Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Nukilan Kehidupan

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Mendadak kepengen balik jaman maba lagi dimana kehidupan masih santai

TA ke yo le, cah aku TA ke yo,
Wkwk
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Moco tulisan iki Wasyuu!! dadi kelingan konco2 jaman SMA mbiyen hahaha

Sip deh. Tinggal pilih vidya, novi, anis, mba rika, atau mba rini?
Semuanya aja om hehehe :pandajahat::pandaketawa:

Ohh tau SMA om.... wkwkwkwkw :ngakak :Peace:


:ngacir:
 
Cerita persis pas ane dulu ospek di Kampus Biru... Kampus kenangan yg menyakitkan..
 
Mantap udah update lagi, awal yg baik nih dg Anis udah mau main ke kamar
cuma numpang istirahat kok om, kasian capek dia

maunya tak pijitin, tapi udah keburu pamit duluan :pandaketawa:

Tengs Hu buat Update-nya...

baca pelan" aja, kalo cepet" ntar crot duluan :pandaketawa:
iya om, emang ini bakalan "pelan" banget kok, mungkin malah bisa jadi "terlalu pelan" :pandaketawa:

Jadi keinget jaman kuliah
kalau bilang gitu, artinya udah lama lulus kuliahnya

waah sesepuh nih jangan2 :pandatakut:



:ampun::ampun::ampun:

Ooh ospek.. masa-masa indah saat kuliah (buat senior).
Mhuehehe :pandaketawa:
iya dong, ketika tiba waktunya untuk balas dendam :haha:

Belum ketebak cew yg bkl deket ma prana, anis dan vidya blm ada yg berkesan.
jangan ditebak om, biarkanlah berjalan seperti apa adanya

eh, iki opo toh :bingung:

Waj teryata banka bis mania juha nie...hahahha
mungkin banyak kenangan indah dengan bis2 itu om :hore:

Asli kersa banget nukilan nyaaaa.


Itu senior habiss makannn jengkol banyak kali prana
Kwkekek.
weeh, kerasanya dimana om mister? :bingung:

bukan jengkol om, entah apa, yang jelas lebih menusuk baunya :hua:

Mendadak kepengen balik jaman maba lagi dimana kehidupan masih santai

TA ke yo le, cah aku TA ke yo,
Wkwk
buahahahajilaaak..
kok podo yaa?
TA ke yo dab :haha:

jd kangen jMan awal ngampus, banyak tugas bikin eneg
kangen sama tugasnya mas? :pandaketawa:

Moco tulisan iki Wasyuu!! dadi kelingan konco2 jaman SMA mbiyen hahaha

Sip deh. Tinggal pilih vidya, novi, anis, mba rika, atau mba rini?
Semuanya aja om hehehe :pandajahat::pandaketawa:
mbiyen ki kapan om? bisa diperjelas? :pandaketawa:

wah kalo ane pengen semua sih, tapi berhubung ini adalah sebuah nukilan, jadi sebisa mungkin disesuaikan sama sumbernya...











tapi koyoke nek disikat kabeh lumayan juga yaa :pandajahat::pandaketawa:

Ohh tau SMA om.... wkwkwkwkw :ngakak :Peace:


:ngacir:
lha emang mbrojol langsung kuliah om?

:haha:

Cerita persis pas ane dulu ospek di Kampus Biru... Kampus kenangan yg menyakitkan..
curcol detected :haha::haha::haha:

Ngisi buku tamu dulu

Ijin baca om
monggo dipersilahkeun om peli:beer:

ehh... :bingung:

kok manggilnya gimana gitu yaa :pandaketawa:
 
Hmm jadi keinget masa - masa ospek dulu berangkat pagi-pagi pas jam shubuh dan pulang pas langit mulai gelap dan seterusnya sampai ospek selesai. Capeknya :fiuh:
mantap suhu ceritanya jadi ke ingat nostalgia
:pandaketawa:

Eh ngomong-ngomong kenapa namaku dibawa-bawa ya dicerita ini jabatanya sama lagi jadi ketum tim ospek
Pekerjaan yg gak enak belum apa-apa udah ditunjuk jadi ketua. Lag malah curcol
:galak:
 
Hmm jadi keinget masa - masa ospek dulu berangkat pagi-pagi pas jam shubuh dan pulang pas langit mulai gelap dan seterusnya sampai ospek selesai. Capeknya :fiuh:
mantap suhu ceritanya jadi ke ingat nostalgia
:pandaketawa:

Eh ngomong-ngomong kenapa namaku dibawa-bawa ya dicerita ini jabatanya sama lagi jadi ketum tim ospek
Pekerjaan yg gak enak belum apa-apa udah ditunjuk jadi ketua. Lag malah curcol
:galak:
sudahlah om rud, akuilah kalau kamu memang dia :pandaketawa:

Bgus ni critanya., moga aja tamat.
semoga ya om, semoga :pandajahat:

Iso ae om alan ki wkwk

Ayo dilanjutkan om uapik cerita ne
ditunggu terus lanjutannya gan
Lanjut gan..
Siap ngikutin terus hu.. Ayo d lanjutin lg
sabar ya om om sekalian :pandaketawa:

Hei hei... Ini mau lanjut gak? Mumpung munyuk menang? :ngupil:
njiiir, dobel blunder :galak:
 
Chapter 4
Tidak Sesempit Itu

Akhirnya, hari pertama masuk kuliah.

Rasanyaaa... Biasa aja sih.

Sebenarnya, jujur saja aku gugup. Penasaran dengan banyak hal. Seperti apa teman-temanku nanti, seperti apa materi kuliah yang akan aku dapatkan nanti, seperti apa dosen-dosen disini, seperti apa suasana perkuliahan di kampus sebonafit ini, dan ‘seperti apa seperti apa’ yang lainnya.

Nama besar kampusku masih menjadi beban buatku. Memang setelah orang-orang tahu aku menjadi mahasiswa di kampus ini, aku jadi dipandang tinggi oleh mereka, apalagi oleh orang-orang di daerahku. Aku dipandang sebagai orang yang cerdas, pandai, pintar, yaa semacam itu lah. Terima kasih kalau ada yang memandangku seperti itu, tapi sepertinya itu agak berlebihan. Aku yaa, seperti inilah adanya.

Tak jarang ketika ditanya orang, aku kuliah dimana, aku malu sendiri menjawabnya.

“Kuliah dimana Mas?”

“Di kampus biru Pak.”

“Waah hebat ya. Masnya ini pasti pinter.”

“Hehehe, nggak juga kok Pak.”

Percakapan seperti itu sudah cukup sering terjadi. Rasa bangga sih tetap ada, tapi kalau diingat lagi bagaimana aku bisa masuk ke kampus ini, ya itulah yang membuatku malu.

Kemarin saat ospek, aku sempat sekilas mengamati wajah teman-teman baruku. Tapi, tidak banyak yang bisa aku dapatkan, soalnya wajah kami hampir sama semua, sama-sama kucel dan kelelahan. Karena itulah, di hari pertama ini, mungkin akan nampak wajah mereka yang sebenarnya. Hanya satu orang yang aku cukup tahu kalau dia memang benar-benar pintar, Vidya. Jelas, karena dia teman sekolahku.

Setelah memarkirkan motor, aku melangkah ke salah satu gedung, yang akan menjadi kelas pertamaku di kampus ini. Sebelumnya sempat aku melihat lagi sebuah tulisan yang menjadi identitas fakultasku. Fakultas Pertanian. Yup, aku diterima di kampus biru ini di fakultas pertanian.

Sempat teman-temanku mencibir, seolah fakultas pertanian itu nggak ada keren-kerennya. Bukan hanya teman-temanku sih, beberapa orang yang bertanya aku kuliah dimana juga seperti itu reaksinya. Jadi percakapan yang di atas tadi sebenarnya ada lanjutannya.

“Ah, kalau bisa masuk kampus biru pasti pintar lah. Ambil jurusan apa Mas?”

“Pertanian Pak.”

Begitu mendengar jawabanku, orang itu langsung mengerutkan dahinya. Mungkin dalam hatinya bertanya, ‘nggak salah?

Kalau diibaratkan mungkin seperti ini, kalian masuk ke sebuah restoran elite, dan ketika pelayan datang untuk mencatat pesanan kalian. Diantara beragam menu mahal yang ada di daftar dan nggak akan kalian temui di warung pinggir jalan, dengan entengnya kalian bilang, “Es teh manis.” Bisa dibayangkan wajah pelayan itu?

Itu masih mending, karena biasanya mereka yang ‘bijak’ akan menjawab dengan hati-hati.

“Oh ya nggak apa-apa. Itu bagus kok, prospek kedepannya cerah.”

Entah dia ngomong seperti itu berdasarkan fakta atau hanya menjaga perasaanku saja. Tapi itu sudah cukup buatku. Beda dengan teman-temanku, yang reaksinya lebih ‘berlebihan’.

Oalah Pran Pran, nek mung arep macul nyapo ndadak kuliah dhuwur-dhuwur?” (Oalah Pran Pran, kalau cuma mau nyangkul ngapain pakai kuliah tinggi-tinggi?)

Kata-kata seperti itu bukan sekali dua kali aku dengarkan. Dan aku selalu punya jawaban untuk mereka.

“Heh, pikiran kalian kok sempit sekali. Ingat, negara kita ini negara agraris, kita bisa hidup juga karena makan dari hasil pertanian, jadi kita harus bangga sama pertanian.”

Keren kan? Yaah sebenarnya aku menjawab seperti itu karena belum menemukan jawaban lain, apa yang hebat dari pertanian. Jujur saja, aku sendiri juga belum yakin sebenarnya, tapi karena sudah masuk, dan didukung juga oleh semua keluargaku, ya mau bagaimana lagi? Mungkin dimulai dari hari ini aku akan menemukan sesuatu yang bisa membuatku yakin dengan fakultas ini.

Suasana di kampus sudah terasa berbeda. Jelas aja sih, karena perkuliahan sudah aktif, dan para mahasiswa angkatan di atasku juga sudah kembali masuk, makanya jadi lebih ramai daripada waktu ospek kemarin. Ku lihat penampilan mahasiswa disini, biasa saja, tidak ada yang mencolok. Intinya memakai pakaian yang rapi, dengan atasan berkerah, baik itu cewek ataupun cowok.

Cewek-ceweknya pun ku lihat juga tidak ada yang berpenampilan glamour, tidak ada yang berdandan menyilaukan mata. Semua biasa saja. Tidak seperti yang selama ini aku lihat di TV, dimana para mahasiswinya banyak yang berpenampilan sexy dengan pakaian minim. Semua itu hanya terjadi di FTV, tidak untuk di kehidupan nyata seperti ini.

Aku masih celingukan ke kanan kiri, mencari siapa saja orang yang aku kenal. Sebenarnya ada sih beberapa yang aku tahu mereka juga sama-sama mahasiswa baru sepertiku, tapi aku belum mengenalnya, jadi agak sungkan juga untuk datang menyapa. Sempat ku lihat juga ke gazebo kampus, cukup ramai disana, tapi sepertinya mereka adalah angkatan atas.

Karena tak menemukan orang yang sudah cukup ku kenal akhirnya aku melangkah ke kelas tempatku menerima materi kuliah pertamaku. Aku duduk-duduk di depan kelas, masih sepi, baru ada beberapa orang yang aku juga belum kenal. Ku lihat dari mereka ada beberapa cowok yang asyik merokok, ah aku jadi pengen merokok juga, toh nggak ada larangan untuk merokok disini.

Sebungkus rokok Mild berwarna putih ku keluarkan dari saku celana. Ambil sebatang dan aku nyalakan. Sssshhhh aaaaahhhh, lumayan juga buat bikin rileks. Meskipun aku belum sarapan juga sebenarnya, tapi tak apalah yang penting paru-paruku tersuplay asap laknat ini.

“Misi mas, boleh pinjem korek?”

“Oh boleh boleh mas, ini silahkan.”

Seorang cowok mendatangiku, membawa sebatang rokok yang sama dengan rokokku. Ku berikan korek apiku padanya. Setelah menyalakan rokok dia mengembalikan korek dan duduk di sebelahku.

“Makasih mas. Oh iya, aku Danu.”

“Prana.”

“Jurusan apa Pran?”

“Jurusan B, kamu?”

“Oh aku jurusan D.”

Begitulah awalnya obrolan kami saling berkenalan. Yah memang kadang sebatang rokok bisa memulai sebuah percakapan, entah itu hanya untuk mengisi waktu seperti aku dan si Danu itu, atau sebuah percakapan panjang ketika kita terjebak dalam sebuah situasi yang membosankan.

Tak lama kami ngobrol karena akhirnya dosen yang mengajarku di kelas pertama ini sudah datang. Begitu dosen masuk, kelas yang tadinya kosong langsung penuh. Ternyata yang lain juga memilih untuk menunggu di luar, seperti aku dan Danu tadi.

Kuliah pun dimulai. Di semester awal ini, mata kuliah yang diajarkan kepada kami lebih bersifat pengantar atau dasar-dasarnya saja. Bahkan banyak mata kuliah yang merupakan lanjutan dari materi di SMA dulu, seperti Matematika, Biologi, Kimia, Fisika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris sampai Pendidikan Agama.

Lhah, itu sih sama kayak SMA namanya?

Ya memang, tapi yang jelas materinya adalah materi lanjutan. Dan kampretnya, sebenarnya aku agak lemah di beberapa mata kuliah itu, bahkan boleh dibilang membencinya. Aku sempat bahagia waktu lulus SMA, karena dalam bayanganku tak akan bertemu lagi dengan hitung-hitungan integral kampret di Matematika, nama-nama latin yang bikin pusing di Biologi, juga berbagai rumus dan teori yang aku nggak ngerti dari Kimia dan Fisika.

Tapi di semester awal ini, aku harus rela kebahagiaanku direnggut oleh 4 sekawan yang memabukkan itu. Meskipun aku tahu kuliah di pertanian akan membuatku kembali harus mempelajari Biologi lebih luas lagi karena Biologi adalah ilmu dasarnya, tapi tak masalah asal tak perlu lagi bertemu dengan mata kuliah lainnya. Sayang, ternyata ketiga sahabat karib Biologi itu ikut-ikutan menyapaku di semester awal ini.

Tak terlalu banyak hal menarik yang bisa ku ceritakan di semester awal, karena lebih disibukkan dengan urusan kuliah dan praktikum. Apalagi praktikum yang harus aku lakukan kebanyakan bertempat di fakultas lain, bukan fakultasku sendiri. Lumayan sih, bisa tahu lebih banyak tempat di kampus biru ini, tapi males banget bolak baliknya.

Di minggu-minggu awal aku kuliah ini, ketika di luar kampus aku masih lebih sering berkumpul dengan teman-teman SMA-ku yang juga kuliah di berbagai kampus di Jogja. Aku belum terlalu dekat dengan teman kampus atau teman kost, jadi berkumpul dengan teman SMA adalah opsi terbaik menghabiskan waktu.

Sebenarnya cukup banyak teman SMA-ku yang ada di kota ini, tapi kalau sudah kumpul paling hanya beberapa saja yang datang. Jarang sekali lebih dari 15 orang, itupun cowok semua. Entah kemana yang lain. Mungkin karena kesibukan masing-masing, atau sudah dekat dengan teman-teman barunya, aku nggak terlalu peduli, yang penting masih ada yang bisa diajak kumpul, dan masih cukup orang kalau kami mau main futsal.

Dan seperti biasa, waktu kami berkumpul masih saja teman-teman meledekku karena aku satu-satunya yang kuliah di jurusan yang menurut mereka paling nggak keren. Aku sih santai saja, kadang ku tanggapi dengan menyindir balik mereka. Tapi kami sama-sama tahu kalau itu cuma sekedar bercanda.

Sampai akhirnya kemarin ada satu orang yang sepertinya senang sekali mengejekku. Padahal yang lainnya sudah berhenti, tapi dia masih saja dia nggak mau diam. Entahlah, mungkin dia merasa jurusan tempatnya kuliah jauh lebih keren daripada jurusanku, makanya aku dijadikan sasaran terus olehnya.

Piye Pran? Wes iso macul sing bener durung? Hahaha.” (Gimana Pran? Udah bisa nyangkul yang bener belum? Hahaha.)

Aku sebenarnya sudah biasa dengan pertanyaan semacam itu. Tapi malam ini agak risih juga mendengarnya, apalagi nadanya sama ekspresi mukanya itu lho, tonjokable banget.

Woo jelas lah, aku kan kuliah e tenanan.” (Woo jelas lah, aku kan kuliahnya serius.)

Hahaha, jane sing mbok pikir ki opo tho Pran? Kuliah kok pertanian?” (Hahaha, sebenernya yang kamu pikir itu apa sih Pran? Kuliah kok pertanian?)

Lama-lama kesel juga kan diledekin seperti itu. Akhirnya aku keluarkan jurus andalanku, yang sebenarnya baru dibahas sama dosenku beberapa hari yang lalu.

Sak durunge tak jawab, ki tak takoni sik. Kowe ngerti ra bedane tanaman karo tumbuhan?” (Sebelum aku jawab, nih aku tanya dulu. Kamu ngerti nggak bedanya tanaman sama tumbuhan?)

Tanaman karo tumbuhan? Yo podo wae lah, opo enek bedane?” (Tanaman sama tumbuhan? Ya sama aja lah, mana ada bedanya?)

“Nah ini, ternyata pikiranmu masih terlalu sempit untuk menghina pertanian Mas,” jawabku dengan jumawa, membuat beberapa temanku mulai terkikik menahan tawa.

Emang opo bedane?” (Emang apa bedanya?)

“Nih ya, tumbuhan itu adalah sesuatu yang muncul atau tumbuh dari permukaan bumi secara alami, alias liar dan tidak mengalami pengaruh atau budidaya dari manusia,” ucapku memulai kuliah pada malam hari ini, hahaha.

“Nah kalau tanaman, itu adalah tumbuhan yang sengaja ditanam atau dibudidayakan untuk berbagai tujuan, seperti untuk pangan, industri ataupun estetika. Paham?”

Temanku itu hanya manggut-manggut saja, entah dia beneran paham atau tidak bodo amat.

“Lagian, kalau kamu sampai sekarang masih makan nasi, nggak perlu lah kamu menghina pertanian. Kecuali kalau kamu udah bisa tuh bikin minyak bumi jadi pengganti nasi!”

Checkmate!!! Temanku yang memang kuliah di teknik perminyakan itu langsung terdiam, disambut dengan tawa keras oleh teman-temanku yang lainnya.

“Jadi, pemahaman soal pertanian itu luas Mas, nggak sesempit celana dalammu itu,” tambahku lagi, semakin membuat mukanya memerah karena emosi, dan semakin membuat tawa teman-temanku tak tertahankan.

Wuahaha, asuuu. Koyok kowe wes tahu ndelok sempake dek’e wae cuuk cuk.” (Wuahaha, asuuu. Kayak kamu pernah lihat sempaknya dia aja cuuk cuk.)

Akupun ikut tertawa. Kami semua tertawa, kecuali si teman yang tadi menghinaku, yang mukanya sudah merah padam itu.

Rupanya jawabanku malam itu terbukti efektif. Tidak ada lagi temanku yang berani membahas atau menjelek-jelekkan jurusanku. Tapi efek jeleknya, temanku yang gantian ku ledek itu tak pernah mau lagi berkumpul bersama kami.

Hahaha, ya sudahlah, mungkin dia sedang belajar gimana caranya biar minyak bumi bisa jadi pengganti nasi.

Dua minggu setelah masuk kuliah, para mahasiswa baru di jurusanku sore ini dikumpulkan di depan sekretariat HMJ. Kami menerima pengarahan karena di akhir pekan nanti kami ada acara malam keakraban. Tempatnya di sebuah villa di Kaliurang, dan akan berlangsung selama 3 hari 2 malam. Kami akan berangkat Jumat siang dan baru pulang Minggu sore. Semua sudah diurus oleh panitia, termasuk pengajuan perubahan jadwal kalau ada mahasiswa yang praktikum di Jumat sore selepas Jumatan.

Di briefing ini kami diberitahu apa-apa saja yang perlu dibawa. Tidak banyak, hanya pakaian ganti yang cukup untuk menghangatkan tubuh, juga obat-obatan pribadi kalau ada yang memiliki sakit berat. Kami juga dibagi menjadi beberapa grup lagi, yang berbeda dengan grup saat ospek kemarin. Aku yang datang agak terlambat belum tahu siapa saja teman-temanku segrup, tapi tiba-tiba Anis mendatangiku.

“Hei Pran, kita segrup lagi lho.”

“Oh ya? Sama siapa aja?”

“Nih.”

Dia memberikan selembar kertas padaku. Ternyata Anis mencatat semuanya, termasuk apa yang harus kami bawa dan siapa saja teman-teman kami segrup. Jumlah grupnya ternyata sama seperti saat ospek, hanya anggotanya saja yang diacak lagi. Di grupku, ada 7 orang, 3 cowok dan 4 cewek. Dan beruntungnya karena aku datang terlambat, aku tidak ditunjuk menjadi ketua grup, hehehe.

Pada hari Jumat, sekitar jam setengah 2 siang aku sudah berada di selasar kampus, tempat berkumpul kami sebelum berangkat ke Kaliurang. Teman-temanku juga sudah berdatangan dengan barang bawaan mereka masing-masing. Nantinya kami para peserta akan diangkut dengan 2 buah bus kecil, sedangkan panitia kebanyakan berangkat dengan kendaraan pribadi, entah itu motor ataupun mobil.

Setelah semua berkumpul dan mendapat pengarahan singkat, akhirnya kami pun berangkat. Aku berada di bus kedua, duduk bersebalahan dengan temanku satu grup, Rizal. Aku dan Rizal sama-sama orang Jawa Timur, kota asal kami juga bertetangga, jadi omongan kami bisa lebih cepat nyambung daripada dengan yang lain.

Oh iya, aku dan Rizal ini dianggap kasar oleh teman-teman jurusanku yang kebanyakan orang asli Jogja. Kenapa? Karena bahasa sehari-hari kami yang cak-cuk cak-cuk. Bagi aku dan Rizal, itu adalah hal yang biasa, bahasa yang lumrah kami pakai dalam percakapan sehari-hari. Tapi rupanya hal itu disini masih dianggap terlalu kasar karena kesannya memaki. Tapi ya memang dasarnya kami kayak gini, jadi kami nggak terlalu peduli. Kami hanya mencoba untuk sebisa mungkin menahan kata-kata itu kalau ngobrol dengan orang lain, yaa meskipun kadang keceplosan juga sih.

Heh cuk, iki jik adoh yo? Kok suwi emen sih?” (Heh cuk, ini masih jauh ya? Kok lama amat sih?)

Rizal sepertinya merasa bosan dengan perjalanan ini, padahal belum ada 20 menit kami meninggalkan kampus. Tapi memang cukup jenuh juga sih, bus ini jalannya ‘terlalu sopan’ buat kami yang terbiasa dengan si legendary bus.

Wes cedak kok cuk, karek rong enggokan engkas, lagian iki kan munggah makane ketok alon. Nek mudhun lak yo karek ngglinding.” (Udah dekat kok cuk, tinggal 2 belokan lagi. Lagian kan ini naik, jadi kelihatan lambat. Kalau turun ya tinggal nggelinding.)

Aku asal aja menjawab. Lha aku sendiri juga belum tahu tempatnya dimana kok ditanyain seperti itu.

Dia kembali diam, tapi tak lama kemudian dia protes lagi kepadaku.

Lhoh cuk, jaremu rong enggokan? Iki wes 3 lho, kok rung tekan?” (Lhoh cuk, katamu 2 belokan? Ini udah 3 lho, kok belum sampai?)

Iyo cuk, rong enggokan, ngiwo karo nengen, hahaha.” (Iya cuk, 2 belokan, ngiri sama nganan, hahaha.)

Woo juancuk! Tak kiro rong enggokan tenanan!” (Woo juancuk! Kirain 2 belokan beneran!)

Lha emang bener tho cuk? Hahaha.” (Lha emang bener kan cuk? Hahaha)

Embuh! Taek!

Aku tertawa lebar, sedangkan Rizal nampak kesal. Sempat ku lirik temanku yang duduk di bangku sebelah, yang mendengar pembicaraan kami. Dia seperti antara menahan tawa dan juga risih mendengar bercandaan kami yang menurut mereka kasar itu. Aku sih nggak peduli, bodo amat. Tapi aku punya target, mereka harus terbiasa dengan percakapanku dengan Rizal ini, malah kalau bisa mengikuti, bukannya aku dan Rizal yang mengikuti gaya percakapan dan logat mereka, hahaha.

*****

Malam pertama berada di lokasi kami makrab, tidak ada hal spesial. Ya sesuai dengan namanya saja, malam keakraban, jadi kami para peserta mulai mengakrabkan diri dengan kakak-kakak senior. Selain panitia, cukup banyak juga senior lain yang datang ke acara ini. Dan tampaknya mereka ini orangnya baik-baik, asyik-asyik.

Beberapa orang senior yang akhirnya ku tahu mereka 2-3 tahun di atasku, ternyata adalah yang kemarin saat ospek menjadi anggota komdis. Padahal saat itu tampilan mereka cukup sangar, dengan suara lantangnya yang menggetarkan jiwa, dan bau mulutnya yang semerbak neraka. Tapi ternyata, aslinya jauh banget. Mereka kocak abis.

Acara malam ini juga diisi oleh presentasi dari ketua HMJ yang banyak menampilkan kegiatan di jurusanku. Cukup menarik, karena tidak hanya melulu di kelas, tapi cukup banyak kegiatan di luar ruangan, entah itu masih dalam lingkup kampus atau yang sampai keluar kota. Hmm, sepertinya memang kuliah disini tidak seburuk bayanganku dulu.

Keesokan harinya kami dibangunkan saat hari masih gelap. Bagi mereka yang rajin ibadah ya mereka melakukan kewajibannya itu. Bagi yang kurang rajin, kebanyakan berkumpul menyeduh kopi dan menikmati berbatang-batang rokok. Setelah itu acaranya adalah senam bersama. Haduh, rasanya sudah cukup lama tidak senam seperti ini. Kalau tidak salah terakhir adalah waktu masih SMA, saat ada pelajaran olahraga. Pelajaran dimana para siswa mesum memerdekakan mata mereka. Tapi sayangnya seperti yang pernah aku ceritakan sebelumnya, aku berada di kelas yang mayoritas siswanya adalah kutu buku. Mereka terlalu lurus, jadi yang memerdekakan mata saat pelajaran olahraga hanya 2, aku dan Fandi.

Tapi di senam pagi kali ini, aku tak terlalu menikmati kemerdekaan itu. Bukan karena tidak ada yang menarik, tapi aku masih ngantuk sekali. Aku jarang bangun sepagi ini, jadi meskipun tadi sudah dihantam kopi dan kepulan asap rokok, masih saja mataku enggan terbuka sempurna.

Selesai olahraga kami dipersilahkan mandi sebelum sarapan. Haduh, dingin sekali airnya. Mau nggak mandi, nggak enak juga. Akhirnya ku paksakan diri untuk mandi, menahan dinginnya air dan udara pagi itu.

“Lhoh Pran, mandi?” tanya temanku saat aku sudah selesai.

“Iya lah.”

“Nggak dingin po?”

“Dingin banget ini,” jawabku, masih dengan tubuh yang agak menggigil.

“Wah kalau gitu aku nggak usah mandi aja lah, lagian kan entar main games, mungkin basah-basahan juga. Entar aja sekalian mandinya.”

Diapun masuk ke kamar mandi, hanya untuk gosok gigi dan cuci muka. Dan ternyata kebanyakan temanku juga seperti waktu tahu betapa dinginya air pagi ini. Lhah kampret, terus ini kenapa aku mandi? Sok bersih banget. Mana beneran dingin lagi.

Acara di hari kedua ini memang kebanyakan kami melakukan berbagai permainan yang dibuat untuk melatih kekompakan dan kerja sama tim. Permainan masih di lakukan di area villa, karena villa ini memang memiliki halaman yang cukup luas. Seharian ini cukup menyenangkan juga, karena selain memang permainannya asyik, kami bisa jadi lebih dekat satu sama lain, minimal untuk satu grup dulu.

Malam harinya adalah acara api unggun. Di acara ini masing-masing kelompok peserta diminta untuk menampilkan kreasinya. Sebelumnya memang kami sudah diminta untuk membuat kreasi masing-masing dalam bentuk apapun, bisa berupa yel, drama, main musik atau apapun.

Kelompokku sendiri memutuskan untuk membawakan beberapa lagu yang kami aransemen ulang sendiri. Ada satu orang di kelompokku yang pintar main berbagai alat musik, tapi nggak cukup pintar untuk menyanyi. Dia yang memilih lagunya, dia yang mengaransemen ulang musiknya, lalu mengatur siapa yang bermain alat musik dan siapa yang menyanyi. Aku kebagian main gitar, meskipun sebenarnya nggak bisa-bisa amat. Sementara keempat cewek di kelompokku kebagian menyanyi.

Acara api unggun diakhiri dengan renungan. Kami diminta untuk duduk bersila memutari api unggun, lalu saling berpegangan tangan dengan teman di samping kiri dan kanan. Mata kami ditutup dengan menggunakan slayer. Kemudian ada satu orang dari panitia yang menjadi pembicaranya. Seorang cewek. Suaranya, wah empuk, adem, menenangkan sekali. Dia menyampaikan banyak hal yang cukup mengharukan. Ya intinya dari acara ini, seperti namanya, adalah perenungan. Si Mbak pembicara ini mengatakan hal-hal yang bisa membuat pendengarnya menangis.

Beberapa saat si Mbak pembicara ini memulai, aku bisa mendengar ada yang sudah mulai terisak. Mungkin karena mendengar itu juga, lama-lama makin banyak yang menangis, termasuk orang di sebelah kananku, yang itu adalah cowok. Shit!!! Cowok kok kayak gini doang nangis. Kayak gue dong, cowok tegar. Hahaha.

“Coba kalian bayangkan wajah kedua orang tua kalian. Wajah ibu yang telah mengorbankan nyawa untuk melahirkan kalian. Wajah ayah yang selalu bercucuran keringat mencari uang demi kalian.”

Lhoh lhoh, kampret ik. Bahas-bahas orang tua lagi. Stop Mbak, stop. Please!!!

“Ingat-ingatlah betapa sabarnya mereka menghadapi tingkah polah kita. Ingatlah nasehat-nasehat mereka saat kita nakal. Tahukah kalian mereka tetap tersenyum meskipun menahan lapar demi melihat kita semua kenyang?”

Udah Mbak, please jangan bahas yang kayak ginian.

“Masih ingatkah terakhir kali kalian mencium tangan mereka? Masih ingatkah terakhir kali kalian memeluk erat tubuh mereka? Mereka semakin menua, kulitnya makin keriput. Lalu apa yang sudah kita berikan untuk orang tua kita?”

Taek taek taek!!! Udahan Mbaaak, pertahananku udah hampir jebol ini.

“Bayangkan saat mereka sudah tidak ada. Bayangkan ketika kalian pulang, hanya bisa melihat foto mereka saja yang terpajang di dinding. Bayangkan tidak ada lagi belaian hangat mereka saat kalian kedinginan. Bayangkan tidak ada lagi senyum mereka saat kalian bersedih.”

Ini udah keterlaluan! Ini udah keterlaluan!!! Please, hentikan semua ini!!! Ya Tuhan, kirimkanlah hujan saat ini juga, biar acara ini cepat bubar.

Ku rasakan genggaman tangan dari teman di sebelah kananku semakin erat. Terdengar juga suara isak tangis semakin banyak. Wuasyuu!!! Kenapa aku disini??? Kenapa aku terjebak dalam situasi seperti ini??? Ini nggak adil!!! Wahai alam raya, tolong hentikan semua ini!!!

Suara si Mbak pembicara yang empuk di telinga tapi menusuk di hati itu terus terdengar. Macam-macam dia sampaikan, yang intinya masih membahas orang tua. Mau tak mau aku terbayang kedua orang tuaku di rumah. Teringat kembali pengorbanan, kesabaran, dan bagaimana mereka merawatku selama ini.

“Maka jika saat ini mereka masih ada, segera bulatkan lah tekad di hati kalian. Niatkan untuk membuat mereka bangga. Niatkan untuk membuat mereka bahagia. Jangan sampai air mata yang keluar dari mereka nantinya adalah air mata kecewa dan kesedihan. Tapi buatlah mereka mengeluarkan air mata haru dan bahagia.”

Ploooooohhhh...

Pertahananku akhirnya jebol juga. Di saat si Mbak pembicara itu mengakhiri orasi kampretnya, aku merasa slayer yang menutupi mataku sedikit basah.

Awas kamu Mbak! Aku nggak terima dengan semua ini! Aku akan mencarimu! Aku akan menuntut balas! Aku akan membuat perhitungan karena kamu telah membuatku mena...

Eh nggak kok, aku nggak nangis. Ini, hmm, ini cuma kelilipan. Iya bener, kelilipan. Kelilipan slayer.

Akhirnya acara kampret itu selesai juga. Aku membuka slayer penutup mataku. Ku perhatikan di sekitar, masih banyak orang menangis tersedu-sedu, terutama yang cewek. Yang lain, sebenarnya menangis juga, tapi berusaha sok tegar, kayak aku. Tapi anehnya orang yang ada di samping kiriku kok anteng-anteng aja ya? Ini acara udah selesai tapi dia masih enak banget duduk bersila tanpa melepas penutup matanya.

“Dim...” ku panggil, tapi tak ada sahutan. Kok mencurigakan ya?

“Dim, Dimas...” kembali ku panggil, kali ini dengan sedikit menggoyangkan badannya.

“Eh ada apa ada apa?”

Dia tergagap, kaget, lalu melepaskan slayer-nya. Dia melihat ke sekeliling dengan tatapan heran. Aku menatapnya, juga dengan tatapan heran.

Wes rampung tho Pran? Lho iki ngopo kok do nangis kabeh?” tanyanya dengan muka polos. Sumpah, ngeselin banget mukanya. (Udah kelar tho Pran? Lho ini kenapa kok pada nangis semua?)

Lha emang kowe mau nyapo ae?” (Lha emang kamu tadi ngapain aja?)

Aku keturon e Pran, ngantuk, hehehe.” (Aku ketiduran e Pran, ngantuk, hehehe.)

Juancuuuuukkk!!!

*****

Makianku semalam sempat membuat heboh. Mereka semua kaget kenapa tiba-tiba aku memaki Dimas seperti itu. Mereka pikir aku ada masalah sama dia, makanya cepat-cepat panitia melerai kami.

Lhah apanya yang dilerai? Berantem aja enggak.

Setelah ku jelaskan kenapa aku memaki sekeras itu, beberapa orang tertawa ngakak, beberapa lagi terutama panitia penanggung jawab acara, terlihat kesal kepada Dimas. Dimas sendiri? Dia sepertinya masih belum sadar sepenuhnya waktu itu, dan malah melongo nggak jelas, kayak orang bloon.

Pagi ini, setelah acara senam pagi, kami akan melakukan kegiatan terakhir dari rangkaian makrab ini, yaitu lintas alam. Jadi masing-masing kelompok didampingi oleh pemandunya, nanti diminta untuk menyusuri jalan-jalan yang sudah disiapkan oleh panitia. Jalan yang disiapkan bukan hanya di lingkungan ini saja, tapi juga sedikit masuk ke kawasan hutan di sekitar villa.

Panitia sudah menyiapkan banyak penunjuk jalan, tapi letaknya memang agak tersembunyi, dibutuhkan kejelian dan ketelitian untuk bisa menemukan tanda-tanda itu. Nantinya sepanjang perjalanan, akan ada beberapa pos. Di masing-masing pos itu nanti ada kakak-kakak senior yang berjaga. Mereka membawa petunjuk selanjutnya untuk meneruskan perjalanan. Tentunya untuk mendapat petunjuk itu kami harus melakukan beberapa hal sesuai yang diminta oleh mereka. Yaa, intinya kami harus siap dikerjai, itu saja.

Lintas alam ini akan dimulai dan diakhiri di villa ini. Setiap kelompok akan diberi jeda kurang lebih 15 menit. Hmm, ada 8 kelompok, jedanya 15 menit. Jadi perjalanan ini akan menempuh waktu lebih dari 2 jam, agar ketika kelompok pertama sampai, kelompok terakhir sudah berangkat. Wah lumayan jauh juga berarti.

Pemberangkatan ternyata tidak diurutkan berdasarkan nomer kelompok, tapi diundi lagi. Dan kelompokku mendapat giliran terakhir. Ah sialan, harus nunggu agak lama ini. Padahal kalau urut nomer kelompok, harusnya kami mendapat giliran ketiga. Tapi ya sudahlah, mau gimana lagi.

Saat kelompok pertama berangkat, 7 kelompok lainnya menunggu di dalam villa karena mulai dari start ini setiap kelompok sudah harus memecahkan petunjuk yang diberikan. Salah mengambil kesimpulan, artinya kalian salah mengambil jalan, dan itu akan sangat merepotkan.

Satu persatu kelompok dipanggil. Kami yang mendapat giliran terakhir bosan juga menunggunya. Gimana nggak, harus menunggu 2 jam lho. Akhirnya kami cuma ngobrol ngalor ngidul nggak jelas.

“Eh, diantara kalian bertiga, siapa yang bisa main bola atau futsal?” tanya Mas Dewa, yang tak lain adalah pemandu di kelompokku. Selain itu Mas Dewa di HMJ juga menjabat sebagai penanggung jawab bagian olahraga.

Aku dan kedua temanku yang cowok saling tatap.

“Yaa cuma bisa-bisaan sih Mas, tapi nggak jago-jago banget.”

“Ya udah, nanti kalau kita ada latihan kalian ikut aja ya? Di angkatanku orang yang bisa main bola dikit banget soalnya, jadi selama ini kalau tanding kita ngandelin orang-orang tua itu.”

‘Orang-orang tua’ yang dimaksud Mas Dewa adalah para senior, angkatan tua, bukan orang tua yang sesungguhnya.

“Emang sering ada tanding Mas?”

“Yaa nggak sering-sering juga sih, tergantung kita aja mau dijadwalin kayak gimana.”

“Ya udah deh, entar kami ikut, kabarin aja kalau mau ada latihan Mas.”

Kami masih terus membahas soal olahraga di kampus sampai akhirnya salah satu panitia memanggil kami.

“Kelompok terakhir, ayo bersiap.”

Aah akhirnya, penantian kami usai sudah. Kamipun bersiap di depan. Panitia yang berjaga disana memberikan kami sebuah amplop. Isinya kata-kata yang agak rumit untuk dipecahkan. Kami bertujuh sempat kebingungan juga. Sebenarnya jawabannya antara 2, mau ke kiri atau ke kanan. Tapi kalau sampai salah langkah, yaa gawat. Apalagi pemandu kelompoknya tidak mau membantu. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak diperbolehkan membantu.

Saat kami sedang bingung memecahkan kode itu, tiba-tiba dari arah belakang villa muncul satu kelompok. Lhoh, kok cepet banget mereka datangnya? Apa jalur yang dibuat panitia terlalu pendek? Tapi aku juga heran melihat wajah panitia yang sepertinya agak kebingungan.

“Kok kalian udah sampai sih? Kalian kan kelompok 5?”

Hah? Kelompok 5? Jangan-jangan...

“Iya Mbak, tadi kami salah ambil jalan. Harusnya kan ke kanan, kami malah ke kiri.”

Mendengar jawaban itu sontak membuat aku dan teman-teman kelompokku tersenyum lebar. Udah nggak perlu pusing-pusing mikirin lagi, kami udah dapat jawabannya. Ini namanya, bahagia di atas penderitaan orang lain. Hahaha.

Akhirnya kami berangkat, sedangkan kelompok yang kesasar tadi harus menunggu 15 menit lagi untuk diberangkatkan ulang. Dan ternyata benar, jalur yang seharusnya adalah lewat kanan karena sepanjang jalan aku menemukan beberapa tanda anak panah. Teman-temanku, kecuali Rizal, sering tak menyadari ada tanda itu, makanya aku yang disuruh jalan di depan karena menurut mereka aku lebih jeli.

Sebenarnya bukan aku lebih jeli sih. Dulu waktu SMA aku sering mengikuti kegiatan seperti ini, dan pernah jadi panitia yang bertugas memasang tanda juga. Jadi sedikit banyak aku tahu dimana kira-kira panitia ini memasang tanda-tanda itu.

Perjalanan kami terbilang cukup lancar karena kebetulan aku dan Rizal bisa menemukan tanda tersembunyi, terutama di jalan-jalan yang bercabang. Di pos-pos yang kami lalui juga lancar-lancar saja karena tugas yang diberikan tidak susah, dan petunjuk dalam amplop yang disiapkan juga lebih mudah untuk kami pecahkan.

Akhirnya setelah hampir 3 jam kami sampai juga di pintu belakang villa, dimana tadi kami melihat kelompok 5 datang. Disana kami disuruh berdiri berjejer. Ada beberapa bungkus plastik yang berisi air disitu.

“Wah taek!” makiku perlahan.

“Kenapa Pran?” tanya Anis yang ada di sebelahku.

“Lihat plastik-plastik itu?”

“Iya. Terus?”

“Ini kita mau perang air. Mereka ngasih amunisi kita cuma segitu, tapi mereka pasti punya amunisi yang lebih banyak lagi.”

“Kok kamu tahu Pran?”

“Aku dulu sering jadi panitia kayak gini. Dan sekarang, pasti juga nggak beda jauh.”

“Duuh, terus gimana dong?”

Aku lihat Anis sepertinya agak takut. Heran juga, kan cuma perang air, paling kerasa sakit kalau plastik yang dilemparin ke kita nggak pecah. Sisanya, yaa basah.

Oh iya, aku baru inget. Anis punya asma. Mending dia nggak usah ikut aja, daripada kenapa-napa.

“Mas,” ucapku mengacungkan tangan.

“Kenapa Pran?”

“Ini Anis kan punya asma, mending nggak usah ikut aja acara terakhir ini.”

“Oh iya bener. Ya udah, Anis geser aja kalau gitu.”

Anis malah terlihat kebingungan, tapi aku ikut menyuruhnya untuk menjauh agar tidak ikut perang air ini. Setelah Anis menjauh kamipun berdiri di depan tumpukan plastik berisi air yang sudah disiapkan.

“Oke, sepertinya kalian udah tahu ya kita mau ngapain?” tanya salah seorang panitia yang menjadi lawan kami.

Aku melirik Rizal, kami sama-sama tersenyum, bersiap-siap untuk menyerang. Aku sudah membidik satu orang untuk menjadi sasaranku. Lagian, karena Anis tidak ikut, aku jadi punya persediaan amunisi tambahan.

“Dalam hitungan ketiga ya. 1, 2, 3... seraaang!!!”

Aku langsung mengambil plastik-plastik yang ada di depanku. Tadi aku tidak maju menyerang, menunggu sambil menghindari lemparan mereka. Sukses. Tak satupun berhasil mengenaiku. Sekarang waktunya counter attack. Sasaran yang sudah ku bidik tadi kebetulan berada tak jauh dariku. Langsung saja ku lemparkan semua plastik yang sudah aku pegang ke arahnya. Dan tidak ada satupun yang melesat.

Tapi aku lengah. Aku terlalu senang karena rencanaku berhasil. Aku lupa, kalau aku dulu pernah melakukan kecurangan saat bermain seperti ini. Tiba-tiba dari arah belakangku...

Byuuurrr...

Tubuhku langsung basah kuyup, diiringi derai tawa dari semua orang yang ada disitu.

Juancuuuukk!!! Maaas, kok disiram seember sih!!!”

“Huahahahaha...”

*****

to be continue...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd