Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Siapakah Fatimah Az-zahra...?

  • Sosok wanita baru dalam cerita ini

    Votes: 62 23,7%
  • Sosok wanita yang menyamar dalam cerita ini

    Votes: 200 76,3%

  • Total voters
    262
Bimabet
cerita baru suhu kita ni,,masih meraba raba sih,tapi nampaknya konfliknya udah mulai kelitatan,apalagi ketika benih benih cinta mulai tumbuh antara adit dan cinta,,,,jadi bagaimana dengan adit, cinta dan robi,,atau mingkin tasya yang bisa jadi kekasih adit...hmmmm,,still waiting for the next
 
Seru nih... rada beda dengan cerita mainstream semprot. Nonton layar tancepnya mesti tuntas nih jangan bubar kalau hujan ya suhu alias sampai tamat :pandabelo:
 
Rumit ah..cinta udah hamil...kecuali adit mau..
Nggak tau juga ya apakah Adit nya mau...?
Ditunggu saja om....

Perjalanan mereka berdua, terutama Cinta dalam berjuang menghadapi realita hidup dg kondisi hamil tanpa seorang suami.
 
cerita baru suhu kita ni,,masih meraba raba sih,tapi nampaknya konfliknya udah mulai kelitatan,apalagi ketika benih benih cinta mulai tumbuh antara adit dan cinta,,,,jadi bagaimana dengan adit, cinta dan robi,,atau mingkin tasya yang bisa jadi kekasih adit...hmmmm,,still waiting for the next
Masih awal emang om...
perjalanan hidup cinta lepas dari kukungan mamanya dg kondisi hamil akan mulai hadir ... di tunggu saja om..
 
Seru nih... rada beda dengan cerita mainstream semprot. Nonton layar tancepnya mesti tuntas nih jangan bubar kalau hujan ya suhu alias sampai tamat :pandabelo:
Semoga bisa menghibur om... Ane lebih ke cerita bukan SS nya yg byk...
 
Chapter 7. Burung Merpati Terkurung Di Sangkar Emas

Images_10.jpg
Cinta Rahayu Pramudya aka Cinta


Image_10.jpg

Sekar Rahayu Sukmawati aka Mama Sekar

Images_11.jpg

Aditya Febriansyah aka Adit



Pov 3rd


Keesokan harinya....

Cinta tidak pernah tau bahwa Adit menemui orangtuanya semalam karena pemuda itu tidak memperlihatkan gerak-gerik yang mencurigakan.

Setelah kembali dengan membawa pakaian dan makanan. Adit tidak sedetik pun beranjak meninggalkan kamar itu.

Adit juga langsung mematikan ponselnya bukan karena tidak ingin Cinta merasa aneh melihat seorang supir mampu memiliki ponsel.

Ponsel telah menjadi barang yang lazim dimiliki siapa pun dan bukan barang mewah lagi. Bahkan tukang ojek saja memilikinya.

Tetapi itu karena Adit tidak ingin menerima telepon dari siapa pun. Dari kantor, papanya, rumahnya, atau Pramudya. Bisa bocor rahasianya kalau Cinta mencuri dengar percakapannya di telepon.

Mereka menghabiskan waktu sepanjang hari dengan menonton televisi.

Adit bersandar dengan tenang di sofa di sudut kamar, sementara Cinta bergerak gelisah di atas tempat tidur.

Ketika senja semakin gelap, Adit mengusulkan untuk pergi ke luar menari makan malam.

"Kenapa tidak pesan room service saja?", elak Cinta enggan.

Ia baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah setelah dikeramas untuk menghilangkan sisa sasakan. Ia mengusap-usap kepalanya dengan handuk.

Sekejap Adit tertegun melihat betapa segarnya Cinta. Gadis itu tampak sangat cerah. Kecantikannya terlihat lebih alami tanpa make-up. Cinta telah membersihkan wajahnya dari tata rias tebal. Kini ia terlihat lebih muda, lebih belia.

"Kau kabur dari rumah karena merasa terpenjara, bukan?", tanya Adit sambil menepis kekagumannya pada kecantikan Cinta.

"Kenapa sekarang kau malah memenjarakan dirimu di sini?".
.
.
.
Setelah berkeliling di sekitar kawasan itu, akhirnya mereka menemukan restoran tradisional. Bangunannya terbuat dari batu bata dan anyaman bilik. Restoran itu sederhana, bersahaja, namun ditata artistik sehingga terlihat unik.

Restoran itu terletak di tepi tebing bukit.

Adit memilihkan duduk di pelataran belakang yang menjorok ke lembah.

Dari sana mereka melihat pemandangan malam hari yang indah.

Alam bebas terbentang dengan lampu-lampu rumah penduduk yang berkilauan.

Jalan berkelok-kelok di bawah sana, dengan cahaya lampu mobil yang berpendar-pendar.

Sungguh memikat. Indah sekali.

Diam-diam Cinta bersyukur Adit mengajaknya ke sini. Ia bisa menghirup udara segar di alam terbuka. Sesaat melupakan persoalan yang menimpanya dan mengurangi beban pikirannya.

"Aku tidak pernah tahu, kehidupan di luar kota seperti ini sungguh nyaman dan damai", desah Cinta tercenung.

Dipejamkannya matanya ketika angin berhembis menerpa wajahnya. Sejuk.

"Selama ini kau terkurung di dalam istana orangtuamu, sih", sahut Adit bergurau.

"Sesekali lihat dong apa yang ada di balik tembok kerajaan".

Mungkin karena terbawa suasana, selera makan Cinta jadi meningkat. Dengan penuh semangat ia memilih-milih pesanan makanan, yaitu gurame goreng dan tumis kangkung. Adit menambahkan dengan memesan es kopyor.

Ketika makanan terhidang, Adit mencuci tangannya dalam wadah berisi air bersih yang disediakan. Dengan lahap ia langsung menyerbu makanan dengan tangannya.

Cinta termangu memandanginya.

Ia mengawasi Adit yang dengan santai menggunakan tangannya untuk menyuap makanan.

"Ayo", tegur Adit dengan mulut penuh nasi.

"Kok malah bengong? Bukankah kau lapar?".

"Aku.... Aku....", desah Cinta ragu-ragu.

"Aku belum pernah makan pakai tangan seperti kamu mas".

Sejenak Adit berhenti mengunyah. Ditatapnya Cinta dengan sungguh-sungguh.

"Apakah mamamu mengaturmu hingga cara makan?", cetusnya iba.

"Mamaku bilang, makan pakai tangan cuma dilakukan kelas bawah dan tidak berpendidikan", sahut Cinta terus terang.

"Tangan penuh kuman. Jadi aku harus selalu menggunkan sendok dan garpu, pisau kalau perlu".

"Seperti penguasa saja mamamu", keluh Adit sambil geleng-geleng kepala.

"Selalu menggunakan alat lain untuk memotong dan menusuk supaya tanganya tetap bersih".

Adit menyodorkan wadah air lebih dekat ke arah Cinta.

"Masa cara makan saja harus memikirkan jabatan dan status sosial?", gerutu Adit geli.

"Makan pakai sendok dan garpu hanya supaya dibilang orang berkelas. Kasihan sekali. Cara menikmati makanan harus sesuai dengan jenis makanannya. Cuci tanganmu dulu. Kau akan tau, makan pakai tangan rasanya lebih lezat. Belajar dong untuk hidup lebih merakyat".

"Apa sama artinya untuk belajar hidup jorok?".

"Bukan", jawab Adit tergelak.

"Tapi belajar untuk hidup apa adanya, lebih bebas, tidak serba penuh aturan! Di sini kau bebas menjadi dirimu sendiri. Tidak perlu di poles dengan kepalsuan".

Meskipun bimbang, Cinta mencoba juga saran Adit. Awalnya kagok dan kikuk, tapi lama-lama ia mulai terbiasa menggunakan tangannya untuk menyuap makanan ke dalam mulutnya.

Ajaib.

Tanpa terasa makanan di piringnya tandas. Betul-betul nikmat, sedap.

Selama ini jika makan bersama mamanya, yang masuk ke dalam kerongkongan Cinta terasa seperti duri.

Adit masih memesan beberapa makanan kecil dan minuman hangat.

Sepanjang malam itu, ia mencurahkan perhatiannya pada Cinta seperti seorang teman yang telah bersahabat sejak lama.

Adit mendengarkan dengan sungguh-sungguh keluh-kesah Cinta.

Dengan lancar Cinta menceritakan semua tentang dirinya tanpa ada yang ditutupi.

"Mas Adit, Cinta akan ceritakan tentang siapa cinta, kehidupan cinta, keluarga cinta, kuliah serta Robi kekasih Cinta", ucap nya penuh keyakinan.

"Apakah mas Adit mau mendengarkannya".

"Jika itu bisa mengurangi beban dihati mu, mas akan dengarkan sampai habis cerita mu", sahut Adit tersenyum.

Lalu Cinta pun memulai cerita hidupnya.
.
.
.
Pov Cinta


Ketika aku lahir, kejayaan keluarga Mama dan Papa memang sudah bangkit kembali.

Bisnis mama berkembang pesat dan perusahaan yang dirintis Papa juga telah mendatangkan keuntungan, karena itu aku tidak sempat merasakan hidup susah.

Orangtuanya memanjakannya seperti putri raja, menggelimanginya kemewahan dan kesenangan.

Mama merawat dan membesarkanku dengan penuh cinta kasih dan melimpahinya dengan semua fasilitas.

Aku dijaga sedemikian rupa, bahkan bermainpun selalu diawasi. Mama tidak mau aku tergores atau terluka sedikit pun.

Aku tumbuh menjadi anak yang angkuh, yang hanya bergaul dengan anak-anak orang kaya. Aku tidak pernah berbaur dengan anak-anak yang hidup kekurangan, sehingga tidak pernah tau apa arti kehilangan dan aoa rasanya kemiskinan.

Sejak kecil aku memang telah menunjukkan kemampuan otakku yang cerdas. Mama semakin menyayangiku. Apalagi ketika setelah masuk SD, aku selalu menjadi bintang kelas.

Mama semakin menjadi-jadi mencintaiku, sehingga terlalu melindungiku. Ia mendidikku dengan keras agar aku selalu tampil sebagai juara.

Kakak-kakakku, mas Prima dan mbak Jelita, tidak begitu terlalu diperhatikan mama, tetapi meskipun itu mereka berdua tetap bisa berprestasi yang baik.

Mas Prima di sekolahnya selalu menempati ranking pertama, begitu pun dengan mbak Jelita prestasi sekolahnya pun tidak kalah dengan mas Prima.

Mama sangat membanggakan kami bertiga, tetapi perhatian yang berlebihan yang ku dapatkan seakan membuatku tidak bebas.

Kalau mas Prima dan mbak Jelita masih diperbolehkan main di luar sementara aku tidak diperbolehkan sama sekali.

Pernah suatu kali aku mencoba larangan mama, dengan ikut main dengan anak-anak tetangga di lingkungan rumah, setelah mama tau, anak-anak yang mengajakku main semua dimaki dan dihina mama, karena tidak pantas bermain denganku.

Hidupku penuh larangan dan aturan, tidak boleh begini, tidak boleh begitu, harus begini, harus begitu.

Setiap hari kegiatanku sudah terjadwal ketat. Pulang sekolah harus kursus pelajaran ini dan itu. Sementara sore hari harua latihan piano dan balet.

Di waktu senggang, mama selalu mengajakku memberi makan burung-burung merpati kipas peliharaannya. Merpati-merpati putih itu dikurung dalam sangkar yang besar setinggi rumah yang sengaj diletakkan di perkarangan depan. Sehingga setiap tamu bisa melihat dan mengagumi keindahan warna bulu merpati yang berkilauan.

"Kenapa sih, Ma. Mereka harus di kurung?", tanya ku ketika itu.

"Kau kan lihat sendiri", sahut mama sambil melemparkan biji-biji jagung ke dalam sangkar.

"Di sini mereka aman dan terlindung. Kita beri mereka makanan sehingga tidak pernah kelaparan. Di sini mereka terawat baik, sehingga bulu-bulu mereka tumbuh indah. Kalau mereka terbang bebas di luar sana, banyak ancaman yang ingin memangsa mereka".

Dalam setiap pertemuan keluarga besar atau perjamuan bisnis, aku selalu tampil bermain piano atau balet.

Mama mendandaniku sedemikian rupa, sehingga aku tampak seperti boneka yang cantik jelita.

Tepukan bergemuruh dari semua yang hadir setiap kali aku mengakhiri pertunjukan, membuat dada mama makin membusung dengan rasa bangga.

Mama semakin menjagaku seperti intan permata, bahkan ikut menyaring teman-temanku.

Hanya anak-anak yang cantik, cerdas, kaya, yang boleh bergaul akrab dengan ku sehingga aku selalu melihat kehidupan yang enak dan mudah.

Mama tidak mau membiarkanku mengenal dan bersentuhan dengan kehidupan yang susah dan prihatin. Aku harus tumbuh menjadi anak yang dipuja dan dikagumi.

Aku seperti berada di balik tembok penjara yang dibangun oleh mamaku sendiri, dipisahkan dari kenyataan pahit dan kemiskinan yang ada di sekitar mereka.

Aku menjadi anak yang kaku, dingin, sombong, egois, dan selalu menilai sesuatu dengan kacamata materi dan fisik.

"Hanya kau yang bisa ku banggakan, Cinta", bisik mama sambil membelai rambutku, setiap malam sebelum aku tidur.

"Jadilah kebanggaan keluarga ini".

Semula aku menikmati posisiku sebagai anak emas. Tetapi sejalan dengan pertumbuhan usia, aku mulai merasa tidak nyaman dengan semua larangan dan perintah mama.

Meningkat remaja, aku ingin bergaul lebih leluasa dengan teman-teman di sekolah.

Ketika menginjak SMP, aku masih takut-takut menentang mama. Aku sering mencuri-curi waktu untuk bermain dengan teman-temanku.

Sering aku membolos kursus dan memaksa supirku berbelok arah, supaya bisa bertemu teman-teman. Aku mengancam supirku untuk tutup mulut. Kalau tidak mau menuruti, aku yang akan mengadukan supirku kepada mama dengan alasan-alasan memberatkannya. Tentu saja sang supir jadi takut karena majikannya pasti lebih mempercayaiku daripada dirinya. Daripada dipecat, lebih baik ia diam saja. Biar aman.

Namun setelah SMU, aku mulai terang-terangan melawan mama, aku menolak melanjutkan kursus piano dan balet.

"Aku tidak mau jadi penghibur di depan penonton", gerutuku jengkel.

"Aku kelihatan seperti orang tolol. Main piano, menari, persis seperti pertunjukan sirkus!".

"Tapi kau punya bakat besar, Cinta", bantah mama marah.

"Kau bermain piano dengan indah, menari balet dengan memukau".

"Aku cuma terpaksa melakukannya", desis ku tertahan.

"Supaya mama senang".

Aku iri melihat kakak-kakakku, mas Prima dan mbak Jelita yang bisa leluasa pergi ke mana saja dan bergaul dengan siapa saja.

Tiba-tiba saja aku menyadari hidupku selama ini membosankan.

Aku ingin memberontak dan membebaskan diri dari belenggu mama.

Tapi itu kuurungkan niatku karena takut dengan mama, apalagi saat ia menangis setelah menceritakan betapa susahnya mereka membangun kejayaan ini yang sempat terpuruk sebelum akhirnya bisa bangkit kembali.

Aku tidak ingin mengecewakan mama, aku kembali belajar dengan giat dan lulus SMU dengan hasil gemilang, bahkan aku berhasil lolos seleksi di unibersitas negeri bergengsi di Ibukota, mengambil jurusan Akuntansi.

Aku bertekad membahagiakan mama dengan menebus semua perhatian dan kebaikan yang telah dilimpahkannya sejak aku lahir.

Seperti gadis remaja pada umumnya, aku mulai jatuh cinta. Naluri memberontak mulai terusik kembali ketika mama mulai melarang ku pacaran dengan Robi.

"Jangan rusak masa depanmu, Cinta?", tegur mama dingin.

"Jangan pertaruhkan hidupmu hanya untuk pemuda yang tidak jelas!".

"Kami cuma pacaran kok", kilah ku kesal.
"Teman-teman kuliah yang lain juga begitu. Tidak ada yang salah, kan?".

"Banyak anak-anak teman mama yang terjerumus dalam pergaulan bebas, hamil sebelum nikah dan semua itu karena pacaran nak", ucap mama menasehati.

"Tapi kalau disuruh belajar terus, aku bisa jadi perawan tua!".

"Kau harus lulus jadi sarjana", tandas mama tidak mau dibantah.

"Lalu berangkat ke Amerika untuk mengambil master!".

Namun semakin di kekang, cintaku kepada Robi justru tumbuh semakin besar. Dan aku rela melakukan apa saja asal tidak dipisahkan dengan lelaki yang dicintainya.

Bahkan untuk membuktikan rasa cintaku akhirnya aku terbuai dan terjadilah perbuatan yang seharusnya kami lakukan setelah menikah, aku hami dan ini benih dari Robi pacarku.

Aku lalu menarik nafas panjang, ada perasaan lega yang kurasakan setelah menceritakan semua beban yang selama ini berada di pundakku.

Adit sempat terperanjat saat mengetahui bahwa saat ini aku hamil, tetapi ia tak lama kemudian ia tersenyum sumrimgah dengan pandangan yang dalam.

Belakangan aku menyadari bukan suasana alam yang teduh ini yang membuatku merasa aman dan tenteram, yang menggerakan hati dan mulutku untuk mengungkapkan segalanya dengan jujur, melainkan karena perhatian dan ketulusan Adit.

"Kau seperti burung merpati yang terkurung di dalam sangkar emas, Cin!", ucap Mas Adit berkomentar.

"Begitu kamu berontak, ingin bebas, malah kamu terperosok".

Aku yang mendengar komentarnya sempat tercenung sejenak, lalu aku menjawab dengan getir.

"Itulah kesalahan terbesar ku, Mas. Selama ini aku hanya hidup dilingkungan aman, bak burung merpati peliharaan mama....", sahut ku lirih.

"Begitu bebas aku malah buta apa yang akan kulakukan, seperti halnya yang terjadi sekarang ini?".

Tak terasa waktu semakin larut, mas Adit mengajak ku kembali ke bungalo untuk beristirahat.




Bersambung.....
 
Selamat membaca!!!

Ditunggu Like, kritik, saran dan komentarnya.


Salam semprot,

rad76
 
Kasihan Cinta..hidupnya bosan...ditipu Robi...kini hidupnya ngak ada arah tuju..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd