Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Siapakah Fatimah Az-zahra...?

  • Sosok wanita baru dalam cerita ini

    Votes: 62 23,7%
  • Sosok wanita yang menyamar dalam cerita ini

    Votes: 200 76,3%

  • Total voters
    262
Wuasem... tak pikir wis chapter 8 hihihi...maap suhu, terlalu semangat membacanya :bacol:
 
images_14.jpg

Anastasya Putri Widjaja aka Tasya

Mulustrasi pemeran Tasya... di chapter berikutnya....

Insya Allah ane akan update chapter 8 besok ya...
Baru beres nulisnya belum di edit...
Kalau beres nanti langsung segera di update.
 
Silahkan di lanjutkan suhu..menarik dan semoga lancar jaya
Siap suhu... ditunggu saja, mohon sabar ya. Biar semakin menarik dan kesalahan2 kecil seperti typo bisa ane perbaiki... sedang dlm proses editing terlebih dahulu.
 
Ane mah bakal mantengin sampe tamat hu....
:ampun:makasih om... sudah setia menjadi bagian cerita ini, mohon sabar ya utk update nya paling lambat besok.... chapter 8 sedang dlm proses editing.:beer:
 
Chapter 8. Hari Ketiga Pelarian Cinta
Images_10.jpg
Cinta Rahayu Pramudya aka Cinta


Images_11.jpg

Aditya Febriansyah aka Adit



Pov Cinta



Hari ketiga Pelarian Cinta......

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, melihat Adit tidur meringkuk di sofa. Lama aku memandangi pemuda itu dengan rasa haru dan kagum.

Baru sekarang aku bisa leluasa menikmati wajah pemuda itu. Karena kulitnya yang putih, raut mukanya terlihat bersih dan cerah. Wajahnya menggambarkarkan hatinya yang jujur dan tulus.

Alisnya lebat dan tebal menaungi matanya. Bulu matanya pun panjang. Hidungnya mancung seperti pualam yang dipahat. Bibirnya tipis dan melengkung indah. Dagunya terbelah.

Tampan sekali, bahkan terlalu tampan untuk menjadi supir. Kalau nasib baik berpihak padanya, barangkali ia bisa menjadi pemain sinetron terkenal.

"Betapa baiknya Adit", pikirku gundah."Ia rela kulibatkan dalam persoalanku ini. Padahal kalau mau, ia bisa saja kabur meninggalkanku begitu saja. Tenyata masih ada juga manusia berhati emas seperti mas Adit di tengah kota besar yang kejam. Membantu seseorang yang dililit kesulitan tanpa mengharapkan pamrih".

Perlahan-lahan aku bangkit mendekati jendela, menyibakkan tirainya sedikit. Secercah sinar mentari pagi menyeruak masuk.

Aku berdiri menyandar di bingkai jendela, melayangkan tatapanku ke pemandangan indah di luar sana.

Lembah yang landai dan pepohonan yang rimbun. Di kejauhan terlihat deretan bukit yang indah, hijau, asri, teduh, dan menyejukkan hati.

Lama aku tertegun dan tenggelam dalam lamunan, sampai-sampai aku tidak menyadari mas Adit menggeliat dan beringsut bangun dari sofa.

"Pagi-pagi sudah melamun", tegur mas Adit sambil ia merentangkan kedua lengannya lebar-lebar, merenggangkan otot-ototnya yang kaku setelah semalaman tidur dengan posisi menekuk di sofa.

Aku menoleh kaget, tidak menyangka kalau mas Adit terjaga secepat itu.

"Sudah bangun?", tanya ku tercenung.

"Aku terbiasa bangun pagi", sahut mas Adit tersenyum.

"Namanya juga orang kecil, jadi harus kerja lebih awal dan lebih giat supaya dapat rezeki lebih banyak".

"Kau harus bekerja hari ini, mas Adit?", desah ku gusar.

"Nanti atasanmu marah. Aku tidak ingin menyusahkanmu lagi. Aku tidak mau gara-gara menolongku, kau sampai dipecat".

"Jadi, bulan madu kita hanya semalam nih?", ejek mas Adit bergurau.

"Hanya berakhir begini saja?".

"Pergilah, mas Adit!", pinta ku sedih.

"Tidak usah pikirkan aku lagi. Biarkan aku sendiri yang menghadapi persoalan ini".

"Orangtuamu pasti ke kantorku untuk mengusut dimana kau berada?", sahut mas Adit iba.

"Kalau aku masuk kerja, mereka pasti akan memaksaku mengatakan di mana kau berada. Apa kau siap untuk diajak pulang?".

"Aku tidak akan mau kembali meskipun diancam, mas Adit", geleng ku lemah.

"Kalau mereka datang, katakan saja, aku ingin hidup bebas menjadi diriku sendiri".

"Aku akan mengatakannya pada orangtuamu", jawab mas Adit sungguh-sungguh.

"Mudah-mudahan mereka mau menerima. Kau sudah dewasa, berhak menentukan jalan hidupmu sendiri. Orangtuamu tidak mungkin terus-terusan memaksakan kehendak mereka".

Mas Adit membenahi setelan jas yang terletak di sandaran sofa. Kemarin ia telah menukar pakaiannya dengan kemeja santai dan celana katun nyaman yang dibelinya di toko.

Dilipatnya jas dan celana panjang asal saja, lalu dimasukkannya ke dalam kantong plastik.

"Kalau begitu, aku berangkat ke kantor dulu pagi ini", kata mas Adit sambil mengenakan sepatu.

"Kantor pasti sudah heboh. Kedatanganku tentu sudah ditunggu-tunggu. Aku akan membereskan semuanya. Setelah ini aku akan kembali ke sini untuk menjemputmu".

"Menjemputku?", tanya ku bingung.

"Aku akan mengantarkanmu mencari rumah kontrakan, dan membantumu mencari pekerjaan".

"Terima kasih, Mas Adit", potong ku gundah, sambil menggeleng pelan.

"Tapi aku tidak mau berutang apa-apa lagi padamu. Baru dua hari saja utangku sudah tidak terhitung banyaknya".

"Mengapa kau selalu menghitung segalanya dengan uang?".

"Bukankah supir limousin seperti kau dibayar perjam? Aku tidak mungkin sanggup membayarnya".

"Bagaimana kalau kubilang semuanya gratis?".

"Tapi hidupmu sebagai supir tentu tidak berkecukupan, mas Adit", jawab ku sedih.

"Aku tidak mau merepotkanmu lagi".

"Justru di dalam kekurangan kita harus saling menolong, Cinta", ujar Mas Adit menarik nafas.

"Barangkali selama ini kau berada di tengah orang-orang yang hidup berlebihan tapi tidak pernah tergugah untuk menolong orang yang yang lebih lemah".

"Masih adakah hubungan antar manusia yang tulus dan tanpa pamrih, mas Adit?".

"Aku akan mengajakmu melihat dunia ini dari sisi yang lain, Cinta", kata mas Adit sambil menatapku dalam-dalam.

"Untuk mengenal kebahagiaan dalam bentuk yang berbeda. Kesederhanaan dan keterbatasan bisa juga memberikan kegembiraan yang tidak terhingga".
.
.
.
Sepeninggal mas Adit, aku mengangkat telepon dan menghubungi sahabat-sahabatku.

Sahabatku memang cuma sedikit dan bisa dihitung dengan jari. Itu pun teman mainku sejak kanak-kanak. Peraturan mama yang mengekangku sejak kecil membuatnya tidak memiliki banyak teman.

Beberapa malah ada yang sengaja memutuskan hubungan ketika beranjak remaja, karena tidak sanggup menghadapi mama yang galak dan paranoid.

Merekalah yang dimarahi kalau aku kemalaman pulang ke rumah. Padahal aku yang membujuk mereka untuk pergi ke cafe, bioskop atau mal.

Tinggal sedikit yang tahan menjadi sahabatku, yaitu hanya yang bernyali baja dan bermental baja.

"Di mana sih kau, Cinta", semprot Resti begitu mendengar suaraku di telepon.

"Bikin gempar saja! Kemaren semua orang sudah siap menyaksikan akad nikahmu, eh pengantinnya malah kabur!".

"Aku tidak mau terpenjara untuk kedua kalinya dalam hidupku", desah ku bercampur tangis.

"Kawin dengan orang yang tidak kucintai!".

"Tapi itu jalan keluar yang terbaik untukmu, Cinta", desak Resti kesal.

"Kau hamil, Robi tidak mau bertanggung jawab".

"Barangkali kalau mamaku yang minta dan mengancam, Robi mau menikahiku".

"Tapi apa yang kau harapkan dari Robi?", tukas Resti gemas.

"Masih kuliah, belum punya pekerjaan, orangtuanya tidak jelas, mamamu justru menghindarkanmu dari hidup sengsara".

"Aku tidak takut hidup sengsara!", gumam ku pilu.

"Tapi sejak lahir kau sudah tidur di atas ranjang bulu angsa bertilamkan sutra!", cibir Resti sumbang.

"Mana mungkin putri raja sepertimu hidup melarat!".

Komentar Anya lebih sadis lagi. Aku meneleponnya setelah Resti tidak bisa memberikan jalan keluar.

"Kau betul-betul gila!", maki Anya di seberang sana. "Mempermalukan mamamu!".

"Apa aku harus menukar kebahagianku demi menuruti perintah mamaku?".

"Kebahagiaan mana lagi?", Anya hampir memekik.

"Bukankah mamamu sudah memberikan segalanya padamu? Apa lagi yang kurang?".

Jawaban yang sama pun diutarakan silvy dari gagang telepon.

"Tidak mungkin kau hidup tanpa mamamu", desis Silvy tanpa perasaan.

"Meninggalkan mamamu, sama artinya meninggalkan semua yang kau miliki selama ini! Kemewahan, fasilitas, kekuasaan. Mana mungkin kau sanggup hidup menjadi orang yang tidak punya apa-apa. Sebagai bukan siapa-siapa...".

"Barangkali sahabat-sahabatku benar", sesal ku terisak-isak."Aku telah menyia-nyiakan hidupku, barangkali aku harus bersimpuh di kaki Mama, menukar kebebasanku kembali, memggadaikan diriku lagi dengan semua kemewahan yang dulu dilimpahkan Mama kepadaku".
.
.
.
Pov Adit


Sejak pagi kantorku sudah gempar, semua karyawan ribut membicarakan peristiwa kaburnya pengantin perempuan selama dua hari lalu yang menggunakan mobil limousin sewaan kantor kami.

Mereka berdesak-desakan di depan ruang kerja ku.

Sekretaris ku malah jadi bulan-bulanan karena dianggap orang yang paling dekat dengan ku dalam urusan pekerjaan.

Imelda, nama sekretaris ku, diharapkan bisa memberikan informasi paling akurat.

Tapi Imelda pun sama bingungnya dengan mereka, ia hanya celingukan salah tingkah ketika dihujani pertanyaan dari sana-sini.

Kesal karena ternyata Imelda tidak bisa memuaskan keingintahuan mereka, akhirnya para karyawan ramai mengambil kesimpulan sendiri-sendiri.

Begitu aku muncul di sana, semua orang serentak beralih mengerubungi ku. Seperti menyambut selebriti yang kedatangannya sudah ditunggu-tunggu untuk memberikan klarifikasi tentang gosip yang beredar.

Para karyawan memberondong ku dengan pertanyaan bertubi-tubi. Persis seperti wartawan yang haus berita.

"Kalian kebanyakan nonton infortainment di TV", kata ku sambil geleng-geleng kepala.

Aku tergelak geli melihat ulah anak buahku. Menghalau mereka yang berdiri berdesak-desakan menghalangi jalan.

"Kemarin memang saya yang menggantikan pak Bambang mengantarkan pengantin, tapi sekarang semuanya sudah beres kok. Tidak ada yang perlu dihebohkan lagi".

Tapi anak buahku tidak puas hanya sampai di situ, mereka masih juga membuntutiku. Terpaksa aku membuka mulut lagi.

"Pengantin perempuannya kabur karena tidak mencintai calon suaminya", ujar ku singkat.

Sekedar memuaskan keingintauan karyawanku, lalu dengan kharisma seorang pemimpin.

Aku berkata. "Ayo, tidak usah terseret pada satu persoalan! Masih banyak yang harus kita kerjaka! Silahkan semuanya kembali ke tempat masing-masing!".

Meskipun masih dibelit rasa penasaran, para karyawan terpaksa bubar. Mendengar perintah ku yang berwibawa, mereka tidak punya pilihan selain patuh. Mereka seperti itik yang di gelandang pulang ke kandang.

Sesampainya di dalam ruang kerjaku, aku langsung tenggelam dalam kesibukan.

Memanggil tim operasional yang terdiri dari manajer operasional, perwakilan para supir taksi, bus pariwisata, bus karyawan, bus AKAP, dan supir limousin.

Aku langsung memimpin meeting mendadak. Membahas contingency plan jika salah seorang supir yang bertugas di akhir pekan tiba-tiba berhalangan dan bagaimana menghadapi kejadian-kejadian darurat di luar rencana.

Belajar dari peristiwa yang ku alami bersama Cinta. Aku memperbaiki semua sistem yang berlaku selama ini. Tentu saja semua itu untuk mempermudah dan melindungi para supir di saat menjalankan tugas.

Beberapa kali Imelda tampak melongok ke dalam seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi niatnya dibatalkan saat ia melihatku terlibat dalam percakapan serius.

Menjelang makan siang, meeting berakhir. Sebelum aku bergegas keluar tiba-tiba aku melihat seorang pemuda mungkin seusia ku baru masuk diantar oleh Imelda sekretaris ku.

"Silahkan duduk, pak siapa?", tanya ku sopan.

"Mohon maaf kalau tidak salah bapak ini! Saat itu ada di rumah Cinta, kan".

"Oh, iya kenalin saya Prima Sukmawan Pramudya, saya kakak sulung Cinta". ucapnya santun

Lalu ia mengulurkan tangan nya pada ku, dan ku sambut uluran tangan nya sambil tersenyum ramah.

"Panggil saja Prima, saya kira usia kita tidaklah terlalu jauh".

"Saya Aditya Febriansyah, pak Prima, eh Prima maksudnya", ucap ku sedikit grogi.

"Panggil saja saya Adit mas. Eh iya sebentar mas, saya mau hubungi sekretaris saya dulu untuk men-cancel tamu yang akan menemui saya, biar kita bisa santai pak".

Lalu aku segera menekan line telepon ke sekretaris.

"Imelda, tolong kamu cancel semua yang akan menemui saya sekarang ya, dan segera buatin kopi untuk saya dan tamu saya, terima kasih".

"Siap pak", sahut Imelda dari seberang telepon sana.

Sesaat kemudian aku mulai memulai obrolan dengan Prima dengan santai dan penuh keakraban.

"Saya atas nama keluarga Pramudya mohon maaf atas sikap dan perkataan mama yang kurang pantas kemaren malam", cetus Prima lirih.

"Mama saat itu memang sempat shock dan emosi atas kaburnya Cinta adik saya mas Adit".

"Oh", gumam ku tersenyum.

"Saya bisa memakluminya mas, orangtua mana yang tidak shock dan khawatir dengan keadaan putrinya yang kabur dari rumah dan pernikahannya. Mungkin mama mas khawatir Cinta diculik".

Prima akhirnya bisa tersenyum lebar, lalu ia berkata.

"Saya sudah menduga bahwa mas Adit ini orangnya bijak, pintar dan penuh tanggung jawab, dan itu yang membuat saya menyimpulkan bahwa mas Adit ini bukan supir Limousin tetapi pemilik penyewaan mobil Limousin".

"Ah, bisa saja mas Prima menyanjungku. Saya hanya ikut prihatin melihat Cinta saat itu yang merasa tertekan dan ketakutan karena akan menikah dengan orang yang tidak ia cintai, Mas".

"Itulah kenapa saya datang kesini mas Adit, ini perintah papa untuk menemuinya di PT. XXX (Persero) di Jl.xxx no.10 Jakarta Pusat, itu loh mas samping gedung xxx yang terkenal itu".

"Oh, iya...! Saya tahu tempat yang mas sebut tadi, tapi maaf untuk hari ini saya tidak bisa pergi ke sani. Sampaikan salam hormat saya buat pak Pramudya nanti saya akan menemui beliau langsung. Saya mengkhawarirkan kondisi Cinta yang belum stabil, emosinya masih naik turun".

"Boleh saya ikut mas Adit menemui Cinta adik saya, saya juga mengkhawatirkan dirinya, apalagi saat ini dia sedang hamil, Mas". kata Prima memohon.

"Ayo, mas! Justru dengan kehadiran mas Prima sedikit banyaknya bisa memberikan semangat buat Cinta mas, saya bisa melihat kepedulian mas Prima sama Cinta sangat tulus sebagai seorang kakak pada sang adik".

"Ok kalau begitu, aku telepon papa dulu ya, mau beritahukan kabar ini!".

"Silahkan, mas Prima! Kalau begitu saya keluar sebentar mau menemui sekretaris saya untuk membatalkan semua scedul saya hari ini mas Prima", kata ku tersenyum dan melangkah meninggalkan nya di ruanganku.

Pada saat aku menghampiri meja Imelda sekretarisku, aku sempat mendengarkan ia sedang bicara dengan sopan sama orang di seberang telepon sana, ia seakan memberikan kode padaku untuk menerima telepon itu tetapi aku menggelengkan kepala.

"Pasti itu telepon dari Tasya", pikir ku lesu.

"Kenapa sih aku sulit sekali untuk melepaskan diri darinya, ini tidak ubahnya aku seperti Cinta, kami berdua sama-sama terkekang, kalau ia dengan mamanya sedangkan aku dengan Tasya pacarku.

Setelah Imelda menutup line telepon dengan Tasya, baru ia menyampaikan padaku bahwa ia saat ini sedang menerima telepon dari Tasya yang mencari ku dan ingin bicara dengan ku.

"Maaf, Mas Adit", sergahnya mencoba menahan ku.

"Mbak Tasya di line dua, mas".

"Katakan saja saya sibuk", sahut ku serius.

"Tapi sudah sejak tadi pagi mbak Tasya menelepon ke sini, Mas", ujarnya serba salah, dengan tangan masih menggenggam gagang telepon.

"Sudah puluhan kali. Mungkin penting, Mas!".

"Minta dia meninggalkan pesan saja", jawab ku tidak peduli.

Tanpa berpikir lagi. Imelda langsung meletakkan gagang telepon. Di ambilnya map berisi jadwal harianku.

"Bagaimana dengan jadwal hari ini, Mas?". cetusnya panik.

"Beberapa orang sudah booking waktu daru minggu lalu untuk bertemu hari ini".

"Tolong diatur ulang semuamya", kata ku tegas.

"Setelah makan siang, saya tidak akan kembali ke kantor. Ada urusan yang harus saya selesaikan di luar".
.
.
.
Pov 3rd


Sepeninggal Adit dan Prima, tentu saja sekretaris perusahaan PT. RWG Trans (Persero) yang bernama Imelda yang menjadi sasaran kemarahan Tasya. Apalagi telepon terakhir Tasya diputuskan begitu saja oleh Imelda. Tanpa menunggu lagi, Tasya langsung menelepon Imelda lagi dan meluapkan kejengkelannya begitu tahu bahwa Adit baru saja pergi dari kantor.

"Berapa kali saya bilang, langsung saja sambungkan saya dengan Adit", semprot Tasya kesal.

"Maaf, Mbak", jawab Imelda sambil menarik nafas.
"Tadi ada teman bisnisnya Mas Adit, Mbak. Kemudian tidak begitu lama Mas Adit dan temannya buru-buru pergi".

"Tadi kau bilang sedang meeting, sekarang kau bilang sudah pergi!", dengus Tasya tak percaya. "Kalau ngomong yang benar, dong!".

"Saya sudah berusaha, Mbak", kata Imelda gundah.

"Tadi pagi meeting-nya serius sekali, saya tidak bisa interupsi. Begitu selesai, Mas Adit kedatangan tamu teman bisnisnya lalu pergi bersama teman bisnisnya itu, Mbak".

"Lalu kenapa tadi tidak kau tahan?", omel Tasya sebal. "Kau kan bisa langsung serahkan gagang telepon ke dia!".

"Mas Adit buru-buru bersama temannya tadi, Mbak".

"Urusan telepon saja kamu tidak becus, apalagi mengurus pekerjaan yang lebih penting!", sembur Tasya sewot sebelum membanting telepon.

"Heran, kenapa Adit masih juga mempertahankan mu!".
.
.
.
images_14.jpg

Anastasya Putri Widjaja aka Tasya

Pov Tasya


Siapa yang tidak jengkel? Seharusnya hari Minggu kemaren Adit menemaniku pergi ke salon.

Tapi Adit menghilang entah ke mana dan ponselnya tidak aktif. Pembantu di rumahnya pun tidak tahu kemana Adit, bak hilang ditelan bumi.

Sepanjang hari aku mencoba melacak jejak Adit, tapi sampai malam pemuda itu tidak pulang juga ke rumah.

Pesan SMS ku sempat terkirim setelah beberapa saat tidak berhasil masuk ke ponsel Adit. Tapi begitu aku mencoba meneleponnya, terdengar nada sibuk. Setelah itu ponsel Adit kembali dimatikan.

Adit memang tidak mengatakan bersedia menemani ku ke salon, tapi aku hafal betul gaya Adit. Kalau tidak dipaksa, pemuda itu tidak akan mau mengatarku.

Biasanya aku langsung menjemput Adit ke rumah, mengancam tidak akan pulang jika Adit tidak pergi bersamaku. Tapi kemaren aku salah perhitungan karena Adit sudah menghilang sejak pagi-pagi sekali. Pembantunya bahkan tidak sempat melihat kapan Adit berangkat.

Jadi siapa yang tidak histeris kalau sampai hari ini pun aku tidak berhasil menemukan Adit. Lebih-lebih sich Imelda, sekretarisnya yang tolol itu tidak bisa diajak kerjasama.

Sungguh menjengkelkan!

Dari semua gadis yang tergila-gila pada Adit, memang cuma aku yang paling gigih dan gencar mengejar. Aku merasa diriku memiliki semua kelebihan perempuan untuk menaklukan pemuda idola, setampan Adit.

Aku cantik, kulitku putih mulus, dan lekuku tubuhku menggiurkan. Penampilan ku terjaga dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambutku berkilau kecoklatan, tergerai hingga ke bahu, dan selalu dalam keadaan tertata. Wajahku pun tidak pernah lepas dari make-up. Semerbak tubuhku selalu memancarkan keharuman parfum nomor satu dari Paris.

Aku seperti bintang telenovela yang memukau. Kecantikan berpadu dengan kemolekan tubuhku yang seksi, memikat, dan mengundang kekaguman sekaligus lirikan nakal setiap pria yang melihatku.

Sebagai anak pengusaha hotel terkemuka, hidup ku memang bergelimang kemewahan. Aku juga menjalankan advertising agency yang memiliki reputasi cemerlang.

Di usia ku 25 tahun, aku telah menjadi perempuan sukses, banyak perempuan se-usiaku yang memandang iri padaku.

Aku memiliki segalanya.

Kecantikan fisik, otak, dan kesuksesan, semuanya.

Karena itu aku tidak mau sembarangan memilih pacar.

Dengan kekuasaan dan kecantikan ku, sebetulnya bisa dengan mudah aku mendapatkan pria yang ku inginkan. Aku tinggal sebut atau tunjuk saja. Model catwalk, model iklan, bintang sinetron, atau aktor film.

Lingkup pekerjaan dan pergaulan sosial, memungkinkan aku bertemu dengan kalangan atas.

Tapi aku menginginkan pria yang sepadan dengan ku, pria yang bukan hanya mengandalkan kelebihan fisik, tapi juga kaya, tampan, dan cerdas.

Hanya pemuda seperti itu yang layak mendampingiku. Dan cuma satu pria di dunia ini yang memenuhi kriteria ku itu, yaitu ADITYA FEBRIANSYAH.

Aku memproklamirkan diri sebagai pacar Adit kepada siapa pun. Aku selalu mengajak Adit menghadiri setiap pesta dan resepsi resmi agar semua orang bisa melihat kehadiran kami dan memandang kami dengan penuh kekaguman.

Si wanita cantik dan si pria tampan.

Persis mengagumi sepasang boneka kristal yang tidak bisa dimiliki dan disentuh. Cukup dipandangi dan dinikmati kecantikanku dan ketampanannya.

Aku percaya diri, jika menginginkan sesuatu akan mengejarnya, dan yakin akan mendapatkannya. Begitu juga terhadap Adit.

Aku yakin sekali bahwa akulah yang kelak memenangkan hati dan cinta Adit. Semua gadis saingan ku rela mundur begitu melihat siapa yang menjadi lawan mereka. Mereka tau diri karena tidak mungkin mengalahkan miss universe.

Aku percaya sekali, ini hanya tinggal menunggu waktu. Saatnya pasti tiba ketika Adit berlutut di hadapanku lalu menyematkan cincin kawin ke jari manisku, meskipun hingga saat ini Adit tidak pernah menganggap aku sebagai pacarnya.

"Tunggu saja, Adit! Kau pasti bisa ku taklukan dan menjadi milikku selamanya!", pikir ku licik.

"Siapa yang tidak tergoda dengan keseksian tubuhku?".
.
.
.
Pov Adit


Di dalam sebuah mobil sedan mercedes c-class, aku sedang fokus mengendarai mobil merci-ku. Diikuti di belakang oleh sebuah mobil Toyota Fortuner menuju ke kawasan puncak tempat Cinta berada.

Sebelumnya antara aku dan Prima terjadi percakapan yang seru di ruang kerja ku tadi, dan itu busa membuat ku tersenyum dengan perasaan senang saat mengingat momen barusan.

"Ngobrolnya jangan terlalu formil, Dit. Gw-elo aja nggak apa-apa, biar santai ngobrolnya apalagi ini bukan urusan bisnis", tukas Prima santai.

"Elo, asli Surabaya ya, wife gw dewi safitri itu orang sana, sekolah di SMA 76xx Surabaya, cuma pas di Jakarta gw ketemu wife saat sama-sama kuliah di UI".

"Iya... Gw asli Surabaya... Serius lo, pangling soalnya. Ternyata di hadapan gw sekarang ini laki dewi. Dunia kayak sempit ya. Terakhir gw ketemu wife lo saat kalian nikah", seloroh ku mengingat.

"Gw dan dewi wife lo itu satu sekolahan waktu di SMA 76xx Surabaya, sekelas malahan, dan yang nggak gw sangka ternyata lo abangnya Cinta".

"Hahaha.... Itu jodoh namanya bro", canda Prima tertawa lebar.

"Siapa tau memang benaran jodoh kalian berdua, gw percayain adik gw sama lo Dit".

"Hahahah.... Bisa saja lo, tapi yang jelas sejak awal gw kasihan dengan adek lo Prima", jawab ku ikut tertawa lebar.

Entah kenapa perasaan ku merasa senang dengan gurauan Prima barusan, padahal aku dan Cinta baru kenal beberapa hari dan itu pun dalam kondisi tidak wajar.

"Tapi gw punya permintaan sama lo, Prima. Tolong rahasiakan jati diri gw dari adek dan mama lo, biarlah mereka menganggap gw seperti itu nanti suatu hari aku akan membuka jati diri ku jika sudah saatnya", ucap ku memohon.

"Beres kalo itu, serahin pada Prima, rahasia lo aman kok, hahahah. Gimana dit sama adek gw cantik, kan?", ucap Prima sambil menggoda ku.

"Sayang kalian bertemunya baru sekarang, coba saja lo ketemu adek gw sebelum dia jatuh cinta sama lelaki banci itu!".

"Cantik, cuma manja dan angkuh nya kayak mama lo, eh...sorry maksud gw.....!", sahut ku keceplosan.

"Mungkin sudah seperti itu jalannya bro, yang terpenting selamatin adek lo biar lekas bangkit kembali".

"Hahaha.... Iya mungkin ini sudah jalan-Nya", tawa Prima lebar.

"Santai bro gw ngerti kok, lo nggak bermaksud nyinggung dan ngehina adek dan mama gw. Jujur gw ngakuin itu karena kerasnya didikan mama ke Cinta, Dit".

"Iya, eh. Udah yuk ntar kesorean kita ke sana nya! Dan tolong bilang saja tadi lo yang maksa gw nganterin menemui Cinta. Dan tolong jangan dipaksa Prima jika Cinta belum mau pulang, nanti ia kabur malah nanti susah cari jejaknya", pinta ku pada Prima.

Selama perjalanan kurang lebih 3 jam aku telah memasuki halaman hotel tempat Cinta menginap, sebelumnya aku sempat membelikan makan siang buat Cinta walaupun saat itu Prima ingin ia yang membayari tapi ku cegah dengan alasan uang papanya yang kwmaren malam masih banyak sisanya dan masih ku pegang.

Aku memarkirkan mobil merci di ikuti pula oleh mobil Toyota Fortuner yang parkir berjejer berdampingan.

Aku dan Prima segera menuju ke bungalo dimana Cinta saat ini berada.

Tok....Tok....Tok....

"Bentar Mas Adit...!", suara sahutan Cinta dari dalam kamar.

Ceklek.....

"Hah......! Mas Prima.....!".




Bersambung......
 
Terakhir diubah:
yes, akhirnya setelah di sempet2in, selesai juga marathon ulangnya :haha:

btw, sebelumnya ada typo hu,

"Tapi sudah sejak tadi pagi mbak Talita menelepon ke sini, Mas" , ujarnya serba salah, dengan tangan masih menggenggam gagang telepon.

itu Tasya kan harusnya om?

overall, ceritanya mantab, ane demen cerita cinta segitiga kek gini..
wkwkwk.. :pandaketawa:
btw lagi, thanks uda di update malem2, di waktu ane bingung mau baca cerita yg mana dulu, dan serial suhu yg muncul duluan :pandajahat:
 
yes, akhirnya setelah di sempet2in, selesai juga marathon ulangnya :haha:

btw, sebelumnya ada typo hu,

"Tapi sudah sejak tadi pagi mbak Talita menelepon ke sini, Mas" , ujarnya serba salah, dengan tangan masih menggenggam gagang telepon.

itu Tasya kan harusnya om?

overall, ceritanya mantab, ane demen cerita cinta segitiga kek gini..
wkwkwk.. :pandaketawa:
btw lagi, thanks uda di update malem2, di waktu ane bingung mau baca cerita yg mana dulu, dan serial suhu yg muncul duluan :pandajahat:
Wkwkwkkw....ia om...nanti segera ane edit...mksd nya tasya... itu... waduh kok tangan ane nulis talita... ngayalin talita latif kali ane ya....wkwkkwkw...

Thanks om... atas koreksinya, sudah ane benerin heheh...:ampun:
 
Bimabet
Wkwkwkkw....ia om...nanti segera ane edit...mksd nya tasya... itu... waduh kok tangan ane nulis talita... ngayalin talita latif kali ane ya....wkwkkwkw...

Thanks om... atas koreksinya, sudah ane benerin heheh...:ampun:

wkwkwk, suhu tau aja yg bening2 :ha:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd