Bab 60
Tentu saja perkataan Begawan Wali Bumi yang menyebut diri Paksi sebagai ‘Kanjeng Pangeran’ membuat Retno Palupi, Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba terlonjak kaget.
Tidak mungkin jika seorang pertapa yang waskita seperti Begawan Wali Bumi salah bicara.
Namun yang paling terkejut justrulah Paksi Jaladara sendiri!
Sebab dirinya tahu betul, ia adalah rakyat biasa yang secara kebetulan mendapat anugrah sebagai pewaris dari ketua suatu aliran putih yang bernama Istana Elang dan sekarang ia secara resmi menjabat sebagai Ketua.
"Bapa Begawan ini ada-ada saja," kata Paksi setelah keterkejutannya hilang,
"Saya hanya manusia biasa seperti halnya Bapa Begawan.
Tidak ada sejarah dalam hidup saya kalau saya ini keturunan bangsawan."
Begawan Wali Bumi yang memiliki indra ke tujuh tidak bisa dibohongi begitu saja, sebab dari wajah dan seluruh tubuh pemuda itu terpancar aura keagungan keturunan seorang raja.
Akan tetapi melihat raut muka kejujuran yang terpancar dari wajah itu, membuat Begawan Wali Bumi berpikir,
"Aneh! Jelas sekali ia masih keturunan raja besar, tapi kenapa ia berkata bahwa dirinya cuma rakya jelata? Pasti ada suatu rahasia yang tersembunyi dari semua ini."
Akhirnyanya ia berkata, "Maaf kalau saya salah bicara Nakmas ... "
"Paksi Jaladara, Bapa Panembahan."
"Nakmas Paksi, maaf jika salah bicara."
Akhirnya, pada sore itu juga dilaksanakan upacara pernikahan antara Paksi Jaladara, Retno Palupi dan Nawara sekaligus dimana Begawan Wali Bumi ditunjuk sebagai juru nikah bagi tiga muda-mudi itu (jaman dulu, nikah umur tujuh belas sampai sembilan belas tahun adalah hal biasa, justru luar biasa kalau ada orang yang masih perawan atau perjaka belum menikah pada maksimal usia dua puluh tahun, sehingga sebutan perawan kasep dan perjaka gabuk langsung nangkring dengan sendirinya).
Karena harus menikahkan satu pria dengan dua gadis sekaligus, Begawan Wali Bumi cukup kesulitan, dan akhirnya dibuat kesepakatan dengan tiga muda-mudi itu.
Paksi Jaladara menikah lebih dahulu dengan Retno Palupi, dan setelah upacara pernikahan mereka berdua selesai, barulah Paksi Jaladara melangsungkan pernikahan dengan Nawara.
Tanpa ada halangan sedikit pun, pernikahan yang dipimpin oleh Begawan Wali Bumi akhirnya berakhir pula!
Bergiliran, tiga orang itu menerima ucapan selamat dari semua yang hadir di tempat itu.
Gineng, Nawala, dan Joko Keling ingin sekali belajar pada pemuda berbaju putih itu bagaimana caranya menampilkan kewajaran di tengah kehangatan dua kekasih yang kini secara resmi telah menjadi istrinya, ingin belajar bagaimana Paksi bisa menerima cinta dua gadis cantik sekaligus yang secara fisik tersedia nyata dan sempurna di depan hidungnya itu.
Benar-benar jenis pemuda yang beruntung soal gadis, bukan?
Dewa Cadas Pangeran duduk tenang dan Simo Bangak justru banyak berdiam diri menyaksikan ritual sakral itu.
Tidak ada ulah konyol yang dilakukan oleh bocah bermata harimau itu.
Begitu selesai, Simo Bangak yang sedari awal harus menahan mulutnya untuk diam tanpa kata, akhirnye keluar juga suaranya.
"Wah ... kalau begini caranya, Istana Elang cepat ramai."
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Bayangin aja, Paman Shang!
Nikah dengan dua gadis sekaligus pastilah luar biasa, setahun kemudian pasti keluar dua orok, dua tahun lagi keluar dua orok lagi.
Jika sepuluh tahun lagi, Istana Elang pasti seperti taman bayi," ucap Simo Bangak dengan tangan kanan dan kiri sambil menghitung satu sama lain.
"Kalau dihitung-hitung, yah ... anak Ketua pasti dua puluhan orangan-lah!"
"Bocah sinting! Aku heran sama kamu!
Kalau urusan beranak-pinak cepat sekali kau nyambungnya," timpal Joko Keling, lalu sambungnya,
"Namun jika urusan lain, sampai pantatmu jebol juga tidak pernah kau pikirkan secuil pun."
"He-he-heh, sebab ngomongin yang begituan memang tidak pernah ada habisnya," sahut Simo Bangak sambil cengar-cengir.
Semua tertawa mendengar celotehan bocah umur sembilan tahunan itu.
-o0o-
Sebelum proses penyembuhan dimulai, Gineng dan Paksi Jaladara sempat berbicara dua mata di depan bilik yang ditempati Nawara dan Retno.
"Den Paksi ... "
"Maaf, Kakang Gineng! Lebih baik kakang langsung memanggil namaku saja."
"Tapi ... tapi ... "
"Saya mohon, Kakang!"
Setelah menghela napas panjang, Gineng pun berkata, "Baiklah, Den ... eh Paksi ... untuk proses penyembuhan kali ini kau harus hati-hati sekali. Salah sedikit nyawa istrimu melayang."
"Benar, Kakang! Aku sendiri juga sedikit khawatir dengan hal ini!
Penyembuhan kali ini benar-benar beresiko tinggi," ucap Paksi.
"Salah-salah justru aku sendiri yang mencelakakan Nimas Nawara.
Bisalah Kakang memberiku petunjuk tambahan."
"Menurut Kitab Pengobatan ini ... " kata Gineng sambil membuka kitab tebal yang ada didepannya,
" ... disini tertulis :
'alirkan hawa dari gerbang,
resapkan dari atas gunung dan sedot api dari langit.
Semua mengalir seperti sungai'!
Itu artinya bahwa proses penyembuhan ini harus menggunakan kekuatan hawa inti keperjakaan,
bukan cairan keperjakaan dan tulisan 'resapkan di atas gunung' adalah mengalirnya ‘Hawa Inti Salju’ dari bagian dada
dan makna dari 'sedot api dari langit', dimana hal ini kita harus menghisap hawa beracun ini dari mulut penderita kemudian dibuang keluar.
Dan yang terakhir, 'semua mengalir seperti sungai' adalah tidak satu benda pun yang menghalangi proses pengobatan ini."
"Lalu ... bagaimana dengan totokan?"
"Seperti yang tertulis, semua harus tanpa halangan." tegas Gineng lebih lanjut,
"Kau paham, Paksi?"
Pemuda itu hanya mengangguk pelan.
"Ingat! Kau harus mengutamakan pengobatan ini agar nyawa istrimu selamat!" kata Gineng,
"Konsentrasikan dan kontrol sisi jiwa mudamu, Paksi!"
"Terima kasih, Kakang!
Aku berusaha sebaik-baiknya." kata Si Elang Salju dengan tegas.
Itulah percakapan singkat antara Paksi jaladara dengan gineng, sebelum pemuda itu masuk ke dalam bilik.
Begitu Paksi masuk, Retno Palupi yang saat sedang ngobrol dengan Nawara langsung menghambur ke dalam pelukan suaminya, dengan sedikit menyeret ke dekat Nawara tergeletak, terus berkata, "Bagaimana, Kakang? Kita mulai sekarang!?"
Wajah cantik Nawara masih seperti sebelumnya, bahkan lebih merah dari yang sudah-sudah.
"Nimas Retno, pengobatan terhadap Nimas Nawara harus dilakukan sekarang."
"Lakukanlah, Kakang Paksi. Aku akan menunggu di bilik depan," kata Retno sambil mencium lembut pipi suaminya.
"Terima kasih, Nimas," kata Paksi sambil membalas memeluk mesra istrinya.
Retno membisiki sesuatu telinga Nawara, yang justru membuat seraut wajah yang sudah merah semakin memerah.
"Apa yang kau lakukan, Nimas?"
Retno Palupi hanya tersenyum saja, sambil berjalan pergi ke bilik depan yang dipisahkan oleh pintu anyaman rotan.
Memang ruangan di kediaman Juragan Padmanaba cukup luas, bahkan terdapat dua bilik yang terbuat dari tembok bata yang saling terhubung satu sama lain dengan hanya memiliki satu pintu keluar saja.
Saat ini Retno Palupi berada di bilik depan sedang Nawara dan Paksi berada di bilik belakang.
Karena mereka bertiga sudah resmi sebagai suami istri, maka Paksi hanya mengunci pintu depan saja, sedang pintu tengah yang menghubungkan dua ruangan hanya terpisah oleh pintu anyaman rotan yang bisa digeser ke samping kiri atau kanan.
Jadi Retno Palupi bisa masuk ke bilik belakang kapan saja!
"Nimas, apa kau sudah siap?" tanya Paksi pada Nawara, istrinya.
Nawara hanya mengangguk pelan.
Dada gadis itu berdebar-debar keras saat sang suami menyentuh lembut rambut hitamnya, kemudian turun ke pipi yang kemerah-merahan, kemudian ke leher jenjangnya.
Saat berada di atas gundukan dadanya yang membusung kencang, tangan Paksi sedikit penyusup ke dalam, melepaskan pengait baju dari dalam, sedang tangan kiri melepas ikat pinggang gadis itu.
Srett!
Begitu ikat pinggang Nawara terlepas, terpampanglah di depan mata Paksi sebentuk tubuh menawan seorang gadis yang berkulit kemerah-merahan akibat terkena jurus 'Air Liur Kuda Binal'.
Paksi berusaha keras menahan diri, agar ia tidak menjerumuskan nasib gadis yang kini sedang tergolek lemah di atas balai.
Dengan lembut Paksi melepas baju luar Nawara.
Begitu terlepas, sebentuk pemandangan indah semakin terpampang di depan mata pemuda.
Meski masih dililit dengan sebentuk baju dalam putih tipis, tapi tidak menyembunyikan dada bulat indah dan menggairahkan dengan ujung-ujung bukit yang terlihat menyembul.
"Aku harus bisa menahan diri," gumam Paksi.
Kemudian dengan tangan sedikit gemetar, Paksi melepas baju dalam yang membalut dada padat menggelembung itu.
Srett!
Kali ini, benar-benar keindahan yang sulit sekali dielakkan oleh Paksi.
Hampir saja ia menubruk benda bulat menantang yang ada didepan hidungnya dan tinggal dilahap olehnya.
Sedang Nawara sendiri, dengan melihat perbuatan Paksi terhadapnya, bagaikan api disiram minyak.
Muka gadis itu semakin memerah, bahkan terlihat uap merah tipis yang keluar dari ubun-ubunnya.
Jelas sekali, bahwa Nawara sendiri juga dalam situasi yang genting karena amukan birahi dari racun yang mengeram dalam dirinya semakin bergolak.
Yang bisa dilakukan oleh gadis itu hanya mendesis dan mendesis saja, sebab totokan yang dilakukan Paksi memang belum dilepaskan.
"Tidak! Aku harus bertahan!" gumam Paksi sedikit lebih keras.
"Waktuku tidak banyak lagi."
Sementara itu, dibilik satunya, Retno Palupi melihat semua yang dilakukan oleh suaminya, Paksi Jaladara.
"Kasihan sekali, Kakang Paksi!
Dia harus bisa menahan amukan birahi yang menyiksa batinnya," pikir gadis itu dengan trenyuh melihat perjuangan Paksi dalam mempertahankan niatnya menyembuhkan Nawara.
"Kali ini lebih berat daripada saat bertarung melawan Topeng Tengkorak Baja.
Karena Kakang Paksi harus bertarung melawan nafsunya sendiri."
Kali ini tangan Paksi beralih ke celana putih yang masih melekat di kaki Nawara.
"Nimas, kau masih sanggup bertahan?' tanya Paksi sambil melepas celana luar dan dalam gadis itu secara bersamaan.
Nawara hanya bisa mengangguk pelan.
"Kakang ... mati pun aku ... rela," kata Nawara di antara suara desisan.
"Tidak, Nimas!
Kau harus bertahan hidup!
Demi aku! Demi Retno!" kata Paksi memberi semangat.
“Dan demi cinta kita!”
Nawara mengangguk pelan sambil berkata, "Aku akan ... berusaha ... Kakang ... "
Srett!
Begitu celana luar dalam Nawara terlepas, konsentrasi Paksi hampir saja pecah berantakan, sebab di depan matanya terpampang indah sebentuk gerbang istana kenikmatan dengan sedikit rekahan tipis kemerah-merahan yang licin mengkilat.
Memang tadi ia telah menyuruh Retno untuk membersihkan 'tempat itu', karena dalam rangkaian pengobatan yang ingin dilakukannya, haruslah bersih tanpa halangan sedikit pun!
Dengan kesadaran yang sangat tinggi, pemuda lulusan dari Lembah Badai itu akhirnya bisa mengontrol gejolak yang datang menggelora.
Begitu melihat gadis cantik itu telanjang bulat, Paksi segera melepas baju dan celananya.
Tidak seperti melepas baju istrinya, pemuda itu begitu cepat melakukan kegiatan ini.
Tentu saja cepat, sebab memang baru pertama kalinya ia melakukan perbuatan yang dianggapnya aneh ini terhadap seorang gadis.
Srett!
Paksi pun telah telanjang bulat tanpa sehelai benang pun, bahkan ikat kepala merah yang biasanya bertengger di kepalanya telah dilepas.
Tubuh pemuda itu terlihat kekar berotot, meski tidak bertonjolan keluar seperti halnya Dewa Cadas Pangeran.
Sambil mengambil posisi semadi, pemuda itu memejamkan mata untuk mengerahkan ‘Hawa Inti Salju’.
Tidak seperti dalam sebuah pertarungan dimana kekuatan saljunya dialirkan ke seluruh tubuh, namun kekuatan ‘Hawa Inti Salju’ kali ini dialirkan melalui pusar, terus turun ke bawah hingga menerobos ke dalam pilar tunggal penyangga langitnya yang berdiri kokoh setinggi pusar dan tegak menantang siap tarung. ‘Hawa Inti Salju’ terus mengalir hingga semuanya berkumpul di bagian ujung pilar yang kini memancarkan cahaya putih keperakan.
Wess ... !
Begitu ‘Hawa Inti Salju’ sudah berada diujung pilar, Paksi segera membuka mata.
Meski sudah diarahkan ke bagian yang ditentukan, namun selimut putih keperakan ternyata melingkupi seluruh tubuh telanjang pemuda itu.
"Kau benar-benar siap, Nimas?"
-o0o-