Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Pendekar Elang Salju

Bab 56

Masih dengan jurus yang sama pula, Sang Maharaja Agung mengarahkan tapaknya ke arah jasad Sepasang Raja Tua.

Semua begitu terpana melihat tewasnya Raja Pemalas dan Raja Penidur pada pertarungan kali ini sehingga tidak bisa mencegah tindakan yang dilakukan lawan untuk menghancurkan sosok raga kaku dari Sepasang Raja Tua.
Tapi benarkah semua terpaku dengan kejadian itu?
Ternyata ... tidak!

Tiba-tiba saja, terdengar suara legnking tangis bayi yang menyadarkan mereka semua dari keterpakuan sesaat.
Bahkan Sang Maharaja Agung sendiri juga terhenti dalam posisi siap memukulkan tapak tangannya.

"Oeeekkhh ... oeeekkhh ... "

Paksi Jaladara, Si Elang Salju yang sadar diri untuk pertama kalinya, langsung mengerahkan tahap ke empat dari Kitab Sakti 'Hawa Rembulan Murni' tanpa ragu-ragu lagi.

Sratt! Swoshhh ... !

Begitu seluruh tubuh pemuda itu diselimuti kabut putih keperakan yang kian lama kian menebal, dan bersamaan dengan kepulan kabut, dari balik selimut kabut melesat sesosok bayangan elang putih raksasa dan mengarah ke Sang Maharaja Agung dengan kecepatan kilat.

Lappp ... !

Blammm! Blamm! Bummm ... !

Tanpa ada halangan, bayangan elang raksasa langsung menabrak sosok Topeng Tengkorak Baja yang saat itu sedang pecah konsentrasi akibat mendengar suara tangis bayi.
Dan akibatnya, tubuh laki-laki bertopeng tengkorak dan sosok bayangan elang yang sama-sama sedang mengerahkan jurus-jurus maut kini terpental berlawanan arah.

Wutt ... !

Jika sosok bayangan elang langsung mengarah ke arah kumpulan pendekar yang sedang menyembuhkan diri dan posisi agak ke kiri, justru Sang Maharaja Agung terpental balik ke tempat semula dan bisa berdiri dengan dua kaki tegak di atas bumi.

Jlegg!

Brughh ... !

Begitu menyentuh tanah, sosok bayangan elang raib, dan berganti dengan tubuh Paksi yang sedang berjongkok dengan satu kaki di tekuk.

"Kakang Paksi!" seru Gadis Naga Biru dengan langkah tertatih-tatih.

Di antara mereka yang masih bisa berdiri kokoh hanyalah Retno Palupi, Seto Kumolo, Dewa Cadas Pangeran, Ki Dalang Kandha Buwana dan Wanengpati, sedang yang lain masih tergeletak di tanah dengan napas kembang kempis.

"Dia sangat tangguh, Nimas! Aku tidak bisa mendekatinya," kata Paksi dengan lirih sambil bangkit berdiri.

"Kau ternyata hebat juga, Majikan Mutiara Langit Putih! Jarang aku temui manusia yang bisa bertahan dari jurus ‘Amarah Raja Kegelapan’ dalam satu jurus!" tutur Sang Maharaja Agung dari Kerajaan Iblis Dasar Langit kagum,
"Kau adalah orang pertama yang bisa menahan ilmuku ini!"

"Aku tidak butuh pujianmu, Topeng Tengkorak Baja!" ucap Paksi Jaladara,
"Yang aku butuhkan ... urungkan niatmu mendirikan kerajaan setanmu di atas bumi ini ... "

"Heh, kau tidak perlu menekanku, anak muda!
Memangnya kau ini siapa?" bentak Sang Maharaja Agung sambil menudingkan tangan kirinya,
"Lagipula, kalian semua berada di bawah angin, seharusnya kalian yang menuruti perkataanku!
Lagi pula, tanpa perlu aku sendiri yang turun tangan pun, kalian bisa kami binasakan seluruhnya dalam sekejap!"

"Oh, ya?" kata Paksi meremehkan,
"Kenapa tidak sekarang saja kau bunuh kami? Itu kan mudah!"

"Dasar pemuda bangsat!" bentak Sang Maharaja Agung.

Mulanya ia berniat menekan sisi kejiwaan dari si pemuda berbaju putih, tapi rupanya pemuda itu cukup cerdik untuk diakali olehnya.

Dewa Cadas Pangeran mendekati Paksi Jaladara dengan menyeret Kapak Batu Sembilan Langit.
Lalu ia membisiki pemuda itu, "Ketua, yang bisa mengalahkannya hanyalah gabungan Delapan Bintang Penakluk Iblis."

"Kondisi kita saja sekarang morat-marit seperti ini," jawab Paksi dengan pelan.
"Sulit sekali menggunakan kemampuan tarung mereka sekarang ini."

"Yang kita butuhkan bukanlah kekuatan raga, tapi kekuatan hati."

"Kekuatan hati?"

"Benar! Kita harus bisa membangkitkan kekuatan sejati dari Delapan Bintang Penakluk Iblis."

"Tapi, bagaimana caranya?"

"Dari Guru, hamba mendengar bahwa untuk membangkitkan kekuatan sejati ini membutuhkan sebuah mantra sakti yang bernama rajah ... rajah ... rajah apa, ya?"

"Rajah Kalacakra maksudmu?" potong Paksi dengan cepat.

"Benar, Ketua!
Tapi harus ada dua orang yang memiliki mantra ini dan telah menguasai sepenuhnya hingga mendarah daging.
Itulah petunjuk yang Guru berikan pada hamba," terang Dewa Cadas Pangeran, lalu sambungnya,
"Kunci kekuatan sejati dari Bintang Penakluk Iblis adalah pada bintang ke satu dan bintang ke delapan.
Untuk membangkitkannya harus mengurutkan jumlah bintang yang dimiliki masing-masing orang dengan membentuk Barisan Delapan Bintang Penakluk Iblis."

"Bagus, semua pemilik rajah bintang ada di tempat ini, tidak ada salahnya jika dicoba!
Nimas, tolong hubungi Kakang Waneng dan Paman Kandha," bisik Paksi Jaladara pada Gadis Naga Biru.
"Dan kumpulkan teman-teman yang memiliki rajah Bintang Penakluk Iblis dalam satu barisan."

Gadis berbaju biru itu mengangguk, lalu berjalan menghampiri dua orang yang dimaksud dan membisikkan semua yang didengarnya dari Paksi Jaladara.

Kakek Pemikul Gunung dan Wanengpati menganggukkan kepala tanda menyetujui.
Dalam hati, kakek itu berkata, "Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan kunci kemenangan oleh anak muda itu."

Semua kegiatan dari orang-orang yang ada ditempat itu tidak lepas dari tatap pandang Si Topeng Tengkorak Baja,
tapi laki-laki dari alam gaib itu membiarkan saja semua perbuatan yang dilakukan pihak lawan.
Toh kemenangan akan berada ditangan mereka, begitu pikirnya.

Paksi Jaladara, Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari duduk dalam satu barisan memanjang dalam posisi bersemadi, sedang di bagian paling belakang sendiri di posisikan anak Wanengpati pada urutan terakhir.
Meski Nyi Dhandhang Gendhis dan anaknya masih dilindungi pancaran cahaya kunang-kunang yang menggantung di langit, tetap dianggap sebagai deretan terakhir.

Akan halnya Ki Dalang Kandha Buwana duduk berhadapan dengan Paksi Jaladara sedang Wanengpati berdiri membelakangi gumpalan cahaya kunang-kunang yang berisi anak dan istrinya.
Sedang yang lainnya, oleh Seto Kumolo dan Bidadari Berhati Kejam yang sadar belakangan, lalu dikumpulkan di satu tempat yang tersembunyi di belakang rumah batu, termasuk pula jasad Sepasang Raja Tua.

Setelah itu mereka berdua berdiri membelakangi Wanengpati, entah apa maksudnya.
Sebab dua orang ini telah ditugasi oleh Wanengpati untuk melakukan gerakan penyelamatan.

Justru yang mengherankan adalah Dewa Cadas Pangeran duduk bersebelahan dengan Simo Bangak.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Simo Bangak dengan heran.

"Karena aku juga pemilik Bintang Penakluk Iblis seperti halnya dirimu, bocah muda," sahut Dewa Cadas Pangeran sambil membuka telapak tangan kanannya dan terlihatlah lima buah bintang biru dengan tepi kuning keemasan.
Bintang ke lima!

Tentu saja Simo Bangak kaget!

"Bagaimana mungkin ini terjadi?"
Yang bersuara adalah ... Sang Maharaja Agung!

Laki-laki itu terkejut sekali saat melihat lima bintang berada di telapak tangan Dewa Cadas Pangeran dan itu artinya bahwa ada dua bintang ke lima yang sama dari Delapan Bintang Penakluk Iblis yang ada di muka bumi.

Dari Kitab Hitam ‘Bhirawa Tantra’, bahwa yang bisa menghancurkan seluruh kekuatan gaib yang bersumber dari bawah tanah adalah jika adanya bintang kembar dalam satu Barisan Delapan Bintang Penakluk Iblis.

Belum lagi keterkejutannya hilang, terdengar lantunan mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’ secara bersamaan!

Begitu mendengar lantunan mantra pengusir iblis ini, penghuni alam gaib langsung geger.
Beberapa prajurit yang berkekuatan siluman rendah, langsung semburat mengeluarkan kepulan asap hitam dan tewas seketika.

"Aku harus mencegah mereka melakukan penyatuan kekuatan pemusnah ini," gumam Si Topeng Tengkorak Baja tanpa mempedulikan nasib anak buahnya yang meregang nyawa satu demi satu, termasuk pula Senopati Kala Hitam yang harus bertahan dari lantunan mantra sakti itu.
"Kupecah konsentrasi mereka dengan Ilmu ‘Banjir Bandang Semesta’!"

Sepasang tangan laki-laki berbaju putih perak itu menyentuh bumi, lalu diiringi dengan hembusan napas berat, ia seperti menarik sesuatu dari dalam tanah.

"Heeaaa ... !"

Waktu bersamaan dengan lengkingan membahana Raja Di Raja Kerajaan Iblis Dasar Langit, dari Barisan Delapan Bintang Penakluk Iblis terlihat pancaran sinar biru terang dengan tepi kuning keemasan memancar ke arah delapan penjuru mata angin.

Sriing! Criing ... !

Kemudian delapan bintang itu berputaran dengan cepat membentuk bayangan biru keemasan, terus memilin cepat di udara membentuk untaian panjang seperti tali dengan ukuran besar.
Setelah itu, dengan kecepatan kilat, pilinan cahaya biru keemasan langsung melesat dan menerjang masuk lewat ubun-ubun Paksi Jaladara.

Jress! Zratt! Zratt!!

Bagai disengat halilintar, tubuh Paksi Jaladara yang dalam posisi bersemadi, terlihat berkelojotan seperti orang sekarat menunggu ajal dimana tubuh pemuda itu diselimuti percikan-percikan lidah sinar biru keemasan.

"Aku harus bisa! Harus bisa!" pekik Paksi diantara rasa sakit akibat masuknya delapan tenaga sakti yang berbeda bentuk dan sifat dan berusaha bergabung menjadi satu dalam raganya,
belum lagi dengan tenaga saktinya sendiri.
Praktis, dalam tubuh pemuda murid Si Elang Berjubah Perak sekarang ini mengeram sembilan jenis tenaga sakti yang saling bentrok satu sama lain.

Begitu lantunan mantra selesai, tubuh Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Dewa Cadas Pangeran, Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari langsung ambruk kehabisan tenaga.

"Sekarang!"
 
Bab 57

Begitu mendengar aba-aba Wanengpati,
Seto Kumolo dan Bidadari Berhati Kejam berkelebat cepat menyambar ke arah Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Dewa Cadas Pangeran, Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari.

Wutt! Wutt! Wuss!!

Jika Wanengpati langsung menyambar Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari, Seto Kumolo langsung mengarah ke Rintani dan Simo Bangak.
Akan halnya Ki Dalang Kandha Buwana langsung menyambar Joko Keling dan Bidadari Berhati Kejam ke bagian Dewa Cadas Pangeran.

Lapp! Lapp! Blapp!

Begitu semuanya telah berada di tempat aman, empat orang itu segera membuat pagar betis!

Bersamaan dengan masuknya delapan jenis tenaga sakti dan kini menjadi sembilan hawa tenaga sakti ke dalam tubuh Paksi,
bagai dipaksa keluar dari dalam bumi, terlihat gemuruh air bah yang datang bergelombang siap menelan apa saja yang ada di depannya.

Srakk! Grkkkk ... !!!

Terlihat sosok angker Topeng Tengkorak Baja berdiri di atas gulungan air yang berpusar.

"Anak muda, bersiaplah!"

Bergerak saja sudah sulit, apalagi berbicara.
Paksi hanya diam saja tanpa memberikan komentar apa pun.

Grahhh ... !

Seiring dengan dorongan sepasang tangan Sang Maharaja Agung, air bah yang bergemuruh langsung menerjang ke depan, melumat apa saja yang bisa dilumat, menghancurkan apa saja yang bisa dihancurkan.

Sementara itu, Paksi yang terus berusaha memaksakan diri untuk memadukan sembilan jenis hawa tenaga sakti yang berbeda-beda yang berasal dari Delapan Bintang Penakluk Iblis dan satu dari sumber tenaga dalamnya sendiri yang berhawa salju sangat tersiksa sekali.
Pemuda itu hanya memiliki dua kemungkinan, berhasil memanfaatkan gabungan sembilan tenaga sakti tersebut dengan resiko tubuhnya tidak mampu menampung besarnya jumlah tenaga gabungan yang melebihi kapasitas atau justru sebelum gabungan sembilan tenaga sakti ini berhasil disatukan, sudah terjadi daya tolak dalam tubuh Paksi dan akan mengakibatkan ledakan tenaga dalam di dalam raga si Elang Salju.
Tubuhnya akan hancur berkeping-keping!
Akan tetapi, pemuda berhati baja itu mengambil resiko kematian demi menyelamatkan nyawa banyak orang!

Air bah bergemuruh yang dihasilkan Ilmu ‘Banjir Bandang Semesta’ yang digunakan Topeng Tengkorak Baja membawa air coklat kehitaman dari dasar bumi yang kini sudah semakin mendekat.

Paksi mulai menyalurkan gabungan tenaga sakti yang terkumpul perlahan melalui kedua lengan tangannya sedikit demi sedikit.
Sembilan warna dari sembilan tenaga sakti langsung terkumpul.

Sratt! Sratt!!

Retno Palupi yang sangat mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya yang terlihat sangat menderita akibat luapan tenaga yang melebihi batas hanya bisa mendesis lirih, “Kakang ... “

“Retno, jangan kau ganggu konsentrasi Paksi, bisa berbahaya,” bisik Seto Kumolo.
“Kita singkirkan dulu teman-teman kita lebih jauh lagi.”

Gadis berbaju biru laut hanya mengangguk lemah mengiyakan.

Sementara itu, si pemuda berbaju putih-putih dengan ikat kepala merah mulai berkonsentrasi penuh.
Kumpulan sembilan tenaga sakti yang sudah mengalir melalui lengan Paksi kini menghembus melalui kedua telapak tangan yang sudah digerakkan perlahan membuka ke arah air bah yang sudah semakin dekat, tinggal berjarak lima tombak lagi dari Paksi berdiri.
Jurus ini mirip sekali dengan ‘Menahan Samudera Menepis Gelombang’ yang pernah diperlihatkan oleh Tabib Sakti Berjari Sebelas sat ia masih kecil dahulu.
Oleh Paksi, diubah bentuk dan kemampuannya, setelah itu digabung dengan Ilmu 'Mengendalikan Badai' dan menjadi satu jurus tunggal dimana kekuatannya menjadi dua kali lipat lebih hebat.
Uniknya, jurus ini belum pernah dicoba sama sekali dalam suatu pertarungan oleh Paksi Jaladara, dan kali ini adalah kesempatan emas mencoba kemampuan dari jurus ciptaannya ini.

Jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai'!

Wwuuusss ... !!! Jddaarrr ... !! Glaarrr ... grrerrr!!

Sungguh ajaib!
Sembilan warna dari sembilan tenaga sakti tersebut bagai sebentuk dinding cembung yang menghalangi laju air bah yang datang bagai gelombang pasang.

Jddaarrrr ... gllarrr!!

Air bah selebar lima tombak yang bisa meluluhlantakkan benda-benda di sekitarnya tertahan membentur dinding tenaga disertai suara benturan dan gemuruh keras.
"
Kurang ajar!" pekik Si Topeng Tengkorak Bmelihat air bah kirimannya bisa dibendung oleh lawan yang terlihat kesulitan mengerahkan tenaga, lalu ia menghempos tenaga, dan kembali gerumuh air bah yang lebih besar datang menerjang.

Jddaarrrr ... jdddarrrr ... !! Gleerrrr ... !!

Paksi terlihat begitu berhati-hati dalam mengatur nafas.
Justru dalam keadaan yang seperti itu, tampak hal aneh terjadi pada diri pemuda itu, dimana keluar keringat dingin sebesar butiran jagung dari seluruh tubuhnya.

Tubuh Paksi bergeser setapak demi setapak ke belakang terdorong oleh air bah yang berasal dari Ilmu ‘Banjir Bandang Semesta’, yang terus mencoba mendobrak dinding sembilan warna yang terangkum dalam jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai'.
Paksi Jaladara benar-benar mempertaruhkan nyawa kali ini!

“Hebat juga dia!” pikir Si Topeng Tengkorak Baja, setelah melihat peningkatan dari Ilmu ‘Banjir Bandang Semesta' masih bisa di tahan pihak lawan. "Kuberikan saja serangan susulan!"

Tiba-tiba saja Paksi Jaladara terkejut dan hal itu justru membuatnya terdorong beberapa tombak ke belakang ketika ia melihat Si Topeng
Tengkorak Baja yang masih berdiri tegak mengambang di atas air,
sekilas pemuda itu melihat mata Si Topeng Tengkorak Baja yang mengeluarkan semacam hawa pembunuh yang sangat aneh dan sangat menakutkan serta bisa membuat bulu kuduknya berdiri, seolah setan dari neraka yang ingin menjemput dirinya.

Belum pernah Paksi Jaladara bertemu dengan hawa pembunuh seperti ini!
“Gila! Hawa siluman dan iblis semakin kental keluar dari tubuhnya!” pikir Paksi Jaladara.
“Bagaimana ini? Apa perlu kukorbankan teman-temanku yang terluka di sini dengan melepas tenaga penahan dari jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai' ini, untuk kemudian menghadapi pertarungan lagi dengan Si Topeng Tengkorak Baja?
Ahh ... serba sulit, bagai makan buah simalakama!”
Ia tahu pasti bahwa Si Topeng Tengkorak Baja kini datang membawa satu keinginan, yakni membunuh dirinya!

Si Topeng Tengkorak Baja kini bersiap.
Sambil berdiri di atas air yang mengapung coklat kehitaman, secara perlahan namun pasti, mengangkat tangan kanan ke atas, mengepalkannya perlahan namun sampai terdengar bunyi berkerotokan sendi-sendi tangan, terus tampak gulungan hawa panas membara membentuk api coklat kehitaman sebesar kepala manusia saat ia membuka genggaman tangan.

Bluubb!

“Pemilik Mutiara Langit Putih! Terimalah Pukulan ‘Tinju Neraka Iblis Dasar Langit’ tingkat lima belas!”
Sekejap kemudian, Si Topeng Tengkorak Baja menggerakkan tangan kanan, dan gulungan bola api rakasasa melesat menuju arah Paksi Jaladara.

Wutt ... !

Disusul gulungan bola api raksasa yang lebih kecil dari tangan kiri yang sejak tadi juga sudah dipersiapkan langsung melesat menuju arah kepala Paksi Jaladara. Begitu mendekat, dua gumpalan api langsung berubah menjadi sebesar kerbau bunting.

Syyuuttt ... !!!

Paksi Jaladara berpikir cepat,
“Aku tidak boleh mengorbankan jiwa teman-temanku.
Jika aku harus mati ... apa boleh buat!”

Ketua Muda Istana Elang berniat menghalangi dua gulungan api raksasa yang kini mengarah menuju dirinya dengan taruhan nyawa.
Si Elang Salju cuma sedikit menambah tenaga yang dikeluarkan, diikuti dengan terdorongnya ia beberapa kaki ke belakang akibat dorongan air bah coklat kehitaman yang terus mencari celah lengah Paksi Jaladara.

Jdduuarrr ... !!

Terjadi benturan antara dua gulungan api sebesar kerbau dengan dinding sembilan warna yang dihasilkan dari gabungan tenaga sakti yang bersumber Bintang Penakluk Iblis.
Daya dinding penghalang dari jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai' itu sungguh luar biasa, sebab gulungan api raksasa itu tak berhasil menembus.

Weesss ... wosss ... !!

Hanya saja terdengar suara kesiuran dari dua gulungan api yang terus berputar mencoba menembus dinding penghalang yang diciptakan Paksi Jaladara.

Si Topeng Tengkorak Baja terlihat geram karena kesal.
“Kurang ajar!! Terima kembali Pukulan ‘Tinju Neraka Iblis Dasar Langit’ tingkat enam belasku, anak muda!”

Sekali lagi, tangannya langsung dikepalkan dua-duanya, kemudian secara perlahan, kedua kepalan tinjunya didorongkan ke depan.
Terasa arus hawa panas membara yang sangat dahsyat luar biasa terhembus dan mendorong maju dua gumpalan api raksasa untuk membantunya menjebol dinding pertahanan Paksi Jaladara yang berusaha melindungi orang-orang yang kini sedang menderita luka parah tepat berada di belakangnya.

Wossshh ... wosshh ... !

Paksi Jaladara sadar, begitu dua gumpalan bola api itu lolos dari dinding pertahanannya, rasanya dirinya bakalan sulit untuk selamat.
Nafas kembali dihembuskan sedikit.
Tenaga pertahanan sekali lagi bertambah, kini benturan yang lebih keras terjadi ...

Jduaarrrr ... !!!

Paksi Jaladara kini terdorong sampai beberapa tombak ke belakang.

“Huaghh!!”

Dari mulutnya keluar darah segar, menetes jatuh terpercik ke bawah bersamaan dengan jatuhnya tetesan air ke tanah.
Beban air bah yang ditahannya, ditambah dengan beban desakan serangan gumpalan api raksasa itu telah membuatnya luka dalam.
Luka dalam yang parah sekali!

“Kakang Paksi,” desis lirih Gadis Naga Biru melihat sang kekasih terluka.

Bersamaan dengan kilatan petir tanpa suara, Paksi melihat sekilas ke belakang.
“Hemm, sudah aman untuk sementara, sebagian besar telah diungsikan lebih menjauh dari jangkauan air bah ini oleh Retno Palupi dan Seto Kumolo!” pikir Paksi, berniat menghadapi langsung Si Topeng Tengkorak Baja.
“Lebih tenang hatiku sekarang!”

Si Topeng Tengkorak Baja memuncak kegeramannya, ia kini mulai menarik nafas panjang, kemudian tubuhnya berjongkok dalam posisi merangkak di atas air seperti katak, sementara ke dua tinjunya ditekankan ke bawah yang kadang bergerak timbul tenggelam dalam air.

“Kalau 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia’ tidak bisa mengenyahkannya, aku bersumpah akan menghilang selamanya di jagad ini,” pikirnya.

Sementara empat bola api raksasa yang tadi diluncurkan lewat Pukulan ‘Tinju Neraka Iblis Dasar Langit’ masih terus berputar dan bergerak maju mencoba menembus dinding sembilan warna akibat 'Tenaga Sakti Bintang Penakluk Iblis'.
Kemudian Si Topeng Tengkorak Baja atau Sang Maharaja Agung dari Kerajaan Iblis Dasar Langit mengeluarkan suara keras seperti seekor raungan katak murka.

"Ngkkroookk ... nggkkroookk ... !"

Berbareng dengan sebuah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa terlontar cepat laksana sambaran petir menuju dinding pertahanan Paksi Jaladara.

Wusss!! Wuusss!!

Posisi Paksi Jaladara semakin sulit.
Ia tak mungkin bertahan lagi, arus deras air bah terus-menerus menghantam dinding pertahanannya, sementara empat gumpalan api yang kini membengkak membesar masih terus mendesak maju, dan sekarang satu gelombang hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa yang keluar dari suara Si Topeng Tengkorak Baja menghantam dinding pertahanan.

Sembilan tenaga gabungan berbeda jenis dari para pemilik Bintang Penakluk Iblis bertemu dengan tiga ilmu sakti paling mengerikan sekaligus dari alam gaib yaitu Ilmu ‘Banjir Bandang Semesta’, Pukulan ‘Tinju Neraka Iblis Dasar Langit’ dan kini ditambah 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia’!

“Seandainyapun ini dihindari ... “ pikirnya,
tapi sebuah pikiran terlintas, “ ... tak bisa!
Ini adalah takdir! Aku tak bisa melepaskan manusia-manusia menjadi budak-budak setan tanpa daya!”
Semangat dan jiwa kesatria Paksi kembali menyala setelah menyadari betapa pentingnya mempertahankan hidup manusia-manusia yang ada di muka bumi!

Sementara itu, langit masih gelap pekat akibat Gerhana Matahari Kegelapan, hanya kadang saja terlihat terang semuanya ketika petir tanpa suara berkilat menerangi langit kelam.

Akhirnya ... benturan paling mengerikan yang belum pernah ada di jaman mana pun terjadi ...

Dhhhhuuaarrr ... !!!!!

Glhhaarrr ... !!!

Meski sempat mengurangi tenaga pertahanannya untuk mengurangi dampak benturan tenaga sakti, tak urung Paksi Jaladara terhantam paduan antara dorongan Ilmu ‘Banjir Bandang Semesta’ berbentuk air bah yang terus mendesak, tersengat oleh dorongan gumpalan api raksasa dari Pukulan ‘Tinju Neraka Iblis Dasar Langit’ dan terutama sekali terhantam 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia’!

Paksi Jaladara terlempar ke belakang beberapa tombak disertai dengan muntahan darah segar yang keluar dari dalam mulut.
Ia terluka dalam yang parah sekali.
Bersamaan dengan tubuhnya terhempas ke tanah, bersamaan itu seleret cahaya merah menerjang tubuh pemuda itu, bersamaan itu pula air bah yang sudah tertahan sejak tadi, sekarang mengamuk bergemuruh menerjang apa saja yang ada di depannya tanpa bisa dicegah lagi.

Menjarah semua yang bisa dijangkau!
Melumat apa saja yang ditemui!
Hancur lebur!
Pohon-pohon ditumbangkan, gerbang padukuhan dirobohkan, rumah-rumah penduduk semua disapu bersih.
Lenyap habis, semua dihempaskan dan dihanyutkan oleh air bah yang menggila!

Jika tidak ada Seto Kumolo yang mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi’ tingkat akhir, mereka semua pasti akan tewas terhantam banjir bah.
Dengan tingkat akhir ini, Seto Kumolo membuat kubah tanah raksasa untuk menyelamatkan teman-temannya dari amukan air bah.
Lebih-lebih gumpalan api raksasa dari Pukulan ‘Tinju Neraka Iblis Dasar Langit’ dan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia’ langsung menyapu bersih hutan kebanggaan Padukuhan Songsong Bayu dalam sekejap mata.

Dhuarrr ... ! Bllammm ... !!

Tak ada yang tersisa!
 
Bab 58

Sementara itu, tubuh Paksi Jaladara terlibas banjir dan hanyut tenggelam diterpa banjir yang menggila!

“Aku harus bisa menemukan mayat!” pikirnya,
“Jika tidak mati, pemuda itu bisa sebagai bibit bencana di kemudian hari!”
Sang Maharaja Agung atau Si Topeng Tengkorak Baja terlihat seperti sangat geram, ketika beberapa kali ia berloncatan di atas air mencari mayat Paksi Jaladara.

“Setan laknat! Kemana perginya mayat pemuda busuk itu!” desisnya.

Tak tenang rasanya bila ia tak bisa menemukan Paksi Jaladara dalam keadaan menjadi mayat, tak tenang rasanya jika ia tak bisa menemukan tubuh Paksi Jaladara untuk memastikan bahwa ia sudah menjadi mayat.
Beberapa kali ia berloncatan di atas air, dan beberapa kali ia sengaja masuk ke dalam air yang kotor pekat, tapi tak ditemukan tubuh Paksi Jaladara di situ. Dengan menampakkan muka kecewa dan geram yang sangat, Si Topeng Tengkorak Baja berlompatan beberapa kali sambil mengumpat panjang pendek.

“Setan! Dimana kau, pemuda keparat!” teriaknya keras.

Tiba-tiba saja ...

Dari kedalaman air, menyeruak sinar putih dan merah bergulung-gulung ke atas, membentuk bola cahaya raksasa dengan warna terpisah antara putih dan merah yang saling berkejaran. Tidak menyatu dan juga tidak menjadi satu.

“Apa itu?” desis Si Topeng Tengkorak Baja.

Tiba-tiba, Maharaja Agung menyadari sesuatu.
Suatu yang mengancam diri dan juga kelangsungan hidup bangsa dan Kerajaan Iblis Dasar Langit.
Seketika wajahnya pucat pasi bagai tanpa darah!

“Celaka! Itu ... penyatuan dari Sepasang Mutiara Langit dengan kekutan sejati Delapan Bintang Penakluk Iblis!” desisnya sambil menyeka keringat sebesar jagung menetes keluar dari dahinya. “Mustahil!”

Di dalam bola raksasa, terlihat samar Paksi Jaladara berdiri mematung sambil merentangkan ke dua belah tangan dengan mata terpejam.
Rambut panjangnya tergerai lepas, terlepas pula ikat kepala merah yang ada di dahi yang menutupi sebentuk Rajah Elang Putih yang kini bersinar putih terang keperakan, bagai menyinari nuansa gelap gulita Gerhana Matahari Kegelapan.

Sriing!

Sinar putih dan merah menyeruak ke atas bersamaan, bagai dua batang tombak raksasa menusuk langit.

Sriiing ... sriing!

Dan bersamaan dengan itu pula, sinar putih dan merah berukuran satu telunjuk memancar ke segala arah, saling silang dengan rapat sehingga bola raksasa yang didalamnya berisi Paksi Jaladara bagai seorang nelayan yang menebar jaring di sungai.

Duashh ... blubb ... !

Beberapa siluman yang terkena atau pun terserempet jaring putih merah, langsung meletus dan lebur bagai asap!
Tentu saja yang paling terkejut adalah Maharaja Agung!

“Mereka adalah siluman-siluman berilmu tinggi di atas Enam Senopati, langsung tewas saat jaring-jaring itu mengenainya,” pikirnya, lalu ia berteriak lantang,
“Cepat menghindar!”

Tapi, seruan itu datangnya sudah terlambat.
Saat para siluman dan bangsa makhluk halus yang ada di sekitar tempat itu terpana oleh fenomena jaring gaib, wilayah sekitar mereka telah terkepung jaring-jaring maut tanpa mereka sadari.
Anehnya, jaring-jaring itu bergerak merapat dengan cepat.

Srepp! Srepp!

Duashh ... blubb! Duashh ... blubb! Duashh ... blubb!

Berulang kali terdengar letupan keras disertai dengan kepulan asap kelabu membumbung bersamaan dengan surutnya air bah akibat Ilmu ‘Banjir Bandang Semesta’ yang digunakan Si Topeng Tengkorak Baja.

Slupp! Slupp!

Air bah bagai ditarik masuk ke dalam tanah oleh tangan-tangan gaib.
Tujuh helaan napas kemudian, tanah di sekitar ajang pertarungan antara manusia dengan makhluk alam gaib kembali ke asal, meski tidak meninggalkan akibat dari sergapan dahsyat yang memporakporandakan daerah yang dilaluinya.
Meski telah hilang, tapi tidak begitu kering, karena ada genangan air di sana-sini!

Bersamaan dengan lenyap air bah, lenyap pula siluman terakhir yang berusaha bertahan mati-matian dari kungkungan jaring maut, dialah Senopati Kala Hitam, yang sebelumnya saling baku hantam dengan Arjuna Sasrabahu.

Duashh ... blubb!

Tubuh Si Topeng Tengkorak Baja menggigil menahan amarah dan ketakutan yang menyatu.
Keretekan giginya menyiratkan puncak kemarahan Sang Maharaja Agung terhadap Paksi Jaladara yang telah menghancurkan segenap prajurit tangguhnya lewat penyatuan Sepasang Mutiara Langit.

“Grrrh, pemuda keparat!
Kaulah biang dari kegagalan mendirikan kerajaanku di atas bumi!” teriaknya sambil sambil menarik nafas panjang, kemudian tubuhnya berjongkok posisi merangkak di atas tanah, sementara ke dua tangan menapak-menekankan ke bawah dengan hentakan keras.

Blammm ... ! Jddduarrr .... !!

Kembali Si Topeng Tengkorak Baja berniat menggunakan tiga ilmu tertangguhnya sekaligus, tapi kali ini langsung digunakan tingkat pamungkas yang bernama Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga Jagad'. Ilmu ini sebenarnya merupakan tiga ilmu sakti terpisah, yaitu Ilmu ‘Banjir Bandang Semesta’, Pukulan ‘Tinju Neraka Iblis Dasar Langit’ dan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia’, namun oleh Si Topeng Tengkorak Baja, digabung menjadi sebuah ilmu tunggal yang bisa menggetarkan Jagad Manusia, Jagad Gaib dan Jagad Alihan yang berada di perbatasan antara alam gaib dan alam manusia.

Meski posisi tubuh tetap seperti saat menggunakan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia’, tapi pancaran dahsyat sudah begitu kentara. Kilatan cahaya coklat kehitaman, gumpalan bola api raksasa bercampur dengan hawa katak merah raksasa.
Bahkan suara raungan katak terdengar berulang kali memekakkan telinga.

Wossshhh ... wooossh ... !!

Ngroookk ... ngroookk ... !!

Sementara itu, di dalam bola cahaya putih merah yang masih menebarkan jaring-jaring maut, Si Elang Salju membuka matanya sambil berkata, “Iblis laknat! Niat burukmu terhadap umat manusia harus kau pupus sampai disini!”

Begitu selesai berkata, entah dari mana datangnya, di tangan Paksi sudah terbentuk sebuah busur putih keperakan lengkap dengan anak panah merah menyala dengan ukiran kepala elang yang siap dilepaskan.

Swosh ... swoshhh ... !!

Sedikit dengan sedikit jaring-jaring putih merah terhisap masuk ke dalam busur dan anak panah yang ada di tangan Paksi Jaladara, Ketua Muda Istana Elang.

Srepp ... swoshh ... !

Sebentar kemudian, setelah jaring-jaring itu telah terserap seluruhnya, membuat busur perak dan anak panah merah semakin memancarkan cahaya cemerlang sarat keagungan dimana cahaya itu bisa menggetarkan hati Maharaja Agung yang sedang menghimpun pamungkas Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga Jagad'!

“Apa ini ... kenapa ... kenapa hatiku merasa takut! Ada rasa gentar di dalam hatiku!” pikirnya.
“Setan! Aku harus mengenyahkan pemuda itu sekarang juga!”

Berbareng dengan niat tercetus, sebuah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa terhembus keluar lewat suara keras, disusul dua tangan silih berganti melontarkan gumpalan bola api raksasa bertubi-tubi menuju bola putih merah yang melindungi Si Elang Salju.

Nggrrokkk ... nggrrokkk ... woshh ... jwoshh ... srokkk ... !

Si Elang Salju yang sudah siap dengan busur dan anak panah, segera melepaskan rentangan tali sambil mendesis pelan,
“Musnahlah biang kejahatan di bumi!”

Twanngg ... serrr ... !!

Begitu dilepas dari busur langsung melesat cepat, dan saat anak panah keluar dari dalam bola cahaya, bentuknya berubah meraksasa dan melesat dengan kecepatan kilat disertai suara mengaung bagai ribuan lebah mengamuk.

Ngggooooonggg .... !! Jrasss!!

Tanpa basa-basi langsung membelah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa menjadi dua, mengurai dan selanjutnya meledak keras.

Jderr ... ! Glarrr ... !

Setelah itu dengan mudah menembus gumpalan-gumpalan api diikuti dengan ledakan nyaring membahana.

Darrr ... dharrr ... dherrr ... !

Pecah berhamburan bagai kembang api di langit.
Tentu saja Maharaja Agung kaget bukan alang kepalang!
“Mustahil! Ini tidak mungkin terjadi!” teriaknya melihat Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga Jagad' rontok satu demi satu.
Dan pada akhirnya ...

Crapp!

“Aaaah ... “

Jerit kematian yang paling mengerikan pun terdengar, menyeruak keras bagai menyobek-nyobek lapisan langit ke tujuh dan bumi ke delapan.

Bleggaarrr ... !! Jdharrr ... ! Dhuarr ... !!

Bersamaan dengan suara jerit kematian, terdengar beruntun tiga kali berturut-turut saat panah merah raksasa itu menembus dada Sang Maharaja Agung dari Kerajaan Iblis Dasar Langit, yang tentu saja langsung pecah berhamburan karena tidak kuasa menerima daya hancur pemusnah iblis.
Ledakan itu ternyata mengguncang di tiga tempat yang berbeda!

Pertama di atas bumi,
di Jagad Manusia yang berhubungan secara langsung.
Sebuah kubangan kawah raksasa selebar puluhan tombak terbentuk seketika, tepat dimana sebelumnya Si Topeng Tengkorak Baja atau Sang Maharaja Agung berdiri dengan segala kesombongan dan keangkuhan.

Kedua, Jagad Alihan pun mengalami guncangan dashyat hingga memporakporandakan tatanan kehidupan yang ada di sana.

Dan yang terakhir, Jagad Gaib juga mengalami hal yang tidak berbeda.
Justru yang paling parah terjadi di Kerajaan Iblis Dasar Langit.
Negeri alam gaib itu hancur berkeping-keping karena Sang Penguasa Tunggal telah tewas di atas muka bumi karena berbuat angkara murka, menebar maut dimana-mana.
Seluruh penghuni istana, tidak peduli ia bayi setan, setan kecil, siluman besar bahkan bahkan para bangsawan makhluk gaib sejenisnya hancur luluh tanpa bentuk.
Seluruh penghuni alam gaib musnah, termasuk juga Sang Permaisuri, Nyai Ratu Danayi sendiri mengalami nasib yang tak kalah mengenaskan.
Ia tewas dengan tubuh tergencet reruntuhan pilar-pilar istana yang selama hidup dihuninya.

Tentu saja bencana di alam gaib dikarenakan adanya Sepasang Mutiara Bumi Dasawarna yang pecah akibat terbebas dari kekangan kekuatan iblis yang selama ribuan tahun menutupi daya gaibnya.
Sepuluh larik cahaya warna-warni semburat keluar dari Gedung Pusaka Kerajaan, yang setiap lesatannya memancarkan cahaya yang bisa meluluhlantakkan segala macam bangunan yang ada di istana Kerajaan Iblis Dasar Langit.
Begitu ledakan pertama terjadi, bola cahaya putih dan merah langsung membesar, membentuk kubah raksasa yang melindungi orang-orang yang ada di sekitar tempat itu.

Brakk! Brakk! Dharr ... !

Beberapa saat kemudian terdengar benturan keras dari benda-benda yang menabrak dinding pelindung.
Tak lama kemudian, ledakan berhenti.
Bola cahaya pelindung sedikit demi sedikit menipis dan pada akhirnya hilang tak berbekas.
Yang tersisa hanyalah Paksi Jaladara yang berdiri gagah dengan busur perak di tangan kanan dan anak panah merah berukir kepala elang di tangan kiri.

“Syukurlah ... kebatilan akhirnya musnah dari muka bumi ini,” pikir Paksi Jaladara, lalu katanya lagi,
“Mutiara Langit Putih! Mutiara Langit Merah! Kembalilah ke asalmu!”

Busur putih perak dan anak panah merah bergetar sebentar, kemudian mengabur, berubah menjadi gumpalan cahaya kemilau merah dan putih.

Srepp! Srepp!

Cahaya putih langsung melesat masuk ke dalam Rajah Elang Putih sedang cahaya merah langsung melesat masuk ke ubun-ubun bayi merah anak Wanengpati.
Begitu Sepasang Mutiara Langit kembali ke majikannya masing-masing, dari atas langit terdengar suara menderu-deru.

Werr ... werrr ... !

Pelan-pelan namun pasti, awan hitam akibat Gerhana Matahari Kegelapan menghilang dan dalam waktu singkat menghilang sama sekali dan nantinya akan muncul seribu tahun kemudian.
Akhirnya ...
Sang surya kembali menyinari dunia!

-o0o-

“Bagaimana keadaan kalian?” tanya Paksi Jaladara setelah sampai di dekat tempat perlindungan.

“Kami baik-baik saja, Ketua!
Hanya mengalami luka dalam ... “ kata Jin Kura-Kura sambil berusaha duduk bersila.

Ayu Parameswari, Rintani dan Seto Kumolo yang tadi telah memaksakan diri mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi' sudah setengah pingsan saat terjadi ledakan besar akibat benturan terakhir tadi.
Setelah mengurut beberapa bagian dari tubuh tiga orang itu, mereka tersadar sepenuhnya.
Semuanya selamat meski mengalami luka dalam yang tidak ringan, hanya saja Sepasang Raja Tua tewas dalam pertarungan kali ini!

Sore itu ...
Setelah pemakaman Sepasang Raja Tua selesai, mereka berkumpul di salah satu kediaman Juragan Padmanaba, karena kediaman Ki Dalang Kandha Buwana sudah hancur karena pertempuran tadi siang.

“Kakang Gineng, apakah hanya cara itu saja mengobati luka yang diderita oleh Nawara?” tanya Paksi Jaladara dengan cemas.
“Aku sudah berulang kali menyalurkan hawa salju, tapi ia masih seluruh tubuhnya merah membara.”
Sebab, gadis bersulam rajawali itu terkena jurus 'Air Liur Kuda Binal' secara tidak sengaja.
Meski tidak tewas, tapi kondisinya sudah antara hidup dan mati!
 
Bab 59

“Tanpa perlu saya jawab pun,
saya rasa Den Paksi bisa menyimpulkan sendiri terhadap racun yang mengeram dalam tubuh Nawara,” tutur Gineng bijak.

Paksi Jaladara yang duduk di sebuah balai hanya mendesah, sedang Gineng berdiri di sampingnya juga sulit mengungkapkan sesuatu yang dianggapnya tabu saat itu. Sedang di samping kiri dan kanan berdiri Retno Palupi dan Nawala, saudara kembar Nawara yang hanya saling pandang tidak mengerti percakapan dari dua pemuda di hadapannya.

“Memangnya cara apa yang bisa menyembuhkan Nawara, Kakang Paksi?”

“Ini ... “
Suara Paksi tercekat di tenggorokan, sebab sulit sekali ia mengatakan sebuah hal yang mungkin saja akan menyinggung harga diri kekasihnya, walau sebenarnya ia pun mengetahui bahwa gadis berbaju biru itu sudah membuka pintu hatinya untuk diduakan oleh pemuda berbaju putih ini.

“Paksi, memangnya dengan cara bagaimana Nawara bisa sehat kembali?” tanya Nawala dengan nada ditekan.
Pemuda itu sangat khawatir dengan kondisi fisik Nawara yang merah matang seperti mangga masak itu.

“Aku ... aku tidak bisa mengatakannya,” kata Paksi kemudian,
“Lebih baik Kakang Gineng saja yang berbicara.”

Dua pasang mata Nawala dan Retno Palupi langsung beralih ke Gineng.
Mereka berdua tahu bahwa Gineng adalah murid Tabib Sakti Berjari Sebelas, tentu saja tentang racun dan penawarnya sedikit banyak ia mengetahuinya.

“Kakang Gineng, bisakah kau katakan padaku bagaimana menawarkan racun aneh ini?” tanya Nawala kemudian.

Sambil menghela napas panjang, akhirnya Gineng berkata,
“Sebenarnya yang bisa menawarkan racun pembangkit birahi ini hanya orang-orang yang memiliki tenaga unik saja, seperti orang yang memiliki 'Hawa Inti Salju' misalnya ... “

“Lho, bukankah Kakang Paksi menguasai ilmu ini,” tukas Gadis Naga Biru heran.
“Lalu apa masalahnya?”

Sedang Paksi hanya diam saja, sambil terus mengalirkan 'Hawa Inti Salju' ke dalam raga Nawara lewat telapak tangan kanan.

“Masalahnya bukan pada 'Hawa Inti Salju'nya, tapi ... “

“Tapi apa?”

“Tapi proses penyembuhannya yang bermasalah,” lanjut Gineng kemudian.

“Bermasalah bagaimana? Langsung ngomong saja pada pokok permasalahannya gimana, sih?
Berbelit-belit amat!” kata Retno Palupi jengkel.

“Baiklah! Untuk menyembuhkan racun birahi yang berhawa panas atau berunsur api membutuhkan lawan jenis yang memiliki hawa es atau berunsur salju, dan untuk menyembuhkannya mereka ... “ kata Gineng agak tersendat, lalu ia memandang Paksi, dan dibalas dengan anggukan lemah, “ ... mereka harus dalam keadaan telanjang bulat dan melakukan posisi layaknya hubungan suami istri.”

“Hah?”

“Apa!?” sahut Nawala, kaget.

Suasana di dalam ruangan kembali sunyi.
Yang terdengar hanyalah napas halus dari mereka semua yang ada ditempat itu.

“Ya! Hanya itu caranya memunahkan racun birahi ini,” sahut Gineng, memecah kesunyian.

Nawala terduduk lesu, sambil memandangi Nawara yang tertotok tak berdaya.
Memang gadis itu sengaja di totok agar ia tidak melakukan perbuatan yang bisa mempermalukannya seumur hidup, sementara yang bisa dilakukan Nawara adalah mendesis-desis seperti cacing kepanasan, meski jika diajak bicara ia normal.

“Kalau begitu ... lakukan saja ... “ kata Gadis Naga Biru,
“Kakang Paksi, aku harap Kakang bisa menyelamatkan nyawa Nawara.”

“Tapi Nimas, itu artinya ... “

“Jangan khawatir, aku sudah punya pemecahan masalahnya,” kata gadis itu.

“Benarkah?” kata Paksi sambil bangkit berdiri, kemudian memegang tangan kanan Gadis Naga Biru, sedang tangan kirinya masih menggenggam erat tangan Nawara.

“Sebelum aku jawab pertanyaan Kakang, aku ada sebuah pertanyaan dan sebuah permintaan untukmu.”

“Apa hubungannya?”

“Sangat erat!”

“Baik, apa yang Nimas tanyakan,” ucap Paksi Jaladara tanpa pikir panjang.

“Hanya satu pertanyaan untukmu, Kakang mencintai Nawara?”

Pertanyaan itu bagai sambaran petir yang menghantam kepala Paksi dengan telak.
Pemuda itu hanya menunduk sambil menghela napas pelan,
“Apa pertanyaan ini harus kujawab?”

“Ya dan harus!”

“Kau tidak membenciku dengan jawaban yang aku berikan nanti!”

“Tidak sama sekali!” sahut Retno Palupi dengan tenang, seolah gadis itu sudah tahu jawaban apa yang akan dilontarkan dari mulut Paksi Jaladara.

“Sebenarnya, aku ... aku juga menyukai dan menyayangi Nawara seperti halnya diriku menyukai dan menyayangimu, Nimas,” ucap Paksi pada akhirnya,
“Jujur saja, saat berjumpa pertama kali dengan kalian berdua, jantungku berdebar keras.
Namun, aku menyadari bahwa maksud hatiku untuk mendapatkan kalian berdua sekaligus tidak bakalan mungkin terjadi.
Hingga pada akhirnya Nimas-lah yang pertama kali mengungkapkan isi hatiku.
Meski dalam hati kecilku sendiri, aku masih mengharapkan kalian berdua.
Aku takut Nimas nantinya menganggapku serakah atau tamak, tapi itulah sebenarnya yang ada dalam hatiku.”

Tegas dan tidak bertele-tele Paksi Jaladara mengatakan seluruh isi hatinya pada Retno Palupi, Gineng dan Nawala.
Pemuda itu sudah siap jika dua gadis yang sama-sama dicintainya akan membenci dirinya seumur hidupnya.

Bukannya marah besar, justru gadis berbaju biru itu memeluk erat Paksi Jaladara!

“Terima kasih atas kejujuranmu, Kakang!” ucap Retno Palupi dengan isak tangis bahagia,
“Selama Kakang bisa adil terhadap kami berdua, Retno tidak akan menyesalinya, Kang!”

“Benar?”

Gadis itu hanya mengangguk pasti.

Tiba-tiba Nawala bangkit berdiri.

“Paksi, sebenarnya ... Nawara juga mencintaimu.
Hanya saja ia lebih baik memendam rasa cintanya padamu karena sudah ada Retno Palupi di hatimu,” kata Nawala sambil mendekati Paksi,
“Itu adalah hal yang menjadi sebab kenapa selama beberapa hari belakangan ini saudaraku seperti memiliki banyak masalah.”

“Apa yang kau ucapkan itu hal yang sebenarnya, Nawala?”

“Leherku sebagai jaminan!” kata tegas Nawala.

Tiba-tiba saja, Ayu Parameswari masuk ke dalam bilik sambil berkata,
“Kisah cinta segi tiga Ketua Paksi dengan dua gadis secantik bidadari ini sekarang tidak lagi bermasalah.
Bukanlah mereka berdua juga punya perasaan yang sama dengan Ketua?” lanjut Ayu sambil memeluk erat lengan Nawala.
“Dan aku yakin, semua sudah bisa menerima apa-adanya.”

“Lalu ... bagaimana dengan dirimu?” tanya Nawala sambil mencubit hidung mancung Ayu.

“Kalau hal itu ... tidak ada yang perlu ditanyakan.
Semua sudah jelas!” kata Ayu diplomatis.

Paksi dan Retno hanya tersenyum simpul melihat cara Nawala mengungkapkan isi hatinya.

Benar-benar unik!

“Nah, sekarang ... apa permintaan yang tadi Nimas ingin katakan padaku?” tanya Paksi Jaladara.

“Katakan saja, Retno.
Jika hal itu bisa menyelamatkan jiwa saudara kembarku, aku akan melakukan apa saja,” kata Nawala.

“Kau tidak akan bisa melakukannya, Nawala,” kata Retno Palupi melepas pelukannya, berjalan ke arah balai dan duduk menyebelahi Nawara yang tertotok, lalu tangan kanan meraih kedua tangan Paksi dan masing-masing diletakkan di telapak tangan Nawara dan dirinya.

“Kenapa aku tidak bisa!?” tanya Nawala heran.

“Karena permintaanku pada Kakang Paksi adalah ... menikahi kami berdua sekarang ini!
Di tempat ini pula dan malam ini juga!” kata tegas Retno Palupi. “Kakang bersedia, bukan?”

Paksi Jaladara terlonjak kaget.

Nawala dan Ayu saling pandang.

Gineng justru tersenyum lebar, dalam otaknya berkata, “Benar-benar gadis yang luar biasa!
Dia bisa menyelesaikan suatu masalah rumit yang menyangkut urusan hati semudah membalik telapak tangan.
Benar, hanya itu jalan satu-satunya, sebab hanya dengan jalan melakukan pernikahan yang bisa menghindarkan seorang gadis dari aib yang menimpanya.”

“Nimas serius?” tanya Si Elang Salju, meyakinkan.

“Aku serius! Benar-benar serius!”

Pemuda entah bagaimana langsung merasakan sekujur kepalanya gatal.

“Kau tidak mau!?” tanya Retno lebih lanjut.

“Aduh ... gimana, ya?”

“Jarang lho ada orang seberuntung Den Paksi,” seloroh Gineng yang disambut dengan gelak tawa oleh Ayu dan Nawala.

“Bukan begitu, Kang! Masa' belum apa-apa sudah dapat dua istri sekaligus,” kata Paksi Jaladara sambil nyengir kuda.

“Hua-ha-ha-ha!”

Tawa Gineng langsung meledak melihat gaya khas cengiran Paksi yang memang sedari dulu mau tidak mau pasti memancing tawanya, karena cengiran itu lebih mirip monyet gondrong kesambet batu daripada cengir kuda yang paling jelek sekalipun!

Sambil menggaryuk-garuk kepalanya, Paksi Jaladara justru duduk menyebelahi Nawara dan berkata,
“Nimas Nawara, apa kau setuju dengan usul gila Nimas Retno?”

Paksi sudah mengubah panggilan terhadap Nawara begitu mengetahui perasaan gadis itu yang sesungguhnya, meski lewat mulut Nawala.
Nawara hanya tersipu-sipu malu, sulit sekali mengungkapkan apa yang ada di hatinya.

“Bagaimana? Jika kau malu berbicara, kedipkan saja matamu dua kali jika kau setuju?' sergah Retno Palupi.
Karena memang gadis bersulam rajawali itu tertotok, sehingga tidak bisa berkata sepatah pun.

“Retno brengsek!
Kenapa mengatakan hal seperti ini di hadapan semua orang?” pikir Nawara,
“Bikin aku malu saja. Duhh ... pasti mukamu merah padam, nih.”
Kemudian gadis itu mengedipkan matanya ... dua kali!

Retno Palupi langsung merangkul Nawara yang tertotok, sambil membisiki sesuatu ke telinga gadis itu,
“Kalau begitu, nanti malam Kakang Paksi 'kita bantai' habis-habisan, kau setuju?”

Nawara hanya tersenyum kecil mendengar 'rencana licik' gadis berbaju biru itu.

Justru senyuman itu membuat Paksi curiga.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanyanya heran setelah melihat Retno melepas rangkulannya ke Nawara.

“Ah ... ini urusan perempuan!
Laki-laki tidak boleh tahu!” kata Retno cepat.

Setelah diperoleh kata sepakat, bahwa memang cara itu satu-satunya yang bisa menyelamatkan selembar nyawa Nawara,
sebab jika sampai tengah malam proses penyembuhan ajaib yang amat sangat langka itu tidak lakukan,
bisa dipastikan nyawa gadis itu sebagai taruhannya.
Hanya karena aliran 'Hawa Inti Salju' saja yang membuat gadis itu bisa bertahan hingga sekarang ini.

Ki Dalang Kandha Buwana, Juragan Padmanaba, Bidadari Berhati Kejam dan semua orang yang terlibat dalam permasalahan akibat bencana Gerhana Matahari Kegelapan hanya terpana, kemudian tersenyum simpul mengetahui proses penyembuhan yang hanya akan dan hanya oleh Paksi yang bisa melakukannya.
Sebab diantara mereka, hanya pemuda itulah yang memiliki 'Hawa Inti Salju' dan yang pasti ... mereka berdua, bertiga dengan Retno Palupi saling mencintai satu sama lain!
Benar-benar jalinan kasih yang langka!

Saat itu pula, Nawala dan Ayu Parameswari langsung berangkat ke Pesanggrahan Gunung Gamping, dan menemui salah satu sesepuh yang kini menggantikan kedudukan Panembahan Wicaksono Aji yang bernama Begawan Wali Bumi, yang sebenarnya masih terhitung saudara seperguruan, meski lain guru.

Jika Panembahan Wicaksono Aji adalah murid Pertapa Gunung Gamping, maka Begawan Wali Bumi adalah murid dari adik kandung dari Pertapa Gunung Gamping yang bernama Pertapa Sakti Dari Tanah Tandus yang hanya memiliki dua murid, yaitu Begawan Wali Bumi dan Begawan Rikma Seta.

Karena kekosongan yang ada di Pesanggrahan Gunung Gamping, Begawan Wali Bumi membagi tugas dengan Begawan Rikma Seta dimana salah satu dari mereka harus memimpin Pesanggrahan Gunung Gamping tinggalan mendiang Panembahan Wicaksono Aji, dan akhirnya diputuskan bahwa yang menjaga dan memimpin Pesanggrahan Tanah Tandus adalah Begawan Rikma Seta, sedang Pesanggrahan Gunung Gamping dipimpin oleh Begawan Wali Bumi.

Begawan Wali Bumi memang usianya tidak jauh beda dengan Panembahan Wicaksono Aji, hanya selisih beberapa bulan saja, tapi dari bentuk raut muka dan postur tubuh, seperti masih berusia empat puluhan tahun saja.

Setelah mengutarakan maksud kedatangan pasangan muda ini sebagai utusan dari Ki Dalang Kandha Buwana dari Padukuhan Songsong Bayu, Begawan Wali Bumi langsung berangkat bersama dengan murid Naga Sakti Berkait dan Nini Naga Bara Merah.

Ketika sampai di Padukuhan Songsong Bayu waktu sudah merembang petang bahkan bisa dikatakan malam karena pancaran sinar matahari sore sudah tidak terlihat lagi, tiga orang beda usianya langsung menemui ki dalang kandha buwana dan juragan padmanaba.

“Begitu rupanya,” kata Begawan Wali Bumi dengan arif bijaksana,
“Jika memang hanya itu jalan satu-satunya yang harus ditempuh, aku sebagai orang tua justru bangga dengan mereka berdua ... “

“Bertiga, Bapa Begawan,” ralat Juragan Padmanaba.

“Bertiga?” tanya heran Begawan Wali Bumi, “ ... lalu siapa orang yang ketiga?”

“Saya, Kakek Begawan.”

Sebuah suara merdu menyeruak.
Begitu mendengar suara yang sangat akrab di telinga, kakek itu langsung membalikkan badan.
Mukanya langsung mengulas senyum kecil melihat sesosok gadis berbaju biru laut yang berdiri di ambang bilik.
Kakek arif itu tahu betul, bawah cuma satu orang yang memanggil dengan sebutan ‘Kakek Begawan’ saja di muka bumi ini.
Siapa lagi jika bukan gadis bengal anak dari Ki Dirga Tirta!

“Rupanya, kau gadis nakal!” ucap Begawan Wali Bumi.

“Bapa Begawan kenal dengan Retno Palupi?” tanya heran Ki Dalang Kandha Buwana alias Kakek Pemikul Gunung.

“Bukan hanya kenal, tapi bocah bengal itu sudah membuat aku susah tidur gara-gara ia pergi tanpa pamit dari Wisma Samudera,” tutur Begawan Wali Bumi, “bahkan sampai-sampai Si Dirga Tirta menyuruh Wisnu Jelantik untuk mencarinya.”

“Lho, memangnya kenapa kau pergi tanpa pamit, Nimas Retno?” tanya Paksi yang tiba-tiba saja keluar.

Melihat pemuda berbaju putih berikat kepala merah,
begawan yang sidik paningal (bermata hati tajam) langsung berdiri,
kemudian ia menghormat dengan sedikit membungkuk,
“Terimalah salam hormat hamba, Kanjeng Pangeran!”

-o0o-
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd