Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
Bimabet
Part 48. Ketemu Lagi

Pagi-pagi sekali Randy sudah tiba di rumah sakit. Dia datang dengan raut wajah yang tidak biasa. Di situ ada pak Karso yang langsung keluar begitu Randy meminta untuk mengobrol berdua dengan Icha.

"Gimana kabar kamu?" tanya Randy sembari duduk di kursi sebelah brangkar Icha setelah meletakkan makanan yang ia bawa.

"Alhamdulillah udah baikan. Dokter juga udah ngijinin pulang, tinggal urus administrasi aja."

Randy mengangguk. "Syukurlah."

Icha dapat merasakan perbedaan sikap Randy kala itu. "Ada yang mau kamu omongin?" Daripada penasaran, Icha lebih memilih menanyakannya langsung.

"Hari ini aku mau berangkat ke pelatnas. Mungkin bisa sampe 3 bulan buat persiapan sea games."

Icha tersenyum manis. "Oh ya? Selamat kalo gitu. Aira pasti bangga punya papa yang bisa mengharumkan nama bangsa."

Randy hanya merespon sekenanya. "Aku mau fokus sama karir aku dulu. Kalo bisa aku mau berkarir di luar negeri. Mungkin event ini bisa jadi batu loncatan. Maka dari itu aku harus perform semaksimal mungkin."

"Terus Annisa gimana? Apa dia gak keberatan kamu berkarir di luar negeri?" tanya Icha. Randy menatap Icha dengan tatapan datar.

"Hubungan kita udah berakhir. Gak bisa diperbaiki lagi." Jawaban itu sontak membuat Icha terkejut.

"Kenapa? Apa karena anak yang ada di dalam kandunganku ini? Gak Randy! Aku bakalan jelasin sama Annisa, kalo anak ini gak ada hubungannya sama kamu..."

"Gak perlu," potong Randy. "Aku udah jelasin semuanya sama dia. Dan hasilnya, kita putuskan lebih baik dengan kehidupan kita masing-masing."

Icha tampak tidak terima dengan penjelasan Randy. Dia masih ngotot. "Gak bisa gitu. Annisa cuma cinta sama kamu. Gimana dia kalo gak ada kamu? Dia pasti..."

"Dia sendiri yang mutusin." Lagi-lagi Randy memotong. "Dia yang minta sendiri aku untuk menjauh dari hidupnya. Dia udah gak mau kenal sama aku lagi."

Icha menggeleng. "Gak mungkin. Dia cuma emosi sesaat, Randy. Aku yakin dia gak bener-bener minta kamu menjauh."

Randy mendelik pada Icha. "Stop ngatur hidup orang lain, Cha! Kalo kamu emang gak mau sama aku dan lebih milih sama pak Karso itu, it's fine. Aku bakalan pergi." Lelaki itu menggeleng pelan. "Tapi jangan paksa orang lain untuk ngikutin kehendak mu."

Icha terdiam. Matanya mengembun mendengar Randy berbicara dengan nada tinggi. "Maaf, aku cuma pengin kamu dapet yang terbaik."

"Aku udah dewasa, Cha. Aku udah bisa nentuin mana yang terbaik buat aku." Randy menunjuk ke arah dadanya sendiri.

"Dan aku udah mutusin," lanjut Randy lagi. Kini dia langsung berdiri. "Aku bakalan fokus sama karir aku dan ninggalin semua kenangan yang ada di sini."

Randy berbalik dan melangkah pergi. Icha hendak menahannya tetapi urung setelah Randy menoleh sesaat. "Soal Aira, kamu tenang aja. Aku tetep bakal seratus persen tanggung jawab buat masa depannya."

Randy berhenti sejenak sebelum kembali berbicara. "Satu lagi, fokus sama kandungan kamu. Kalo kamu yakin anak yang ada di dalam kandunganmu itu anaknya pak Karso, mintalah tanggung jawab sama dia."

Setelah menyelesaikan kata-katanya, Randy pergi begitu saja tanpa bisa dicegah. Icha merasa dadanya sangat sesak, nafasnya tercekat di leher. Kenapa yang dilakukannya selalu salah?

"Nak Icha, kamu kenapa? Randy udah nyakitin kamu?" tanya pak Karso yang masuk setelah melihat Randy pergi.

Icha menggeleng. "Enggak, pak. Ini semua salah Icha, kok."

Pak Karso menghembuskan nafas dalam. "Kenapa kamu gak terus terang aja? Bapak yakin kamu masih cinta sama dia, kan?"

Icha termenung, menatap kosong ke arah selimut yang membungkus kakinya. "Apakah dengan putusnya Randy dan Annisa, aku boleh mulai untuk berharap, ya tuhan?" ucap Icha dalam hati.

•••

"Beneran lu udah yakin mau berangkat?! Gak pamitan dulu sama Annisa?" tanya Justin ketika mereka sudah ada di depan taksi yang terparkir rapi.

Randy menggeleng. Sepertinya keputusan yang ia ambil sudah sangat matang. "Gue udah mutusin buat ngejar karir dulu. Gue udah ngelepasin Annisa."

Justin menghela nafas dalam kemudian menepuk bahu Randy. "Kalo lu emang udah yakin, go on..." ujar Justin. "Tapi asal lu tau juga, kalo Annisa masih cinta banget sama lu."

Ucapan Justin sempat menghentikan langkahnya untuk menaiki taksi itu. Setelah didahului oleh Justin, Randy mengekori di belakangnya.

Sepanjang perjalanan Randy terus merenungi perkataan Justin. Apakah benar kalau Annisa masih mencintainya?

Randy menoleh ke kanan, temannya itu malah tertidur nyenyak. Perjalanan memakan waktu empat puluh lima menit menuju bandara. Setelahnya mereka akan terbang menuju Bali, tempat dilaksanakannya pelatihan timnas yang akan disiapkan untuk sea games Manila.

Saat tengah duduk di kursi tunggu bandara, Randy dikejutkan dengan sosok yang tiba-tiba menutup matanya dari belakang.

Reflek Randy menggenggam pergelangan tangan orang itu lalu menariknya ke depan. "Hai, apa kabar adikku sayang!"

Wajah orang itu muncul dari atas bahu Randy. Amat terkejut ternyata dia adalah Ranty. "Kak Ranty?!" pekiknya kaget.

Bukan hanya kaget tiba-tiba bertemu dengan kakak kandungnya, tetapi juga karena penampilan Ranty yang sangat berbeda.

Randy lantas berdiri dan berbalik menghadap Ranty. Masih tidak percaya bahwa wanita yang ada di depannya itu adalah kakaknya sendiri.

Randy menatap Ranty dari atas kepala hingga bawah. Rambut disemir pirang, tindik terpasang menghiasi hidung dan bibir bawahnya, dan yang paling membuat Randy terkejut adalah tatto yang tergambar full di lengan kiri, serta gambar bunga mawar di bagian lengan atas tangan kanannya.

"Kenapa? Kok kayak kaget gitu?" tanya Ranty seraya tersenyum meringis.

Perlahan Randy dapat menguasai keterkejutannya. Tanpa menyinggung penampilan baru Ranty, Randy membalas senyumannya. "Gak papa kok, kak. Kakak kok bisa ada di sini?"

"Kakak ada event di Bali. Bentar lagi mau berangkat. Kamu sendiri ngapain ada di sini?"

"Aku ada pelatnas, kak. Buat sea games nanti."

"Wah, hebat kamu, Randy. Kakak gak nyangka kamu sampe ke titik ini. Selamat, yah." Ranty mengulurkan tangan memberikan selamat.

Randy menjabat tangan kakaknya itu. Meskipun begitu, mereka masih sama-sama sedikit canggung. "Eh, berarti kita satu penerbangan, dong."

"Emm...kayaknya gitu."

Ranty menoleh ke sebelah kiri Randy. Dari sana Justin datang dengan dua cangkir kopi di tangannya lalu memberikan salah satunya kepada Randy. "Thanks," jawab Randy.

Ranty terdiam. Wajahnya mengarah ke Randy namun bola matanya sesekali melirik ke Justin. "Eh, iya. Kenalin, kak. Ini Justin temen Randy. Justin, ini kakak gue, namanya Ranty."

Mereka pun berjabat tangan. Justin menampakkan ekspresi datar, hanya sedikit mengangkat ujung bibirnya, itupun hanya sepersekian detik.

"Ranty! Lu abis kemana, sih? Tega lu ninggalin gue sendirian di toilet." Suara itu berasal dari belakang Ranty. Muncul sosok wanita lain dengan ekspresi kesalnya.

"Loh Randy?! Justin?!" tunjuk wanita yang baru datang itu.

"Anes?!" ujar Randy kembali terkejut.

"Loh, kalian udah saling kenal?" Ranty menyusul dengan ikutan kaget.

Mereka bertiga saling pandang. "Ya kenal. Dia kan mantannya si Justin." Randy melirik Justin setelah menyelesaikan kata-katanya.

Anes mendekati Justin lalu tanpa ijin langsung memeluk pria itu. "Hello, boy! I missed your smell," ungkap Anes sambil membenamkan wajahnya di dada Justin.

"Nes. Gue lagi bawa kopi panas. Mau gue siram, lu?!" ucap Justin sedikit kesal karena saat Anes memeluknya, cangkir yang ia pegang bergoyang dan sedikit menumpahkan isinya.

Anes melepaskan pelukannya. Justin meringis melihat raut kesal Anes. "Ah, gak asik lu mah!"

Bughhh...

Tiba-tiba Anes menabok selangkangan Justin dengan tangannya, membuat kopi yang dibawa Justin tumpah betulan.

"Anjir, lu! Sumpah ya, Anes bang*at!" umpat Justin yang langsung meletakkan kopinya di atas kursi karena tangannya terasa terbakar. Anes malah tertawa ngakak.

Wanita itu beralih ke Randy. "Yah, mending sama Randy aja, deh. Kontolnya lebih gede," ucap Anes santai seraya memeluk pinggang Randy.

"Nes, asli, yah. Air bag lu bisa mengguncang dunia kalo kek gini ceritanya," keluh Randy ketika payudara Anes yang super jumbo itu menabrak siku Randy yang sedang memegang cangkir kopi berbahan kertas.

"Ahh, kalian berdua sama aja! Kontolnya kecil!" Anes melepaskan pelukannya. Namun sebelum beranjak, dia sempatkan meremas biji Randy.

"Aduh! Sumpah mules anyinggg!" Randy menunduk merasakan ngilu di area selangkangannya.

Ranty mengamati interaksi antara mereka bertiga. Tapi setelah diperhatikan, mereka tampak memiliki hubungan yang baik. Meskipun mereka saling ejek dan saling umpat.

Selang beberapa saat muncul satu lagi wanita cantik sambil menarik sebuah koper besar. "Dicariin, ternyata pada di sini."

Wanita itu lalu menatap Randy. "Loh, lu temennya Ajeng, kan?" tembak wanita tersebut. Randy mengernyitkan dahinya berusaha mengingat-ingat siapa wanita itu.

"Gue Irene. Masih inget, gak? Kita terakhir ketemu di hotel beberapa tahun lalu pas lu check in sama Ajeng."

"Wah-wah-wah, ternyata Randy seorang penjahat kelamin." Anes bertepuk tangan seperti mengejek.

"Apaan sih lu, Nes?!" Randy mengalihkan perhatian ke Irene. "Lupa-lupa ingat, hehehe...soalnya kejadiannya udah lama banget."

"Iya, yah. Sayang Ajeng gak bisa ikut. Dia udah pensiun, udah nikah, udah punya anak juga."

"Iya, gue juga pernah ketemu sama dia, tapi anaknya belum brojol." Irene hanya mengangguk.

Tak berselang lama, pengumuman keberangkatan mereka ke Bali berkumandang. Mereka lalu melangkah untuk menaiki pesawat yang akan membawa mereka terbang.

Anes tampak berbincang dengan Justin, sedangkan Randy berbincang dengan Ranty dan Irene. Rencananya Vancy models, agensi mereka akan mengadakan pemotretan di Bali, dilanjutkan dengan party di salah satu club yang terkenal di pulau Dewata itu.

Sebenarnya, pemotretan bukanlah agenda utama mereka, tapi Expo yang diadakan Vancy models untuk memanjakan para petinggi yang akan berkumpul di sana. Pantas saja, model-model unggulan yang mereka percayai untuk mengisi acara tersebut.

Perjalanan hanya memakan waktu tidak sampai dua jam. Di bandara I Gusti Ngurah Rai, sebelum mereka berpisah, Ranty memberikan alamat tempat dirinya menginap.

"Kalo kamu ada waktu luang, mampirlah. Kakak di sini selama satu minggu. Kita bisa...yah bernostalgia paling enggak," tawar Ranty.

Randy mempertimbangkan tawaran itu, kemudian ia mengangguk. "Oke, kak. Nanti aku kabarin, ya." Ranty mengangguk.

Saat Randy berbalik hendak pergi, Ranty menarik tangan Randy. Lalu secepat kilat mencium bibir pria yang berstatus adik kandungnya itu.

Mmmuuaaaccchhh...

"Kakak kangen banget sama kamu," lirih Ranty saat tautan bibir mereka terlepas. Wanita itu melambaikan tangan sambil tersenyum, lalu pergi.

•••

Icha sudah diperbolehkan untuk pulang. Dia dibantu oleh pak Karso dalam perjalanannya sampai di rumah.

Bersama dengan ibu Sri, Aira yang menunggunya menyambut dengan gembira. "Mama pulang! Aira kangen banget sama mama!" celetuk anak kecil itu yang sedang menginjak usia tiga tahun.

Icha hanya memeluknya penuh rasa rindu. Ingin rasanya menggendong buah hatinya, namun keadaannya belum memungkinkan. Bahkan sekarang dia masih harus menggunakan kursi roda.

"Aira gak nakal, kan? Waktu ditinggal mama?" Aira menggeleng. "Enggak, mama. Aira kan gak mau bikin mama sedih."

Icha tersenyum mengusap pipi Aira yang memiliki cetakan wajah Randy. Mengingat itu Icha kembali termenung. Pak Karso yang melihatnya dapat menangkap perasaan yang ada di dalam hati Icha.

"Nak Icha, istirahat dulu. Kamu kan lagi hamil, jangan banyak gerak dulu. Ibu udah minta ijin sama adik ibu supaya kamu diijinkan cuti kerja sampe kamu melahirkan." Suara ibu Sri menginterupsi.

Icha pun mendongak. "Gak bisa gitu dong, bu. Usia kandungan Icha kan baru dua bulan. Masih lama persalinannya. Lagian kalo diem lama-lama di rumah juga bosen."

"Kamu tenang aja. Pemilik kafe tempat kamu kerja kan punya adik ibu, yang penting kamu sehat. Kamu juga gak harus diem di rumah terus. Kamu bisa ikut kelas senam ibu hamil, nanti bapak yang urusin semuanya."

Icha diam saja. Malas jika harus berdebat dengan ibu Sri. Ujung-ujungnya dia yang harus mengalah. "Kalo gitu ibu pulang dulu, ya. Warung gak ada yang jagain. Bapak, ibu titip nak Icha, ya," ujar ibu Sri seraya melangkah pergi.

Selalu saja begitu. Entah kenapa dia seperti sengaja meninggalkan Icha dan pak Karso berdua. Dan sekarang hanya ada mereka bertiga.

"Nak Icha. Bapak mau ngomong sesuatu, boleh?" Icha yang sedang memperhatikan Aira bermain boneka pun menoleh. "Ngomong apa, pak?"

"Jadi gini. Bapak tadi sempat denger percakapan kamu sama Randy. Bapak tau kalo kamu masih cinta sama Randy, kan? Tapi kenapa kamu malah nyuruh dia sama wanita lain? Jelas-jelas bapak liat Randy mau bertanggung jawab atas kamu dan anak ini. Sebenarnya siapa wanita yang bernama Annisa itu? Kenapa kamu terus belain dia sampe harus mengorbankan perasaanmu sendiri?"

Jelas pak Karso tidak mengerti. Dia tidak pernah melihat Icha menatap seorang pria seperti dia menatap Randy. Sebuah tatapan penuh cinta. Kadang membuat dirinya iri tapi yang namanya cinta tidak bisa dipaksakan.

Icha tersenyum. "Dia wanita yang baik, pak. Dia yang merubah hidup saya dari yang dahulu jadi perempuan kotor. Dia yang mengajari saya banyak hal," kata Icha.

Pak Karso tidak menanggapi, namun matanya tetap fokus dengan wajah teduh Icha yang sedang menemani Aira bermain.

Dari keterdiaman mereka, tiba-tiba pintu rumah diketuk. Secara kebetulan, orang yang sedang mereka bicarakan datang.

"Assalamualaikum," ucap Annisa memberi salam. "Waalaikumusalam, Annisa. M...masuk." Icha langsung menawari perempuan cantik itu untuk masuk.

Annisa menyunggingkan senyuman manis. "Gimana kondisi kakak? Tadi aku ke rumah sakit katanya kakak udah pulang."

Tidak ada raut sedih ataupun kecewa. Senyumannya benar-benar tulus. "Kakak udah baikan," jawab Icha. Annisa duduk di sebelah Icha seraya menaruh sebuah tas kresek hitam yang ia bawa.

"Annisa, ada yang mau kakak bicarakan." Icha melirik ke arah pak Karso. Agaknya pria paruh baya itu mengerti maksud Icha. Dia lalu pergi dengan alasan ingin membeli kopi di warung.

Setelah kepergian pak Karso, Icha kembali menatap Annisa. Dia tumpuk tangannya di atas punggung tangan Annisa.

"Annisa, kakak mau jelasin tentang hubungan kakak sama Randy. Kamu jangan salah paham, anak yang ada di dalam kandungan kakak buka anaknya Randy."

"Kakak bisa aja bohongi Randy, tapi enggak sama aku, kak. Aku kenal sama kakak. Kakak gak mungkin berhubungan sama laki-laki sembarangan."

"Tapi itu kenyataan..."

"Kak!" Annisa memotong dengan cepat. Menatap mata Icha, mencari sisi kebohongan di sana. Annisa menemukan celah, meskipun hanya sedikit.

"Aku juga perempuan, kak. Aku bisa ngerasainnya." Icha mulai tidak sanggup menatap mata Annisa. Matanya berpendar ke sekeliling hanya untuk menghapus air mata yang mendadak keluar.

"Hubunganku sama Randy udah berakhir. Sekarang, kejarlah cinta kakak sendiri. Jangan lagi berkorban untukku. Kakak berhak bahagia juga."

Annisa memaksakan senyum meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Mungkin ini saatnya untuk menyerah bagi Annisa.

To Be Continue...
 
saya bingung sama yg milih Randy nikah sama Annissa, padahal jelas banget kalau hubungan mereka murni karena sex 🤔
 
Coba baca ulang season 2 huu, tapi kalau ane sih ttep pilih Icha wkwk, yang jelas skenario ada di tangan suhuu @Malinksss
iya jelas kok di season 2 itu karena si annisa emang labil aja, makanya kebawa perasaan. Beda dengan si Icha yang suaminya ringan tangan dan anaknya punya hubungan dengan randy.
 
Bimabet
Part 49. Sebuah Pertemuan

Randy sudah berada di mess pelatnas. Untuk saat ini mereka masih free dari jadwal latihan. Mereka gunakan waktu untuk saling mengenal pemain satu sama lain yang berasal dari berbagai tim.

Kalau Justin sudah tidak terlalu kesulitan beradaptasi karena dia memang langganan timnas sejak beberapa tahun lalu.

Karena waktu sedang senggang, Randy memutuskan jalan-jalan di sekitar pantai Kuta. Dia butuh healing untuk menyegarkan otaknya agar saat dia mulai menjalani latihan, dia sudah fokus seratus persen.

Namun selama beberapa menit lamanya menjajaki pasir pantai itu, bukannya fresh, pikirannya malah terus berada di Bandung.

"Annisa, aku harap dengan gak adanya aku di hidupmu bisa bikin kamu lebih bahagia. Ini kan yang kamu mau?" Randy bergumam dalam hati.

Dia menjatuhkan bokongnya di atas pasir pantai itu. Memandangi air yang bergerak mendekat membawa ombak-ombak yang cukup besar.

Meskipun berat, Randy sekuat tenaga mencoba melepaskan Annisa. Dia sadar telah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan padanya. Mungkin memang benar bahwa dirinya tidak pantas bersanding dengan Annisa yang sempurna.

Lalu pikirannya beralih ke Icha. Dia sudah terang-terangan mengatakan untuk menikahi Annisa dan secara tidak langsung menolak kehadirannya.

Randy tersenyum miris karena dua orang wanita sama-sama menolak dirinya. Dan jika memang keberadaan Randy sangatlah mengganggu bagi keduanya, dia bersedia untuk menepi.

Tapi yang membuat Randy risau bukanlah hal itu. Dia tidak bisa meninggalkan Icha begitu saja. Ada putri kandungnya yang wanita itu bawa. Randy tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Minimal Randy ingin memastikan bahwa masa depan anaknya terjamin.

Sedang asik-asik melamun, dirinya dikagetkan oleh teman seperjuangannya. "Woy! Ngelamun aja, lu! Kepikiran sama yang di Bandung? Kenapa gak telfon?"

"Ck, ganggu aja lu, Tin!" Randy berdecak kesal. Dia menggeser duduknya ketika Justin ikut duduk di sampingnya.

"Kalo di sini lu masih mikirin yang di sana, mending lu pulang aja sana! Percuma juga lu gak akan fokus."

Randy melirik dengan tidak niat. "Ini gue lagi usaha buat fokus. Gue malah udah nyiapin diri buat move on. Mungkin abis sea games ini gue mau pindah klub. Dimana aja yang penting enggak di Bandung."

Giliran Justin yang berdecak. "Ck, lemah banget, lu. Cuma gara-gara masalah cinta aja sampe pengin pindah klub. Lu gak sadar ya, tim GB yang udah besarin nama lu. Gak ada respek-respeknya sama tim."

"Lu salah, Tin. Gue bukannya gak respek sama tim. Tapi gue mau berkembang. Gue gak mau stay terus di zona nyaman."

Justin malah terkekeh mendengar alasan Randy. "Laga lu sok iya banget. Kalo cuma pindah tim sesama liga itu sih sama aja jalan di tempat. Kalo lu mau berkembang, pindah ke luar negeri. Minimal di Filipina yang kualitas liganya di atas kita."

"Gue mau ke NBA," celetuk Randy. Justin sontak saja tertawa mendengar ucapan Randy yang menurutnya sangat tidak realistis.

"Dasar, lu. Tinggi lu aja gak ada setengahnya pemain NBA. Di sana lu mau ngapain? Body charge lu aja sama pemain Indo masih kalah, apalagi di NBA. Lu bakal jadi rempeyek."

Randy tidak menggubris. Menurutnya, yang namanya mimpi boleh saja setinggi langit, urusan realita bisa menyusul, yang penting berusaha dulu.

"Emang lu udah serius mau cabut dari tim? Inget, lu masih punya kontrak sama tim GB sampe dua tahun ke depan. Dan gue gak yakin kalo ada tim yang rela bayarin release clause lu buat angkat lu ke tim mereka."

"Apaan tuh, release clause?" tanya Randy tidak mengerti.

Justin sontak menggeplak kepala Randy. "Bego! Lu pas teken kontrak dibaca dulu gak sih, isinya??"

"Kagak." Justin langsung menepuk jidatnya sendiri. Benar-benar otak Randy kelewatan begonya.

Malas untuk menjelaskan. Paling-paling Randy tambah tidak mengerti dengan sistem kontrak yang ia tanda tangani. Sungguh dia butuh agen untuk mengurusi tetek bengek di balik layar karirnya.

"Okelah, terus apa yang lu pusingin sekarang?"

Sejenak Randy terdiam. "Lu inget sama cewek yang lu bawa ke rumah sakit?"

"Icha?" tebak Justin.

"Iya, Icha. Gue punya anak dari dia. Umurnya tiga tahunan. Namanya Humaira."

"Gue tau. Terus-terus?" Justin menyerongkan badannya, semakin memperhatikan cerita Randy.

"Kalo Annisa sih gue gak begitu khawatir, dia masih punya nyokap, kakaknya dua, temen-temen dia banyak. Kalo Icha, dia sebatang kara, cuma punya Aira. Pak Karso sama ibu Sri, gue gak yakin mereka tulus sama Icha. Gue ngerasa mereka cuma manfaatin Icha buat muasin obsesi mereka punya anak."

Justin mengangguk. Dia pernah bertemu dengan Icha, bahkan sampai ngobrol bareng. Justin tahu Icha orang yang baik, malah terlalu baik untuk orang lain sampai-sampai mengorbankan kebahagiaanya sendiri. Wanita itu pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

"Terus, apa rencana lu?" tanya Justin kemudian.

"Gue pengin kasih sesuatu yang bisa jamin masa depan mereka, meskipun gue gak ada di sana."

Justin mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk sambil melihat ke arah birunya langit. "Well, definisi memberikan sesuatu untuk jaminan masa depan itu gak bisa berupa materi doang, sob. Karena materi lama kelamaan bakalan habis kalo gak diolah." Randy manggut-manggut.

"Apa dia punya hobi atau pekerjaan yang bisa dia nikmati?"

"Dia pernah bikinin gue kopi. Katanya hasil racikan dia sendiri. Yeah, The best coffee I have ever tasted. I think."

Justin menaikkan sudut bibirnya. Kalau Randy sudah menggunakan bahasa inggris, itu artinya dia sudah menggunakan delapan puluh persen dari kapasitas otaknya.

Justin pun meneguk Redbulls yang ia bawa tadi. "Gue punya rencana buat bikin warung kopi buat dia jualan."

Brrrrrrrrsssss...!!!

Justin menyemburkan minuman itu ke depan begitu mendengar kelanjutan omongan Randy.

"Bangke! Lu mikir bikinin dia warung kopi? Emang lu pikir warung kopi omsetnya berapa, sih? mana bisa buah hidupin anak lu. Tega lu jadi bapak," omel Justin sambil mengusap dadanya antara tersedak dan tidak habis pikir dengan pikiran Randy.

Randy meringis sambil garuk-garuk kepala. "Terus gimana? Lu punya ide, gak?"

Justin menepuk bahu Randy. "Bikinin dia kafe. Sekarang dia kerja di kafe, kan? Kenapa gak bikin kafe sendiri? Gue yakin dia pasti langsung klop karena udah lama kerja di kafe."

Randy melotot ke Justin. "Gila, lu! Duit darimana gue buat bikin kafe? Emang lu pikir modalnya berapa? Gaji gue setahun aja belum tentu cukup."

Justin tampak berpikir sejenak. "Kalo gue gak salah dulu lu punya apartemen, kan? Apa udah lu jual?"

Ucapan itu sontak mengingatkan Randy kepada apartemen pemberian tante Dewi yang sudah lama ia tinggalkan. Kebetulan apartemen itu atas namanya. Tapi terakhir ditinggali Ranty.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Secara kebetulan Randy berada satu kota dengan Ranty. Sejenak dia ambil sebuah kertas yang ada di saku celananya.

Di situ tertulis nomor ponsel Ranty yang baru, dan nomor kamar hotel yang perempuan itu tempati.

"Oke, Tin. Makasih sarannya, ya! I love you, muach..." Randy memberikan blow kiss kepada Justin sebelum berdiri.

"Najis!" umpat Justin merasa mual.

•••

Singkat cerita Randy menghubungi Ranty untuk mengajak bertemu. Ranty teramat sangat senang dan mengundangnya ke hotel tempat dia menginap.

Jam 8 masih terlalu dini untuk mengawali sebuah pertemuan, tapi di sinilah Randy berada. Di depan kamar bernomor seratus tiga, Randy menekan bel.

Sepuluh detik kemudian pintu terbuka dan muncul seorang wanita dengan mengenakan bathrobe putih. Wanita itu tersenyum sembari menarik tangan Randy ke dalam.

Aroma sabun terasa di indera penciuman Randy. Agaknya dia baru selesai mandi. "Kakak gak nyangka kamu bakalan nemuin kakak secepat ini," celetuk Ranty.

Dia duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya. Secara otomatis bathrobe itu pun tersingkap menampilkan paha yang terbentuk indah. Di situ Randy tahu jika Ranty hanya mengenakan bra dan celana dalam g-string di balik kimono mandi itu.

Ranty kemudian menyalakan lagu ballad menggunakan remote dengan nada yang rendah. Jadi masih nyaman di telinga dan tidak terlalu berisik.

"Ada yang mau Randy omongin sama kakak." Randy menyusul duduk di samping Ranty.

Wanita itu langsung menuangkan wine dari botol ke dua gelas yang sudah di siapkan sebelumnya di atas meja. "Kita minum dulu, yuk!" Ranty mengangkat gelas itu ke udara.

"Randy gak bisa, kak. Randy lagi diet, gak bisa terlalu banyak minum alkohol," tolak Randy.

Ranty bergerak merangkul bahu Randy hingga payudara yang terlihat belahannya itu menempel di lengan kekarnya. "Ayolah, dikit aja. Gak baik nolak suguhan dari tuan rumah, loh."

Wajah Ranty sudah berada di bawah rahang Randy. Dengan senyum menggoda ia tempelkan ujung hidungnya di rahang kiri Randy.

Randy sedikit miring ke arah Ranty. "It's okay." Akhirnya Randy mengalah. Senyum langsung tercetak di bibir Ranty. Mereka berdua bersulang, menempelkan dua gelas mereka hingga berbunyi nyaring lalu meneguk secara bersamaan.

"Kakak juga ada mau diomongin." Ranty melebarkan jarak dari Randy sampai berdiri dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

Ranty kembali duduk, namun kini dengan sebuah kotak merah di tangannya yang langsung ia letakkan di atas meja.

"Apa ini, kak?" tanya Randy.

"Buka aja," perintah Ranty. Randy mengambil kotak merah itu lalu membukanya.

"Ini cincin?" Ranty melipat tangannya di depan kemudian mengangguk.

"Maksudnya apa, nih? Kakak ngelamar aku?" Randy terkejut, tapi Ranty masih santai dengan tawa kecil di mulutnya.

"Apa kamu berharap gitu?" Ranty menaikkan sebelah alisnya. Randy sontak menggeleng.

Ranty kemudian memperbaiki posisi duduknya untuk berkata lebih serius. "Ini cincin punya eyang. Diwariskan secara turun temurun oleh keluarga Wibowo. Cincin ini dikasih eyang ke almarhum papa pas ngelamar mama dulu. Tapi cincin ini diminta lagi karena mama mutusin buat nikah sama orang lain setelah papa meninggal."

"Kapan eyang kasih cincin ini ke kakak?"

"Sebelum kakak ke Bandung buat nemuin kamu, kakak ketemu sama eyang. Eyang bilang sama kakak suruh kasihin cincin ini ke kamu sebagai keturunan laki-laki keluarga Wibowo. Eyang juga pesan sama kamu, berikan cincin ini ke orang yang kamu cintai. Gitu pesannya."

Ranty berhenti, lalu menuangkan kembali wine ke gelasnya sendiri. "Kenapa baru sekarang kakak bilangnya? Kenapa gak dari dulu?" Randy menutupi kotak merah itu kemudian meletakkannya lagi ke atas meja.

Ranty menatap salah satu sudut ruangan hotel, hanya agar tidak beradu pandang dengan Randy. "Dulu kakak pikir kamu bakalan kasih cincin ini ke kakak. Makanya kakak masih simpan sampai sekarang. Tapi untuk sekarang, kayaknya udah gak ada harapan lagi kan buat kakak?"

Ranty akhirnya mau menatap mata Randy dengan berkaca-kaca. Kini justru Randy yang memalingkan muka. "Ya. Kita memang gak ditakdirkan bersama," jawab Randy singkat, padat, jelas. Ranty mengulas senyum. Dia sudah bisa memperkirakan jawaban Randy.

Ranty menaikkan salah satu sudut bibirnya. Dia meminum wine-nya dalam sekali tegukan. "Jadi, apa yang mau kamu omongin?" Kini giliran Ranty yang bertanya.

"Emm..." Randy sedikit ragu untuk mengatakannya. "Randy mau tanya. Apa apartemen yang dulu kita tempati masih ada?"

"Masih, kakak udah gak tinggal di situ sejak waktu itu," jawab Ranty cepat. "Kenapa?" lanjutnya lagi.

"Gak papa. Kalo udah gak ditinggali rencananya mau Randy jual. Randy lagi butuh duit."

"Wah, adik kakak yang satu ini lagi butuh uang rupanya, buat apa sih? Kayaknya penting banget?" tanya Ranty dengan nada sedikit meledek.

"Ada deh, kak. Gimana, bisa gak?"

Ranty mengangguk. "Itu soal gampang. Pelanggan kakak banyak yang pengusaha. Kakak tinggal speak dikit pasti ada yang beli." Wanita itu mengerlingkan sebelah matanya.

"Thanks ya, kak." Randy bahagia sekali malam itu.

"Eitsss...tapi kakak ngelakuin itu gak secara cuma-cuma, ya. Kakak juga mau imbalan."

Randy sedikit menurunkan ujung bibirnya. Dia mengira Ranty akan meminta sebagian hasil dari penjualan apartemen itu.

"Apa, kak?"

"Puasin kakak malam ini," ucap Ranty seraya berpindah duduk di atas pangkuan Randy dengan posisi berhadapan.

Wajah mereka saling berhadapan dengan jarak yang cukup dekat. Kedua tangan Ranty berada di pipi Randy membelai seluruh wajah adik laki-lakinya itu.

"With pleasure," kata Randy menimpali. Ranty tersenyum seraya mengecup bibir Randy.

Randy membalas dengan semangat. Perlahan ciuman itu berubah menjadi lumatan.

Ssslllrrrppp...sssppp...mmmmppphhh...

Lidah mereka ikut andil dalam peraduan dua pasang bibir yang sama-sama mengeluarkan desahan erotis.

"Aaahhh...ssshhh...Randy. kakak kangen banget sama kamu. Kakak rindu belaian kamu, kakak rindu aroma kamu, kakak rindu semua..."

Ciuman bibir mereka terlepas, meninggalkan saliva yang saling terhubung. Ranty menarik tali bathrobe miliknya hingga terbuka, lalu melemparkannya ke sembarang arah.

Randy tertegun melihat tubuh kakaknya yang sangat berbeda dari yang terakhir mereka melakukannya. Bagian pusarnya ditato bergambar matahari. Tubuh bagian samping terdapat tato berbentuk akar yang menjalar dari pinggul ke atas sampai di bawah payudaranya yang bergambar bunga mawar.

"Kamu kaget?! Liat ini." Ranty melepaskan kaitan bra di belakang punggung, lalu melemparkannya.

Mata Randy membulat ketika melihat gunung kembar milik Ranty. Fokusnya langsung tertuju pada dua puting payudara Ranty yang ditindik di bagian kanan kirinya.

"Puting kakak ditindik?" Randy hampir tidak percaya. Ranty tersenyum sambil mengangguk. "Seksi, kan?" tanyanya.

Tidak ada jawaban dari Randy, karena dia lebih suka beraksi daripada berbicara. Mulutnya langsung mencaplok nipple kiri Ranty serta meremas payudara kanannya.

"Ssshhh...aaaccchhh...Randyyy...!!!" Ranty memekik memeluk kepala Randy yang tengah menyusu di payudaranya.

Randy merasakan sensasi baru. Ada logam di mulutnya. Saat digigit, ada permukaan empuk dan keras.

"Aaaccchhh...Rhannn...sakittt...!!!" pekik Ranty ketika Randy menarik tindik itu dengan giginya.

"Ouhhh...shittt...kak! Randy gak tahan lagi!" Randy mengangkat tubuh Ranty, kemudian membantingnya ke atas sofa. "Awww...!!!" Ranty sedikit terkejut dengan sikap Randy yang tiba-tiba menjadi kasar.

Randy berdiri melepaskan kaosnya, lalu celana jeansnya. Menyisakan bokser dalaman bermotif Spongebob. Tanpa menunggu lama, dia langsung menarik g-string yang dipakai Ranty.

Kini Ranty sudah telanjang bulat di hadapan Randy. Kakinya mengapit namun wajah Ranty sama sekali tidak ada raut malu, justru Ranty sangat menggoda seolah-olah menantang Randy untuk segera melebarkan pahanya.

Dengan instingnya, Randy segera membuka paha mulus Ranty yang tak bertato. Namun Randy kembali dibuat terkejut ketika melihat kewanitaan Ranty. Ya, di bagian atas terdapat sebuah tindik berbentuk seperti anting atau cincin yang menembus bagian klitorisnya.

"Mau main-main dulu sama memek kakak, gak?" tawar Ranty. "Caranya?" tanya Randy bingung.

Wanita itu pun bangkit dan mengambil sesuatu di laci meja tv. "Ini." Ranty memberikan benda itu kepada Randy.

Dia semakin bingung. Itu sebuah rantai yang ujungnya ada pengait sedangkan ujung satunya terdapat anal plug.

Karena melihat Randy kebingungan, Ranty pun mengambilnya kembali. "Kamu liat aja." Ranty bergerak sedikit menjauh dari Randy.

Dia mencantolkan pengait itu di tindik vaginanya, lalu memasukkan anal plug itu ke lubang belakangnya. Randy menelan ludahnya dengan susah payah. Seumur-umur dia hidup, meskipun sudah pernah jadi lelaki bajingan, dia baru pertama kali melihat pemandangan seperti ini.

Apakah ini jadi salah satu fetish pelanggannya? Ranty terlihat sangat mahir dalam memasangkannya. Setelah anal plug itu masuk, Ranty menegakkan badannya.

Dia berjalan ke kanan dan ke kiri bag model. Suara gemericik yang berasal dari rantai itu pun terdengar nyaring. Logam itu menjuntai hampir sepanjang lutut Ranty.

Setelah itu musik berganti dengan lantunan lagu erotis. Dengan senyuman nakalnya, Ranty menari striptis di depan Randy.

Kadang Ranty berbalik dan menunduk, memperlihatkan lubang pantatnya yang disumpal oleh anal plug. Kadang Ranty mengejan hingga benda itu nyaris keluar lalu dia kembali menghisapnya masuk menggunakan lubang kotorannya.

Saraf-saraf di anal Ranty tampak begitu sinkron dengan otaknya sehingga Ranty dengan mudah mengontrol benda itu.

Randy? Jangan ditanya lagi. Suguhan show itu nyaris membuatnya terbakar oleh birahi yang membara. Kejantanannya di balik bokser yang ia kenakan sudah dalam ketegangan yang maksimal.

Ranty kini menatap Randy lewat sela-sela pahanya. Jadi Ranty melihat Randy dalam posisi terbalik. "You want it? Come on, baby."

Wanita itu mengundang Randy dengan gestur jarinya. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Randy pun berdiri. Dia sudah siap untuk menyantap kakaknya yang sudah menjadi pelacur top global.

•••

(Additional part)

Di sisi lain, tepat di balik tembok kamar hotel Ranty bergema suara-suara lenguhan yang amat keras.

"Aaaccchhh...aaaccchhh, anj*nk lu, tin! Ouhhh...enak banget sumpah! Terus...terus...kerasin lagi...!!!"

Plokkk...plokkk...plokkk...plokkk...

"Arghhh...arghhh...arghhh...arghhh..." Sang pejantan hanya dapat menggeram.

"Ouhhh...ouhhh...oasssuuu...enak banget. Gue mau keluarrrr...!!!"

Si betina yang tak lain adalah Anes, memekik keras. "Aaawwwnnnggghhh...!!!"

Serrr...serrr...serrr...serrr...serrr...

Dia mendapatkan klimaks yang sangat luar biasa yang membuat dia menggelepar-gelepar. Pompaan pun berhenti karena kaki Anes mengunci pinggul sang pejantan.

Setelah orgasmenya benar-benar reda, Anes mendorong perut lelaki itu menggunakan kedua kakinya hingga tautan kelamin mereka terlepas. Anes beringsut memeluk guling kemudian memejamkan mata.

"Weh, Anestot! gue belum keluar! Tanggung jawab lu! Lu kan yang bawa gue ke sini!" geram Justin.

"Hehehe...gue capek, Tin. Lemes bet dah. Gue mau tidur dulu. Makasih ya atas servisnya barusan." Anes tidak peduli, dia malah semakin mempererat pelukannya di guling itu.

"Enak aja, lu! Emang gue gigolo lu, apa?! Gue gak peduli pokoknya lu harus tanggung jawab, gue kentang!" protesnya.

Tanpa memperdulikan Anes, Justin menarik ke atas salah satu kaki Anes hingga kepala Anes tergencet kasur.

"Aaaaaa...Justin bang*at lepasin gue...!!!"

To Be Continue...
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd