Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
Bimabet
Bukannya ngak ada yang ikutin, tetapi mungkin rada males komen, karena takut salah komen, hehehehe

lancrotken
 
Akhirnya update lagi, itu agak agak gimana gitu masa icha suruh hamil anaknya orang lagi... Gak tega suhu... Mending ibu sri aja dihamilin Randy wkwkwk
 
Part 25. Mencari Kebenaran Perubahan Randy

Randy bergegas pulang ke rumah dengan membawa oleh-oleh kesukaan Icha yaitu martabak telur. Dua malaikatnya di rumah pasti sudah menunggunya membuat Randy tidak sabar untuk segera sampai.

Tok...tok...tok...

Randy mengetuk pintu rumah. Hanya dalam waktu beberapa detik saja pintu tersebut terbuka menampakkan dua orang berbeda generasi yang tersenyum manis ke arahnya.

"Papa!" seru Aira penuh semangat sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Randy yang paham segera mengangkat anaknya ke dalam pelukan dan mengusap lembut kepala serta mencium pipi Aira dengan gemas.

"Uuhhh...anak papa udah bisa foto genit yah..." canda Randy. Pria itu sedang menyinggung foto di status wa Icha beberapa waktu lalu. "Kaya mamanya...upsss..."

Sontak Icha melotot sambil mencubit pinggang Randy. "Yang suka genit kan papanya. Ya, gak Aira?" balas Icha dengan menyindir Randy.

Lelaki itu hanya tertawa kecil seraya membawa Aira masuk ke dalam. Lelah sehari setelah kuliah dan bertanding basket seketika sirna ketika melihat senyum Aira dan juga Icha.

Di meja sudah tersedia teh hangat yang dibuat Icha. "Aku bawa martabak kesukaan kamu, Cha." Randy duduk lalu menyeruput teh hangat yang tidak terlalu manis itu.

"Wah makasih, Ran. Aku juga udah masakin kamu telur balado. Udah makan belum?" tanya Icha.

"Belum dong, Cha. Aku bela-belain nahan laper biar bisa makan masakan kamu di rumah. Apalagi kamu masak telur balado kesukaan aku. Kamu selalu yang paling tau tentang kesukaan aku, Cha."

Icha tersenyum manis lalu membawa martabak itu ke dapur. Randy mengikuti Icha sembari menggendong Aira. Lelaki itu duduk melihat Icha memindahkan nasi dari tempat pemanas ke piring.

Mereka pun makan dengan lahap. Randy sampai menambah untuk porsi kedua. Icha hanya makan setengah porsi lalu melahap beberapa lapis martabak pemberian Randy.

"Oh iya, Cha. Tadi aku tanding basket pake sepatu yang kamu beliin loh. Aku dapet mvp berkat sepatu itu. Sepatunya nyaman banget di kaki. Kamu milihnya pinter, hehehe..." puji Randy setelah mereka selesai makan.

Icha yang mendengarnya merasa senang karena Randy sangat menyukai sepatu itu. Padahal ia hanya mencari sepatu yang sesuai dengan budget yang dia miliki.

"Wah, syukur deh kalo sepatunya sebagus itu, hehehe...padahal kan sepatumu pasti jauh lebih bagus."

"Sepatu aku yang dulu gak ada apa-apanya sih dibanding yang ini. Pokoknya sepatu ini bakalan aku pake sampe kapanpun."

"Kalo sepatunya rusak gimana?"

"Ya, aku benerin sampe bener-bener gak bisa dipake lagi."

"Kalo udah gak bisa dipake lagi?"

"Ya aku pajang di musium pribadi aku. Aku taruh di kotak kaca biar semua orang tau tentang sejarah sepatu ini," ungkap Randy sambil memperagakan sebuah bentuk kubus.

"Hahaha...segitunya kamu suka? Nanti kalo ada rejeki lagi aku beliin yang lebih bagus deh." Sudut mata Icha berair karena terharu. Randy sangat menghargai pemberiannya walaupun ia tahu apa yang Randy katakan terlalu melebih-lebihkan.

Randy memegang punggung tangan Icha seraya menatap matanya penuh arti. "Gak perlu, Cha. Sepatu ini yang terbaik. Bukan soal harga, bukan juga soal kualitas. Tapi ini soal value yang kamu berikan pada sepatu ini. Gak akan ada yang bisa menggantikannya meskipun dengan sepatu yang harganya puluhan juta sekalipun."

Sadar tatapan mereka sudah melewati waktu yang bisa ditoleransi, Icha memutusnya dengan sebuah senyuman di bibirnya. "Makasih, Ran. Aku jadi merasa spesial deh, hehehe..."

"Kamu emang spesial buat aku," ungkap Randy.

"Hmm?" Icha mengerutkan keningnya.

"Iya, kamu spesial karena kamu adalah ibu dari anak aku yang menggemaskan ini," kata Randy seraya mencubit lirih pipi Aira yang ada di pangkuannya.

Icha pun mengulas senyum. "Ibu dari anakku dan ibu dari anak-anakku nantinya, hahaha...mau kan, Cha?" Tawa Randy pecah membuat wajah Icha memerah karena malu.

Kalau ditanya seperti itu tentu saja jawaban Icha 'mau'. Iya, Icha mau mengandung anak Randy lagi. Dia ingin dimanja saat sedang hamil. Sesuatu yang tidak ia dapatkan saat mengandung Aira. Bahkan dulu ketika ia sedang ngidam, Annisa lah yang menemaninya mencari sesuatu yang dia inginkan. Reza sama sekali tidak peduli padanya maupun kandungannya.

Tapi jawaban itu hanya Icha katakan dalam hati. Dia tahu Randy hanya bercanda. Dia tahu cinta Randy hanya untuk Annisa. Maka dari itu dia hanya menanggapi dengan senyuman dan membuang jauh-jauh angan-angan itu.

•••

Pagi hari Justin sudah berada di depan rumah Annisa. Dia sudah dihadapkan dengan Adibah. "Assalamualaikum, teh. Annisa-nya ada, teh?" sapa Justin ramah.

"Waalaikumusalam. Annisa lagi siap-siap di kamar," jawab Adibah.

"Oh, ya udah kalo gitu saya tunggu di mobil aja, teh." Justin pun berbalik. Namun belum sempat melangkah sejengkal pun, Adibah menahannya.

"Masuk dulu, sini," ucap Adibah dengan ekspresi datar. "Serius teh. Boleh masuk?" Justin takjub karena Adibah bukannya melarang seperti biasa justru malah mengajaknya masuk.

"Halah, biasanya aja kamu maksa-maksa. Gak usah jaim gitu." Adibah langsung memutar tubuhnya untuk masuk ke dalam diikuti oleh Justin. Pria itu duduk di sofa ruang tamu.

"Gimana proses ta'arufnya teteh sama ustadz itu? Lancar kah?" tanya Justin membuka pembicaraan.

Adibah menghela nafas dalam. "Yah, bisa dibilang begitu," jawab Adibah tidak bersemangat. Sebenarnya bukan itu topik yang diharapkan Adibah, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengganti topik.

"Apa saya udah gak punya kesempatan lagi, teh? Apa jalan saya sudah tertutup?" Adibah memandang wajah sendu Justin.

"Masih belum. Mungkin kalo kamu mau berjuang lebih keras lagi..." Sontak Justin mengangkat kepalanya menatap Adibah. Secara tidak langsung pujaan hatinya memberikan ia kesempatan untuk kembali bersamanya.

"Apa yang harus saya lakukan, teh?"

"Kamu harus belajar agama, harus bisa ngaji, dan yang terpenting kamu harus pindah keyakinan atas apa yang teteh anut."

Justin menaikkan sudut bibirnya. "Untuk poin pertama dan kedua saya sedang tahap proses. Kalo untuk yang terakhir saya sedang mengumpulkan keyakinan untuk melakukan itu. Karena itu bukan sesuatu yang main-main."

"Oh ya? Kamu lagi belajar ngaji?" tanya Adibah antusias. Justin mengangguk membenarkan pertanyaan Adibah.

"Tunggu, teh. Sebentar lagi. Cukup tunggu sebentar lagi." Jawaban Justin benar-benar meyakinkan. Adibah tersenyum senang.

Eh, tiba-tiba saja harapan itu muncul lagi. Harapan yang jika terwujud pasti akan mendapatkan cibiran dari orang lain karena perbedaan usia mereka yang sangat-sangat jauh. Bahkan Justin usianya lebih muda dari anak pertama Adibah (Sari) yang selisih lima tahun dari Justin serta anak kedua (Reza) selisih satu tahun di atas Justin.

Sebisa mungkin Adibah membunuh rasa itu karena tidak ingin mendapatkan olokan dari orang lain tapi hati tidak bisa bohong. Dimana cinta yang lepas akan kembali ke pemiliknya.

"Ayo, kak! Berangkat," ajak Annisa yang sudah siap berangkat kuliah. Mereka berdua lalu berpamitan kepada Adibah.

Di perjalanan Justin menceritakan tentang obrolannya dengan Adibah. Annisa senang mendengar jika bundanya mau memberi kesempatan Justin. "Makanya ajarin kakak ngaji, Nis!"

"Sip itu bisa diatur, tapi jangan kelamaan katamnya, nanti keburu bunda dikhitbah sama ustadz itu," respon Annisa mengangkat jempol ke atas.

•••

Seperti hari-hari biasanya, Annisa langsung disambut oleh Indah, teman dekatnya. Mereka berjalan beriringan sambil sesekali membahas tentang isu-isu yang sedang hangat. Salah satunya rumor tentang anak kecil yang dibawa Randy dan Annisa tempo hari.

"Jadi anak yang kemarin kamu bawa itu ponakan kamu? Kok bisa sama Randy? Ada hubungan apa kamu sama Randy?"

"Anak itu ponakannya Randy juga," jawab Annisa tidak mau pusing.

"What? Jadi kalian saudaraan?" Annisa hanya mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun.

Indah pun bungkam, meski dalam hati dia belum seratus persen percaya ucapan Annisa. Mereka terus berjalan menuju perpustakaan yang memiliki jaringan WiFi gratis.

Di tengah jalan Annisa melihat Randy berjalan mendekat. Nafasnya tercekat beberapa saat namun sebisa mungkin ia bersikap seperti biasa. Dalam hati Annisa bertanya-tanya. "Apa Randy masih gak mau ngomong sama aku , ya?"

Jarak mereka semakin terkikis.

Deggg...

Seperti yang Annisa duga. Randy melewatinya begitu saja. Ia langsung menghentikan langkahnya dan berbalik. Dengan mengabaikan gengsinya Annisa memanggil nama Randy.

"Randy!" Lelaki yang dipanggil namanya itu menoleh.

"Ya?" respon Randy dengan mengangkat kedua alisnya.

Mendadak otak Annisa gagal berfungsi. Bingung harus beralasan apa atas panggilannya barusan. Ekspresi wajah Randy terlihat biasa saja, sama sekali tidak ada raut marah sama sekali. Entah itu yang Randy rasakan atau dia hanya berpura-pura menutupi kemarahannya atas apa yang Annisa lakukan beberapa hari yang lalu.

"Kamu manggil aku, ya?" tanya Randy lagi karena Annisa masih diam saja. Hal itu membuat Annisa menjadi semakin gugup dan salah tingkah.

Otaknya terus dipaksa untuk berpikir tentang alasan dirinya memanggil Randy. "Emm...k...kamu lihat k...kak Justin, gak?" Dengan terbata-bata Annisa menanyakan hal yang tidak ingin dia tanyakan. Tapi paling tidak bisa menjadi alasan yang kuat.

Randy menggeleng. "Enggak. Aku aja baru dateng kok. Biasanya kita ketemu di tempat latihan aja," jelas Randy sambil memperhatikan wajah Annisa.

"Kamu berangkat jalan kaki ya?" Randy balik bertanya. "Hah maksudnya?!" Annisa bingung kenapa tiba-tiba Randy menanyakan hal itu.

"Soalnya mukamu itu keringetan kata habis lari maraton." Sontak Annisa buru-buru mengelap keringat yang ada di dahinya dengan menggunakan punggung tangan.

"Eng...enggak kok. A...aku berangkat bareng kak Justin."

"Loh, kamu kalo berangkat bareng Justin kenapa malah tanya ke aku liat Justin apa enggak." Wajah Annisa langsung pucat menahan malu. Apalagi Randy terkekeh geli sedangkan Indah malah membuatnya semakin terpojok dengan tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha...Annisa...Annisa..." Indah menunduk memegangi perutnya yang sakit karena terpingkal-pingkal.

"Ya udah Annisa, aku pergi dulu. Salam buat Justin," ujar Randy seraya melangkah pergi.

Perasaan Annisa tidak karuan. Dia benar-benar terlihat bodoh tadi. Itulah jika dia melakukan sesuatu secara impulsif. Indah sendiri masih tertawa menambah tingkat kejengkelan wanita itu.

"Indah stop! Jangan ngetawain aku kaya gitu!" gerutu Annisa.

"Hahaha...Annisa, orang tadi aku juga ketemu sama Justin waktu berangkat bareng kamu. Ini malah nanya Justin kemana. Harusnya sih tadi briefing dulu mau nanya apa gitu, biar gak malu kaya tadi, hahaha..."

Tidak henti-hentinya Indah meledek perempuan itu. Annisa yang sudah terlanjur jengkel langsung pergi begitu saja. "Eh...Annisa tunggu!" Indah berjalan cepat untuk menyusul Annisa.

Hari itu tidak masih sama seperti sebelumnya. Randy masih acuh terhadap Annisa dan teman-teman wanitanya yang lain. Biasanya Randy selalu tebar pesona jika berpapasan dengan para mahasiswi, entah itu mengedipkan mata, melambaikan tangan, atau menggoda secara verbal.

Namun kini Randy seakan cuek ketika ada seorang mahasiswi yang menyapanya dengan genit. Ada kelegaan tersendiri bagi Annisa karena ternyata itu tidak hanya terjadi padanya tapi pada orang lain juga, dan kenyataan bahwa Randy tidak sedang marah padanya juga.

Tetapi perubahan sikap itu membuat dirinya penasaran. Apa yang terjadi belakangan ini yang membuat Randy berubah menjadi lebih kalem?

Gagal mengulik lewat Justin, sekarang satu-satunya orang yang mungkin tahu apa yang terjadi pada Randy hanya Icha. "Mungkin kak Icha tau sesuatu," gumam Annisa.

Pada pukul 11.00 saat jam perkuliahan selesai Annisa pergi ke kafe rainbow tempat Icha bekerja. Annisa memanfaat waktu sebelum jam istirahat agar kafe tersebut tidak terlalu ramai.

Tepat saat itu Icha sedang ditugaskan sebagai seorang waitress yang bertugas mencatat pesanan pelanggan. "Kak Icha!" panggil Annisa sambil melambaikan tangannya.

Mendengar namanya disebut Icha pun menghampirinya. "Eh, Annisa tumben ke sini. Sendirian atau sama temen?" tanya Icha.

"Enggak kok, kak. Nisa sendirian."

"Oh gitu. Mau pesan apa, Nis?" Icha sudah bersiap dengan pulpen dan nota di tangannya.

"Emm...sebenernya Nisa ke sini bukan mau makan atau minum sih tapi mau ngobrol sebentar sama kakak."

Icha menurunkan buku notanya. "Kalo gitu kakak pesenin jus alpukat aja ya. Kamu suka, kan?"

Annisa mengangguk tanpa protes. Icha lalu beranjak ke belakang dan hanya butuh beberapa menit dia kembali dengan minuman berwarna hijau.

"Nih, diminum dulu Annisa."

"Makasih, kak." Annisa menyedot sedikit minuman itu.

"Apa yang mau kamu bicarakan Annisa?" tanya Icha yang sudah duduk tepat di kursi seberang Annisa.

"Gini kak. Nisa mau tanya apa kak Icha masih suka hubungan sama Randy? Maksudnya suka ngobrol deep conversation gitu?" Mendapat pertanyaan seperti itu sontak Icha terkejut, tetapi Annisa tidak menyadarinya karena tertutup masker.

"Bukan cuma masih hubungan, tapi sekarang kita serumah." Tentu saja itu hanya terucap dalam hati. Icha tidak ingin hubungan Randy dan Annisa kembali memburuk jika Annisa tahu kenyataannya.

"Emm...ya paling cuma seputar Aira aja kok. Gak yang gimana-gimana," jawab Icha berbohong.

"Memang kenapa kamu tanya gitu?" lanjut Icha.

Annisa menggeleng. "Gak papa kok, kak. Emm...apa kak Icha ngerasa Randy sedikit berubah ya?"

"Maksud kamu?"

"Iya, Randy sekarang jadi cuek sama Nisa." Icha memicingkan matanya. Melihat respon mantan kakak iparnya itu, Annisa buru-buru meralat pernyataan.

"Maksudnya bukan cuma sama Annisa aja tapi sama orang lain juga. Biasanya dia suka genit dan caper sama cewek-cewek lain tapi akhir-akhir ini dia jadi lebih kalem dan gak banyak tingkah."

Mendengar penuturan Annisa, sudut bibir Icha terangkat ke atas membentuk bulan sabit. "Ya, kakak juga merasakan perubahan Randy, tapi bukan seperti yang kamu bilang. Sekarang Randy jadi lebih sayang dan perhatian sama kakak dan Aira, ehm...sama Aira aja deh," ujar Icha dalam hati.

"Kak?" panggil Annisa membuyarkan lamunan Icha.

Wanita itu buru-buru menggeleng agar bayangan Randy yang tiba-tiba muncul enyah dari pikirannya. "Kakak gak tau, Nis. Kakak gak memperhatikan sampai sedetail itu. Tapi dia masih perhatian kok sama Aira," jawab Icha seadanya.

Annisa mengangguk lalu kembali menyeruput jus alpukat miliknya. "Sekarang giliran kakak yang tanya sama kamu."

Annisa menghentikan aktifitasnya dan menatap Icha. "Tanya apa, kak?"

"Apa kamu masih cinta sama Randy?" Icha bersikap tenang dengan memangku dagunya dengan tangan di atas mejanya.

Namun tidak bagi Annisa. Mendapat pertanyaan seperti itu membuat lehernya tercekat. Untung saja just alpukat yang ia minum sudah sampai di perutnya.

"Gimana Annisa? Bukan pertanyaan yang susah, kan?"

Annisa mengarahkan pandangannya ke gelas berisi jus alpukat itu seraya mengaduknya dengan sedotan. "Gimana ya kak. Aku bingung sama perasaanku. Di satu sisi aku benci waktu dia terus terusan ngikutin aku tapi di sisi lain aku ngerasa ada yang hilang waktu dia tiba-tiba bersikap cuek kaya gini," jelas Annisa.

"Itu artinya kamu masih sayang sama Randy tapi kamu masih belum bisa memaafkan kesalahan dia di masa lalu."

"Entah lah, kak. Aku emang masih trauma dengan kejadian waktu itu tapi aku yakin aku udah maafin dia."

Icha terdiam sesaat. Secara tidak sengaja dia malah mengungkit kejadian di apartemen Randy saat Annisa menangkap basah dirinya yang tinggal bersama Randy. Sepertinya dia memang harus meluruskan kesalahpahaman itu.

"Annisa, hubungan kakak sama Randy gak seperti yang kamu pikirkan. Dia gak cinta sama kakak, dia cintanya sama kamu." Icha sedikit menjeda.

"Hubungan kakak dan Randy berawal dari kesalahan dan kakak minta maaf karena telah membohongi keluarga kamu karena meminta kakakmu untuk tanggung jawab. Waktu itu Randy menampung kakak di apartemennya karena merasa bertanggung jawab atas Aira. Kamu ingat kan dulu kakak kabur dari rumah kamu karena gak tahan sama perlakuan teh Adibah. Waktu itu kakak gak tau mau kemana dan Randy datang menawarkan bantuan, kalau seandainya hanya kakak yang pergi mungkin Randy gak akan peduli," terang Icha panjang lebar.

"Iya, Annisa tau kok."

Icha menepuk-nepuk punggung tangan Annisa yang ada di atas meja. "Kalo kamu emang masih cinta sama Randy, bukalah hatimu. Kakak yakin dia masih sangat mencintai kamu. Jangan kamu sia-siakan orang yang tulus cinta sama kamu."

Icha menasehati Annisa, namun setelah menyelesaikan kalimat panjang itu dada Icha terasa sesak. Dia mencintai Randy tapi dia juga sadar Annisa jauh lebih layak dan pantas bagi Randy.

Annisa terpaku meresapi kata-kata yang Icha ucapkan. Ya, Annisa masih mencintai Randy, dia hanya ragu apakah memberikan Randy kesempatan kedua adalah pilihan yang tepat. Tapi setelah mendengar nasihat Icha perlahan pikiran Annisa terbuka. Mungkin Annisa akan mempertimbangkannya.

"Terus gimana sama kakak sendiri?"

"Maksud kamu?" Icha menajamkan pendengarannya.

"Apa kakak gak cinta sama Randy? Tinggal bersama selama itu gak mungkin kan gak muncul perasaan apa-apa kan," tanya Annisa.

Mendengar hal itu membuat Icha panik. Beruntung maskernya dapat menutupi wajah gugupnya. "Untuk saat ini perasaan kakak gak penting. Sekarang prioritas kakak cuma Aira," pungkas Icha.

"Kakak gak jawab pertanyaan Nisa," desah Annisa sambil mencebikkan bibirnya.

Icha tahu Annisa tidak akan berhenti jika pertanyaannya belum dijawab. Tapi sikap Icha barusan membuat Icha tidak bisa berbohong.

"Jujur kakak jatuh cinta sama Randy," jawab Icha pelan.

Annisa tersenyum datar seraya menatap ke bawah. Dia tidak terkejut sama sekali. Dirinya sendiri saja bisa jatuh cinta hanya dalam kurun waktu yang singkat dengan Randy, lalu bagaimana dengan Icha yang dulu tinggal bersama pria itu di apartemen mengasuh anak mereka?

"Tapi itu bukan berarti kakak berharap bisa memiliki Randy. Dia cintanya sama kamu dan akan selalu seperti itu. Kakak cuma berharap Aira tidak kehilangan kasih sayang seorang ayah ketika Randy sudah memutuskan memilihmu atau wanita lain, itu aja."

"Apa kakak yakin Randy gak cinta sama kakak?" tanya Annisa lagi.

Icha mengedikkan bahunya. "Yang kakak tau cuma kamu satu-satunya wanita yang ada di hati Randy."

Mendengar penuturan Icha tiba-tiba seulas senyum tersungging di bibir Annisa. Entah kenapa dada Annisa seolah sedang dihinggapi kupu-kupu yang indah.

Icha yang melihat senyuman Annisa kembali menepuk punggung tangan perempuan itu.

"Buka hati kamu, sebelum Randy benar-benar menyerah."

To Be Continue...
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd