Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
Part 46. Randy Atau Karso

"Lu bisa berangkat sendiri, kan? Gue tetep di sini," celetuk Randy di koridor rumah sakit depan ruangan tempat Icha dirawat sambil bersandar di tembok.

Icha masih belum sadar ketika dipindahkan ke ruang rawat inap karena masih dalam pengaruh obat bius.

Justin berdecak. "Ck...segitu doang profesionalitas lu sebagai pemain basket?!" Justin menggeleng-geleng tidak habis pikir dengan keputusan seenak jidat Randy. Padahal untuk bisa berada di posisinya sangatlah sulit. Tidak semua pemain diberikan kesempatan membela negara seperti Randy. Bahkan yang punya jam terbang seabrek sekalipun.

Tapi Randy masa bodoh. Dipikirannya saat ini tertuju pada Icha yang masih belum sadarkan diri. Terutama kenyataan yang baru saja diketahui oleh Randy bahwa Icha tengah mengandung ... anaknya.

'ibu Icha sedang mengandung, dan kandungannya baru mencapai usia tujuh minggu. Jadi masih sangat rentan. Beruntung ibu Icha mempunyai rahim yang kuat. Jadi janinnya masih selamat.'

Lain halnya dengan Annisa. Dia duduk sendirian di bangku koridor tidak jauh dari tempat Randy dan Justin berdiri. Dia masih sibuk dengan lamunannya sendiri.

"Kak Icha hamil. Aku yakin banget itu pasti anaknya Randy."

Annisa tersenyum masam. "Di saat aku mulai berharap lagi bisa bersatu dengan Randy. Tapi nyatanya..."

Annisa menunduk. Berusaha sebisa mungkin tidak menjatuhkan air mata. Kini dia mulai ragu, Annisa merasa dunia sedang bercanda padanya. Apakah dia harus menyerah?

Sungguh, di dalam hatinya masih tetap ada nama Randy. Tetapi kenyataan memaksanya untuk terus berpaling. Inikah yang namanya jodoh dipaksakan? Sekuat apapun dirinya bertahan tetapi jika dia memang tidak berjodoh dengan Randy, selalu saja ada halangannya.

Di dalam ruangan rawat inap itu, pak Karso, ibu Sri, dan Aira tengah menemani Icha yang masih belum membuka mata.

"Mama, bangun..." Aira masih terus menangis. Tangan mungilnya bergerak menggoyang-goyangkan lengan lemah ibunya tapi hasilnya nihil.

Ibu Sri menatap suaminya. Dari tadi dia menanyakan sesuatu yang belum dijawab oleh pak Karso. Lelaki itu masih berhutang jawaban padanya. Jadi kalo ini untuk ketiga kalinya dia menanyakan hal serupa.

"Pak, nak Icha sedang mengandung anak kamu, kan pak? Ayo jawab pertanyaan ibu. Kalian udah pernah berhubungan, kan?" Berbeda dengan pasangan suami istri pada umumnya. Biasanya jika seorang istri mendapati suaminya menghamili perempuan lain, maka dia akan sangat marah besar, tetapi ibu Sri justru berharap jika suaminya benar-benar menghamili Icha.

Pak Karso belum menjawab. Dia malah memeluk tangannya sendiri karena suhu ruangan yang cukup dingin.

"Kenapa gak dijawab, pak?" ibu Sri tetap kekeuh. Dia terus menggoyangkan tubuh pak Karso agar suaminya itu mau buka mulut.

"Ibu, ini rumah sakit. Gak usah teriak-teriak kenapa, sih? Nak Icha-nya aja belum bangun," sergah pak Karso berusaha mengalihkan perhatian.

"Tinggal jawab iya apa enggak, gitu doang kok susah banget bapak ini!" Ibu Sri sampai mencak-mencak karena gemas dengan suaminya sendiri.

Pak Karso tidak menanggapi lebih lanjut sehingga suasana jadi sunyi. Aira juga sudah berhenti menangis. Mereka berdua tampak merenung menatap seorang wanita yang tertidur pulas.

"Pak, bapak denger kan tadi dokter bilang apa? Katanya rahim nak Icha itu kuat. Katanya kalo rahim seseorang itu kuat tandanya dia sangat subur. Ibu gak salah kan cari kandidat?"

Pak Karso hanya menoleh sesaat lalu kembali ke arah Icha. Padahal Icha masih belum sadarkan diri tapi ibu Sri selalu saja membahas tentang punya anak.

"Kalo seandainya anak kali ini bukan anaknya bapak, bisa dicoba lain kali. Nak Icha pasti kuat punya anak tiga atau empat. Rahim dia kuat ... gak kayak punya ibu."

Tiba-tiba ibu Sri menunduk hampir saja air matanya jatuh ketika perlahan tangan Icha mulai bergerak.

"Ibu gak boleh begitu, ibu itu harus bers..."

"Pak! Tangan nak Icha gerak, pak!" potong ibu Sri dengan menaikkan suaranya.

Pak Karso yang tadinya tenang berubah jadi panik. "Itu, pak. Pencet tombolnya!" Pak Karso bingung karena baru pertama kali menunggu orang yang dirawat inap.

Akhirnya pak Karso berhasil memencet tombol darurat itu. Tak berselang lama seorang dokter dan seorang suster datang. "Sebentar ya pak, Bu. Saya periksa dulu pasiennya." Pak Karso dan ibu Sri pun sedikit menyingkir.

Sang dokter memasang stetoskop di telinganya lalu mulai memeriksa Icha. Perlahan mata Icha mulai terbuka. Keadaannya masih linglung.

"Gimana dok keadaannya?"

Dokter tersebut melepas stetoskop itu. "Pasien sudah sadar karena pengaruh obat bius-nya sudah habis. Tapi dimohon jangan terlalu menekan pasien karena kondisinya masih lemah."

Setelah itu dokter pun pergi berganti dengan Randy yang masuk ke dalam ruangan. "Mamaaa..." Aira merangkak di samping Icha namun langkahnya ditahan oleh ibu Sri karena takut Aira terlalu menekan Icha.

Icha tersenyum ketika dia membuka mata, yang dilihat pertama kali adalah anaknya yang sangat ia sayangi. Lalu pandangannya naik. Bukan ke ibu Sri maupun ke pak Karso, tetapi ke seseorang yang berdiri di belakang mereka. Randy.

•••

Kini di ruangan itu hanya ada Icha dan Randy. Pak Karso, ibu Sri, dan juga Aira dipaksa pulang oleh suster mengingat sudah lewat tengah malam dan mereka membawa anak kecil. Hanya ada satu orang yang boleh menunggui pasien, dan itu adalah Randy.

"Kenapa?" Hanya itu yang terucap dari bibir Randy membuat Icha mengernyitkan dahinya.

"Kenapa kamu gak bilang kalo kamu lagi hamil?" ulang Randy memperjelas pertanyaannya tadi.

Pandangan Icha mengarah ke langit-langit kamar. "Buat apa?" jawab Icha acuh. "Kehamilan ini gak ada hubungannya sama kamu..." Icha menjeda. "Anak ini bukan anak kamu."

Deggg...

Jantung Randy tiba-tiba berdetak keras. Namun wajahnya masih berusaha untuk santai. Tidak terlihat terkejut sama sekali. Randy masih cukup percaya diri. Dia melipat tangannya di depan.

"Oh ya?! Tapi aku kenal banget sama kamu. Kamu bukan orang yang pinter buat bohong. Buktinya kamu gak berani langsung liat ke mataku waktu ngomong."

Bola mata Icha langsung bergerak. Dia menatap mata Randy dalam. Wajahnya terlihat sangat serius. "Anak ini bukan anak kamu, Randy!" Kini dia mengucapkannya sambil menatap mata Randy tanpa berkedip.

Randy sama sekali tidak terintimidasi. "Dokter bilang usia kandungan kamu tujuh minggu. Dan tujuh minggu yang lalu kita masih tinggal satu rumah, dan kita masih sering ngelakuin itu. Perlu kamu inget."

"Dan asal kamu inget juga, kita ngelakuin itu pake pengaman."

"Dan asal kamu inget juga kita pernah ngelakuin itu tanpa pengaman dan aku keluarin di dalem." Randy berhenti bicara, salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas.

Icha kembali berpaling menatap jendela yang backgroundnya didominasi warna hitam langit. "Hanya dua kali," timpal Icha kemudian.

"Dan asal kamu inget juga, Aira ada hanya karena sekali kita ngelakuin itu." Randy terus menghujam dengan beberapa fakta yang terjadi di antara mereka.

Icha tidak langsung menjawab. Tapi raut wajahnya tidak terlihat panik atau seperti sedang berusaha mencari alasan lain untuk menyangkalnya.

"Tapi aku juga ngelakuin itu dengan orang lain."

Mendadak kalimat itu melunturkan seluruh senyum Randy dan berganti dengan wajah yang muram. Apalagi dia tidak dapat melihat kebohongan di wajah wanita itu.

"Gak mungkin." Randy bergumam dengan nada yang lirih, namun masih bisa di dengar Icha karena ruangan itu sunyi senyap.

"Kenyataannya emang aku gak tau siapa ayah dari janin yang aku kandung ini. Antara kamu atau pak Karso..."

Deggg...

Randy menatap Icha dengan tatapan yang sulit dimengerti. "Apa alasannya?" tanya Randy.

"Aku kira kamu pasti udah tau. Pak Karso dan ibu Sri ingin punya anak dari darah daging pak Karso. Ibu Sri terus minta aku buat nikah sama pak Karso. Kamu tau aku gak mau ada di antara dua orang yang saling mencintai. Jadi daripada aku harus nikah sama pak Karso, lebih baik aku kasih kenang-kenangan buat mereka dengan sesuatu yang sekarang ada di dalam sini," jelas Icha sambil mengusap perutnya yang masih agak rata.

Randy masih membisu. Alasan yang cukup masuk akal ketika Icha bilang dia tidak ingin berada di antara dua orang yang saling mencintai. Randy merasa tercubit. Itu sama dengan Icha menghindari hubungan di antara Randy dan Annisa.

"Randy, aduhhh..." Tiba-tiba Icha memekik sambil memegangi kepalanya. Randy langsung bangkit. "Kamu gak papa, Cha? Aku panggilin dokter, ya?" Icha menggeleng pelan. "Gak usah. Kayaknya aku cuma butuh istirahat aja."

Randy mengangguk seraya mengusap bahu Icha. Dia menaikkan selimutnya. Randy terus memperhatikan Icha. Saat nafas Icha mulai tenang, Randy berpindah ke sofa yang di sediakan di sana. Dia mencoba untuk terlelap tidur.

•••

"Kak, aku gak mau pulang. Ini udah lewat tengah malam. Gak enak sama orang pesantren. Nanti mereka malah mikir yang enggak-enggak."

Kini Annisa sedang berada di taksi online bersama Justin. Niat awal Justin ingin mengantarkan Annisa pulang, tetapi ia urungkan karena Annisa benar. Tidak baik mengantar pulang wanita tengah malam, apalagi mereka bukan muhrim.

Justin bertanya. "Terus gimana?"

"Aku boleh nginep di rumah kakak, nggak?" Annisa menatap penuh harap kepada Justin. Dia tersenyum sambil mengedipkan matanya.

Justin terdiam, entah kenapa senyum yang ditampilkan Annisa seolah palsu. Dia bisa merasakannya. "Iya udah kalo gitu." Justin lalu setuju.

"Yesss...makasih, kakak. Calon ayahku tersayang..." Annisa memeluk Justin dari samping. Otomatis tangan kanannya merangkul Annisa dan mengecup puncak kepalanya.

Mereka melalui perjalanan dalam diam. Justin terus memperhatikan Annisa yang memandang kosong ke arah luar jendela mobil.

Rasa sayang Justin kepada Annisa bukanlah main-main. Bukan karena dia mencintai ibunya, tapi tumbuh begitu saja. Bahkan Justin bisa merasakan jika Annisa sedang sedih dan galau. Sepertinya Justin sudah cocok untuk jadi ayah tirinya.

Setelah sampai ke rumah miliknya yang nyaris ia tinggalkan untuk beberapa bulan, akhirnya Justin kembali lagi. Lampu sudah mati semua, terpaksa Justin nyalakan lagi.

"Kok rumahnya gelap banget, kak?" Annisa penasaran karena biasanya Justin akan membiarkan lampunya tetap menyala meskipun dia tidak tidur di rumah.

"Kakak sebenernya udah ambil cuti satu semester buat ikut pelatnas. Beberapa jam yang lalu harusnya kakak udah berangkat, tapi Randy tiba-tiba keluar dari bis terus nyelametin kamu," jelas Justin.

Mengingat kata 'bis' dan 'berangkat' Justin menepuk keningnya. "Aduh kopernya ketinggalan di bisa lagi."

"Besok lah, diurus," gumam Justin lirih.

Annisa yang berada di sebelahnya menoleh sambil melotot ke arah Justin. "Apa, kak? Kakak udah ambil cuti? Kakak kok gak bilang sama aku? Kakak mau ninggalin aku, ya?" protes Annisa.

Justin malah terkekeh melihat Annisa cemberut. "Habisnya bunda kamu nyebelin, sih! Masa cowok seganteng kakak ditolak," ujar Justin percaya diri. Ia memanyunkan bibir bawahnya.

Mulut Annisa sudah terbuka hendak menjelaskan, namun Justin buru-buru meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Annisa. "Sssttt...!!! Udah gak papa. Kakak udah ikhlas kok. Dengan siapapun bunda kamu nikah, kakak akan selalu berdoa semoga bunda bahagia," ucap Justin tulus.

"Tapi, kak..."

"Udah, yok masuk. Dingin lama-lama di luar."

Justin menarik tangan Annisa untuk masuk ke dalam rumahnya. Sunyi, sepi, itulah yang dirasakan ketika menginjakkan kaki di rumah itu. Justin menekan beberapa saklar lampu untuk menerangi ruangan itu.

"Mau mandi dulu?" tawar Justin. Annisa yang memang merasakan tubuhnya kotor mengangguk. Justin kemudian mengisi bath tub dengan air hangat lalu menyiapkan makan malam yang hanya berupa roti dan selai kacang. Lumayan daripada perut tidak diisi sama sekali.

Annisa menelanjangi dirinya. Menatap refleksinya di cermin kamar mandi. Banyak bekas tanda merah di dadanya akibat ulah lelaki jahanam itu. Annisa merasa kotor. Dia lalu mencelupkan tubuhnya di air hangat yang amat menenangkan.

Berbagai memori buruk yang terekam di otaknya kembali hadir. Beruntung dirinya dikelilingi oleh orang-orang yang peduli terhadapnya. Tetapi bagai pedang bermata dua, Annisa juga merasa sudah menjadi beban semua orang.

Jika saja tidak ada dirinya di dunia ini, maka Icha tidak perlu mengalami semua ini, Randy dan Justin tidak akan membatalkan keberangkatannya untuk masuk timnas, yang mana itu sangat berpengaruh pada karir mereka. Semua itu karena Annisa.

Tangis wanita itu yang sekuat tenaga ia tahan sejak di rumah sakit akhirnya pecah di kamar mandi.

Annisa keluar dari kamar mandi dengan tubuh fresh namun mata yang sembab. Justin sebenarnya tahu tapi merasa bukan ide yang baik untuk membahasnya sekarang.

"Dimakan dulu, Annisa." Annisa tersenyum manis lalu berseru senang. "Yee...makasih, kak." Annisa pun memakannya dengan lahap.

Annisa tampak ceria, itulah yang dilihat oleh mata Justin. "Kakak pasti udah ngantuk, yah? Tidur aja dulu, kak, udah hampir jam setengah 2 loh. Aku masih pengin makan roti bikinan kakak. Masih laper," ungkap Annisa seraya mengambil dua lapis roti selai kacang di atas meja.

"Hmm...dasar rakus!" Justin mengacak-acak rambut Annisa yang tanpa penutup hijab seperti biasa.

"Biarin!" balas Annisa sambil menjulurkan lidahnya.

Selesai makan, Annisa menguap sambil meregangkan otot-otot tubuhnya. "Hoammm...Nisa ngantuk, kak. Nisa tidur dulu, yah."

Annisa bangkit setelah mendapatkan anggukan dari Justin. Dia pergi menuju kamar tamu yang sudah rapi karena jarang digunakan.

Justin menghela nafas panjang. "Annisa, kamu mungkin bisa membohongi orang lain, tapi enggak dengan kakak."

Justin membereskan sisa makanan mereka. Sebelum masuk ke kamarnya sendiri, Justin menyempatkan diri untuk mengecek kamar Annisa.

Saat Justin membuka pintu kamar, terlihat Annisa tiduran menghadap ke kiri memunggungi Justin. Lelaki itu menghampiri Annisa dan duduk di tepi ranjang.

Dengan penerangan hanya dari lampu tidur, Justin bisa melihat cekungan hidung Annisa yang basah terkena air mata. Dari situ Justin tahu Annisa habis menangis.

Justin lantas mengusap lelehan air mata itu. Mengecup kening Annisa, lalu menaikkan selimutnya hingga menutupi bahu Annisa.

"Semua orang pasti punya masalah. Anggap semua ini ujian dari yang di atas. Kalo kamu butuh bahu buat bersandar, bahu kakak gak kalah lebar kok sama punya Randy." Justin terkekeh sendiri dengan ucapannya.

Justin menyugar rambut Annisa yang menutupi pipinya. "Tidur yang nyenyak. Mimpi indah." Saat Justin bangkit tiba-tiba tangannya digenggam oleh sebuah telapak tangan.

Justin kembali menoleh. "Kak, jangan pergi!" Annisa terduduk lalu memeluk Justin dengan erat. Annisa menangis keras, menumpahkan seluruh air matanya di bahu Justin.

"Hiksss...kak, untuk kali ini. Aku gak mau tidur sendiri, temenin aku di sini, ya?" ujar Annisa setengah memohon.

Justin menjadi gamang. Bagaimana bisa ia tidur seranjang dengan Annisa. Nanti kalau terjadi apa-apa dia bisa dibunuh oleh Randy.

"Please, kak."

Tapi melihat Annisa yang sangat rapuh membuat Justin tidak tega. Dia lalu mengangguk dan berpindah posisi di samping Annisa.

Wanita itu tidak peduli. Dia hanya ingin memeluk seseorang malam ini. Bertahan dengan kesepian sepanjang waktu benar-benar bisa membuatnya gila.

"Annisa, kamu ngapain?" tanya Justin dengan tubuh menegang.

"Mau tidur sambil peluk kakak, lah. Emang mau ngapain lagi?" jawab Annisa cuek.

"Kaki kamu jangan gesek-gesek di bagian situ dong. Entar adek kakak bangun."

"Oh, hehehe..." Ternyata kaki Annisa menyenggol sesuai yang hidup tapi tak bernyawa. Pantas saja seperti ada yang mengganjal. Dia pun menggeser letak kakinya hingga hanya memeluk sebelah paha Justin.

Sekarang giliran bagian dada Annisa yang membuat Justin betulan tersiksa. Pasalnya Annisa memeluk Justin dengan sangat erat tanpa memperdulikan payudaranya yang menekan tubuh bagian kiri Justin.

"Kak, parfum kakak sama kek punya Randy, ya?" Annisa mendengus ke arah leher Justin.

"Ya tuhan, cobaan apalagi ini, tuhan?!" batin Justin.

Annisa bukan hanya menghirup aroma tubuh Justin yang mirip dengan Randy, tapi sampai menempelkan lubang hidungnya di leher Justin.

Darah Justin berdesir. Ah, sial, lama tidak mendapatkan sentuhan dari wanita membuat hasrat Justin lebih cepat naik.

"Apakah ini cobaan yang harus dicobain, tuhan?!"

Di bawah sana lagi-lagi adiknya diusik oleh lutut Annisa. "Ah, persetan kalo nanti Randy bakal bener-bener bunuh gue!"

Dengan sekali sentakan kini Justin berhasil membalikkan tubuh mereka berdua hingga Justin berada di atas sedangkan Annisa di bawah.

Wanita itu pun terkejut dengan gerakan Justin yang tiba-tiba itu. Mendadak wajahnya berubah takut. "Eh, kak...kak...aku cuma bercanda, kak!"

Justin tidak perduli. Dia terus mendekatkan wajahnya ke arah wajah Annisa yang ketakutan. Justin tampak seperti om-om mesum.

"Kak, jangan, kak, emppphhh...!!!" Annisa tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.

Jederrr...!!!

Sebuah kilatan petir menyambar, dan tak berselang lama turun hujan dengan deras mengguyur seisi kota. Malam itu adalah malam yang tidak bisa Annisa lupakan.

To Be Continue...
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd