Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Nakalnya Senyum Istriku (WARNING : CUCKOLD CONTENT)

Sudah baca?

  • Dibalik teduhnya senyum ibuku

    Votes: 51 75,0%
  • Terjebak hasrat (Lisa dan Labirin)

    Votes: 32 47,1%

  • Total voters
    68
  • Poll closed .
08 | AKANKAH USAI

Mataku tak kunjung terpejam meski angka pada jam dinding yang menempel tepat diatas meja kamar tidurku sudah menunjukkan pukul satu malam, bahkan Elsa sudah terpejam sejak satu jam lalu.

Melihat matanya yang terpejam membuat aku terbayang saat dua jam lalu dimana dengan jelas aku mendengar desahannya yang tak bisa kureka adegan nya, karena hanya ada suara yang menajadi pemanduku saat itu.

Dan memang setelah desahan itu aku mendengar suara deru mesin motor yang memaksa aku turun dari tangga sebelum istriku masuk kedalam rumah.

Kulihat lagi bibir istriku yang sesekali bergerak pelan dan saat itu pula ada rasa tak tega jika keputusan yang akan aku ambil kedepannya hingga keputusan terburuk adalah bercerai. Namun, jika aku biarkan maka hubungan seperti ini akan merusak mental anak-anak ku yang kelak akan bertanya penyebab orang tua mereka berpisah.

Sebagai seorang kepala keluarga aku tak tega untuk berbohong di depan kedua anak ku – terlebih kebenaran itu menyangkut hubungan istriku dengan pria lain yang selama ini anak-anak ku lihat hanya sebagai warga biasa di komplek ku.

“yah” ucap istriku yang membuat iris mataku bergerak pelan dan berakhir pada iris mata istriku.

“ayah kenapa belum tidur?” tanya istriku yang membuat air mataku jatuh begitu saja, rasanya aku tak bisa menahan rasa kehilangan yang sudah didepan mata ini.

Rambutnya yang terurai ikut bergerak saat jari-jarinya berusaha untuk menggapai pipi ku yang sudah basah, aku teringat kembali akan ibu ku yang selalu mengusap pipiku saat tangisan ku muncul tiap kali pukulan ayahku bersarang di sekujur tubuh.

Masih teringat betul saat tengah malam aku dibangunkan oleh teriak kan ibuku dari luar kamar tidur dan membuat intuisiku secara cepat bergerak otomatis untuk melihat apa yang terjadi diluar kamar.

Saat itu ayahku berdiri dengan botol ditangan sedangkan ibu sudah memegang kepalanya dengan darah yang terus mengucur deras. Aku dengan tergopoh-gopoh mendekati ibu untuk sekedar memeluk dengan tangisan yang tak kunjung berhenti.

“ini yang kamu mau hah!!” teriak ayahku tanpa sebab dan mulai mencuri perhatian ku.

Dari situ aku hanya bisa menganga dengan pipi yang masih basah melihat tangan ayahku mengangkat sebuah botol yang sudah pecah mulai ditempelkan pada sisi leher sebelah kanan.

Dan dengan waktu yang melambat botol itu bergerak menuju sisi kiri dengan di ikuti semburan darah yang mengucur deras hingga membanjiri ruangan dan tubuhku. Darah itu terus mengucur hingga mengenai kaki ku yang masih berada dilantai saat memeluk ibuku.

“maafin ibu yaa” saat itu tangan ibu ku mengusap pelan pipi ku yang sudah basah oleh air mata dan darah segar milik ayahku.

Dana kata itulah yang menjadi batas antara sesal, amarah dan rasa tak percaya apa yang menjadi akhir hidup dari kedua orang tua ku.

Usapan pada pipiku berangsur pelan saat aku membuka mata dan melihat Elsa sudah menangis, aku rasanya akan tertawa saat ini jika ingat wanita dengan bola mata bulat ini baru saja berselingkuh. Enatahlah, mungkin malam ini akan menjadi tanda yang akan aku ingat untuk bisa jalan sendiri tanpa membutuhkan belaian tangan seoarang istri.

Dengan cepat aku mengambil alih jari-jari istriku dan berbalik hingga mataku hanya bisa menatap dinding, tangan istriku kembali bergerak dan meiliit perutku yang aku duga ia merasa ada yang janggal.

Tetapi rasa lelah lebih besar dari rasa benci yang tumbuh begitu saja saat kedatanganku dari rumah mertua - bahkan jauh lebih besar jika terus disiram oleh kebohongan demi kebohongan yang dilakukan oleh Elsa.

---

Aku memutar obeng searah jarum jam saat memsang kamera cctv baru pada halaman depan saat sebelumnya juga memasang pada garasi. Aku terkekeh jika mengingat aku sendiri yang awalnya menolak memasang demi kenyamanan rumah tangga.

Setelah dirasa cukup kuat aku turun dari sebuah tangga yang sebelumnya menjadi teman dalam melihat kelakuan istriku kemarin, aku kembali menaruh tangga dan masuk kedalam kamar anak pertamaku.

Kulihat tubuh kecilnya masih tertidur dengan sebuah kain yan aku letakkan diatas dahinya, setelah dirasa aman dan nyaman aku duduk disisi ranjang sembari mengganti kain kompres dengan kain baru.

Istirku masih mengantar anak keduaku dan katanya akan langsung menuju swalayan untuk membeli beberapa buah yang menjadi menu utama dirumah ini. Kaki ku melangkah menuju ruang kerja pada belakang rumah untuk sekedar membuka email dan memantau kantor ku yang mulai kembali aktif hari ini.

Melihat beberapa pegawai yang sedang sibuk dengan sketsa yang aku kirim tadi pagi dan ada juga yang sedang bermain gawai, aku memaklumkan tapi dengan syarat pekerjaan selesai tepat waktu. Begitulah diriku, rasa trauma yang tak kunjung sembuh seringkali susah membuat diriku mengambil keputusan dan cenderung lari dari masalah yang ada.

Termasuk masalah dengan istriku, Elsa.

KRET…

“Ayah” aku membuka mata saat tanpa sadar kehilangan kesadaran sesaat.

Kulihat anak ku berjalan dengan membawa sebuah boneka beruang yang ia peluk, muka anak ku masih saja pucat dengan bibir yang bergetar. Aku membenarkan posisi duduk dan mengambil alih boneka beruang itu untuk diletakan pada meja kerja ku.

“bunda mana?” tanya nya yang sudah berad dipangkuan ku.

“lagi anter adek ke sekolah, kenapa kesini?” jawabku sembari membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan.

Namun aku tak mendengar jawaban dari anak ku yang saat ini sedang mencoret asal pada kertas yang sebelumnya sudah aku siapkan untuk membuat sektsa. Berbeda dengan istriku yang ceria selama ini aku adalah sosok orang tua yang diam dan tak banyak bicara, termasuk cara mendidik ku.

Ada rasa bingung saat akan memeperlakukan anak ku seperti orang lain pada umumnya – pikiran ku seperti terjebak pada sosok orang tuaku dimasa lalu.

“Merawat sakit dengan rasa rindu

Menelan gelap dengan tangan menusuk jantung

Memahami diri sendiri

Dan memaafkannya”


Anak ku membaca sebuah kertas yang aku rekatkan pada dinding didepan meja kerja ku, tuliasan itu dibuat oleh dokter spesialis yang menangani ku dulu. Hatiku bergetar begitu saja dan memeluk lebih erat tubuh anak ku yang mulai kembali tertidur.

KRET…..

Aku menutup pintu anak ku untuk kesekian kali nya saat sudah memastikan dirinya baik-baik saja, tak lama aku mendengar suara obrolan dan sedikit suara tawa dari arah luar.

Aku mendekati dimana suara itu berasal dan berakhir pada rasa terkejut saat melihat Dasep yang sudah berdiri didepan istriku, Elsa.

“Eh Ayah.” Ucap istriku yang membalikkan tubuhnya.

Didepanku kini sudah ada seoarang satpam yang berpakaian lengkap dan istriku yang memegang sebuah kantung belanja berwarna merah muda dengan aksen garis tak beraturan.

Aku hanya menganggukan kepala dan merasa malas jika harus bertemua dua orang tak tahu diri – terlebih ada sebuah notifikasi dari gawai ku yang baru saja muncul. Aku beralasan akan bekerja pada ruangan kerja ku dan meminta agar tak ada siapapun yang mengganggu.

Setelah mengunci pintu diriku berjalan menuju sebuah pintu dibalik karpet berwarna cokelat itu – dengan perlahan menariknya keatas hingga aku bisa melihat sebuah lorong yang menuju ruang rahasia. Kepalaku menengok sesaat sebelum turun kedlaam lorong dan terus berjalan hingga menuju ruang rahasia yang menampilkan kamar tidur ku.

Ranjang yang kududuki terasa dingin dan lembab setelah beberapa minggu aku tak sempat mengunjungi dan tampak ventilasi udara yang sedikit berembuan saat satu minggu ini diguyur hujan yang silih berganti.

Jari ku mengenggam erat ujung ranjang yang tertutupi sprei yang akan kuganti – tariakn oada sprei terus berlanjut hingga semua sisi sudah tak tersangkut pada ranjang dan tampaklah sudah ranjang putih polos yang membuat jantung ku berdebar kencang teringat akan masa lalu ku yang tak pernah tidur diatas kasur nyaman.

Dengan cepat aku membuka lemari dan mengambil sebuah sprei baru unutk dipasangkan pada ranjang yang meminta untuk segera ditutupi. Tak butuh waktu lama aku kembali duduk diatas ranjang dengan spreai baru dan mulai membuka gawaiku untuk memantau istriku yang tak kunjung masuk kedalam kamar.

“diminum pak” ucap istriku yang menaruh sebuah gelas di atas meja ruang tamu dan ikut duduk pada sofa.

Pipiku tiba-tiba basah kali ini, bukan tangisan tetapi ada sebuah cairan yang menetes dari sela plafon yang baru saja menyentuh kulit ku. Mata ku mencoba fokus untuk melihat sebuah titik yang perlahan bergerak hingga menjadi sebuah butiran dan lagi, air itu jatuh mengenai pipi ku.

Aku berdiri dan kembali barjalan menuju sebuah lemari yang menjadi benda pertama yang aku letakan pada ruang rahasia ini, mataku turun kebawah dan berakhir pada sebuah mangkuk keramik berwarna biru langit.

Aku mengambil mangkuk tersebut dan membawanya menuju atas ranjang dengan menambah sebuah kain agar tetesan air yang berasal dari palfon tak menyebabkan percikan pada ranjang disisi nya.

Setelah dirasa pas aku kembali mengambil posisi diatas ranjang dan mulai membuka kembali gawaiku yang sempat aku matikan sesaat – kali ini aku melihat istriku masih tertawa lebar dengan memegang sebuah gelas yang aku duga berisikan minuman dari serbuk matcha itu.

Tak ada orolan menarik sebelum cahaya pada cermin yang menuju kamarku mulai meredup, Aku menaruh gawai pada nakas disisi ranjang dan beridiri menuju tepat di depan cermin.

‘hujan’

Lagi-lagi aku hanya bisa mendesah kecil saat tetesan pada sela plafon kian cepat seiring dengan besarnya hujan kali ini. Mangkuk keramik yang menjadi penampungan sementara kini tak mampu lagi menahan air yang menetes dan terpaksa aku mengganti dengan sebuah vas bunga besar yang sebelumnya aku taruh pada susut ruang.

Berbeda dengan mangkuk yang membutuhkan kain, kini vas bunga yang cukup tinggi membuat air terperangkap didalamnya – aku terkekeh oplan saat tetesan itu menghasilakn suara dengan tempo yang rapat dan membuat aku kembali sadar behwa istriku masih bersama Dasep di ruang tamu.

Saat aku menyakakan gawai ku terdapat notifikasi bahawa sebelumnya istriku menelpon – tepat tiga menit lalu dan membuat kau mengerutkan kening. Aku memilih untuk menelpon kembali istriku yang tak lama dia angkat.

“Halo yah, ini aku buat mie buat Mang Dasep.” Aku menahan rasa kesal begitu saja hingga tanpa sadar tanganku memukul vas bunga.

PRANGGG

“Ayah?” tanya istriku cepat saat suara pecahan vas bunga membuat dirinya terkejut.

“Buat kamu aja sama Dasep – aku lagi meeting.” Putusku yang memilih untuk menutup panggilan dan tersenyum masam melihat kini rungan yang semula tampak rapi sudah berceceran pecahan keramik dari vas bunga.

Air yang semula terkumpul didalamnya sudah membasahi satu sisi ranjang – ditambah air yang menetes dari sela plafon tak kunjung berhenti membuat pikiran ku seperti dihantam sebuah palu besar.

Aku hanya bisa mengumpat beberapa kali dan memilih untuk membereskan pecahan vas bunga yang tersebar hingga keseluruh ruangan, belum lagi pecahan yang berukuran kecil yang membuat aku merendahkan pandangan hingga terlihatlah pecahan kecil yang tersentuh cahaya.

Lap basah yang semula berada didalam mangkuk pertama kini aku buat menjadi kain pel yang bisa membawa pecahan kecil tersebut.

Cukup lama kau bergelut dengan kegiatan ini hingga tak terasa hujan mulai mereda dan mataku dengan cepat bergerak saat melihat pintu kamar istriku terbuka.

Kulihat istriku berjalan pelan menuju lemari pakaian pada pojok ruangan – tangan yang terhiasi cincin perkawainan kami kini sedang membuka lemari yang aku baru tahu jika istriku sedang mengambil handuk beserta kaos hitam polos milik ku.

Tak lama ada sebuah pesan dari istriku yang masuk kedalam notifikasi gawai ku.

“Ayah, aku minjem koas kamu ya…. Mang Dasep kebasahan pas ganti lampu di teras belakang tadi”

Lagi dan lagi aku hanya bisa menahan napas saat tahu istriku sudah begitu dekat dengan pria yang baru dikenalnya kemarin. Anehnya satpam itu dengan leluasa masuk kedalam rumahku yang notabene adalah warga yang baru Ia kenal.

Amarahku sesakan memuncak begitu saja saat ini dan dengan cepat aku berjalan meuju lorong yang menuju ruang kerja ku, maka tak butuh waktu lama aku ssudah berada didalam ruang kerja yang sebelumnya menjadi alasan ku saat meninggalkan istriku bersama Dasep.

Aku mengambil sebuah laptop dan beberapa lembar kertas yang aku simpan pada laci meja kerja ku – entahlah rasanya aku sudah tak nyaman berada didalam rumah bersama istriku saat ini meski dengan posisi yang berbeda.

Batinku rasanya ingin berteriak sekencang mungkin didepan muka istirku sembari menusuknya dengan sebuah botol yang membunuh ayahku dahulu.

Karena memang kini aku tak bisa merumuskan cara agar bisa keluar dari masalah ini selain menghindarinya dengan sejauh mungkin - langkah kaki ku membawa pada ruangan Tengah rumah dimana aku bisa dengan jelas melihat istriku yang masih mengobrol dengan Dasep.

Aku hanya bisa berjalan cepat sebelum melewati keduanya dengan tatapan jijik sekalgius marah pada saat yang bersamaan.

“mau kemana?” tanya istriku dengan cepat saat aku sudah berada didepan pintu.

Aku hanya bisa melewati keduanya dengan tanpa jawaban dan dengan cepat membuka pintu mobil ku saat ini – istriku mengikuti hingga tepat berada diepan pintu mobil.

Tangan istriku mengepal dan mengetuk dengan cepat kaca mobilku yang tak aku tanggapi – rasanya malas hanya untuk membuka kaca mobil terlebih Daep yang sudah berdiri di depan pintu rumah ku.

Aku tak menghiraukan keduanya dan memilih untuk melajukan mobil agar segera meninggalkan rumah meski anak pertamaku saat ini sedang sakit.

Tepat setelah aku keluar dari gerbang komplek hujan kembali turun bersamaan dengn air mataku yang turun hingga tak bisa ku hentikan - pandanganku memburam seiring cepatnya mobil ini membelah derasanya hujan.

BERSAMBUNG...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd