Bab 45
Seorang gadis, apalagi termasuk dalam kategori cantik, tentu akan sangat memuja pasangannya setinggi langit dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.
Jika ada gadis lain yang menyukai pemuda yang disukainya, rasa panas pasti menggelayuti seluruh pori-pori dalam tubuhnya.
Dalam arti luas ... cemburu buta!
Justru Retno Palupi melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan seorang gadis yang mempunyai pasangan tampan dan rupawan.
Dia membiarkan saja gadis itu ikut pula menyukai pemuda disukainya tanpa ada rasa cemburu atau iri hati. Malahan ia bangga, pemuda pilihannya ternyata bisa menarik minat gadis lain, yang berusaha mencoba masuk dalam kehidupan mereka berdua.
"Tunggu ... tunggu dulu ... jadi yang kau maksud dengan 'tambah satu lagi' adalah ini?" tanya Paksi dengan tatap pandang menusuk ke dalam mata Retno Palupi.
"Aduh ... Kakangku ini pinter deh." kata gadis itu dengan senyuman manis terukir.
"Dan aku yakin, Kakang Paksi tidak akan menolak gadis secantik Nawara."
"Bagaimana Nimas bisa berkata seperti itu?"
"Berarti Kakang orang tolol bin bego! Karena aku juga seorang gadis.
Tahu betul bagaimana watak seorang laki-laki terhadap seorang wanita, apalagi dia cantik jelita," urai Retno Palupi panjang lebar.
"Jika aku menerimanya, bukankah itu tidak adil untukmu, Nimas."
"Tidak juga!" kata Retno Palupi, enteng, " ... selama Kakang bisa membagi diri dengan adil antara kami berdua, aku tidak keberatan." lalu berdiri lambat-lambat, berjalan ke arah bagian belakang Paksi.
"Kami berdua ... kami berdua ... ! Memangnya aku sudah pasti setuju apa dengan usul gilamu itu," sungut Paksi Jaladara sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, walau dalam hati ia merasa senang juga dipuji seperti itu.
Yang jadi masalah adalah prakteknya, itu yang sulit!
Sambil memeluk mesra Paksi dari belakang, yang tentu saja, langsung merasakan kekenyalan gumpalan padat menghangati sekitar punggung si pemuda.
Retno Palupi merebahkan kepala di punggung Paksi.
Sebentuk perasaan sayang tiba-tiba saja menyeruak keluar dari dalam dada, menyebabkan Gadis Naga Biru memejamkan mata.
"Kakang harus bisa menerimanya, seperti halnya menerima diriku," suara berbisik terdengar lirih di telinga kiri Paksi.
Bulu kuduk pemuda itu langsung meremang karena geli.
"He-he-he ... "
"Apa yang Kakang tertawakan?" tanya heran Retno Palupi.
"Biasanya para laki-laki yang merayu gadisnya agar ia bisa mendua, tapi kini justru terbalik! Nimas merayuku agar menduakan dirimu! Benar-benar kekasih ajaib kau ini," kata Paksi sambil mencubit pelan hidung mancung Retno.
"Yah ... aku hanya berbagi kebahagiaan saja dengan orang lain, masak tidak boleh?" kata Retno, manja.
"Tentu saja boleh! " kata Paksi menggantung. “Tapi ngomong-ngomong ... “
"Apa?"
Sambil menarik kepala Retno sedikit ke samping, tepat pada telinga gadis, ia berbisik mesra,
"Milikmu besar juga."
Dan tanpa permisi ...
Cupp!
Sebuah ciuman cinta mendarat di pipi halus gadis itu.
"Iihh ... Kakang curang!" katanya sambil melepaskan pelukan.
Mereka bercanda ria dan tertawa-tawa lepas di sebuah bangku kecil yang memang cukup untuk mereka berdua, itu pun harus duduk berdempetan.
Tanpa terasa, waktu sudah semakin siang.
Saat-saat Gerhana Matahari Kegelapan sudah menunjukkan tanda-tanda bakal terjadi.
Si Elang Salju langsung menyadari perubahan alam yang masih samar itu.
"Retno, apa kau merasakan sesuatu?' tanya Paksi, masih memeluk Gadis Naga Biru.
"Aku merasakannya Kakang.
Hawa berubah menjadi sedikit dingin, dan angin ... seperti berhenti berhembus saat ini," ucap Retno Palupi,
" ... apa tanda-tanda bencana bakal terjadi sekarang?"
"Mungkin saja," pemuda itu berkata sambil melepas pelukan, lalu bangkit berdiri, "Nimas, kembalilah ke posisimu."
"Baiklah, Kakang! Berhati-hatilah," kata Retno sambil menggenggam erat tangan pemuda itu, dan menghadiahkan ciuman hangat di bibir pemuda berbaju putih-putih, yang langsung dibalas dengan lumatan mesra.
"Kau juga harus hati-hati, Nimas," kata Paksi, lalu sambungnya, " ... Kakang ada sesuatu untukmu. Kau tunggulah sebentar disini."
Tanpa menunggu jawaban, Si Elang Salju berkelebat pergi, dan bagai angin pula, ia telah kembali ke tempat itu.
Di tangannya tergenggam dua buah benda yang panjangnya bertolak belakang.
"Aku tahu Nimas tidak membawa senjata ... "
"Aku biasa tidak bersenjata, Kakang." ralat Retno Palupi.
"Tidak ada salahnya memiliki senjata.
Disini ada Sepasang Golok Terbang Mengejar Bulan dan Pedang Samurai Kazebito ... " kata Paksi sambil mengangsurkan dua senjata anehnya.
"Silahkan Nimas pilih salah satu."
"Tapi Kakang ... ini kan pedang dan golok milikmu."
"Aku tidak keberatan, Nimas."
Retno tahu, waktu yang mereka miliki tidaklah banyak, ia harus segera mengambil keputusan saat itu juga.
Tangannya mengarah ke Sepasang Golok Terbang Mengejar Bulan, tapi ia urungkan.
Justru tangan halus itu mengarah ke Pedang Samurai Kazebito.
"Bagaimana jika pedang panjangmu yang kupilih?"
"Aku setuju! Sebenarnya sudah kutetapkan Nimas memegang pedang ini," kata pemuda itu sambil mengangsurkan Pedang Samurai Kazebito pada gadis itu.
"Nimas bisa jurus pedang?"
"Jelek-jelek begini aku handal menggunakan Ilmu ‘Pedang Naga Laut’ warisan kakekku," sahut Retno Palupi.
"Syukurlah kalau begitu."
"Dengan senjata sekecil itu apa Kakang yakin bisa menggunakannya." kata Gadis Naga Biru, melihat sepasang senjata yang disebut golok itu.
"Sangat yakin!"
"Sangat yakin?"
Pemuda itu hanya mengangguk pelan.
Tak lama, keduanya segera berpisah, tentu saja sebelumnya ciuman hangat bertaut di bibir pasangan kekasih itu.
Tiba-tiba terdengar pekikan nyaring di angkasa.
Awwwk ... awwwkk ... !
Pekikan elang yang panjang nyaring melengking, sebagai pertanda bahwa musuh telah menembus pagar gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin' yang dibuat dari Mutiara Hastarupa Hastawarna yang diletakkan di delapan sudut Padukuhan Songsong Bayu.
Semua orang yang memiliki Bintang Penakluk Iblis langsung memposisikan diri masing-masing di delapan sudut arah mata angin.
Pemilik bintang satu, Si Elang Salju sebagai Pewaris Sang Angin menduduki posisi timur.
Pemilik bintang dua, Jin Kura-kura sebagai Pewaris Sang Air menduduki posisi tenggara.
Pemilik bintang tiga, Rintani yang juga murid Kutu Buku Berbambu Ungu bersama dengan Seto Kumolo alias Sabuk Hitam Macan Loreng yang juga Ketua Perguruan Gerbang Bumi menduduki posisi selatan.
Pemilik bintang empat, Simo Bangak sebagai Pewaris Sang Tanah menduduki posisi barat daya dan barat, meski cukup berat, tapi bocah sableng itu justru menikmati tugas gandanya, karena bintang ke lima juga tertera rapi di tubuhnya.
Pemilik bintang enam, Gadis Naga Biru putri tunggal Majikan Wisma Samudera menduduki posisi barat laut, lengkap dengan Pedang Samurai Kazebito yang masih berada dalam sarung.
Pemilik bintang tujuh, Ayu Parameswari sebagai Pewaris Sang Api menduduki posisi utara bersama dengan Nawara.
Pemilik bintang delapan, anak Wanengpati yang masih dalam kandungan ditempatkan di posisi timur laut.
Dikarenakan bintang ke delapan masih dalam kandungan maka diletakkan pada sudut yang berdekatan dengan posisi timur agar mudah diawasi, selain itu masih dijaga ketat Sepasang Raja Tua, Juragan Padmanaba dan Nawala,
Sedangkan Ki Dalang Kandha Buwana dan suami Dhandhang Gendhis yaitu Wanengpati berdiri tegak di atas pucuk-pucuk pohon.
Mereka berdua berkedudukan paling diandalkan untuk melumpuhkan Ilmu 'Kelambu Gaib' yang kemungkinan besar digunakan pihak lawan.
Beberapa saaat kemudian, desiran angin terhenti dengan tiba-tiba.
Suasana terang benderang menjadi sedikit redup, seperti pada petang hari.
Semua orang yang ada ditempat itu langsung bersiaga penuh mengetahui tanda-tanda bencana telah muncul.
Tiba-tiba tubuh Paksi bergetar, bulu kuduknya merinding,
"Ada hawa pembunuh yang sangat kuat dari beberapa orang di depanku."Jarak sepuluh tombak dari arah pemuda itu kembali terasa hawa pembunuh yang semakin dahsyat!
"Gila," pikirnya, "Rasanya selama ini belum pernah aku bertemu dengan hawa pembunuh sekuat ini! Aku harus memberitahu Paman Kandha."
Dengan ilmunya yang sudah tinggi, Paksi segera mengirimkan suara jarak jauh yang ditujukan pada Ki Dalang Kandha Buwana dan Wanengpati.
"Paman Kandha, lantunkan mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’, sebab mereka ada sejarak sepuluh tombak dari tempat kita berdiri." kata si Elang Salju.
Dua orang itu segera saling pandang, dan mengangguk hampir bersamaan.
Sebentar kemudian, terndengar lantunan mantra yang aneh.
Tidak umum.
Tidak sebagaimana mestinya.
Mantra sakti yang terbalik!
Bersamaan dengan gaung mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’ mengalun, terjadilah kehebohan di delapan sudut penjuru mata angin.
Bushh ... buussh ... !
Kepulan asap warna-warni membumbung ke atas dengan cepat, lalu hilang di udara.
Begitu kepulan asap menghilang, tampak sepasukan makhluk gaib yang telah mengepung tempat itu!
Semua orang yang berada di wilayah itu mengalami keterkejutan yang teramat sangat, diantaranya sampai mengeluarkan keringat dingin tanpa mereka sadari.
Jumlah pasukan makhluk gaib terlalu banyak sehingga Paksi Jaladara dan kawan-kawan sulit mengetahui jumlah pasti makhluk-makhluk negeri siluman itu.
"Gila! Jumlah mereka banyak sekali! Jika begini caranya sulit sekali menumpas mereka," pikir Paksi Jaladara.
Pemuda itu berusaha setenang mungkin dalam menghadapi bahaya yang ada didepan mata!
Benar-benar pemuda pilihan!
Didepan Si Elang Salju sendiri berdiri puluhan bahkan mungkin ratusan siluman kera dengan beraneka ragam bentuk dan jenis yang berteriak-teriak, jingkrak-jingkrak tak karuan.
Paling depan sendiri berdiri kokoh sesosok tubuh kekar dengan gada besar di atas pundak.
Tubuhnya memang seperti sosok manusia, tapi tarikan bibir dan selebar wajahnya berbulu lebat dengan mata menyala kuning kemerahan bagai mutiara.
Yang lebih menggidikkan, ternyata makhluk itu memiliki sebentuk ekor panjang yang ujungnya memiliki gaetan dari besi hitam.
Dialah Senopati Monyet Plangon!
Sementara itu, di depan Jin Kura-kura yang berada di posisi tenggara, tersebar ribuan jenis hewan berbisa berbentuk kalajengking yang dipimpin tiga siluman kalajengking berkepala manusia, terdiri dari kala kuning yang kehilangan tangan kiri, kala hijau dan kala biru.
Merekalah yang disebut sebagai Kelompok Kala Maut pimpinan Senopati Kala Hitam, orang yang berdiri berkacak pinggang berpakaian hitam-hitam dengan sebuah cambuk aneh ekor kalajengking melilit pinggang.
Wajah tirusnya sebentar-sebentar menyeringai menampakkan seribu kelicikan.
Sedang Rintani murid Kutu Buku Berbambu Ungu dan Seto Kumolo Ketua Perguruan Gerbang Bumi juga tak kalah kagetnya.
Sebab dihadapan mereka berdiri ratusan siluman beraneka ragam bentuk.
Ada tuyul, jin kecil-kecil, setan berkepala besar, tengkorak berjalan dan sebagainya.
"Kakang, bagaimana menghadapi siluman seperti mereka? Apa ilmu-ilmu kita mempan pada mereka?" tanya lirih Rintani dengan rasa khawatir.
"Aku sendiri juga tidak tahu, Rintani! Ini adalah pertarungan teranehku yang pertama," bisik pula Seto Kumolo, sambil menggenggam erat tangan kekasihnya, seolah berusaha memberikan perlindungan dan rasa aman. “Kita serahkan saja pada Hyang Widhi!”
Rintani pun semakin erat menggenggam tangan Seto Kumolo, seakan tidak mau dipisahkan.
Justru yang paling bahagia adalah Simo Bangak kali ini!
Lho, kok bisa?
Tentu saja bisa, sebab di hadapan bocah sableng itu berdiri seorang wanita cantik berambut panjang dengan tubuh manusia dari kepala hingga sebatas pusar, sedang dari pusar kebawah seluruhnya bertubuh ular.
Tentu saja bocah gendeng itu gembira, karena lawan yang dihadapinya meski termasuk jenis siluman ular berbadan manusia, tapi Senopati Taksaka Sunti, si wanita siluman ular hadir dalam keadaan telanjang bulat sehingga menampakkan segala kemolekan tubuh sintal dan montok miliknya.
Rambut panjangnya menutupi sebentuk gumpalan padat menggelembung yang ada di depan dada, sedang di belakangnya ribuan jenis ular melata sambil menjulur-julurkan lidah merah bercabang dua.
Kali ini, Senopati Taksaka Sunti datang lengkap dengan Barisan Ular Setan andalannya!
Sedang di bagian barat, entah darimana datangnya, seorang pemuda berbaju coklat buntung tanpa kancing bercelana pangsi hitam sudah berada ditempat itu.
Sepasang pisau panjang telanjang bercahaya biru keemasan tergenggam erat di tangan.
Meski tidak cukup tampan, tapi sinar matanya teduh mententramkan hati.
Semua orang yang ada disitu bertanya-tanya dalam hati tentang siapa adanya si pemuda berpisau panjang yang datang tak diundang.
Tanpa menoleh, pemuda itu berkata pelan, namun jelas,
"Den Paksi! Semoga kedatanganku ke tempat ini belum terlambat."
Kata 'Den Paksi' mengagetkan si Elang Salju, sontak ia menoleh ke sumber suara yang sangat akrab ditelinganya.
"Kakang Gineng?"
"Apa kabar Den Paksi," kata si pemuda yang ternyata Gineng adanya,
"Saya diutus guru untuk membantu ke sini."
"Guru? Maksudmu ayahanda ... "
"Bukan, Den Paksi! Tabib Sakti Berjari Sebelas adalah guru kedua saya, setelah Ki Ragil Kuniran tentunya." kata Gineng, "Cerita selengkapnya lebih baik nanti saja."
Paksi Jaladara hanya mengangguk pelan, pikirnya, "Yang dimaksud Si Perak sebagai utusan dari istana mungkin Kakang Gineng.
Entah bagaimana caranya Kakang Gineng bisa menjadi murid kakek tabib." lalu lanjutnya, " ... syukurlah kekosongan di posisi barat terisi juga.
Biarlah babi raksasa itu dihadapi Kakang Gineng."
Kali ini Senopati Babi Angot, si siluman babi yang berbentuk babi raksasa berhadapan muka dengan Gineng, murid Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan.
-o0o-