#GAHtH
Dengan hormat, kepada Thread Stater @volnut dan juga Dewan Juri @rosie, @XocoatlDag, dan @superfly, izinkan awam ini untuk menuliskan seutas hikayat yang mungkin terlalu panjang untuk dibaca. Ini adalah tentang keteguhan dan keputusan hati; tentang bagaimana awam bisa mencintai sosok yang selalu memberikan kebahagiaan, tanpa mengharapkan sebuah balas. Ini sedikit kisah tentang bagaimana bahagia itu tidak hadir begitu saja, selalu ada penghalang besar yang menghadang. Selamat membaca, semoga bisa menjadi inspirasi bagi teman-teman semua.
PILIHAN HATI
Hati adalah interpretasi instrumen perasaan, membalut segala selesa di atas gundah yang beralaskan keraguan dan kesedihan; bersenandung di antara semara dan khisit yang silih berganti mewarnai wajah sang asa, selalu berubah seraya masa membawanya serta.
Bahagia merupakan keniscayaan bagi hati yang menginginkannya; ia tinggal seutas frasa tanpa makna ketika awam hanya berlumuran retorika sumbang, tanpa pernah berusaha dengan susah payah untuk menggapainya. Ia hanyalah omong kosong bagi insan yang hanya berteriak, bagai tong kosong, namun tidak pernah paham bagaimana fasa itu dapat terbentuk.
Pada akhirnya, hanya jiwa yang rela berkorban dengan peluh keikhlasan akan meneguk lezatnya bahagia. Apapun bentuknya, cinta dan bahagia merupakan sebuah hubungan penuh korelasi dengan konstanta tetap dan mengikuti variabel dari instrumen perasaan yang akan menciptakan harmoni tersendiri bagi yang menikmatinya.
Cinta adalah alunan melodi, berorkestra dengan nada mayor bagi siapapun yang menikmatinya. Namun, tidak jarang juga insan yang menyalahkan dengan minor alunan harmoni semara tersebut, membungkusnya dengan penuh resan, menyalahkan tiap-tiap bahasa kalbu dengan penuh murka.
Karena sejatinya cinta tidak pernah menyakiti, ia selalu membahagiakan. Sosoknya tidak pernah meminta balasan, sekalipun hati menginginkan. Ia adalah tentang ketulusan, di mana apa yang diberikan jangan sekalipun berharap untuk dikembalikan.
Cinta memiliki sifat derivatif, semakin menjauh dari cahayanya, semakin sulit juga untuk menggapai frasa bahagia. Apabila awam sudah menuntut sesuatu atas nama cinta, katakanlah selamat tinggal kepada semesta bahagia, tidak akan pernah terengkuh nikmatnya bagi siapapun yang meminta balas.
Apabila engkau belum bahagia, tapi merasa mencinta, bisa jadi apa yang dirasakan hanyalah resonansi semara, asa itu belum mencapai sebuah kedigdayaan hati untuk menerima nada mayor yang seharusnya terasa bergetar di dada.
Cintailah orang yang engkau cintai, berikan apa yang ia inginkan tanpa diminta terlebih dahulu. Cinta adalah perkara membahagiakan, bukan dibahagiakan.
Setidaknya, itu yang aku percaya.
*****
Bandung, Mei 2012.
Jok K1 0 02 ini terasa begitu nyaman menopang raga, indra pun seolah tak mengacuhkan segenap hiruk pikuk, menggelayuti seisi kabin gerbong yang telah dipenuhi insan untuk mentransposisikan raga mereka ke tempat tujuan sama; destinasi dengan miliaran kenangan, tak terhitung banyaknya tawa bahagia yang terhela di setiap sudutnya.
Tambatan yang tidak akan pernah luput dari tiap jengkal imajinya, memberikan kehangatan, selalu terkecap indah di segenap asa ini. Kota yang akan selalu menjadi pengalaman terindah dalam perjalanan hidup, hingga akhirnya harus diputuskan kepada siapa hati ini akan berlabuh.
Kuhela napas panjang seraya memandang ke arah peron, gugusan manusia tampak lalu lalang sekadar mencari tempat untuk mendaratkan tubuh mereka, sebagian lagi begitu sibuk melihat tiketnya dan berjalan tergopoh mengejar rangkaian kereta yang siap untuk berangkat beberapa saat lagi.
Seraya nada keberangkatan mengudara di seluruh stasiun, peluit panjang Semboyan 41 menyambut mesra isyarat Semboyan 40 terlontar dari lambaian petugas PPKA yang berdiri tidak jauh dari posisi raga ini. Sontak gema Semboyan 35 langsung menelusup melalui sela-sela jendela
tempered glass yang memisahkan seluruh insan di dalamnya dengan dunia luar.
Terlihat jelas, Semboyan 5 menyala dengan angkuh, mengusir lekas-lekas rangkaian kereta yang dipimpin oleh keperkasaan mesin General Electric 7FDL-8, mentranslasikan seluruh energi kinetik sebesar satu-juta-lima-ratus-ribu-Watt melalui generator GE GT601; mentransmisikan seluruh energi listrik ke empat motor traksi GE 761; menghasilkan
tractive effort sebesar dua-puluh-enam-ribu-sembilan-ratus-kilogram; menarik seluruh pengikutnya di atas rel dengan
gauge 1.067 mm; meninggalkan gagahnya Stasiun Gambir untuk menuju tujuan akhir.
*****
Hampir tiga-jam masa tertempuh, hingga akhirnya sendi-sendi yang menopang tubuh baja ini bereaksi dengan dekapan
static brake WABCO 26L, dibarengi dengan
dynamic brake lokomotif besutan General Electric, menghentikan tepat di muka Semboyan 7 yang galak menyetop kedigdayaan lajunya.
Bandung ±709, tertulis dalam huruf kapital dengan latar biru, terlihat di sudut lain stasiun ini.
Kubiarkan seluruh insan yang sibuk dengan barang bawaan mereka untuk menghempaskan raganya terlebih dahulu; menikmati saat-saat tenang di mana hanya ada suara mesin diesel, berasal dari lokomotif yang tidak jauh dari perimeter raga ini.
“Kak Alfa gak turun?” suara itu lalu terdengar begitu dekat dengan indra ini.
“Nisa,” ujarku pelan, tentunya dengan penuh keheranan, “kamu bukannya off ya hari ini?”
Ia tersenyum seraya menghempaskan tubuhnya di atas jok kosong di sebelahku, “lagi pengen ke Bandung aja Kak.”
“Oh, jadi semalem tanya-tanya sedetail itu karena pengen ngekor?”
Annisa, sosok wanita berambut lurus dengan panjang sepunggung ini menorehnya senyuman tulus, jemarinya bahkan tanpa sungkan memagut tanganku, terlihat kontras di bawah kulitnya yang begitu bersih, “ayuk atuh Kak, ngapain lama-lama di kereta?”
Kubalas senyumnya, seraya dianggukan kepala ini, “emang mau ikut ke tempatnya Asya?”
Seketika air mukanya berubah, senyuman yang sedari tadi menghiasi bibir merah mudanya sirna, digantikan dengan pandangan nanar, menyuratkan segenap asa terendap di dalam dadanya.
Pagutan jemarinya semakin erat, bahkan terasa begitu bergetar menembus ke tulang, menyiratkan semesta harap yang terhenti dalam helaan napas berat, terdengar begitu memilukan bagi siapapun. Bahkan ia tetap bergeming di atas haribaannya, tetap menanti raga ini untuk memimpin langkah.
Hening.
Lisan kami terkunci dalam buntunya frasa yang semakin menenggelamkan jiwa ini dalam rasa bersalah, membucah seraya meneriakkan syair pilu dalam dada.
Entahlah, apa yang yang telah kuperbuat; begitu banyak harapan tercurah kepada para pemilik hati yang percaya bahwa awam ini bisa membahagiakan mereka, padahal hanya satu hati yang selalu kutunjuk sedari awal hikayat semara ini.
“Makasih loh Kak,” ujarnya memecah keheningan, “kalo bukan karena Kak Alfa, mungkin aku udah bunuh diri gara-gara mantanku.”
Kuhela napas, seraya memandang ke arah wajah cantik Annisa, wanita yang berprofesi sebagai
stewardess rangkaian kereta relasi Jakarta Gambir – Bandung ini, “aku justru ngebuat kamu semakin rusak, Nis.”
Ia menggelengkan cepat kepalanya, “enggak enggak, justru karena kenal sama Kak Alfa, aku bisa dapetin semua kebahagiaan yang aku gak pernah pikir ada sebelumnya.”
“Gimana bisa?” tanyaku, penuh heran.
Helaan napasnya terdengar berat, “aku tahu, mungkin aku gak akan bisa menang dari Asya,” pagutan jemarinya terasa semakin kuat, “tapi seenggaknya aku bisa tahu rasanya bahagia secara seksual Kak.”
Deg!
Sakit rasanya mendengar frasa itu terlontar dari lisannya. Tidak bagi siapapun bisa menyangka wanita secantik Annisa, yang bisa mendapatkan laki-laki manapun diingkannya, malah mendaratkan segenap kepercayaan bersama bias harapan kepadaku, orang yang hanya kenal dengannya ketika raga ini sering berpindah dari Jakarta menuju Bandung.
“Tapi Nis,” ujarku cepat.
Telunjuk kiri wanita itu langsung mendarat di atas sepasang bibirku, “apapun pilihan kakak, aku tetep bahagia, dan aku gak nyesel udah ngabisin banyak orgasme bareng kakak.”
Deg!
Sesak rasanya dada ini, bahkan bernapas saja rasanya sulit, lebih-lebih melontarkan frasa untuk menyanggah apa yang dikatakannya. Tidak kuasa rasanya lisan ini mengalunkan kalimat apapun, bagaimanapun awam ini telah bersalah, memanfaatkan besar cinta seorang Annisa hingga ia tidak dapat melarikan diri dari jerat yang telah menjebaknya.
“Udah deh kakak,” ujarnya manja, “turun yuk, katanya mau ketemu sama Asya.”
*****
Hati ini tengah berada di sebuah simpang penuh bimbang, meskipun satu lajur utamanya telah terbentuk dengan tujuan begitu jelas, namun raga telah terjebak dalam lezat buai syahwat di antara wanita yang rela dijamah oleh bejatnya berahiku.
Kuhela napas begitu panjang, seraya memimpin langkah untuk meninggalkan stasiun ini bersama dengan pagutan hangat Annisa yang saat ini setia mengikuti ke mana langkah ini membawanya.
Sebuah kendaraan
hatchback B-Segment besutan Minato bermesin L15A berwarna
Polished Metal Metallic adalah tujuan akhir kami; seorang wanita bahkan sudah menunggu di dalamnya, ia tampak begitu heran tatkala raga sudah berada di perimeter indranya.
“Alfa?” tanyanya sekejap setelah turun dari kabin pengemudi, “sa-sama siapa?”
Kulemparkan senyum, terasa mengambang sebelum melemparkan ekor mata ke arah Annisa, “namanya Annisa.”
Kedua wanita itu saling beradu pandang, masing-masing menatap dengan penuh keheranan. Tampak ada pertanyaan besar yang mengakar di dalam kepala mereka, menciptakan kebisuan di antara canggungnya bahasa tubuh indah mereka.
“Karena kalian saling diem, biar aku yang mulai,” ujarku seraya menghampiri wanita ini lebih dekat.
“Ini Annisa, stewardess Argo Parahyangan. Pertama kali aku ketemu dia itu sekitar dua tahun yang lalu, pas Argo Gede ngelebur sama Parahyangan, dan di sana pertama kali aku ketemu sama Annisa.
“Dulu, aku disangka ngikutin dia dari belakang karena pas banget ke Bandung malem-malem dan kereta sampe di sini juga pastinya malem. Padahal sama sekali gak pernah kepikiran buat kenal, apalagi sampe deket sama dia. Waktu itu bener-bener karena jalan keluarnya cuma satu.
“Aku inget pernah ditampar, untungnya gak diteriakin maling sama dia,” kisahku seraya tersenyum kepada Annisa.
“Terus,” ujarku lagi, seraya memandang ke arah Annisa, “ini Alita.”
“Agak susah aku jelasinnya, tapi kita dulu satu SMA. Kebetulan Alita ini masih sepupuan sama Asya, dan dia di sini emang diminta Asya buat jemput aku. Mungkin, dia kaget ngeliat kamu tiba-tiba muncul bareng sama aku.
“Alita ini lebih dari sekadar terbaik aku, kita kenal udah dari 2004, dan mungkin salah satu orang yang paham aku. Mungkin kamu pernah denger cerita tentang Alita, yang sering aku ceritain pas kita di atas kereta, dan ini adalah orangnya.”
Annisa seketika melihat Alita dengan begitu takjub, tidak ada frasa yang mampu terucap dari lisannya, kecuali pandangan yang semakin lama terlihat nanar tatkala senyum simpul dilontarkan Alita kepadanya.
“Ja-jadi,” ujar Annisa terbata, “ini Alita yang sering Kak Alfa ceritain?”
Kuanggukkan kepala ini pelan, “yaudah, sekarang udah saling kenal kan, kita langsung jalan ke Lembang aja, kasian Asya udah nungguin.”
*****
Suasana sore ini cukup syahdu, menelisik di antara hangatnya lembayung senja dan sejuknya dekap kota ini, mengisahkan untaian imaji yang tak ada habis-habisnya di lahap oleh masa, berkejaran tanpa sedikitpun menoleh ke arah belakang.
Kulajukan kendaraan ini begitu santai, tidak seperti biasanya, membuat Alita terus bertanya-tanya, mengapa raga ini memilih untuk berjalan begitu lambat di antara hiruk-pikuk Ibukota Jawa Barat yang mulai dipadati oleh kendaraan pada masa transisi hari.
Emosiku terus berderai seraya dengan sang waktu, meninggalkan segenap rasa indah yang terkecap namun harus segera kutinggalkan. Cinta ini begitu sakit terasa ketika canda dan tawa itu akhirnya harus berubah menjadi isakan penuh simfoni minor yang memilukan. Aku harus siap untuk meninggalkan ini semua, bukan untuk diriku, namun untuk kebaikan mereka.
Kelabu mulai menggantikan jingga, pertanda Sang Sol sudah turun dari takhta langit, perlahan meninggalkan semburat kehangatan yang sirna bersama dengan naiknya Sang Luna untuk menggantikan kedigdayaannya. Semua terus bergulir, disadari atau tidak, disukai atau tidak, diinginkan atau tidak.
Meninggalkan hangat yang tak lekas pergi walaupun embusan angin telah membawanya serta.
Begitupun dengan kisah berahi dibalut semara ini, tetap harus sirna dan hilang.
Meskipun akan tetap meninggalkan hangat, yang selalu bisa menjadi luka.
Entah dari mana aku dapat memulai ini, tetapi semua hati suci mereka telah terjebak oleh permainan logika yang kubuat, memenjarakan ketulusan hati mereka dengan syahwat, dan membuat mereka begitu ketergantungan kepada asa ini.
Bukan tanpa sebab, Kakek pernah berkata bahwa, perlakukanlah semua wanita seperti engkau memperlakukan seorang ratu, disukai atau tidak, mereka akan menjadi ratu di hatimu kelak. Dan setelah dilakukan, apa yang menjadi wasiat beliau sontak menjadi kenyataan.
Sudah banyak hati tersakiti oleh ketidaktegasan asa.
Sudah banyak asa terluka oleh keraguan jiwa.
Sudah banyak jiwa teriris oleh ketamakam logika.
Semua itu adalah alpa dari hamba, insan yang harusnya bertanggung jawab menjaga keindahannya, bukan malah menikmati dalam bingkai salahnya perayaan cinta; menjebak hati dalam samudera berahi yang terus menenggelamkan asa suci mereka.
Kuhela napas begitu panjang sejalan dengan eskalasi tertempuh oleh kendaraan bertenaga delapan-puluh-delapan-ribu-Watt yang disalurkan ke dua roda depannya, dilahap dengan terseok oleh keempat Bridgestone Turanza berukuran 185/55 R16 ini.
Seketika semua kenangan tentang mereka bergulir cepat, mengisi kepalaku dengan keindahan yang tiada bisa tertampik. Segala kelezatan yang terus terkecap tanpa pernah disanggah seolah semakin membawaku ke semesta berahi tanpa batas.
Tanpa dipungkiri, keindahan mereka sudah di ambang batas saat manusia dapat bertahan dengan godaannya. Gravitasi ini begitu kuat menarik asa untuk bergerumul dalam pergolakan hasrat yang memimpin segalanya menuju keagungan supernova; semakin memperkaya khazanah syahwat yang membuatku tidak dapat lagi lepas dari cengkeramannya.
Annisa Dahlia.
Stewardess kereta api Argo Parahyangan, tempat ragaku selalu bersemayam setiap Selasa, Kamis, Sabtu, dan Ahad; moda yang digunakan untuk mengantarkan keindahan untuk Annastasia walau hanya sekejap mata.
Bagaimana aku bisa menolak keindahan yang selalu ditawarkan di atas senyum manis, berhiaskan gerak tubuh gemulai, bersamaa dengan indah gerai rambut hitam panjangnya; tidak ada satupun mata yang sanggup menampik sekadar ucapan wanita ini tatkala ia sedang berbicara dengan penumpang kereta, setidaknya itu yang terlihat dua tahun terakhir.
Kedekatan kami lebih dari sekadar hanya teman curhat, awalnya hanya hikayat percintaannya, lengkap dengan alunan nada minor tentang kekecewaan karena lelaki yang merenggut bunganya, tidak sama sekali memberikannya supernova yang selalu didambakan tiap kaum hawa.
Kami semakin dekat, hingga akhirnya pada suatu malam, di satu sudut kota tatkala cuaca penuh derai hujan yang membahasi tanah Parahyangan, Annisa mencumbuku, mengajak dengan penuh syahwat yang membuncah, dan akhirnya perayaan cinta salah itu pun terjadi.
Namun Annisa tertawa, air mukanya penuh dengan kebahagiaan, layaknya menemukan air di padang pasir, menuntaskan segenap dahaga yang terendap di sanubari syahwatnya. Ia bahkan mendekap raga ini erat-erat, sangat erat dalam waktu yang lama, seolah tiada rela melepaskan untuk hati lainnya.
Terhitung sudah satu tahun, kami saling bertukar syahwat, meskipun tidak pernah satupun kugenangkan benih di rahimnya, tapi tetap apapun itu bukanlah satu pembenaran atas salahnya perayaan cinta yang dilakukan. Dan selama dua-belas-bulan itu pula, Annisa memutuskan untuk tidak mencari tambatan hati selain diriku.
Alita Nabila.
Seorang sahabat, aku mengenalkan sedari usia yang amat belia. Masa di mana tiada cinta yang berarti, karena sudah ada pelabuhan untuk hati. Namun, ia selalu menunjukkan betapa cinta yang ia miliki begitu istimewa, sampai rela melakukan apapun agar asa ini hanya menunjuk kepadanya.
Alpa demi alpa terus tergulir seraya ia mencoba untuk mengusir satu-satunya gadis yang selalu menjadi pusat dari segala asaku. Awalnya, awam begitu keras menghukumnya, namun semakin lama, ia semakin destruktif, sehingga dicobalah pendekatan lain yang lebih lembut.
Ia adalah mahasiswi kedokteran yang sedang menjalani pendidikan profesi dan menjadi
co-ass di salah satu rumah sakit di kota ini. Tentunya mudah baginya untuk sekadar bertemu memenuhi undangan Annastasia.
Kehangatan yang ditawarkannya juga tidak kalah hebatnya, di antara ikatan emosi mengakar berasama lajunya sang masa, sedetikpun aku tidak kuasa menampik segala keelokannya; aku tenggelam di dalam ketidaktegasan hati untuk menerima itu semua.
Lamunanku tentang kedua wanita ini terus mengalun seraya laju kendaraan ini semakin dekat ke tujuan akhirnya. Hiruk pikuk Lembang mulai terasa ketika kami sudah memasuki pusat kotanya. Perjalanan yang sedari tadi lancar kini berangsur melambat.
Ah, mega begitu indah bertumpuk di antara langit kelabu, masih setia bertengger walaupun langit telah berpindah kuasa. Semua semakin terlihat sempurna tatkala mekanisme
rack-and-pinion yang dilengkapi dengan
servo mengarahkan rodanya menuju sebuah rumah.
Kuhela napas panjang tatkala keempat cakramnya didekap erat oleh kampas rem, menghentikan dengan sempurna kendaraan ini, meninggalkan mesin dengan konfigurasi empat-silinder-segaris yang masih menyala dalam kecepatan langsam.
Rumah ini begitu penuh kenangan bersama suka cita yang terukir jelas di setiap jengkal dindingnya. Gelak tawa dan kelakar itu seolah masih terdengar jelas ketika imajinya terus membayangi kepala dengan gugusan kenangan yang terus terputar.
“Fa?” tanya Alita pelan, “kenapa gak turun?”
Sekali lagi kuhela napas ini, “duluan aja Lit, ajak Nisa sekalian.”
“Kenapa Kak?” sahut Annisa seraya memajukan tubuhnya di antara jok depan.
Kugelengkan kepala pelan, “hari ini jelas bukan hari yang kalian suka, ataupun kalian tunggu. Apalagi semua orang udah tau apa yang akan aku pilih kan?”
Hening.
Hanya sayup terdengar suara mesin yang disusun dalam ordo transversal terus memainkan melodi langsam, menulusup ke indraku di antara terkuncinya lisan indah mereka. Emosi keduanya terasa begitu kentara menembus kulit ini, mentranslasikan segenap harapan dibalut oleh kecewa, karena mereka bukanlah sosok yang tertunjuk selama ini.
Sejurus, seorang wanita berambut panjang bergelombang dengan tubuh jam pasirnya yang begitu indah menuju ke arah kami. Torehan senyum indah di atas sepasang bibir merah muda alami sensualnya seolah menyambut segenap asa yang sedari tadi terkonstelasi hanya untuk malam ini.
Diandra Ardhita.
Ia adalah sahabat terbaik, wanita yang lebih mengertiku ketimbang Alita, aku sudah mengenalnya sedari usia tujuh tahun. Sudah banyak kenangan tercipta di antara hati kami, bahkan sudah ratusan kali supernova itu meledak di sana, menciptakan ikatan emosi tak tertampik, walaupun hati sudah menunjuk ke satu nama.
Siapa yang tak jatuh cinta?
Ia adalah sosok sempurna, wanita dengan segala kedigdayaan fisik, terukir begitu indah di setiap milimeter tubuh jam pasir yang dimilikinya; bersama dengan garis wajah yang sungguh tiada pernah bosan netra ini memproses segenap keelokan itu walau sudah lebih dari setengah-miliar-detik tertempuh sedari aku mengenalnya.
Rambutnya selalu dibiarkan tergerai, panjang bergelombang, bergerak seraya bahas tubuh tegas yang sesekali mengayunkan
mammae-nya. Entah bagaimana aku bisa menampik ini semua, namun Diandra adalah wanita terbaik yang tiada pernah hilang dari sanubari semaraku.
Diarahkannya tubuhnya, mendekati pintu pengemudi, seraya jemariku memutar kunci kontak, menghentikan segala kegiatan elektronik sejurus lalu menutup suplai bahan bakar ke masing-masing silindernya, membisukan segenap kegiatan mereka saat Diandra membuka kenopnya.
“Kok masih belum turun?” suara manja itu terdengar begitu menohok di indraku.
Kulempar pandang seraya dengan seutas senyum mengambang, “masih deg-degan nih.”
“Eh, itu Annisa kan ya?” tanya Diandra seraya memandang ke arah Annisa, “udah ayuk turun.”
Sejenak, kedua pintu penumpang belakang terbuka. Kedua tubuh wanita itu langsung bertolak, meninggalkan kendaraan yang masih dihuni oleh raga ini, “udah pada masuk dulu, aku nyusul.”
Kupandang lekat-lekat indah wajah Diandra, sehingga merah dibuatnya. Ia bahkan tergeming merespons senyuman yang dilontarkan hanya kepadanya. Seraya tubuh ini meninggalkan kursi pengemudi, kugenggam erat jemari wanita ini, kuanggukkan kepala pelan seraya memimpin langkah untuk meninggalkan rumah ini.
Sinaran sang Luna begitu temaram ketika jingga masih tersisa di ufuk barat, membawa segenap asa ke dalam episode baru kehidupan dan memaksa untuk tidak membawa serta sosok wanita yang begitu kucintai, dan semuanya begitu kusesalkan.
Ia terus mengikuti kemana ragaku membawanya, tidak ada sedikitpun perlawanan ketika langkah demi langkah terpimpin, membawanya jauh dari hingar bingar cahaya kompleks rumah di sekitar kami.
Ketika semua cahaya itu hilang, menyisakan kerlip yang bertaburan di sekitar bukit yang berada di Sesar Lembang, langkahku pun terhenti. Pagutan jemari Diandra semakin mengerat tatkala napasnya terdengar terburu, menyuratkan segenap konstelasi asanya.
“Maaf,” ujarku pelan, “gak seharusnya begini Dhit.”
Sejurus, ia meletakkan kepalanya di pundakku, “kamu inget kan Fa, di sisi laen Lembang, 5 taun yang lalu.”
“Aku pernah ngomong sama kamu, tentang jadi yang pertama kalinya. Dan pas di Bali taun depannya kamu lakuin itu pas ulang tahun ke tujuh-belasku. Semenjak saat itu, aku udah ikhlas dengan apapun yang kamu pilih, baik buruknya aku udah paham.
“Aku gak mau nuntut apa-apa dari ini semua, segala yang udah kamu kasih, segala kenikmatan yang udah kamu usahain buat aku, itu semua udah amat sangat cukup Fa. Apapun itu, aku bahagia kalo Asya bisa dapetin laki-laki kayak kamu, yang pastinya rela lakuin apa aja demi kebahagiaan wanitanya.
“Dan kapanpun kamu siap,” ujarnya seraya mengalihkan tubuhnya, diletakkannya wajah itu satu-dua-sentimeter di depanku, “aku mau jadi yang kesekian di hidup kamu.”
Deg!
Ucapan yang begitu tulus terlontar dari lisan Diandra. Sejurus ia mendaratkan
Labia oris nya di atasku. Pagutan bibirnya begitu bermakna tatkala segenap desah dan asanya terkonstelasi di sana. Sepasang lengannya pun sontak mendekapku erat-erat, mentranslasikan seluruh harapannya kepadaku.
Duniaku terasa terhenti.
Benar ia adalah Diandra yang kukenal.
Memang ia adalah wanita terindah yang pernah hadir di hidupku.
Namun seseorang telah melamarnya dua bulan yang lalu.
Seseorang telah mendahuluiku, seolah makin memuluskan seluruh hati hanya untuk mengarah ke satu nama.
Begitu hangat.
Begitu lekat.
Simfoni penuh hasrat ini sudah tiada bisa terbendung, mengeskalasikan syahwat yang terembus beserta suratan napas terburu, menyatakan seluruh keinginan wanita ini. Bukannya aku tidak ingin, tapi hati ini terus menolak, meskipun akhirnya harus takluk oleh kedigdayaan berahinya.
“One last time,” ujarnya pelan dengan desah yang terburu, “in somewhere only we know.”
*****
Senyum Annastasia begitu hangat menyambut kedatanganku dan Diandra. Alita dan Annisa seolah paham dengan apa yang terjadi di antara kami berdua di satu jam terakhir ini.
Alita, lagi-lagi tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya, ia melontarkan senyuman pahit yang terkesan dipaksakan di atas pandangan nanarnya. Bahkan, ia menundukkan kepalanya di akhir, seperti enggan untuk sekadar menatapku saat ini.
Tidak ada banyak frasa terlontar dari lisan Diandra, hanya seutas senyum yang dibalas oleh dekapan Annastasia di depanku. Sayup terdengar nada minor teralun dari lisan Diandra.
Sungguh, aku tidak bisa mendengar ini.
Tidak kuasa rasanya hati harus mati karena logika sudah tiada dapat memproses bait demi bait menegasikan segenap asa yang tercipta sejak enam-belas-tahun yang lalu.
Semakin lama, isakan itu semakin menjadi, dan membuat satu wanita lagi yang berada di rumah ini ikut mendekap Diandra yang sudah tenggelam dalam samudera harunya.
Amelia Nadia.
Wanita oriental cantik yang menemaniku ketika hati ini kehilangan sosok Annastasia itu langsung menenangkan Diandra. Entah bagaimana aku harus menceritakan sosoknya, namun ia juga wanita terhebat dalam hidupku.
Kedua orangtuanya meninggal ketika ia berusia 13 tahun. Ia harus hidup bersama seorang kakak perempuannya yang sempat masuk ke dunia malam, tereksploitasi oleh ketamakan mantan kekasihnya, dan membuat Amelia terancam dengan segala kelemahannya.
Semasa SMP dan awal SMA, rundungan demi rundungan terus dilontarkan, mengucilkan rasnya yang tidak sama dengan kebanyakan kami, membuatnya semakin lama semakin terpuruk, dan itu hampir saya merenggut nyawanya sendiri tatkala ia sudah berada di titik terendahnya.
Aku mengenalnya dari Annastasia, mereka kawan yang cukup akrab kala itu. Berbagai cara kulakukan hanya untuk melindunginya, memberikannya rasa aman dan nyaman, serta mencoba untuk menggantikan posisi orangtua yang seharusnya terus berada di sisinya.
Meskipun itu semua naif, tapi Amelia mengakuinya. Ia pun mengatakan kepada Annastasia bahwa ia mencintai sosok awam ini, hal yang diamini tanpa perlawanan oleh Annastasia di masa lima-tahun-yang-lalu.
Aku tidak memungkiri bahwa bunganya telah terpetik, sama seperti yang dilakukan kepada Diandra lima-tahun-yang-lalu. Sejak masa yang telah bergulir, kedua wanita ini semakin tenggelam dalam semesta berahi tercipta. Mereka akan melakukan apapun demi mendapatkan perhatianku, walau hanya sekadar menciptakan supernova yang salah.
Amelia sudah dilamar, ya ia pun sudah hampir termiliki laki-laki lain. Ridho nama lelaki yang begitu berani bertanggung jawab atas masa dengan Amelia nantinya. Ia melakukan itu dengan bahkan persetujuanku terlebih dahulu, dan siap menerima segala kekurangan Amelia, yaitu seluruh harga dirinya yang terenggut oleh awam ini.
Hanya satu nama yang tersisa untukku, Annastasia Nadia.
Ia adalah Sagittarius A*, pusat gravitasi dari galaksi, semua asa mengorbit di sekitarnya, menaruh harapan yang sama besarnya agar bisa terpilih menjadi suaminya.
Namun hatinya telah menujuk kepada sosok awam ini.
Seseorang pernah berkata, cinta itu dipilih, bukan memilih. Cinta memiliki caranya tersendiri untuk dipilih oleh hati yang tepat. Dalam hal ini, Annastasia Nadia adalah hati yang dipilih. Segenap pengorbannya yang begitu luar biasa harus berakhir di hatiku.
Ia adalah sosok sempurna.
Wanita bertubuh sintal dengan
mammae yang begitu luar biasa di usianya yang baru 21 tahun, 36F. Bukan hanya kesempurnaan fisik nan fana yang dikagumi, namun kecerdasannya juga adalah sesuatu yang begitu luar biasa, membuat seluruh hati mencoba menunjuk ke arahnya, mencari perhatian sang pujaan yang tiada pernah memalingkan hatinya dari tujuannya.
*****
Malam semakin larut, sang luna sudah semakin yakin menapaki zenit, berkelana di cakrawala untuk menerangi Lembang yang sudah semakin lelah. Kami masih berada di sini, di halaman belakang rumah milik orangtua Annastasia.
Aku.
Annisa.
Alita.
Diandra.
Amelia.
Annastasia.
Menikmati embusan angin gunung yang begitu menusuk, namun dipatahkan oleh hangatnya gugusan api unggun di depan kami. Gelak tawa yang sedari tadi terlontar pun akhirnya mereda, hanyut bersama untaiain haru yang semakin lama semakin menenggelamkan jiwa.
“Jadi,” ujarku pelan, “ini akhirnya ya.”
“Maaf, kalo aku gak pernah bisa jadi apa yang kalian mau. Abis ini, Diandra akan nikah sama Toni, sementara Amelia akan nikah sama Ridho. Alita jelas akan lanjutin sekolahnya, sementara Annisa aku gak tahu apa yang akan kamu lakuin.
“Yang jelas, makasih atas semua keindahan yang gak akan pernah bisa aku hindarin. Semua itu juga karena Asya yang udah nunjukin kebesaran hatinya buat terima sosok yang maha alpa kayak aku. Dan aku bener-bener minta maaf sama kalian.
“Maafin aku yang gak pernah bisa tegas sama pilihanku sedari awal aku kenal sama kalian, bidadari terindah yang udah ngajarin aku banyak hal tentang cinta. Wanita yang begitu hebat, yang udah ngasih aku hal yang gak seharusnya aku dapetin dari kalian.
“Kalian pasti tahu, gimana perasaanku, tapi aku harus akhiri ini semua.”
Embusan angin yang cukup dingin terasa bak sembilu, menusuk tiap milimeter kulit dengan adidayanya. Namun, semua rasa sakit itu dikalahkan oleh pandangan nanar wanita yang sedari tadi tiada pernah sekejap pun mengalihkan ekor matanya dari diri ini.
Hening suasana malam ini hanya dihiasi oleh melodi alam, terdistorsi bersama gemeretak kayu yang mulai dilahap api, mengorbankan milimeter-demi-milimeter tubuhnya untuk musnah demi memberikan kehangatan bagi insan yang mengelilinginya.
Entahlah, segala frasa itu enggan untuk terlontar, lagi-lagi hatiku terlalu lemah untuk mendengarkan nada minor yang pasti bersenandung tatkala Sang Luna mulai perkasa di takhta langit kini. Tiada satupun lisan tercipta, kami hanya saling bertukar pandang, berkomunikasi bersama dengan bahasa kalbu.
“Apapun itu,” Diandra kemudian memecah keheningan ini, “aku mau bilang makasih banget Alfa mau jadi yang pertama buat aku, dan aku gak pernah menyesalkan hal itu.”
Ia lalu memajukan tubuhnya, digenggamnya tanganku untuk diletakkan tepat di dadanya, “selama jantung ini berdetak, selama itu juga Diandra selalu cinta sama Alfa, apapun yang akan terjadi ke depannya.”
“Aku masih selalu inget gimana kamu jagain aku dari SD Fa, bahkan sampe pas SMA, kamu rela dipukulin sama mantanku biar aku gak diapa-apain sama dia,” kenangnya seraya mengusap jemari tangan lainnya di pipiku.
“Tapi Dhit,” sanggahku, “aku gak pernah niat buat minta balesan dari kamu.”
Ia mengangguk pelan, “siapa juga yang bilang gitu sih Fa.”
Sekejap ia menjauhkan tubuhnya, digenggamnya jemari Amelia untuk diajaknya mendekatiku, “aku coba tanya sama Amel, kenapa kamu mau ngasih segalanya buat Alfa?”
Sejenak ia tertunduk, menutupi wajah orientalnya yang cantik dengan poni panjangnya, namun raut wajah penuh senyuman nanar itu tiada bisa disembunyikan, “gimana bisa aku gak berterima kasih, buat orang yang udah ngelakuin segalanya buat aku?”
“Aku selalu inget Fa, gimana awal kita ketemu di sekolah kamu dulu, sampe gimana kamu rela-relain korbanin banyak hal biar aku bisa aman. Mungkin buat kamu sepele, tapi buatku yang udah kehilangan kedua orangtuaku, apa yang kamu lakuin berarti banget Fa.
“Masa iya, buat orang yang udah rela jadi bumper, terus aku tinggalin gitu aja? Aku gak setega itu Fa,” ujar Amelia seraya menyunggingkan senyuman kepadaku.
“Semuanya emang tulus,” sambung Diandra, “dan kamu gak pernah ngambil kesempatan apapun dari ketulusanmu. Cuma emang aku aja yang gak bisa tahan dengan segala hal yang kamu punya Fa.”
Amelia lalu memandang ke arah Annastasia, “dan kalo bukan karena kebesaran hati Asya, ini juga gak akan mungkin terjadi kan?”
Alita lalu bergabung, “emang mungkin aku yang paling pamrih di sini,” ia lalu bersimpuh di depanku, “tapi aku bener-bener ngerasa kalo yang paling pantes buat bahagia di sini adalah Asya.”
“Dia yang udah izinin kita berbagi kekasih yang paling dia cintai, dan gak mungkin kan aku egois buat lakuin hal gila kayak dulu lagi Fa?”
“Andai Kak Nania ada di sini, mungkin dia akan kasih jawaban yang sama.”
Deg!
Entahlah. Apa yang mereka katakan justru membuatku semakin bimbang. Bagaimana bisa hati ini melepaskan ketulusan dahsyat dari asa mereka yang suci?
“Well,” ujar Annisa menambahkan, “aku cuma orang baru yang sama besarnya ngarepin sosok Kak Alfa buat jadi pendampingku. Tapi aku sadar, kalo bukan karena Asya, ini semua gak akan terjadi.”
Sementara semua lisan memuji keindahan hati Annastasia, bersinar bak karbon yang terus ditempa oleh panas, berubah menjadi sebongkah intan; begitu berharga dan teguh dengan apa-apa yang dimiliknya; ia hanya menundukkan wajahnya, menyembunyikan kecantikan sang bidadari di balik poni panjang yang menghiasi rambut cokelat tua alaminya.
“Kalian berlebihan,” lisan itu terlontar, terdengar begitu bergetar, “aku cuma cewek biasa yang sama berharapnya jadi istri Kak Alfa.”
“Tapi, aku ngerasa gak pantes buat dinikahin sama Kak Alfa. Bukan karena apa-apa, mungkin hati aku bisa tetep setia dengan ini semua, dengan segala hal yang udah tercipta. Tapi aku gak yakin, apa nafsu aku masih bisa terbendung seabis nikah nanti?
“Jujur aku takut. Aku takut ngecewain Kakak dengan segala kekuranganku yang pasti Kakak udah tahu. Dan itu juga kan alasan Kakak, kenapa gak pernah mau kasih aku kenikmatan kayak yang selalu Kakak kasih buat mereka? Karena Kakak takut, setelah apa yang aku mau terjadi, aku akan nyeleweng.
“Mungkin enggak dengan hatiku. Tapi dengan badanku Kak. Cepat atau lambat, semua pasti terjadi, segala yang aku gak bisa bendung pasti akan terjadi. Mereka pasti lebih bisa setia segalanya ke Kakak, gak kayak aku yang pasti akan berubah jadi iblis betina yang jalang.
“Dan jujur, itu ngebuat aku gak pantes jadi istri Kakak.”
Kuhela napas panjang, “manusia itu diciptain dengan segala kekurangan dan kelebihannya.”
“Semua apa yang Dede sebut barusan emang mungkin terjadi, dan Kakak juga udah paham, kalo mungkin setaun, lima taun, sepuluh taun, atau kapanpun Dede pasti akan minta buat lakuin itu.
“Kakak paham risikonya, tapi semua kekurangan itu pasti musnah karena segala kelebihan yang Dede selalu bagikan ke semua orang yang punya rasa ke Kakak. Dan dari sana, hati Kakak gak pernah bisa lepas dari jerat gravitasinya Dede.
“Apapun itu, Dede udah jadi pilihan hati Kakak dari awal, dan sampe kapanpun dengan segala risiko barusan, Kakak akan selalu mencintai Dede tanpa syarat apapun.”
Ia lalu bangkit dari duduknya, sekejap menerjang dan memagut tubuhku begitu erat, sangat erat ketimbang apa yang pernah dilakukan sebelumnya. Napasnya pun terdengar begitu terburu seraya isak tangis yang tiada terdengar minor mulai tercipta.
“Makasih Kak,” isaknya, “Dede janji akan jadi istri yang baik buat Kakak.”
Kusambut dekapnya, “Kakak gak minta banyak hal, cuma satu, bahagialah sama Kakak. Kalo Kakak gak bahagiain Dede, tolong tegor Kakak, dan Kakak izinkan Dede buat bahagia dengan atau tanpa Kakak.”
“Eng-engaaak!” pekik Annastasia, “Dede janji akan berusaha buat Kakak, karena Dede juga mau Kakak bahagia.”
Seraya dengan dekapan, berbaur dengan waktu yang terus bergulir, duniaku terasa berhenti di antara rasa yang tiada mungkin tertampik. Hatiku memang telah menunjuk Annastasia, namun apa yang telah terjadi tiada mungkin hilang begitu saja.
Apa yang mereka lakukan, bagaikan kayu yang habis dibakar api, tiada menyisakan apapun, kecuali kehangatan yang terus terasa di dalam hati, tanpa pernah bisa hilang walaupun sekejap saja.
“Ini permintaan Dede,” ujarnya pelan, “malem ini Kakak harus bahagiain semua wanita yang mencintai Kakak.”
*****
Jakarta, Juli 2012.
Aku akhirnya menikah dengan Annastasia, tepat dua bulan setelah semua yang terjadi di Lembang. Hingga ketika ijab kabul terikrarkan, bunga milik bidadari terindah ini bahkan belum terpetik. Semua benar-benar masih terjaga, biarpun sedari masa itu berlalu, ia selalu memaksaku untuk memetiknya terlebih dahulu, dan tiada pernah terlaksana.
Segala keindahan ini berharga mahal, di atas pengorbanan wanita-wanita terindah yang ironisnya datang bersama pasangan mereka, saling mengucapkan selamat seraya gelak tawa di atas balutan pandangan nanar terus terlontar mengarah ke Annastasia.
Semua kebahagiaan ini tiada mungkin terjadi tanpa ketulusan dari mereka yang telah menyerahkan segenap asanya untukku.
Segalanya tiada pernah terlupa walau hanya sesaat.
Semuanya tiada pernah sirna walau hanya sekejap.
Mencintai mereka adalah hal terindah yang pernah terjadi seumur hidupku.
Mereka telah memilih untuk membahagiakanku dan Annastasia dengan meruntuhkan egosentrisnya, meninggalkan bayang penuh harap jauh-jauh di belakang sang waktu. Enggan rasanya hati ini menoleh, namun imaji itu masih terus saja terputar walau masa silih berganti.
Aku percaya, mereka juga pasti bisa bahagia dengan pilihan hati mereka.
*****
Bekasi, September 2019.
Bidadari.
Apa definisi sesungguhnya untuk sepenggal frasa di awal paragraf ini? Apakah wanita cantik dengan senyuman yang sangat menawan? Apakah wanita dengan sorot mata yang teduh menyejukkan? Apakah wanita dengan lisan yang begitu santun terjaga? Apakah mereka yang memiliki lekukan tubuh begitu sempurna?
Bukan itu menurut awam ini, bidari jauh berada di atas itu semua; bidarai adalah mereka yang memiliki hati yang sangat putih dan bersih; begitu tulus dan ikhlas memberikan segalanya.
Bidadari.
Terkadang manusia hanya melihat dari sosok fana, digambarkan dengan paras cantik dan sempurna seorang wanita, terlihat begitu menarik mata dan seringkali mengubah perasaan siapapun yang memandangnya; laki-laki manapun selalu ingin menjadi pendampingnya, sosok berparas sempurna nan elok sehingga terasa tiada bosan tatkala menyorotnya.
Esensinya bukan di sana, karena seseorang pantas disebut bidadari dalam bentuk manusia adalah wanita yang memiliki ketulusan cinta yang tidak terbatas, rela memberikan segenap perasaan cinta hanya kepada orang yang ia cintai, dan menjadi istri penurut kepada suami mereka kelak.
Bagi awam ini, itulah sosok bidadari.
Untaian masa telah berlalu, namun semesta rasa mereka masih selalu meninggalkan lara yang tiada tertampik. Ingin rasanya hati ini menyapa kembali, namun sumpah setia selalu menghalangi lisan untuk menjalin lagi asa yang pernah tercipta.
Annastasia, ia adalah sosok bidadari tanpa sayap, wanita yang secara lahir batin tiada memiliki kekurangan. Ia adalah sosok sempurna, baik sebagai pendamping hidup, teman, rekan bisnis, bahkan istri. Segala yang dicari oleh laki-laki ada pada sosoknya.
Namun ada satu hal yang selalu menjadi kelemahannya.
Ia begitu mudah takluk dengan syahwatnya, tiada yang bisa ia lakukan apabila segenap berahi telah mengisi relung jiwanya. Sosok bidadari sempurna itu langsung berubah menjadi iblis penuh hasrat, memangsa segala yang ia sukai, demi memuaskan dahaganya.
Namun, aku tiada pernah menganggap itu sebagai kekurangan dari miliaran kesempurnaannya.
Manusia adalah tempat salah dan lupa, ketika lisan manjanya merengek agar segala nafsunya terpenuhi, mungkin saat itulah alpa hadir menyelimutinya. Aku tidak menampik semua keniscayaan yang pasti terjadi, dengan sepenuh hati aku pun mengabulkannya.
Bukannya aku suami durjana, tapi aku hanya ingin membuatnya bahagia.
Narasi keras kerap datang mengutuk keputusanku, namun aku tetap bergeming, karena setiap masalah, pasti ada solusi untuk menyelesaikannya. Begitupun dengan apa yang dialami Annastasia sejak enam-bulan-yang-lalu, semenjak kelahiran anak kedua kami.
Prosesornya mungkin sedang lelah mengatur segenap instruksi di kepala, membuat sejumlah
bug yang membangkitkan arus liar, dan membuatnya lebih mengikuti nafsu duniawi.
Aku tidak menyalahkannya, bukan karena awam ini tiada mampu menekan, namun andai mereka tahu apa yang dialami Annastasia, mungkin mereka juga akan lakukan hal seperti apa yang kulakukan.
Memang benar, bukanlah sebuah pembenaran mengizinkan tubuh Annastasia dijamah pejantan lainnya, namun sekali lagi, asa ini begitu memahami apa yang sedang terjadi pada diri Annastasia. Tiada cara lain yang bisa ditempuh, kecuali membiarkannya menemukan sendiri bait-bait kesalahannya.
Aku akan tetap mengerti, karena ia adalah pilihan hati.
*****
Sekotong, 11 Februari 2022.
Aku selalu percaya dengan hukum kekekalan cinta; bahwa cinta tidak pernah bisa diciptakan atau dimusnahkan, namun hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Segala yang telah terjadi dihidupku sama sekali tidak memusnahkan cinta yang termiliki untuk Annastasia, justru segalanya mengubah segenap asa ini lebih besar dan dahsyat.
Seiring dengan berdamai asanya dengan apa-apa yang telah terjadi dua tahun ke belakang, segala rasa yang telah tercipta justru semakin membakar semara, tidak pernah padam hangatnya walau sesaat.
Hubunganku tiada pernah seintens ini sejak aku mengenalnya enam-belas-tahun yang lalu. Segenap lelah yang telah tercipta makin mengakar, mengukuhkan takhta Annastasia menjadi Maharani di hatiku.
Segalanya memang telah terjadi, namun cinta ini tiada pernah hilang untuknya, bidadari yang telah memberikan triliunan bahagia bersama dengan naik turunnya hidup selama bersama. Walau apapun kata mereka, aku akan selalu mencintai sosok Annastasia Nadia.
“Pah,” lisannya sedikit menghentakkanku, “kok bengong?”
“Iya Mah,” tukasku sekenanya, “cuma keinget aja sama semua yang udah terjadi.”
Sejenak, ia lalu mendekap lenganku, seraya menyandarkan kepalanya di pundak ini, “tapi Papa bahagia kan jadi suami Mama?”
Kuusap kepalanya yang dibungkus khimar berwarna persik ini, “selalu bahagia dong sayang. Lagian kenapa bisa gak bahagia?”
Ia lalu mengeratkan pagutannya, “gak tahu, takut aja Papa gak bahagia karena kesangean Mama.”
Aku tertawa kecil seraya memimpin langkah, “gak sedikitpun Mah, justru seksi kok kalo tahu Mama masih pengen lagi.”
Ia menggeleng cepat, namun sejenak terhenti, “Mama gak mau ulangin lagi Pah.”
“Tapi kalo sekali-kali boleh yah?” tanyanya begitu manja, tiada berubah seperti kukenal dirinya dahulu.
“Harus niat dong sayang,” tukasku seraya mengarahkan raga ini keluar dari terminal WADL, menuju ke lahan parkir tempat di mana Annastasia membiarkan 2GR-FE tetap mengepul karena ada sosok yang berada di dalamnya.
“Iya Pah,” ujarnya pelan namun pasti, “bantu Mama buat berusaha jadi lebih baik yah.”
Kuanggukkan kepala, seraya melontarkan senyum ke arah wanita yang selalu jadi Maharani di hatiku.
Segalanya mungkin tidak seperti apa yang diinginkan, namun kebahagiaan itu bisa ditempuh dengan ketulusan dan keihklasan, tanpa adanya retorika bersama dengan pamrih atas nama cinta.
Sejenak ketika tubuh ini mendekati kendaraan
M-Segment besutan Toyota yang diparkir agak jauh dari terminal; pintu geser belakangnya perlahan terbuka, Amelia, Naina, dan Diandra sudah berada di sana, menyambutku dengan utas senyum yang sama bahagianya seperti Annastasia.