Bab 54
Sementara itu, peta pertarungan yang tersisa hanyalah Pasukan Kuda Iblis yang diserang membabi buta oleh Pasukan Manusia Rawa dan Senopati Kala Hitam yang masih beradu nyawa dengan sengit melawan Jin Kura-Kura, murid tunggal Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
Pasukan Kuda Iblis yang melihat bahwa pimpinannya telah tewas, langsung mengerahkan kemampuan tertinggi masing-masing.
“Hieghh ... hieghhh ... !”
Pasukan siluman yang pada awalnya berjumlah belasan kini tinggal lima siluman kuda berbadan manusia langsung mengerahkan 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' secara serempak.
“Hieghh ... hieghhh ... !”
Disertai ringkikan kuda, lima siluman kuda berbadan manusia langsung menerjang cepat ke arah Pasukan Manusia Rawa.
Brakk! Brakk! Craaak! Crakk! Jdderr ... !
Jika Manusia Rawa punya dua kaki, maka siluman kuda justru punya empat kaki yang kokoh.
Begitu dua puluh kaki bergerak menendang secara hampir bersamaan, puluhan Manusia Rawa langsung terlempar dengan tubuh tercerai berai dengan tubuh hancur membentuk serpihan.
Begitu membentuk serpihan dan jatuh ke tanah, cacahan tubuh Manusia Rawa mengeluarkan asap hijau bergulung-gulung.
Blabb!
Begitu asap hijau menghilang, terlihat belasan Manusia Rawa sudah berdiri kokoh menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi runcing mereka. Dan tanpa dikomando, langsung menyerang Pasukan Kuda Iblis yang tersisa.
Tanpa bisa dicegah lagi, mereka berlima menjadi sasaran keberingasan dari Pasukan Manusia Rawa ini, sehingga pertarungan menjadi lebih mengerikan karena diiringi dengusan kuda yang sekarat dan ringkikan kematian yang menyayat.
“Hieghh ... mbrrrr ... !”
Blubb! Blusshh ... !
Jika dilihat sekilas, pertarungan yang tersisa ini seperti ajang pembantaian saja.
Saling banting, saling cakar, saling cekik bahkan ada yang saling hantam dengan jurus-jurus maut yang dilakukan Pasukan Kuda Iblis. Akibatnya, berulang kali terdengar dentuman keras yang memekakkan telinga.
Dharr, dharr, jldarrr ... !
Kembali Pasukan Manusia Rawa terbantai, dan kembali pula jumlah Manusia Rawa bertambah empat kali lipat banyaknya.
Tak pelak lagi, nyali Pasukan Kuda Iblis semakin kuncup.
Satu demi satu mereka meregang nyawa dan kemudian tewas diikuti dengan kepulan asap berbau bangkai, hingga pada siluman terakhir yang langsung terbantai ramai-ramai.
Blubbb! Blushh ... !
Pertarungan mengerikan pun telah usai.
Kini yang tersisa dari hanyalah sekitar empat ratusan Pasukan Manusia Rawa yang tegak mematung seperti menunggu sesuatu.
Tidak ada gerakan apa pun dari mereka, bahkan yang terdekat dari Wiratsoko sejarak dua tombak tidak melakukan apa-apa.
Di sela-sela pertarungan, Joko Keling masih sempat melirik pasukan andalannya.
Begitu tidak ada lagi sisa para penyerang, pemuda berkulit hitam langsung berteriak keras,
“Pasukan Manusia Rawa! Kembali ke asal!”
Begitu mendengar perintah, seluruh Pasukan Manusia Rawa langsung menjatuhkan diri dengan posisi kura-kura merangkak.
Brughh! Brughh!
Bushh ... bushh ... !
Kembali bekas arena pertarungan dibuncahi gumpalan asap pekat.
Kalau sebelumnya adalah warna hitam dengan segala macam bau busuk yang menyengat hidung, kali ini justru gumpalan asap hijau disertai bau daging bakar yang diberi bumbu masak atau rempah-rempah.
Begitu asap dan bau menghilang, yang tersisa hanyalah medan pertarungan terakhir antara Senopati Kala Hitam yang bertarung ketat dengan Jin Kura-Kura.
Pertarungan mereka inilah yang paling lama dan paling seru, bahkan acapkali terdengar suara beradunya tenaga dalam yang dimiliki masing-masing pihak.
Jldarr! Jdlarr!
Senopati Kala Hitam dengan bersenjatakan Cambuk Ekor Kalajengking yang mengandung racun mematikan dan 'Tenaga Gaib Siluman Kalajengking' yang sudah dikerahkan hingga tingkat paling tinggi seolah-olah tidak berguna sama sekali saat berulang kali menyentuh sosok gemuk hitam yang menjadi lawannya.
Tarr! Tarrr!
“Cambuk bututmu tidak akan mempan terhadapku, siluman jelek!” oceh Arjuna Sasrabahu sambil membiarkan senjata lawan mencicipi kehebatan Ilmu ’Jubah Kura-Kura Sakti’ yang menjadi andalannya.
“Lihat sekellilingmu, sobat! Semua teman-temanmu sudah duluan berangkat ke neraka, dan tak lama lagi ... giliranmu pun akan tiba!”
Senopati Kala Hitam yang sedang konsentrasi melakukan serangan-serangan berbahaya, tidak terpengaruh sedikit pun dengan pancingan yang dilakukan oleh lawan, bahkan lewat jurus 'Kalajengking Menyabetkan Ekor' kaki kanan Senopati Kala Hitam berhasil masuk ke dalam daerah pertahanan Jin Kura-Kura di bagian dada saat lawan sedang berusaha memecah konsentrasinya.
Dhess ... ! Duarrr!
Senyum seringai kemenangan sudah terpatri di sudut bibirnya saat melihat serangannya masuk, lalu berkata,
“Dasar manusia bego! Justru kau sendirilah yang akan menyusul teman-temanku ke neraka!”
Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari bawah yang dengan serta merta membuat Senopati Kala Hitam terlonjak kaget!
“Benarkah?”
Rupanya di saat yang tepat, Arjuna yang mengetahui arah serangan lawan, segera menurunkan tubuhnya ke bawah sambil tinju kirinya menghantam ke kaki lawan.
Tentu saja tinjunya bukan sembarang tinju, tapi tinju yang didalamnya sarat dengan Ilmu ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’ yang dirangkum lewat jurus ’Tinju Kura-Kura Berantai’!
Jadi, suara ledakan yang terakhir adalah saat dimana jurus ’Tinju Kura-Kura Berantai’ menghantam kaki kanan lawan.
Begitu lawan terkesima sesaat, Arjuna Sasrabahu langsung memanfaatkan kesempatan emas dengan melayangkan puluhan bahkan ratusan bayangan tinju ke seantero tubuh Senopati Kala Hitam.
Bukk! Bukk! Dessh! Bukk! Bukk! Dessh! Bukk! Bukk! Dessh!
Tubuh Senopati Kala Hitam terhajar dengan telak, bahkan untuk bernapas saja sudah kesulitan, apalagi harus menangkis bayangan tinju yang datangnya bagai hujan. Pada tinju terakhir paling keras, tubuh Senopati Kala Hitam langsung melayang ke atas bagai layang-layang putus tali.
Dhess!
Darah kental kehitaman sontak keluar dari sembilan lubang hawa di tubuhnya.
Arjuna yang melihat kesempatan emas ternyata datang untuk kedua kalinya, langsung mengejar sambil berteriak nyaring,
“Sekarang, silahkan cicipi ’Tinju Dewa Api’ milikku!”
Begitu selesai berkata, sebentuk hawa api merah kekuning-kuningan membentuk sosok semu kepala kura-kura yang berasal dari ’Tinju Dewa Api’ yang dengan ditopang dengan Ilmu ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’ tingkat tujuh terhampar.
Whusss!!
Begitu cepat datangnya serangan, sehingga membuat Senopati Kala Hitam yang terluka parah tidak bisa berbuat apa-apa.
“Tamat sudah riwayatku ditempat ini!”
Blamm ... blamm ... glarrr ... !
Terdengar suara dentuman bertalu-talu disertai kepulan asap kuning kemerahan saat 'Tinju Dewa Api' yang dilepas Jin Kura-Kura menyentuh raga lunglai Senopati Kala Hitam yang sedang melayang jatuh.
Whuss!
Akan tapi justru yang terpental adalah Jin Kura-Kura dengan kondisi luka cukup parah!
Melihat arah luncuran tubuh Jin Kura-Kura ke posisi ayah dan anak yang saat ini sedang mengawasi keadaan disekeliling arena pertempuran, membuat Wanengpati tanpa diperintah langsung melesat cepat menyongsong luncuran tubuh Joko Keling.
Tapp!
Begitu menyentuh cangkang kura-kura, pemuda itu langsung memutar tangan setengah lingkaran untuk mengurangi daya luncur akibat benturan sambil melayang ringan ke bawah bagai burung walet kembali ke sarang, diikuti dengan Ki Dalang Kandha Buwana yang bergerak lincah ke bawah dengan jurus peringan tubuh yang bernama Ilmu ‘Menjangan Punguh’!
Wuss ... ! Tapp!
“Kenapa kau turun, Kandha?” tanya Juragan Padmanaba saat melihat sang besan berdiri tepat di sampingnya.
“Karena yang kita tunggu selama ini telah hadir disini,” kata lirih Ki Dalang Kandha Buwana dengan mata tetap menatap lurus ke depan, ke arah satu sosok yang sedang melayang turun sambil memondong tubuh Senopati Kala Hitam.
Rupanya pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan perak menghadang serangan pamungkas yang dilancarkan oleh murid tunggal Kura-Kura Dewa Dari Selatan sejarak sejengkal dari tubuh Senopati Kala Hitam dengan lima jari tangan kiri terkembang. Itulah ilmu pertahanan yang paling terkenal di jagad persilatan, ilmu yang juga terdapat dalam Kitab Hitam ‘Bhirawa Tantra’.
Ilmu 'Tapak Emas Penghukum Balai'!
Sosok itu berdiri gagah dengan tangan kiri masih diselimuti cahaya tipis keemasan dikarenakan mengerahkan Ilmu 'Tapak Emas Penghukum Balai' yang cahayanya semakin lama semakin memudar, sedang tangan kanan disembunyikan di balik punggung. Baju putih keperakan yang dipakainya bagaikan lentera di dalam kegelapan malam, meski glapnya suasana akibat Gerhana Matahari Kegelapan yang diterangi dengan puluhan cahaya obor, tapi masih kalah terang dengan pancaran sinar perak yang berasal dari baju yang dikenakan sosok yang telah menyelamatkan Senopati Kala Hitam.
Yang cukup mengejutkan adalah, sosok berbaju perak itu mengenakan sebuah topeng tengkorak dari baja murni yang bentuk dan wujudnya sama persis dengan topeng tengkorak yang dimiliki oleh Si Topeng Tengkorak Emas.
Sementara dibelakangnya, berdiri ribuan siluman, jin, biang setan dan segala macam penghuni alam gaib lainnya.
Namun anehnya, semua tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri sekarang ini, tidak seperti sebelumnya saat dipimpin Enam Senopati yang begitu riuh dan semarak.
Sementara itu, sosok bertopeng tengkorak terlihat berdiri tenang hingga aura keagungan terpancar keluar dari sosok tubuh tinggi kekar ini.
Namun dibalik aura keagungan itu pula, ternyata tersembunyi satu bentuk aura kegelapan yang bisa menghancurlumatkan apa saja.
Bahkan orang-orang yang ada ditempat itu sampai merinding mana kala ujung-ujung syaraf-syaraf mereka bersentuhan dengan sebentuk kekuatan kasat mata.
Begitu melihat sosok orang yang menyelamatkannya, Senopati Kala Hitam langsung duduk menyembah!
“Maharaja Agung!” kata Senopati Kala Hitam.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, sosok yang disebut sebagai Maharaja Agung justru melangkah maju ke arah tempat Paksi Jaladara dan kawan-kawan berkumpul.
“Tak kusangka, ternyata Mutiara Langit Merah sendiri juga memiliki daya pelindung yang tangguh dan mumpuni,” kata pelan Sang Maharaja Agung, “Aku telah salah perhitungan kali ini!”
Tentu saja laki-laki yang ternyata adalah Raja Di Raja Kerajaan Iblis Dasar Langit sendiri yang datang ke tempat itu.
Matanya tidak lepas dari gumpalan cahaya kunang-kunang yang menyelimuti sosok majikan Mutiara Langit Merah dan ibunya.
Laki-laki itu tahu betul, bahwa dirinya tidak akan mampu mendekat apalagi sampai mengambil benda yang sangat diinginkannya tersebut.
Satu-satunya orang yang bisa mengambil Sepasang Mutiara Langit tanpa terhalang pancaran sinar maut hanya majikannya sendiri dan juga sejenis manusia setengah setan separuh iblis, dan satu-satunya manusia jenis ini yang diketahui hanyalah anaknya seorang.
Pangeran Nawa Prabancana!
“Seharusnya Nawa Prabancana yang aku suruh datang kemari,” pikir Sang Maharaja Agung atau Topeng Tengkorak Baja.
“Namun menurut hematku, kusingkirkan saja dulu penghalang yang ada didepan mataku ini!
Jika mereka semua sudah mampus, urusan mengambil Sepasang Mutiara Langit sama mudahnya dengan membalik telapak tangan.”
“Siapa kau?” tanya Paksi Jaladara sambil maju ke depan, berdiri sejarak dua tombak dari sosok berbaju putih perak.
Belum sampai terdengar jawaban, dari arah kejauhan terdengar suara sahutan nyaring,
“Dialah yang merencanakan semua ini, Ketua!”
Belum sampai suara bernada aneh itu hilang dari pendengaran, sesosok bayangan kelabu telah berdiri dengan kokoh di hadapan Paksi Jaladara sambil memberi hormat!
Seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh lima tahunan dengan postur tinggi besar kekar berotot.
Kulit tubuhnya yang kuning pucat dipadu dengan celana dan baju yang serba abu-abu, termasuk pula sebentuk sabuk kulit dari sejenis beruang yang juga berwarna abu-abu.
Jika tubuhnya kekar berotot, justru matanya cenderung kecil memanjang alias sipit.
Yang aneh dari sosok ini adalah di bagian kepalanya terdapat sebentuk benda bulat warna hitam legam yang terbuat dari batu cadas hitam.
Benda itu mirip sekali dengan topi gembala yang biasa digunakan oleh orang-orang dari Daratan Mongolia.
Yang cukup mengejutkan, laki-laki berwajah asing ini pada bagian punggungnya tergantung sebentuk kapak raksasa bermata satu yang telanjang mengkilat dengan gagang panjang terbuat dari gading gajah purba.
Itulah yang dinamakan Kapak Batu Sembilan Langit!
“Hamba Xiangzi Shang, Pewaris Sang Batu, menghadap Ketua!” laki-laki yang mengaku bernama Xiangzi Shang mengepalkan kedua tangan di depan dada dengan badan sedikit membungkuk. Logat bahasanya terdengar aneh di telinga, meski ia lancar menggunakan logat jawa.
“Penghormatanmu kuterima, Pewaris Sang Batu!” kata paksi jaladara dengan tenang.
“Siapa tadi namamu?”
“Hamba Xiangzi Shang, Ketua!”
Telinga Paksi agak aneh mendengar sebuah nama yang pertama kali didengarnya itu.
“Apa ada nama lain yang bisa memudahkanku dalam memanggilmu, Pewaris Sang Batu?”
“Guru hamba memberi julukan Dewa Cadas Pangeran, Ketua!”
Guru yang dimaksud oleh Dewa Cadas Pangeran tentulah Pengawal Gerbang Utara dari Istana Elang yang dijuluki sebagai Si Kapak Batu Sembilan Langit yang dulu kala terkenal dengan jurus 'Kapak Batu Dingin Kutub Utara' dan Ilmu 'Sembilan Pukulan Titah Penghancur Langit'.