---&&&&&&---
“So you f*cked her that night.”
“No.”
“Hmm...Ok.. she f*cked you, right.”
“Nggak juga. Malam itu kita cuma ngobrol.”
“Oh, c’mon... I don’t believe you.”
“Bisa kuteruskan ceritanya?”
“Hmm, Ok. Silakan. Aku nggak akan memotong lagi,” katanya sambil menyeruput kopi panas di cangkir kemudian mendengarkanku kembali bercerita.
---&&&&&&---
Masih ingat bahwa sejak kuliah tingkat dua sampai ia lulus dan bekerja tak ada satupun teman Cie Stefany yang datang ke rumah, baik itu teman ceweknya maupun teman cowok yang ingin pdkt kepadanya? Nah, pada suatu sore saat tanggal merah, “rekor” yang telah berlangsung selama 3 tahun lebih itu akhirnya pecah. Hari itu tiba-tiba kakakku mengatakan ada orang yang akan datang menemuinya.
“Rico, nanti kalo ada yang datang nyariin aku, suruh masuk dan nunggu sebentar ya. Aku mau mandi dulu,” kakakku berkata.
“Memang siapa yang mau datang, Cie?” tanyaku dengan heran.
“Supervisorku di kantor. Namanya Angga. Dia mau kasih update soal kerjaan karena dia mesti cuti mendadak mulai besok.”
“Ok,” kataku tanpa banyak mikir.
Beberapa saat kemudian bel rumah berbunyi, membuatku keluar menemui tamu itu.
“Selamat sore. Stefany ada di rumah? Saya Angga, teman sekantornya,” katanya memperkenalkan diri.
“Oh.. iya, Cie Stefany tadi juga sudah bilang,” kataku sambil membuka pintu pagar.
“Silakan masuk, Mas.”
“Makasih. Kamu pasti adiknya Stefany ya?”
“Iya, saya Rico,” kataku sambil mengulurkan tanganku.
“Angga,” katanya sambil menjabat tanganku.
“Cie Stefany masih di dalam. Tapi dia sudah tahu kok. Silakan duduk dulu, Mas,” kataku setelah kami masuk, mempersilahkan ia duduk di sofa ruang tamu.
“Mas katanya supervisornya Cie Stefany di kantor ya?”
“Iya betul. Kebetulan saya baru dipindah bagian, jadi sekarang satu tim dengan Stefany.”
“Ooh, tapi sebelumnya sudah kenal ya?”
“Iya. Sejak hari pertama Stefany kerja sebenarnya. Karena memang saat itu ia diperkenalkan sebagai pegawai baru ke semua orang. Tapi waktu itu ya hanya kenal biasa tapi kita jarang bicara.”
Memang mudah dimengerti kalau orang yang berkenalan dengan kakakku, meski hanya berkenalan sekilas, akan ingat kepadanya. Apalagi bagi cowok yang relatif tergolong muda seperti dia. Dari caranya bercerita, adalah hal yang masuk akal bila ternyata ia yang sengaja meminta agar dipindah satu bagian dengan kakakku. Hmm, apapun kejadian sebenarnya di belakang, aku cukup yakin kalau sekarang ini ia telah kenal cukup dekat dengan kakakku.
Saat itu kakakku muncul. Ia memakai pakaian pergi yang biasa saja, mungkin termasuk “hambar” dibanding biasanya (bukan yang tergolong provokatif / sexy). Oleh karena kakakku telah muncul, aku meninggalkan mereka berdua. Sementara mereka berbicara di depan, aku duduk di ruang tengah sambil nonton TV. Tak terlalu lama Angga bertamu, sebelum akhirnya ia berpamitan dan pergi. Saat kusinggung, reaksi kakakku terhadap Angga biasa dan datar-datar saja.
Beberapa hari kemudian, kakakku diantar oleh Angga saat pulang kantor. Sebuah anomali dari kebiasaannya selama ini. Hal itu berulang beberapa kali dimana pagi dan sorenya ia dijemput dan diantar oleh cowok itu. Sementara ketika weekend, beberapa kali Angga mampir ke rumah untuk bertemu dengan kakakku.
Cie Stefany adalah orang yang sangat disiplin dan selalu konsisten. Namun kini ia bertindak beda dengan apa yang dilakukannya selama 3 tahun lebih. Hanya ada satu penjelasan logis untuk itu. Yaitu, ia sedang jatuh cinta!
“Omong-omong Angga orangnya gimana, Cie?” tanyaku saat kita sedang berada dalam suasana ngobrol santai.
“Dia orangnya baik. Sebagai atasan, sikapnya selama ini selalu reasonable.”
“Hmm, bukan itu maksudku. Secara personal gimana orangnya?”
“Ya ga gimana-gimana. Hubungan kita khan cuman urusan kerjaan,” jawabnya santai.
“Ah, you must be kidding, Cie,” kataku sambil tersenyum. “Menurutku hubungan kalian bukan sekedar rekan kerja. Juga bukan teman biasa atau teman baik sekalipun. Tapi lebih dari semua itu. Bahkan aku tak akan heran kalau ternyata selama ini kalian telah berpacaran,” kataku secara blak-blakan.
Raut wajah kakakku terlihat terkejut. “Kok lu bisa menduga begitu?”
“Ya... Banyak petunjuk ke arah situ.“
“Pertama, lu ijinin Angga datang ke rumah, tak hanya sekali dua kali tapi berkali-kali. Padahal selama tiga tahun lebih ga pernah ada cowok datang ke rumah. Orang sedisiplin dan sekonsisten Cie-cie melanggar kebiasaan yang telah lama berlangsung adalah tanda-tanda sedang jatuh cinta.”
“Kedua, lu orang yang cukup mandiri. Selama ini kalau ke tempat kerja selalu pergi dan nyetir sendiri. Kini telah berkali-kali Angga datang menjemput dan mengantar pulang. Rasanya lu ingin melepas kemandirian yang dilakukan selama ini dan mengikatkan diri dengannya.”
“Ketiga, dari sikap kalian berdua, cara kalian berinteraksi, semua itu jelas menunjukkan kalau hubungan yang ada lebih dari sekedar teman meski tak ditunjukkan secara eksplisit. Sebenarnya aku punya dugaan ini sejak dari awal ketika Angga pertama kali datang ke rumah. Jadi sebenarnya sekarang tak ada gunanya lagi untuk disembunyikan,” kataku dengan tenang.
Wajah kakakku terlihat agak tegang. Sesaat kemudian ia menghela nafas dan berkata,
“Ya, memang betul, Rico. Memang selama ini aku dan Angga pacaran.”
“Kalo aku boleh tahu, sejak kapan pacarannya, Cie?”
“Sudah hampir 2 bulan. Gak lama setelah lu balik dari Aussie. Selama itu kita pacaran secara diam-diam.”
“Memang kenapa? Sampai harus disembunyikan juga dari aku?” tanyaku.
“Ya... lu tahu sendiri khan. Angga itu... beda dengan keluarga kita. Beda dalam banyak hal. Terus terang aku ga tahu apa Papa, lu, dan keluarga kita bisa menerima hubunganku dengannya.”
“Ya aku tahu, Cie. Dia mungkin beda dalam beberapa hal dengan kita. Juga, umurnya agak lebih tua dibanding lu (Usia Angga sekitar 28-29 sementara kakakku 22 tahun). Tapi trus kenapa? Kalo lu memang mau sama dia..”
“Jadi buat lu ga masalah?”
“Sebenarnya aku sudah menduga, tak cuma tentang hubungan lu dan Angga tapi juga apa yang ada dalam pikiran lu, Cie. Itu sebabnya kenapa sekarang ini aku singgung hal ini. Karena aku mau bilang kalo aku dukung apapun yang lu lakukan.”
“Aku ga ada masalah sama sekali. Justru sebaliknya. Kalau lu memang suka sama dia atau cowok siapa pun, aku akan fully support hal itu. Apalagi kalo kulihat sepertinya Angga adalah cowok yang baik juga. Nah, kalo bicara tentang keluarga besar kita dan Papa, terus terang, mungkin awal-awalnya akan ada pertentangan. Tapi segala sesuatu khan bisa dibicarakan. Apalagi kalau lu sendiri memang mau sama dia. Bahkan aku akan bantu bicara dengan mereka. Tapi satu hal yang aku minta.... tolong berhentilah berpura-pura dan berbuat seolah aku anak kecil yang bisa dengan gampang dibodohi. Apabila itu dipenuhi, aku janji akan bantu support hubungan kalian.”
“Thank you, Rico!” kata kakakku dengan ekspresi penuh rasa terima kasih. Satu hal yang sangat jarang terjadi, bahkan baru kali ini ia bersikap seperti itu terhadapku.
Memang orang yang sedang jatuh cinta bisa melakukan hal-hal yang tak biasa dilakukan terlepas seberapa kuat dirinya, batinku.
---&&&&&&---
“Hmm, jadi dia betul-betul jatuh cinta dengan cowok itu.... Lalu bagaimana denganmu? Malam itu kau punya kesempatan bagus untuk bercinta dengannya namun kau sia-siakan itu. Padahal kau akui sendiri kalau dirimu juga tertarik dengan kakakmu. Dari ceritamu, aku percaya saat itu dia akan larut dengan kemauanmu... seandainya saja kau punya sedikit nyali untuk itu. Kini, tidakkah kau merasa jadi orang paling bodoh di dunia?” jengeknya.
“Dilihat dari sudut itu, kuakui mungkin aku termasuk bodoh. Namun aku juga percaya berlakunya hukum kesetimbangan di alam kita ini. Seperti air yang secara otomatis mengisi tempat kosong yang lebih rendah. Apabila kita berdua memang sama-sama mau dan situasi juga mendukung, maka hal-hal yang seharusnya terjadi akan terjadi secara otomatis tanpa harus bersusah payah. It will happen by itself effortlessly.”
“Ya, seperti kakakmu yang kemudian jatuh cinta lalu pacaran dengan cowok itu. Itukah yang kaumaksud?” jawabnya dengan sarkasme. “Yes! It will happen by itself effortlessly.... but for him, not for you. Sepertinya kau adalah orang yang terlalu banyak makan teori-teori canggih tapi hasilnya nihil. Kosong! Zero! Nol!”
Sesaat suasana hening. Sampai akhirnya ia merasa kalau usahanya untuk menggoyah emosiku tak berhasil. Lalu ia berkata,” Hmm... Ok, lanjutkan.”
---&&&&&&---