Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Nukilan Kehidupan

Status
Please reply by conversation.
Up...
Smoga update nya lancar dan dapat stempel tamat ...
Smangat hu...
 
Chapter 2
Perjalanan Ke Barat

Hari Selasa pagi, sekitar jam 9, aku diantar oleh bapakku ke terminal. Bukan terminal besar, bukan terminal utama di kotaku ini. Tapi ini adalah terminal kecil untuk angkot dan bus dalam kota. Meskipun begitu di terminal ini bus-bus AKAP sering berhenti menaikturunkan penumpang, karena lokasi terminal ini memang berada di jalan utama penghubung antar propinsi.

Seharusnya hari ini bapakku masuk kerja, tapi beliau sampai ijin hanya untuk mengantarkanku. Padahal tadinya paklekku yang petani, yang waktunya bisa lebih fleksibel, sudah menawarkan diri untuk mengantarku, tapi bapak menolak. Beliau ingin mengantarkan sendiri anak sulungnya ini berangkat menjemput impiannya.

Bapakku adalah guru di sebuah sekolah dasar negeri. Beliau sudah puluhan tahun menjadi guru, sejak aku belum lahir. Mungkin kalau dihitung-hitung, sudah 20 tahun bapakku mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan anak bangsa, termasuk anak-anaknya sendiri, yaitu aku dan adikku. Tapi aku dan adikku tidak pernah diajar oleh bapakku, karena kami bersekolah di SD dekat rumah di desaku, sedangkan bapakku mengajar di SD dekat kantor kecamatan.

Karena basic bapakku yang seorang guru inilah, dari kecil aku dan adikku sudah diajari berbagai macam hal. Kami sudah bisa baca tulis sejak dini, saat teman-temanku belum bisa melakukannya. Kami sudah bisa berhitung dengan bilangan-bilangan besar, saat teman-teman sebaya masih baca tulis dengan terbata-bata. Dan karena itulah, aku dan adikku selalu langganan juara kelas saat masih SD.

Tapi, aku dan adikku bisa seperti itu bukan karena kami pintar luar biasa. Tidak. Bukan karena itu. Melainkan karena di SD kami tidak terlalu banyak kompetitor. Bukan bermaksud merendahkan teman-teman SD-ku, tapi memang begitulah keadaannya. Buktinya, saat kami masuk SMP, terutama aku, jangankan juara kelas, masuk 5 besar saja sudah syukur. Tapi berbeda dengan adikku, dia lebih beruntung, dia lebih pintar daripada aku dan masih masuk langganan 3 besar di kelasnya.

Terlebih lagi waktu SMA. Aku beruntung bisa masuk ke SMA favorit di kotaku. Dan seperti saat SMP, peringkatku tidaklah istimewa, lebih sering berada di luar 10 besar di kelasku. Keadaan jadi lebih parah waktu kelas 3. Di kelas 3, kami baru dijuruskan ke IPA atau IPS. Kebetulan nilai IPA-ku cukup bagus, sehingga aku masuk ke kelas IPA. Sialnya, aku dan juga Fandi masuk dalam daftar 40 siswa yang ditempatkan di kelas unggulan, seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya.

Aku menyebutnya sebagai sebuah kesialan, karena memang bukan level kami untuk berada di kelas itu. Ibaratnya, kalau kelasku itu disebut Premier League, maka aku dan Fandi adalah Lincoln City dan Sutton United, dua club antah berantah yang kesasar di kasta tertinggi. Akibatnya jelas, peringkatku bersaing ketat dengan Fandi, peringkat 1 dan 2, tapi dari bawah.

Maka dari itu menjadi sebuah hal yang mengejutkan ketika nilai akhir ujian nasional kami berada di atas rata-rata, melebihi teman-teman lain. Yaah ibarat kata kedua club semenjana tadi berhasil menembus zona Champions League, eh ketinggian, Europa League aja. Nilai yang kemudian memunculkan kecurigaan dari berbagai pihak. Pertanyaannya seragam, KOK BISA???

Ah sudahlah, itu sudah pernah aku bahas, dan sudah lewat juga, tak penting untuk dibahas lagi, nanti yang ada malah aku keceplosan bagaimana triknya supaya bisa mendapat nilai segitu.

Balik lagi soal keluargaku. Tadi sudah tentang bapakku yang seorang guru. Ibukku, adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Sebenarnya ibukku juga punya gelar sarjana S1, namun tak pernah dipakai untuk bekerja dimanapun. Itu karena bapakku memang melarangnya. Sebenarnya, dulu ibukku pernah mendaftar seleksi PNS, untuk menjadi guru juga. Dari kota ini, ibuk berangkat ke Surabaya untuk mengikuti tes. Tapi entah kenapa, ibukku tidak lolos. Yaah, mungkin memang sudah nasibnya seperti itu.

Ibukku sempat ingin mencoba lagi di tahun depannya, tapi bapak melarangnya. Saat itu memang bapak dan ibuk sudah menikah, dan kondisinya ibuk sedang mengandung anak pertamanya, yang tak lain adalah aku. Ibuk pernah cerita padaku, dulu bapak bilang, tak perlu dipaksakan untuk bekerja, karena bagi wanita ada pekerjaan yang lebih baik dan mulia, yaitu melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak-anaknya.

Sempat pula bapak membuatkan toko kelontong untuk ibuk, sekedar agar ibuk punya aktivitas di sela-sela merawatku. Tapi kemudian karena kerepotan mengurusku yang sudah mulai nakal, dan ibuk juga sudah hamil anak kedua, yaitu adikku, maka diputuskan toko itu ditutup saja.

Sebenarnya ada penyebab lain sih. Yaitu, orang-orang yang belanja di toko ibukku, banyak yang berhutang dan menjanjikan akan membayar saat panen, karena memang mayoritas warga di desa kami mata pencahariannya adalah sebagai petani. Tapi sampai panen tiba, hanya sedikit yang datang untuk melunasi hutangnya. Alasannya macam-macam, tapi yang paling populer adalah hasil panennya jelek, sehingga harga jualnya rendah.

Tapi ya itu cuma alasan saja, karena buktinya masih ada orang yang datang untuk melunasi, padahal kalau dilihat lagi hutang mereka lebih besar daripada orang-orang yang kebanyakan alasan itu. Lagipula, bapakku juga nggak buta-buta amat soal hasil panen warga desaku. Meskipun bukan petani, tapi bapakku juga paham tentang pertanian.

Walaupun kenyataannya banyak yang pada akhirnya tidak membayar hutang mereka, bukan berarti toko ibukku merugi. Masih ada lah untungnya, walau sedikit. Tapi kalau diteruskan, takutnya malah akan benar-benar merugi. Tapi meski begitu, bapak dan ibuk tak pernah terang-terangan langsung menagih para penunggak itu. Masih ada rasa kemanusiaan yang tersisa, apalagi kami tahu bagaimana kondisi ekonomi orang-orang itu. Mereka berhutang karena memang mereka tidak punya, bukan karena hobi.

Satu hal yang kemudian menjadi pelajaran bagiku. Bapak bilang kepadaku, bahwa rejeki kita sudah ada yang mengatur, dan itu tidak akan tertukar. Yang pasti kita percaya saja, bahwa rejeki itu akan datang nantinya, entah dengan cara seperti apapun. Jadi, semua yang dihutangkan kepada para tetanggaku itu, oleh bapak ibukku dianggap sebagai sedekah saja yang tak perlu ditagih di kemudian hari.

Aku merasa beruntung karena terlahir dari keluarga ini. Keluargaku bukanlah keluarga kaya, hanya keluarga sederhana. Yang penting kebutuhan kami semua tercukupi, asal kami tahu diri dengan tidak memiliki keinginan yang macam-macam. Kesederhanaan itulah yang ditanamkan oleh kedua orang tuaku kepada kami, aku dan adikku. Karena seperti apapun kondisi kami sekeluarga, di luaran sana, masih banyak yang kondisinya lebih sulit daripada kami. Aku percaya itu, karena buktinya bisa aku lihat dalam keseharian.

Adikku, seorang gadis manis bernama Intan Prabasiwi. Selisih umur kami 3 tahun. Saat ini dia juga sedang bahagia karena berhasil mengikuti jejakku, diterima di SMA yang sama denganku, SMA favorit di kota ini. Seperti yang kukatakan tadi, kalau soal kecerdasan, adikku lebih unggul daripada aku, jadi bukan hal yang mengejutkan kalau dia bisa masuk SMA itu.

Adikku tumbuh menjadi gadis yang cantik dan manis. Sifatnya mirip sekali dengan ibuk. Ada juga sifat dari bapak yang menurun kepadanya.

Sedangkan aku? Hahaha. Entahlah.

Aku sendiri sampai saat ini tidak terlalu merasa ada kemiripan sifat dengan bapak ataupun ibuk. Bapakku orang yang tegas dan bijaksana. Aku belum bisa mengatakan diriku seperti itu. Sedangkan ibukku adalah seorang yang penyayang dan lemah lembut. Beda sekali dengan aku yang sedikit urakan, terutama kalau kalau di luar. Aku hanya kalem saat di rumah saja. Sebenarnya kedua orang tuaku tahu ke-urakan-ku di luar sana, tapi mereka diam saja karena selama ini aku memang tidak pernah berbuat yang melewati batas, seperti misalnya tawuran.

Ya jelaslah. Bagaimana mau tawuran? Murid-murid di SMA-ku saja lebih berorientasi ke pendidikan. Otak mereka mungkin sudah didoktrin untuk belajar dan belajar, mana sempat memikirkan tawuran. Lagipula kalau misalnya benar-benar terjadi tawuran dengan sekolahku, sekolah lain tidak akan ada yang mau.

Kenapa?

Bukan karena mereka takut, tapi hanya akan membuang-buang waktu saja untuk sesuatu yang sia-sia, karena sudah jelas kami akan kalah telak. Beda cerita kalau lomba cerdas cermat, pasti sekolahku yang menang. Tapi bukan aku ya yang maju, melainkan teman-temanku yang IQ-nya tak terjangkau olehku.

Begitulah sedikit gambaran tentang keluargaku. Keluarga kecil yang sampai saat ini penuh kehangatan dan kasih sayang. Sekali lagi aku katakan, aku merasa beruntung sekali lahir dari keluarga ini. I'm not the best kid, but I was blessed by God to be given the best parents ever in the world. It’s not about a material, it’s about how they raised me with love, and gave me millions of valuable life lessons.

Kembali ke saat ini. Aku dan bapak masih berbincang sambil menunggu bus yang akan mengantarkanku ke kota tujuan. Tidak banyak obrolan serius, karena semalam bapak sudah memberikan cukup banyak wejangan kepadaku.

Sekitar 15 menit kemudian, bus yang ku tunggu akhirnya datang juga. Aku berpamitan kepada bapak, tak lupa ku cium punggung tangannya yang mulai berkerut. Aku masuk ke dalam bus dengan membawa tas ranselku. Nggak banyak sih isinya, yang penting berkas-berkas yang dibutuhkan untuk daftar ulang, dan beberapa potong baju ganti. Aku memang kebiasaan seperti ini kalau bepergian, malas direpotkan dengan bawaan yang banyak. Yang penting, bawa daleman yang cukup, sisanya bisa diatur belakangan.

Dan perjalananku ke barat pun dimulai.

Bus yang didominasi warna biru putih ini masih seperti biasanya, berlagak layaknya sang penguasa jalanan. Sang supir mengemudikan seenaknya, seolah bahwa jalanan ini adalah miliknya, milik nenek moyangnya. Pokoknya yang lain harus ngalah, hukumnya fardhu ain. Aku sih tidak begitu peduli, dan mulai memaksakan diri untuk menikmatinya, meskipun di dalam hati terus berdoa agar bisa sampai tujuan dengan selamat.

Duduk di samping jendela, aku menikmati pemandangan yang silih berganti, dari pemukiman, sawah, dan sempat melewati hutan juga. Hari ini perjalanan cukup lancar, tidak ada kemacetan berarti. Dan menjadi lebih lancar karena kendaraan yang kami salip ataupun yang dari arah berlawanan, dengan legowo memberikan jalan kepada bus legendaris ini.

Sekitar 5 jam kemudian, aku sudah sampai di terminal Giwangan. Dan masku lah yang kembali menjemputku. Aku sebenarnya merasa tak enak kalau terus merepotkan dia seperti itu, tapi dia malah akan marah kalau sampai aku tidak mau dibantu olehnya, termasuk menjemputku saat ini.

Masku, mas sepupuku ini, namanya Irham. Dia anak kedua dari budheku. Masnya lagi, namanya Hariyadi, sekarang sudah menikah, tinggal dan bekerja di Jakarta. Mas Hari dan Mas Irham sudah menganggap aku dan Intan seperti adik kandung mereka. Bukan hal yang mengherankan, karena sejak beberapa tahun yang lalu, sejak ditinggal meninggal oleh pakdheku, yang juga kakak kandung dari bapakku, bapakku lah yang berperan sebagai bapak mereka, kecuali soal materi karena itu sudah bisa dicukupi oleh budheku sendiri.

Setiap ada persoalan, Mas Hari dan Mas Irham pasti larinya ke bapakku. Mungkin mereka lebih nyaman menyampaikannya ke bapakku daripada ibu mereka sendiri karena sama-sama lelaki. Karena itulah baik Mas Hari ataupun Mas Irham begitu menghormati bapakku. Bahkan saat Mas Hari mau menikah dulu, bapakku lah yang melamarkan calon istrinya. Bapak juga yang menjadi walinya Mas Hari saat itu.

Sebenarnya budheku sudah menikah lagi, tapi mungkin Mas Hari dan Mas Irham sudah terlanjur dekat dengan bapakku, jadi apapun masih larinya ke bapak. Untungnya, budheku dan bapak tiri mereka bisa memakluminya, karena bapak tiri mereka sudah sangat mengenal baik bapakku, dan sangat menghormati beliau juga.

Daftar ulangmu kapan Pran? Sesuk opo suk Kemis?” tanya mas Irham saat kami sudah sampai di kontrakannya. (Daftar ulangmu kapan Pran? Besok apa besok Kamis?)

Jik suk Kemis kok Mas, santai wae.” (Masih besok Kamis kok Mas, santai aja.)

Oh yo wes nekno. Kowe leren o sik wae yo, aku arep ngampus sik ki.” (Oh ya udah kalau gitu. Kamu istirahat dulu aja ya, aku mau ngampus dulu ini.)

“Oke Mas.”

Mas Irham kemudian meninggalkanku sendirian di kontrakan, soalnya teman-temannya yang lain juga sedang kuliah. Aku sih tak masalah, karena memang ingin istirahat dulu. Soal makan, itu gampang. Di sebelah rumah kontrakan ini ada warung, jadi tak perlu jauh-jauh untuk mencari makan.

*****

Selama berada di kontrakan Mas Irham, aku lebih banyak di rumah saja. Kebetulan Mas Irham memang sedang padat jadwal kuliahnya. Tapi kemarin kami sudah sempat melihat kost-kostan yang nantinya aku tempati. Aku cukup puas dengan kost-kostan ini. Kamarnya berukuran 3x3 lebih. Kenapa lebih, ya karena tidak pas 3x3 meter. Setiap 2 kamar ada 1 kamar mandi, jadi tak perlu mengantri lama untuk mandi, dengan catatan semua kamar mandi ini lancar, tidak ada yang bermasalah.

Selain itu, lokasinya memang benar-benar strategis. Dekat dengan kampus, dekat dengan warung makan yang menjamur di sekelilingnya, dekat tempat laundry, dekat ATM, dekat warnet, dan tempat-tempat lain. Jadi saat itu, harga 2 juta pertahun sangatlah murah jika dibandingkan dengan apa yang aku bisa dapatkan disini.

Pagi ini aku sudah bersiap untuk ke kampus. Lagi-lagi, Mas Irham yang mengantarku. Tapi dia hanya bisa mengantarku saja, tidak bisa ikut menunggui karena dia sendiri ada jadwal kuliah yang tidak bisa ditinggalkan, ada quiz katanya. Tak masalah buatku, karena aku juga sudah janjian dengan beberapa teman dari SMA-ku yang juga diterima di kampus ini.

Sesampainya di kampus, kami langsung menuju ke Gedung Serba Guna (GSB) yang terletak lurus dari gerbang kampus. Oh iya, kalau dilihat dari gerbang kampusku, GSB ini bisa ditarik garis lurus dengan puncak Gunung Merapi. Nah, kalian sudah tahu kan aku kuliah dimana?

Begitu sampai, Mas Irham langsung pergi lagi menuju ke kampusnya. Sebelumnya dia berpesan, kalau semua urusanku sudah selesai langsung saja menelponnya, kalau dia sedang kosong jadwal, dia akan langsung menjemputku. Aku mengiyakan saja. Tapi tetap aku menyimpan perasaan tak enak kepadanya. Jarak antara kampusku dengan kampus Mas Irham ini cukup jauh. Apalagi jam segini, jalanan sudah mulai macet. Tapi ya itu tadi, Mas Irham malah akan marah kalau aku menyampaikan rasa ketidakenakanku ini kepadanya.

Suasana di GSB sudah cukup ramai. Aku mencoba untuk menghubungi teman-temanku yang sudah janjian. Akhirnya kami sepakat untuk berkumpul di depan pintu utama gedung ini. Aku yang sampai duluan menunggu mereka datang. Satu persatu mereka akhirnya berdatangan. Kami saling sapa dan berbasa-basi sebentar sambil menunggu teman-teman lain yang belum datang.

Waktu sudah menunjukkan jam 9 pagi. Sebenarnya pintu sudah dibuka dan pendaftaran ulang sudah dimulai sejak sejam yang lalu. Tapi kami masih belum masuk, masih menunggu teman-teman yang lain. Saat itu terasa ponselku di saku celana bergetar berulang-ulang. Ku ambil dan ku lihat di layar, Vidya menelponku. Oh iya, aku janjian juga dengan Vidya, sudah dimana dia ya?

“Halo, Assalamualaikum Vid.”

Waalaikumsalam. Prana kamu dimana?

“Aku udah di kampus ini, di pintu utama GSB, kamu dimana?”

Oh udah disana ya? Aku masih di jalan, hehe. Ini lagi di taksi, udah deket sih, tapi macet Pran.

“Oalah, ya udah, aku tungguin disini aja kalau gitu.”

Iya, tungguin aku ya. Pokoknya tungguin, jangan masuk duluan.

“Iya iya. Entar kalau udah sampai kabarin aja.”

Oke.”

Telpon ditutup olehnya. Aku perhatikan teman-temanku yang ditunggu tadi sudah mulai berdatangan.

“Pran, ayo kita masuk sekarang,” seorang temanku yang bernama Okta mengajakku.

“Kalian duluan aja, aku masih nungguin Vidya.”

“Ooh, janjian sama Vidya juga tho? Butuh temen juga tu anak ya? Hahaha.”

“Hehehe, iya.”

“Ya udah, kalau gitu kami duluan ya.”

“Oke.”

Hmm, masih sama saja ternyata. Aku tidak tahu apa sebab sebenarnya, tapi aku sudah tidak heran dengan sikap nyinyir teman-temanku kepada Vidya. Kalau dari yang aku dengar sih, menurut mereka Vidya itu anaknya sombong, jarang mau bergaul dengan yang lainnya, bahkan di kelasnya sendiri sekalipun. Benar atau tidaknya aku tidak tahu, karena aku memang tidak begitu mengenal Vidya. Aku hanya tahu nama dan kenal muka, karena kami juga berasal dari SMP yang sama, meskipun aku tidak pernah sekelas dengannya.

Vidya pun baru mulai akrab denganku sejak pengumuman siapa saja yang lolos seleksi masuk kampus ini, dan kebetulan kami satu fakultas, tapi beda jurusan. Sebenarnya bukan akrab juga sih, hanya beberapa kali dia nemuin aku dan tanya-tanya soal kampus, termasuk apa yang diperlukan dan dilakukan pada acara daftar ulang hari ini, yang ku jawab sebatas yang aku tahu saja. Selebihnya tentang Vidya, aku tidak tahu. Aku memang bukan tipe orang yang kepo dengan urusan orang lain. Aku lebih memilih untuk tidak peduli akan apa yang bukan menjadi urusanku.

Cukup lama aku menunggu sampai akhirnya Vidya datang menghampiriku. Ternyata dia diantar oleh kedua orang tuanya. Kami pun saling berkenalan. Setelah itu, aku mengajak Vidya masuk untuk daftar ulang, sedangkan kedua orang tuanya menunggu di luar.

Cukup lama juga kami di dalam GSB karena antriannya yang memang sangat panjang. Sekitar tengah hari barulah urusan daftar ulang kami beres dan keluar dari gedung. Kami mencari kedua orang tua Vidya.

“Nak Prana habis ini mau kemana?” tanya papahnya Vidya.

“Hmm, kayaknya mau pulang aja Pak, tapi nunggu dijemput sama mas saya.”

“Kalau gitu kita cari makan dulu aja gimana?”

“Boleh deh Pak.”

Akhirnya aku mengikuti mereka bertiga. Kami berjalan kaki menyusuri kampus ini, sekalian melihat-lihat kondisinya. Aku tadi sudah sempat menelpon Mas Irham, tapi dia bilang baru bisa menjemputku sekitar 2 jam lagi. Aku bilang tidak masalah karena aku ingin jalan-jalan dulu di sekitaran kampus.

Aku dan keluarga Vidya makan siang di sebuah rumah makan padang tak jauh dari kampus. Sambil makan kami banyak ngobrol. Kedua orang tua Vidya banyak bertanya tentangku, tentang keluargaku, dimana tempat tinggalku, yaah pertanyaan-pertanyaan standar lah untuk perkenalan.

Selesai makan siang, tadinya aku berniat untuk kembali ke kampus, melihat-lihat lagi, terutama di fakultasku, sekalian menunggu Mas Irham disana. Tapi niatku itu harus batal karena papahnya Vidya mengajakku mencarikan kost untuk Vidya.

“Lhoh, jadi kamu belum dapet kost tho Vid?”

“Belum, emang kamu udah Pran?”

“Udah lah, dari beberapa bulan yang lalu malah.”

“Kok bisa?”

“Iya, masku yang nyariin Vid. Kamu kok nggak bilang dari kemarin-kemarin? Kan bisa dicariin sekalian sama masku. Kalau sekarang kan pasti susah Vid.”

“Hehehe, iya juga sih. Tapi ya udah kita coba cari dulu aja yuk?”

“Ya udah, ayok deh.”

Waduh, cari kost disaat seperti ini? Pasti bakal sangat merepotkan, apalagi carinya di sekitaran kampus, yang kemungkinan besar sudah penuh semua. Tapi mau bagaimana lagi?

Akhirya kami berjalan di daerah ini, mencari info kost-kostan untuk cewek yang masih kosong. Dan benar saja, rata-rata bilang kalau kost-kostan di daerah ini sudah penuh. Sempat merasa putus asa juga sih. Mencari kost disaat seperti ini memang sangat sulit, karena selain para mahasiswa lama, mahasiswa baru juga pasti sudah dari jauh-jauh hari mencari kost, seperti aku misalnya.

Tapi kami terus berjalan berusaha mencari kost untuk Vidya. Sebenarnya ada satu kost yang masih memiliki kamar kosong. Tapi baik Vidya maupun kedua orang tuanya merasa kurang cocok. Aku sendiri pun seperti itu sih. Kalau itu buatku, yang cowok, mungkin tidak terlalu masalah. Tapi untuk cewek, sepertinya kurang nyaman saja.

Sampai akhirnya kami berjalan masuk ke sebuah gang, ada sebuah kost yang sepertinya masih baru. Disitu juga terlihat beberapa tukang bangunan sedang bekerja, kami pun menghampiri mereka. Papahnya Vidya tampak berbasa-basi dengan tukang bangunan itu, kemudian salah satu dari mereka masuk ke dalam. Tak lama kemudian seorang wanita datang menghampiri kami. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai pengelola kost-kostan itu. Bukan pemilik, tapi hanya ditugasi untuk mengelola dan merawat kost ini. Namanya Mbak Gendhis.

“Iya Pak, kebetulan ini masih kosong, dan tinggal 1, silahkan kalau mau dilihat dulu,” jawab Mbak Gendhis ketika papahnya Vidya menanyakan perihal kamar kosong.

Aku sebenarnya tidak ingin ikut masuk, pengen nunggu diluar sama, pengen ngudud. Dari sejak Vidya dan orang tuanya tadi datang, terus kami masuk untuk daftar ulang sampai sekarang, aku belum ngerokok lagi. Kecut nang cangkem.

Tapi Vidya malah menarikku, mau tak mau aku mengikutinya juga. Apalagi Mbak Gendhis juga tampaknya tak keberattan aku ikut masuk. Kost ini berbentuk letter U, hampir sama dengan kostku, tapi jumlah kamar di kostku lebih banyak, dan di kostku juga ada 2 lantai, kalau disini hanya 1 lantai saja.

Disini ada 8 kamar, 4 kamar saling berhadapan dan dipisahkan oleh sebuah taman kecil. Di ujung sana ada sebuah ruangan yang digunakan untuk dapur bersama. Kamar kosong yang dimaksud sama Mbak Gendhis tadi, adalah kamar nomer 2 dari di depan di bagian kiri bangunan.

Menurutku kondisi di kost-kostan ini cukup bagus, bersih dan nyaman. Aku pun ikut melihat ke dalam kamar itu, ukurannya hampir sama dengan kamar kostku, tapi disini kamar mandinya di dalam tiap-tiap kamar. Di dalam kamar juga sudah ada sebuah lemari dan tempat tidur, lengkap dengan kasur pegas yang nyaman.

Setelah berbasa-basi soal harga, akhirnya mereka deal, bahkan papahnya Vidya langsung membayar tunai saat itu juga. Welah, ternyata di dalam tas kecil yang dibawa itu, isinya uang cash, kok berani amat ya?

Vidya terlihat lega karena akhirnya mendapatkan kost seperti yang dia inginkan. Aku pun ikut senang. Bukan apa-apa, capek juga jalan dari tadi, mana panas pula. Dengan begini kan sudah tak perlu jalan kemana-mana lagi.

Tapi kami tidak langsung pergi setelah deal soal kamar ini. Mbak Gendhis mempersilahkan kami kalau mau beristirahat disini, bahkan dia ikut nimbrung, ngobrol bersama kami. Mbak Gendhis cerita kalau kost-kostan ini termasuk baru, belum 2 tahun. Tukang-tukang yang ada di depan itu sedang membuat 3 kamar tambahan lagi, 2 kamar untuk disewakan, dan 1 kamar lagi untuk dia sendiri sebagai pengelola dan penjaga. Untuk saat ini, Mbak Gendhis menempati kamar di sebelah kamar Vidya ini.

Setelah cukup lama kami ngobrol, terasa ponselku bergetar. Mas Irham menelponku menanyakan posisiku sekarang dimana. Aku beritahukan kepadanya, dan dia bilang 15 menit lagi akan sampai di kampusku. Aku pun bilang untuk bertemu di kampus saja.

Pada saat itu juga kami berpamitan pada Mbak Gendhis. Kami menuju kampus, karena aku akan menunggu Mas Irham disana.

“Kamu kapan pulangnya Vid?” tanyaku saat kami sedang berjalan kembali menuju kampus.

“Ini mau langsung pulang kok.”

“Lhoh, jadi langsungan gitu? Nggak nginep-nginep dulu? Apa nggak capek?”

“Yaa capek tho. Tapi kan sekalian entar istirahatnya di rumah. Lha kamu kapan pulang?”

“Rencananya sih masih Sabtu atau Minggu. Besok aku mau keliling dulu, beli-beli perlengkapan buat ngisi kamar kost.”

“Ooh gitu. Kalau aku nanti aja deh, lagian di kostku udah ada kasur sama lemari, paling tinggal tambahin dikit aja.”

“Iya sih kamu enak, udah ada itu. Lha aku, kamarku masih kosongan e, hahaha.”

Akhirnya sesampainya kami di kampus, kami berpisah. Vidya dan orang tuanya langsung pulang. Mereka akan ke Terminal dulu. Kalau tadi pagi mereka berangkat naik kereta api, sekarang lebih memilih naik bus. Sedangkan aku, menunggu Mas Irham menjemputku.

*****​

Sudah hampir seminggu berlalu dan aku sudah kembali ke rumah. Kembali, untuk pergi lagi. Ya, karena saat ini aku sedang bersiap-siap untuk berangkat lagi ke Jogja. Barang-barang yang akan aku bawa sudah di-packing dari kemarin. Tidak terlalu banyak juga sebenarnya, hanya satu travel bag berukuran sedang yang penuh dengan pakaianku, dan sebuah kardus bekas mie instan yang isinya, macam-macam.

Hari ini aku berangkat dengan orang tua dan adikku. Kami akan naik 2 kendaraan, aku naik motor dan mereka naik mobil. Kami memang punya sebuah mobil. Sebuah sedan keluaran tahun 90an yang dibeli oleh bapak dari seorang rekannya dengan harga yang cukup murah, separuh dari harga yang seharusnya. Kata bapak, mobil itu dijual murah karena temannya itu sudah punya mobil baru yang lebih bagus. Tapi dengar-dengar juga, sebenarnya dijual semurah itu untuk membalas jasa-jasa bapakku kepada orang itu, yang entah apa sampai sekarang aku juga tak tahu.

Tapi kalau memang mau balas budi, kenapa nggak dikasih cuma-cuma aja ya? Hahaha, entahlah, yang penting kami punya kendaraan yang bisa membawa kami sekeluarga tanpa kena panas dan hujan. Lagipula mesinnya juga masih enak, apalagi bapakku sangat telaten merawatnya, beda sekali dengan aku yang cuek-cuek saja dengan motorku.

Aku berangkat dari rumah bersamaan, tapi akhirnya terpisah karena mobil bapakku terjebak macet, sedangkan aku lancar-lancar saja, nyempil kesana kemari. Tapi sebelumnya kami memang sudah sepakat kalau nantinya aku akan menunggu di gerbang kampus sebelum menuju kost, karena bapak memang belum tahu lokasi kostanku.

Aku yang sampai di Jogja terlebih dahulu langsung menuju ke gerbang kampus. Aku menghubungi adikku, ternyata mereka baru sampai Klaten. Hmm, masih cukup jauh juga, lumayan bisa beberapa batang.

Setelah cukup lama menunggu akhirnya orang tuaku sampai juga. Kami langsung menuju ke kostku yang letaknya tak jauh dari kampus. Setelah menurunkan barang-barangku, kami beristirahat sejenak. Terlihat orang tuaku cukup puas dengan kondisi kostku setelah melihatnya langsung.

Oh iya, setelah daftar ulang kemarin, aku dan Mas Irham sudah sempat berkeliling membeli beberapa perlengkapan untuk mengisi kamarku ini, seperti kasur, lemari, meja kecil, karpet dan beberapa barang lainnya. Mas Irham juga mengantarkanku ke sebuah toko yang menjual barang-barang bekas. Tapi jangan salah, meskipun bekas tapi kondisinya masih cukup bagus. Kata Mas Irham, disitu memang tempat para mahasiswa asal luar kota menjual barang-barangnya ketika mereka lulus dan meninggalkan Jogja. Jadi cukup terbantu juga, lumayan menghemat uang.

Setelah beberapa saat beristirahat, kami berempat keluar mencari makan. Tidak perlu jauh-jauh, karena di sekitar kostku ini banyak sekali warung makan, tinggal pilih mana yang sesuai selera saja.

Hari ini orang tua dan adikku menginap disini. Malam harinya kami keluar, jalan-jalan. Mas Irham juga ikut, dan menjadi guide kami malam ini, karena aku sendiri juga belum hafal jalan. Kami berjalan-jalan di Malioboro. Disana, bapak membelikan kami baju batik yang seragam, termasuk untuk Mas Irham juga. Dilanjut dengan makan malam yang masih di seputaran jalan Malioboro.

Keesokan harinya, setelah sarapan orang tua dan adikku pulang. Aku sendiri langsung berkenalan dengan beberapa anak kost, terutama yang kamarnya sebelahan denganku. Rupanya banyak juga yang sama-sama anak kampus biru, tapi tidak ada yang satu fakultas denganku. Dan ternyata banyak juga yang sama-sama mahasiswa baru sepertiku.

Setelah berkenalan dan berbasa-basi dengan teman-teman baruku, aku lebih memilih untuk tiduran saja di kamar, bingung mau ngapain. Waktu hampir saja tertidur, tiba-tiba ponselku berdering. Dengan malas ku ambil ponsel, ada nama Vidya tertera di layar.

“Halo, Assalamualaikum Vid.”

Waalaikumsalam. Kamu dimana Pran? Udah di Jogja?

“Udah kok, udah dari kemarin. Lha kamu? Udah di Jogja juga?”

Iya, baru tadi pagi sampainya. Eh, hari ini kamu sibuk nggak?

“Hahaha, ya enggaklah, sibuk apa coba orang belum ngapa-ngapain.”

Keluar yuk Pran.

“Kemana?”

Cari makan siang lah, kamu belum makan kan?

“Belum sih. Ya udah kalau gitu, tungguin ya, aku jemput kesana.”

Oke.”

Ku lihat jam di ponselku, baru jam 11 sih, dan aku belum lapar juga sebenarnya. Tapi ya sudahlah, mumpung ada yang ngajak keluar, sekalian saja. Akupun bersiap-siap, tak lama kemudian meluncur ke kostan Vidya. Ternyata dia sudah ada di depan, sedang ngobrol dengan Mbak Gendhis. Kami berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya aku dan Vidya berangkat.

“Orang tuamu nggak ikut nganterin Vid?”

“Ikut kok, tapi mereka langsung pulang tadi.”

“Oh gitu. Terus, ini kita mau makan dimana?”

“Terserah kamu aja deh.”

“Walaah, repot iki.”

“Lhoh, repot kenapa?”

“Cewek, kalau udah bilang terserah, itu buat cowok udah serasa ujian nasional tahu nggak?”

“Huahaha, yaa nggak gitu juga kali Pran. Beneran deh terserah kamu mau makan dimana, aku ngikut aja.”

“Ya udah kalau gitu.”

Yaah begitulah, aku sebenarnya agak-agak trauma dengan kata ‘terserah’ dari seorang cewek. Ambigu, bermakna ganda, sungguh-sungguh membingungkan. Dan mungkin aku bukan satu-satunya pria yang mengalami hal itu.

Akhirnya akupun memilih sebuah warung makan. Kami pesan makanan pilihan kami masing-masing. Sambil makan, kami juga selingi dengan obrolan santai.

Sampai disini, aku benar-benar menangkap kesan yang berbeda tentang Vidya. Tidak seperti yang pernah aku dengar dari teman-temanku. Tidak terlihat Vidya yang sombong, malah cukup asyik buat ngobrol. Kalau ada jaim-jaimnya, ya sewajarnya seorang ceweklah. Tapi kok bisa dicap sombong sama teman-temanku ya? Entahlah.

“Pran, beneran nggak sibuk kan?” tanya Vidya saat kami sudah selesai makan. Lebih tepatnya, dia yang selesai makan, karena aku sudah dari tadi.

“Nggak kok, kenapa emang?”

“Anterin aku ya?”

“Ke?”

“Belanja.”

“Belanja?”

“Iya, aku kan belum beli apa-apa Pran.”

“Oh, okelah kalau begitu. Emang mau beli apaan sih?”

“Buanyaaak... Alat tulis, perlengkapan mandi, snack, keset, sapu, kemoceng, piring, gelas, sendok, garpu, tisu, pengharum ruangan, obat nyamuk, terus apa lagi yaaa...”

Wuasyuuu!!!

*****​

to be continue...
 
:galak:
Halah bilang aja belum diketik kan?
Ayo update suhu
:haha:
wahahaha, yunomesowel om :pandaketawa:

ijin baca cerita barunya suhu
monggo om, dipersilahkeun :beer:

Uuwwwaaaaa, ketahuan suhu alan :kbocor:
Nongkrong pojokan aja deh mumpung belum diteriaki maling :devil::jimat:
heh ngapain dipojokan? :galak:


agak ketengah dikit om biar enak :taimacan:

Om dari kemaren2 cuma bales komen, updatenya kapan om
hnng, nganu om, lebih gampang balesin komen soale :pandaketawa:

Pasti om alan nunggu om don update nih .. biasanya kan bareng . hehehe
rencanane gitu om, ternyata om don lagi super sibuk, jadi ya ane duluan aja :pandaketawa:

Om update om...
Update om
100

Ditunggu update nya om
Ditunggu update ceritanya
udah apdet om om :pandapeace:

Nyimak dlu suhu
Jgn lama2 update nya
Nanti keburu basi
gapapa om, kalau basi entar bikin baru lagi :pandajahat:

Up...
Smoga update nya lancar dan dapat stempel tamat ...
Smangat hu...
makasih om..
kalau nggak dapet stempel, entar ane stempel sendiri aja :pandajahat:

:pandaketawa::pandaketawa:


edited :

pertamaaxxxx :papi:
 
Bener Hu, kalo sudah keluar kata terserah....keder kita haha...
 
Wah kota kelahiran disebut, jarang² lho...makasih hu
Gara² itu critanya jd makin joss deh
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Waaah...jd mahasiswa nie ye......
Apakah nanti pram sama mbak ghendis.....aaah sudah lah biar suhu aja yg jawab....heheh
 
om anal keluarin cerita anak kost, pasti seruh nih kalo tiba2 ada dar der dor ... wkkk
lanjut om
 
Uihhhhh.....makasih updatenya om lan..

:beer:. Kisah bis keramatnya tetep hadirkan di setiap episode ya om....:ampun:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd