Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
Kirain udah ada update terbaru nya, cek di wattpad juga blm ada tanda-tanda update, semoga semakin jelas nasib Annisa, icha, Randy. Dan semoga juga bisa tamat seperti cerita di sequel 1 dan 2.

Terimakasih suhu
 
Part 50. Mengakhiri Semuanya

Timelapse

Selama beberapa bulan, Randy, Justin, dan kawan-kawan fokus latihan untuk persiapan sea games yang akan diadakan di Filipina, negara dengan langganan emas karena memang terkenal dengan level basket yang jauh di atas negara-negara asia tenggara lainnya.

Bersamaan dengan Randy yang semakin fokus dengan karirnya, Annisa pun demikian. Dia berusaha memperbaiki diri, melupakan masa lalunya, dan terus menatap masa depan serta menjadikan masa lalunya sebagai pelajaran dalam hidup.

Dia sadar dirinya tidak bisa bersatu dengan Randy. Jadi dia memutuskan untuk move on. Annisa juga semakin fokus untuk menyelesaikan kuliahnya yang sebelumnya terbengkalai.

Tak terasa Randy dan kawan-kawan selesai berlatih bersama timnas. Saat ini dia tengah berada di Bandung sebelum keesokan harinya terbang ke Filipina.

"Semuanya udah beres?" tanya Justin ketika sedang packing. Randy mengangguk. Memasukkan benda terakhir ke dalam tas ranselnya.

"Barang-barang semuanya udah, tapi ada beberapa hal yang harus gue urus dulu di sini. Gue takut gak sempet."

Randy lalu berdiri. "Gue pinjem mobil lu, dong."

"Buat apa?" Justin yang baru saja selesai mendongak.

"Buat gue jual!" celetuk Randy asal-asalan.

Justin hanya mencebik, namun tak ayal ia melemparkan kunci mobil miliknya ke arah Randy. Dengan sigap Randy menangkapnya.

"Lecet bayar sepuluh em!" balas Justin.

"Ck, gue bayar seratus em!" Tanpa salam Randy berjalan santai sambil memutar-mutar kunci mobil di jari telunjuknya.

Setelah berada di dalam mobil, Randy tak lantas melaju. Dia buka dulu ponsel yang sedari tadi di saku celananya.

Mengecek sebuah pesan dari Prilly. Bibirnya terangkat ketika membacanya. "Mungkin ini hal terakhir yang bisa aku kasih buatmu."

Randy bergegas memacu mobil ke kafe tempat Icha bekerja, namun sia-sia. Icha sudah resign sekitar sebulan yang lalu. Kemudian tujuan selanjutnya adalah rumah kontrakan Icha.

Randy langsung pergi menuju rumah kontrakan yang pernah menjadi tempat tinggalnya juga selama beberapa saat.

Dia berharap Icha belum pindah dari rumah tersebut. Sesampainya di sana, Randy menatap bangunan sederhana itu sejenak. Beberapa sisi temboknya sudah terkoyak dan menampakkan batu bata berwarna merah.

Hatinya berdebar-debar. Tapi tanpa ragu Randy mengetuk pintu itu. Beberapa kali sampai knop pintu berputar dan pintu itu mulai terbuka.

Muncul sosok wanita manis dengan jilbab instan dan daster rumahan yang longgar. Wanita itu menyangga bagian bawah perutnya yang mulai membesar.

"Icha," sebut Randy lirih.

"R...Randy?!" Tampak jelas raut rindu dari Icha, namun sebisa mungkin ia tahan untuk tidak menghambur ke pelukan pria itu.

Belum sempat keduanya berbicara, dari dalam rumah berlari seorang anak kecil dengan sangat riang.

"Papa...!!!" Reflek Randy menyambut uluran tangan Aira yang kemudian ia angkat ke pelukannya.

"Aira sayang, papa kangen banget sama kamu." Berkali-kali Randy menghujani pipi tembem Aira dengan ciuman.

"Aira juga kangen sama papa! Papa kemana aja? Aira kesel!" keluh Aira sembari menepuk-nepuk pipi ayah kandungnya itu.

"Papa lagi latihan buat lomba sayang. Nanti Aira nonton papa di tv, ya. Doain papa dapet emas."

Aira mengangguk dengan lantang. "Nanti emasnya buat Aira, ya!" Randy terkekeh dengan tingkah Aira yang begitu polos.

"Tuh, pah. Perut mama tambah gendut. Katanya di dalem ada adiknya Aira. Asyik! Aira mau punya adek!"

Tiba-tiba saja senyum Randy luntur. Dia hanya sepersekian detik menatap perut Icha lalu kembali ke Aira. Tidak tega juga jika dia bersikap biasa saja ketika anaknya tampak sangat gembira menceritakan hal itu.

"Aira seneng ya mau punya adik. Aira mau laki-laki apa perempuan?" tanya Randy dengan nada dibuat seceria mungkin.

"Aira mau cewek lagi, pah! Biar bisa diajak main boneka-bonekaan."

"Ya udah. Kalo adiknya Aira cewek lagi, nanti papa beliin boneka yang banyakkk bangettt..."

"Yeee...papa baik. Aira sayang sama papa!" ungkap Aira seraya memeluk leher Randy serta merebahkan kepalanya di bahu ayahnya itu.

Saat Aira memeluk Randy, pandangan Randy dan Icha bertemu. Buru-buru Icha menunduk sambil mengedipkan matanya berkali-kali untuk mengusir rasa gugup di hatinya.

"Emmm, masuk dulu, Ran," ajak Icha.

Randy kemudian menurunkan Aira. "Gak usah. Aku ke sini mau ajak kamu ke suatu tempat. Kamu bisa kan?"

"Kemana?"

"Ikut aja," jawab Randy seraya menarik tangan Icha.

Sentuhan tangan itu mampu menggetarkan saraf yang ada di tubuh Icha. Membuat jantungnya berdebar tak karuan.

"A...Aira gimana?"

"Aira ikut sama kita. Aku bawa mobil kok."

Icha meneguk salivanya sendiri. Rasa tidak nyaman menyeruak. Apalagi beberapa kali tampak Randy memperhatikan perutnya yang menonjol. Namun tak ayal dirinya mengangguk pasrah mengikuti kemauan Randy.

Saat di mobil, Icha terus saja menatap ke luar jendela. Berbanding terbalik dengan Aira yang tampak sangat senang dan bernyanyi sepanjang jalan.

"Kamu mikirin apa, sih?" tanya Randy membuyarkan lamunan Icha.

"Eh, enggak. Aku gak mikirin apa-apa kok." Icha tersenyum kaku sembari menggelengkan kepalanya. Dia kembali menunduk sambil mengusap perutnya.

Setelah melakukan perjalanan selama setengah jam, Randy menepikan mobilnya. Lelaki itu mengajak Icha dan Aira keluar dari mobil.

"Mau apa ke sini, Ran?" tanya Icha ketika Randy menarik tangannya mendekati sebuah bangunan yang sedang direnovasi.

"Ini kafe yang lagi direnov. Menurutku sih lokasinya strategis. Deket sama kampus, dan beberapa kantor perusahaan. Menurutmu gimana?"

Icha mengernyitkan dahinya belum bisa memahami arah pembicaraan Randy. "Maksudnya gimana, sih?"

Akhirnya Randy menoleh hingga pandangan mata mereka bertemu. "Ini kafe punyamu. Aku gak tau apa yang harus aku kasih untuk masa depan Aira. Tapi mungkin dengan ini aku bisa lebih tenang melepaskan kalian berdua."

Tubuh Icha mendadak membeku ketika mendengar kata 'melepaskan kalian berdua'. Entah kenapa ada rasa sesak di dadanya seperti palu yang dihantam tepat mengenai jantungnya.

Randy tersenyum melihat perubahan ekspresi Icha. "Kamu gak usah khawatir. Aku bukannya yang gak mau ketemu sama Aira kok. Aku cuma make sure semua akan baik-baik aja ketika aku gak ada."

"Randy, kamu ngomongnya kayak orang mau meninggal aja!" Icha mengatupkan bibirnya erat. Kesal dengan apa yang dikatakan oleh Randy.

"Ini satu-satunya yang bisa aku lakuin, Cha. Kita gak tau kan kedepannya bakalan kayak apa. Aku cuma berusaha jadi ayah yang baik."

"Kamu udah jadi ayah yang baik kok buat Aira." Pandangan Icha turun, kemudian menoleh menatap wajah Randy di sampingnya.

"Kamu uang darimana bisa dapet kafe sebesar ini?"

"Jual ginjal." Mata Icha sontak membulat sempurna. Randy malah terkikik geli.

"Gak, becanda, kok. Aku jual apartemen aku yang pernah kita tinggali sama-sama. Kamu inget, kan?"

Wajah Icha yang sudah turun itu kembali terangkat. "Kamu jual apartemen kamu buat beli kafe ini?"

Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Ran, aku gak bisa terima ini semua. Ini...terlalu berlebihan. Aku udah banyak ngerepotin kamu selama ini."

Dengan santai Randy memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Kamu jangan ge'er dulu, Cha. Aku kasih kafe ini bukan buat kamu kok, tapi buat Aira. Berhubung Aira masih kecil, belum bisa kelola kafe ini sendiri, makanya aku titipin ke kamu. Jadi, kamu gak ada hak buat nolak."

Randy melirik dengan salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. Dia sudah menebak Icha pasti akan menolak pemberiannya. Jadi Randy sudah menyiapkan jawaban yang tidak dapat dibantah oleh wanita itu.

Icha bimbang. Baginya, dia tidak pantas mendapatkan hal seperti ini tapi di sisi lain pemberian itu untuk Aira. Sungguh dia tidak pernah bermimpi sedikitpun bisa memiliki kafe sendiri.

"Ran, makasih, ya." Icha tersenyum tulus. Senyumannya sangat teduh. Membuat siapa saja yang melihatnya pasti akan ikut tersenyum.

"Udah aku bilang, kafe ini bukan buat kamu."

"Aku tau. Aku mewakili Aira, kok. Dia kan belum tau apa-apa soal ini."

"Masa?" Randy kemudian mengangkat Aira dalam pelukannya. "Aira, ini kafe punya Aira. Suka gak?" kata Randy pada anak perempuannya.

Aira terlihat bingung. "Kafe itu apa, pah? Kayak istana gitu, ya?" tanya Aira polos.

Kedua orang tuanya pun tak bisa menahan tawa. "Iya, istana buat Aira kesayangan papa," jawab Randy seraya mencium pipi anak kecil itu.

Aira dengan riang bersorak. "Yeyyy! Aira mau punya istana. Aira seneng banget...!!!"

Bocah itu memeluk leher Randy erat. "Liat, Cha. Dia udah tau dan suka."

Icha menggigit bibir bawahnya berusaha menahan air mata yang ingin keluar melalui sela-sela matanya.

Namun gagal. Icha langsung menghambur ke pelukan Randy bersama Aira. Tangis haru mengiringi setiap detik sentuhan yang menghentakkan jiwa.

"Ran, sebenarnya aku..." Ucapan Icha terhenti. Dia tidak benar-benar menyelesaikan kata-katanya.

•••

Randy menarik nafas dalam. Satu persoalan di hidupnya sudah selesai. Kini tinggal satu lagi urusan yang harus diselesaikan oleh Randy. Mungkin sebelum dia betul-betul ikhlas melepas masa lalu. Menepi dan menghilang.

Randy sudah mantap akan pergi meninggalkan tim GB setelah sea games nanti. Coach Roy pun sudah menyetujui permintaan Randy meskipun dengan berat hati. Dia akan menerima segala tawaran dari tim lain untuk memakai jasa Randy.

Saat ini Randy sedang berada di kampusnya. Bukan untuk kuliah, karena saat itu di masih dalam masa cuti.

Dia menggenggam sebuah kotak kecil berwarna merah yang pernah diberikan oleh kakaknya.

Matanya dengan cepat berpendar saat melihat seorang melintas dalam jarak beberapa meter di depannya. Randy berjalan cepat untuk mengejarnya.

"Annisa, tunggu!" Randy menggenggam tangan wanita itu. Namun Annisa berbalik lalu menarik tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman Randy.

"Lepas! Kamu apa-apanya, sih?!" geram Annisa dengan penuh emosi.

"Aku mau ngomong sama kamu. Sebentar aja."

Annisa sontak menggeleng lantang. "Gak ada lagi yang perlu dibicarain!" jawabnya angkuh.

Annisa langsung menggandeng tangan temannya. "Ayo, Ndah! Kita pergi dari sini."

"Eh...eh...Nis! Pelan-pelan! Aku bawa buku, nih."

Tapi Annisa tidak peduli. Dia hanya ingin secepatnya enyah dari hadapan lelaki itu. Randy hanya bisa memandangi punggung Annisa menjauh dengan kesal.

Merasa sia-sia jika dia mengejarnya, Randy berbalik kemudian menelepon temannya yang menjadi ayah jadi-jadiannya Annisa.

"Halo!"

"Halo!" jawab dari seberang dengan malas-malasan.

"Tin, gue butuh bantuan lu!"

"Aduh, apaan lagi sih?! Mobil gue udah lu bawa. Please lah Ran, ini hari terakhir kita bisa santai. Besok kita udah terbang ke Filipina. Bisa gak sih jangan gangguin waktu healing gue."

"Healing apaan? Orang lu aja cuma tidur seharian."

"Ck..." Dengan sangat berat Justin bangkit dari tidurnya di atas kasur. "Minta tolong apaan?"

"Tolong lu ajak Annisa jalan-jalan gitu. Gue mau ngomong sama dia."

"Lah, lu yang mau ngomong, kenapa gue yang harus ajak dia jalan-jalan?"

"Kalo gue yang ajak, dia pasti nolak. Pokoknya nanti lu ajak dia makan terus lu ijin pergi ke ke toilet, nah pas gitu gue baru masuk buat ngobrol sama dia. Yang penting bikin dia gak badmood dulu."

Justin geleng-geleng kepala. "Aneh lu jadi orang." Meskipun begitu akhirnya Justin mau membantu Randy. Dia kemudian menelepon Annisa.

Tuuuttt...

Justin menempelkan layar ponselnya di telinga. Mengecek jam tangan yang sedang ia pakai. Masih jam dua belas. Sempat lah dia untuk mengajak Annisa jalan-jalan plus makan siang.

Tuuuttt...

Annisa yang tengah bersama Indah mengecek hpnya yang bergetar. Alisnya mengernyit melihat siapa yang menelepon.

"Halo, assalamualaikum."

"Waalaikumusalam. Ada apa, kak? Kok tiba-tiba telpon?"

"Kamu lagi dimana?"

"Aku lagi sama Indah di kampus, kak."

"Ada kelas gak?"

"Udah selesai beberapa menit yang lalu. Kenapa?"

"Jalan yuk!"

"Hah, jalan? Kemana?"

"Udah, ikut aja. Habis ini kakak jemput di kampus. Kamu siap-siap, ya."

Telepon terputus sepihak. Annisa hanya bisa menggembungkan pipinya seraya menatap ponsel yang sudah tidak tersambung dengan siapapun.

"Siapa, Nis?" tanya Indah.

"Kak Justin."

"Ngapain?"

"Gak tau. Katanya ngajak jalan. Ini mau otw katanya."

"Ehemm...ehemm..." Deheman Indah memancing delikan mata Annisa.

"Aku heran deh sama kamu. Sebenernya kamu tuh pacaran sama Randy apa kak Justin, sih? Kayak gonta-ganti mulu."

"Enggak gitu konsepnya Bambang!" Annisa menimpali ucapan Indah dengan ogah-ogahan. Dia pun berdiri. "Udah ah. Aku mau nunggu kak Justin dulu. Bye..."

Annisa meninggalkan temannya yang cuma bisa geleng-geleng kepala.

Di tempat lain, Randy pulang ke rumah Justin dan menukar mobil dengan motor. Justin kemudian menjemput Annisa menggunakan mobilnya.

"Lama nunggu, gak?" tanya Justin sembari membukakan pintu mobilnya.

Annisa dengan malas menggelengkan kepala. Dia masuk ke mobil tanpa sepatah katapun.

"Kenapa kok kakak tiba-tiba ngajakin aku jalan-jalan? Tumben banget," celetuk Annisa ketika mobil sudah melaju di jalanan kota.

"Besok kan kakak mau berangkat ke Filipina. Ya gak papa kan kakak ngajak kamu jalan-jalan. Itung-itung perpisahan sekalian minta doa biar dapet medali emas."

Annisa memajukan bibir bawahnya. "Alah bo'ong. Dulu aja waktu berangkat pelatnas gak ngabarin sama sekali."

Kali ini bukan hanya satu bibirnya yang maju melainkan keduanya. Justin pun terkekeh, lalu menarik leher Annisa dan mengecup puncak kepalanya.

Annisa tidak menolak, malah akhirnya merebahkan kepalanya di bahu Justin.

"Kamu masih marah sama Randy?"

"Aku gak mau bahas dia, kak. Tolonglah," jawab Annisa cepat.

Justin terdiam. Tanpa melanjutkan lagi dia sudah tahu jawabannya. Mobil pun mengarah ke sebuah pusat perbelanjaan.

Justin mengajaknya untuk berbelanja pakaian. Biasanya wanita sangat suka dengan yang namanya shopping. Kalau sudah begitu biasanya mood wanita meningkat drastis.

Benar saja, di sana Annisa sudah berkutat memilih pakaian gamis yang memiliki banyak model.

"Ini bagus gak, kak?" ucap Annisa sambil menempelkan gamis berwarna biru navy di badannya.

"Warnanya kurang cocok. Mending ganti yang lebih cerah."

Annisa kemudian mengambil yang warna abu-abu. "Yang ini gimana?"

"Bagus. Kamu cantik kalo pake ini. Apalagi kalo gak pake apa-apa, wkwkwk... "

Sontak saja Annisa mencubit pinggang Justin lalu balik badan. Wajahnya memerah, ia terus berjalan membawa belanjaannya. "Kenapa sih, malah bahas itu." ujar Annisa dalam hati.

"Udah, kakak yang bayar."

"Gak usah, aku aja yang bayar." Annisa membuka dompetnya. Namun belum mengeluarkan sepeserpun, Justin sudah menyodorkan kartu kredit miliknya.

"Habis ini mau kemana?"

"Pulang," jawab Annisa singkat.

"Yee, masa langsung pulang. Kita ke Timezone, yuk! Kan kita belum pernah main Timezone."

Setelah berpikir selama beberapa detik akhirnya Annisa menganggukkan kepala.

Justin dan Annisa kemudian pergi menuju tempat Timezone. Di sana mereka memainkan banyak permainan.

Perlahan mood Annisa mulai membaik. Dia tertawa lepas ketika berhasil memenangi salah satu permainan dari Justin, meskipun pria itu dengan jelas mengalah.

"Kak, ambilin boneka itu dong!" tunjuk Annisa ke arah boneka yang berada di dalam kotak capit.

Mumpung bersama Justin, Annisa tidak sungkan-sungkan meminta hal macam-macam.

"Kamu mau kasih apa kalo kakak dapet?"

"Kasih apaan, sih? Gak ikhlas banget."

"Bukan gak ikhlas. Ini penawaran."

"Uang? Sama aja aku beli dong. Gak asik banget."

"Siapa yang mau uang? Ini..." jawab Justin sambil memonyongkan bibirnya.

Annisa langsung mengerti. Dia kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Justin dan mencium pipinya.

"Udah aku kasih. Sekarang kakak gak punya pilihan. Pokoknya harus dapet!" Annisa tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengerjai Justin.

"Siapa yang minta di pipi? Di sini." Just menunjuk ke arah bibirnya sendiri.

Mata Annisa sontak melotot. "Duh capek, kak!" Tiba-tiba Annisa mengalihkan pembicaraan.

Justin terkekeh melihat respon Annisa yang menurutnya sangat lucu. Dia pergi meninggalkan mesin capit itu begitu saja untuk menyusul Annisa.

"Udahan? Makan yuk!"

Annisa dengan cepat mengangguk karena perutnya memang sudah keroncongan.

Mereka memutuskan pergi ke food court. Ketika sedang memilih makanan, Justin mengeluarkan ponselnya di dalam saku celana. Dia mengabari Randy untuk segera menyusul mereka berdua.

"Eh, kakak ke toilet dulu, yah. Kebelet boker nih," ucap Justin meringis sambil memegangi perutnya.

"Jangan lama-lama." Justin hanya mengangguk kemudian pergi meninggalkan Annisa sendirian.

Merasa jenuh, Annisa menggulir ponselnya. Menyedot es teh manis yang sebelumnya mereka beli.

Mata yang awalnya fokus ke layar ponsel di atas meja tiba-tiba teralihkan ketika mendengar suara langkah kaki mendekati mejanya.

"Udah, kak? Cepet am..." kata-kata Annisa terhenti saat mengetahui jika langkah tersebut bukan berasal dari kaki lelaki yang membawanya sampai ke sini.

"Annisa," ucap orang itu singkat.

Senyum yang sebelumnya tercetak di wajah Annisa mendadak menguap. Raut wajahnya menjadi datar namun belum bereaksi apa-apa.

"Aku mau ngomong sama kamu sebentar aja. Please!"

Annisa yang sudah mau pergi tangannya dicekal Randy dengan cepat.

"Aku janji ini untuk yang terakhir kalinya."

Kepala Annisa berputar menatap Randy. Matanya mulai berkaca-kaca. Hampir selama lima belas detik sebelum akhirnya Annisa menarik tangannya hingga pegangan Randy terlepas.

"Aku mau pergi!" Annisa berbalik dan berjalan meninggalkan Randy.

Dia harus bergerak cepat sebelum tangisnya benar-benar pecah. Perasaannya campur aduk.

Entah kenapa saat Randy mengucapkan kalimat terakhir, ada perasaan takut. Iya, dia takut jika itu betul-betul pertemuan terakhir mereka.

Munafik, sangat munafik. Annisa pun mengakui itu. Dia berharap dengan kepergiannya sekarang, ada alasan untuk bertemu Randy di kemudian hari.

Meskipun semua pertemuan itu hanya akan berakhir sama seperti hari ini. Annisa bingung, bagaimana bisa seorang pria bisa membuat dirinya begitu lemah.

Annisa langsung mencegat taksi yang melintas. Pulang dengan perasaan yang amat tidak menentu. Perang antara hati dan egonya membuat dirinya tak berdaya.

Hatinya masih amat sangat mencintai Randy, tetapi egonya mengatakan agar dirinya menjauh dari sosok pria tersebut.

Justin yang betulan buang hajat tidak tahu apa yang terjadi barusan. Dia hanya mendapati Randy tengah berdiri dengan bahu merosot.

"Loh, Annisa mana?" tanya Justin celingak-celinguk.

"Udah pulang," jawab Randy lirih.

"Lah kok pulang, sih? Gue yang bawa dia ke sini, aduh!" Justin menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Randy terduduk memegangi kepalanya. "Gimana? Lu udah berhasil ngomong sama Annisa?"

Pertanyaan yang bodoh dari Justin. Dia cuma ingin memastikan. Randy menggeleng pelan, tampak sangat tidak bersemangat.

"Gagal." Randy mengeluarkan kotak cincin berwarna merah. "Gue cuma mau kasih ini ke dia. Ini wasiat dari nenek gue. Gue harus kasih ini ke orang yang gue cintai."

Sejenak Justin terdiam, lalu mengulurkan tangannya. "Sini biar gue yang kasih ke Annisa."

Randy menggeleng. "Gak bisa. Gue yang harus kasih cincin ini sendiri ke dia."

"Terus sekarang gimana? Jangankan kasih cincin, diajak ngomong aja gak mau."

Randy terdiam. Dia juga tidak tahu lagi harus seperti apa. Semua ini membuatnya gila.

•••

Lelaki bertubuh atletis itu sedang duduk di tepi sebuah danau. Sore menjelang malam dia duduk sendirian menatap kotak kecil yang isinya seharusnya sudah tersemat di jari seorang wanita.

Dengan penuh bimbang, Randy memutar-mutar benda itu di tangannya. Beberapa kali hendak ia lemparkan ke air. Putus asa, karena dia gagal melaksanakan wasiat dari neneknya untuk memberikan cincin itu kepada orang yang Randy cintai.

Dia merasa hanya Annisa yang berhak menerima cincin tersebut. Randy benar-benar merasa mengganjal dalam hati jika belum melakukannya. Jadi jika ia tidak bisa memberikannya lebih baik dia membuangnya.

Namun saat tangannya telah terangkat ke atas, tiba-tiba suara bariton memanggil namanya.

"Woy! Lu ngapain di situ sendirian kayak anak ilang!" Randy menoleh ke belakang.

Di sana Justin berdiri sambil berkacak pinggang. "Besok berangkat. Bukannya istirahat, malah ngelamun."

Dengan diakhiri hembusan nafas kasar Randy berdiri menghampiri Justin hanya untuk melewatinya. Suasana hatinya benar-benar kacau saat itu.

Di dalam kamar Randy masih belum bisa tidur. Tangannya masih memegangi cincin pemberian neneknya.

Justin masuk ke dalam kamar Randy. Dia melipat kedua tangannya di dada sambil bersandar di kusen pintu. Saat ini Randy memang menginap di rumah Justin.

"Masih mikirin Annisa?" tanya Justin datar. Randy membuang muka.

"Inget, sekarang lu harus fokus sama sea games. Lupain dulu urusan lu yang gak selesai-selesai itu. Soal cincin itu, lu bisa kasih ke Annisa pas pulang lagi ke sini."

Randy menunduk. Justin ada benarnya juga. Walau bagaimanapun dia tidak boleh mencampurkan urusan pribadi dan karirnya.

Dia termenung sembari terus melihat ke arah benda merah itu. "Lu bener, Tin. Gak seharusnya gue mikirin itu sekarang." Lalu memasukannya ke dalam tas.

Pria itu memutuskan untuk melupakannya sesaat dan fokus ke turnamen yang akan ia hadapi.

"Bagus. Sekarang lu tidur karena besok subuh kita bakalan terbang ke Filipina."

•••

Pagi hari Randy dan Justin sudah berkumpul dengan rekan-rekan yang lain di bandara. Beberapa menit lagi mereka akan berangkat.

Beberapa pemain sedang melakukan aktivitasnya masing-masing. Lain halnya dengan Randy yang tatapannya terpaku ke arah pintu masuk bandara. Di hati kecilnya dia masih berharap Annisa datang walaupun hanya sekedar melepas keberangkatannya.

Di lain tempat, Annisa masih berbaring di kasur miliknya. Semalaman dia tidak bisa tidur. Matanya sembab karena habis menangis.

Badannya sangat lesu. Punggungnya sakit, suhu badannya naik di atas normal, namun rasanya menggigil. Kepalanya sangat pusing. Dia betul-betul tidak bersemangat pagi ini.

Karena sinar matahari menembus tirai kamarnya, Annisa terpaksa mengerjakan matanya. Dia buka hp yang terletak di nakas.

Ada pesan dari Justin yang belum sempat ia baca karena saat notifikasi pesan itu berbunyi, Annisa tidak mampu menggerakkan badannya sama sekali.

Bola matanya langsung membulat saat melihat isi pesan Justin. Lelaki itu hanya mengirimkan foto dirinya dan juga Randy yang sudah berada di bandara dengan caption 'see you again, dapet salam dari Randy.' lalu dibawah ada lanjutannya. "Dari tadi Randy nungguin kamu tapi kamu gak dateng-dateng."

Annisa memaksakan diri untuk berdiri namun kepalanya mendadak berdenyut dengan kencang. "Acchhh...!!!" Annisa meremas rambutnya penuh kesakitan.

Dia benar-benar tidak ingat jika pagi itu Randy akan berangkat ke Filipina. Annisa turun dari ranjangnya, berjalan tertatih keluar kamarnya.

"Annisa, kamu gak papa?" Di luar ada ibunya yang menatap khawatir kepada anaknya yang pucat.

"Bunda, kenapa Nisa gak dibangunin?!"

"Tadi bunda mau bangunin tapi badan kamu panas banget, jadi bunda biarin kamu istirahat dulu. Kamu mau ke dokter?!"

Annisa menggeleng. Dengan penampilan yang acak-acakan Annisa berjalan menuju pintu keluar rumahnya.

"Kamu mau kemana, Annisa?" tanya Adibah cemas. Pasalnya Annisa tampak sangat memaksakan diri kala itu.

"Mau ke bandara," jawab Annisa singkat.

"Bandara? Mau apa kamu ke bandara?"

Annisa tidak menjawab pertanyaan Adibah barusan. Tiba-tiba saja pandangannya berkunang-kunang, lalu dalam sekejap seluruh dunia menjadi hitam.

Brukkk...

Annisa terbaring di atas lantai rumahnya, pingsan.

To Be Continue...
 
Bimabet
Annisa ambruk jangan-jangan lagi hamil? Randy atau Justine? Kan Justine yg terakhir ngentu si Annisa🤭
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd