.

"Nak Icha, kamu sama dia udah gak ada hubungan apa-apa selain mengurus Aira. Gak baik kemana-mana jalan bareng seperti itu," ujar ibu Sri.

What? Kalau jalan dengan mantan suami tidak baik, bagaimana dengan jalan dengan suami orang? Apakah ibu Sri tidak memikirkan hal itu?

Icha menanggapinya dengan senyuman. Dia tidak ingin menyinggung perasaan ibu Sri. "Mohon maaf ibu, sebenarnya kita sedang dalam proses rujuk, kita sedang sama-sama memantaskan diri untuk kembali bersatu," ujar Icha berbohong.

Sontak saja ibu Sri seperti kebakaran jenggot. Kalau seandainya Icha dan mantan suaminya rujuk maka rencana menjodohkan Icha dan suaminya akan gagal total. Kesempatan untuk mendapatkan keturunan juga akan menghilang.

"Nak Icha. Ibu tau kamu sudah dewasa. Ketika dulu kamu memutuskan untuk bercerai pasti ada suatu masalah yang besar yang tidak bisa diselesaikan dengan cara baik-baik. Ibu hanya tidak ingin kamu masuk ke lubang yang sama. Dan maaf ya nak Icha, kalau dilihat-lihat mantan suamimu itu bukan orang baik-baik. Kelihatan dari penampilannya."

Ibu Sri mempengaruhi Icha untuk tidak kembali pada Randy. "Maaf bu, saya melakukan ini demi anak saya. Saya ingin dia punya keluarga yang utuh, punya ayah dan ibu."

"Tapi bapak juga bisa jadi ayahnya Aira. Kamu tenang saja. Bapak pasti akan menyayangi Aira seperti dia menyayangi anaknya sendiri."

Icha menghembuskan nafas berat. Kenapa ibu Sri sangat ngotot ingin menjodohkan dirinya dengan suaminya. Padahal masih banyak wanita subur di luaran sana yang siap untuk menikah.

Tidak mau lama-lama berada di situasi seperti ini, Icha buru-buru pamit. "Maaf bu, Icha berangkat dulu ya. Udah kesiangan ini, assalamualaikum."

"Waalaikumusalam," balas ibu Sri dengan terpaksa. Icha berjalan menghampiri Randy dan keduanya pun pergi meninggalkan rumah ibu Sri.

Setelah Randy dan Icha menghilang dari pandangan, Karso selaku suami ibu Sri baru saja keluar dari rumah sambil mengeluarkan motornya. "Loh, nak Icha mana? Katanya mau dianter?" tanya Karso.

"Dia udah berangkat bareng mantan suaminya. Bapak sih kelamaan, dari tadi ngapain aja di dalem?" sungut ibu Sri kesal.

"Loh bapak habis dari belakang, perut bapak mules barusan. Kalo nak Icha berangkat bareng mantan suaminya berarti mereka ada kesempatan untuk rujuk dong bu. Harusnya ibu seneng, bukannya marah-marah gitu."

Ibu Sri memutar bola matanya jengah. "Halah bapak gak tau apa-apa. Emangnya bapak gak kepingin punya anak sendiri gitu?" tanya ibu Sri. Tanpa menunggu suaminya merespon, dia berlalu masuk ke dalam sambil membawa Aira.

"Lah ibu aneh banget sih. Apa hubungannya nak Icha rujuk sama bapak punya anak? Ibu nih aneh-aneh aja." Karso geleng-geleng kepala seraya masuk mengikuti istrinya ke dalam rumah.

•••

Randy dan Icha telah sampai di kafe rainbow. Icha turun dari motor Randy lalu menyerahkan helmnya. "Makasih, Ran. Udah dianterin."

Randy tersenyum dan mengangguk. Saat Icha membalikkan badannya tiba-tiba tangannya ditahan oleh Randy. "Nih salim dulu," ucap Randy seraya menyodorkan tangan untuk dikecup oleh Icha.

Dengan wajah memerah, Icha menerima uluran tangan Randy kemudian menempelkan punggung tangan itu di keningnya. "Semangat kerja sayang," ungkap Randy.

"Iya, semangat juga kuliahnya." Icha mundur sembari melambaikan tangan sebelum berbalik dan melangkahkan kakinya ke dalam kafe.

Randy terus memandangi punggung wanita itu hingga menghilang di balik tirai belakang meja kasir. Randy masih belum mengerti tentang perasaannya kepada ibu dari anaknya itu. Tapi yang jelas hari-harinya menjadi berwarna setelah tinggal bersama dirinya.

Setelah sadar dari lamunannya, Randy kemudian berlalu menuju ke kampus yang berada tepat di sebelah kafe itu. Di koridor kampus ia tidak sengaja berpapasan dengan Annisa.

Langkah Annisa bersama teman di sampingnya berhenti. "Kenapa Annisa?" tanya temannya. "Gak papa, kita lewat jalan lain aja," pinta Annisa kepada Indah.

Sejak pertemuan terakhir dia dan Randy, Annisa memutuskan untuk menghindarinya. Bukan apa-apa, Annisa hanya tidak ingin terjebak dalam kecanggungan saat Randy kembali mengajaknya bicara.

Ada rasa bersalah ketika Annisa mengatakan bahwa dirinya sudah tidak mencintai Randy seperti dulu lagi. Annisa berbohong, dan kebohongannya ia tutupi dengan bersikap ketus kepada lelaki itu.

"Ayo, Ndah!" ajak Annisa lagi kini sembari menarik lengan baju Indah yang panjang. "Aduh, kenapa sih? Lewat sini lebih deket," tolak Indah.

Annisa hendak berbalik namun ia terlambat. Randy sudah berhasil menangkap sosoknya di sana. Annisa menggeleng kecil, berusaha terlihat biasa saja. Dia kemudian kembali berjalan dengan langkah santai yang justru terkesan dibuat-buat.

Namun saat mereka sudah berjarak kurang dari dua meter.

Deggg...

Tiba-tiba Randy melewatinya begitu saja. Seolah sosok Annisa tak kasat mata. Annisa pun memutar kepalanya ke belakang menatap punggung tegap Randy yang terus menjauh.

Ada rasa nyeri di dada kala mendapati Randy seakan mengabaikannya. "Kok nyesek ya," monolog Annisa meremas dadanya. "Apa ini yang dirasain Randy selama ini? Waktu aku terus-terusan denial."

"Jadi kamu lagi menghindar dari Randy? Dianya biasa aja tuh," sindir Indah sambil melipat tangannya di depan.

Muka Annisa sudah ditekuk ke depan. Moodnya langsung drop begitu saja. Padahal ini yang dia inginkan. Dia tidak ingin berurusan dengan yang namanya Randy, tapi kenapa hatinya jadi galau.

Mengapa Randy mengabaikannya? Seharusnya Randy menyapanya barang bilang 'hai' atau 'halo'. Lalu Annisa akan memalingkan wajah dan berjalan melewatinya tanpa merespon apapun.

Itu skenario yang ada di otak Annisa. Tapi pada kenyataannya berbeda seratus delapan puluh derajat.

"Apa Randy udah menyerah? Apa Randy udah lelah mengejar ku? Cuma segitu kah usahanya? Kenapa gak berjuang lebih keras? Apa Randy membenciku karena udah menolaknya?"

Seluruh pertanyaan bodoh tiba-tiba saja memenuhi isi pikirannya. Membuat seluruh kemungkinan yang ada berubah menjadi penyesalan merambat menjadi kekecewaan.

"Makanya kalo cinta bilang cinta, kalo enggak bilang enggak, jangan sebaliknya cinta bilang enggak. Nyesel kan sekarang dia udah gak peduli lagi sama kamu." Indah tertawa mengejek.

Annisa yang semula badmood menjadi semakin kesal. "Ayo, kita ke laboratorium. Tadi mau ambil apa? Jadi lupa kan, tuh!" gerutu Annisa.

Sepanjang hari Randy sengaja cuek dengan Annisa. Sama sekali tidak mau menatap wajahnya apalagi berbicara. Hal itu membuat Annisa menjadi bingung sekaligus galau.

Dalam lubuk hatinya yang terdalam ia merasa bersalah telah menolak Randy dengan cara yang menyakitkan. Ingin sekali mengajaknya mengobrol dan meminta maaf tetapi nyalinya menguar.

"Kak Justin. Randy kenapa ya? Kok hari ini kayak cuek banget?" tanya Annisa setelah selesai mata kuliah terakhir. Saat itu Randy pun pergi begitu saja. Padahal biasanya dia tidak pernah absen menggoda dirinya.

Justin yang tengah merangkul Annisa sambil berjalan ke arah mobil miliknya pun memutar bola mata ke arah Annisa. "Kenapa? Kangen? Bukannya itu yang kamu mau, ya? Kenapa sekarang malah nanya?" cibir Justin dengan satu sudut bibirnya terangkat.

"Ishhh...cuma nanya juga," keluh Annisa. Dengan muka cemberut dia melipat kedua tangannya di depan. Dia tidak mungkin terus menekan Justin karena bukannya mendapat jawaban, Annisa justru akan mendapat cibiran lagi dan lagi.

"Gak usah dipikirin. Dia emang orangnya begitu, entar juga balik lagi." Jawaban Justin sama sekali tidak membuat mood Annisa membaik.

Tapi kalau dipikir-pikir kenapa juga Annisa sampai segalau itu hanya karena sehari diabaikan oleh Randy. Harusnya dia malah bersyukur dapat lepas dari bayang-bayang Randy tanpa harus menghindarinya.

"Ya udah sekarang kakak anterin kamu pulang dulu. Habis ini kakak ada pertandingan basket." Annisa berhenti mendengar ucapan Justin. Otaknya berjalan dengan cepat.

"Aku ikut, kak!" mohon Annisa. Justin mengernyitkan dahinya lalu mendehem.

"Ehemm...yang kemarin marah-marah karena ditinggalin dan gak mau ikut lagi, ehemm..." Justin menyeka ujung hidungnya dengan jempol.

Annisa menggeleng. "Aku ikut kak, ayo!" Justin berkacak pinggang melihat Annisa sudah lebih dulu berjalan menuju mobil. Kemarin dia mencak-mencak karena ditinggal dan harus pulang bersama Randy, tapi sekarang dia malah ingin ikut. Benar-benar pikiran wanita tidak bisa ditebak.

To Be Continue...
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd