Bab 8
Paksi hanya tersenyum kecil. Matanya berkedip-kedip lucu, “Pokoknya berikan saja pada Paman Jalu, nanti bibi akan tahu sendiri. Sudah dulu Bi, saya mau membantu paman-paman yang lain.”
“Baiklah, terima kasih, Paksi.”
“Sama-sama.”
Lalu Paksi Jaladara pergi ke tempat dimana para murid Padepokan Singa Lodaya sedang dirawat. Kali ini yang diberikan Paksi adalah air obat rendaman dari benda bulat putih, yang lagi-lagi digunakan oleh bocah berikat kepala merah itu. Karena yang memberikan obat adalah cucu guru mereka, tidak ada yang bertanya atau pun memprotes tindakan Paksi yang menurut mereka aneh, karena yakin tidak mungkin seorang bocah kecil, apalagi cucu dari guru mereka berniat mencelakai orang yang sedang terluka. Bahkan mereka berterima kasih karena bocah itu dengan sukarela membantu kerepotan mereka, tidak manja atau rewel seperti bocah pada umumnya.
Paksi kemudian menuju ke tempat dimana ayah dan kakeknya juga sedang menyembuhkan diri karena luka masing-masing. Setelah memberikan benda bulat putih kepada ayah dan kakeknya, benda bulat yang sama dengan yang diberikan pada Srinilam untuk mengobati Jalu Lampang, bukan hasil rendaman dari benda bulat putih itu. Entah apa maksudnya, hanya Paksi Jaladara yang tahu!
Beberapa saat kemudian, luka-luka yang diderita, baik luka dalam maupun luka ringan sembuh dan hilang tanpa meninggal bekas sama sekali. Bahkan tubuh terasa lebih segar dari sebelumnya. Bahkan rasa lelah akibat perkelahian dengan anak buah Gerombolan Serigala Iblis juga ikut lenyap. Termasuk tenaga dalam juga dirasakan semakin lancar mengalir dan terasa semakin besar dari sebelumnya.
“Galang Seta, kau merasakan sesuatu yang aneh?” tanya Pulanggeni, pada kawannya.
“Aneh ... ? Aneh bagaimana maksudmu?”
“Apa kau tidak merasa aneh pada dirimu? Pada lukamu? Coba teliti seluruh tubuhmu,” tanya Pulanggeni lagi.
Galang Seta memeriksa seluruh tubuhnya. Dilihatnya luka memar akibat serangan lawan yang semula bengkak biru lebam, kini hilang tak berbekas, seolah tidak pernah mengalami luka sebelumnya. Bahkan saat disentuh, tidak terasa nyeri atau pun pedih.
“Betul kawan! Seluruh luka di badan kulenyap tak berbekas. Bahkan rasa sakitnya juga hilang sama sekali. Aneh sekali.”
“Coba alirkan tenaga dalammu.”
Galang Seta cepat tanggap, lalu disalurkannya hawa tenaga dalam ke arah tangan kiri dan tangan kanan, sehingga terasa aliran energi menjalar cepat ke arah tangan terus berkumpul di telapak tangan. Semua tidak ada masalah, tidak ada hambatan pada umumnya orang yang sedang terluka dalam, mengalir dengan lancar, malah lebih lancar dari sebelumnya.
“Aliran tenaga dalamku juga tidak terhambat, bahkan ... terasa lebih lancar dari biasanya.”
“Aku merasakan hal yang sama seperti dirimu. Entah apa yang diberikan cucu guru kepada kita. Semua kawan-kawan juga mengalami hal yang sama, tidak berbeda jauh dengan kita.”
Setelah semua pulih kembali seperti sediakala, Galang Seta dan Pulanggeni beserta murid-murid yang lain berkumpul di pendapa padepokan sisi kiri, karena pendapa utama sudah hancur akibat terjadinya pertarungan malam itu. Galang Seta melihat bahwa semua yang terluka telah pulih kembali, baik yang terluka dalam mau pun luka luar.
Pemuda murid utama Padepokan Singa Lodaya itu memberikan instruksi untuk sebagian murid untuk menguburkan mayat-mayat di pemakaman belakang padepokan. Setelah selesai memakamkan mayat-mayat itu, seluruh murid diminta untuk kembali ke barak masing-masing, tapi besoknya diminta berkumpul kembali di pendapa sisi kiri. Dengan patuh mereka segera membubarkan diri, ada yang langsung menuju ke barak, ada yang langsung rebahan beralaskan rumput tebal, dan ada pula yang langsung menuju pancuran sekedar untuk mencuci muka. Pembicaraan pun tak jauh-jauh dari pertempuran yang baru saja mereka alami. Bahkan murid-murid yang mendapat tugas untuk menguburkan mayat-mayat anggota Gerombolan Serigala Iblis, saat kembali juga ikut nimbrung dengan kawan-kawannya.
Malam hari berikutnya ...
Jalu Lampang telah sehat kembali, sembuh total dari luka dalam yang nyaris merenggut nyawanya, seluruh luka hilang lenyap tak berbekas. Ki Ageng Singaranu yang juga terluka akibat terkena hempasan jurus ‘Ular Kobra Menyergap Mangsa’ yang mengandung ‘Ilmu Sakti Api Iblis Membara’ juga telah sehat wal afiat. Benda bulat berpendar cahaya putih pemberian Paksi Jaladara-lah yang membantu menetralisir hawa panas menyengat dalam tubuh bahkan membantu meningkatkan hawa sakti yang dimilikinya.
Semua anggota keluarga Ketua Padepokan Singa Lodaya berkumpul di ruang tengah. Mereka semua duduk melingkari sebuah meja berbentuk bundar dari kayu jati alas dan diatasnya tersedia beberapa jenis sayur lengkap dengan buah-buahan. Dari kiri ke kanan duduk berturut Ki Ageng Singaranu, Jalu Lampang duduk bersebelahan dengan Srinilam, Salindri dengan Ki Ragil Kuniran duduk berdekatan sedangkan Paksi Jaladara duduk bersebelahan dengan kakeknya sambil asyik menggerogoti apel merah yang ada di hadapannya. Si Perak, burung elang kesayangan Paksi, pergi entah kemana, hanya majikan mudanya saja yang tahu kemana burung elang itu pergi.
Sementara Gineng malah asyik ngobrol kesana kemari dengan Galang Seta dan Pulanggeni. Terdengar derai tawa riuh rendah mereka di pintu gerbang sebelah selatan. Gerbang itu masih terbengkalai rusak karena pertarungan waktu itu. Hanya sebuah kursi panjang dan sebuah meja berukuran kecil dengan kaki yang sedikit somplak terkena ayunan pedang, namun masih cukup kokoh di tempati beberapa piring pisang goreng lengkap dengan kopi gula aren serta sedikit jahe merah hangat.
Di ruang tengah, mereka masih asyik membicarakan pertempuran kemarin malam. Pembicaraan hangat mengalir bagai air, tanpa sela dan tanpa hambatan.
“Tapi Ayah, apa Ayah tahu benda bulat putih sebesar kelereng yang diberikan pada Paksi padaku?” tanya Jalu Lampang, beberapa saat kemudian.
Ki Ageng Singaranu yang ditanya menggelengkan kepala, “Heh, aku tidak tahu! Baru pertama kali aku melihatnya. Dari sekian jenis ramuan obat yang pernah kutemui, belum pernah kujumpai obat semanjur itu daya kerjanya. Mungkin itu buah langka yang hanya berada di tempat-tempat tertentu di tanah Jawa ini. Aku yakin Paksi tidak mencari sendirinya. Bisa jadi ada orang sakti yang memberikan pada Paksi.”
“Jika memang ada orang sakti atau setidaknya tokoh rimba persilatan, menurut Ayah ... siapakah kiranya yang bisa atau memiliki benda mujarab itu?” tanya Srinilam.
“Entahlah ... cuma satu orang yang tahu!” jawab Ki Ageng Singaranu, diplomatis.
“Siapa, Ayah?”
“Dia!”
Kakek berbaju abu-abu itu mengarahkan jari telunjuk ke satu arah, yaitu ke arah ...
Paksi Jaladara!
Ki Ragil Kuniran segera menggeser duduknya ke arah Paksi. Dielusnya kepala bocah berikat kepala merah dengan lembut.
“Paksi, boleh Ayah bertanya?”
“Ayah ingin bertanya apa pada Paksi?”
“Darimana Paksi mendapatkan benda itu?”
“Benda apa, Ayah? Apa yang Paksi berikan pada ayah dan kakek waktu itu?”
“Betul, yang Paksi berikan waktu itu. Paksi dapat darimana?” tanya Ki Ragil Kuniran.
Bocah yang didahinya terdapat rajah kepala elang dan tertutup ikat kepala merah itu diam sejenak. Matanya yang tajam mengawasi semua yang ada disitu, seakan untuk meyakinkan diri apakah harus memberitahu darimana benda itu berasal. Ki Ageng Singaranu berdesir saat beradu pandang dengan cucunya itu. Jantungnya pun berdegup kencang.
“Tatapan mata anak itu seperti mengandung tenaga gaib. Heran, dari mana bocah sekecil ini bisa memiliki kekuatan sehebat ini. Pasti ada apa-apanya dengan cucuku ini,” kata hati laki-laki tua itu.
“Kakek tabib yang memberikannya, ayah,” jawab Paksi dengan tenang.
“Kakek tabib? Kakek tabib yang mana? Apa bukan Nyi Cendani, Paksi?” tanya Salindri yang sejak tadi hanya diam.
“Bukan, Bunda. Bukan dari Nenek Cendani, malah Paksi memberikan sebutir padanya untuk campuran obat. Paksi cuma dipesan oleh kakek tabib, kalau buah itu hanya boleh diberikan pada orang baik dan juga berilmu tinggi. Kalau cuma orang berilmu biasa hanya boleh diberikan rendaman buahnya saja. Itu pesan kakek tabib pada saya,” sahut Paksi panjang lebar.
“Kalau Paman Jalu boleh tahu, siapa nama kakek tabib itu?”
Paksi hanya menggeleng-gelengkan kepala, “Paksi tidak tahu Paman, hanya Paksi sering memanggil kakek tabib saja.”
“Darimana Paksi tahu, kalau kakek itu seorang tabib?” tanya ayahnya, Ki Ragil Kuniran.
“Sebab kakek kemana-mana selalu membawa keranjang ramuan obat, Ayah.”
“Lalu, apa Paksi tahu nama obat yang diberikan pada bibi tempo hari?” tanya Srinilam sambil tersenyum manis.
“Eng ... anu ... ee ... namanya ... anu ... ”
Ki Ageng Singaranu segera mengangkat cucunya dan di pondong di depan dada.
“Coba katakan pada kakek, apa nama obat itu? Sebab kakek mau berterima kasih pada kakek tabib karena sekarang kakek sudah sembuh berkat obat pemberian kakek tabib?” tanya Ki Ageng Singaranu, membujuk Paksi Jaladara yang kini berada di pondongannya.
Bocah itu hanya diam saja, seakan-akan ada sesuatu yang membebaninya. Keraguan itu dilihat dengan jelas dilihat oleh Ki Ragil Kuniran, Jalu Lampang dan Ki Ageng Singaranu. Sebagai seorang pendekar waskita, Ketua Padepokan Singa Lodaya tahu arti keraguan cucunya. Laki-laki tua bijaksana itu hanya tersenyum.
“Anu ... kek ... eeee ... itu namanya ... emm ... ”
“Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka ... ”
Sebuah suara berwibawa menggema di seluruh ruangan, diikuti dengan melesatnya sesosok bayangan putih keperakan masuk ke dalam ruangan tengah. Setelah berputaran beberapa kali diiringi suara pekik nyaring, lalu sosok itu hinggap diatas langkan.
Aawwwkk! Kraaggghh!!
Bersamaan dengan itu, dari arah pintu melangkah masuk seorang kakek berjubah hijau muda dengan sebatang tongkat panjang dari akar kayu cendana di tangan kiri. Di punggung tersampir sekeranjang daun-daunan obat yang menguarkan bau semriwing menyegarkan. Seulas senyum ramah terpampang di bibir.
Melihat kedatangan kakek itu, Paksi segera merosot dari pondongan kakeknya dan berlari-lari kecil menyambut kakek berjubah hijau itu. Bocah itu segera meraih tangan kanan kakek itu dan menciumnya dengan takzim. Sebuah penghormatan yang luar biasa dari seorang bocah yang belum genap berumur enam tahun.
“Kakek tabib, tadi kakekku ingin bertemu dengan kakek ... ”
“Oh, ya? Wah ... suatu kehormatan besar bagi kakek tabib kalau begitu ... ” ucap orang tua yang dipanggil kakek tabib dengan lembut.
“Mari kek, saya antar ... ”
Paksi meraih tangan kanan kakek itu, setengah menyeret ke arah Ki Ageng Singaranu berada.
Ki Ageng Singaranu yang tidak mengetahui kedatangan kakek berjubah hijau itu ke tempat kediamannya, merasa yakin bahwa laki-laki berjubah hijau yang usianya mungkin sepantaran dengan bukanlah tokoh biasa, setidaknya tokoh persilatan yang memiliki nama besar. Langkah kakek berjenggot putih dan mengenakan jubah hijau itu begitu ringan seolah-olah mengambang tidak menyentuh lantai, bahkan suara langkah kaki pun tidak terdengar sama sekali.
Ki Ragil Kuniran dan Jalu Lampang segera saja berdiri, untuk menyambut kedatangan orang yang dipanggil sebagai kakek tabib oleh Paksi Jaladara.
Kepala Desa Watu Belah itu mengkernyitkan dahi dan berkata dalam hati, “Rasa-rasanya aku pernah melihat kakek berjubah hijau ini di desa Watu Belah, tapi kapan, ya?”
“Mohon dimaafkan kelakuan cucu saya yang kurang sopan pada Kisanak.”
“Justru saya yang harus meminta maaf karena sudah datang ke padepokan ini tanpa diundang,” sahut laki-laki tua berjubah hijau, “ ... dan sudah mengganggu ketenangan saudara-saudara sekalian. Sekali lagi maafkan saya.”
“Tidak apa-apa, kami malah senang mendapat kunjungan istimewa ini, silahkan duduk, Kisanak.”
“Terima kasih.”
Ki Ageng Singaranu menyambut uluran tangan si jubah hijau, kemudian berturut-turut Ki Ragil Kuniran dan Jalu Lampang, sedangkan Paksi Jaladara masih menempel di sisi kanan kakek tabib itu. Akan halnya Salindri dan Srinilam, segera beringsut masuk ke dalam.
“Jika diperkenankan, sudilah kiranya saya bisa mengetahui siapa nama dan gelar kakek di rimba persilatan, karena saya yakin kakek pasti memiliki nama besar,” tanya si Singa Jantan Bertangan Lihai, karena sedari tadi berusaha memeras otaknya, namun apa yang dicarinya tidak ketemu.
“Orang-orang sering memanggil saya Jati Kluwih, dan tempat tinggal saya jauh di timur pulau Jawa ini, di sekitar Blambangan,” jawab kakek itu memperkenalkan diri bernama Jati Kluwih.
“Jati Kluwih ... ” bathin Ki Ragil Kuniran, seraya mengelus-elus dagu, “Betul, waktu itu, saat Paksi berumur hampir satu tahun, kakek itu datang ke rumah dan meminta sedikit bekal untuk perjalanannya. I ya ... kenapa aku bisa lupa, ya?”
Jalu Lampang yang manggut-manggut itu tanpa sengaja melihat tangan kiri kakek berjubah hijau itu dan langsung tersentak kaget, “Jadi ... kakek adalah Ki Gedhe Jati Kluwih, yang bergelar Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan itu?”
“Ha-ha-ha-ha, nama buruk begitu jangan dibesar-besarkan, aku kok jadi malu padamu, anak muda! Mana sanggup nama burukku menyaingi nama besarmu, si Singa Jantan Bertangan Lihai,” seloroh Ki Gedhe Jati Kluwih.
“Ha-ha-ha-ha ... ” Jalu Lampang tertawa lebar. Sebagai sesama pesilat golongan lurus, berjumpa dengan orang yang lebih tua adalah suatu kehormatan yang tidak ternilai, apalagi bisa berada dalam satu meja dan satu ruangan pula.
Kemudian tanpa diminta terlebih dahulu, Ki Gedhe Jati Kluwih menceritakan tentang ‘Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka’ yang diberikan kepada Paksi. Tabib Sakti Berjari Sebelas menceritakan panjang lebar segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya. Tanpa tedeng aling-aling, tidak ada yang disembunyikan atau pun ditambah, apalagi dikurangi. Dan memang, Ki Gedhe Jati Kluwih pernah singgah di desa Watu Belah, sesuai dengan dugaan Ki Ragil Kuniran. Namun, sebenarnya kedatangan laki-laki tua itu memiliki maksud lain, yaitu mengemban tugas dari tokoh persilatan golongan putih yang tersohor dengan budi pekertinya, untuk mencari penerus atau pewaris dari segala ilmu yang dimilikinya. Juga pewaris pembasmi keangkaramurkaan di rimba persilatan yang kini kembali merajalela.
Bocah berikat kepala merah itu mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan oleh kakek berjubah itu. Kepalanya sebentar-bentar mengangguk-angguk membenarkan ucapan Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan.
“Rupanya Paksi memang sangat mengenal siapa adanya tokoh tua ini. Beruntunglah anakku, andaikata Tabib Sakti Berjari Sebelas bersedia mengangkatnya menjadi murid,” kata hati Nyi Salindri, setelah meletakkan minuman jahe hangat dan kini duduk di samping suaminya.
“Ooo ... begitu rupanya ... “ sahut Ki Ageng Singaranu, sambil mengelus-elus jenggot kelabunya.
“Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Ki Ragil Kuniran karena apa yang saya lakukan tanpa sepengetahuan Ki Ragil sebagai orang tua dari Nakmas Paksi. Saya memang sudah berpesan kepada Nakmas Paksi agar merahasiakan semua yang dia ketahui tentang diri saya, termasuk juga ramuan obat ‘Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka’ pun juga harus dirahasiakan keberadaannya,” urai Tabib Sakti Berjari Sebelas panjang lebar.
“Jika boleh saya tahu, keperluan apa yang membuat Ki Gedhe sampai jauh-jauh keluar dari Pulau Kayangan datang ke gubuk saya yang reyot ini? Itu pun jika Ki Gedhe berkenan,” ucap Ki Ageng Singaranu, dengan nada bersahabat.
“Baiklah! Sebenarnya kedatangan saya menemui Ki Ageng Singaranu adalah dengan mengemban amanat dari mendiang guru, yaitu Malaikat Sepuh Pulau Kayangan ... ”
“Malaikat Sepuh Pulau Kayangan?” potong Jalu Lampang.
“Benar, Nakmas Jalu. Beliau berpesan agar saya bisa mencari dan menemukan murid kinasih dari pendekar aliran lurus yang bergelar si Singa Putih Berhati Iblis. Saya sudah mencari ke seantero Jawadwipa, dan pada akhirnya saya bisa menemukan siapa adanya murid dari sahabat guru saya itu, yang ternyata adalah anda sendiri, Ki Ageng Singaranu,” terang Ki Gedhe Jati Kluwih, lalu sambungnya, “ ... dan karena amanat yang saya pegang ini berhubungan erat dengan rimba persilatan, mohon sudilah kiranya Ki Ageng Singaranu berkenan menerima amanat dari guru saya.”
Ki Ageng Singaranu terhenyak dari duduknya, “Amanat apa yang harus saya terima, Ki Gedhe?”
Ki Gedhe Jati Kluwih mengambil sesuatu dari balik jubah hijaunya, lalu mengangsurkan benda yang terbungkus dari kain kuning yang sudah lusuh kepada ketua Padepokan Singa Lodaya, Ki Ageng Singaranu.
Kakek berambut abu-abu itu menerima bungkusan itu dengan hati bertanya-tanya, sebab hari ini sudah dua kejadian yang membuat dirinya terancam maut. Pertama adalah bencana yang dibawa oleh Ratu Sesat Tanpa Bayangan yang menuntut benda pusaka peninggalan Ketua Istana Elang yang entah apa bentuknya dan sekarang datang Ki Gedhe Jati Kluwih yang mendapat amanat dari Malaikat Sepuh Pulau Kayangan untuk menyampaikan sesuatu, yang kini berada didalam genggamannya.
Dengan hati-hati dibukanya bungkusan itu. Hanya terdapat potongan kulit kambing dengan sederet tulisan yang cukup rapi diatasnya. Kakek itu membolak-balikkan kulit kambing itu, mencari-cari sesuatu yang mungkin masih tertinggal. Bahkan kain pembungkus itu pun tidak luput dari pencarian.
Seolah kurang yakin, dia bertanya, “Hanya ini?”
Ki Gedhe Jati Kluwih hanya menganggukan kepala.
“Apakah aku boleh membacanya?”
“Silahkan, Ki. Itu sudah menjadi hak Ki Ageng Singaranu sepenuhnya, aku pun juga tidak tahu isi dari bungkusan itu meski aku membawanya selama puluhan tahun. Jika diperkenankan aku pun ingin mengetahui apa isinya.” jawab kakek berjubah itu.
Mata tua itu menatap semua yang hadir disitu, yang dikuti dengan anggukan mengiyakan. Laki-laki itu membaca dengan lirih, “Carilah pewaris tunggal Istana Elang dan berikan hak milik yang seharusnya dia terima.”
Semua mendengarkan dengan kening berkernyit, tak terkecuali Ki Ragil Kuniran dan istrinya.
“Lagi-lagi Istana Elang! Sebenarnya ada apa ini? Kenapa semua yang datang ke sini selalu berhubungan dengan Istana Elang yang tidak kuketahui arah juntrungannya. Baru saja nenek kapiran itu datang kemari dan mbarang amuk di tempat ini. Ah ... pusing aku ... ” keluh Ki Ageng Singaranu sambil terhenyak di tempat duduk, “ ... dan siapa sebenarnya Si Pewaris itu? Apa yang harus kuserahkan, jika yang harus kuserahkan pun tidak aku ketahui bentuk dan asal usulnya? Apa aku harus berkelana seperti halnya dirimu, Ki Gedhe? Kesana kemari hanya untuk mencari satu orang yang tidak kuketahui?”
Kepalanya berdenyut-denyut memikirkan masalah yang datang silih berganti.
Ki Gedhe Jati Kluwih maklum dengan keadaan tuan rumah. Sebagai orang yang sudah banyak malang melintang di rimba persilatan, dia tahu betapa pelik dan rumitnya masalah yang dihadapi ketua Padepokan Singa Lodaya itu, suatu masalah yang tidak diketahui ujung pangkalnya, dan apalagi yang dihadapi juga menyangkut nasib orang banyak.
Dengan senyum arif bijaksana, Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan berkata, ”Ki Ageng Singaranu tidak perlu khawatir, sambil berkelana aku juga mencari sisik melik siapa adanya pewaris itu. Dan akhirnya aku berhasil menemukan siapa adanya pewaris yang kau maksud itu.”
“Benarkah?” tanya Ki Ageng Singaranu seraya bangkit dari duduknya, tapi mendadak kakek itu merasa curiga, ”Tunggu ... tunggu dulu! Tadi Ki Gedhe mengatakan bahwa Ki Gedhe belum pernah sedikit pun membuka atau pun melihat isi bungkusan ini. Tapi Ki Gedhe mengatakan bahwa telah menemukan siapa adanya pewaris itu? Jangan-jangan ... ”
“Guruku yang memberi tahu saya, Ki Ageng. Beliau mengatakan ciri-ciri dari pewaris Istana Elang tersebut padaku. Saat itu bersamaan dengan aku menerima amanat yang harus kuberikan pada murid kinasih si Singa Putih Berhati Iblis yaitu bungkusan kuning yang kini telah Ki Ageng terima. Jadi, Ki Ageng tidak perlu curiga bahwa saya telah mencuri lihat isi dari amanat itu.”
Ki Ageng Singaranu alias Dewa Singa Tangan Maut manggut-manggut. Malu hati dia. Sakit kepala yang menderanya, tiba-tiba lenyap mendadak.
Aneh bukan?
“Oh ... kalau begitu maafkan saya, Ki Gedhe. Saya sudah berpikir yang bukan-bukan.”
Tabib Sakti Berjari Sebelas hanya menganggukkan kepalanya saja pertanda maklum.
“Lalu, siapa pewaris itu, Ki Gedhe?” tanya Jalu Lampang dengan rasa ingin tahu yang membuncah.
“Ciri khusus yang dimiliki oleh pewaris pilihan dari Istana Elang adalah dia memiliki tanda-tanda tertentu yang dimulai sejak dalam kandungan, yang misalnya tidak lahir seperti orang pada umumnya. Mungkin bisa sepuluh bulan, sebelas bulan atau bahkan lebih. Kudengar, mendiang Ketua Istana Elang juga lahir pada waktu yang tidak semestinya, beliau lahir pada bulan ke tujuh belas. Ciri lain yang pasti dimiliki sejak lahir adalah salah satu anggota tubuhnya memiliki semacam rajah berbentuk kepala elang yang memendarkan cahaya perak dan bisa menguasai bahasa segala jenis binatang terutama satwa yang menguasai angin di seluruh muka bumi ini tanpa terkecuali ... ” Ki Gedhe Jati Kluwih menghentikan sejenak ucapannya. Matanya berkeliling memandang semua yang ada di situ dengan tatapan meneduhkan namun menyiratkan ketajaman hati nan bijak.
Semua mendengarkan dengan antusias dan ingin tahu kelanjutannya. Namun tidak demikian dengan Ki Ragil Kuniran dan Nyi Salindri. Keterangan dari Tabib Sakti Berjari Sebelas tadi tanpa sadar telah membuat jantung mereka berdegup kencang. Rajah kepala elang, itulah yang membuat jantung pasangan suami-istri itu berdegup, karena tanda khusus itu dimiliki oleh anak mereka, Paksi Jaladara yang juga lahir pada bulan yang tidak semestinya.
Bulan ke tiga belas!
Kemudian, Ki Gedhe Jati Kluwih melanjutkan keterangannya, “ ... sedang ciri yang lain adalah setiap calon pewaris Istana Elang akan dijemput oleh utusan yang akan menyertainya kemana saja ia pergi. Utusan ini bisa menjelma dalam berbagai bentuk, bisa berwujud binatang, benda-benda pusaka dan lain sebagainya. Bahkan bisa menjelma menjadi dua bentuk yang berbeda. Karena wujud asli dari utusan itu adalah roh suci yang berasal dari Nirwana Ke Sembilan. Mendiang ketua Istana Elang generasi ke 30 memiliki roh utusan berwujud seekor naga kecil bersisik putih keperakan dan sebuah pusaka berbentuk cambuk lentur, yang dinamakan Cambuk Naga Rembulan Perak. Jadi, setiap generasi Istana Elang memiliki utusan dan senjata pusaka yang berbeda-beda atau bahkan bisa sama dengan generasi sebelumnya ...” tutur Ki Gedhe Jati Kluwih.
“Istana Elang memang penuh misteri dan teka-teki yang sulit dijawab ... ”
“Begitulah kehidupan, Nakmas Jalu, tidak bisa ditebak kemana dan dari mana dia berasal. Termasuk juga tiap generasi ketua Istana Elang, tidak tahu kapan dan bagaimana cara memilih calon pewaris. Hanya Hyang Bathara Agung yang tahu semua jawabnya,” kata kakek berjubah hijau dengan bijak.
“Jadi yang diburu oleh tokoh-tokoh persilatan adalah senjata pusaka yang bernama Cambuk Naga Rembulan Perak dari Istana Elang itu, Ki Gedhe?” tanya Ki Ageng Singaranu.
Ki Gedhe Jati Kluwih hanya menganggukkan kepala, “Betul Ki Ageng. Tapi tepatnya adalah Pusaka Rembulan Perak.”
Hati kakek berbaju abu-abu itu terasa lega mendengar kilas balik dari perkumpulan aliran putih yang bernama Istana Elang yang pernah berjaya ratusan tahun silam, dan kini berusaha dibangkitkan kembali melalui seorang pewaris Tahta Angin yang keberadaannya entah tidak diketahui siapa adanya. Lengkap sudah tanda tanya di hatinya, mengapa Ratu Sesat Tanpa Bayangan memburu dirinya dan memperebutkan benda yang tidak diketahuinya dengan pasti.
“Nah, Ki Gedhe, kepada siapa benda pusaka itu harus aku serahkan? Dan bagaimana cara mengetahui bahwa pusaka itu ada pada diri saya? Bisakah Ki Gedhe memberikan petunjuk pada saya?”
Ki Gedhe Jati Kluwih hanya tersenyum bijak. Mata tua itu memandang tajam ke arah Paksi Jaladara. Ki Ragil Kuniran yang sudah menduga sebelumnya, tetap berdebar-debar juga.
“Ki Ageng tidak perlu bersusah payah lagi, karena pewaris itu sudah ada disini. Dia berada diantara kita.”
“Sudah ada disini? Siapa dia?” potong Ki Ageng Singaranu dengan cepat, “Apa salah satu dari murid-muridku?!”
“Bukan Ki Ageng, tapi dia adalah cucumu sendiri, Paksi Jaladara itulah orangnya. Bocah itu ketiban pulung sebagai pewaris Ketua Istana Elang generasi ke 33.”
“Hahh!?” Ki Ageng Singaranu atau yang bergelar Dewa Singa Tangan Maut terlonjak kaget. Tatapan matanya langsung beralih ke arah Paksi Jaladara.
Bocah berikat kepala merah itu malah kebingungan dipandangi oleh kakeknya seperti itu. Tengok sana tengok sini, bahkan matanya ikut menjelajahi tubuhnya, seolah mencari sesuatu yang salah pada dirinya.
“Ada apa, kek? Kok kakek melihat Paksi seperti itu? Ada yang salah pada diri Paksi, kek?” tanya bocah berikat kepala merah itu, sambil clingak-clinguk.
“Ha-ha-ha-ha ... ”
Ki Gedhe Jati Kluwih terlonjak kaget, saat mendengar tawa berderai keras. Bukan dari mulut Dewa Singa Tangan Maut, tapi dari Ki Ragil Kuniran!
“Kini terjawab sudah! Rupanya apa yang kucari selama ini terjawab disini! Teka-teki telah terpecahkan! Tak perlu lagi kiranya aku mencari jawaban atas keanehan yang dimiliki Paksi! Terima kasih Ki Gedhe, terima kasih ... ! Aku sangat bahagia sekali mendengar keterangan dari Tabib Sakti Berjari Sebelas ungkapkan.”
Mendung di hati pasangan suami-istri itu seperti langit tersapu angin, berganti menjadi langit cerah, secerah sinar matahari yang bersinar di pagi hari. Nyi Salindri pun tidak kuasa meneteskan air mata. Kebahagiaan yang dialami seiring dengan tawa penuh gembira itu. Dipeluknya bocah itu dengan hangat. Meski ia tahu, di pundak anaknya kini terdapat tanggung jawab yang besar pada dunia kependekaran untuk menegakkan keadilan dan menghancurkan kebatilan yang ada di muka bumi. Di saat semua orang sedang serius memandangnya, Paksi Jaladara malah merem melek dipeluk ibunya.
Benar-benar bocah aneh!
“Ki Ragil, jika kau berkenan, aku ingin mengajak Paksi untuk mengembara, sekalian mengajarinya untuk hidup mandiri ... ”
“Terserah Ki Gedhe bagaimana baiknya, saya hanya manut saja, bukankah begitu Nyi?” tanya Ki Ragil Kuniran.
Nyi Salindri menganggukkan kepala pertanda setuju, meski dalam hati kecilnya ada rasa tidak rela kehilangan anak semata wayangnya. Namun ibu muda itu sadar betul, bahwa kepergian anaknya bukan untuk bermain, tetapi kepergian yang menyandang tugas mulia.
“Betul, Ki Gedhe! Saya titip anak saya agar Ki Gedhe bisa nggulowentah Paksi. Kira-kira kapan Ki Gedhe dan paksi akan berangkat?”
“Dua hari dari sekarang,” jawab laki-laki tua berjubah hijau dari Pulau Kayangan itu.
-o0o-
Pagi itu ...
Setelah matahari naik setinggi tombak, dua orang beda usia berangkat dari Padepokan Singa Lodaya, diiringi seluruh anak murid padepokan, Ki Ageng Singaranu dan juga orang tua si bocah yang kini harus berpisah dari ke dua orang tuanya. Nun jauh diatas, seekor elang berbulu perak sedang terbang melayang dengan ringan, membayangi perjalanan dua anak manusia itu.
Pagi itu, Paksi Jaladara masih mengenakan baju biru tanpa lengan dengan celana pangsi setinggi lutut. Ikat kepala merah masih mengikat di tempatnya. Selain berfungsi untuk merapikan rambut, juga untuk menyembunyikan rajah kepala elang, sebagai bentuk anugerah dari Yang Kuasa sejak ia lahir dan juga sebagai tetenger bahwa dialah ahli waris tunggal dari Istana Elang.
Sedangkan Pusaka Rembulan Perak juga telah berpindah tangan, setelah sekian lama berada di dalam genggaman kakeknya tanpa diketahui bentuk atau pun wujudnya. Atas saran Ki Gedhe Jati Kluwih, untuk sementara waktu Pusaka Rembulan Perak harus diamankan dahulu, agar tidak menjadi incaran para tokoh rimba persilatan, apalagi ilmu olah kanuragan dan jaya kawijayan yang dimiliki Paksi belum cukup untuk menjaga benda pusaka tersebut. Pusaka Rembulan Perak kini berada di dalam tubuh elang berbulu putih keperakan, yang saat ini sedang melayang-layang di angkasa. Akan halnya bentuk Pusaka Rembulan Perak adalah sebentuk benda bulat yang memancarkan cahaya putih terang yang tersimpan secara gaib dalam tubuh elang itu, sama halnya saat disimpankan ke dalam tubuh Ki Dirgatama kemudian diturunkan ke Ki Singaranu.
Muka Paksi bersemu kemerah-merahan terkena sinar matahari. Langkah kecilnya terlihat ringan seakan tanpa beban. Sedangkan Ki Gedhe Jati Kluwih masih mengenakan jubah hijau dengan beban keranjang obat berada di punggung. Ketika hari menginjak siang, mereka berdua duduk beristirahat di bawah pohon mangga hutan yang cukup rindang. Pohon mangga itu sedang berbuah dengan lebat dan tampak ranum, sehingga menerbitkan selera makan Paksi.
Bocah itu hanya termangu-mangu memandang ke atas. Sebagai orang tua yang sudah berpengalaman, kakek berjubah hijau itu mahfum dengan keinginan seorang bocah.
“Paksi ingin makan mangga?”
“He’eh, tapi biar Paksi ambil sendiri saja. Apa kakek juga mau?”
“Emm, boleh ... boleh juga ... “
Paksi kembali mendongak ke atas. Setelah mengatur napas lalu mengedarkan segenap kekuatannya ke seluruh tubuh, kedua kaki kecil itu menjejak tanah dengan mantap.
Tapp! Wuttt!
Tubuh kecil itu melenting ke atas, lalu hinggap di dahan yang cukup besar, terus beringsut dari dahan ke dahan seperti kera. Bahkan kadang jungkir balik dengan kepala berada dibawah dengan kaki mengait dahan diatasnya. Tangannya dengan cekatan memetik buah mangga yang masih ranum. Tak lama kemudian didalam pondongannya sudah terdapat sekitar 8 butir buah mangga ranum dan ada juga yang sudah matang di pohon. Kemudian dengan tangkas, badan kecil itu meloncat ke bawah diikuti dengan salto beberapa kali dan turun ke bawah dengan indahnya.
Plok! Plok! Plok!
“Bagus ... bagus sekali ... ! Ilmu ringan tubuhmu sudah lumayan, Paksi! Apa si Perak juga yang mengajarinya?” tanya Ki Gedhe Jati Kluwih, sambil menerima mangga dari Paksi.
“Iya, kek,” jawab Paksi.
Di tangan kanan si kakek sudah tergenggam sebilah belati kecil untuk mengupas mangga dan dengan cekatan, tangan tua itu mengupas mangga itu hingga terkupas bersih, lalu diserahkan pada Paksi. Bocah berikat kepala merah itu masih terpana dengan kecepatan tangan kakek tabib dalam mengupas mangga.
“Kok kakek bisa cepat sekali mengupasnya? Ayah saja kalau mengupas mangga tidak secepat kakek.”
“Nanti ... kalau Paksi sudah besar, juga bisa melakukan hal ini. Sudah ... sekarang Paksi makan mangganya dulu. Nah, ini juga sudah selesai.”
Tanpa basa-basi, bocah itu langsung menggerogoti mangga ditangannya. Memang terasa cukup manis, karena masih tersisa sedikit rasa asam.
“Kakek tabib ... kakek bisa menceritakan sedikit tentang Istana Elang itu?”
Kakek berjubah hijau itu mengubah posisi duduknya.
“Yang kakek tahu, sepak terjang Istana Elang memang sama umumnya dengan orang-orang golongan lurus. Yang kakek maksud golongan lurus adalah orang-orang yang rela berkorban dengan sepenuh hati tanpa mengharap imbalan atau pamrih dari siapapun, misalnya meski bisa disebut pendekar golongan putih atau lurus, ada kalanya mereka menginginkan sesuatu dari orang yang pernah ditolongnya. Misalnya berharap ilmu sakti tertentu, kitab-kitab pusaka bahkan senjata-senjata sakti milik orang lain. Namun ada juga orang-orang dari golongan hitam yang tidak semuanya kejam dan jahat, bahkan cenderung bersikap satria. Dari yang kakek ketahui, pendekar-pendekar dari Istana Elang termasuk orang-orang yang betul-betul berhati lurus dalam arti yang sesungguhnya. Tapi untuk mengetahui detailnya, mungkin kau harus bertanya pada si Kura-Kura Tua.”
“Si Kura-Kura Tua? Siapa dia kek!?”
“Kura-Kura Tua adalah salah satu dari Empat Pengawal Gerbang Utama dari Istana Elang. Dia adalah Sang Air, Pengawal Gerbang Selatan sedang julukannya adalah Si Kura-kura Dewa dari Selatan yang sangat menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan air, baik danau, rawa, sungai maupun lautan. Konon ... kabar yang berhembus di rimba persilatan, usianya sudah mencapai lebih dari tiga ratus tahun, karena si Kura-Kura Tua sudah ada sejak Ketua Istana Elang generasi ke 29. Saat ini, kurasa hanya dialah yang menjaga Istana Elang untuk sementara waktu, sampai orang yang ditunjuk oleh ketua lama muncul.”
“Wah ... kalau begitu tua sekali, ya kek. Kok bisa ada orang yang bisa bertahan hidup sampai ratusan tahun? Terus apa yang dimaksud dengan ‘orang yang ditunjuk oleh ketua lama muncul’?”
“Setiap generasi Aliran Istana Elang akan menentukan sendiri siapa yang akan menggantikannya jika kelak ia telah tiada ... “
“Jadi semacam titisan atau reinkarnasi, begitu ya kek?” potong Paksi.
“Ya, bisa juga dikatakan begitu.”
“Kek, biasanya setiap aliran atau perguruan memiliki urutan orang-orang yang berkuasa dari tingkat rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Apakah Aliran Istana Elang juga mempunyai urutan-urutan jabatan seperti itu?” tanya Paksi sambil tangan kanannya memasukkan potongan mangga ke dalam mulut.
“Hemm, cerdas juga anak ini,” batin kakek berjubah hijau itu.
“Benar! Aliran Istana Elang juga memiliki seperti apa yang kau katakan itu. Istana Elang memiliki seorang Ketua dan Empat Pengawal Gerbang Utama yang ahli dalam bidangnya masing-masing.”
“Siapa saja mereka itu, kek?”
“Yang pertama, tentu saja Ketua Istana Elang dengan sebutan Sang Angin, yang saat ini menjadi gurumu secara gaib yaitu Elang Berjubah Perak. Kemudian Pengawal Gerbang Timur – Sang Api yang digelari Si Naga Bara Merah, lalu Pengawal Gerbang Selatan – Sang Air yang bergelar Si Kura-kura Dewa dari Selatan, Pengawal Gerbang Barat – Sang Bumi yang dijuluki Si Harimau Hitam Bermata Hijau dan Pengawal Gerbang Utara – Sang Batu dengan sebutan Si Kapak Batu Sembilan Langit.”
“Apakah sekarang ini, beliau-beliau itu sudah meninggal terkecuali Sang Air, kek?” tanya Paksi.
“Benar! Semua yang kakek ceritakan padamu memang sudah menghadap Yang Kuasa. Yang tertinggal dari mereka adalah ruh suci, yang kini sedang mencari titisan ilmu-ilmu yang mereka miliki. Setiap titisan akan memiliki ilmu dan kekuatan yang sama dengan pemilik aslinya kecuali Sang Angin, karena mendiang guruku mengatakan bahwa setiap titisan Sang Angin akan memiliki kelebihan dibanding pendahulunya dimana kelebihan itu bisa sama dan bisa juga berbeda dengan pendahulunya.”
“Lalu, bagaimana caranya untuk membedakan tiap titisan itu, kek?” tanya Paksi kembali.
“Pertanyaan yang bagus!” ucap Tabib Sakti Berjari Sebelas, lanjutnya, “ ... untuk membedakannya adalah hal mudah. Bedanya terletak pada rajah yang melekat pada tubuh mereka.”
“Rajah?”
“Benar! Rajah itulah yang membedakan mereka itu titisan siapa. Seperti halnya dirimu yang memiliki Rajah Elang Putih di kening, menandakan bahwa kau adalah titisan Sang Angin. Rajah itu bisa berada di mana saja. Bisa di tangan, di dada, di kening seperti yang kau miliki. Bahkan si Kura-Kura Tua itu memiliki ‘Rajah Kura-Kura Hijau’ yang letaknya di bagian punggung.”
Seolah tanpa sadar, Paksi Jaladara meraba keningnya. Terasa sekali tanda rajah yang dimilikinya sejak lahir itu saat diraba. Rajah yang disembunyikan di balik kain merah yang melingkar di kepala.
Seolah bisa membaca pikiran anak itu, Tabib Sakti Berjari Sebelas berucap, “Tidak hanya pada dirimu saja yang memiliki tanda seperti itu. Namun yang perlu kau waspadai adalah orang-orang yang memiliki tanda lahir dari Penerus Iblis ... ”
“Tanda lahir Penerus Iblis?”
“Benar, Nak! Sebenarnya saat ini sedang terjadi suatu pergolakan dari aliran sesat yang sedang membangkitkan kembali ajaran Tantrayana Kuno yang sudah punah ratusan tahun lalu ... ”
“Ajaran Tantrayana Kuno? Apa itu kek?” tanya Paksi dengan rasa ingin tahu.
Tabib Sakti Berjari Sebelas atau Ki Gedhe Jati Kluwih menggeser tempat duduknya, dan bersandar pada pohon mangga di belakangnya, diikuti oleh Paksi yang juga beringsut mendekat. Kepalanya sedikit mendongak ke atas, seolah sedang mengumpulkan ingatannya tentang aliran sesat itu. Ingatannya kembali pada pengalamannya saat berkelana ke negeri seberang, baik Negeri Tiongkok maupun Negeri Hindustan, dimana dia pernah melihat ajaran sesat yang kini sedang dibangkitkan oleh golongan hitam di tanah Jawadwipa ini.
“Saat ini ... ajaran sesat itu masih terpusat di suatu tempat di wilayah bekas Kerajaan Kediri. Akan tetapi Kakek tidak tahu dimana tepatnya. Tapi tidak menutup kemungkinan ajaran itu akan meluas ke daerah lain. Ajaran ini oleh penganut tantra dinamakan sebagai ajaran Bhirawa Tantra,” kata Ki Gedhe Jati Kluwih.
Bocah kecil itu mengangguk-anggukan kepala. Otak cerdasnya mencerna setiap keterangan yang keluar dari mulut kakek berjubah hijau itu.
“Dalam ajaran ini, seseorang bisa meraih atau mempertahankan kekuasaan, kekuatan, dan kesaktian dengan tumbal darah para musuhnya. Jika dalam perang mereka unggul maka darah segar para lawannya akan segera diminum sebagai ritual yang wajib dilakukan. Lebih sadis, pada tataran yang lebih tinggi, penganut Bhirawa Tantra tidak hanya minum darah korban, tapi juga memakannya, baik sebagian atau pun seluruhnya.”
“Gila! Keji sekali perbuatan mereka!” potong Paksi mengomentari ulasan itu. “Lalu ... lanjutnya bagaimana kek?”
“Dalam cerita pewayangan pun dikisahkan, beberapa tokoh raksasa yang suka minum darah lawan yang sudah tewas atau pun langsung menghisapnya. Diantaranya adalah Raja Alengka, Prabu Dasamuka alias Rahwana. Meski seorang raja, ia tak segan untuk menggigit dan menghisap darah musuhnya di medan pertempuran. Juga Raja Purwacarita, Prabu Baka yang suka minum darah dan makan daging manusia ... ”
“Tapi kek, saya pernah baca dalam kitab ‘Mahabharata’, minum darah juga dilakukan oleh Raden Bima alias Raden Werkudara. Dalam Perang Barathayuda ia minum darah Raden Dursasana yang telah tewas hanya untuk memenuhi sumpah dan janjinya, padahal ia seorang ksatria dan bukan golongan denawa atau raksasa,” kata Paksi kemudian.
“Betul! Saat itu Raden Werkudara sedang memenuhi sumpahnya atas perbuatan Raden Dursasana yang menodai kesucian seorang istri dan juga Permaisuri Agung, yaitu Dewi Drupadi, istri dari Raja Amarta yang bernama Prabu Puntadewa,” jawab kakek berjubah hijau yang memiliki pengetahuan luas itu melanjutkan kembali ceritanya.
Penganut ajaran Tantrayana aliran Bhirawa atau bisa disebut Bhirawa Tantra digambarkan lebih hebat kemampuan ilmu gaibnya karena dikenal sebagai pemuja Dewa Syiwa. Sesuai dengan pujaannya, penganut ajaran ini suka mengumbar hawa nafsu sebagai perwujudan kepercayaan untuk menguasai ilmu kekebalan, bahkan bisa ‘Mancala Putra Mancala Putri’ (berubah wujud).
Tantrayana merupakan aliran yang berdasarkan ajaran Tantra. Dalam bahasa Sansekerta, Tantra berarti aturan ritual atau upacara. Ajaran-ajaran ini lahir dari ajaran yang beraliran magis (ilmu gaib) yang diperoleh dari Kitab Purana. Naskah-naskah Tantra itu berkembang dari ajaran yang konsep utamanya mengagungkan dan menyembah kekuatan Yoni. Sasaran penyembahan yang berciri kekuatan Yoni itu berasal dari personifikasi sebagai istri (Sakti) Vishnu (Wisnu) yaitu Radha. Pada sebagian aliran Tantra juga menyembah Devi, Sakti Siva (Syiwa). Sakti (istri) Dewa yang disembah itu dalam bentuk yang lembut dan anggun digambarkan sebagai Uma dan Gauri. Sedangkan dalam bentuk yang garang dan sadis digambarkan sebagai Durga atau Dewi Kali. Karena itu, tokoh dalam cerita Nyai Calon Arang atau Mahendradatta sebagai pemuja Durga, dewi kejahatan sering dimunculkan. Mahendradatta juga juga menganut ilmu gaib (sihir) aliran Tantrisme yang memuja Bhirawa Mahakali yang tak lain adalah Bathari Durga adanya.
Terdapatnya hubungan antara ajaran tantra itu dengan sejarah Kerajaan Kediri. Sesungguhnya nama Kediri berasal dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), Khadiri atau Dhaha, identik dengan nama Panjalu yang berarti tegak (mengacu pada makna negatif Lingga). Karena itu ajaran yang berkembang banyak menganut nilai-nilai budaya yang mengakar pada pemujaan kaum laki-laki dalam segala aspek, yang diperdangkal pada kekuasaan nafsu syahwatnya. Dimana laki-laki identik dengan kegagahan, kekerasan, keberanian, kemenangan, kebangsaan, kekuasaan, kekejian dan kebengisan. Lebih dangkal lagi, kejantanan dimitoskan sebagai kemampuan syahwat laki-laki. Adapun konsep ajaran yang menggegerkan dunia persilatan ini bersumber pada Kitab Tantrayana, Nilatantra, Sang Hyang Kamahanan Mantrayana dan juga Mahanirwanatantra.
Dijelaskan bahwa para penganut Tantra akan mempunyai tubuh kebal dari senjata tajam bila telah berhasil melakukan upacara Panca Makara, yaitu laki-laki perempuan dalam keadaan tanpa busana secuilpun mengelilingi ‘Mukara’ (tumpeng selamatan) yang dipimpin seorang Cakra Iswara. Mukara ini berisi sesaji yang terdiri daging, ikan dan arak. Urutan upacara terdiri atas ‘Modsa’ (makan daging), ‘Modsia’ (makan ikan), ‘Modya’ (minum arak sampai mabuk), ‘Mautuna’ (bersenggama) dan ‘Mudra’ (bersemadi) setelah nafsu perut dan syahwat terpenuhi.
“Begitulah ... inti ajaran Tantrayana yang pada puncaknya, orang yang menjadi penganutnya akan punya kedigdayaan atau kesaktian yang luar biasa. Diantaranya adalah kebal berbagai macam senjata tajam ... ”
“Huh, perbuatan yang hina sekali, kek. Hanya karena ingin menjadi sakti harus melakukan hal-hal yang melanggar hukum alam. Semoga saja mereka di laknat oleh penguasa alam raya ini,” kata Paksi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Tabib Sakti Berjari Sebelas. “Kek, bukankah minum darah hewan tidak bisa dibenarkan, apalagi darah manusia sebab ketika seseorang terbiasa minum darah, maka jiwanya akan seperti binatang buas sehingga jadi ganas dan buas?”
“Benar! Manusia semacam ini bertentangan dengan fitrahnya sendiri. Fitrah manusia itu selalu menjaga keluhuran akhlaknya. Dan ... ini berbeda dengan binatang buas dan ganas. Jika manusia terbiasa minum darah sehingga ia menyerupai binatang, maka manusia yang seperti ini telah kehilangan sifat kemanusiaannya,” terang kakek berjubah hijau mengomentari perkataan bocah berikat kepala merah itu.
“Kehilangan ... sifat kemanusiaan?”
“Ya! Kalau ada manusia yang suka memakan atau meminum darah maka akan jadi buas seperti bintang. Segi ruhaninya yang luhur akan kalah. Sekali lagi, kalau orang suka minum darah yang banyak, berarti ia sudah terbiasa. Kebiasaan ini akan menyebabkan dia jadi buas. Dan setelah buas, maka hilanglah sifat kemanusiaannya.”
Panjang lebar kakek berjubah hijau itu mengemukakan pendapat tentang segala hal yang berhubungan dengan aliran sesat Bhirawa Tantra.
Dalam pada itu, waktu terus berjalan tanpa terasa. Terik matahari kini berubah redup seiring dengan hembusan angin yang sore yang segar. Setelah membersihkan diri di tepi sungai yang jernih airnya, dekat dimana mereka semula berhenti, di bawah pohon mangga.
Melihat banyaknya ikan-ikan liar yang bebas lalu lalang di dalam air, membuat Paksi berkeinginan menangkap beberapa ekor untuk santap malam. Sambil tertawa-tawa, bocah itu berlarian kesana kemari menggiring ikan-ikan yang cukup gemuk. Dari sudut matanya, terlihar seekor ikan lele yang cukup besar dan gemuk.
“Hemmm, lumayan untuk mengganjal perut,” batinnya.
Dengan perlahan-lahan dia menggeser kaki sedikit merentang dengan badan sedikit doyong ke depan. Tangan kiri terkepal di pinggang, sedang tangan kanan membuka lurus. Ditariknya napas perlahan-lahan, lalu ...
Byukk! Byarr!!
Air didepannya dihantam, sehingga air muncrat ke atas membentuk pilar air dan terlihat beberapa ikan termasuk ikan lele yang gemuk ikut terperangkap didalamnya.
“Kek, terima ini!”
Bersamaan dengan selesainya ucapan, Paksi dengan cekatan meloncat ke udara, lalu melakukan tendangan samping ke arah pilar air, tepat di samping kiri pilar air mana beberapa ekor ikan lele itu berada.
Byarr!
Dalam waktu sepersekian detik, pilar air yang semula menjulang beberapa tombak, kini hancur bercerai berai terkena hantaman tendangan yang cukup kuat.
Wutt!
Ikan lele itu meluncur cepat, dan tepat ke arah si kakek tua berjubah hijau berada.
Tap!
Dengan masih duduk santai, tangan kanan kakek itu menangkap ikan dengan cekatan, dirasakannya getaran kuat pada ikan yang ditangkapnya.
“Hebat! Tenaga dalam yang dimilikinya sudah sejajar dengan pendekar tingkat tiga. Tanganku masih bisa merasakan getaran tenaga dalamnya.” bathinnya.
“Paksi, tangkap beberapa ekor lagi! Kalau ada, ikan bader juga boleh. Sebentar lagi si Perak pulang,” serunya.
Paksi menganggukkan kepala sambil mengacungkan ibu jari kanannya.