Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Pendekar Elang Salju

wah cerita baru... smoga lancar jaya

gelar tikar hu...

Selamat malam, hadir.

Lanjut hu..........

Wah ada cersil.. mantap.. lanjutkan hu..

Waaddaw up lagi suhu....nanggung nich...

:mantap::mantap::mantap: inget jaman bolos waktu sd... Wkwkwkwkwkwk;)

Asikk cerita silat... lanjutkan suhuu...
Thanks suhuuu

Ada cerita silat , izin nyimak hu

Ahirnya mucul juga,, thank's shu atas update nya,,

Ikut mantengin suhu;)

Wuih... dah lama gak ada cersil di sini....
Wajib tongkrongin nih. Langsung daftar member akh sama GROnya...
Ditunggu next updatenya suhu.

ijin baca hu

Ijin bangun tenda dimari hu..

Langsung maraton nih....

mantap suhu, lanjutken

Mantap...lanjut gan...cersil seru selain si pemanah gadis

Pasang tenda dulu

semoga sampe tamat:kk:

monggo dinikmati hu
maaf ga bisa bales satu satu
thx dah mampir dimari
:victory:
 
Bab 6

Terdengar letusan keras saat jurus ‘Kelebat Guntur Menari’-nya Ki Ragil Kuniran beradu dengan jurus ‘Cakar Maut Membelah Angin’-nya Si Cakar Iblis Taring Serigala. Keduanya terjajar beberapa langkah ke belakang, kemudian diam terpaku beberapa saat untuk menenangkan guncangan yang mendera di dalam dada.
“Bangsat!” Cakar Iblis Taring Serigala memaki keras, karena baru kali ini ada orang yang bisa menahan jurus ‘Cakar Maut Membelah Angin’ miliknya.
“Baru kali ini ada orang yang menahan jurus ‘Cakar Maut Membelah Angin’-ku, biasanya meski ditahan dengan cara apapun, jurus ini akan tetap bisa menerjang lawan, bahkan mencacah-cacah seperti daging cincang. Benar-benar keparat orang itu. Aku harus lebih berhati-hati padanya,” pikirnya.
Sedangkan Ki Ragil Kuniran hanya tersenyum mengejek lawan, “Huh, cuma jurus picisan saja, sudah besar mulut!”
“Setan! Kalau aku tidak bisa menghabisi nyawa busukmu itu, jangan sebut namaku Cakar Iblis Taring Serigala!” bentaknya.
“He-he-he-he, kau memang lebih pantas disebut Si Cakar Tikus,” ucap Ki Ragil Kuniran berusaha memancing kemarahan lawan.
Laki-laki itu menggertakkan gigi sebagai tanda kemarahan, kemudian laki-laki bermuka lancip seperti tikus itu menerjang maju.
“Heaaa ... !”
Gerakannya lebih cepat berbahaya daripada sebelumnya, lebih cepat dan lebih banyak tipu-tipu silatnya. Akan halnya Ki Ragil Kuniran sudah pula menerjang lawan, dengan mengandalkan sepasang pisau panjang di tangan dan menerapkan jurus ‘Pisau Lidah Naga’ dipadu dengan Ilmu Silat ‘Tangan Seribu Depa’ yang dimilikinya.
Di lain tempat, Galang Seta dan Pulanggeni berdua menghadapi si cecak kering Tangan Kilat Kaki Bayangan yang tak kalah serunya. Kedua murid utama Padepokan Singa Lodaya ini memiliki kepandaian yang setingkat satu sama lain. Dengan mengandalkan ilmu kebal ajian ‘Kulit Singa’, mereka berdua merangsek maju.
“Heeeaa ... ”
Keduanya bahu membahu dalam menghadapi lawan. Galang Seta menyerang bagian bawah sedang Pulanggeni menyerang bagian atas. Dua saudara seperguruan itu selalu mengisi kekosongan, sehingga bisa menekan lawan setangguh apa pun.
Dari pendapa padepokan, Ki Ageng Singaranu mengangguk-anggukkan kepala melihat kerjasama dua murid utamanya. Tidak menyangka, bahwa Ilmu Silat ‘Singa Gunung’ bisa dimainkan dengan cara berpasangan.
“Bagus sekali! Galang Seta dan Pulanggeni memang hebat dalam memadukan Ilmu Silat ‘Singa Gunung’ menjadi jurus silat berpasangan. Saling mengisi kekosongan dan menutupi kelemahan. Hemm, mereka berdua patut diacungi jempol. Mungkin sudah saatnya aku menurunkan pukulan ‘Telapak Singa Murka’ pada mereka berdua,” pikir Ki Ageng Singaranu.
Meski dikeroyok dua orang, Tangan Kilat Kaki Bayangan tidak pantang menyerah. Puluhan paku-paku beracun yang dilontarkan ke arah lawan, selalu tepat pada sasaran.
Seett! Sett! Wirr!! Wirr! Crapp! Crapp! Crap!
Pikirnya, dengan senjata paku beracunnya bisa membereskan dua orang lawan tangguh itu dengan cepat. Namun dia kecele. Bukannya lawan yang mati, tapi justru anak buahnya yang banyak berkelojotan meregang nyawa, karena saat paku-paku beracun itu mengenai tubuh lawan, langsung terpental balik dan mengenai orang-orang yang berada di sekitar mereka, karena sebenarnya dua pemuda berbaju hitam itu telah melindungi diri dengan ilmu kebal. Semakin keras tenaga serangan yang mengenai pemilik ajian ‘Kulit Singa’ maka semakin keras pula tenaga pantul yang dihasilkan.
“Kurr ... kurang ... ajjj ... jarr!”
Tangan Kilat Kaki Bayangan menghentikan serangan paku beracun, lalu beralih dengan mengerahkan Ilmu Silat ‘Serigala Iblis’. Gerakannya berubah semakin cepat dan ganas, terutama sekali jurus tendangan yang secepat kilat. Gerakan tendangan itu digabung dengan ilmu meringankan tubuh, membuat tubuhnya berkelebat cepat kesana kemari dalam menyerang lawan.
Werrs!
Galang Seta dan Pulanggeni pun melenting mundur, lalu mengubah cara bertarung.
“Galang Seta, kita gunakan jurus ‘Sepasang Singa Membantai Iblis’!” ucap Pulanggeni.
“Baik!”
Keduanya pun berkelebat cepat ke kanan dan ke kiri hingga membuat Tangan Kilat Kaki Bayangan terkepung di tengah-tengah. Kembali pertarungan pecah antara dua murid Ki Ageng Singaranu dengan salah seorang pemimpin dari Gerombolan Serigala Iblis, yaitu Tangan Kilat Kaki Bayangan. Mereka bertiga kembali berkutatan untuk berusaha saling menjatuhkan lawan.
“Hyahh!”
Sementara itu, Gineng pun tidak mau tinggal diam sudah terlibat dalam kancah pertarungan. Pemuda remaja itu berkelebat cepat ke arah lawan dengan sepasang pisau panjangnya. Ilmu silat yang dipelajari dari Ki Ragil Kuniran yaitu Ilmu Silat ‘Tangan Seribu Depa’ sangat membantunya dalam pertarungan yang baru pertama kali dialami pemuda tanggung itu. Meski belum menguasai sepenuhnya jurus ‘Pisau Lidah Naga’, namun Ilmu Silat ‘Tangan Seribu Depa’ yang merupakan dasarnya sudah sangat dikuasai dengan baik.
Wutt! Wushh!
Dua orang anggota gerombolan menyerang pemuda remaja itu dengan gada berduri dan tombak bercagak dari arah depan. Gineng pun melenting ke atas sambil mengibaskan sepasang pisau panjangnya ke arah lawan.
Crass! Cratt!
“Aaakhh! Uuggh!”
Dua orang itu terpental dengan dada terbelah. Satu terbelah menyilang dari kiri ke kanan dan satunya terbelah memanjang sampai ke perut. Keduanya ambruk berkelojotan meregang nyawa beberapa saat, lalu mati.
Gineng tercenung, bergantian memandang kedua tangan dan orang yang telah dibunuhnya. Rasa menyesal, bersalah dan bingung campur aduk menjadi satu karena memang baru pertama kali dalam hidupnya dia membunuh orang dalam suatu pertarungan. Namun, rasa penyesalan itu harus dibayar dengan mahal. Salah seorang anggota perampok berperut buncit sambil berjalan mengendap-indap di belakangnya, berusaha untuk membokong. Setelah berada dalam jarak jangkauan, tangan kekar sebesar kayu jati itu merangkul Gineng dari belakang dengan gerakan cepat.
Krapp!
“Hegh!”
Gineng merasakan dadanya terasa nyeri, lalu diikuti dengan napas tersengal-sengal. Rangkulan itu begitu kuat, bagaikan rangkulan seekor kera hutan. Beberapa injakan dan sepakan kaki yang dilakukan oleh Gineng pun tiada artinya, seolah-olah membentur tumpukan kapas.
“Mampus kau! Heh-heh-heh, akan kuremukkan tulang belulangmu!”
Pelukan laki-laki buncit itu makin kencang, sehingga Gineng semakin sulit bernapas, bahkan napasnya tersengal-sengal dan tubuhnya mulai melemah dengan sendirinya, hingga sepasang pisau panjangnya terjatuh ke tanah.
Klontang!
Pemuda remaja itu merasakan tubuhnya seperti dijepit batu karang. Tulang-tulangnya berkerotokan, seakan mau patah. Pada saat kesadarannya sudah hampir hilang, dan bayangan kematian sudah tepat berada di pelupuk mata, sesosok bayangan berkelebat.
“Kakang Gineng, merunduk!”
Bayangan itu bergerak cepat, diikuti sekelebatan bayangan putih keperakan di belakangnya. Bayangan itu lalu melenting ke atas sambil berjungkir balik, lalu kaki kanannya menjulur ke bawah dengan hentakan keras, mengarah ke arah muka si perut buncit!
Wessshh! Duugghh!
Tubuh buncit itu terjengkang ke belakang karena terkena hantaman keras di bagian wajah. Kepalanya pusing dan dunia serasa berputar. Saat berusaha berdiri, jalannya menggeloyor seperti orang mabuk. Setelah menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali, rasa pusing itu sedikit berkurang.
Pandangan mata belok melotot ke arah sosok tubuh kecil berikat kepala merah!
“Bangsat kecil!? Perlu apa kau turut campur?” bentak si perut buncit.
Lalu tubuh kecil itu melenting ke atas dan berdiri tegak di samping Gineng. Bayangan itu tak lain adalah Paksi Jaladara, sedangkan bayangan putih keperakan yang mengiringinya adalah elang kesayangannya, Si Perak!
Jurus ‘Kelebat Ekor Elang’ yang dilancarkan Paksi Jaladara seharusnya bisa membuat kepala pecah atau paling tidak retak parah, namun ternyata hanya membuat kepala si perut buncit menjadi pusing dan pandangan berkunang-kunang, itu dikarenakan kepala laki-laki bertubuh boros itu terlindungi hawa tenaga dalam yang cukup kuat sehingga bisa menahan serangan lawan.
“Kakang, kau tidak apa-apa?” tanya Paksi, tanpa menoleh ke arah pemuda di sampingnya.
Tatapan mata bocah itu setajam elang, tepat menghunjam ke arah bola mata lawan. Laki-laki berperut buncit itu tergetar hatinya, hingga tanpa disadarinya mundur beberapa tindak ke belakang.
Gineng hanya menganggukkan kepala, lalu tanpa bersuara meraih sepasang pisau panjang yang ada di tanah diteruskan berguling satu kali ke depan, lalu menerjang laki-laki berperut buncit yang hampir saja membunuhnya.
Weess!
Anggota Gerombolan Serigala Iblis itu menghindar ke samping, sambil kaki kanannya menendang ke depan dengan bertumpu pada kaki kirinya yang kokoh.
Wukk!
Sambaran angin keras mengiringi tendangan itu ke arah pinggang. Gineng mengegos badan ke kiri menghindari tendangan, sambil tubuhnya menyelinap diantara tendangan lawan dengan cepat.
Weett!
Laki-laki itu tersentak kaget, tidak ada waktu bagi dirinya untuk menghindari serangan lawan. Pisau panjang di tangan pemuda berbaju coklat itu berkelebat cepat dengan mengerahkan jurus ‘Ular Sawah Menelan Kodok’ dan sasarannya adalah tepat di jantung!
Crapp!
“Hekhh!” Mata melotot dengan mulut ternganga lebar. Darah segar muncrat saat pisau panjang itu dicabut oleh Gineng.
Brugh!
Tubuh itu berdebam ke tanah, sambil berkelojotan meregang nyawa, lalu diam tak bergerak. Mati!
Pemuda itu membalikkan badan, seperti seorang senopati perang yang telah selesai menjalankan tugas menumpas musuh.
“Terima kasih, Den Paksi! Lebih baik Den Paksi kembali ke pendapa saja, biar saya yang membantu disini,” tutur Gineng, dengan nada rendah.
“Baiklah, tapi Kakang Gineng hati-hati.”
“Jangan khawatir, tidak akan terulang untuk kedua kalinya,” kata Gineng meyakinkan sang majikan muda.
Semua kejadian itu tidak lepas dari mata tua Ki Ageng Singaranu!
Sedangkan Nyi Salindri sudah kebat-kebit melihat anaknya malah ikut-ikutan berkelahi. Mulanya Ki Ageng Singaranu akan membantu Gineng dengan melontarkan pukulan jarak jauh, namun keburu didahului Paksi Jaladara yang turun tangan sedangkan Nyi Salindri juga berniat untuk menolong anaknya. Namun dicegah oleh Ki Ageng Singaranu.
“Tidak usah cemas, aku yakin anakmu tidak apa-apa.” ucap Ki Ageng Singaranu, berusaha menenangkan putrinya.
Meski begitu, ibu muda itu masih tetap gelisah, sampai akhirnya pertarungan dimenangkan oleh Gineng, dan anaknya sudah jalan lenggang kangkung ke arah pendapa.
“Paksi, kemari! Jangan berbuat yang macam-macam,” seru sang ibu.
Bocah berikat kepala merah itu malah cengar-cengir, sambil bergegas menghampiri sang ibu, sedangkan Si Perak sudah terlebih dahulu terbang dan kini hinggap di atas palang kayu, tempat biasanya di mana kuda ditambatkan di depan pendapa padepokan.
Sementara itu, pertarungan semakin memanas. Teriakan dan pekikan kesakitan terdengar dimana-mana. Pelataran yang semula adem ayem itu berubah menjadi ajang pembantaian. Saling bunuh, saling terjang, saling tendang, bahkan ada yang menyabung nyawa sambil memaki-maki, korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Murid-murid Padepokan Singa Lodaya yang masih rendah ilmu kebal dan kekuatan tenaga dalam yang dikuasai belum memadai, banyak mengalami luka di sekujur tubuhnya. Namun, semangat tarung yang dimilikinya tetap berkobar-kobar laksana api ketemu minyak. Para murid Padepokan Singa Lodaya yang menguasai ilmu kebal ajian ‘Kulit Singa’ lumayan tinggi, melindungi saudara seperguruan mereka yang masih lemah. Sehingga tampak kerja sama yang kompak. Saling bahu membahu dan tolong menolong serta saling menutupi kelemahan kawannya.
Pengikut Gerombolan Serigala Iblis juga tidak kalah ganasnya. Mereka yang terbiasa berkutat dengan darah dan kematian, menyerang membabi buta. Lawan mendekat, sikat!
Akan tetapi di dalam hati mereka, tersimpan rasa gentar menghadapi lawan yang sebagian besar menguasai ilmu kebal itu. Pedang, golok, tombak dan setiap senjata yang kena sasaran di tubuh lawan, selalu terpental dan bahkan nyaris mengenai dirinya sendiri¡
“Heeaa! Hyahh!”
Crass! Crakk! Crook!!
Sedikit demi sedikit, jumlah penyerang makin berkurang. Banyak diantara mereka yang tewas atau sekarat, menunggu ajal menjemput. Melihat jumlah penyerang makin berkurang, semangat tarung para murid padepokan makin meninggi.
Di sudut pelataran, Jalu Lampang masih berkutat seru dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal. ‘Tenaga Sakti Serigala Iblis’ makin menebal, demikian juga ‘Tenaga Sakti Singa Gunung’-nya Jalu Lampang, semakin memancarkan cahaya terang, seolah berusaha menerangi malam.
“Hyaaa ... !”
Si mata satu menyerang dengan kepalan tangan kanan lurus menyerang ke arah jantung, sambil tubuhnya melesat ke depan. Tangan kirinya menyusul dengan gerakan tangan membabat ke arah leher. Disusul dengan dengan tendangan tajam ke arah kemaluan. Si mata satu itu menamakan jurus ‘Tiga Jalan Darah Kematian’. Praktis, Jalu Lampang diserang dari tiga arah yang mematikan.
Jantung, leher dan kemaluan!
Sebagai seorang pendekar yang sudah malang melintang di rimba persilatan, pernah mencicipi asam garamnya pertarungan dan sakitnya luka, tidak membuat Jalu Lampang gugup menghadapi serangan mematikan itu.
Plaakk!
Kepalan tangan kanan ditepiskan ke arah luar, sedangkan tendangan ke arah kemaluan dihadang dengan kaki di tekuk di depan. Terdengar suara keras, seperti besi diadu dengan besi.
Draakk!
Susulan tangan kiri lawan di tahan dengan siku kanan untuk melindungi jantungnya yang terancam, namun serangan tangan kiri itu agak melenceng ke kiri, dan tepat mengenai dada Jalu Lampang yang tidak terlindungi.
Bukk! Dhess!!
Kedua jagoan itu terpental ke belakang sehabis beradu jurus dan juga beradu tenaga. Jalu Lampang merasakan dadanya terasa sesak dengan napas tersengal-sengal. Darah merah merembes keluar dari sudut bibirnya. Setelah mengalirkan hawa penyembuh luka serta mengatur napas beberapa saat, dadanya sudah agak longgar.
“Untung ada ajian ‘Kulit Singa’, kalau tidak mungkin dadaku sudah hancur berantakan saat kepalan si mata satu itu mengenai dadaku! Uh ... aku harus lebih hati-hati menghadapinya,” kata hati Jalu Lampang, sambil mengusap darah yang menetes di sudut bibirnya.
“Setan alas! Kuntilanak bunting! Kadal bengkak! Bocah itu cukup hebat! Tangan dan kakiku seperti tersengat bara panas dan rasa ngilu menusuk tulang. Ilmu apa yang dipakai bocah itu? Seharusnya dadanya jebol terkena ‘Tiga Jalan Darah Kematian’! Kadal bengkak,” gumam Serigala Hitam Bermata Tunggal, sedang matanya mencorong tajam, seperti mata serigala yang ingin menelan mangsa mentah-mentah.
“Bocah, kuakui kau cukup hebat! Jarang ada manusia yang bisa menahan ‘Tiga Jalan Darah Kematian’-ku dengan selamat! Aku yakin si tua bangka itu sudah menurunkan seluruh ilmunya padamu,” kata Serigala Hitam Bermata Tunggal.
“Hem, kau pun juga hebat, orang tua!” sahut Jalu Lampang. “Ilmu yang kau pakai barusan mengingatkanku pada seorang tokoh kosen golongan hitam yang bergelar Ratu Sesat Tanpa Bayangan. Ada hubungan apa kau dengannya?”
“Ha-ha-ha-ha, tidak percuma kau mengangkat nama sebagai Singa Jantan Bertangan Lihai. Otakmu memang seencer bubur, anak muda! Benar, aku dan dua saudaraku adalah murid si Ratu Sesat Tanpa Bayangan! Beliau pula pemimpin tertinggi Gerombolan Serigala Iblis. Dan, guruku pula yang menyuruhku kemari untuk menagih harta pusaka yang dibawa ayahmu. Aku yakin, kau sebagai anaknya pasti juga telah menerima warisan pusaka itu. Nah, serahkan benda itu padaku daripada kau mati sia-sia, anak muda,” jawab Serigala Hitam Bermata Tunggal.
“Huh, lagi-lagi harta pusaka! Melihat bentuknya pun belum pernah, apalagi kau malah menuduh aku yang memilikinya. Andaikata harta pusaka itu ada padaku, tak mungkin kuserahkan pada manusia sesat macam kalian,” sentak Jalu Lampang, yang ternyata di rimba persilatan digelari Singa Jantan Bertangan Lihai.
“Keparat busuk! Babi bunting! Makan tinju mautku ini!”
Setelah memaki keras, Serigala Hitam Bermata Tunggal menghentakkan kaki ke tanah, lalu tubuh tinggi besar itu mencelat ke atas. Dari atas, kedua belah tangannya yang mengepal saling dibenturkan satu sama lain, sehingga terdengar benturan keras beberapa kali, lalu kedua tangan mengepal itu berubah menjadi merah membara seperti bara api yang menyala-nyala. Saat itu pula, Serigala Hitam Bermata Tunggal sudah mengerahkan ilmu tertingginya yang bernama ‘Tinju Serigala Meraung’!
Dhuarr! Dhuarr! Dhuarr!
Terdengar suara ledakan keras berkali-kali mengiringi meluncurnya tubuh Serigala Hitam Bermata Tunggal. Setelah itu, tampak sepasang tinju itu didorongkan ke depan saling bergantian susul-susul diikuti dengan tubuh besarnya menerjang ke arah Singa Jantan Bertangan Lihai. Mulutnya meraung keras seperti suara serigala lapar.
“Auunnggg!”
Jalu Lampang atau si Singa Jantan Bertangan Lihai tidak mau mati konyol begitu saja. Tubuhnya sedikit merendah dengan kedua kaki membentuk kuda-kuda kokoh, seperti singa yang sedang mendekam menanti mangsa. Kemudian tangan kiri dan kanan saling bergesekan sehingga menimbulkan suara menyayat yang berkepanjangan.
Sreett! Srett!
Setelah itu kedua belah tangan itu memendarkan cahaya hijau pupus, yang makin lama makin menebal diikuti hawa dingin yang menyengat. Lalu kedua tangan itu diputar sedemikian rupa membentuk gumpalan bola cahaya hijau pupus yang makin lama makin membesar. Itulah ilmu sakti khas Padepokan Singa Lodaya.
Ilmu ‘Telapak Singa Murka’!
Saat itu, ‘Tinju Serigala Meraung’ yang dilancarkan Serigala Hitam Bermata Tunggal hanya berjarak satu setengah tombak dari Jalu Lampang, namun hawa panasnya terasa menyengat kulit dan memedihkan mata. Jalu Lampang segera menghentakkan kedua belah tangannya ke atas, ke arah serangan yang membersitkan hawa panas tersebut berasal. Bola cahaya hijau pupus itu terlontar ke atas.
Plakk! Plakk! Bhlarr ... ! Bhlarr ... ! Dharr ... !!!
Sekitar tempat itu bagai diguncang prahara disertai luapan hawa panas dan dingin silih berganti di saat ‘Tinju Serigala Meraung’ bertemu dengan ‘Telapak Singa Murka’. Semua orang yang berada di tempat itu terpelanting sambil merasakan sengatan hawa panas dan dingin yang silih berganti karena pengaruh dari benturan keras itu. Debu beterbangan menutupi pandangan mata hingga pertarungan berhenti untuk sesaat lamanya.
Mereka semua merasakan tanah tempat berpijak berguncang keras seperti terkena gempa dahsyat. Ki Ageng Singaranu melesat ke luar sambil menyambar Salindri dan Srinilam karena pendapa tempatnya menonton pertarungan, berderak-derak keras dan kemudian runtuh.
Drakk! Drakk! Drakk! Brroolll! Brumm ... !!!
Saat Ki Ageng Singaranu berhenti di tempat yang aman, barulah Salindri teringat sesuatu. Matanya mencari-cari sesuatu, namun yang dicari tidak ada. Yaitu anaknya, Paksi Jaladara!
“Paksi?! Paksi dimana, Ayah? Dimana Paksi?!”
“Aduuuhh, aku sampai lupa! Dia masih di pendapa!” kata Ki Ageng Singaranu, sambil menepak jidatnya keras-keras. Kakek itu segera melesat kembali ke pendapa, lalu tangan kurusnya bergerak lincah membongkar reruntuhan pendapa sambil mulutnya berteriak-teriak memanggil cucunya. Rasa panik terpancar jelas di wajahnya.
“Paksi, kau dimana Nak? Jawab! Ini kakek!”
Tiba-tiba terdengar suara dari atas ...
“Kek, Paksi disini! Disini! Lihat ke atas!”
Ki Ageng Singaranu segera menghentikan kegiatannya. Kepala mendongak ke atas, mencari tempat dimana suara itu berasal. Matanya melotot melihat kejadian yang menurutnya sangat tidak masuk akal!
“Jagat Dewa Bathara!”
Paksi tampak menggerakkan tangan ke atas ke bawah, seperti sayap burung! Tubuh kecilnya tampak mengambang di angkasa, lalu berputar-putar kesana kemari sambil tertawa terkekeh-kekeh. Di sampingnya tampak elang putih keperakan terbang mengiringi sang majikan muda. Bocah berikat kepala merah itu melayang-layang seperti layaknya seekor elang!
“Mustahil! Tidak mungkin ini terjadi!”
Kakek itu mengucal-ucal mata tuanya, namun yang dilihat tetap sama. Saat itu pula, Gineng juga menoleh, di saat mendengar Nyi Salindri memanggil-manggil nama si bocah. Matanya jelalatan mencari sosok bocah berikat kepala merah. Setelah ketemu, matanya terpana melihat kejadian ganjil yang terpampang di depan mata.
“Den Paksi ternyata tidak bohong! Dia ternyata bisa melayang dia udara, seperti yang dikatakannya tempo hari,” gumam Gineng, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Paksi Jaladara lalu berputaran di udara beberapa kali, dan mendarat di tanah dengan selamat!
Pada saat itu pula, setelah guncangan dahsyat itu berhenti, tampak dari kepulan debu yang mulai menipis, dua sosok tubuh manusia berdiri tegak. Pertarungan antara Singa Jantan Bertangan Lihai dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal sudah mendekati detik-detik terakhir. Benturan keras tadi secara langsung menerpa mereka berdua, karena dari merekalah asal ledakan keras itu terjadi. Keduanya masih berdiri tegak dengan sikap saling serang. Kepalan tangan Serigala Hitam Bermata Tunggal yang tadi melancarkan ‘Tinju Serigala Meraung’ memberikan jejak luka biru lebam kehitaman di dada Singa Jantan Bertangan Lihai, membentuk lekukan yang cukup dalam. Dari sudut bibir Jalu Lampang menetaskan darah kental kehitaman, pertanda luka dalam yang cukup parah. Tubuhnya gemetar menahan rasa sakit yang mendera.
“Hoekkh!”
Darah kental berwarna hitam akhirnya termuntahkan keluar dari dalam mulut. Beberapa saat kemudian, tubuhnya limbung dan ...
Brughh!
Tubuh kekar itu akhirnya jatuh pingsan akibat jejak luka yang dibuat lawan. Darah masih terus menetes keluar diiringi dengan sentakan-sentakan kecil tubuhnya, meskipun laki-laki itu dalam keadaan pingsan.
Sementara itu, keadaan Serigala Hitam Bermata Tunggal tidak kalah parahnya dengan Jalu Lampang. Di dada sebelah kiri, terlihat jejak luka merah kehitaman akibat terkena pukulan ‘Telapak Singa Murka’ yang dilancarkan oleh Singa Jantan Bertangan Lihai. Luka itu membentuk lekukan telapak tangan yang cukup dalam di dada kiri. Langkah kakinya sempoyongan mendekati tubuh pingsan sang lawan. Darah pun menetas dari sudut bibirnya.
“He-he-he, aku men ... me ... nang! Kau kalah ... an ... nak mud ... da ... ”
Tubuh si mata satu itu akhirnya juga limbung dan akhirnya ...
Bruugh!
Serigala Hitam Bermata Tunggal juga akhirnya menyusul ambruk, berseberangan dengan Singa Jantan Bertangan Lihai. Dari lima lobang di wajahnya, darah memancar keluar seperti air mengalir. Tubuh kekar itu berkelojotan meregang nyawa. Beberapa saat kemudian, diam tak bergerak sama sekali.
Mati!
Rupanya pukulan ‘Telapak Singa Murka’ tepat bersarang di bagian jantung, membuat jantung hancur dari dalam tanpa disadari yang bersangkutan. Sedangkan Jalu Lampang masih bernapas, walau satu-satu dan agak tersengal-sengal. Darah kental menetes terus dari sudut bibirnya.
Semua mata memandang dua sosok tubuh yang tergeletak itu dengan terpana. Bengong, tidak tahu harus berbuat apa. Dua sosok manusia yang semula saling cakar-cakaran dan berusaha saling menjatuhkan, kini diam tak bergerak. Suasana kembali lengang disebabkan pertarungan berhenti, namun tidak berhenti sepenuhnya.
Beberapa murid Padepokan Singa Lodaya mendekati Singa Jantan Bertangan Lihai, lalu mengangkat tubuh pingsan itu ke samping beranda, di mana ketua Padepokan Singa Lodaya, Salindri dan Srinilam berada. Setelah sampai, laki-laki tua itu segera menyambut tubuh anaknya, menotok jalan darah untuk menghentikan pendarahan dan melakukan proses pengobatan untuk memulihkan kondisi Jalu Lampang atau yang dikenal sebagai Singa Jantan Bertangan Lihai.
Di lain tempat, kancah sabung nyawa terpecah menjadi dua bagian. Yaitu pertarungan sengit antara Tangan Kilat Kaki Bayangan dengan dua murid utama Padepokan Singa Lodaya, sedangkan di sisi lain, Ki Ragil Kuniran masih berkutat seru dengan Cakar Iblis Taring Serigala.
Seperti di komando, dua golongan yang pada mulanya berseteru, kini menepi ke sisi yang berlainan. Sisa pengikut Gerombolan Serigala Iblis yang kini berjumlah puluhan orang tampak menepi ke arah pintu gerbang, seakan siap mengambil langkah seribu jika keadaan sudah tidak memungkinkan untuk bertahan atau pun melawan. Tidak ada sorak sorai seperti ketika tadi mereka datang dengan menjebol pintu gerbang. Ada yang terluka parah, ada pula yang luka ringan, tapi jumlah yang tewas lebih banyak lagi. Mereka yang biasanya selalu mengantongi kemenangan jika berkelahi atau menyerang padepokan atau perguruan silat lainnya, sekarang ketemu batunya.
Jika biasanya lawan sekali tebas langsung tewas, tapi kini dengan sekali tebas, lawan bukannya tewas atau terluka, tapi balik balas menebas dengan beringas, karena para murid itu rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan dan juga mengandalkan ilmu kebal.
Sementara itu, pertarungan di sisi lain ternyata masih kedot.
Pulanggeni menyerang bagian bawah dengan cakar terkembang diikuti dengan sepakan kaki bertenaga kuat, sedangkan Galang Seta menyerang bagian atas tinju tergenggam diiringi dengan tendangan berputar yang saling susul-susul menggempur lawan. Pertarungan pamungkas akan segera terjadi karena ke dua belah pihak telah mengeluarkan jurus atau ilmu andalan mereka.
Jdhar! Dharr! Dharr ... !
Terdengar ledakan keras berturut-turut yang menggetarkan jantung, ketika Tangan Kilat Kaki Bayangan yang menggelar ‘Tendangan Berantai Serigala Meraung’ bertemu langsung jurus ‘Sepasang Singa Menggencet Tebing’ salah bagian Ilmu Silat ‘Singa Gunung’ yang dikembangkan secara berpasangan oleh dua murid utama Padepokan Singa Lodaya yang digunakan untuk menyerang dari atas dan bawah.
“Aaahhh ... !”
Tangan Kilat Kaki Bayangan terpental dengan jerit kesakitan yang menyayat. Tubuh kurus menjulai itu terlempar dan membentur tembok dengan keras.
Drugghh! Brugghh!
Tubuh kurus itu tersandar di tembok dengan napas tersengal-sengal. Darah kental menetes dari sudut bibir dan akhirnya mengalir membasahi baju hijau tua di bagian dada. Kaki kanannya tampak gembung merah kebiruan, karena tersambar jurus lawan. ‘Tendangan Serigala Meraung’ yang dikerahkan serta dilambari dengan ‘Tenaga Sakti Serigala Iblis’ kalah telak!
Pulanggeni yang menyerang bagian bawah lawan dengan cakar terkembang, juga ikut terpental karena daya ledak yang begitu keras menyambar tubuhnya. Tubuh pemuda berbaju hitam itu terbanting ke tanah dengan keras sambil bergulingan beberapa tombak jauhnya dan langsung memuntahkan darah segar.
“Hoekhh ... “
Kedua tangannya bengkak kebiruan, karena ‘Tendangan Serigala Meraung’ yang dilepaskan lawan, memang berbenturan langsung dengan tangannya saat jurus ‘Sepasang Singa Menggencet Tebing’ dikerahkan dengan pengerahan hawa ‘Tenaga Sakti Singa Gunung’ secara maksimal. Akan halnya Galang Seta, dia hanya terpental ke belakang, namun masih bisa menguasai diri dengan cara jungkir balik beberapa kali dan bisa berdiri dengan tegak di tanah. Tangan kirinya sedikit bengkak kehitaman, karena berbenturan keras dengan tulang kaki lawan yang dilambari ‘Tenaga Sakti Serigala Iblis’.
Galang Seta langsung memburu kawannya yang terkapar sambil muntah darah.
 
Bab 7

“Pulanggeni, bagaimana keadaanmu?” tanya Galang Seta, dengan khawatir.
Tangannya segera menyangga kepala Pulanggeni, lalu jari-jari tangannya dengan lincah menotok beberapa jalan darah di dada dan beberapa bagian tubuh Pulanggeni. Beberapa saat kemudian, Pulanggeni membuka mata, lalu berkedip-kedip.
Galang Seta hanya tertawa melihat tingkah sahabat karibnya.
“Aku tidak apa-apa, sobat! Cuma sedikit terluka,” gurau Pulanggeni, untuk menenangkan hati Galang Seta.
“Tidak apa-apa kepalamu soak! Terkapar begini dibilang tidak apa-apa ... ” maki Galang Seta.
Sementara itu, keadaan lawan pun lebih parah dari mereka berdua, karena darah terus saja mengalir seperti anak sungai.
“Kurang ajar! Kalian berdua telah mempermalukan si Tangan Kilat Kaki Bayangan! Rasakan pembalasanku!” pikir si cecak kering.
Sebuah pikiran licik melintas di benaknya, cara yang biasa dimiliki orang-orang golongan sesat saat dalam keadaan terdesak. Tangan Kilat Kaki Bayangan meraba pinggang, dimana terselip dua bilah pisau terbang yang sengaja disembunyikan jika dalam keadaan terdesak oleh lawan. Matanya yang cekung memandang lawan dengan beringas, untuk melihat kelengahan lawan.
Perbuatan curang Tangan Kilat Kaki Bayangan yang ingin membokong, tidak lepas dari penglihatan Gineng. Mata pemuda remaja berbaju buntung itu melihat gerak-gerik orang ketiga dari Gerombolan Serigala Iblis yang mencurigakan. Matanya bergantian memandang tokoh sesat itu dengan dua murid utama Padepokan Singa Lodaya.
“Pasti dia mau melakukan sesuatu yang licik. Lebih baik, aku awasi saja dia!” pikir Gineng.
Ketika tangan kanan yang memegang dua bilah pisau terbang itu terangkat ke atas siap disambitkan ke arah Galang Seta dan Pulanggeni, Gineng pun melakukan gerakan yang sama. Pemuda remaja itu juga menyambitkan pisau panjangnya, dengan jurus ‘Pisau Lepas Dari Tangan’ ke arah Tangan Kilat Kaki Bayangan, diiringi bentakan keras, “Dasar manusia licik!”
Wuttt!! Syutt!
Pisau panjang itu melesat membelah udara, mengeluarkan desingan keras yang membuncah karena dilandasi dengan kekuatan tenaga dalam pemuda remaja itu.
Terlambat!
Bersamaan dengan itu, pisau terbang di tangan orang ketiga dari Gerombolan Serigala Iblis itu juga telah melesat, ke arah Galang Seta dan Pulanggeni dengan kecepatan kilat!
Wushh! Weessh!!
Crapp! Trakk! Trakk ... !
“Ugh!”
Terdengar lenguhan pendek, bukan dari mulut Galang Seta atau Pulanggeni, tapi dari mulut si Tangan Kilat Kaki Bayangan!
Di bagian leher laki-laki kurus itu, tertancap pisau panjang yang dilemparkan Gineng, hingga amblas sampai ke gagangnya. Bahkan saking kerasnya tenaga sambitan jurus ‘Pisau Lepas Dari Tangan’, membuat tubuh Tangan Kilat Kaki Bayangan ikut terseret beberapa tombak, lalu menancap di balok kayu tempat dimana biasanya mengikatkan kuda.
“Khu ... khu ... eghhh ... ”
Tangan kurus itu berusaha mencabut pisau panjang yang menembus leher, hingga terdengar seperti suara orang mengorok keras. Beberapa saat kemudian, diam tanpa bergerak sedikit pun dengan mata melotot liar!
Si Tangan Kilat Kaki Bayangan rupanya melupakan salah satu kelebihan murid-murid Padepokan Singa Lodaya, yaitu ilmu kebal ajian ‘Kulit Singa’, yang juga dikuasai oleh Galang Seta dan Pulanggeni. Ajian ‘Kulit Singa’ adalah ilmu kebal dari segala macam senjata tajam mau pun tumpul, juga bisa memantulkan hawa tenaga dalam lawan. Selama lawan memiliki tenaga dalam lebih rendah dari pemilik ajian ‘Kulit Singa’ atau setidaknya setara dengan lawan, ajian ‘Kulit Singa’ akan tetap berfungsi dan selama lawan tidak menggunakan senjata pusaka, maka ajian ‘Kulit Singa’ akan bisa melindungi sang pemilik.
Karena Tangan Kilat Kaki Bayangan tidak menggunakan senjata pusaka, meski hawa tenaga dalam yang dmilikinya setara dengan yang dimiliki dua lawannya, namun lemparan pisau terbang itu terpental, seperti membentur tembok tebal saat mengenai punggung dan pinggang dua pemuda lawannya. Apalagi sudah dalam keadaan terluka dalam yang parah, membuat tenaga lemparan pisau terbangnya tidak sekuat kalau dalam keadaan sehat.
“Terima kasih, kawan!”
“Sama-sama!” sahut Gineng dari kejauhan.
Pemuda remaja itu melentingkan tubuh berjumpalitan di udara beberapa kali mendekati mayat si Tangan Kilat Kaki Bayangan.
Jleg!
“Heh, orang jahat sepertimu sudah sepantasnya di kirim ke neraka!” ucap Gineng.
Tangan kanannya terulur menangkap gagang pisaunya, lalu ditarik dengan satu sentakan cepat.
Sett! Brugh!
Saat pisau panjang itu tercabut dari leher, bersamaan itu pula tubuh Tangan Kilat Kaki Bayangan terperosot jatuh ke tanah. Mata orang ke tiga dari Gerombolan Serigala Iblis itu melotot besar, seakan tidak terima dengan kematian yang dihadapi.
Kemudian Gineng membersihkan pisau panjangnya dan menyelipkan di pinggang kiri sambil melangkah menghampiri Galang Seta dan Pulanggeni. Galang Seta dan Gineng lalu memapah Pulanggeni ke tepi kancah pertarungan, dimana Ki Ageng Singaranu sedang mengobati Singa Jantan Bertangan Lihai yang juga terluka parah akibat bertempur dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal.
Praktis, hanya pertarungan Ki Ragil Kuniran dengan si Cakar Iblis Taring Serigala yang tersisa. Kedua orang itu masih ingkel-ingkelan dengan alot. Tendangan dan pukulan datang silih berganti. Cakar Iblis Taring Serigala menerjang cepat dengan senjata Cakar Serigala diiringi dengan teriakan keras memekakkan telinga.
“Hyaaa ... heyyyaa ... !”
Trang! Tring! Crangg!
Terdengar dentingan besi beradu saat sepasang pisau panjang di tangan lurah desa Watu Belah itu menahan serangan kilat lawan. Kaki kiri Ki Ragil Kuniran berputar ke depan dan ...
Buuukk!
Sebuah tendangan berputar tepat mengenai pelipis kanan Cakar Iblis Taring Serigala, yang langsung terjajar ke samping. Di saat tubuhnya terpelanting, Cakar Iblis Taring Serigala masih sempat mengibaskan senjata Cakar Serigala di tangan kanannya ke arah lengan lawan.
Cratt!
Darah kental kehitaman mengucur dari bekas sambaran senjata berbentuk cakar itu. Laki-laki itu mengernyitkan alis, menahan rasa ngilu yang tiba-tiba menjalar lewat jalan darah di bekas luka cakaran, terus menjalar naik sampai bagian bahu.
“Racun ganas ... ” gumamnya. “ ... cepat sekali menjalarnya ... ”
Ki Ragil Kuniran segera meloncat mundur, lalu menotok jalan darah di lengan dan bahunya untuk menghentikan jalannya racun menuju jantung.
Cakar Iblis Taring Serigala sempat melirik ke arah samping. Pandang matanya melihat Serigala Hitam Bermata Tunggal tergeletak diam entah hidup entah mati dan Tangan Kilat Kaki Bayangan yang terbujur kaku dengan jejak luka berdarah di bagian leher.
“Kurang ajar! Dua saudaraku telah tewas, sedangkan anak buahku pun kocar kacir tak karuan! Keadaan ini tidak menguntungkan bagiku. Kalau aku tetap di sini, kemungkinan tewas lebih besar. Lebih baik aku mundur dulu. Padepokan Singa Lodaya benar-benar kuat. Kalian harus membayar penghinaan ini suatu saat nanti!” bathin laki-laki kurus bermuka tikus itu. “Guru yang katanya akan ikut membantu, sampai sekarang tidak kelihatan batang hidungnya. Brengsek! Lebih baik aku lari saja dari sini. Persetan dengan mereka semua!”
Dua bola mata laki-laki itu bergerak lincah persis mata pencuri yang tertangkap basah. Lirik sana lirik sini, berusaha mencari celah yang bisa diterobos keluar. Belum sempat murid ke dua si Ratu Sesat Tanpa Bayangan beranjak dari tempatnya, tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar laksana petir di siang hari yang memecah kesunyian.
“Singaranu! Berani sekali kau mengusik murid-muridku! Siapa pun yang berani mengusik tiga murid kesayanganku, harus berhadapan dengan Ratu Sesat Tanpa Bayangan!”
Entah dari mana datangnya, sesosok perempuan tua bertubuh bongkok berbaju batik kembang-kembang sudah berdiri di atas genting. Rambut putih riap-riapan berkibar-kibar tertiup angin. Di tangan kiri tergenggam tongkat hitam melengkung dari bangkai ular kobra, yang panjangnya sama tinggi dengan tubuh nenek bongkok itu. Tubuhnya kurus kering, seakan hanya tulang terbalut kulit saja, sedang daging yang ada hanya ala kadarnya saja. Matanya bersinar-sinar menyorotkan kekejaman tiada tara. Nenek bongkok bertongkat ular itu dulunya seorang perempuan jelita meskipun umurnya sudah tidak muda lagi, juga merupakan salah datuk hitam berilmu tinggi dari Pulau Nusa Kambangan. Kehebatan ilmunya bisa disejajarkan dengan Ki Ki Dirgatama, seorang tokoh golongan putih yang juga sekaligus guru dari Ki Ageng Singaranu.
Pada masa itu, wanita yang bergelar Ratu Sesat Tanpa Bayangan merupakan momok menakutkan bagi dunia persilatan. Hanya dengan menyebut namanya saja, sama artinya dengan mengantar nyawa. Belum lagi dengan Serikat Ular Iblisnya, yang sering berbuat kejahatan dimana-mana, bahkan kejahatan dan kekejiannya sampai terdengar menyeberang ke Pulau Andalas mau pun ke Pulau Borneo yang letaknya di seberang lautan. Membunuh, merampok, bahkan melakukan hal-hal biadab sudah merupakan kebiasaan yang menyenangkan bagi Serikat Ular Iblis dan juga Ratu Sesat Tanpa Bayangan.
Selain terkenal dengan kekejamannya, nenek itu juga memiliki ilmu awet muda sehingga tubuhnya tetap singset dan menggiurkan bagi setiap laki-laki yang memandangnya. Jika ditanya, dukun teluh terhebat di rimba persilatan, maka akan menunjuk tokoh ini sebagai ahlinya. Dengan ilmu ‘Teluh Ireng’ yang sangat diandalkannya, jarang ada tokoh persilatan yang bisa hidup jika sudah terserang ilmu teluh itu, belum lagi dengan ilmu ‘Tongkat Selaksa Maut Selaksa Siksa’ dan ‘Tinju Serigala Meraung Tanpa Bayangan’ juga merupakan salah satu ilmu sakti di rimba persilatan, dimana setiap kibasan mau pun sambaran anginnya yang mengeluarkan racun maut bisa mendatangkan maut bagi siapa saja, apalagi kalau terkena telak, pasti nyawa akan merat saat itu juga. ‘Tinju Serigala Meraung Tanpa Bayangan’ dilatih dengan merendam diri dalam gentong besi yang didalamnya penuh berisi ribuan racun tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan berbisa. Tak jarang pula beberapa binatang langka yang berbisa digunakan untuk berlatih ilmu ini. Bisa dikatakan bahwa ilmu ‘Tinju Serigala Meraung Tanpa Bayangan’ adalah rajanya pukulan beracun.
Apalagi ditambah hawa ‘Tenaga Sakti Serigala Iblis’ yang dimilikinya juga sudah mencapai tataran tak tertandingi oleh siapa pun di dunia persilatan saat itu. Itulah yang menjadikannya menggelari diri sebagai Ratu Sesat Tanpa Bayangan. Sehingga kepongahan dan kesombongan semakin menjadi-jadi.
Namun, setinggi-tingginya ilmu seseorang, masih ada yang bisa melebihinya. Seperti kata pepatah ‘diatas langit masih ada langit’, Ratu Sesat Tanpa Bayangan akhirnya kena batunya juga. Saat dia berjumpa dengan tokoh sakti yang berjuluk si Elang Berjubah Perak yang waktu itu sedang berjalan bersama sahabatnya Ki Dirgatama yang menyandang gelar Singa Putih Berhati Iblis, berada di sebelah utara pulau Nusa Kambangan, setelah mengunjungi salah satu tokoh golongan putih dari pulau Nusa Laut.
Merasa dirinya hebat dan tanpa tanding di kolong langit, wanita iblis itu menantang dua tokoh golongan putih itu dan akhirnya terjadi perkelahian yang berlangsung ratusan jurus dan berakhir dengan kekalahan Ratu Sesat Tanpa Bayangan di tangan si Elang Berjubah Perak. Seluruh ilmu silat, ilmu sihir dan juga hawa ‘Tenaga Sakti Serigala Iblis’-nya dikeluarkan sampai tahap terakhir, tetap tidak bisa menggoyahkan posisi lawan.
Bahkan Singa Putih Berhati Iblis dengan berani mendatangi seorang diri sarang Serikat Ular Iblis di Nusa Kambangan saat terjadi duel antara si Elang Berjubah Perak dan Ratu Sesat Tanpa Bayangan, akhirnya perserikatan pembawa bencana itu tumpas tapis tanpa sisa di tangan Singa Putih Berhati Iblis yang saat itu masih senang-senangnya menambah pengalaman pertarungan dan tentu saja karena masih berjiwa muda. Setengah harian dia membantai orang-orang Serikat Ular Iblis, saat dia kembali ke pertarungan si Elang Berjubah Perak dan Ratu Sesat Tanpa Bayangan, nampak olehnya tokoh sesat itu mengiba-iba minta dibiarkan hidup!
Oleh si Elang Berjubah Perak, Ratu Sesat Tanpa Bayangan diampuni asal mau bertobat dan tidak mau mengulangi perbuatan jahatnya lagi. Namun, hal itu ditentang oleh Ki Dirgatama yang selalu berpedoman bahwa mencabut rumput harus sampai ke akar-akarnya. Pemuda itu berkeyakinan, bahwa setiap tokoh hitam pasti lain di mulut lain pula di hatinya.
Setelah berpikir sejenak, si Elang Berjubah Perak berketetapan bahwa dia tetap ingin mengampuni Ratu Sesat Tanpa Bayangan, namun seluruh ilmu yang dimilikinya harus dimusnahkan agar tidak disalahgunakan lagi.
Mendengar hal itu, Ratu Sesat kaget bukan alang kepalang! Mati dalam pertarungan bagi seorang pendekar bukan suatu masalah, tapi terlunta-lunta di dunia persilatan tanpa ilmu yang disandangnya, merupakan aib dan momok menakutkan bagi para pendekar. Wanita cantik itu melolong-lolong minta dibunuh daripada jadi orang cacat tanpa ilmu.
Namun apa yang diucapkan Elang Berjubah Perak pantang ditarik kembali. Seluruh ilmu Ratu Sesat itu akhirnya dimusnahkan semua dan berubahlah ia menjadi orang biasa tanpa ilmu. Namun itu tidak memuaskan Ki Dirgatama, masih ditambahi dengan dipotongnya daun telinga kiri dan ruas tulang leher bagian belakang Ratu Sesat ditarik satu jengkal ke atas sehingga tubuhnya menjadi bongkok, sehingga mirip orang lanjut usia. Kecantikan yang dibangga-banggakan, luntur seiring dengan berjalannya waktu. Hinaan dan cercaan setiap orang diterimanya dengan hati penuh dendam. Hingga sampai di tempat tinggalnya, di pulau Nusa Kambangan. Ia melihat seluruh anak buahnya mati bergelimpangan di dalam sarangnya, tak satu pun yang masih bernapas sama sekali. Hatinya makin pedih dan membuatnya berteriak-teriak seperti orang gila, dendamnya pun semakin menjulang tinggi, kalau perlu sampai tembus ke langit!
Ratu Sesat Tanpa Bayangan yang kini telah cacat dan berubah menjadi nenek tua renta, dendam setengah mati pada Elang Berjubah Perak dan terutama sekali pada Ki Dirgatama yang telah membuatnya cacat seumur hidup, menjadi manusia bongkok untuk selamanya. Dia bersumpah akan membalas sakit hatinya suatu saat nanti. Dendamnya sedalam lautan setinggi gunung dan memuncak sampai ke ubun-ubun. Nenek bongkok itu pun kembali menggembleng diri, meski dengan susah payah karena setiap melatih ilmunya yang sudah musnah, tulang punggungnya terasa nyeri sekali.
Tanpa terasa, empat puluh tahun telah berlalu tanpa terasa. Ilmu sakti yang dulu musnah, kini dimilikinya kembali meski hanya separo saja. Namun itu sudah cukup menggegerkan dunia persilatan karena seluruh sepak terjangnya yang ngedap-edapi dilandasi dengan dendam membara. Dan ia kembali membentuk perkumpulan baru yang lebih jahat dari Serikat Ular Iblis, disebutnya sebagai Gerombolan Serigala Iblis.
Kini, tokoh hitam pada masa puluhan tahun silam itu hadir di Padepokan Singa Lodaya. Pesona maut menebar kemana-mana, siap mengantar siapa saja menuju ke neraka. Matanya jelalatan mencari-cari sesuatu. Pandang mata liar itu bersirobok dengan dua orang yang tergeletak agak berjauhan letaknya.
“Guru!” seru Cakar Iblis Taring Serigala, saat melihat perempuan tua itu adanya.
“Murid ******! Menghadapi singa ompong saja sudah keok! Cepat urus kedua saudaramu!”
“Baik, Guru!”
Cakar Iblis Taring Serigala segera beringsut ke arah Tangan Kilat Kaki Bayangan dan mengangkat lalu meletakkan di pundak kiri, seperti meletakkan seonggok karung beras. Setelah itu berjalan ke arah Serigala Hitam Bermata Tunggal dan dengan cara yang sama, tapi diletakkan ke pundak kanan. Kemudian laki-laki itu berjalan keluar, diikuti para anak buah yang kini tinggal beberapa puluh orang saja.
“Ratu Sesat Tanpa Bayangan,” gumam Ki Ageng Singaranu, saat mengetahui siapa adanya nenek rambut putih riap-riapan itu.
Orang pertama dari Padepokan Singa Lodaya itu beringsut maju ke depan, sedangkan Salindri dan Srinilam dibantu beberapa orang murid, menggotong tubuh Jalu Lampang atau yang berjuluk Singa Jantan Bertangan Lihai menyingkir dari situ. Meski sudah lolos dari maut, namun tenaga sakti laki-laki kekar itu sudah terkuras habis saat bertarung dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal.
Ki Ragil Kuniran yang sebelumnya terkena racun, kini sudah mempersiapkan diri di belakang Ki Ageng Singaranu. Kepala Desa Watu Belah itu berjaga-jaga jika Ratu Sesat Tanpa Bayangan tidak hanya datang sendirian, tapi membawa bala bantuan yang mungkin saat ini bersembunyi entah dimana.
Matanya tajam mengitari sekitarnya.
“Ratu Sesat ... aku tidak mengusik muridmu, tapi merekalah yang memulai terlebih dahulu. Aku dan murid-muridku hanya membela diri ... ”
“Aaaahh ... sama saja! Siapa yang memulai, aku tidak peduli! Tua bangka macam kau ini memang harus dihajar agar tahu adat, bicara dengan orang yang lebih tua harus lebih sopan!” potong nenek berambut putih riap-riapan dengan cepat itu.
“Nenek rambut putih, yang tidak sopan itu siapa? Kau atau ayahku? Berbicara dengan orang harus duduk sama rendah berdiri sama tinggi! Tidak seperti kau! Petantang-petenteng seperti orang gila!” bentak Ki Ragil Kuniran.
“Bangsat kudisan! Siapa kau, hah ... ? Berani sekali menasehati aku!?! Memangnya aku ini siapamu? Aku ini apamu!?” balas bentak Ratu Sesat Tanpa Bayangan. Sambil berkata, tangan kanannya bergerak pelan melambai ke depan.
Dalam pada itu, serangkum angin tanpa wujud melesat cepat ke arah Ki Ragil Kuniran. Ketajaman rasa Ki Ageng Singaranu merasakan datangnya desiran angin tajam yang mendekat cepat, lalu segera mengibaskan telapak tangan ke depan dengan cepat.
Deb! Deb! Bluuub!
Terdengar suara letupan saat dua serangan tanpa wujud bertemu di udara. Meski letupan itu tidak begitu keras, namun telinga semua yang ada di situ terasa seperti ditusuk-tusuk jarum, bahkan beberapa orang sampai berdiri tergontai-gontai menjaga keseimbangan tubuhnya. Ketua Padepokan Singa Lodaya hanya bergeser setengah tindak dari tempatnya berdiri.
“Hi-hi-hi-hik ... tua bangka! Ternyata kau masih kedot juga. Coba terima seranganku berikut ini ... ”
Selesai berkata, nenek itu memutar-mutar tongkat ular kobra di atas kepala, sehingga menimbulkan suara dengungan yang semakin lama semakin keras. Putaran tongkat itu mengakibatkan udara di sekitar tempat menjadi mampat dan terasa semakin panas, seperti adanya himpitan kekuatan raksasa. Beberapa saat kemudian, secara perlahan namun pasti, udara seolah-olah semakin menipis, membuat orang-orang yang sejarak delapan tombak dari tempat Ratu Sesat Tanpa Bayangan berdiri, kesulitan bernapas. Andai ilmu yang dimiliki nenek sakti itu setara empat puluh tahun silam, kemungkinan jarak jangkauan udara mampat dan panas bisa mencapai puluhan tombak jauhnya dan hawa panas yang ditebarkan bisa puluhan kali lebih panas.
“Nilam, singkirkan suamimu dari sini! Salindri, suruh anak-anak mundur sejauh mungkin ... ”
Ki Ageng Singaranu segera mempersiapkan diri mengetahui lawan langsung mengerahkan ilmu kesaktian tingkat tinggi. Ke dua belah tangannya terentang lurus ke kanan kiri tubuhnya. Kemudian diputar bersilangan satu sama lain, hingga membentuk semacam gerakan memutar bola di depan dada. Kedua belah tangan itu saling berkutatan seakan-akan sedang memutar-mutar sesuatu. hawa tenaga dalam bernuansa dingin membeku tercipta bersamaan dengan munculnya cahaya putih kebiru-biruan membentuk gumpalan bola padat yang semakin lama semakin membesar. hawa panas pun saling tindih dengan hawa dingin.
Gumpalan bola itu ditarik ke samping ke kanan, lalu dengan diiringi hentakan kaki kiri serta teriakan membahana, si Dewa Singa Tangan Maut melontarkan gumpalan bola putih kebiru-biruan itu ke arah nenek yang sedang memutar-mutar tongkat ular kobra.
Weeeshh! Weeeshh ... !
“Jurus ‘Salju Menggulung Badai’!” seru nenek iblis itu.
Nenek sakti yang berjuluk Ratu Sesat Tanpa Bayangan sangat mengenali jurus yang dikeluarkan oleh lawan. Karena jurus ‘Salju Menggulung Badai’ adalah salah satu jurus andalan Ki Dirgatama, musuh besarnya. Dengan ilmu itu pulalah, seluruh anggota Serikat Ular Iblis tewas mengenaskan dengan tubuh beku terbungkus serbuk-serbuk putih akibat lontaran jurus ‘Salju Menggulung Badai’-nya Singa Putih Berhati Iblis. Kini, jurus itu kembali digelar di hadapannya, kali ini oleh salah satu murid si Singa Putih Berhati Iblis.
Ratu Sesat Tanpa Bayangan semakin gencar meningkatkan tenaga dalamnya. Saat gumpalan putih kebiru-biruan itu semakin mendekat, tongkat ular kobra itu segera memutar dengan cepat, mengerahkan jurus ‘Ular Kobra Menyergap Mangsa’, salah satu bagian dari ‘Tongkat Selaksa Maut Selaksa Siksa’!
Crett!! Cratt!!
Dari kepala tongkat, keluar cahaya merah berkelok-kelok seperti ular merayap memapaki serangan Ki Ageng Singaranu.
Breesshh! Bushh ... !
Terdengar suara letupan seperti bertemunya air dan api. Masing-masing pihak merasakan betapa dahsyatnya serangan lawan. Sengatan hawa panas dan dingin saling menerpa satu sama lain. Ki Ageng Singaranu merasakan hawa panas menyengat di sekujur tubuh hingga dari luar tampak merah membara, sedangkan Ratu Sesat Tanpa Bayangan dikungkung hawa sedingin salju hingga di sekujur tubuhnya tampak tertutup serbuk-serbuk putih.
“Heeeaaaa ... ”
Ki Ageng Singaranu yang tidak ingin mati terpanggang, segera mengalirkan kembali tenaga dalam yang didasarkan pada jurus ‘Salju Menggulung Badai’ untuk mengenyahkan rasa panas yang seperti membakar tubuh. Kepulan asap putih tampak keluar dari atas kepalanya, kemudian lenyap diterpa angin. Beberapa saat kemudian, tubuh laki-laki renta berpakaian abu-abu itu sudah kembali seperti sedia kala.
Dalam pada itu, nenek bongkok yang masih bertengger di atas pintu gerbang, melakukan hal yang sama, karen tidak ingin mati membeku seperti ratusan anak buahnya puluhan tahun yang silam, segera mengerahkan hawa ‘Ilmu Sakti Api Iblis Membara’ untuk mengenyahkan hawa membeku yang membungkus tubuh.
“Kurang ajar! Bangsat busuk! Murid dan guru sama saja!” umpat Ratu Sesat Tanpa Bayangan, “ ... Singaranu! Hari ini kau beruntung, karena aku sedang malas mencabut nyawa busukmu! Suatu saat nanti, kau harus menerima pembalasan dariku atas perlakuanmu terhadap dua orang muridku, hi-hi-hi-hik ... ”
Setelah tertawa terkekeh-kekeh, Ratu Sesat segera balik badan dan ngeblas ke arah utara, diiringi suara tawa menyeramkan.
Blasss!
Tubuh renta itu berkelebat cepat, secepat gerakan burung srikatan.
“Setan alas, jurus itu ternyata masih hebat juga, meski tidak sehebat puluhan tahun yang lalu. Singa Putih Berhati Iblis benar-benar keparat, rupanya dia sudah bisa memperkirakan bahwa kelak aku akan menuntut balas atas perbuatannya padaku, hingga menurunkan ilmu setan itu pada muridnya. Uhhh, bagian dalam tubuhku terasa diselimuti hawa dingin membeku. Jika tidak segera kuenyahkan, mungkin nyawaku akan segera merat ke akhirat! Singaranu keparat, tunggu pembalasanku,” batin Ratu Sesat sambil tangan kiri yang dialiri hawa ‘Ilmu Sakti Api Iblis Membara’ menekan dada agar hawa dingin itu tidak menjalar ke mana-mana.
Rupanya, akibat dari pukulan berhawa sedingin salju dari jurus ‘Salju Menggulung Badai’ masih bersarang di dalam tubuh nenek sakti dari Nusa Kambangan itu. Dalam pertarungan sesaat adu ilmu dengan ketua Padepokan Singa Lodaya tadi, nenek itu mengalami luka dalam yang cukup membahayakan jiwanya.
Melihat ketua mereka kabur, seluruh anggota Gerombolan Serigala Iblis pun langsung angkat kaki dari situ. Mereka lari salang tunjang, menabrak-nabrak pepohonan yang ada di sekitar padepokan. Galang Seta dan Pulanggeni berniat mengejar, namun sebentuk suara berwibawa mencegah langkah mereka.
“Jangan dikejar, biarkan mereka pergi!”
“Tapi, Guru ... ”
“Tenaga kalian masih dibutuhkan disini! Bantu teman-teman kalian yang terluka!” potong laki-laki tua itu.
“Baik, Guru!” sahut Galang Seta dan Pulanggeni bersamaan.
Ki Ageng Singaranu hanya menganggukkan kepala. Bersamaan dengan anggukan kepala itu, dari sudut bibir kakek renta itu meneteskan darah kental kehitam-hitaman, lalu tubuh itu limbung ke kiri dan ambruk ke tanah.
Brughh!
“Guru!”
Galang Seta dan Pulanggeni yang baru akan beranjak dari tempat itu, membatalkan langkah dan dengan sigap menolong sang guru, sedang Ki Ragil Kuniran dengan cermat segera mengurut bagian simpul-simpul syaraf tertentu di dada dan punggung dan menotoknya, lalu mendudukkannya dalam posisi bersila.
“Ayah ... Ayah terluka? Parahkah?”
“Aku tidak apa-apa, jangan khawatirkan diriku. Cepat kalian bantu teman-teman kalian. Biar Ragil saja yang membantuku disini ... ” ucap Ki Ageng Singaranu dengan lirih.
Dua murid utama Padepokan Singa Lodaya itu saling pandang. Lalu sorot pandang mata mereka mengarah ke arah Ki Ragil Kuniran, seakan meminta persetujuan.
Kepala Desa Watu Belah itu menganggukkan kepala mengiyakan.
“Baiklah, Guru! Kakang Ragil, jika butuh bantuan, panggil saja kami berdua.”
“Tentu, jangan khawatir,” jawab Ki Ragil Kuniran.
Dua bersaudara seperguruan itu segera beranjak dari situ. Mereka segera bergabung dengan teman-temannya yang sedang mengobati luka-luka akibat serbuan Gerombolan Serigala Iblis.
“Ragil, papah aku ke pendapa. Aku ingin mengobati lukaku di sana.”
“Baik, Ayah.”
Di sisi kanan padepokan yang rindang, Gineng dan Paksi sibuk hilir mudik membantu murid-murid padepokan yang terluka, ada yang patah tulang, namun ada juga yang hanya tergores parang atau pedang lawan. Dalam serbuan mendadak ini, tidak ada murid yang tewas.
Paksi Jaladara mondar mandir membawa tempayan berisi ramu-ramuan obat yang dibuat ibunya dan juga Srinilam. Bocah berikat kepala merah itu dengan enteng menggotong tempayan yang lumayan besar. Untuk bocah sepantarannya, membawa tempayan sepelukan orang dewasa merupakan pekerjaan yang berat. Tapi bagi Paksi, membawa tempayan itu seperti orang mengangkat kendil tanah liat saja.
Sementara si Perak juga tidak mau tinggal diam. Melihat tuan mudanya ikut menyingsingkan lengan baju, entah dari mana datangnya, elang putih keperakan itu terbang rendah dan kedua kaki kiri kanan mencengkeram beberapa benda bulat, lalu menjatuhkan ke dalam tempayan obat yang dibawa kemana-mana oleh Paksi.
Plunng!
Paksi melongokkan kepalanya sebentar ke dalam tempayan, lalu bibir mungil itu menyunggingkan senyuman.
“Terima kasih, Perak! Ambil dari tempat kakek tabib, ya?”
Krakk! Krreekk!
“Oh, begitu!” kata Paksi, setelah mendengar ‘penjelasan’ dari sahabatnya.
Tidak ada yang memperhatikan percakapan ‘aneh’ antara bocah berikat kepala merah itu dengan elangnya karena semua sibuk mengobati luka-luka, kecuali mata seorang pemuda tanggung berbaju buntung warna coklat, yaitu Gineng!
“Apa yang dimasukkan elang itu ke dalam tempayan obat? Sepertinya bulatan berwarna putih bercahaya. Anak itu selalu saja diliputi keanehan. Hmmm, lebih baik aku tanya saja padanya,” bathin Gineng, seraya beranjak mendekati Paksi.
Dalam pada itu, Singa Jantan Bertangan Lihai siuman dari pingsannya. Seluruh tubuh dan sendi-sendi tulang masih terasa nyeri dan kaku. Tatapan matanya sedikit buram, karena rasa pusing yang mendera akibat banyak darah yang keluar dari dalam tubuh. Luka biru lebam kehitaman akibat terkena serangan ‘Tinju Serigala Meraung’ masih terlihat jelas di dada Singa Jantan Bertangan Lihai. Luka itulah yang membuat seluruh jalan darah di sekujur tubuhnya berserabutan tak tentu arah, bahkan ada sebentuk tenaga liar yang berusaha keluar dengan bebas dari dalam tubuh Singa Jantan Bertangan Lihai.
“Hoekkh ... ”
Kembali darah kental kehitaman tersembur keluar. Srinilam segera menghambur ke arah sang suami. Dipeluknya laki-laki yang kini menjadi belahan jiwa dengan segenap perasaan.
“Kakang Jalu, bagaimana lukamu? Sakitkah?”
“Uhh, seluruh tubuhku rasanya tidak karuan, Nyi. Jalan darahku seperti berbalik. tenaga dalamku rasanya berdesak-desakan ini ingin tumpah keluar. Sesak sekali. Uhhh ... !” keluh Jalu Lampang.
Mukanya mengkernyit menahan sakit yang kembali mendera.
Srinilam kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menolong suaminya. Yang bisa dilakukan hanya memeluk tubuh kekar itu sambil menahan tangis yang menggumpal di dada. Air mata akhirnya tumpah ruah membasahi dada kekar yang terbaring tak berdaya. Jalu Lampang atau si Singa Jantan Bertangan Lihai ingin sekali menyentuh istrinya, tapi tangan itu tak mau bergerak sedikit, yang tinggal hanyalah rasa gamang dan keinginan yang menggumpal di dalam hati.
Sebentuk tangan kecil menyentuh pundak wanita itu yang langsung menoleh dan melihat seraut wajah bocah tampan berikat kepala merah. Bocah yang kesana-kemari membawa tempayan obat itu hanya tersenyum kecil, “Bibi Nilam ... ”
Wanita itu menyusut air mata yang meleleh di kanan kiri pipinya. Mata sembab memerah karena tangis, “Ada apa, Paksi?”
Paksi trenyuh sekali melihat keadaan sang paman.
“Bibi Nilam, jangan khawatir, Paman Jalu pasti sembuh,” hibur bocah itu.
Srinilam hanya tersenyum getir, “Ya, semoga saja pamanmu lekas sembuh. Doakan ya, Nak.”
Paksi menganggukkan kepala, lalu tangan kanan merogoh ke dalam tempayan, dan mengambil sebuah benda bulat sebesar kelereng yang memendarkan cahaya putih. Bentuknya hampir mirip buah kelengkeng tapi bukan buah kelengkeng pada umumnya yang sering dijumpai atau dijual di pasar-pasar, jika sedikit ditekan akan mengeluarkan cairan berbau harum semerbak menyegarkan dan cairan itu terasa lengket seperti gula aren, tapi sedikit lebih kental.
Ditimang-timangnya sebentar benda bulat itu, lalu diangsurkan ke arah Srinilam, sambil berkata, “Bibi Nilam, tolong bibi berikan pada Paman Jalu.”
“Apa ini?” tanya Srinilam, sembari menerimanya dari tangan Paksi.
 
Bab 8

Paksi hanya tersenyum kecil. Matanya berkedip-kedip lucu, “Pokoknya berikan saja pada Paman Jalu, nanti bibi akan tahu sendiri. Sudah dulu Bi, saya mau membantu paman-paman yang lain.”
“Baiklah, terima kasih, Paksi.”
“Sama-sama.”
Lalu Paksi Jaladara pergi ke tempat dimana para murid Padepokan Singa Lodaya sedang dirawat. Kali ini yang diberikan Paksi adalah air obat rendaman dari benda bulat putih, yang lagi-lagi digunakan oleh bocah berikat kepala merah itu. Karena yang memberikan obat adalah cucu guru mereka, tidak ada yang bertanya atau pun memprotes tindakan Paksi yang menurut mereka aneh, karena yakin tidak mungkin seorang bocah kecil, apalagi cucu dari guru mereka berniat mencelakai orang yang sedang terluka. Bahkan mereka berterima kasih karena bocah itu dengan sukarela membantu kerepotan mereka, tidak manja atau rewel seperti bocah pada umumnya.
Paksi kemudian menuju ke tempat dimana ayah dan kakeknya juga sedang menyembuhkan diri karena luka masing-masing. Setelah memberikan benda bulat putih kepada ayah dan kakeknya, benda bulat yang sama dengan yang diberikan pada Srinilam untuk mengobati Jalu Lampang, bukan hasil rendaman dari benda bulat putih itu. Entah apa maksudnya, hanya Paksi Jaladara yang tahu!
Beberapa saat kemudian, luka-luka yang diderita, baik luka dalam maupun luka ringan sembuh dan hilang tanpa meninggal bekas sama sekali. Bahkan tubuh terasa lebih segar dari sebelumnya. Bahkan rasa lelah akibat perkelahian dengan anak buah Gerombolan Serigala Iblis juga ikut lenyap. Termasuk tenaga dalam juga dirasakan semakin lancar mengalir dan terasa semakin besar dari sebelumnya.
“Galang Seta, kau merasakan sesuatu yang aneh?” tanya Pulanggeni, pada kawannya.
“Aneh ... ? Aneh bagaimana maksudmu?”
“Apa kau tidak merasa aneh pada dirimu? Pada lukamu? Coba teliti seluruh tubuhmu,” tanya Pulanggeni lagi.
Galang Seta memeriksa seluruh tubuhnya. Dilihatnya luka memar akibat serangan lawan yang semula bengkak biru lebam, kini hilang tak berbekas, seolah tidak pernah mengalami luka sebelumnya. Bahkan saat disentuh, tidak terasa nyeri atau pun pedih.
“Betul kawan! Seluruh luka di badan kulenyap tak berbekas. Bahkan rasa sakitnya juga hilang sama sekali. Aneh sekali.”
“Coba alirkan tenaga dalammu.”
Galang Seta cepat tanggap, lalu disalurkannya hawa tenaga dalam ke arah tangan kiri dan tangan kanan, sehingga terasa aliran energi menjalar cepat ke arah tangan terus berkumpul di telapak tangan. Semua tidak ada masalah, tidak ada hambatan pada umumnya orang yang sedang terluka dalam, mengalir dengan lancar, malah lebih lancar dari sebelumnya.
“Aliran tenaga dalamku juga tidak terhambat, bahkan ... terasa lebih lancar dari biasanya.”
“Aku merasakan hal yang sama seperti dirimu. Entah apa yang diberikan cucu guru kepada kita. Semua kawan-kawan juga mengalami hal yang sama, tidak berbeda jauh dengan kita.”
Setelah semua pulih kembali seperti sediakala, Galang Seta dan Pulanggeni beserta murid-murid yang lain berkumpul di pendapa padepokan sisi kiri, karena pendapa utama sudah hancur akibat terjadinya pertarungan malam itu. Galang Seta melihat bahwa semua yang terluka telah pulih kembali, baik yang terluka dalam mau pun luka luar.
Pemuda murid utama Padepokan Singa Lodaya itu memberikan instruksi untuk sebagian murid untuk menguburkan mayat-mayat di pemakaman belakang padepokan. Setelah selesai memakamkan mayat-mayat itu, seluruh murid diminta untuk kembali ke barak masing-masing, tapi besoknya diminta berkumpul kembali di pendapa sisi kiri. Dengan patuh mereka segera membubarkan diri, ada yang langsung menuju ke barak, ada yang langsung rebahan beralaskan rumput tebal, dan ada pula yang langsung menuju pancuran sekedar untuk mencuci muka. Pembicaraan pun tak jauh-jauh dari pertempuran yang baru saja mereka alami. Bahkan murid-murid yang mendapat tugas untuk menguburkan mayat-mayat anggota Gerombolan Serigala Iblis, saat kembali juga ikut nimbrung dengan kawan-kawannya.
Malam hari berikutnya ...
Jalu Lampang telah sehat kembali, sembuh total dari luka dalam yang nyaris merenggut nyawanya, seluruh luka hilang lenyap tak berbekas. Ki Ageng Singaranu yang juga terluka akibat terkena hempasan jurus ‘Ular Kobra Menyergap Mangsa’ yang mengandung ‘Ilmu Sakti Api Iblis Membara’ juga telah sehat wal afiat. Benda bulat berpendar cahaya putih pemberian Paksi Jaladara-lah yang membantu menetralisir hawa panas menyengat dalam tubuh bahkan membantu meningkatkan hawa sakti yang dimilikinya.
Semua anggota keluarga Ketua Padepokan Singa Lodaya berkumpul di ruang tengah. Mereka semua duduk melingkari sebuah meja berbentuk bundar dari kayu jati alas dan diatasnya tersedia beberapa jenis sayur lengkap dengan buah-buahan. Dari kiri ke kanan duduk berturut Ki Ageng Singaranu, Jalu Lampang duduk bersebelahan dengan Srinilam, Salindri dengan Ki Ragil Kuniran duduk berdekatan sedangkan Paksi Jaladara duduk bersebelahan dengan kakeknya sambil asyik menggerogoti apel merah yang ada di hadapannya. Si Perak, burung elang kesayangan Paksi, pergi entah kemana, hanya majikan mudanya saja yang tahu kemana burung elang itu pergi.
Sementara Gineng malah asyik ngobrol kesana kemari dengan Galang Seta dan Pulanggeni. Terdengar derai tawa riuh rendah mereka di pintu gerbang sebelah selatan. Gerbang itu masih terbengkalai rusak karena pertarungan waktu itu. Hanya sebuah kursi panjang dan sebuah meja berukuran kecil dengan kaki yang sedikit somplak terkena ayunan pedang, namun masih cukup kokoh di tempati beberapa piring pisang goreng lengkap dengan kopi gula aren serta sedikit jahe merah hangat.
Di ruang tengah, mereka masih asyik membicarakan pertempuran kemarin malam. Pembicaraan hangat mengalir bagai air, tanpa sela dan tanpa hambatan.
“Tapi Ayah, apa Ayah tahu benda bulat putih sebesar kelereng yang diberikan pada Paksi padaku?” tanya Jalu Lampang, beberapa saat kemudian.
Ki Ageng Singaranu yang ditanya menggelengkan kepala, “Heh, aku tidak tahu! Baru pertama kali aku melihatnya. Dari sekian jenis ramuan obat yang pernah kutemui, belum pernah kujumpai obat semanjur itu daya kerjanya. Mungkin itu buah langka yang hanya berada di tempat-tempat tertentu di tanah Jawa ini. Aku yakin Paksi tidak mencari sendirinya. Bisa jadi ada orang sakti yang memberikan pada Paksi.”
“Jika memang ada orang sakti atau setidaknya tokoh rimba persilatan, menurut Ayah ... siapakah kiranya yang bisa atau memiliki benda mujarab itu?” tanya Srinilam.
“Entahlah ... cuma satu orang yang tahu!” jawab Ki Ageng Singaranu, diplomatis.
“Siapa, Ayah?”
“Dia!”
Kakek berbaju abu-abu itu mengarahkan jari telunjuk ke satu arah, yaitu ke arah ...
Paksi Jaladara!
Ki Ragil Kuniran segera menggeser duduknya ke arah Paksi. Dielusnya kepala bocah berikat kepala merah dengan lembut.
“Paksi, boleh Ayah bertanya?”
“Ayah ingin bertanya apa pada Paksi?”
“Darimana Paksi mendapatkan benda itu?”
“Benda apa, Ayah? Apa yang Paksi berikan pada ayah dan kakek waktu itu?”
“Betul, yang Paksi berikan waktu itu. Paksi dapat darimana?” tanya Ki Ragil Kuniran.
Bocah yang didahinya terdapat rajah kepala elang dan tertutup ikat kepala merah itu diam sejenak. Matanya yang tajam mengawasi semua yang ada disitu, seakan untuk meyakinkan diri apakah harus memberitahu darimana benda itu berasal. Ki Ageng Singaranu berdesir saat beradu pandang dengan cucunya itu. Jantungnya pun berdegup kencang.
“Tatapan mata anak itu seperti mengandung tenaga gaib. Heran, dari mana bocah sekecil ini bisa memiliki kekuatan sehebat ini. Pasti ada apa-apanya dengan cucuku ini,” kata hati laki-laki tua itu.
“Kakek tabib yang memberikannya, ayah,” jawab Paksi dengan tenang.
“Kakek tabib? Kakek tabib yang mana? Apa bukan Nyi Cendani, Paksi?” tanya Salindri yang sejak tadi hanya diam.
“Bukan, Bunda. Bukan dari Nenek Cendani, malah Paksi memberikan sebutir padanya untuk campuran obat. Paksi cuma dipesan oleh kakek tabib, kalau buah itu hanya boleh diberikan pada orang baik dan juga berilmu tinggi. Kalau cuma orang berilmu biasa hanya boleh diberikan rendaman buahnya saja. Itu pesan kakek tabib pada saya,” sahut Paksi panjang lebar.
“Kalau Paman Jalu boleh tahu, siapa nama kakek tabib itu?”
Paksi hanya menggeleng-gelengkan kepala, “Paksi tidak tahu Paman, hanya Paksi sering memanggil kakek tabib saja.”
“Darimana Paksi tahu, kalau kakek itu seorang tabib?” tanya ayahnya, Ki Ragil Kuniran.
“Sebab kakek kemana-mana selalu membawa keranjang ramuan obat, Ayah.”
“Lalu, apa Paksi tahu nama obat yang diberikan pada bibi tempo hari?” tanya Srinilam sambil tersenyum manis.
“Eng ... anu ... ee ... namanya ... anu ... ”
Ki Ageng Singaranu segera mengangkat cucunya dan di pondong di depan dada.
“Coba katakan pada kakek, apa nama obat itu? Sebab kakek mau berterima kasih pada kakek tabib karena sekarang kakek sudah sembuh berkat obat pemberian kakek tabib?” tanya Ki Ageng Singaranu, membujuk Paksi Jaladara yang kini berada di pondongannya.
Bocah itu hanya diam saja, seakan-akan ada sesuatu yang membebaninya. Keraguan itu dilihat dengan jelas dilihat oleh Ki Ragil Kuniran, Jalu Lampang dan Ki Ageng Singaranu. Sebagai seorang pendekar waskita, Ketua Padepokan Singa Lodaya tahu arti keraguan cucunya. Laki-laki tua bijaksana itu hanya tersenyum.
“Anu ... kek ... eeee ... itu namanya ... emm ... ”
“Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka ... ”
Sebuah suara berwibawa menggema di seluruh ruangan, diikuti dengan melesatnya sesosok bayangan putih keperakan masuk ke dalam ruangan tengah. Setelah berputaran beberapa kali diiringi suara pekik nyaring, lalu sosok itu hinggap diatas langkan.
Aawwwkk! Kraaggghh!!
Bersamaan dengan itu, dari arah pintu melangkah masuk seorang kakek berjubah hijau muda dengan sebatang tongkat panjang dari akar kayu cendana di tangan kiri. Di punggung tersampir sekeranjang daun-daunan obat yang menguarkan bau semriwing menyegarkan. Seulas senyum ramah terpampang di bibir.
Melihat kedatangan kakek itu, Paksi segera merosot dari pondongan kakeknya dan berlari-lari kecil menyambut kakek berjubah hijau itu. Bocah itu segera meraih tangan kanan kakek itu dan menciumnya dengan takzim. Sebuah penghormatan yang luar biasa dari seorang bocah yang belum genap berumur enam tahun.
“Kakek tabib, tadi kakekku ingin bertemu dengan kakek ... ”
“Oh, ya? Wah ... suatu kehormatan besar bagi kakek tabib kalau begitu ... ” ucap orang tua yang dipanggil kakek tabib dengan lembut.
“Mari kek, saya antar ... ”
Paksi meraih tangan kanan kakek itu, setengah menyeret ke arah Ki Ageng Singaranu berada.
Ki Ageng Singaranu yang tidak mengetahui kedatangan kakek berjubah hijau itu ke tempat kediamannya, merasa yakin bahwa laki-laki berjubah hijau yang usianya mungkin sepantaran dengan bukanlah tokoh biasa, setidaknya tokoh persilatan yang memiliki nama besar. Langkah kakek berjenggot putih dan mengenakan jubah hijau itu begitu ringan seolah-olah mengambang tidak menyentuh lantai, bahkan suara langkah kaki pun tidak terdengar sama sekali.
Ki Ragil Kuniran dan Jalu Lampang segera saja berdiri, untuk menyambut kedatangan orang yang dipanggil sebagai kakek tabib oleh Paksi Jaladara.
Kepala Desa Watu Belah itu mengkernyitkan dahi dan berkata dalam hati, “Rasa-rasanya aku pernah melihat kakek berjubah hijau ini di desa Watu Belah, tapi kapan, ya?”
“Mohon dimaafkan kelakuan cucu saya yang kurang sopan pada Kisanak.”
“Justru saya yang harus meminta maaf karena sudah datang ke padepokan ini tanpa diundang,” sahut laki-laki tua berjubah hijau, “ ... dan sudah mengganggu ketenangan saudara-saudara sekalian. Sekali lagi maafkan saya.”
“Tidak apa-apa, kami malah senang mendapat kunjungan istimewa ini, silahkan duduk, Kisanak.”
“Terima kasih.”
Ki Ageng Singaranu menyambut uluran tangan si jubah hijau, kemudian berturut-turut Ki Ragil Kuniran dan Jalu Lampang, sedangkan Paksi Jaladara masih menempel di sisi kanan kakek tabib itu. Akan halnya Salindri dan Srinilam, segera beringsut masuk ke dalam.
“Jika diperkenankan, sudilah kiranya saya bisa mengetahui siapa nama dan gelar kakek di rimba persilatan, karena saya yakin kakek pasti memiliki nama besar,” tanya si Singa Jantan Bertangan Lihai, karena sedari tadi berusaha memeras otaknya, namun apa yang dicarinya tidak ketemu.
“Orang-orang sering memanggil saya Jati Kluwih, dan tempat tinggal saya jauh di timur pulau Jawa ini, di sekitar Blambangan,” jawab kakek itu memperkenalkan diri bernama Jati Kluwih.
“Jati Kluwih ... ” bathin Ki Ragil Kuniran, seraya mengelus-elus dagu, “Betul, waktu itu, saat Paksi berumur hampir satu tahun, kakek itu datang ke rumah dan meminta sedikit bekal untuk perjalanannya. I ya ... kenapa aku bisa lupa, ya?”
Jalu Lampang yang manggut-manggut itu tanpa sengaja melihat tangan kiri kakek berjubah hijau itu dan langsung tersentak kaget, “Jadi ... kakek adalah Ki Gedhe Jati Kluwih, yang bergelar Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan itu?”
“Ha-ha-ha-ha, nama buruk begitu jangan dibesar-besarkan, aku kok jadi malu padamu, anak muda! Mana sanggup nama burukku menyaingi nama besarmu, si Singa Jantan Bertangan Lihai,” seloroh Ki Gedhe Jati Kluwih.
“Ha-ha-ha-ha ... ” Jalu Lampang tertawa lebar. Sebagai sesama pesilat golongan lurus, berjumpa dengan orang yang lebih tua adalah suatu kehormatan yang tidak ternilai, apalagi bisa berada dalam satu meja dan satu ruangan pula.
Kemudian tanpa diminta terlebih dahulu, Ki Gedhe Jati Kluwih menceritakan tentang ‘Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka’ yang diberikan kepada Paksi. Tabib Sakti Berjari Sebelas menceritakan panjang lebar segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya. Tanpa tedeng aling-aling, tidak ada yang disembunyikan atau pun ditambah, apalagi dikurangi. Dan memang, Ki Gedhe Jati Kluwih pernah singgah di desa Watu Belah, sesuai dengan dugaan Ki Ragil Kuniran. Namun, sebenarnya kedatangan laki-laki tua itu memiliki maksud lain, yaitu mengemban tugas dari tokoh persilatan golongan putih yang tersohor dengan budi pekertinya, untuk mencari penerus atau pewaris dari segala ilmu yang dimilikinya. Juga pewaris pembasmi keangkaramurkaan di rimba persilatan yang kini kembali merajalela.
Bocah berikat kepala merah itu mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan oleh kakek berjubah itu. Kepalanya sebentar-bentar mengangguk-angguk membenarkan ucapan Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan.
“Rupanya Paksi memang sangat mengenal siapa adanya tokoh tua ini. Beruntunglah anakku, andaikata Tabib Sakti Berjari Sebelas bersedia mengangkatnya menjadi murid,” kata hati Nyi Salindri, setelah meletakkan minuman jahe hangat dan kini duduk di samping suaminya.
“Ooo ... begitu rupanya ... “ sahut Ki Ageng Singaranu, sambil mengelus-elus jenggot kelabunya.
“Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Ki Ragil Kuniran karena apa yang saya lakukan tanpa sepengetahuan Ki Ragil sebagai orang tua dari Nakmas Paksi. Saya memang sudah berpesan kepada Nakmas Paksi agar merahasiakan semua yang dia ketahui tentang diri saya, termasuk juga ramuan obat ‘Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka’ pun juga harus dirahasiakan keberadaannya,” urai Tabib Sakti Berjari Sebelas panjang lebar.
“Jika boleh saya tahu, keperluan apa yang membuat Ki Gedhe sampai jauh-jauh keluar dari Pulau Kayangan datang ke gubuk saya yang reyot ini? Itu pun jika Ki Gedhe berkenan,” ucap Ki Ageng Singaranu, dengan nada bersahabat.
“Baiklah! Sebenarnya kedatangan saya menemui Ki Ageng Singaranu adalah dengan mengemban amanat dari mendiang guru, yaitu Malaikat Sepuh Pulau Kayangan ... ”
“Malaikat Sepuh Pulau Kayangan?” potong Jalu Lampang.
“Benar, Nakmas Jalu. Beliau berpesan agar saya bisa mencari dan menemukan murid kinasih dari pendekar aliran lurus yang bergelar si Singa Putih Berhati Iblis. Saya sudah mencari ke seantero Jawadwipa, dan pada akhirnya saya bisa menemukan siapa adanya murid dari sahabat guru saya itu, yang ternyata adalah anda sendiri, Ki Ageng Singaranu,” terang Ki Gedhe Jati Kluwih, lalu sambungnya, “ ... dan karena amanat yang saya pegang ini berhubungan erat dengan rimba persilatan, mohon sudilah kiranya Ki Ageng Singaranu berkenan menerima amanat dari guru saya.”
Ki Ageng Singaranu terhenyak dari duduknya, “Amanat apa yang harus saya terima, Ki Gedhe?”
Ki Gedhe Jati Kluwih mengambil sesuatu dari balik jubah hijaunya, lalu mengangsurkan benda yang terbungkus dari kain kuning yang sudah lusuh kepada ketua Padepokan Singa Lodaya, Ki Ageng Singaranu.
Kakek berambut abu-abu itu menerima bungkusan itu dengan hati bertanya-tanya, sebab hari ini sudah dua kejadian yang membuat dirinya terancam maut. Pertama adalah bencana yang dibawa oleh Ratu Sesat Tanpa Bayangan yang menuntut benda pusaka peninggalan Ketua Istana Elang yang entah apa bentuknya dan sekarang datang Ki Gedhe Jati Kluwih yang mendapat amanat dari Malaikat Sepuh Pulau Kayangan untuk menyampaikan sesuatu, yang kini berada didalam genggamannya.
Dengan hati-hati dibukanya bungkusan itu. Hanya terdapat potongan kulit kambing dengan sederet tulisan yang cukup rapi diatasnya. Kakek itu membolak-balikkan kulit kambing itu, mencari-cari sesuatu yang mungkin masih tertinggal. Bahkan kain pembungkus itu pun tidak luput dari pencarian.
Seolah kurang yakin, dia bertanya, “Hanya ini?”
Ki Gedhe Jati Kluwih hanya menganggukan kepala.
“Apakah aku boleh membacanya?”
“Silahkan, Ki. Itu sudah menjadi hak Ki Ageng Singaranu sepenuhnya, aku pun juga tidak tahu isi dari bungkusan itu meski aku membawanya selama puluhan tahun. Jika diperkenankan aku pun ingin mengetahui apa isinya.” jawab kakek berjubah itu.
Mata tua itu menatap semua yang hadir disitu, yang dikuti dengan anggukan mengiyakan. Laki-laki itu membaca dengan lirih, “Carilah pewaris tunggal Istana Elang dan berikan hak milik yang seharusnya dia terima.”
Semua mendengarkan dengan kening berkernyit, tak terkecuali Ki Ragil Kuniran dan istrinya.
“Lagi-lagi Istana Elang! Sebenarnya ada apa ini? Kenapa semua yang datang ke sini selalu berhubungan dengan Istana Elang yang tidak kuketahui arah juntrungannya. Baru saja nenek kapiran itu datang kemari dan mbarang amuk di tempat ini. Ah ... pusing aku ... ” keluh Ki Ageng Singaranu sambil terhenyak di tempat duduk, “ ... dan siapa sebenarnya Si Pewaris itu? Apa yang harus kuserahkan, jika yang harus kuserahkan pun tidak aku ketahui bentuk dan asal usulnya? Apa aku harus berkelana seperti halnya dirimu, Ki Gedhe? Kesana kemari hanya untuk mencari satu orang yang tidak kuketahui?”
Kepalanya berdenyut-denyut memikirkan masalah yang datang silih berganti.
Ki Gedhe Jati Kluwih maklum dengan keadaan tuan rumah. Sebagai orang yang sudah banyak malang melintang di rimba persilatan, dia tahu betapa pelik dan rumitnya masalah yang dihadapi ketua Padepokan Singa Lodaya itu, suatu masalah yang tidak diketahui ujung pangkalnya, dan apalagi yang dihadapi juga menyangkut nasib orang banyak.
Dengan senyum arif bijaksana, Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan berkata, ”Ki Ageng Singaranu tidak perlu khawatir, sambil berkelana aku juga mencari sisik melik siapa adanya pewaris itu. Dan akhirnya aku berhasil menemukan siapa adanya pewaris yang kau maksud itu.”
“Benarkah?” tanya Ki Ageng Singaranu seraya bangkit dari duduknya, tapi mendadak kakek itu merasa curiga, ”Tunggu ... tunggu dulu! Tadi Ki Gedhe mengatakan bahwa Ki Gedhe belum pernah sedikit pun membuka atau pun melihat isi bungkusan ini. Tapi Ki Gedhe mengatakan bahwa telah menemukan siapa adanya pewaris itu? Jangan-jangan ... ”
“Guruku yang memberi tahu saya, Ki Ageng. Beliau mengatakan ciri-ciri dari pewaris Istana Elang tersebut padaku. Saat itu bersamaan dengan aku menerima amanat yang harus kuberikan pada murid kinasih si Singa Putih Berhati Iblis yaitu bungkusan kuning yang kini telah Ki Ageng terima. Jadi, Ki Ageng tidak perlu curiga bahwa saya telah mencuri lihat isi dari amanat itu.”
Ki Ageng Singaranu alias Dewa Singa Tangan Maut manggut-manggut. Malu hati dia. Sakit kepala yang menderanya, tiba-tiba lenyap mendadak.
Aneh bukan?
“Oh ... kalau begitu maafkan saya, Ki Gedhe. Saya sudah berpikir yang bukan-bukan.”
Tabib Sakti Berjari Sebelas hanya menganggukkan kepalanya saja pertanda maklum.
“Lalu, siapa pewaris itu, Ki Gedhe?” tanya Jalu Lampang dengan rasa ingin tahu yang membuncah.
“Ciri khusus yang dimiliki oleh pewaris pilihan dari Istana Elang adalah dia memiliki tanda-tanda tertentu yang dimulai sejak dalam kandungan, yang misalnya tidak lahir seperti orang pada umumnya. Mungkin bisa sepuluh bulan, sebelas bulan atau bahkan lebih. Kudengar, mendiang Ketua Istana Elang juga lahir pada waktu yang tidak semestinya, beliau lahir pada bulan ke tujuh belas. Ciri lain yang pasti dimiliki sejak lahir adalah salah satu anggota tubuhnya memiliki semacam rajah berbentuk kepala elang yang memendarkan cahaya perak dan bisa menguasai bahasa segala jenis binatang terutama satwa yang menguasai angin di seluruh muka bumi ini tanpa terkecuali ... ” Ki Gedhe Jati Kluwih menghentikan sejenak ucapannya. Matanya berkeliling memandang semua yang ada di situ dengan tatapan meneduhkan namun menyiratkan ketajaman hati nan bijak.
Semua mendengarkan dengan antusias dan ingin tahu kelanjutannya. Namun tidak demikian dengan Ki Ragil Kuniran dan Nyi Salindri. Keterangan dari Tabib Sakti Berjari Sebelas tadi tanpa sadar telah membuat jantung mereka berdegup kencang. Rajah kepala elang, itulah yang membuat jantung pasangan suami-istri itu berdegup, karena tanda khusus itu dimiliki oleh anak mereka, Paksi Jaladara yang juga lahir pada bulan yang tidak semestinya.
Bulan ke tiga belas!
Kemudian, Ki Gedhe Jati Kluwih melanjutkan keterangannya, “ ... sedang ciri yang lain adalah setiap calon pewaris Istana Elang akan dijemput oleh utusan yang akan menyertainya kemana saja ia pergi. Utusan ini bisa menjelma dalam berbagai bentuk, bisa berwujud binatang, benda-benda pusaka dan lain sebagainya. Bahkan bisa menjelma menjadi dua bentuk yang berbeda. Karena wujud asli dari utusan itu adalah roh suci yang berasal dari Nirwana Ke Sembilan. Mendiang ketua Istana Elang generasi ke 30 memiliki roh utusan berwujud seekor naga kecil bersisik putih keperakan dan sebuah pusaka berbentuk cambuk lentur, yang dinamakan Cambuk Naga Rembulan Perak. Jadi, setiap generasi Istana Elang memiliki utusan dan senjata pusaka yang berbeda-beda atau bahkan bisa sama dengan generasi sebelumnya ...” tutur Ki Gedhe Jati Kluwih.
“Istana Elang memang penuh misteri dan teka-teki yang sulit dijawab ... ”
“Begitulah kehidupan, Nakmas Jalu, tidak bisa ditebak kemana dan dari mana dia berasal. Termasuk juga tiap generasi ketua Istana Elang, tidak tahu kapan dan bagaimana cara memilih calon pewaris. Hanya Hyang Bathara Agung yang tahu semua jawabnya,” kata kakek berjubah hijau dengan bijak.
“Jadi yang diburu oleh tokoh-tokoh persilatan adalah senjata pusaka yang bernama Cambuk Naga Rembulan Perak dari Istana Elang itu, Ki Gedhe?” tanya Ki Ageng Singaranu.
Ki Gedhe Jati Kluwih hanya menganggukkan kepala, “Betul Ki Ageng. Tapi tepatnya adalah Pusaka Rembulan Perak.”
Hati kakek berbaju abu-abu itu terasa lega mendengar kilas balik dari perkumpulan aliran putih yang bernama Istana Elang yang pernah berjaya ratusan tahun silam, dan kini berusaha dibangkitkan kembali melalui seorang pewaris Tahta Angin yang keberadaannya entah tidak diketahui siapa adanya. Lengkap sudah tanda tanya di hatinya, mengapa Ratu Sesat Tanpa Bayangan memburu dirinya dan memperebutkan benda yang tidak diketahuinya dengan pasti.
“Nah, Ki Gedhe, kepada siapa benda pusaka itu harus aku serahkan? Dan bagaimana cara mengetahui bahwa pusaka itu ada pada diri saya? Bisakah Ki Gedhe memberikan petunjuk pada saya?”
Ki Gedhe Jati Kluwih hanya tersenyum bijak. Mata tua itu memandang tajam ke arah Paksi Jaladara. Ki Ragil Kuniran yang sudah menduga sebelumnya, tetap berdebar-debar juga.
“Ki Ageng tidak perlu bersusah payah lagi, karena pewaris itu sudah ada disini. Dia berada diantara kita.”
“Sudah ada disini? Siapa dia?” potong Ki Ageng Singaranu dengan cepat, “Apa salah satu dari murid-muridku?!”
“Bukan Ki Ageng, tapi dia adalah cucumu sendiri, Paksi Jaladara itulah orangnya. Bocah itu ketiban pulung sebagai pewaris Ketua Istana Elang generasi ke 33.”
“Hahh!?” Ki Ageng Singaranu atau yang bergelar Dewa Singa Tangan Maut terlonjak kaget. Tatapan matanya langsung beralih ke arah Paksi Jaladara.
Bocah berikat kepala merah itu malah kebingungan dipandangi oleh kakeknya seperti itu. Tengok sana tengok sini, bahkan matanya ikut menjelajahi tubuhnya, seolah mencari sesuatu yang salah pada dirinya.
“Ada apa, kek? Kok kakek melihat Paksi seperti itu? Ada yang salah pada diri Paksi, kek?” tanya bocah berikat kepala merah itu, sambil clingak-clinguk.
“Ha-ha-ha-ha ... ”
Ki Gedhe Jati Kluwih terlonjak kaget, saat mendengar tawa berderai keras. Bukan dari mulut Dewa Singa Tangan Maut, tapi dari Ki Ragil Kuniran!
“Kini terjawab sudah! Rupanya apa yang kucari selama ini terjawab disini! Teka-teki telah terpecahkan! Tak perlu lagi kiranya aku mencari jawaban atas keanehan yang dimiliki Paksi! Terima kasih Ki Gedhe, terima kasih ... ! Aku sangat bahagia sekali mendengar keterangan dari Tabib Sakti Berjari Sebelas ungkapkan.”
Mendung di hati pasangan suami-istri itu seperti langit tersapu angin, berganti menjadi langit cerah, secerah sinar matahari yang bersinar di pagi hari. Nyi Salindri pun tidak kuasa meneteskan air mata. Kebahagiaan yang dialami seiring dengan tawa penuh gembira itu. Dipeluknya bocah itu dengan hangat. Meski ia tahu, di pundak anaknya kini terdapat tanggung jawab yang besar pada dunia kependekaran untuk menegakkan keadilan dan menghancurkan kebatilan yang ada di muka bumi. Di saat semua orang sedang serius memandangnya, Paksi Jaladara malah merem melek dipeluk ibunya.
Benar-benar bocah aneh!
“Ki Ragil, jika kau berkenan, aku ingin mengajak Paksi untuk mengembara, sekalian mengajarinya untuk hidup mandiri ... ”
“Terserah Ki Gedhe bagaimana baiknya, saya hanya manut saja, bukankah begitu Nyi?” tanya Ki Ragil Kuniran.
Nyi Salindri menganggukkan kepala pertanda setuju, meski dalam hati kecilnya ada rasa tidak rela kehilangan anak semata wayangnya. Namun ibu muda itu sadar betul, bahwa kepergian anaknya bukan untuk bermain, tetapi kepergian yang menyandang tugas mulia.
“Betul, Ki Gedhe! Saya titip anak saya agar Ki Gedhe bisa nggulowentah Paksi. Kira-kira kapan Ki Gedhe dan paksi akan berangkat?”
“Dua hari dari sekarang,” jawab laki-laki tua berjubah hijau dari Pulau Kayangan itu.

-o0o-

Pagi itu ...
Setelah matahari naik setinggi tombak, dua orang beda usia berangkat dari Padepokan Singa Lodaya, diiringi seluruh anak murid padepokan, Ki Ageng Singaranu dan juga orang tua si bocah yang kini harus berpisah dari ke dua orang tuanya. Nun jauh diatas, seekor elang berbulu perak sedang terbang melayang dengan ringan, membayangi perjalanan dua anak manusia itu.
Pagi itu, Paksi Jaladara masih mengenakan baju biru tanpa lengan dengan celana pangsi setinggi lutut. Ikat kepala merah masih mengikat di tempatnya. Selain berfungsi untuk merapikan rambut, juga untuk menyembunyikan rajah kepala elang, sebagai bentuk anugerah dari Yang Kuasa sejak ia lahir dan juga sebagai tetenger bahwa dialah ahli waris tunggal dari Istana Elang.
Sedangkan Pusaka Rembulan Perak juga telah berpindah tangan, setelah sekian lama berada di dalam genggaman kakeknya tanpa diketahui bentuk atau pun wujudnya. Atas saran Ki Gedhe Jati Kluwih, untuk sementara waktu Pusaka Rembulan Perak harus diamankan dahulu, agar tidak menjadi incaran para tokoh rimba persilatan, apalagi ilmu olah kanuragan dan jaya kawijayan yang dimiliki Paksi belum cukup untuk menjaga benda pusaka tersebut. Pusaka Rembulan Perak kini berada di dalam tubuh elang berbulu putih keperakan, yang saat ini sedang melayang-layang di angkasa. Akan halnya bentuk Pusaka Rembulan Perak adalah sebentuk benda bulat yang memancarkan cahaya putih terang yang tersimpan secara gaib dalam tubuh elang itu, sama halnya saat disimpankan ke dalam tubuh Ki Dirgatama kemudian diturunkan ke Ki Singaranu.
Muka Paksi bersemu kemerah-merahan terkena sinar matahari. Langkah kecilnya terlihat ringan seakan tanpa beban. Sedangkan Ki Gedhe Jati Kluwih masih mengenakan jubah hijau dengan beban keranjang obat berada di punggung. Ketika hari menginjak siang, mereka berdua duduk beristirahat di bawah pohon mangga hutan yang cukup rindang. Pohon mangga itu sedang berbuah dengan lebat dan tampak ranum, sehingga menerbitkan selera makan Paksi.
Bocah itu hanya termangu-mangu memandang ke atas. Sebagai orang tua yang sudah berpengalaman, kakek berjubah hijau itu mahfum dengan keinginan seorang bocah.
“Paksi ingin makan mangga?”
“He’eh, tapi biar Paksi ambil sendiri saja. Apa kakek juga mau?”
“Emm, boleh ... boleh juga ... “
Paksi kembali mendongak ke atas. Setelah mengatur napas lalu mengedarkan segenap kekuatannya ke seluruh tubuh, kedua kaki kecil itu menjejak tanah dengan mantap.
Tapp! Wuttt!
Tubuh kecil itu melenting ke atas, lalu hinggap di dahan yang cukup besar, terus beringsut dari dahan ke dahan seperti kera. Bahkan kadang jungkir balik dengan kepala berada dibawah dengan kaki mengait dahan diatasnya. Tangannya dengan cekatan memetik buah mangga yang masih ranum. Tak lama kemudian didalam pondongannya sudah terdapat sekitar 8 butir buah mangga ranum dan ada juga yang sudah matang di pohon. Kemudian dengan tangkas, badan kecil itu meloncat ke bawah diikuti dengan salto beberapa kali dan turun ke bawah dengan indahnya.
Plok! Plok! Plok!
“Bagus ... bagus sekali ... ! Ilmu ringan tubuhmu sudah lumayan, Paksi! Apa si Perak juga yang mengajarinya?” tanya Ki Gedhe Jati Kluwih, sambil menerima mangga dari Paksi.
“Iya, kek,” jawab Paksi.
Di tangan kanan si kakek sudah tergenggam sebilah belati kecil untuk mengupas mangga dan dengan cekatan, tangan tua itu mengupas mangga itu hingga terkupas bersih, lalu diserahkan pada Paksi. Bocah berikat kepala merah itu masih terpana dengan kecepatan tangan kakek tabib dalam mengupas mangga.
“Kok kakek bisa cepat sekali mengupasnya? Ayah saja kalau mengupas mangga tidak secepat kakek.”
“Nanti ... kalau Paksi sudah besar, juga bisa melakukan hal ini. Sudah ... sekarang Paksi makan mangganya dulu. Nah, ini juga sudah selesai.”
Tanpa basa-basi, bocah itu langsung menggerogoti mangga ditangannya. Memang terasa cukup manis, karena masih tersisa sedikit rasa asam.
“Kakek tabib ... kakek bisa menceritakan sedikit tentang Istana Elang itu?”
Kakek berjubah hijau itu mengubah posisi duduknya.
“Yang kakek tahu, sepak terjang Istana Elang memang sama umumnya dengan orang-orang golongan lurus. Yang kakek maksud golongan lurus adalah orang-orang yang rela berkorban dengan sepenuh hati tanpa mengharap imbalan atau pamrih dari siapapun, misalnya meski bisa disebut pendekar golongan putih atau lurus, ada kalanya mereka menginginkan sesuatu dari orang yang pernah ditolongnya. Misalnya berharap ilmu sakti tertentu, kitab-kitab pusaka bahkan senjata-senjata sakti milik orang lain. Namun ada juga orang-orang dari golongan hitam yang tidak semuanya kejam dan jahat, bahkan cenderung bersikap satria. Dari yang kakek ketahui, pendekar-pendekar dari Istana Elang termasuk orang-orang yang betul-betul berhati lurus dalam arti yang sesungguhnya. Tapi untuk mengetahui detailnya, mungkin kau harus bertanya pada si Kura-Kura Tua.”
“Si Kura-Kura Tua? Siapa dia kek!?”
“Kura-Kura Tua adalah salah satu dari Empat Pengawal Gerbang Utama dari Istana Elang. Dia adalah Sang Air, Pengawal Gerbang Selatan sedang julukannya adalah Si Kura-kura Dewa dari Selatan yang sangat menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan air, baik danau, rawa, sungai maupun lautan. Konon ... kabar yang berhembus di rimba persilatan, usianya sudah mencapai lebih dari tiga ratus tahun, karena si Kura-Kura Tua sudah ada sejak Ketua Istana Elang generasi ke 29. Saat ini, kurasa hanya dialah yang menjaga Istana Elang untuk sementara waktu, sampai orang yang ditunjuk oleh ketua lama muncul.”
“Wah ... kalau begitu tua sekali, ya kek. Kok bisa ada orang yang bisa bertahan hidup sampai ratusan tahun? Terus apa yang dimaksud dengan ‘orang yang ditunjuk oleh ketua lama muncul’?”
“Setiap generasi Aliran Istana Elang akan menentukan sendiri siapa yang akan menggantikannya jika kelak ia telah tiada ... “
“Jadi semacam titisan atau reinkarnasi, begitu ya kek?” potong Paksi.
“Ya, bisa juga dikatakan begitu.”
“Kek, biasanya setiap aliran atau perguruan memiliki urutan orang-orang yang berkuasa dari tingkat rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Apakah Aliran Istana Elang juga mempunyai urutan-urutan jabatan seperti itu?” tanya Paksi sambil tangan kanannya memasukkan potongan mangga ke dalam mulut.
“Hemm, cerdas juga anak ini,” batin kakek berjubah hijau itu.
“Benar! Aliran Istana Elang juga memiliki seperti apa yang kau katakan itu. Istana Elang memiliki seorang Ketua dan Empat Pengawal Gerbang Utama yang ahli dalam bidangnya masing-masing.”
“Siapa saja mereka itu, kek?”
“Yang pertama, tentu saja Ketua Istana Elang dengan sebutan Sang Angin, yang saat ini menjadi gurumu secara gaib yaitu Elang Berjubah Perak. Kemudian Pengawal Gerbang Timur – Sang Api yang digelari Si Naga Bara Merah, lalu Pengawal Gerbang Selatan – Sang Air yang bergelar Si Kura-kura Dewa dari Selatan, Pengawal Gerbang Barat – Sang Bumi yang dijuluki Si Harimau Hitam Bermata Hijau dan Pengawal Gerbang Utara – Sang Batu dengan sebutan Si Kapak Batu Sembilan Langit.”
“Apakah sekarang ini, beliau-beliau itu sudah meninggal terkecuali Sang Air, kek?” tanya Paksi.
“Benar! Semua yang kakek ceritakan padamu memang sudah menghadap Yang Kuasa. Yang tertinggal dari mereka adalah ruh suci, yang kini sedang mencari titisan ilmu-ilmu yang mereka miliki. Setiap titisan akan memiliki ilmu dan kekuatan yang sama dengan pemilik aslinya kecuali Sang Angin, karena mendiang guruku mengatakan bahwa setiap titisan Sang Angin akan memiliki kelebihan dibanding pendahulunya dimana kelebihan itu bisa sama dan bisa juga berbeda dengan pendahulunya.”
“Lalu, bagaimana caranya untuk membedakan tiap titisan itu, kek?” tanya Paksi kembali.
“Pertanyaan yang bagus!” ucap Tabib Sakti Berjari Sebelas, lanjutnya, “ ... untuk membedakannya adalah hal mudah. Bedanya terletak pada rajah yang melekat pada tubuh mereka.”
“Rajah?”
“Benar! Rajah itulah yang membedakan mereka itu titisan siapa. Seperti halnya dirimu yang memiliki Rajah Elang Putih di kening, menandakan bahwa kau adalah titisan Sang Angin. Rajah itu bisa berada di mana saja. Bisa di tangan, di dada, di kening seperti yang kau miliki. Bahkan si Kura-Kura Tua itu memiliki ‘Rajah Kura-Kura Hijau’ yang letaknya di bagian punggung.”
Seolah tanpa sadar, Paksi Jaladara meraba keningnya. Terasa sekali tanda rajah yang dimilikinya sejak lahir itu saat diraba. Rajah yang disembunyikan di balik kain merah yang melingkar di kepala.
Seolah bisa membaca pikiran anak itu, Tabib Sakti Berjari Sebelas berucap, “Tidak hanya pada dirimu saja yang memiliki tanda seperti itu. Namun yang perlu kau waspadai adalah orang-orang yang memiliki tanda lahir dari Penerus Iblis ... ”
“Tanda lahir Penerus Iblis?”
“Benar, Nak! Sebenarnya saat ini sedang terjadi suatu pergolakan dari aliran sesat yang sedang membangkitkan kembali ajaran Tantrayana Kuno yang sudah punah ratusan tahun lalu ... ”
“Ajaran Tantrayana Kuno? Apa itu kek?” tanya Paksi dengan rasa ingin tahu.
Tabib Sakti Berjari Sebelas atau Ki Gedhe Jati Kluwih menggeser tempat duduknya, dan bersandar pada pohon mangga di belakangnya, diikuti oleh Paksi yang juga beringsut mendekat. Kepalanya sedikit mendongak ke atas, seolah sedang mengumpulkan ingatannya tentang aliran sesat itu. Ingatannya kembali pada pengalamannya saat berkelana ke negeri seberang, baik Negeri Tiongkok maupun Negeri Hindustan, dimana dia pernah melihat ajaran sesat yang kini sedang dibangkitkan oleh golongan hitam di tanah Jawadwipa ini.
“Saat ini ... ajaran sesat itu masih terpusat di suatu tempat di wilayah bekas Kerajaan Kediri. Akan tetapi Kakek tidak tahu dimana tepatnya. Tapi tidak menutup kemungkinan ajaran itu akan meluas ke daerah lain. Ajaran ini oleh penganut tantra dinamakan sebagai ajaran Bhirawa Tantra,” kata Ki Gedhe Jati Kluwih.
Bocah kecil itu mengangguk-anggukan kepala. Otak cerdasnya mencerna setiap keterangan yang keluar dari mulut kakek berjubah hijau itu.
“Dalam ajaran ini, seseorang bisa meraih atau mempertahankan kekuasaan, kekuatan, dan kesaktian dengan tumbal darah para musuhnya. Jika dalam perang mereka unggul maka darah segar para lawannya akan segera diminum sebagai ritual yang wajib dilakukan. Lebih sadis, pada tataran yang lebih tinggi, penganut Bhirawa Tantra tidak hanya minum darah korban, tapi juga memakannya, baik sebagian atau pun seluruhnya.”
“Gila! Keji sekali perbuatan mereka!” potong Paksi mengomentari ulasan itu. “Lalu ... lanjutnya bagaimana kek?”
“Dalam cerita pewayangan pun dikisahkan, beberapa tokoh raksasa yang suka minum darah lawan yang sudah tewas atau pun langsung menghisapnya. Diantaranya adalah Raja Alengka, Prabu Dasamuka alias Rahwana. Meski seorang raja, ia tak segan untuk menggigit dan menghisap darah musuhnya di medan pertempuran. Juga Raja Purwacarita, Prabu Baka yang suka minum darah dan makan daging manusia ... ”
“Tapi kek, saya pernah baca dalam kitab ‘Mahabharata’, minum darah juga dilakukan oleh Raden Bima alias Raden Werkudara. Dalam Perang Barathayuda ia minum darah Raden Dursasana yang telah tewas hanya untuk memenuhi sumpah dan janjinya, padahal ia seorang ksatria dan bukan golongan denawa atau raksasa,” kata Paksi kemudian.
“Betul! Saat itu Raden Werkudara sedang memenuhi sumpahnya atas perbuatan Raden Dursasana yang menodai kesucian seorang istri dan juga Permaisuri Agung, yaitu Dewi Drupadi, istri dari Raja Amarta yang bernama Prabu Puntadewa,” jawab kakek berjubah hijau yang memiliki pengetahuan luas itu melanjutkan kembali ceritanya.
Penganut ajaran Tantrayana aliran Bhirawa atau bisa disebut Bhirawa Tantra digambarkan lebih hebat kemampuan ilmu gaibnya karena dikenal sebagai pemuja Dewa Syiwa. Sesuai dengan pujaannya, penganut ajaran ini suka mengumbar hawa nafsu sebagai perwujudan kepercayaan untuk menguasai ilmu kekebalan, bahkan bisa ‘Mancala Putra Mancala Putri’ (berubah wujud).
Tantrayana merupakan aliran yang berdasarkan ajaran Tantra. Dalam bahasa Sansekerta, Tantra berarti aturan ritual atau upacara. Ajaran-ajaran ini lahir dari ajaran yang beraliran magis (ilmu gaib) yang diperoleh dari Kitab Purana. Naskah-naskah Tantra itu berkembang dari ajaran yang konsep utamanya mengagungkan dan menyembah kekuatan Yoni. Sasaran penyembahan yang berciri kekuatan Yoni itu berasal dari personifikasi sebagai istri (Sakti) Vishnu (Wisnu) yaitu Radha. Pada sebagian aliran Tantra juga menyembah Devi, Sakti Siva (Syiwa). Sakti (istri) Dewa yang disembah itu dalam bentuk yang lembut dan anggun digambarkan sebagai Uma dan Gauri. Sedangkan dalam bentuk yang garang dan sadis digambarkan sebagai Durga atau Dewi Kali. Karena itu, tokoh dalam cerita Nyai Calon Arang atau Mahendradatta sebagai pemuja Durga, dewi kejahatan sering dimunculkan. Mahendradatta juga juga menganut ilmu gaib (sihir) aliran Tantrisme yang memuja Bhirawa Mahakali yang tak lain adalah Bathari Durga adanya.
Terdapatnya hubungan antara ajaran tantra itu dengan sejarah Kerajaan Kediri. Sesungguhnya nama Kediri berasal dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), Khadiri atau Dhaha, identik dengan nama Panjalu yang berarti tegak (mengacu pada makna negatif Lingga). Karena itu ajaran yang berkembang banyak menganut nilai-nilai budaya yang mengakar pada pemujaan kaum laki-laki dalam segala aspek, yang diperdangkal pada kekuasaan nafsu syahwatnya. Dimana laki-laki identik dengan kegagahan, kekerasan, keberanian, kemenangan, kebangsaan, kekuasaan, kekejian dan kebengisan. Lebih dangkal lagi, kejantanan dimitoskan sebagai kemampuan syahwat laki-laki. Adapun konsep ajaran yang menggegerkan dunia persilatan ini bersumber pada Kitab Tantrayana, Nilatantra, Sang Hyang Kamahanan Mantrayana dan juga Mahanirwanatantra.
Dijelaskan bahwa para penganut Tantra akan mempunyai tubuh kebal dari senjata tajam bila telah berhasil melakukan upacara Panca Makara, yaitu laki-laki perempuan dalam keadaan tanpa busana secuilpun mengelilingi ‘Mukara’ (tumpeng selamatan) yang dipimpin seorang Cakra Iswara. Mukara ini berisi sesaji yang terdiri daging, ikan dan arak. Urutan upacara terdiri atas ‘Modsa’ (makan daging), ‘Modsia’ (makan ikan), ‘Modya’ (minum arak sampai mabuk), ‘Mautuna’ (bersenggama) dan ‘Mudra’ (bersemadi) setelah nafsu perut dan syahwat terpenuhi.
“Begitulah ... inti ajaran Tantrayana yang pada puncaknya, orang yang menjadi penganutnya akan punya kedigdayaan atau kesaktian yang luar biasa. Diantaranya adalah kebal berbagai macam senjata tajam ... ”
“Huh, perbuatan yang hina sekali, kek. Hanya karena ingin menjadi sakti harus melakukan hal-hal yang melanggar hukum alam. Semoga saja mereka di laknat oleh penguasa alam raya ini,” kata Paksi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Tabib Sakti Berjari Sebelas. “Kek, bukankah minum darah hewan tidak bisa dibenarkan, apalagi darah manusia sebab ketika seseorang terbiasa minum darah, maka jiwanya akan seperti binatang buas sehingga jadi ganas dan buas?”
“Benar! Manusia semacam ini bertentangan dengan fitrahnya sendiri. Fitrah manusia itu selalu menjaga keluhuran akhlaknya. Dan ... ini berbeda dengan binatang buas dan ganas. Jika manusia terbiasa minum darah sehingga ia menyerupai binatang, maka manusia yang seperti ini telah kehilangan sifat kemanusiaannya,” terang kakek berjubah hijau mengomentari perkataan bocah berikat kepala merah itu.
“Kehilangan ... sifat kemanusiaan?”
“Ya! Kalau ada manusia yang suka memakan atau meminum darah maka akan jadi buas seperti bintang. Segi ruhaninya yang luhur akan kalah. Sekali lagi, kalau orang suka minum darah yang banyak, berarti ia sudah terbiasa. Kebiasaan ini akan menyebabkan dia jadi buas. Dan setelah buas, maka hilanglah sifat kemanusiaannya.”
Panjang lebar kakek berjubah hijau itu mengemukakan pendapat tentang segala hal yang berhubungan dengan aliran sesat Bhirawa Tantra.
Dalam pada itu, waktu terus berjalan tanpa terasa. Terik matahari kini berubah redup seiring dengan hembusan angin yang sore yang segar. Setelah membersihkan diri di tepi sungai yang jernih airnya, dekat dimana mereka semula berhenti, di bawah pohon mangga.
Melihat banyaknya ikan-ikan liar yang bebas lalu lalang di dalam air, membuat Paksi berkeinginan menangkap beberapa ekor untuk santap malam. Sambil tertawa-tawa, bocah itu berlarian kesana kemari menggiring ikan-ikan yang cukup gemuk. Dari sudut matanya, terlihar seekor ikan lele yang cukup besar dan gemuk.
“Hemmm, lumayan untuk mengganjal perut,” batinnya.
Dengan perlahan-lahan dia menggeser kaki sedikit merentang dengan badan sedikit doyong ke depan. Tangan kiri terkepal di pinggang, sedang tangan kanan membuka lurus. Ditariknya napas perlahan-lahan, lalu ...
Byukk! Byarr!!
Air didepannya dihantam, sehingga air muncrat ke atas membentuk pilar air dan terlihat beberapa ikan termasuk ikan lele yang gemuk ikut terperangkap didalamnya.
“Kek, terima ini!”
Bersamaan dengan selesainya ucapan, Paksi dengan cekatan meloncat ke udara, lalu melakukan tendangan samping ke arah pilar air, tepat di samping kiri pilar air mana beberapa ekor ikan lele itu berada.
Byarr!
Dalam waktu sepersekian detik, pilar air yang semula menjulang beberapa tombak, kini hancur bercerai berai terkena hantaman tendangan yang cukup kuat.
Wutt!
Ikan lele itu meluncur cepat, dan tepat ke arah si kakek tua berjubah hijau berada.
Tap!
Dengan masih duduk santai, tangan kanan kakek itu menangkap ikan dengan cekatan, dirasakannya getaran kuat pada ikan yang ditangkapnya.
“Hebat! Tenaga dalam yang dimilikinya sudah sejajar dengan pendekar tingkat tiga. Tanganku masih bisa merasakan getaran tenaga dalamnya.” bathinnya.
“Paksi, tangkap beberapa ekor lagi! Kalau ada, ikan bader juga boleh. Sebentar lagi si Perak pulang,” serunya.
Paksi menganggukkan kepala sambil mengacungkan ibu jari kanannya.
 
Bab 9

Pada keesokan harinya ...
Pagi itu, ketika matahari masih mengintip di ufuk timur, terdengar bentakan-bentakan nyaring dan pekikan suara burung yang silih berganti. Ternyata, Paksi sedang melatih jurus-jurus silat yang dikuasainya, ditemani oleh si Perak yang juga berkelebat kesana-kemari menyerangnya. Gerakan Paksi cukup lincah, cukat trengginas dalam menghadapi serangan. Latihan silat di pagi itu cukup membuat tubuh bocah berkeringat, sehingga tubuh yang telanjang dada itu tampak berkilauan terkena sinar matahari.
Awwkk! Awwkk!!
Polah tingkah dua makluk berbeda jenis itu, tidak luput dari pandangan mata kagum Tabib Sakti Berjari Sebelas, yang sedari tadi menonton latihan silat itu. Laki-laki tua berjubah hijau itu mengangguk-anggukkan kepala melihat jurus-jurus yang dikerahkan oleh Paksi.
“Hmmm, meski gerak jurus yang digunakan masih terlalu mentah, namun sudah cukup bagus untuk anak seusianya. Daya tangkapnya betul-betul luar biasa. Hanya dengan melihat sekali saja gerakan si Perak, sudah bisa menterjemahkan dalam sebuah jurus silat. Ck, ck, ck ... bukan main! Pilihan si Elang Berjubah Perak memang tidak salah.” gumamnya. “Lebih baik, aku jajal saja anak itu. Yah ... hitung-hitung melemaskan otot tuaku ini.”
Ki Gedhe Jati Kluwih yang juga bergelar sebagai Tabib Sakti Berjari Sebelas langsung menerjang ke arah Paksi, yang saat itu sedang menghindar dari sambaran cakar si Perak, saat mana Paksi menggulingkan badan ke bawah, lalu diikuti dengan sambaran tangan kanannya yang membentuk cakar kokoh ke arah dada si Perak, dengan jurus ‘Elang Pemburu Mencuri Hati’!
Sett! Plakk!!
Si Perak yang tahu bagian diserang, segera menangkis dengan sayap kiri diikuti dengan gerakan mematuk ke arah tenggorokan.
Wett!
Paksi yang tidak mau lehernya terkena patukan sang elang, segera membuang diri ke belakang dan bersamaan dengan itu pula, sekelebat bayangan hijau menerjang dengan pukulan ke arah lambung kirinya.
Wutt ... !!
Melihat datangnya serangan yang tidak diduganya sama sekali, membuat Paksi tidak panik atau pun gugup. Sambil bergulingan di tanah, ke dua tangan menepak tanah, lalu tubuh kecil itu melenting ke atas.
Tapp! Wuss!!
Kemudian dari atas, tubuhnya berputar seperti gasing dengan kaki kiri terjulur ke arah bayangan hijau yang baru saja menyerangnya. Bayangan hijau yang tak lain adalah Ki Gedhe Jati Kluwih, terkejut melihat serangan balik yang dilakukan Paksi.
Sebagai seorang pendekar ternama yang sudah malang melintang di rimba hijau, serangan balik tidak membuatnya gentar. Kedua tangan segera disilangkan di atas kepala untuk menghadang datangnya serangan dari atas yang dilancarkan Paksi, sedang kedua kakinya membentuk kuda-kuda yang kokoh. Aliran ‘Tenaga Sakti Pulau Khayangan’ dikerahkan sepertiganya untuk menahan gempuran Paksi Jaladara.
Dukk!! Deshh!!
Terdengar benturan keras saat jurus ‘Tendangan Berpusar Menyapu Angin’ Paksi Jaladara bertemu dengan hadangan sepasang tangan bersilang dari jurus ‘Menahan Samudera Menepis Gelombang’ yang dilakukan Tabib Sakti Berjari Sebelas, yang merupakan salah satu jurus benteng pertahanan yang seringkali digunakan kakek itu bisa menghadapi serangan dari atas ataupun serangan dari segala penjuru.
Duasshh ... !
Hasilnya, kakek tua itu terjajar beberapa langkah, sedangkan Paksi terpental balik!
“Hebat, tendangannya mengandung hawa beku yang cukup menyengat. Kedua tanganku sampai terasa kebas. Betul-betul anak yang tangguh! Dari mana bocah itu mempelajari hawa tenaga dalam pembeku seperti ini? Apa mungkin ini merupakan tenaga bawaan yang dimilikinya sejak lahir!?” batin kakek berjubah hijau itu sambil mengalirkan tenaga dalamnya untuk menetralisir hawa beku itu.
Di saat tubuhnya melayang di udara, Paksi segera menggerakkan ke dua tangan memeluk lutut lalu bersalto beberapa kali, dan dengan manis mendarat di tanah tanpa kurang suatu apa!
Kemudian bocah itu membuat gerakan yang cukup aneh, badan Paksi Jaladara membungkuk dengan kedua tangan membentuk cakar terkembang sedikit bergeser ke belakang, kaki kanan sedikit menjulur ke depan sejajar kepala sedang kaki satunya menekuk ke dalam. Mata sedikit menyipit mengawasi dengan tatapan tajam, mirip gerakan seekor elang yang siap menyerang mangsa!
Tenaga sakti berhawa dingin mulai dibangkitkan dari pusarnya. Dari pusar, tenaga itu merambat naik melewati nadi-nadi jalan darah, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Setelah tenaga itu tersalur semua, Paksi Jaladara menghentakkan kaki kiri ke tanah, lalu tubuhnya melesat cepat ke arah kakek didepannya.
Kini, latih tanding pecah di pagi yang cerah itu!
Paksi Jaladara menyerang dengan gerakan-gerakan mirip elang yang lincah dan tangkas, sedangkan Tabib Sakti Berjari Sebelas lebih banyak bertahan dari pada menyerang. Jurus ‘Menahan Samudera Menepis Gelombang’ kembali digunakan untuk menahan serangan Paksi yang datang bertubi-tubi. Kadangkala kakek itu menyerang dengan jurus-jurus silat tangan kosong yang dmilikinya, baik berupa pukulan mau pun tangkisan. Tak henti-hentinya dia mengagumi anak laki-laki Ki Ragil Kuniran itu.
“Heaa ... heaa ... !!”
Sementara itu, cakaran, tendangan bahkan patukan tangan Paksi Jaladara datang silih berganti menerjang ke arah Tabib Sakti Berjari Sebelas bagaikan ombak di laut yang menghantam batu karang. Selama ini, Paksi hanya latih tanding dengan si Perak dan baru kemarin ia merasakan pertarungan sesungguhnya saat Gerombolan Serigala Iblis yang dipimpin Ratu Sesat Tanpa Bayangan menyerang Padepokan Singa Lodaya. Sekarang, disaat sedang latih tanding dengan si Perak, Tabib Sakti Berjari Sebelas malah masuk ke gelanggang. Tentu saja Paksi Jaladara senang sekali, karena inilah kesempatan emas untuk mengeluarkan semua ilmu silat dan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
Paksi Jaladara menyerang dengan sungguh-sungguh. Bahkan jurus ‘Kelebat Ekor Elang’, jurus yang terakhir kali dikuasainya, sudah siap-siap dikerahkan. Tubuh Paksi Jaladara melenting tinggi ke atas, kemudian badannya berbalik memunggungi, lalui turun ke bawah dengan kaki kiri dijulurkan terlebih dahulu. Terasa kesiuran angin dingin yang menyertai serangan kilat Paksi Jaladara. Tenaga dingin membeku mengiringi serangan jurus ‘Kelebat Ekor Elang’ ke arah kakek tabib itu.
Whuss ...!!
“Bagus! Jurus yang luar biasa!” seru Ki Gedhe Jati Kluwih.
Kembali jurus ‘Menahan Samudera Menepis Gelombang’ yang dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam mendekati separuh tenaga dari yang dimilikinya. Terlihat cahaya putih samar-samar melingkupi sepasang tangan yang bersilangan untuk menghadang jurus ‘Kelebat Ekor Elang’!
Dughh!! Desshh!! Dharr ... !!
Terdengar benturan cukup nyaring saat dua serangan itu beradu. Paksi pun terpental ke belakang, namun masih bisa menguasai diri. Bocah berikat kepala merah itu berjumpalitan beberapa kali untuk mengurangi daya lontarannya, setelah beberapa kali jumpalitan, Paksi Jaladara berhenti dengan kaki tegap di tanah dengan senyum tersungging puas!
Akan halnya Ki Gedhe Jati Kluwih, hanya terhuyung-huyung ke beberapa empat lima tindak ke belakang. Di seluruh tubuh terasa diselimuti hawa dingin membeku, terutama sekali pada sepasang tangannya yang tadi menahan benturan. Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan segera saja mengalirkan tenaga dalam berhawa panas untuk menetralisir hawa dingin tersebut. Beberapa saat kemudian, kakek itu sudah terbebas dari kungkungan hawa dingin itu.
“Cukup, Paksi! Cukup!” teriak kakek itu, saat Paksi siap-siap untuk menyerangnya, sedang dalam hati ia berkata, “Mmm ... bocah ini makin lama makin kuat saja.”
Paksi langsung mengendurkan posisinya, lalu berjalan menghampiri kakek itu, lalu mencium tangan kanan si kakek.
“Maaf ... kalau Paksi tadi menyerang kakek terlalu keras,” kata bocah itu.
“Ha-ha-ha-ha ... kau ini ada-ada saja! Justru kakek sangat bangga padamu. Ilmu silat dan tenaga dalam yang kau miliki sudah cukup bagus. Kau perlu latihan yang lebih keras lagi, agar ilmu yang kau miliki semakin matang.”
“Baik, kek! Nasehat kakek akan Paksi perhatikan!”
“Oh ya, berapa jurus silat yang sudah kau kuasai sekarang ini, jurus silat yang kau pelajari dari si Perak itu?” tanya Tabib Sakti.
“Emm ... sekitar delapan jurus kek, memangnya ada apa?”
“Hemm, baru delapan jurus? Apa kau sudah menguasainya dengan sempurna?” tanya kakek itu lagi.
“Entahlah kek, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, saya sudah merasa cocok dengan jurus-jurus silat tersebut,” tutur Paksi Jaladara. “Menurut kakek guru Elang Berjubah Perak, ilmu yang saya pelajari adalah Ilmu Silat ‘Elang Salju’.”
“Dari mendiang guruku, jurus-jurus silat dari Istana Elang sangat beraneka ragam bentuk dan jenisnya. Baik berupa pukulan, tendangan, totokan maupun ilmu-ilmu sakti lainnya. Salah satunya adalah Ilmu Silat ‘Elang Salju’ yang saat ini sedang kau pelajari,” kata Ki Gedhe Jati Kluwih, sambil mengelus-elus jenggotnya, “ ... setahuku, Ilmu Silat ‘Elang Salju’ terakhir kali kudengar terdiri dari tujuh belas jurus. Jurus ini dulunya hanya delapan jurus inti saja. Hanya ilmu silat ini saja yang jurus serangan selalu bertambah dan berbeda-beda.”
“Tujuh belas jurus yang selalu bertambah dan berbeda-beda?”
“Benar, karena setiap generasi dari Ketua Istana Elang yang pernah menguasai ilmu silat ini, menambahkan satu jurus lagi sebagai jurus pamungkas. Sampai si Elang Berjubah Perak menambahkannya menjadi jurus ke enam belas dan jurus tujuh belas. Mungkin saja nanti kau akan menemukan jurus yang ke delapan belas atau mungkin malah lebih.”
“Ooo, begitu.”
Sambil berjalan ke arah batu besar, kakek itu menggandeng Paksi sambil memberikan tahu dimana letak kelemahan dari ilmu silat yang dimilikinya. Paksi pun mendengarkan dengan seksama, kadangkala bertanya jika ada hal-hal yang sulit dimengerti.
Pagi itu pula, Tabib Sakti itu mengajarkan salah ilmu yang pernah dipelajarinya dari Kuil Shaolin dari Negeri Tiongkok, yaitu jurus silat ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’, yang merupakan pecahan dari Ilmu Silat ‘Sembilan Serangkai Elang Sakti’ aliran Kuil Shaolin. Jurus ini jarang sekali dipakai, karena pada intinya hampir sama dengan ilmu ringan tubuh, akan tapi digabung dengan penggunaan ketangkasan cakar tangan dan kaki sebagai bentuk jurus serangan berantai. Namun, karena kurang leluasa dalam menggunakan ilmu ini, kakek itu jarang sekali menggunakannya.
Jurus ini didapatnya saat dia berkelana ke Negeri Tiongkok, waktu berusia sekitar tiga puluh lima tahunan, tanpa sengaja menolong seorang biksu tua yang sedang terluka karena dikeroyok perampok. Terjadilah pertarungan seru antara Jati Kluwih dengan para perampok tersebut, dan akhirnya para perampok itu bisa dipukul mundur. Oleh Jati Kluwih, biksu tua itu diantar ke Kuil Shaolin, dan sebagai tanda terima kasih, Jati Kluwih mendapatkan kehormatan untuk mengunjungi Gedung Pustaka Kuil Shaolin dan diijinkan membaca serta mempelajari kitab-kitab yang ada.
Pada mulanya, Jati Kluwih menolak, karena tujuan menolongnya memang benar-benar tanpa pamrih. Tapi biksu tua itu, yang ternyata Biksu Kepala Gedung Pustaka tetap memaksanya. Akhirnya dengan diantar sendiri oleh Biksu Kepala Gedung Pustaka, yang tentu saja dengan seijin Ketua Biksu Kuil Shaolin, Jati Kluwih berkeliling Gedung Pustaka Kuil Shaolin. Di Gedung Pustaka Kuil Shaolin terdapat bermacam ilmu-ilmu dunia persilatan yang aneh dan langka, berbagai macam karya sastra dan segala macam pengetahuan seolah-olah tertumpuk di Gedung Pustaka Kuil Shaolin.
Hingga sampailah Jati kluwih di ‘Ruang Dewa Obat’, di mana terdapat berbagai macam teknik pengobatan yang langka dan unik. Pemuda itu begitu antusias sekali melihat kitab-kitab pengobatan yang berjajar rapi di atas rak buku. Akhirnya, Jati Kluwih memohon diri ingin mempelajari ilmu pengobatan, karena dia sendiri sebenarnya juga seorang tabib yang tentu saja sangat tertarik dengan ilmu pengobatan yang sangat asing bagi dirinya.
Ketua Biksu Kuil Shaolin bersedia meminjamkan ‘Ruang Dewa Obat’ selama 1 tahun untuk digunakan Jati Kluwih dalam mempelajari ilmu-ilmu pengobatan aliran Kuil Shaolin, bahkan Ketua Biksu sendiri berkenan mengajarkan salah satu ilmu unik, yaitu jurus silat ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’, yang merupakan salah satu rangkaian dari ilmu silat ‘Sembilan Serangkai Elang Sakti’ aliran Kuil Shaolin.
Maka, Paksi Jaladara yang pada dasarnya sudah menguasai dasar-dasar silat ‘Elang Salju’, mulai mempelajari jurus itu. Atas petunjuk Tabib Sakti Berjari Sebelas, Paksi mengikuti langkah-langkah kaki dengan diimbangi peringan tubuh dan penggunaan tenaga dalam digabung dengan serangan berantai. Bocah berikat kepala merah itu dengan cepat bisa menangkap inti dari jurus silat yang dipelajarinya.
Tak sampai siang, Paksi sudah lancar dan bisa dibilang menguasai secara sempurna jurus ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’ yang diajarkan kakek berjubah hijau itu, karena memang pada dasarnya bocah itu memang sangat berbakat dalam mempelajari ilmu silat.
“Paksi ... coba ulangi jurusmu dan ingat, penggunaan tenaga dalam jangan terlalu dipusatkan pada kaki, tapi juga bagian tanganmu yang mencengkeram,” kata kakek itu saat Paksi sudah selesai dengan jurusnya.
“Baik, kek!”
Mulailah Paksi Jaladara memperagakan kembali jurus ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’ yang baru saja dikuasainya. Tubuhnya menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan cepat, diikuti dengan sepasang tangannya yang yang menerbitkan suara cuitan tajam seolah mencengkeram udara dengan tak tentu arah, sedang ke dua kaki dengan ringan bergerak ke sana kemari mengikuti jalur angin yang berhembus. Tampak gerakan Paksi laksana elang muda yang menyambar-nyambar yang diiringi kesiuran angin berhawa dingin. Setiap sambaran tangannya menerbitkan angin tajam yang bisa merobek kulit. Pedih dan perih.
Ki Gedhe Jati Kluwih juga merasakan perubahan itu.
“Tak kukira jurus ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’ bisa sehebat ini! Pantas saja Ketua Biksu berpesan agar aku berhati-hati bila menggunakan jurus ini. Bocah itu benar-benar memiliki bakat yang luar biasa ... ” katanya lirih, lalu lanjutnya, “ ... namun sayang, guru berpesan aku hanya boleh mengajarkan ilmu-ilmu pengobatan padanya, tidak boleh mengajarkan Ilmu Silat ‘Aliran Pulau Khayangan’ pada pewaris Istana Elang ini. Sayang sekali! Tapi ... tak apalah, meski cuma satu jurus saja, aku sudah cukup puas.”
Memang, Malaikat Sepuh Pulau Khayangan, guru dari Tabib Sakti Berjari Sebelas, berpesan tidak boleh menurunkan Ilmu Silat ‘Aliran Pulau Khayangan’ kepada orang-orang yang berhubungan dengan titisan ilmu Ketua Istana Elang, karena pada intinya ilmu mereka sangat bertolak belakang, andaikata nekad dipelajari, akan terjadi bentrokan tenaga di dalam tubuh, sehingga orang yang mempelajarinya bisa tewas seketika karena tubuhnya meledak hancur atau paling tidak bisa cacat seumur hidup.
Hal ini pernah terjadi, di saat kakek gurunya Malaikat Sepuh Pulau Khayangan, mengajarkan salah satu Ilmu Sakti ‘Aliran Pulau Khayangan’ pada Ketua Istana Elang generasi ke 27, yang mengakibatkan sang ketua hilang ingatan dan akhirnya pada satu purnama kemudian, tubuhnya meledak tercerai-berai karena terjadi pertentangan tenaga dalam yang bertolak belakang.
Semenjak peristiwa itu, seluruh pendekar-pendekar Aliran Pulau Khayangan dilarang keras untuk mengajarkan ilmu-ilmu asli Pulau Khayangan kepada ketua atau calon ketua Istana Elang, akan tetapi bila pada orang lain yang bukan ketua atau calon ketua Istana Elang dan atau pada anggota-anggota Istana Elang, tidak menjadi masalah. Andaikata memiliki ilmu silat atau ilmu-ilmu tertentu yang tidak ada hubungannya dengan ilmu-ilmu Aliran Pulau Khayangan, juga tidak menjadi masalah, seperti yang diturunkan Malaikat Sepuh Pulau Khayangan sendiri pada si Elang Berjubah Perak, yang mengajarkan jurus silat ‘Tombak Pengacau Langit’, yang merupakan salah satu ilmu pamungkas dari Perguruan Tombak Halilintar.
Seperti halnya Tabib Sakti Berjari Sebelas yang mengajarkan jurus ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’ dan berniat menurunkan pula ilmu pengobatan yang berasal dari Kuil Shaolin, sedang ilmu pengobatan Aliran Pulau Khayangan tidak diajarkan sama sekali.
“Paksi, muntahkan tenaga dalammu ke sungai itu!”
Paksi yang saat itu sedang mendekati babak akhir dari jurus silat ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’, mengarahkan sambaran cakarnya sambil memutar tubuh dengan cepat.
Whirr ... ! Whirr ... !! Whuss ... !!
Terdengar kesiuran angin dengan tajam, bahkan daun-daun kering ikut terbawa pusaran angin.
Dhar!! Dharrr! Dhar!! Dharrr! Dhar ... !! Dharrr ... !
Terdengar rentetan ledakan berturut-turut saat cakar elang itu menerjang air sungai. Air sungai semburat tercerai berai saat terkena muntahan tenaga dalam dari jurus ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’ yang dilancarkan bocah berikat kepala merah itu. Setelah melakukan lontaran tenaga tadi, Paksi melakukan gerakan jungkir balik dan mendaratkan kaki di tanah dengan mantap!
Plok! Plok! Plok!
“Bagaimana, kek? Apa ada yang salah dari jurus tadi?”
“Bukan main, tak kukira hasilnya bisa seperti itu! Tidak ada yang salah. Bisa dibilang cukup sempurna. Sungguh luar biasa ... ” puji Tabib Sakti itu. “ ... lebih baik, kau segera berkemas, kita akan melanjutkan perjalanan.”
“Baik, kek.”
Paksi pun segera menuju ke tepi sungai, lalu mandi. Setelah selesai dan badan terasa segar kembali, kemudian menyantap ikan bakar yang lumayan besar, Ki Gedhe Jati Kluwih, Paksi Jaladara dan elang perak itu melanjutkan perjalanan kembali. Tanpa terasa perjalanan mereka berdua sudah memakan waktu hampir satu setengah tahun lebih dan tujuan mereka pun semakin dekat saja.
Tujuan mereka adalah menuju ke Lembah Badai!

-o0o-
 
Bab 10

Di lereng Gunung Tambak Petir, terdapat sebuah lembah yang sangat liar. Ditumbuhi rumput-rumput aneh berwarna putih salju namun dikelilingi oleh hutan lebat lengkap dengan binatang-binatang buas, dan jarang didatangi manusia, karena lembah itu terkenal sebagai tempat yang sangat berbahaya, seperti ungkapan jalma moro jalma mati, sato moro sato mati. Bahkan binatang yang paling liar dan ganas sekali pun tidak ada yang berani menginjakkan kaki di disana, terutama di bagian selatan lembah. Karena semakin ke selatan, angin terasa semakin keras dan dingin membekukan tulang belulang serta daerahnya yang berbatu-batu, tiba-tiba saja terjadi badai datang mengamuk.
Pada mulanya, angin datang dari arah barat dan utara, nampak seperti gulungan awan putih dan debu tertiup angin lalu tiba-tiba berhenti mendadak, namun tak lama kemudian, gulungan awan putih dan debu tadi yang tak lain adalah angin puting beliung yang datang dengan diiringi gelegar suara halilintar yang menyambar-nyambar, tanpa peduli itu musim kemarau atau pun hujan, datang tak terduga. Belum lagi jika datang badai salju yang membuat udara bergulung-gulung butiran-butiran es yang berhamburan dan kadang berombak seperti riak air laut, menelan apa saja yang menghalang di depan.
Tapi anehnya, hanya pada daerah lembah saja yang terjadi badai salju dan halilintar yang mengamuk dan bukan berarti daerah yang berhutan merupakan tempat yang aman, bahkan imbasnya juga mencapai beberapa puluh tombak dari tepi luar hutan lebat tersebut, apalagi jika ditingkahi dengan suara gelegar halilintar, bisa terdengar hingga ratusan tombak jauhnya. Itulah sebabnya mengapa daerah di lereng selatan Gunung Tampak Petir itu dinamakan sebagai Lembah Badai, karena segala macam gelaja alam seakan tumpah ruah disitu semua.
Sementara itu, jauh di bawah kaki lembah membentang daerah berumput nan luas dan karena situasi padang rumput itulah yang membuat orang semakin segan untuk mendekati Lembah Badai.
Tempat itu dinamakan orang sebagai Ladang Pembantaian!
Di sekitarnya penuh dengan kerangka manusia dan binatang yang membeku, bahkan ada bagian berlumpur yang berisi mayat-mayat manusia dan bangkai-bangkai binatang yang terjebak dan mati beku hingga tidak bisa membusuk, sampai bertahun-tahun masih menjadi bangkai terpendam dan terbungkus lumpur.
Jalan menuju ke Lembah Badai hanya ada satu, yaitu dari jalur selatan, jika melalui arah lain tidak mungkin dilakukan sebab lembah itu kelilingi oleh jurang-jurang yang dalam, kecuali kalau orang itu bisa terbang, suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Dari arah selatan pun juga bukan jalan yang mudah, hanya saja jalan dari selatan kelihatan lebih mungkin dilalui manusia, walaupun jalan yang kelihatannya mudah, meski penuh dengan maut yang mengerikan.
Karena jalan melalui selatan ini berarti melalui Ladang Pembantaian!
Padang rumput yang luas namun sangat berbahaya itu hingga banyak binatang yang terperangkap dan mati di sekitar tempat itu, sehingga yang nampak hanya tulang belulangnya saja dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang juga manusia yang melakukan perjalanan lewat di tempat itu dan tersesat lalu menjadi korban keganasan alam, sehingga bangkai binatang dan mayat berserakan dimana-mana di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Ladang Pembantaian, neraka bagi yang tersesat dan juga kematian yang mengerikan!
Bahkan ada yang kelihatannya seperti tempat berumput biasa saja dengan rumput-rumputnya yang hijau dan pendek-pendek, tapi tempat itu merupakan tempat pembawa maut. Banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat dan lalu mengira bahwa tempat itu adalah tempat aman, akhirnya terperangkap dan sekali kaki mereka terperosok, sulit untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau itu seolah-olah memiliki tangan-tangan yang terpendam. Jika terinjak kaki, di bawah tebalnya rumput itu ternyata berisi lumpur hisap yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan hisap yang tidak terukur besarnya. Lumpur itu sangat dalam dan sekali kaki menginjak, sulit sekali ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu terhisap habis ke sampai dasarnya!
Bahkan bagi yang belum ditelan habis oleh lumpur hisap dan masih dapat berpegangan pada rumput-rumput dan tubuhnya terhisap hanya sampai separuh, tetap saja akan mati karena bagian tubuh yang terhisap ke bawah lumpur, darahnya akan dihisap sampai habis dan dagingnya digerogoti oleh Lintah Penghisap Darah dan satwa lain-lain yang hidup di dalam lumpur maut itu.
Pada bagian lain juga ada yang rumputnya berwarna biru pekat karena rumput ini mengandung racun ganas. Andaikata kaki atau bagian tubuh lain sampai menyentuh bahkan sampai terluka akibat getah rumput ini, yang bersangkutan akan jatuh terguling dengan muka pucat dan tak berapa kemudian akan mati dengan tubuh kering. Bahkan di sisi paling timur dari Ladang Pembantaian, terdapat rumput ilalang setinggi orang dewasa dan bisa menyesatkan karena luasnya, belum lagi jika terjebak atau terperosok ke dalam lubang-lubang kecil sarang ular kobra hitam yang beracun, dan banyak lagi binatang liar dan buas yang menghuni disitu, bersembunyi di dalam rumpun ilalang yang tinggi lebar itu.
Jadi, jalan menuju ke Lembah Badai hanya satu, yaitu dengan melalui padang rumput beracun yang dinamakan sebagai Ladang Pembantaian!
Namun, andai dilihat dari atas ketinggian, terutama jika dari pertengahan atau pun puncak Gunung Tambak Petir, semua hal yang mengerikan dan membuat bulu kuduk merinding itu tidak terlihat sama sekali, yang nampak hanyalah keindahan alam yang menakjubkan. Gemuruh badai salju dan kilatan petir nampak indah dari atas sana. Belum lagi jika rumput-rumput yang bergoyang tertiup angin, semakin tampak indah dan menawan saja. Apalagi di waktu matahari terbit atau waktu matahari tenggelam, bukan main indahnya pemandangan di kaki langit, di waktu bumi terbakar oleh sinar keemasan dan segala sesuatu nampak jelas dan indah.
Akan tetapi, di sore yang cerah itu, dimana sinar keemasan memancar terang dengan indahnya, tampak sesosok tubuh seorang kakek sedang berdiri mematung di tepi luar Ladang Pembantaian. Kakek yang sudah kelihatan uzur itu mengenakan baju hijau lengan panjang dengan celana komprang yang hijau pula, di pinggangnya terlilit sebentuk sabuk dari kulit ular sanca kembang yang diawetkan.
Tidak ada yang aneh dengan penampilan kakek itu. Mukanya sudah kerut merut pertanda dirinya sudah tidak muda lagi, diperkirakan usianya sudah mendekati delapan puluh tahunan, namun tubuhnya masih gagah tegap, tidak bongkok seperti kakek-kakek pada umumnya. Tinggi tubuh dan bentuk badannya juga biasa-biasa saja seperti layaknya orang-orang kebanyakan. Tapi, ada satu yang aneh pada kakek berbaju hijau itu. Dia menggunakan sebuah caping lebar yang jarang atau malah tidak ada orang mau meletakkannya di atas kepala sekalipun, sebab caping itu bukan dari anyaman bambu atau rotan tapi caping yang terbuat dari tempurung kura-kura!
Mulutnya lincah bergerak kesana kemari seakan mengunyah sesuatu sedang matanya mencorong tajam mengawasi sekelilingnya. Tangan kirinya asyik memutar-mutar rumput yang dimasukkan ke dalam telinganya.
“Hemm, kemana perginya bocah tengik itu? Sudah menjelang malam begini belum pulang juga,” gumamnya sambil terus mengawasi keadaan sekelilingnya.
Tiba-tiba, matanya yang tajam menangkap suatu gerakan di semak-semak sebelah selatan, dan tak lama kemudian muncullah seorang anak laki-laki berbadan gemuk berbaju sama hijau dengan baju si kakek, yang sedang tersenyum-senyum cengengesan sambil berjalan ke arah kakek aneh itu. Di tangan kanannya tertenteng empat ekor kelinci yang masih hidup dan tubuhnya cukup gemuk, mungkin ditangkapnya saat ia menuju ke tmpat itu. Kalau seorang bocah seperti dia menangkap kelinci dengan mudah, bisa diperkirakan seberapa hebat ilmu peringan tubuhnya.
“Bocah brengsek, kemana saja kau?” bentaknya marah.
Anak laki-laki yang disebut ‘bocah brengsek’ oleh kakek itu hanya tersenyum saja. Tubuhnya yang gemuk berjalan dengan ringan seolah berat badan itu tidak berpengaruh sama sekali dengan dirinya. Bocah itu berusia kurang lebih sepuluh tahunan dengan muka bulat bundar, kulit hitam kecoklatan karena seringnya tertimpa sinar matahari. Meski badannya gemuk, namun gerakannya nampak gesit dan lincah. Bocah itu mengenakan baju dan celana yang sama dengan kakek itu yaitu berwarna hijau tua. Bahkan sabuk kulit ular pun juga sama persis, bedanya hanya sedikit lebih kecil ukurannya.
Demikian juga dengan tempurung kura-kura yang dimilikinya, sama persis dengan milik si kakek, hanya sedikit lebih besar, posisinya dilekatkan di punggung dengan seutas tali dari kulit binatang yang liat dan lentur. Jika dilihat dari kejauhan, persis kura-kura gemuk yang berjalan dengan dua kaki!
“Hei, ditanya malah cengar-cengir tak karuan!” bentak kakek itu lagi.
“Heh-he-he ... tenang kek! Tenang! Sabar ... sabar!” timpal si bocah, masih tetap dengan senyum yang sama.
“Bocah, darimana saja kau?”
“Dari ... dari sana kek.” kata si bocah berbaju hijau dengan bagian dada tidak dikancingkan itu menunjuk ke suatu arah, tepatnya ke arah selatan.
“O, jadi kau habis main-main sampai ke tepi jurang sana. Hei, bocah, apa kau tidak tahu berbahayanya tempat itu. Sekali kau terjatuh, pasti nyawamu segera berangkat ke neraka, apa kau tidak takut, hah!” semprot si kakek bercaping tempurung kura-kura itu.
“Aduuhh, kakek ini gimana sih?! Bukankah kakek sendiri yang menyuruh Arjuna untuk menyusuri tepi jurang sana itu, untuk memastikan bahwa orang yang sedang kita tunggu sudah datang atau belum?”
Mendengar ucapan bocah gemuk yang bernama Arjuna itu, si kakek melengak kaget. Dengan muka sedikit ditekuk, kakek itu mendegus kesal, “Apa benar begitu, aku yang menyuruhmu?”
“Ya, jelas benar dong. Kakek sendiri yang menyuruh Arjuna tadi pagi.”
“O, begitu ya, he-he-he. Aku kok lupa.”
“Ya ... gitu dech!” sahut si bocah gemuk sekenanya, “Lupa lagi ... “
“Lalu, bagaimana hasilnya? Apa kau sudah melihat mereka?” tanya si kakek.
“Mungkin besok sore orang yang kita tunggu akan sampai disini, kek.” kata Arjuna kemudian, “kecuali ... “
“Kecuali apa?”
“Kalau mereka berlari cepat atau setidaknya menggunakan ilmu peringan tubuh, mungkin sebentar lagi akan sampai disini.”
Kakek bercaping itu manggut-manggut, sambil bergumam, “Semoga saja orang yang kita tunggu-tunggu itu memang benar.”
“Maksudnya apa kek?”
“Maksudnya benar itu ya ... tidak salah. Tidak salah orang alias tidak keliru. Bodoh benar kau ini!”
Arjuna hanya cengar-cengir saja. Sudah jadi makanan sehari-hari kalau dirinya sering dikatakan bodoh oleh kakek itu. Sebenarnya, siapakah adanya kakek bercaping tempurung kura-kura dan bocah bernama Arjuna itu?
Kakek bercaping aneh dengan baju lengan panjang dan celana komprang warna hijau dan di pinggangnya terlilit sebentuk sabuk dari kulit ular sanca kembang itu adalah salah satu dari empat pengawal Istana Elang yang saat ini masih hidup yang bergelar Si Kura-kura Dewa dari Selatan. Tidak ada yang tahu siapa nama aslinya, bahkan Elang Berjubah Perak pun tidak pernah tahu siapa nama dari bawahannya itu. Meski usianya sudah mencapai lebih dari tiga ratus tahun, namun masih tampak seperti orang berusia delapan puluhan tahun saja. Saat ini dirinya sedang menunggu kedatangan sang pewaris Tahta Angin yang dikawal oleh salah seorang murid Malaikat Sepuh Pulau Khayangan yang bernama Tabib Sakti Berjari Sebelas. Berita telah ditemukannya calon ketua Istana Elang disampaikan oleh elang berbulu perak yang selama ini mengikuti kemana saja Paksi Jaladara pergi.
Tentu saja Si Kura-kura Dewa dari Selatan paham benar dengan bahasa isyarat hewan dan juga akrab dengan si penguasa angkasa itu, karena dirinya sendiri juga memiliki tunggangan satwa langka kura-kura raksasa yang selalu setia menemani majikannya. Kura-kura tunggangannya itu bukan hewan sembarangan, karena selain langka, juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki makhluk sejenisnya.
Sedangkan bocah gemuk bernama Arjuna, tepatnya Arjuna Sasrabahu adalah murid tunggalnya. Aslinya ia bernama Joko Keling, namun karena ingin namanya lebih gagah dan mentereng, diganti sendiri dengan nama Arjuna Sasrabahu. Biar kelihatan hebat, katanya!
Si Kura-kura Dewa dari Selatan menemukan bocah gemuk itu secara tidak sengaja. Di saat dirinya sedang berjalan-jalan di sisi timur Lembah Badai, dia melihat bocah gemuk berusia kurang lebih delapan tahunan itu sedang bergulat dengan seekor ular sanca kembang yang besarnya sepaha orang dewasa. Bocah itu cukup kuat dan bisa menahan belitan ular yang cukup besar itu. Jarang-jarang ada bocah memiliki tenaga sebegitu kuat.
Sebenarnya kakek itu tidak tertarik dan cenderung masa bodoh saja ketika menolong bocah itu. Kepala ular sanca kembang itu disentil dengan jarinya, sehingga kepala ular pecah berhamburan. Darah merah dan otak berceceran mengotori baju dan wajah bocah itu. Setelah lolos dari maut, bocah itu melepas baju dan mengusap wajah yang belepotan darah dengan bajunya. Mata kakek itu terbelalak lebar saat melihat sesuatu di dada kiri bocah itu. Sesuatu yang sedang dicari-carinya sehingga membuat dirinya kembali blusukan ke rimba persilatan dan kini tanpa sengaja terpampang di depan batang hidungnya!
Rajah kura-kura hijau!
Rajah Kura-Kura Hijau adalah pertanda bahwa bocah gemuk itu merupakan salah satu calon pewaris dari ilmu-ilmu silat, kesaktian dan juga pengemban amanat sebagai salah satu Empat Pengawal Gerbang Selatan dari Istana Elang.
Setelah menanyakan asal-usul dan diri pribadi bocah yang mengaku bernama Joko Keling tapi bocah itu lebih suka dipanggil dengan nama Arjuna, mengambil tokoh tampan dari ksatria panengah Pandawa, dengan maksud agar bisa meniru sifat ksatria itu, katanya. Sejak itulah, Joko Keling atau Arjuna diambil sebagai murid oleh Kura-kura Dewa dari Selatan.
Namun, yang membuat kakek bangkotan itu jengkel bukanlah nama bocah itu, tapi syarat yang diajukan si bocah. Selama dirinya malang melintang di rimba persilatan, banyak tokoh-tokoh sakti bahkan para pendekar baik golongan putih maupun golongan hitam yang mengemis-ngemis agar bisa mewarisi sedikit saja ilmunya, ditolaknya mentah-mentah meski diiming-imingi dengan segala macam hata benda. Tapi giliran dia ingin mendapat murid, malah calon muridnya itu yang mengajukan persyaratan yang membuatnya geleng-geleng kepala.
“Aku yang butuh atau dia yang butuh, sih? Masak tokoh sakti macam aku harus memenuhi syarat seorang bocah yang ingin kujadikan murid. Seribu tokoh sakti atau seribu putra pendekar terkenal saja kutolak saat mereka menawarkan diri menjadi muridku, eh ... giliran aku yang butuh murid dan ingin mengajarinya ilmu silat, malah sekarang aku yang harus memenuhi syarat calon muridku? Benar-benar kapiran bocah itu!?” batin kakek itu, waktu dia menawarkan diri sebagai guru si bocah.
“Baik, apa syarat yang kau ajukan itu?”
“Pertama, dalam satu purnama penuh, aku minta satu hari penuh untuk bermain kemana saja, terserah aku. Kedua, ilmu yang ingin kakek ajarkan haruslah ilmu-ilmu yang terbaik dan yang paling sakti bukan ilmu-ilmu kacangan. Dan ketiga, saya tidak mau menyebut guru pada kakek. Bagaimana, kakek setuju?” kata Arjuna mengajukan syarat.
“Tidak mau menyebut guru? Kok bisa begitu?” tanya si kakek heran.
“Sebab, sebelumnya saya adalah murid Perguruan Silat Harimau Putih, tapi karena disuruh jadi kacung terus-menerus, saya bosan.” kata Arjuna dengan polos.
“Perguruan Silat Harimau Putih? Maksudmu, perguruan silat yang berada di sisi utara tempat ini?”
“Betul.” sahut Arjuna sambil menganggukkan kepala.
“Memangnya, kau sudah berapa lama menjadi murid Perguruan Silat Harimau Putih?”
“Baru ... tiga bulan, kek.”
“Lalu, kau kesini dengan perlu apa?” selidik si Kura-kura Dewa dari Selatan.
“Saya dikeluarkan dari perguruan, karena saya bermain diluar tanpa sepengetahuan guru.”
“O, begitu rupanya. Baiklah, syaratmu kuterima. Tapi kau harus belajar dengan tekun!”
“Baik!”
Maka, sejak saat ini, Arjuna menjadi murid tunggal dari Kura-kura Dewa dari Selatan. Tidak percuma kakek itu mengangkat si bocah menjadi muridnya, meski baru diajarkan jurus-jurus dasar, sudah cukup membanggakan kakek itu. Lalu ditingkatkan dengan latihan menghimpun hawa tenaga dalam, dan hasilnya pun cukup bagus untuk bocah seukurannya.
Tanpa terasa, dua tahun berlalu.
Di saat itu pula, di saat Arjuna bermain-main kemana saja, kakek itu memerintahkan pula untuk mencari keterangan tentang adanya orang yang memiliki Rajah Elang Putih, yang merupakan perlambang dari ketua Istana Elang.
Tanpa terasa, malam pun telah menjelang. Sang matahari telah kembali ke peraduannya dan kini digantikan oleh cahaya bintang dan bulan yang menyinari dengan anggun. Saat itu memang sedang bulan purnama, bulan sedang bulat-bulatnya bertahta di angkasa.
Si kakek membuat api unggun di bawah pohon yang cukup rindang, sedang Arjuna sibuk menguliti empat ekor kelinci yang gemuk yang tadi siang dibawanya. Setelah selesai, daging kelinci yang sudah bersih itu diberi bumbu merica, bawang dan garam yang diambil dari saku kirinya, lalu ditusuk dengan sebilah bambu yang cukup panjang dan diserahkan kepada kakek bangkotan yang juga gurunya, sedang hati kelinci disatukan Arjuna dalam satu bilah bambu yang lain. Memang anak ini paling senang makan hati kelinci bakar. Tak lama kemudian, terciumlah bau harum dan gurih dari daging serta hati kelinci yang dibakar guru dan murid itu, sehingga menerbitkan air liur keduanya.
Tak lama kemudian, mereka berdua sudah makan dengan nikmatnya. Sepenanakan nasi kemudian, semua daging kelinci bakar sudah tandas habis dan kini menghuni perut mereka berdua. Lalu tangan kanan murid si Kura-kura Dewa dari Selatan merogoh ke dalam tempurung yang selalu dibawanya, dan mengeluarkan sebuah guci kecil, melepas tutup guci dan menenggaknya dengan nikmat.
Glukk! Glukk! Glukk!
Terasa air dingin membasahi kerongkongan, lalu masuk ke dalam perut gendut si bocah.
“Murid kurang ajar! Perisai Kura-kura Sakti kau jadikan tempat menaruh makanan! Murid macam apa kau ini?! Dikasih senjata pusaka malah dibuat mainan! Dasar bocah gemblung!” semprot si kakek sambil menepak kepala sang murid.
“Uh, kakek ini, cuma untuk meletakkan guci kecil saja, masak tidak boleh!?” elak si bocah bersungut-sungut.
Si kakek memelototkan mata mendengar alasan murid tunggalnya.
“Dasar murid geblek!” gerutu si kakek, lalu tangannya menyambar ke arah guci dan sekejab kemudian guci sudah berpindah tangan dan isinya sudah pindah ke dalam perut.
Arjuna hanya melirik saja melihat perbuatan gurunya, tak berani menegur, takut nantinya kalau kena semprot lagi. Kena semprotnya memang tidak masalah, tapi ludah yang menyertainya itu yang bermasalah.
“Kalau kena semprot lagi, lama-lama mukaku bisa jadi ladang banjir,” pikir Arjuna.
“Juna, sebentar lagi, orang yang kita tunggu-tunggu akan segera datang. Kau siap-siaplah.”
Arjuna Sasrabahu hanya mengangguk saja.
Tak lama kemudian, tampaklah dua sosok bayangan yang berjalan dengan santai ke arah mereka. Bayangan sebelah kiri tinggi tegak sedang bayangan sebelah kanan agak pendek, seperti anak usia tujuh tahunan. Makin lama makin dekat ke arah dua orang yang sedang duduk menanti sejak tadi siang.
Beberapa saat kemudian, bayangan itu membentuk dua sosok manusia. Yang satu seorang kakek berjubah hijau panjang dipadu celana panjang hitam dan memegang tongkat di tangan kiri. Di punggung kakek bertongkat akar kayu cendana itu tersampir keranjang yang entah apa isinya. Satunya adalah seorang bocah yang memakai ikat kepala merah, dengan baju dalam lengan panjang dan celana pangsi berwarna biru yang diikat sehelai sabuk kain yang berwarna merah. Diluarnya mengenakan jubah putih tanpa lengan yang panjangnya pas dengan tinggi tubuhnya. Jubah putih itu berkibar-kibar saat terkena tiupan angin malam. Mereka berdua adalah Ki Gedhe Jati Kluwih yang bergelar Tabib Sakti Berjari Sebelas dan Paksi Jaladara, bocah yang memiliki Rajah Elang Putih yang berada dibalik ikat kepala merahnya!
Ketika jarak mereka berdua tinggal beberapa tindak, kakek tua bercaping tempurung kura-kura itu menghujaninya dengan teguran, “Tabib tua, lama sekali kau berjalan? Apa kau menginginkan tulang tua ini menjadi kaku kedinginan di tempat terbuka seperti ini?”
“Maaf, kalau Sesepuh lama menunggu kami,” sahut Tabib Sakti Berjari Sebelas dengan sopan, setelah itu duduk bersila di depan api unggun, menghadap ke kakek tua itu, diikuti Paksi Jaladara yang duduk di samping kirinya.
“Sudahlah, jangan banyak peradatan, sebut aku seperti biasanya, tidak perlu menghormat seperti itu, aku malah jadi malu mendengarnya.” ujar si Kura-kura Dewa.
“Baiklah. Kura-kura tua, bagaimana kabarmu? Apa kau sehat-sehat saja?”
“Seperti yang kau lihat, aku sehat-sehat saja. Dan bagaimana dengan dirimu?”
“Seperti yang kau lihat.”
“Hei, Siapa bocah itu? Muridmu?”
“Bukan. Dia adalah pemilik Rajah Elang Putih, orang yang selama ini kita cari-cari.” kata kakek tabib itu.
“Hmmm ... ” Si Kura-kura Dewa dari Selatan bergumam.
Sinar matanya semakin tajam memandang ke arah Paksi, seolah-olah sinar mata itu hendak menembus sesuatu yang berada di balik ikat kepala merah itu. Paksi Jaladara merasakan bahwa tatapan mata yang mencorong tajam itu laksana serangan kasat mata yang menuju ke arahnya. Kepalanya terasa diaduk-aduk, pening sekali. Akan tetapi, Paksi merasakan sesuatu yang mementalkan serangan pandangan mata dari si kakek di depannya.
Hasilnya, kepala Si Kura-kura Dewa dari Selatan seakan disentakkan oleh suatu kekuatan gaib yang berasal dari balik ikat kepala merah itu. Sentakan itu begitu kuat bahkan teramat kuat, meski sudah mengeluarkan tenaga dalam hampir 3 bagian untuk menahan sentakan gaib itu, tetap saja tubuhnya ikut terjengkang ke belakang dan menabrak pohon di belakangnya.
Brukk!! Dhurr!!
Daun-daun berguguran saat tubuh kakek itu menabrak pohon. Saat itu seperti terjadi hujan daun saja layaknya.
“Kau ini kenapa, kek? Latihan nungging ya?” ucap Arjuna keheranan melihat tingkah polah gurunya yang aneh. “Atau bisul di pantat kakek mau meletus?”
“Diam kau!” bentak Pengawal Gerbang Selatan bangkit berdiri seraya menata kembali nafasnya yang kembang kempis.
Arjuna pun langsung diam seribu bahasa.
“Hebat! Bocah itu mermiliki hawa tenaga dalam yang kuat, tenaga dalam dingin beku yang sama persis dengan yang dimiliki oleh mendiang Ketua Istana Elang terdahulu. Saat kuterawang tadi, terlihat Rajah Elang Putih memancarkan sinar berpendar-pendar keperakan yang berkilauan. Tapi harus kubuktikan terlebih dahulu, apa benar dia Orang Yang Dipilih itu atau bukan, supaya tidak terjadi kesalahan.” pikir si kakek.

-o0o-
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd