Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Pendekar Elang Salju

Petromaxxx yang enih aja :haha:

...

Hhhhhh...

Kenak Tanggung...

...

Mantap suhu jadi nga sabar nunggu kelanjutan nya

seruuuuuuu....!!:beer::mantap:

Makasih updatenya pendekar:beer:

Om mendingan jilid II"Duel Jago Jago Pesilatan"sampeyan tulis dewe.Soale nek
ngenteni Suhu Gilang durung karuan up date.Pikiren sek karo ngopi.....

ini cerita kaya perpaduan kungfu hustle trus avatar ang sama jakasembung... wusss:ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::stop: pertarungan sesungguhnya kayanya dikit lagi nih:nenen::genit:

makasih suhu atas suguhannya

dokter paksi menang banyak!

Mantap nih...
..
Lanjut terus pokok

Wahh manthapp suhuu... bakalan dpt 2 istri langsung dgn malam pertama akan icip2 2 perawan sekaligus... ditunggu pertempurannya... semoga bs seruu habiss....

:mantap::mantap::mantap:
Mantap suhu

:jempol:

Haus akan Kho ping ho sudah terobati (cersil)... Terimakasih suhu:thumbup:cendol::mantap::beer::semangat::p

Ceritanya fenomenal.. Trus berkarya suhu

pertempuran sepasang perawan membantai sang pangeran burung...eh....elang....

Si tengkorak kuning kemana suhu..?

Nungguin pertarungan pakai Jaladara di keroyok si gadis cantik ...kira kira ko gak ya paksi:kretek:

Menanti pertempuran berdarah..antara Paksi Jaladara vs 2 gadis...
Makasi updatenya Om Suhu:ampun:

Paksi siap2 keluarin jurus Elang Membelah Duren

Kentang huu

Lanjut kisanak...

matok ahhh ... inget waktu SMP-SMA menghabiskan uang jajan untuk sewa kho ping hoo dan chin yu.

ceritanya bagus meski baru baca sampai part 10, eh awal ceritanya si paksi dan arjuna ini umur brp? 5 th yah??
btw awal cerita bagusnya umur 10 - 13 th bukan umur 5 th. jadi dialog untuk menjelaskan background cerita tentang pertempuran besar jahat dan baik dianggap wajar. lah klo 5 th mah masih ga mudeng klo di kasih cerita besar, mau nya cerita yang sesuai dengan minat dia (yg dalam hal ini adalah silat)

Akankah sang elang menuju sangkarnya...kapan

Nah ini yg jd TTE(teka teki enak)
Elangnya paksi masuk sangkar yg mana dulu nih om?

Tinggal endinya aja

Lanjutkan om..... penasaran pertarungan pakai vs dua dara

lanjut ah... udh ga tahan pengen tau endingnya nih

hu..lanjutkan....

Jangan sampai tengelam

Lanjut dong....

Keren banget hu cerita nya..

Di tunggu update nya hu...

:mantap::mantap::mantap:


lanjutken suhu

Yes yes yes ditunggu lanjutannya

Menanti dgn setia dipojokan....
Sambil mainin jempol kaki
Sapa tau ada yg ngasih kopi.....
mohon maaf tuan tuan pendekar semalem blm sempet ngelanjutin cersilnya
:ampun::ampun::ampun:
mohon dimaafkan,
dan terima kasih msh menantikankan ceritanya
 
Bab 60

Tentu saja perkataan Begawan Wali Bumi yang menyebut diri Paksi sebagai ‘Kanjeng Pangeran’ membuat Retno Palupi, Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba terlonjak kaget.
Tidak mungkin jika seorang pertapa yang waskita seperti Begawan Wali Bumi salah bicara.

Namun yang paling terkejut justrulah Paksi Jaladara sendiri!
Sebab dirinya tahu betul, ia adalah rakyat biasa yang secara kebetulan mendapat anugrah sebagai pewaris dari ketua suatu aliran putih yang bernama Istana Elang dan sekarang ia secara resmi menjabat sebagai Ketua.

"Bapa Begawan ini ada-ada saja," kata Paksi setelah keterkejutannya hilang,
"Saya hanya manusia biasa seperti halnya Bapa Begawan.
Tidak ada sejarah dalam hidup saya kalau saya ini keturunan bangsawan."

Begawan Wali Bumi yang memiliki indra ke tujuh tidak bisa dibohongi begitu saja, sebab dari wajah dan seluruh tubuh pemuda itu terpancar aura keagungan keturunan seorang raja.
Akan tetapi melihat raut muka kejujuran yang terpancar dari wajah itu, membuat Begawan Wali Bumi berpikir,
"Aneh! Jelas sekali ia masih keturunan raja besar, tapi kenapa ia berkata bahwa dirinya cuma rakya jelata? Pasti ada suatu rahasia yang tersembunyi dari semua ini."
Akhirnyanya ia berkata, "Maaf kalau saya salah bicara Nakmas ... "

"Paksi Jaladara, Bapa Panembahan."

"Nakmas Paksi, maaf jika salah bicara."

Akhirnya, pada sore itu juga dilaksanakan upacara pernikahan antara Paksi Jaladara, Retno Palupi dan Nawara sekaligus dimana Begawan Wali Bumi ditunjuk sebagai juru nikah bagi tiga muda-mudi itu (jaman dulu, nikah umur tujuh belas sampai sembilan belas tahun adalah hal biasa, justru luar biasa kalau ada orang yang masih perawan atau perjaka belum menikah pada maksimal usia dua puluh tahun, sehingga sebutan perawan kasep dan perjaka gabuk langsung nangkring dengan sendirinya).

Karena harus menikahkan satu pria dengan dua gadis sekaligus, Begawan Wali Bumi cukup kesulitan, dan akhirnya dibuat kesepakatan dengan tiga muda-mudi itu.
Paksi Jaladara menikah lebih dahulu dengan Retno Palupi, dan setelah upacara pernikahan mereka berdua selesai, barulah Paksi Jaladara melangsungkan pernikahan dengan Nawara.
Tanpa ada halangan sedikit pun, pernikahan yang dipimpin oleh Begawan Wali Bumi akhirnya berakhir pula!

Bergiliran, tiga orang itu menerima ucapan selamat dari semua yang hadir di tempat itu.
Gineng, Nawala, dan Joko Keling ingin sekali belajar pada pemuda berbaju putih itu bagaimana caranya menampilkan kewajaran di tengah kehangatan dua kekasih yang kini secara resmi telah menjadi istrinya, ingin belajar bagaimana Paksi bisa menerima cinta dua gadis cantik sekaligus yang secara fisik tersedia nyata dan sempurna di depan hidungnya itu.
Benar-benar jenis pemuda yang beruntung soal gadis, bukan?

Dewa Cadas Pangeran duduk tenang dan Simo Bangak justru banyak berdiam diri menyaksikan ritual sakral itu.
Tidak ada ulah konyol yang dilakukan oleh bocah bermata harimau itu.
Begitu selesai, Simo Bangak yang sedari awal harus menahan mulutnya untuk diam tanpa kata, akhirnye keluar juga suaranya.
"Wah ... kalau begini caranya, Istana Elang cepat ramai."

"Kenapa kau bilang begitu?"

"Bayangin aja, Paman Shang!
Nikah dengan dua gadis sekaligus pastilah luar biasa, setahun kemudian pasti keluar dua orok, dua tahun lagi keluar dua orok lagi.
Jika sepuluh tahun lagi, Istana Elang pasti seperti taman bayi," ucap Simo Bangak dengan tangan kanan dan kiri sambil menghitung satu sama lain.
"Kalau dihitung-hitung, yah ... anak Ketua pasti dua puluhan orangan-lah!"

"Bocah sinting! Aku heran sama kamu!
Kalau urusan beranak-pinak cepat sekali kau nyambungnya," timpal Joko Keling, lalu sambungnya,
"Namun jika urusan lain, sampai pantatmu jebol juga tidak pernah kau pikirkan secuil pun."

"He-he-heh, sebab ngomongin yang begituan memang tidak pernah ada habisnya," sahut Simo Bangak sambil cengar-cengir.

Semua tertawa mendengar celotehan bocah umur sembilan tahunan itu.

-o0o-

Sebelum proses penyembuhan dimulai, Gineng dan Paksi Jaladara sempat berbicara dua mata di depan bilik yang ditempati Nawara dan Retno.

"Den Paksi ... "

"Maaf, Kakang Gineng! Lebih baik kakang langsung memanggil namaku saja."

"Tapi ... tapi ... "

"Saya mohon, Kakang!"
Setelah menghela napas panjang, Gineng pun berkata, "Baiklah, Den ... eh Paksi ... untuk proses penyembuhan kali ini kau harus hati-hati sekali. Salah sedikit nyawa istrimu melayang."

"Benar, Kakang! Aku sendiri juga sedikit khawatir dengan hal ini!
Penyembuhan kali ini benar-benar beresiko tinggi," ucap Paksi.
"Salah-salah justru aku sendiri yang mencelakakan Nimas Nawara.
Bisalah Kakang memberiku petunjuk tambahan."

"Menurut Kitab Pengobatan ini ... " kata Gineng sambil membuka kitab tebal yang ada didepannya,
" ... disini tertulis :

'alirkan hawa dari gerbang,
resapkan dari atas gunung dan sedot api dari langit.
Semua mengalir seperti sungai'!

Itu artinya bahwa proses penyembuhan ini harus menggunakan kekuatan hawa inti keperjakaan,
bukan cairan keperjakaan dan tulisan 'resapkan di atas gunung' adalah mengalirnya ‘Hawa Inti Salju’ dari bagian dada
dan makna dari 'sedot api dari langit', dimana hal ini kita harus menghisap hawa beracun ini dari mulut penderita kemudian dibuang keluar.
Dan yang terakhir, 'semua mengalir seperti sungai' adalah tidak satu benda pun yang menghalangi proses pengobatan ini."

"Lalu ... bagaimana dengan totokan?"

"Seperti yang tertulis, semua harus tanpa halangan." tegas Gineng lebih lanjut,
"Kau paham, Paksi?"
Pemuda itu hanya mengangguk pelan.

"Ingat! Kau harus mengutamakan pengobatan ini agar nyawa istrimu selamat!" kata Gineng,
"Konsentrasikan dan kontrol sisi jiwa mudamu, Paksi!"

"Terima kasih, Kakang!
Aku berusaha sebaik-baiknya." kata Si Elang Salju dengan tegas.
Itulah percakapan singkat antara Paksi jaladara dengan gineng, sebelum pemuda itu masuk ke dalam bilik.

Begitu Paksi masuk, Retno Palupi yang saat sedang ngobrol dengan Nawara langsung menghambur ke dalam pelukan suaminya, dengan sedikit menyeret ke dekat Nawara tergeletak, terus berkata, "Bagaimana, Kakang? Kita mulai sekarang!?"

Wajah cantik Nawara masih seperti sebelumnya, bahkan lebih merah dari yang sudah-sudah.

"Nimas Retno, pengobatan terhadap Nimas Nawara harus dilakukan sekarang."

"Lakukanlah, Kakang Paksi. Aku akan menunggu di bilik depan," kata Retno sambil mencium lembut pipi suaminya.

"Terima kasih, Nimas," kata Paksi sambil membalas memeluk mesra istrinya.

Retno membisiki sesuatu telinga Nawara, yang justru membuat seraut wajah yang sudah merah semakin memerah.

"Apa yang kau lakukan, Nimas?"

Retno Palupi hanya tersenyum saja, sambil berjalan pergi ke bilik depan yang dipisahkan oleh pintu anyaman rotan.

Memang ruangan di kediaman Juragan Padmanaba cukup luas, bahkan terdapat dua bilik yang terbuat dari tembok bata yang saling terhubung satu sama lain dengan hanya memiliki satu pintu keluar saja.
Saat ini Retno Palupi berada di bilik depan sedang Nawara dan Paksi berada di bilik belakang.
Karena mereka bertiga sudah resmi sebagai suami istri, maka Paksi hanya mengunci pintu depan saja, sedang pintu tengah yang menghubungkan dua ruangan hanya terpisah oleh pintu anyaman rotan yang bisa digeser ke samping kiri atau kanan.
Jadi Retno Palupi bisa masuk ke bilik belakang kapan saja!

"Nimas, apa kau sudah siap?" tanya Paksi pada Nawara, istrinya.

Nawara hanya mengangguk pelan.
Dada gadis itu berdebar-debar keras saat sang suami menyentuh lembut rambut hitamnya, kemudian turun ke pipi yang kemerah-merahan, kemudian ke leher jenjangnya.
Saat berada di atas gundukan dadanya yang membusung kencang, tangan Paksi sedikit penyusup ke dalam, melepaskan pengait baju dari dalam, sedang tangan kiri melepas ikat pinggang gadis itu.

Srett!

Begitu ikat pinggang Nawara terlepas, terpampanglah di depan mata Paksi sebentuk tubuh menawan seorang gadis yang berkulit kemerah-merahan akibat terkena jurus 'Air Liur Kuda Binal'.
Paksi berusaha keras menahan diri, agar ia tidak menjerumuskan nasib gadis yang kini sedang tergolek lemah di atas balai.

Dengan lembut Paksi melepas baju luar Nawara.
Begitu terlepas, sebentuk pemandangan indah semakin terpampang di depan mata pemuda.
Meski masih dililit dengan sebentuk baju dalam putih tipis, tapi tidak menyembunyikan dada bulat indah dan menggairahkan dengan ujung-ujung bukit yang terlihat menyembul.

"Aku harus bisa menahan diri," gumam Paksi.
Kemudian dengan tangan sedikit gemetar, Paksi melepas baju dalam yang membalut dada padat menggelembung itu.

Srett!

Kali ini, benar-benar keindahan yang sulit sekali dielakkan oleh Paksi.
Hampir saja ia menubruk benda bulat menantang yang ada didepan hidungnya dan tinggal dilahap olehnya.

Sedang Nawara sendiri, dengan melihat perbuatan Paksi terhadapnya, bagaikan api disiram minyak.
Muka gadis itu semakin memerah, bahkan terlihat uap merah tipis yang keluar dari ubun-ubunnya.
Jelas sekali, bahwa Nawara sendiri juga dalam situasi yang genting karena amukan birahi dari racun yang mengeram dalam dirinya semakin bergolak.
Yang bisa dilakukan oleh gadis itu hanya mendesis dan mendesis saja, sebab totokan yang dilakukan Paksi memang belum dilepaskan.

"Tidak! Aku harus bertahan!" gumam Paksi sedikit lebih keras.
"Waktuku tidak banyak lagi."

Sementara itu, dibilik satunya, Retno Palupi melihat semua yang dilakukan oleh suaminya, Paksi Jaladara.

"Kasihan sekali, Kakang Paksi!
Dia harus bisa menahan amukan birahi yang menyiksa batinnya," pikir gadis itu dengan trenyuh melihat perjuangan Paksi dalam mempertahankan niatnya menyembuhkan Nawara.
"Kali ini lebih berat daripada saat bertarung melawan Topeng Tengkorak Baja.
Karena Kakang Paksi harus bertarung melawan nafsunya sendiri."

Kali ini tangan Paksi beralih ke celana putih yang masih melekat di kaki Nawara.

"Nimas, kau masih sanggup bertahan?' tanya Paksi sambil melepas celana luar dan dalam gadis itu secara bersamaan.

Nawara hanya bisa mengangguk pelan.
"Kakang ... mati pun aku ... rela," kata Nawara di antara suara desisan.

"Tidak, Nimas!
Kau harus bertahan hidup!
Demi aku! Demi Retno!" kata Paksi memberi semangat.
“Dan demi cinta kita!”

Nawara mengangguk pelan sambil berkata, "Aku akan ... berusaha ... Kakang ... "

Srett!

Begitu celana luar dalam Nawara terlepas, konsentrasi Paksi hampir saja pecah berantakan, sebab di depan matanya terpampang indah sebentuk gerbang istana kenikmatan dengan sedikit rekahan tipis kemerah-merahan yang licin mengkilat.
Memang tadi ia telah menyuruh Retno untuk membersihkan 'tempat itu', karena dalam rangkaian pengobatan yang ingin dilakukannya, haruslah bersih tanpa halangan sedikit pun!

Dengan kesadaran yang sangat tinggi, pemuda lulusan dari Lembah Badai itu akhirnya bisa mengontrol gejolak yang datang menggelora.
Begitu melihat gadis cantik itu telanjang bulat, Paksi segera melepas baju dan celananya.
Tidak seperti melepas baju istrinya, pemuda itu begitu cepat melakukan kegiatan ini.
Tentu saja cepat, sebab memang baru pertama kalinya ia melakukan perbuatan yang dianggapnya aneh ini terhadap seorang gadis.

Srett!

Paksi pun telah telanjang bulat tanpa sehelai benang pun, bahkan ikat kepala merah yang biasanya bertengger di kepalanya telah dilepas.
Tubuh pemuda itu terlihat kekar berotot, meski tidak bertonjolan keluar seperti halnya Dewa Cadas Pangeran.

Sambil mengambil posisi semadi, pemuda itu memejamkan mata untuk mengerahkan ‘Hawa Inti Salju’.
Tidak seperti dalam sebuah pertarungan dimana kekuatan saljunya dialirkan ke seluruh tubuh, namun kekuatan ‘Hawa Inti Salju’ kali ini dialirkan melalui pusar, terus turun ke bawah hingga menerobos ke dalam pilar tunggal penyangga langitnya yang berdiri kokoh setinggi pusar dan tegak menantang siap tarung. ‘Hawa Inti Salju’ terus mengalir hingga semuanya berkumpul di bagian ujung pilar yang kini memancarkan cahaya putih keperakan.

Wess ... !

Begitu ‘Hawa Inti Salju’ sudah berada diujung pilar, Paksi segera membuka mata.
Meski sudah diarahkan ke bagian yang ditentukan, namun selimut putih keperakan ternyata melingkupi seluruh tubuh telanjang pemuda itu.

"Kau benar-benar siap, Nimas?"

-o0o-
 
Bab 61

Nawara hanya mengangguk pelan.
Mata gadis itu sedari awal langsung mengarah ke bagian terpenting dari tubuh Paksi yang tegak menantang mengajak perang.

Paksi sedikit merenggangkan kaki Nawara, lalu ditekuk membentuk siku.

Sett!

Sebuah rekahan kemerahan sedikit terkuak berada diantara dua belahan paha gadis itu.
Ingin sekali Paksi bermain-main di tempat itu sebentar, tapi niat itu diurungkan karena hal itu justru akan memperlama proses penyembuhan yang ingin dilakukannya.
Pemuda itu segera berjongkok diantara kedua belahan paha indah Nawara yang sudah terpentang, sambil mengarahkan ujung pilar tunggalnya ke liang gerbang istana kenikmatan.

Srett!

Ujung pilar tunggal Paksi sedikit menerobos gerbang istana kenikmatan.

Nawara langsung mengernyit saat ujung pilar milik Paksi yang cukup besar mendesak-desak maju, berusaha menjebol pintu gerbang miliknya.

"Sakit?" tanya Paksi.

"Teruskan, Kakang!" desis Nawara, tapi lebih mirip dengan desah nikmat.

Paksi segera mendorong maju pilar tunggalnya sedikit.

Sett!

"Ughh ... !"

Kepala Nawara langsung toleh ke kiri kanan saat benda tumpul itu meski hanya masuk ujung kepalanya saja.

Paksi yang melihat ujung pilar tunggalnya sudah masuk sepenuhnya menghela napas lega karena tahap pertama sudah berhasil.

Memang yang dibutuhkan dalam penyembuhan akibat racun ‘Air Liur Kuda Binal’ hanya sebagian saja dari ujung pilar tunggal penyangga langit memasuki pintu gerbang istana kenikmatan, sebab jika dimasukkan seluruhnya justru akan mempercepat peredaran racun menuju jantung.
Itulah sebabnya mengapa Gineng menekankan agar Paksi mengontrol jiwa mudanya yang meledak-ledak.

Pada tahap pertama, Paksi telah sukses!

Begitu masuk, sebentuk hawa sejuk langsung menerobos masuk ke dalam tubuh Nawara dan berkumpul di depan pintu gerbang istana kenikmatan.

Cesss!!

Paksi kemudian membungkuk maju dalam posisi memeluk kosong sambil meletakkan dua tangannya ke sepasang bukit kembar Nawara yang tegak menantang.

Krepp!

Lagi-lagi pemuda itu hampir lepas kendali, apa lagi saat syaraf-syaraf ditangannya bersentuhan dengan sebuah benda bulat kecil yang sudah mengeras ditopang sebentuk bulatan besar yang kenyal, namun dengan sekuatnya ia bertahan.

"Nimas, kita masuk ke dalam tahap selanjutnya," bisik Paksi ke telinga Nawara,
"Aku akan melepaskan totokan yang ada di tubuh Nimas.
Begitu terlepas, usahakan Nimas bisa meredam gejolak birahi yang datang menggelora."

“Aku akan berusaha sekuat tenaga, Kakang," desis Nawara semakin keras.

Dada kencangnya ditangkupi tangan pemuda yang dicintainya, tentu saja rasa nikmat langsung menjalar saat itu juga.

"Baik! Aku akan melakukannya sekarang," bisik Paksi.

Dengan tingkatan hawa tenaga dalam yang dimiliki Paksi, pemuda itu sanggup membuyarkan totokan aliran darah yang dilakukan olehnya sendiri dengan cara apa pun.

Memang totokan aliran darah berbeda dengan totokan jalan darah.
Jika yang ditotok adalah jalan darah, gadis itu pasti sudah mati tadi siang karena pembuluh darahnya pecah akibat tidak kuat menahan desakan racun birahi.

Buhh ... !

Tiupan angin dingin langsung menerpa aliran darah di atas dada sedikit di bawah pundak kiri kanan.

Begitu totokan aliran darah lepas, sontak Nawara yang sudah dalam birahi tinggi langsung memeluk erat Paksi yang kini ada di atas tubuhnya sambil pinggul memutar-mutar dengan cepat.
Gerakannya begitu liar tak terkendali.
Bahkan suara dengusan keras disertai hembusan hawa panas langsung menerpa wajah Paksi yang kaget melihat perubahan yang tidak disangka-sangkanya itu.

Paksi susah payah mempertahankan diri saat melihat serangan maut yang dilancarkan Nawara.
Jika dalam keadaan biasa, tentu pemuda itu akan menikmati apa saja yang dilakukan Nawara, tapi kini keadaannya berbeda.

"Nimas, sadar! Sadar!" teriak Paksi sambil berusaha mempertahankan posisi semula dengan cara mundur-mundur, tapi karena desakan-desakan yang dilancarkan gadis itu justru membuat pilar tunggalnya sedikit lebih masuk ke dalam, apalagi begitu kedua kaki Nawara dengan sigap langsung menjepit pinggulnya dalam satu tarikan cepat, pilar tunggal penyangga langit langsung terbenam mendekati setengahnya!

Srett! Slepp!

"Ugggh ... "

Nawara langsung mendesah, menggelinjang, menggeliat liar berusaha melampiaskan birahi yang terus menghentak-hentak seluruh tubuhnya.
Sampai-sampai balai bambu yang ditempatinya berderit-derit mau patah saking kerasnya gerakan birahi gadis itu.
kepala gadis itu toleh ke kanan kiri dengan punggung melengkung ke depan,
hingga membuat Paksi sulit mempertahankan posisi ke dua tangan yang mendekap erat dada kenyal istrinya.

Paksi sudah kewalahan menghadapi tingkah Nawara yang seperti kesetanan.

"Nimas Retno, bantu aku!" kata Paksi pada akhirnya.

Pemuda itu semakin khawatir saja, karena saat ini ia belum bisa melepaskan muntahan ‘Hawa Inti Salju’ seluruhnya, dikarenakan gerakan Nawara yang semakin menggila dan terus menggila dalam menggoyang pinggulnya, seakan ingin benda tumpul yang kini telah masuk hampir setengahnya menghunjam dalam-dalam di gerbang istana kenikmatan.

Retno yang melihat kejadian yang semakin mengkhawatirkan bagi keselamatan Nawara itu, tanpa malu-malu lagi, langsung berlari mendekat, menghampiri dua tubuh bugil yang kini sedang dalam posisi tumpang tindih dan tanpa pikir panjang tangan kiri memegang kepala Nawara yang bergerak-gerak liar sedang tangan kanan berusaha menghentikan goyang ngebor gadis yang sedang diamuk birahi tinggi.

Crepp! Srett!

Meski hanya sekejap saja, Paksi langsung memuntahkan kekuatan hawa inti keperjakaan lewat pilar tunggal penyangga langit yang sudah masuk setengahnya ke dalam gerbang istana kenikmatan Nawara.

Cesss!

Terdengar bunyi desisan seperti api disiram air saat muntahan hawa inti keperjakaan bertemu dengan racun birahi yang ada di dalam tubuh gadis yang kini dalam dekapannya.

Asap putih tipis terlihat mengepul dari bawah tubuh Nawara.
Beberapa saat kemudian, tubuh Nawara sedikit melemas, Paksi segera menambah muntahan hawa inti keperjakaan ke dalam tubuh istrinya.

Wess! Cesss!!

Begitu hawa racun birahi di desak keluar dari bawah, bagian perut Nawara terlihat berwarna kemerah-merahan.
Warna ini terus berjalan maju dan begitu sampai di dekat dada, Paksi segera mengerahkan ‘Hawa Inti Salju’ lewat tangannya yang mendekap erat dada montok Nawara.

Wrett ... cesss!

Lagi-lagi terdengar desisan nyaring.

Begitu melihat Nawara sudah sedikit tenang, Retno Palupi melepaskan pegangan ke dua tangannya.

Bukannya kembali ke bilik depan, malah gadis itu duduk bertopang dagu di meja kecil yang ada ditempat itu, menonton perbuatan suaminya.
"Baru kali aku membantu laki-laki memperkosa seorang gadis," gumamnya lirih.
"Dan melihatnya dengan jelas pula!"

Tentu saja gumaman lirih itu didengar Paksi yang sedang mengalirkan ‘Hawa Inti Salju’.
"Brengsek benar istriku ini, masa dibilangnya aku sedang memperkosa gadis?" pikir Paksi.
"Sudah begitu, malah menonton lagi, bukannya bantuin ... "

Hawa racun dari jurus ‘Air Liur Kuda Binal’ kini telah berjalan naik dan sekarang tepat berada di tenggorokan Nawara.
Dengan masih terus mengalirkan hawa inti keperjakaan dari bawah yang menerobos gerbang istana kenikmatan, terus maju hingga mencapai rongga dada dan akhirnya sampailah pada tahap terakhir di bagian leher.
Terlihat bibir Nawara terbuka-tutup seperti mengundang pemuda yang kini menindihnya untuk melumat sebentuk bibir merah merekah.
Begitu melihat pancaran hawa merah yang ada ditenggorokan istrinya, dengan sigap, Paksi membungkuk dan ...

Plekk!

Bibir ketemu bibir!
Pipi Paksi terlihat kempot saat ia berusaha menyedot hawa racun.
Begitu ia racun berhasil ia sedot, langsung melepas bibir dan menengok ke kanan sambil meniup.

Buhh ... !

Sebentuk asap kemerah-merahan bergulung-gulung terlontar dari mulut Paksi dan kemudian membumbung ke atas, menerobos langit-langit kamar dan hilang dari pandangan.

Melihat hasilnya, Paksi tersenyum dan dengan semangat ia mengulangi apa yang dilakukannya.
Berulangkali pemuda itu menguras asap racun yang ada di dalam tubuh Nawara lewat mulutnya dan dihembuskan keluar.
Hingga pada kali ke lima belas, tidak ada lagi pancaran hawa merah yang ada di dalam tubuh istrinya.

Tubuh gadis itu kembali ke bentuk semula, putih mulus tanpa cacat dan tentu saja ... menggiurkan!

Nawara benar-benar telah bebas dari racun birahi yang hampir saja merenggut nyawanya!

Begitu racun birahi terakhir telah hilang, Nawara langsung jatuh tertidur kelelahan.
Bagaimanapun juga, racun birahi sangat menguras tenaga, baik tenaga luar mau pun tenaga dalam.
Hanya karena pasokan 'Hawa Inti Salju' dari luar saja yang membuat gadis itu bisa bertahan hingga sekarang ini.

Namun Paksi belum juga mencabut pilar tunggalnya dari dalam gerbang istana kenikmatan Nawara, seakan sedang menunggu sesuatu terjadi.

Sriing ... !

Saat melihat tubuh tidur Nawara diselimuti cahaya putih tipis keperakan, Paksi tersenyum tipis.
Lalu bangkit dari posisi memeluk, melepas tangan dari atas dada kencang istrinya dengan lembut, terus duduk tegak dalam posisi berada diantara dua bongkahan paha mulus istrinya.

"Hemm, ‘Hawa Inti Salju’ sedang mengadakan pembersihan tahap lanjut, " gumam Paksi, lalu ia dengan penuh kelembutan, pemuda itu undur diri.

Sedikit demi sedikit ia menarik keluar pilar tunggal penyangga langit yang pada awalnya sudah terbenam mendekati setengahnya agar tidak membangunkan Nawara yang terlelap.

Lepp!

Begitu lembut pemuda itu menarik diri, seakan-akan Nawara terbuat dari kaca yang mudah pecah.
Begitu berhasil di tarik keluar, Paksi langsung mundur ke belakang sambil menghela napas lega.

"Fyuhhh ... akhirnya berhasil juga," katanya sambil menyeka keringat sebesar biji jagung yang menetes di dahi sambil bangkit dari atas balai.

Retno Palupi dengan sigap mengambil selimut tebal dan menyelimuti tubuh telanjang Nawara sambil berkata lembut,
"Bagaimana, Kakang? Nawara bisa diselamatkan?"

"Dia selamat, Nimas!"

"Tapi, kenapa masih diselimuti cahaya putih ini?" tanya Retno Palupi memandangi seraut wajah milik Nawara.

"Kali ini tahap terakhir dari 'Hawa Inti Salju' sedang bekerja dari dalam," terang Paksi.

Pemuda itu seolah tidak sadar bahwa dia sedang berdiri telanjang bulat dan kini mata nakal Retno Palupi berulang kali melirik ke bagian bawah pusar, seakan berkata, 'kapan giliranku?'

"Lebih baik kita ke bilik depan, biarkan saja Nawara tidur nyenyak untuk proses pemulihan dirinya," ajak Retno Palupi sambil melingkarkan lengan kiri ke pinggang Paksi.

"Baik, aku sendiri juga lelah."

Dalam delapan sembilan langkah, keduanya telah sampai di bilik depan.

Sementara di luar sana, hawa malam berubah menjadi semakin dingin menusuk tulang.

"Kenapa hawa malam ini rasanya berbeda dari sebelumnya," gumam Juragan Padmanaba.

"Mungkin Paksi sedang mengerahkan ‘Hawa Inti Salju’ untuk proses pengobatan kali ini," jawab Kakek Pemikul Gunung,
"Wajar saja jika hawa semakin dingin daripada biasanya."

Juragan Padmanaba hanya menghembuskan napas panjang, mengepulkan asap tembakau dari dalam mulutnya,
"Heh, kalau dipikir-pikir ... pemuda itu benar-benar beruntung sekali."

"Beruntung bagaimana maksudmu?"

"Lihat saja sendiri! Belum pernah dalam sejarah hidupku menjumpai pemuda yang bisa bersikap wajar terhadap dua orang yang mencintainya sekaligus dan kini ketiga-tiganya justru terikat dalam ikatan perkawinan.
Seolah apa yang dijalaninya memang sudah seharusnya terjadi," kata Juragan Padmanaba panjang lebar.

"Aku sendiri juga heran, Kakang! Kok ya ada pemuda dengan segudang keberuntungan seperti Paksi itu," tutur Ki Dalang Kandha Buwana,

"Andaikata aku tidak menjumpai sendiri dengan mata kepalaku, mungkin seumur hidupku tidak akan pernah menjumpai kejadian seunik dan semenarik ini.
Sudah ganteng, berilmu tinggi, punya jabatan ketua persilatan dan kini justru menikah dengan dua gadis sekaligus dalam satu malam.
Kalau dipikir-pikir dengan otak tuaku ini, pemuda itu pasti bukan orang sembarangan, Kakang."

"Aku pun juga berpikir begitu. Ingat ucapan Begawan Wali Bumi, dia menyebut Paksi sebagai Kanjeng Pangeran. Apa tidak aneh itu?"

"Benar juga! Aku juga sempat berpikir, mungkin Paksi itu seorang bangsawan kerajaan atau setidaknya putra raja yang sedang dalam penyamaran untuk mendarmabaktikan ilmunya pada sesama," kata Ki Dalang Kandha Buwana, lalu menyeruput wedang jahe yang masih mengepul.

"Kau sendiri sebagai dalang tentu tahu makna dari hidup dan kehidupan yang sudah digariskan oleh Hyang Widhi, Dimas Kandha! Semua serba misterius. Penuh teka-teki!"

Ki Dalang Kandha Buwana mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui apa yang diucapkan oleh sang besan.

"Bagaimana menurutmu dengan cucu kita?"

"Si Kelana Raditya?"

"I ... ya! Memangnya cucu kita siapa lagi jika bukan Kelana Raditya," kata Kakek Pemikul Gunung,
"Aku memiliki keyakinan bahwa cucu kita ini kelak akan menjadi seorang tokoh besar."

"Semoga saja begitu, Dimas Kandha.
Hanya tergantung bagaimana kita saja mengisi hati dan pikiran kelana dengan hal-hal yang baik dan benar."

"Tapi ngomong-ngomong, apa Kakang padmanaba tidak ada rencana untuk menikah lagi, misalnya ... "

"Menikah lagi? Dengan siapa?"

"Yah ... dengan perempuan, toh!"

"Lha i ya ... tapi siapa?"

"Lho, bukankah Yu Suminah, janda desa sebelah kabarnya naksir Kakang?"

"Naksir gundulmu itu!"

Begitulah orang tua, jika sudah berusia menanjak naik, yang diomongin pasti tidak jauh dari urusan anak muda!
 
Bab 62

Di dalam bilik ...

"Lebih baik Kakang duduk dulu di atas balai itu," kata Retno Palupi sambil mengambil kain kuning yang cukup besar dari atas meja kecil dan sebuah kuali kecil dari tembaga berisi air.

"Lho, memangnya Nimas mau kemana?" tanya Paksi sambil duduk di atas balai dengan tenang, kemudian bersandar di tembok.

"Aku mau ambil kain buat bersihkan 'burung elang'-mu yang nakal itu." kata Retno dalam senyuman genit.

Begitu mendengar kata 'burung elang', selebar wajah Paksi pucat pasi.
Dengan sigap ia mendekap ke bawah perut, tapi tangannya tidak cukup besar untuk menutupi benda bulat memanjang itu.

"Nimas, kenapa kau tidak mengingatkan aku tentang hal ini!?"

"Sudahlah ... toh dari tadi aku juga sudah melihatnya," sergah Retno Palupi sambil menggeser sebuah kursi kecil ke depan, kemudian ia duduk disitu dengan jarak setengah jangkauan dari Paksi yang sedang menutupi benda keramatnya.

"Lepaskan ... "

"Apanya yang dilepaskan?" tanya Paksi heran.

"Tanganmu itu," kata si gadis baju biru laut sambil memegang kedua tangan Paksi, dengan maksud melepaskan dekapan.

Dengan ragu-ragu Paksi melepas dekapan pada bagian bawah perutnya.

Sebentuk benda bulat memanjang dengan urat-urat bertonjolan terlihat berdiri tegak mendekati pusar, kokoh bagai tonggak kayu!

"Belepotan darah begitu masa' mau dibiarkan saja," kata Retno Palupi sambil tangan kanan memasukkan kain kuning ke dalam kuali tembaga yang berisi air, sedang tangan kiri meraih pilar tunggal penyangga langit milik Paksi.

Rupanya, saat terjadi desakan hawa racun yang mengalir dalam tubuh Nawara terbebas dari totokan, hingga tubuh gadis itu bergerak-gerak liar tidak terkendali, dan tanpa sengaja pula selaput dara kebanggaan gadis itu pecah dan mengalirkan darah keperawanan akibat diterobos oleh sebentuk benda tumpul bulat memanjang.

Untunglah bahwa Nawara sendiri sudah secara resmi menikah dengan Paksi Jaladara, sehingga dengan pecahnya selaput dara membuat Nawara bisa berbangga hati mempersembahkan keperawanan miliknya hanya satu orang yang kini secara resmi menjadi suaminya (jaman dulu yang namanya keperawanan gadis teramat sangat dijunjung tinggi, lebih tinggi dari keperjakaan seorang laki-laki!).

Paksi mengeluh atau lebih tepatnya mendesah nikmat saat syaraf-syaraf yang ada di pilar tunggal penyangga langitnya tersentuh tangan lembut istrinya. Dengan telaten, Retno membersihkan darah perawan Nawara yang masih menempel.
Sebentar kemudian benda bulat memanjang itu telah bersih dari ceceran darah.

"Nah ... dengan begini kan enak," ucap Retno sambil tersenyum.

Sambil memandang wajah tampan suaminya, tangan kiri Retno perlahan bergerak ke atas dan ke bawah dengan lembut, dari ujung ke pangkal kemudian balik lagi dari pangkal ke ujung.
Terlihat oleh Retno, betapa Paksi tersenyum rawan menikmati perpaduan antara gesekan dan remasan jari lembut istrinya di tempat itu.

"Kakang, boleh aku cium?" tanya Retno saat melihat suaminya mendesah sambil memejamkan mata.

Dengan tetap bersandar di tembok dan duduk di atas balai, Paksi mengangguk pelan, sambil membuka bibirnya sedikit untuk menerima ciuman istrinya, tapi ternyata Paksi salah paham kali ini.
Pemuda itu langsung terlonjak kaget begitu merasakan suatu ruang hangat melingkupi bagian atas pilar tunggal penyangga langitnya!

"Nimas ... "

Hanya itu saja yang terdengar, selebihnya hanya desahan napas yang tak beraturan keluar.

Perlahan-lahan pilar tunggal penyangga langit yang sudah membesar justru semakin membesar saja.
Beberapa saat kemudian Paksi melepaskan diri.

"Nimas ... sudah ... " ucap Paksi sambil mengangkat bangun tubuh Retno, lalu dijatuhkan dalam pelukannya, tapi gadis itu meronta lemah.

"Aku mau minum dulu," kata Retno sambil mengambil wedang jahe, lalu meminum seteguk dua, terus diangsurkan ke suaminya.
"Mau minum?" tanya Retno menawarkan wedang jahenya.

Paksi membuka bibir sedikit dengan maksud ingin minum, tapi bukannya dari gelas bambu, justru dari bibir Retno Palupi!

Retno Palupi langsung gelagapan, dan hampir saja ia tersedak, jika tidak buru-buru menelan wedang jahenya, bahkan sebagian menetes membasahi baju birunya (sampai sekarang Retno Palupi masih dalam pakaian lengkap, entah apa yang terjadi beberapa saat lagi).

Kali ini ciuman Paksi lebih panjang dan lebih lama dari ciuman pertamanya dengan Retno, bahkan kini gadis itu membuka diri dan menyambut bibir Paksi dengan ganas.
Retno begitu menikmati pagutan liar dan lilitan lidah Paksi di dalam rongga mulut hingga membuat gadis itu memejamkan mata, meresapi setiap nuansa indah yang dialami untuk pertama kali.

Mereka berciuman cukup lama, sampai akhirnya pagutan Paksi terlepas dan menjauh dari bibir merah merekah.

"Aku lebih suka minum dari situ," kata Paksi sambil tangan kanannya mengusap lembut bibir merah sang istri.

Lalu pemuda itu menggeser tubuh istrinya sedikit ke samping sehingga mereka duduk berhadapan dengan posisi dua kaki Retno menumpang di atas paha Paksi, dengan posisi ini, Paksi memeluk pinggang istrinya, lalu melanjutkan aksi ciuman dimulai dari leher jenjang Retno yang putih mulus bak pualam.

"Aaahh ... " Retno mendesah kecil sambil merangkul erat saat lidah suaminya menyapu leher, sehingga gadis itu mulai terbawa suasana romantis yang diciptakan oleh mereka berdua.

Puas menyerang leher Retno, Si Elang Salju kembali melumat bibir merah yang sedikit terbuka mengeluarkan suara desah, dengan pagutan ganas dan liar. Pemuda itu begitu lihai memainkan lidahnya di rongga mulut yang kini ditutupi dengan mulutnya.

Jelas sekali bahwa ilmu silat lidah Paksi sama ampuhnya dengan ilmu silatnya!
Tentu saja yang semua yang dilakukan Paksi, Retno Palupi dan Nawara hanyalah suatu bawaan alam, tidak ada yang mengajari dan tidak ada waktu untuk belajar hal-hal seperti itu.
Semua serba alami dan apa-adanya, tidak ada yang mengada-ada dan tidak ada yang dibuat-buat.
Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui bagaimana mereka bisa melakukan hal menarik yang memang baru pertama kalinya mereka lakukan.
Semua berjalan sesuai dengan kehendak alam!
Sesuai kodrat yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa!

Perlahan-lahan tangan kanan Paksi yang semula memeluk pinggang lalu naik ke atas depan, menyentuh sebentuk dada padat menggelembung yang masih tertutup baju. Diremasnya dengan lembut dada kenyal-padat sebelah kanan.

"Ughh ... "

Kembali Retno mendesah merasakan nikmat saat ujung-ujung jari tangan Paksi mempermainkan sebentuk benda bulat kecil yang ada di atas gumpalan padat menggelembung dari luar.
Bersamaan dengan itu, Retno makin liar membalas ciuman Paksi ke arah telinga pemuda itu.

Melihat istrinya membalas perlakuannya dengan tidak kalah liar,
kembali pemuda itu menyerang leher hingga membuat merinding bulu tengkuk sang gadis.

"Iiih ... "

Bahkan, saat tangan kanan pemuda itu mulai menyusup ke balik baju atas Retno yang entah kapan, ikat pinggang gadis itu sudah luruh dan jatuh ke lantai, mungkin saat ia menarik istrinya dalam pelukan, ia melepas ikat pinggang.
Tangan Paksi meraba-raba dada montok itu dengan lembut dan penuh perasaan kasih.
Kembali tubuh gadis itu berkelejat liar saat jemari Paksi mempermainkan tonjolan dada kanan dari dalam.

"Oooh ... ssshh ... "

Retno hanya bisa mendongakkan kepala ke atas, menikmati lumatan dan remasan yang dilakukan oleh suaminya.

"Nimas, bajunya kulepas saja, ya?"

Pelukan Paksi sedikit merenggang, diikuti dengan Paksi membuka pengait baju yang dikenakan istrinya, bahkan Retno sendiri turut membantu apa yang dilakukan suaminya.
Setelah semua pengait dan baju biru gadis terbebas, kemudian dilepas dari tubuh tinggi langsing Retno Palupi hingga sepasang payudara putih mulus padat kencang yang masih terbungkus sebentuk baju dalam tipis warna biru muda yang seolah-olah tak mampu menampungnya.

Tidak ada yang berbeda antara kemulusan tubuh Retno dan Nawara, semua sama, baik bentuk, ukuran dan warna kulit tidak berbeda sedikit pun.

"Dua istriku benar-benar sempurna," pikir Paksi sambil memandangi wujud setengah telanjang istrinya.

"Dadamu indah sekali, Nimas!" ujarnya begitu sebentuk benda bulat besar yang tadi sempat diremas-remas.

"Kakang, jangan dipandangi begitu! Aku kan malu," ucap Retno sambil menutupi dadanya dengan dua tangan bersilangan.

"Kenapa harus malu? Lihat ... aku saja sudah tidak memakai apa-apa sedang Nimas masih setengah komplit," kata Paksi dengan kedua tangan direntangkan, kemudian memeluk Retno yang malu-malu kucing sambil bibirnya menghujani leher, pipi, dan bibir gadis itu dengan ciuman menggelora.

"Ooohh ... "

Kali ini punggung Retno dijadikan sasaran gerilya sepasang tangan kekar yang kini telah merengkuhnya hangat.
Saat tangan kiri Paksi mulai merayap di bagian tulang belakang dan bersamaan itu pula, telusuran lidah perlahan turun dari leher, terus turun ke bawah mendekati gumpalan padat menggelembung yang masih terbungkus rapat.

Tess!

Tiba-tiba Retno yang saat itu sedang menikmati resapan dan jalaran nikmat di bagian atas dada bawah pundak merasakan kekangan yang mengekang sepasang dada montoknya melonggar, lalu jatuh ke pangkuan.
Bebas lepas tanpa rintangan!

Ternyata Paksi telah melepas pengait baju dalam tipis yang membungkus ketat dada membusung itu.
Kini tubuh bagian atas Retno Palupi sudah bersih sepenuhnya, hanya tinggal celana luar dalam yang masih tersisa.
Apalagi saat bibir pemuda itu dengan penuh gairah menggebu-gebu semakin turun ke bawah dan akhirnya ... melumat kedua ujung-ujung bukit kembar yang mulai mengeras dengan sendirinya secara bergantian.

Di antara hisapan dan gigitan mesra, sukma Gadis Naga Biru bagai melayang ringan di awan saat tangan kiri suaminya mengelus-elus pada bagian paha, melingkar-lingkar membentuk bulatan tak beraturan, sehingga napas gadis itu semakin memburu, pelukan semakin kuat dan ia mulai merasakan bagian gerbang istana kenikmatannya mulai basah.

"Oooh ... Kakang ... "

Retno hanya pasrah dan membiarkan bibir dan tangan suaminya menjelajahi setiap lekuk dari tubuh sintalnya.
Sesukanya, karena memang gadis itu sangat menikmati sentuhan lembut Paksi.
Bahkan tanpa sadar tangan Retno memegang tangan Paksi seolah-olah membantunya untuk memuaskan dahaga birahi yang semakin meninggi.
Semakin menggelinjang kegelian!

Tiba-tiba, Paksi melakukan gerakan yang aneh.
Ia melepas bibir dan tangannya dari tubuh sintal itu, mendorong rebah tubuh setengah telanjang ke atas balai.
Setelah itu ia mengangkat sepasang kaki Retno ke atas pundak, sehingga posisi Retno terlihat mengambang dengan pundak menyentuh empuknya kasur randu.

Gadis itu hanya diam saja melihat apa yang dikerjakan suaminya, lebih lagi saat mengetahui bahwa Paksi berniat melepas celana luar dalam yang masih dipakainya, gadis itu berinisiatif mengaitkan sepasang pahanya ke pundak Paksi.
Baru berjalan sampai setengah, tiba-tiba saja Paksi dengan menerobos diantara celah longgar, melakukan jurus yang luar biasa mengagetkan bagi Retno Palupi.
Bermimpi saja tidak pernah!

Mulut dan lidah Paksi dibenamkan diantara kedua buah paha dan langsung menerjang cepat ke arah pintu gerbang istana kenikmatan, terus melumat bibir yang ternyata telah bersih dari rimbunnya rumput ilalang dan kini sudah sangat membasah.

"Akhhh ... Kakang ... auw ... oh ... " bibir Retno langsung meracau tak karuan, mulai menggeliat menahan geli yang teramat manakala bibir dan lidah suaminya menjalar ke arah sekitar pangkal paha.
Geliatan tubuh gadis itu kesambet ratusan tawon saja.

Tubuh gadis itu meliuk, melengkung ke atas dan meregang merasakan rangsangan terhebat saat lidah Paksi yang panas mulai menyusuri bagian dinding dalam, bahkan saat benda bukat kecil kemerahan digigit dengan sedikit keras, gadis langsung menggeliat dan hampir saja cekalan Paksi pada kedua belah paha istrinya terlepas karena gerakan liar Retno Palupi yang semakin lama semakin menggila.
Gerbang istana yang semula sudah basah, kini semakin basah!

Yang jelas Retno merasakan adanya desakan yang semakin menggebu ingin keluar dan menuntut sebuah penyelesaian.
Lidah panas semakin menyusup ke dalam, dan kembali tubuh sintal itu terlonjak dan pinggang semakin terangkat naik saat lidah panas mulai mengais-ngais bibir gerbang istana kenikmatan.
Dan pada akhirnya ...

"Aaaah ... . "

Jeritan kecil nan panjang terdengar untuk pertama kalinya di dalam bilik pengantin itu.
Tubuh Retno terlihat mengejang beberapa saat, mata membeliak lebar, tangan mencengkeram tepi balai dengan kuat, kemudian melemas disertai desahan napas berat.
Rupanya Retno Palupi sudah sampai pada titik puncak asmara pertamanya.
Untunglah dinding-dinding bilik terbuat dari batu bata, sehingga semua lenguhan dan jeritan tidak akan terdengar sama sekali dari luar.

Selang beberapa saat, setelah puas bermain-main di tempat itu dan mengantar Retno ke titik puncak asmara pertamanya, Paksi melepas pegangan kaki, lalu tubuh Retno turun dengan pelan dan bersamaan itu pula, tangan Paksi mulai menarik lepas celana luar dalam istrinya, melewati mata kaki dan kini mereka berdua sudah seperti bayi yang baru lahir ke dunia.
Sekarang tubuh sintal dan putih Retno sudah benar-benar telanjang total!
 
Bab 63

"Enak, Nimas?"

Gadis Naga Biru masih terlentang dengan posisi menantang mengangguk lemas, lalu berkata, "Kakang benar-benar nakal."

“Ini hanya balas dendam saja, kok.”

Paksi mendekatkan tubuhnya ke tubuh mulus istrinya dari atas dan kembali melumat bibir merah merekah yang langsung disambuti pula dengan sepenuh jiwa.

Darah Retno seperti terkesiap ketika merasakan dada bidang Paksi menempel erat ke sepasang dada padatnya.
Ada sensasi hebat yang melanda jiwa gadis itu, ketika dada yang kekar itu merapat dengan tubuhnya.

"Ohh, baru kali ini kurasakan dekapan sepenuhnya lelaki yang kucintai ini," pikir Retno.

Tangannya Paksi tidak tinggal diam, turut meremas dan memelintir buah dada montok Retno yang mengakibatkan makin lama makin membengkak dan yang semakin kenyal saja.
Retno membalas perlakukan Paksi dengan mengurut dan meremas-remas punggung pemuda yang kini secara resmi telah menjadi suaminya.
Tanpa menunggu lama lagi, Paksi berdiri di antara kedua belah paha istrinya yang terbuka dan siap-siap melakukan serangan akhir.

"Nimas ... " kata Paksi ragu-ragu.

"Kita lakukan sekarang, Kakang." jawab Retno lirih.

Paksi segera mengarahkan ujung pilar tunggal penyangga langit yang telah siap tarung, lalu digesek-gesekkan di depan pintu gerbang yang membentuk segaris merah merekah yang sudah sedikit terbuka dan basah.

Sett!

"Uuugh ... "

Retno hanya mendesah ujung pilar tunggal baru menempel pada sisi luar gerbang.
Tubuh Retno Palupi terlihat agak melengkung, pinggangnya dicoba ditarik sedikit ke atas untuk mengurangi tekanan ujung pilar tunggal penyangga langit.

Tangan kiri Paksi menuntun pilar tunggal penyangga langitnya agar tetap berada pada bibir gerbang istana kenikmatan Retno Palupi,
lalu membungkuk sambil mencium telinga kiri Retno Palupi, terdengar Paksi Jaladara berkata perlahan,

"Nimas ... kita lakukan sekarang?"

Tidak keluar suara sedikit pun dari mulut Retno, hanya kepala terlihat mengangguk pelan, dengan pandangan mata sayu menatap ke arah gerbang istana kenikmatannya yang sedang didesak oleh pilar tunggal penyangga langit dan mulutnya terkatup rapat seakan-akan menahan rasa ngilu.
Bagaimana pun juga, gadis itu masih perawan!

Tanpa menunggu lebih lama lagi, pemuda itu segera menekan benda tumpul yang kini baru menemeple kepalanya saja sedikit ke dalam gerbang istana yang telah basah oleh cairan, bersamaan itu pula kedua tangan Retno Palupi mencoba menahan tekanan Paksi Jaladara.

Sett!

Tiba-tiba Gadis Naga Biru berteriak kecil,
"Aduhh ... pelan-pelan ... sakit, Kang!"

Terdengar keluhan dari mulutnya dengan wajah agak meringis menahan kesakitan.
Kedua kaki Retno Palupi yang mengangkang itu terlihat menggelinjang dan menggeletar.

Baru bagian kepala saja terbenam sempurna dan menyentuh dinding-dinding bagian dalam.
Dari luar, gadis itu melihat kedua bibir gerbang istana kenikmatan menjepit erat kepala pilar tunggal penyangga langit milik si Elang Salju, sehingga belahan bibir terkuak, sedikit tertekan masuk serta membungkus ketat kepala pilar tunggal tersebut.

Paksi Jaladara menghentikan tekanan sambil menggumam,
"Masih sakit, Nimas Retno?"

"Aagghh ... jangan terlalu dipaksakan, Kang.
Aku merasa ... akan ... terbelah ... niiiih ... sakiiiitttt ... " Retno Palupi menjawab dengan badan terus menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan, sambil merangkulkan kedua tangannya di punggung Paksi Jaladara dengan erat.

Beberapa saat kemudian, Retno sudah agak tenang.

"Nimas Retno ... Kakang masukkan lagi, ya? dan katakana kalau Nimas Retno merasa sakit," sahut Paksi Jaladara dan tanpa menunggu jawaban Retno Palupi, segera saja Paksi Jaladara melanjutkan tahap lanjut dengan cara menarik dan menekan pilar tunggal penyangga langitnya ke dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi yang sempat tertunda, tetapi sekarang dilakukannya dengan lebih pelan dari sebelumnya.

Karena sudah licin, pelan namun pasti pilar tunggal Paksi sedikit demi sedikit masuk ke dalam.
Ketika baru masuk seperempat bagian, Paksi merasakan sesuatu yang menghadang di tengah jalan.
Selaput dara!

Berulang kali paksi mencoba menerobos, tapi seperti terpental balik.

"Nimas, ini ... "

"Sedikit lebih keras, Kang! Tidak ... apa-apa ... " ucap Retno sambil meringis memejamkan mata, merasakan antara sakit dan nikmat.

Paksi sedikit menarik keluar, lalu dengan sedikit sentakan keras, benda bulat panjang itu meluncur cepat.

Sett! Cress!

Selaput dara robek, dan benda bulat tumpul itu langsung terbenam sekitar setengahnya.
Darah keperawanan Retno Palupi sedikit mengalir, menerobos keluar melakui celah-celah benda bulat tumpul yang menyumbat penuh gerbang istana milik si gadis.

"Aaaaaghh ... !"

Pada saat yang sama, terdengar keluhan panjang dari mulut Retno Palupi sambil kedua tangan semakin erat memeluk Paksi Jaladara dengan pinggangnya terus bergerak-gerak liar. Beberapa saat kemudian, wajah cantik Retno Palupi meringis, tetapi tidak terdengar lagi keluhan dari mulutnya, hanya kedua bibir terkatup erat dengan bibir bawahnya terlihat menggetar.

Paksi segera melumat bibir istrinya dengan lembut, seakan berusaha meredakan rasa sakit yang mendera.
Kemudian Paksi Jaladara bertanya lagi,
"Nimas ... masih sakit?"

Retno Palupi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil kedua tangannya meremas bahu Paksi.

"Teruskan lagi ... " kata Retno sambil memandang seraut wajah tampan yang terlihat khawatir.

Gadis itu tersenyum, dan dibalas dengan senyuman pula oleh Paksi.

Sambil memandang istrinya segera kembali menekan pilar tunggal penyangga langitnya lebih dalam, berusaha masuk ke dalam gerbang istana kenikmatan.

Secara pelahan-lahan namun pasti, pilar tunggal penyangga langit terus menguak dan menerobos masuk ke dalam sarang, seperti halnya sebilah keris dengan sarungnya.
Ketika benda bulat tumpul telah terbenam hampir tiga perempat di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, terlihat gadis itu pasrah dan sekarang kedua tangannya tidak lagi menahan tubuh Paksi Jaladara, akan tetapi sekarang justru kedua tangannya mencengkeram dengan kuat pada tepi kasur empuk.

"Lagi ... "

Paksi Jaladara menekan lebih dalam lagi.

Sett!

Kembali terlihat wajah Retno Palupi meringis antara menahan sakit dan nikmat, kedua pahanya terlihat menggeletar, tetapi karena Retno Palupi tidak mengeluh maka Paksi Jaladara meneruskan saja tusukan pilar tunggal penyangga langitnya dan tiba-tiba saja ...

Bleeees!

Paksi Jaladara menekan seluruh berat badannya dan pantatnya menghentak dengan kuat ke depan.
Pada saat yang bersamaan kembali terdengar keluhan panjang dari mulut Retno Palupi.

"Aduuuuh ... sakittt ... "

Kedua tangan Retno mencengkeram tepi balai dengan kuat dan badannya melengkung ke depan serta kedua kakinya terangkat ke atas menahan tekanan pilar tunggal penyangga langit Paksi Jaladara di dalam gerbang istana yang langsung menabrak bagian paling ujung dan terdalam dari gerbang istana kenikmatan.

Paksi Jaladara mendiamkan pilar tunggal penyangga langitnya terbenam di dalam lubang gerbang istana kenikmatan sejenak, agar tidak menambah sakit yang dirasakan istrinya, lalu pemuda itu memeluk erat istrinya sambil berbisik,
"Nimas ... apa perlu kita tunda?"

"Jangan ... teruskan saja ... Kakang ... "

Baru saja Paksi bergerak, Retno Palupi dengan mata terpejam hanya menggelengkan kepalanya sedikit seraya mendesah panjang.

"Aaggggghh .. sakit!"

"Kalau begini terus, kapan selesainya? Aku harus nekat, nih?" pikir Paksi.
Paksi segera mencium wajah Retno Palupi dan melumat bibirnya dengan ganas.
Tangan kanannya meremas-remas dada kenyal padat dengan harapan bisa mengurangi rasa sakit yang menyengat di bagian bawah.
Setelah itu, Paksi Jaladara bergerak pelan cepat naik turun, sambil badannya mendekap tubuh indah Retno Palupi dalam pelukan.
Tak selang lama kemudian, badan Retno Palupi bergetar hebat dan mulutnya terdengar keluhan panjang.

"Aaduuh ... oooohh ... sssssssshh ... ssssshh ... "

Kedua kaki Retno Palupi bergerak melingkar dengan ketat pinggul Paksi Jaladara, menekan dan mengejang.

Retno Palupi mengalami titik puncak asmara yang hebat dan berkepanjangan meski baru beberapa kali Paksi melakukan aksi naik turun.
Selang sesaat badan Retno Palupi terkulai lemas dengan kedua kakinya tetap melingkar pada pinggul Paksi Jaladara yang masih tetap berayun-ayun itu.

Suatu pemandangan yang sangat erotis sekali, suatu pertarungan yang diam-diam yang diikuti oleh penaklukkan di satu pihak dan penyerahan total di lain pihak!

Retno Palupi kemudian diangkat dan didudukkan pada pangkuan dengan kedua kaki indah Retno Palupi terkangkang di samping paha Paksi Jaladara dan tentu saja pilar tunggal penyangga langitnya masih tetap di tempat semula.
Kedua tangan Paksi Jaladara memegang pinggang Retno Palupi dan membantu Retno Palupi menggenjot pilar tunggal yang masih tegak perkasa secara teratur, setiap kali pilar tunggal penyangga langit Paksi Jaladara masuk, terlihat gerbang istana kenikmatannya ikut masuk ke dalam dan cairan putih terbentuk di pinggir bibir gerbang.

Retno pun melakukan hal yang sama untuk mengimbangi permainan dari suaminya, dengan menggerak-gerakkan pinggulnya.
Kali ini tidak ada desisan dan rintihan kesakitan, yang ada hanyalah lenguhan nikmat yang berulang kali menikam bagian terdalam dari miliknya.

Sett! Sett!

Ketika pilar tunggal ditarik keluar, terlihat gerbang istana mengembang dan menjepit pilar tunggal.
Mereka berdua melakukan posisi ini cukup lama.
Retno Palupi benar-benar dalam keadaan yang sangat nikmat, desahan sudah berubah menjadi erangan dan erangan sudah berubah menjadi teriakan.

"Oooohhmm ... !"

Paksi Jaladara melepas pelukan pinggang, lalu meremas-remasnya sepasang bukit kembar yang bergoyang-goyang naik turun.
Tak lama kemudian badan Retno Palupi bergetar lagi, kedua tangannya mencengkeram kuat pundak Paksi, seakan berusaha menancapkan kuku-kuku tajamnya, dari mulutnya terdengar erangan lirih,
"Aahh ... aahh ... ssssshh ... sssssshh!"
Retno Palupi mencapai titik puncak asmara untuk ketiga kalinya!

Sementara badan Retno Palupi bergetar-getar dalam titik puncak asmara, Paksi Jaladara tetap menekan cepat-rapat pilar tunggal ke dalam lubang gerbang istana kenikmatan, sambil pinggulnya membuat gerakan memutar sehingga pilar tunggal yang berada di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi ikut berputar-putar, mengebor gerbang istana kenikmatan sampai ke sudut-sudutnya.

Sett! Sett!

Gerakan pinggul Paksi Jaladara bertambah cepat dan cepat.
Terlihat pilar tunggal dengan cepat keluar masuk di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, tiba-tiba ...

"Ooohh ... oohh!"

Dengan erangan yang cukup keras dan diikuti oleh badannya yang terlonjak-lonjak, Paksi Jaladara menekan habis pinggulnya dalam-dalam, sehingga pilar tunggal penyangga langitnya terbenam habis ke dalam lubang gerbang istana kenikmatan, pinggul Paksi Jaladara terkedut-kedut sementara pilar tunggalnya menyemprotkan hawa keperjakaannya di dalam gerbang istana, sambil kedua tangannya mendekap badan Retno Palupi erat-erat.
Dari mulut Retno Palupi terdengar suara keluhan yang sama.

"Aaaagh ... ssssssh ... sssssshh ... hhmm ... hhmm!"

Setelah berpelukan dengan erat selama beberapa saat, Paksi Jaladara kemudian merebahkan tubuh Retno Palupi di atas badannya dengan tanpa melepaskan pilar tunggal dari sarangnya.
Retno Palupi tersenyum.
Paksi Jaladara juga tersenyum.

TAMAT
 
Demikianlah akhir cerita Pendekar Elang Salju jilid 1 ini,
Terima Kasih dan mohon maaf pd seluruh kisanak yg membaca cersil ini,
hanya ini yg bisa saya share disini,
Dan Terima Kasih utk Suhu Gilang Satria yg telah membuat cerita hebat ini.
:ampun::ampun::ampun:
 
Bagaimana dengan Nawara? Apakah ia bisa tersadar kembali dari tidur panjangnya?
Belum lagi ritual perebutan gelar Pendekar Nomor Satu Rimba Persilatan dimulai, Pendekar Gila Nyawa justru kedapatan tewas di kediamannya di Bukit Tambal Sulam dengan sebuah tusukan pedang.
Siapakah tokoh misterius yang bisa menewaskan Pendekar Gila Nyawa dalam satu tusukan pedang saja?
Lalu, bagaimana dengan Pangeran Nawa Prabancana alias Si Topeng Tengkorak Emas, apakah ia juga ikut hancur bersamaan dengan hancurnya Kerajaan Iblis Dasar Langit?
Semuanya akan terjawab dalam jilid 2 : DUEL JAGO-JAGO PERSILATAN!
Yaahh klo sempat dirilis sama Suhu Gilang
:Peace:
 
manthulll bangettt... jhosss
ayooo paksi.... belah duren retno.....
setelah selesai... tau2 nawala sudah pulih kembali... dan minta jatah kembali... 3 some dech sampai pagii....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd