Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT OMG!! Kakakku Yang Cantik dan Sexy Itu Ternyata Seorang....

Ijin nyimak Hu. Moga suhu selalu dapat pencerahan jadi ceritanya top :semangat:
 
Saya memvonis saudara ts untuk melanjutkan cerita ini hingga tamat
 
ada kemungkinan incest kah suhu jagbar? atau mungkin si kakak yg benernya ada feeling juga ke adeknya?
 
moga ada mulustrasi, nama kakak nya :adek:

apa lagi kalau kakak nya yang high class amoy..***panya suka mesum dengan cowok low class..tukang bangunan, artis, pemain bola sepak dari lain ras (pribumi *maaf bukan rasis ya :p) yang badan kekar/hitam..kontol gede bersunat...menikmati amoy muda cantik :coli: :ampun:
 
:ngupil: ada yg liat sendal ane gx .... kayaknya kemaren ketinggalan di sini deh:D

waaah dag dig duk nih nunggu di emperan
:baca: baca dari awal ah
 
Not a fan of cuckold, but amoy always turn me on. Waiting for the updates, semoga ujungnya incest hahaha
 
“Siang Koh. Bisnis lancar?” beberapa anggota organisasi preman setempat tiba-tiba masuk ke dalam toko kami dan menghampiri Papaku yang duduk di belakang meja.
“Ya lumayanlah,” jawab Papa sambil mengeluarkan segepok uang dari laci meja.
“Makasih Koh,” kata mereka yang kemudian berjalan keluar.
“Koh, minta ini satu ya,” kata salah seorang.
Tanpa menunggu jawaban langsung diraih dan dibawanya satu kaleng cat warna krem.

Demikianlah kejadian rutin yang telah berlangsung lama. Setiap Jumat siang mereka selalu datang minta uang keamanan. Bagi pedagang / pengusaha kecil seperti Papaku ini, kepastian berusaha sangatlah penting. Untuk itu, ia tak segan mengeluarkan uang ekstra. Toh selama ini cuan yang ada masih mampu meng-cover itu semua. Suka tak suka, stigma “pedagang Cina” terlanjur kental dengan harta melimpah sehingga sering jadi sasaran permintaan sumbangan sana sini, baik yang resmi, semi resmi, atau uang keamanan seperti ini.

Keluarga kami bukanlah kelompok elit atau orang super kaya di kota kami. Namun kami termasuk kelompok menengah ataslah disini. Kami punya toko di jalan utama yang harga tanahnya sekarang cukup tinggi. Selain itu, kami tinggal di rumah yang cukup besar yang letaknya agak di pinggir kota. Sehari-harinya aku dan kakakku naik kendaraan antar jemput ke sekolah. Di rumah kami ada dua orang pembantu perempuan. Papa dan Mama bercerai saat kami masih agak kecil. Sesekali kami bertemu Mama yang telah menikah lagi dengan orang Singapura dan sekarang tinggal disana. Sementara sampai sekarang Papa tak menikah lagi.

Keluarga Papaku dulunya adalah orang yang kaya raya disini. Ayah dari kakekku adalah pedagang besar hasil bumi di jaman Belanda dan konon kabarnya adalah orang terkaya di kota ini. Namun sebagian hartanya dirampas ketika Jepang masuk. Ketika jaman proklamasi, ia adalah simpatisan kaum pejuang. Sejak dulu memang ia banyak berteman dengan semua golongan termasuk kalangan pejuang. Saat itu ia memiliki banyak rumah sepanjang jalan utama dan banyak dari rumah-rumah tersebut disumbangkan ke pemerintah setempat yang lalu dijadikan kantor pemerintahan dan markas militer.

Setelah meninggal, harta dan usaha dibagi ke anak-anaknya yang sebagian jatuh ke kakekku. Kalau menurut cerita yang kudengar, kakekku hanya mewarisi sebagian kecil saja sementara sebagian besar jatuh ke kakaknya yang paling sulung. Kini, toko yang sekarang dijadikan tempat usaha oleh Papa adalah sisa rumah yang diwariskan dulu.

Dulu waktu kecil aku sering mendengar kata-kata kakek,” Kondisi sekarang ini sebenarnya nggak jauh beda dengan jaman Belanda. Kalau dulu golongan pertama adalah orang-orang Belanda, golongan kedua adalah kita-kita ini orang Timur Asing, Arab, Yahudi dan dll, golongan ketiga adalah kelompok pribumi. Sekarang, golongan pertama adalah pejabat-pejabat pribumi yang berkuasa. Kita masih tetap menjadi golongan kedua. Golongan ketiga masih sama yaitu mayoritas orang-orang pribumi yang tidak mampu. Kita adalah golongan menengah yang tidak punya akar kuat ke bawah juga tak punya sandaran kuat ke atas. Seringkali kita jadi sasaran kebencian kalangan bawah. Sementara bagi orang kalangan atas, kita hanya dijadikan alat saja. Mereka membela kita selama kita ada manfaatnya. Disaat sudah tidak berguna lagi, mereka tak peduli dengan nasib kita. Oleh karena itu, supaya bisa eksis kita harus kuat secara ekonomi disamping membina hubungan baik dengan semua pihak. Apabila kita kekurangan maka kita tidak akan dihargai bahkan dihina oleh semua orang.”

Masa krusial bagi keluarga kami adalah saat tahun 60-an ketika paham komunis tumbuh berkembang di kota-kota kecil dan menengah, dan awal Orde baru. Karena saat itu keluarga kami diincar oleh kedua belah pihak.

Saat kaum komunis mendapat angin, mereka memusuhi orang-orang seperti kami yang dianggapnya kaum kapitalis. Selain itu juga mereka memusuhi banyak pemuka-pemuka desa yang memiliki tanah dan sawah luas yang beberapa diantaranya adalah relasi bisnis kakekku.

Setelah Orde Baru berkuasa, situasi berubah 180 derajat. Kaum komunis yang dulunya memburu jadi balik diburu. Pada jaman itu keluarga kami kembali dicurigai sebagai antek komunis karena ras kami sebagai orang-orang Tionghoa, meski mungkin ujung-ujungnya sebenarnya adalah urusan harta saja. Untungnya sebelumnya kakek menolong beberapa pemuka-pemuka desa yang cukup punya pengaruh saat mereka dulu dikejar-kejar kaum komunis. Dan kini mereka balik menolong kakek. Pada akhirnya keluarga besar kami tak pernah diganggu-ganggu lagi apalagi setelah kakek memberi sumbangan sukarela kepada penguasa setempat.

Jaman akan selalu berubah. Demikian pula dengan peruntungan kita. Hal itu terjadi pada keluarga kami. Sejak dari masa ayah kakekku sampai ke ayahku sekarang ini, boleh dikata terjadi trend yang menurun bagi peruntungan ekonomi keluarga kami. Kakekku bisa dibilang termasuk cukup kaya, namun kalah jauh dibanding ayahnya. Demikian pula dengan ayahku yang cukup lumayan namun beda level dibandingkan kakekku. Belakangan, dengan jaman yang serba digital dan online serta adanya perubahan lalu lintas di jalan tempat toko kami, usaha toko konvensional Papa semakin lama semakin menurun. Hal ini sangat mengubah gaya hidup keluarga kami.

“Koh, mana uang setorannya!” beberapa orang anggota organisasi preman yang sama masuk ke dalam toko dan berbicara dengan nada setengah membentak kepada Papaku yang duduk di belakang meja. Sikap mereka kini jauh berbeda dibanding dulu ketika kami membayar secara rutin.
“Jangan bilang bisnis sepi lagi ya Koh. Itu bukan urusan kita.”
“Wah tapi memang bisnis belakangan ini sepi banget. Hari ini aja ga ada satu pun orang beli.”
“Kita ga mau tahu!” kata pimpinannya sambil menggebrak meja.
“Pokoknya mana uangnya!”
“Ok,” jawab Papa sambil pasrah. Lalu dikeluarkannya segepok uang dari lacinya.
“Lho apa-apaan ini! Masa jumlahnya cuman segini! Engkoh jangan main-main dengan kelompok kami ya!”
“Memang saat ini adanya cuman segitu. Lihat nih, ga ada duit sama sekali, cuman recehan,” kata Papa sambil membuka lebar lacinya.
“Khan bisa ambil duit dari ATM. Atau Engkoh pengin kita obrak-abrik tempat ini!”
“Atau... kita gebukin anakmu itu,” kata yang lain sambil menunjuk tangannya ke arahku. Aku yang saat itu berumur 14 tahun sungguh ketakutan.
“Hahahaha... kayaknya anakmu ini penakut ya. Ayo kamu berani ga berkelahi,” kata salah seorang menantang dengan tatapan mengejek ke arahku.
“Pasti ga berani lah. Wong tampangnya kayak banci penakut gitu.”
“Hahahaha..”

Saat itu terjadilah hal yang tak kami harapkan. Karena tiba-tiba kakakku muncul dari dalam. Rupanya ia tak sadar adanya kehadiran orang-orang itu disini.
“Eh, liat tuh.”
“Wow!”
“Suitt.. suitt.”
“Stefany, kamu masuk!” kata Papa.

Namun terlambat!
Salah seorang dari mereka telah berjalan mendekati kakakku.
“Ini anaknya ya Koh? Wah ternyata cantik juga ya anaknya. Heheheh.”
“Bodinya sexy lagi.”
“Dan dadanya montok.”
“Hahahaha,” mereka berlima tertawa terbahak-bahak. Mata mereka berlima menatap sekujur tubuh kakakku seperti menelanjanginya.

Saat itu kakakku memakai pakaian yang biasa saja sebenarnya. Celana selutut dan baju kaos biasa. Namun memang wajahnya yang cantik dan kulitnya yang putih tak dapat ditiadakan daya tariknya. Juga kaosnya, meski tak terlalu ketat namun tak dapat menyembunyikan payudaranya yang memang lumayan berisi. Tentunya hal ini membuat orang-orang yang sebenarnya berjiwa bejat itu jadi semakin liar.

Saat itu kakakku (baru) berusia 17 tahun. Aku ingat persis karena itu saat liburan kenaikan kelas. Oleh karena itu siang itu kami berada di toko. Sementara mereka usianya sekitar pertengahan dua puluhan bahkan mungkin ada yang hampir tiga puluh tahun.

Namun kakakku tak terlihat takut. Bahkan ketika orang yang mendekatinya itu akan meraba pipinya, dengan cepat ia menyibakkan tangan orang itu. Seolah tak sudi orang itu menjamah dirinya.
“Aduh cantiknya dan mulusnya...”.
Plakkk! Belum sampai tangan iseng itu menyentuh wajah kakakku, telah tersibak oleh tangan kakakku yang menampelnya dengan sekuat tenaga.
“Eh, kurang ajar kamu yah. Berani melawan!” tatapnya dengan pandangan marah. Membuat jantungku seketika berdegup keras. Karena kemungkinan terburuk dapat terjadi.
“Aku telanjangi disini baru tau rasa kamu!” hardik orang itu.
“Pingin diperkosa kamu yah didepan ayah dan adikmu!” tambahnya lagi sambil memandang dada kakakku sebelum menatap matanya lagi.
Orang itu terlihat marah sekali. Matanya melotot seolah ingin menerkamnya.
Sementara kakakku juga tak terlihat takut. Ditatapnya balik orang itu dengan muka marah.
Untungnya, meskipun terlihat sangat marah, orang itu tak melakukan ancamannya atau melakukan sesuatu.

“Mas, tenang Mas. Ini khan masalah uang setoran. Kok jadinya mas mengancam putri saya yang masih anak-anak,” kata Papa yang di saat kritis maju dan menengahi.
“Stefany, kamu masuk dulu,” katanya ke kakakku yang segera dituruti olehnya.

Sementara itu keributan ini rupanya mengundang perhatian orang di luar. Terlihat sejumlah orang menonton namun tak ada satupun yang masuk ke dalam atau berani ikut campur.

Entah karena merasa tak enak atau mungkin karena dilihat banyak orang, akhirnya mereka jadi agak melunak.
“Baiklah Koh, untuk minggu ini sementara segini cukup,” kata pemimpinnya sambil meraih uang itu.
“Tapi minggu depan setorannya harus dobel. Ingat itu! Dan awas! Jangan berani macam-macam kalau ga ingin sesuatu terjadi kepada anak-anak Engkoh!” ancamnya.
“Kita tahu dimana rumah Engkoh. Juga dimana sekolah anak-anak Engkoh. Jangan sampai anak gadis Engkoh tahu-tahu disakiti orang,” tambahnya lagi.
“Minggu depan kalau ga bisa bayar, kita telanjangi aja anak gadisnya di tengah jalan biar dilihat oleh semua orang!”
“Mending kita perkosa aja rame-rame. Lumayan tuh nyicipin anak juragan Cina.”
“Hahahaha....”

“Yuk, kita cabut,” kata pemimpinnya.
“Minggu depan anakmu tak encuk*!” kata laki-laki yang merusaha menjamah kakakku tadi sambil mengangkat jari tengahnya.
Lalu ia melakukan gerakan memaju-mundurkan pinggangnya seperti sedang menggagahi wanita dengan senyum mengejek ke arah Papa.
“Hahahahaha,” teman-temannya tertawa melihat tindakan dan ekspresi wajahnya.
(*encuk = disetubuhi, tak encuk artinya aku setubuhi)

Brakkk!!! Sambil berjalan keluar mereka mengayunkan tangannya sehingga barang-barang yang dipajang di etalase banyak yang jatuh berantakan.

Itulah kejadian enam tahun lalu dan penyebab kami secara mendadak dikirim ke ibukota.
Mungkin mereka hanya melakukan gertak sambal. Namun Papa tak ingin mengambil resiko terutama ancaman terhadap kakakku mengingat fatalnya konsekuensinya apabila sungguh terjadi.
Dua hari setelah itu, hari Minggunya aku dan kakakku meninggalkan kota kami dan menjejakkan kaki di ibukota yang amat asing bagi kami.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd