Beberapa minggu kemudian
Aku kembali bersama wanita cantik ini. Seperti yang sudah-sudah, kinipun aku memberikan tumpangan sekaligus mempunyai teman seperjalanan menuju Padang.
Wajah cantiknya terlihat berbinar, mungkin hatinya tengah riang. Kurasa apa yang ku lakukan selama aku menghilang ini telah mulai menunjukkan pengaruhnya. Namun aku harus perlahan tak bisa terburu-buru, bisa bisa nanti akan merusak semua yang telah ku idamkan dan rencanakan dengan seksama. Namun wajahnya itu membuatku gemas. Aku ingin melihat wajahnya apabila tak mengenakan kacamata. Biarlah dia heran dengan keinginanku ini. Aku berkata,:
"...Uda taragak mancaliak mato diek Win indak mamakai kacomato (Abang ingin melihat mata Dik Win tidak mengenakan kaca mata)".
"...Buliah kan?" tambahku. Terlihat awalnya dia menatapku ragu namun itu tak lama. Winda bersedia melepas kacamatanya dan menyimpannya kedalam kotak, lalu memasukannya kedalam tasnya. Sepanjang perjalanan itu dia tidak mengenakan kacamata itu lagi.
Aku ingin dia lebih dekat lagi. Tangan kiriku merengkuh bahu Winda, menariknya agar duduk berdekatan. Winda yang terlihat tidak mengantuk beringsut mendekat, namun sepertinya dia mencium hawa tidak sedap dari arah kemudi di bawah dashboard. Wanita sintal itu kembali menegakkan kepalanya dan urung merebahkan kepalanya dibahuku.
Aku kembali menjalankan truk ini seperlunya. Jalanan sangat padat dan kecepatan truk ini tak bisa bertambah lagi. Terbersit keinginanku untuk melihat rambutnya Panjangkah? Legamkah.. Atau bagaimana. Ku sampaikan keinginanku ini
"...Win uda taragak mancaliak rambuik Winda, salamo iko uda alun pernah mancaliaknyo, sabanta sajonyo, kan hanyo diateh oto iko, ndak ado do nan ka maliek (Win.. abang ingin melihat rambut Winda... selama ini abang belum pernah lihat.sebentar aja Win, kan hanya di atas truk ini, tidak ada yang akan lihat)" , dengan alasan telah sangat lama ingin melihat rambutnya.
"...Jaan daa, Winda alah barumahtanggo.. punyo anak.. Winda taragak manjadi ibu jo istri nan elok.., sabab uda beko bisa barubah pangana.., Winda kuatie da (jangan lah bang, Winda sudah berkeluarga, juga punya anak, jadi Winda ingin, jadi ibu dan istri yang baik, sebab jika Win buka kerudung, nanti, abang bisa berubah pikiran, Winda kuatir bang)". Winda merasa keberatan, sebab merasa dirinya telanjang jika kerudungnya lepas, begitulah yang ku tangkap dari jawabannya.
"...Alaa, Diek Winda jaan takuik ka uda, uda kan indak jaek, apolagi uda sayang bana ka Winda, walaupun alah punyo laki jo anak (Ala.. Dik Winda jangan takut ama abang, abang kan bukan orang jahat, apalagi abang amat sayang pada Winda, meski abang tau Winda sudah punya suami dan anak)" ujarku bersikeras, berusaha meyakinkannya bahwa ini hanya sebentar. 'Hmm Winda meluluskan permintaanku.., semakin percaya dia padaku'. Penutup kepalanya diloloskan dan di taruh di pangkuannya.
Tak lama kemudian, tangan kiriku menaik dari bahu dan membelai rambut Winda, dari atas lalu turun menuju tengkuknya yang di hiasi rambut-rambut halus.
"...Uda suko mancaliak bulu roma di kuduak diek Win (abang suka melihat rambut halus di tengkuk dik Win)" ujarku. "...Harum bana (sangat wangi)" lanjutku seraya menarik leher wanita muda itu makin dekat ke wajahku. Ku labuhkan kecupan pada tengkuk berbulu halus itu. Membuatnya berjengit merasa geli dan merinding.
Sepertinya gairahnya mulai terpicu. Dengan tangan itu pula aku merebahkan kepala Winda di bahuku selama perjalanan di sepanjang jalan yang macet, pada penurunan Lembah Anai tersebut. Sesekali, aku mengelus pipinya.
"...Pipi diek Win aluih jo barasiah (Pipi dik Win halus dan bersih)" tambahku. Winda diam tak menjawab.
==========
'Biasalah laki laki, suka menyanjung. Seperti biasa dilakukan suamiku sebelum menciumi aku' batin Winda.
Merasa bosan, aku mencoba memicingkan mata selama perjalanan ini. Saat laju truk tersebut kembali terhenti dikarenakan macet, uda Johan kembali mengecup pipi kiriku, tak berhenti di sana dan terus meluncur turun hingga menjumpai bibir tipis merahku dan mengecupnya sesaat. Aku berusaha mengatupkan bibir...
Tak berhenti disana. tangan kanan uda Johan menyelusup masuk kedalam pakaian atasku, kaos panjang yang berlengan putih bermotif garis itu melalui bagian bawahnya. Tangan kekarnya menyentuh pembungkus dadaku yang membusung. Aku menggigil seraya mengatupkan kelopak mata.
"....Ughh...!", desisku halus. Aku tak mampu berbuat apa apa selain hanya menikmati dan larut, entahlah apakah dikarenakan tangan kananku saat itu masih memegang penutup kepala di pangkuanku, ataupun karena gairah yang timbul menghendaki hal tersebut terus berlangsung. Sesaat kemudian uda Johan menarik tangannya dan kembali melajukan truknya menuju arah Sicincin saat macet telah terurai. Deraan nikmat yang melandaku terputus
Saat di daerah Sicincin, truk ini berjalan perlahan karena kembali macet. Meski tangan kiri uda Johan berada pada kemudi, namun tangan kanannya dapat merengkuh wajahku, dan tibatiba saja bibir ku telah berada dalam lumatannya melalui sebuah pagutan yang panas bergairah. Aku terpana dan kaget , wajahku menyemburat memerah, malu....
Namun aku tak kuasa untuk marah. Rasa yang timbul membuat keinginan marahku redup... Aku memilih tetap merebahkan kepala di bahu lelaki ini dan mencoba menikmati rasanya. Akhirnya uda Johan menyudahi pagutannya pada bibir merahku setelah truk ini kembali harus berjalan lebih cepat.
Tangan kiri uda Johan kini beralih meremas jariku. Setelah jari nya selesai dengan jemariku, tangannya melanjutkan pengembaraannya, merayap masuk melalui bagian bawah kaos berlengan panjang bergaris putihku yang berpadan dengan celana panjang, aku merasa lebih baik untuk membiarkan. Aku juga menikmatinya Terasa hangat dan kasar sentuhan tangan uda Johan pada permukaan perutku.
"...Uff". desahku hampir tak terdengar. Aku tersentak sadar dan menahan laju tangan tersebut dengan tangan kiriku. Tangan Johan lalu keluar dan dia kembali asyik dengan kemudi.
Kini kami memasuki jalan by pass Situasi jalannya gelap sekali, hanya beberapa tempat saja yang di terangi lampu jalan. Uda Johan menepi dan menghentikan truk ini di pinggir jalan.
"...Ko baranti da (kenapa berhenti bang)"? Aku bertanya bingung. Tanpa terdengar menjawab, uda Johan memutar tubuhnya seraya menggamit bahuku. Merengkuhku supaya lebih dekat
Kini.., di atas mitsubishi colt bercat kuning ini bibirku kembali dilanda kecupannya. Mungkin merasa tak cukup dengan hanya mengecup saja.., kuluman dan lumatan juga melanda kelopak lembut bibirku. Uda Johan mengelitiki setiap ujung bibir tipisku tersebut dengan tekun. Menyebabkan sedikit demi sedikit gairah dari dalam tubuhku memercik.
Aku tak mengerti, entah kenapa aku tak bisa menolaknya, tubuhku justru menyambutnya, aku malah terusik untuk mengimbangi setiap lumatan bibir uda Johan. Ku rekahkan kelopak bibirku guna memberikan keleluasaan bagi lidahnya untuk menjalari kebasahan di dalam mulutku. Lidah kami berpilin-pilin, saling membelit. Aku tak sepenuhnya sadar saat tangan kanan uda Johan terasa tengah merayap masuk melalui bagian bawah kaos panjangku, terus menjalar keatas menyambangi dadaku yang membusung padat sebelah kanan, lalu meremas dan memijit bukit padat tersebut di atas bahan pembungkusnya
Aku seolah tak punya kuasa mencegah ataupun menolaknya, hanya merespon dengan menggenggam pergelangan tangan lelaki itu berupaya menarik tangan uda Johan, namun tanganku terpaku diam, sepertinya keinginan itu ditundukkan hasrat yang bergejolak liar. Begitu hangat dan cekatan tangan lelaki itu mengirimkan berjuta-juta sengatan birahi disana. Tubuh molek ini menggeliatgeliat dalam dekapan uda Johan karena deraan nikmatnya pada sekujur pori-pori tubuhku. Selang sekitar 25 menit kemudian uda Johan menghentikan perbuatannya.
"...Ufhh" aku menarik napas panjang guna meredakan debaran di dadaku.
"...Indak usahlah disiko, daerah iko agak angek, acok tajadi parampehan (Jangan disini, daerahnya rawan sering terjadi perampasan)" ujarnya kuatir kemudian.
Aku tak menanggapi, sibuk membenahi pakaian, mulai kaos juga penutup kepala, termasuk membenahi napasku yang memburu di sebabkan gairah yang sempat meninggi. Lagi pula persimpangan menuju rumahku telah dekat. Truk Mitsubishi kuning itu pun kembali bergerak. Aku hanya diam saja selama perjalanan menuju persimpangan rumah. Terpercik penyesalan dalam hati,
'duh kenapa bisa sampai sejauh ini ya?', batinku.
Tapi rasanya benar-benar berbeda.., batinku lagi. Tapi aku senang dekat uda Johan ini Aku bersimpati padanya karena rasa yang timbul akibat perlakuan lelaki ini. Begitu sesampainya di rumah sekitar pukul setengah sepuluh malam itu aku langsung mandi. Ternyata suamiku masih berada di kampus.
==========
Malam itu Winda bersetubuh dengan suaminya.
Alah lamo awak indak bahubuangan diak (sudah lama kita tidak berhubungan dik) kata suaminya. Winda merasa heran sebab malam itu ia merasa tak bergairah melakukannya, seolah hanya menjalankan kewajiban saja. Winda merasa berhutang kepada suaminya karena memang dalam minggu ini mereka belum pernah berhubungan badan. Dengan enggan Windapun memenuhi hasrat suaminya.
Malam itu di atas ranjang mereka mengayuh biduk asmara. Ditengah kesibukan itu, tiba-tiba sekelebat bayangan sosok Johan menjelma. Winda kaget dan langsung kehilangan gairah, nafsunya mereda... di tengah pergumulan mereka, namun demi menjalankan tugasnya sebagai istri, maka Winda berpura-pura menikmati hubungan itu hingga selesai.
+++++++++++++