Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Pendekar Elang Salju

Bab 11

“Bocah, siapa namamu?”
“Paksi ... ” sahut Paksi. “Lengkapnya Paksi Jaladara.”
“Hemm, Paksi?! Nama yang bagus,” namun di hatinya ia berkata, “Sama persis dengan pesan dari Ketua Elang Berjubah Perak yang kuterima beberapa tahun yang silam atau mungkin cuma kebetulan saja?”
“Bocah, ceritakan bagaimana kau bisa memiliki Rajah Elang Putih yang tercetak di dahimu. Ceritakan dengan singkat saja.”
Paksi Jaladara hanya menjungkitkan alisnya sambil membatin, “Kakek bercaping aneh ini hebat juga, mungkin tadi waktu melihatku dengan sorot mata tajam hanya untuk melihat rajah di dahiku ini. Jangan-jangan ... kakek ini juga melihat perabotku yang lain.”
“Bocah, jangan berpikir yang macam-macam. Mana mungkin aku melihat segala macam perabot yang kau sembunyikan itu. Macam-macam saja pikiran anak sekarang ini,” gerutu si kakek, seolah bisa membaca isi hati Paksi Jaladara.
Paksi Jaladara hanya nyengir kuda mengetahui apa yang dipikirkannya tertebak oleh si kakek.
“Wah, berarti kakek ini tinggi juga ilmunya, bahkan sampai bisa membaca pikiran orang,” pikir Paksi.
Kemudian Paksi menceritakan semua hal yang berhubungan dengan dirinya semenjak dia dilahirkan, itu pun sesuai dengan apa yang didengarnya dari penuturan ibunya, Nyi Salindri. Semua diceritakan secara singkat dan jelas, tidak ada yang ditambah atau pun dikurangi, bahkan saat Tabib Sakti Berjari Sebelas mengajarkan sebuah jurus silat kepadanya juga diceritakan kepada kakek aneh itu. Kakek sakti yang berjuluk Si Kura-kura Dewa dari Selatan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penuturan Paksi Jaladara, pemilik Rajah Elang Putih.
“Hemm, begitu rupanya. Jadi si Perak juga telah mengajarkan padamu beberapa jurus silat padamu. Dan aku yakin, jurus silat itu bernama Ilmu Silat ‘Elang Salju’, betul?” ucap si kakek.
“Menurut kakek tabib, jurus itu benar adanya bernama Ilmu Silat ‘Elang Salju’. Tapi tidak hanya Si Perak saja, bahkan seorang kakek berjubah perak juga mengajarkannya lewat mimpi.”
Kura-kura Dewa dari Selatan dan Tabib Sakti Berjari Sebelas hanya manggut-manggut saja. Tidak ada bantahan dari mulut dua tokoh tua itu. Sudah tidak aneh lagi jika mendengar hal yang mustahil terjadi itu, namun begitulah kenyataan yang terjadi.
Sejak tadi Arjuna Sasrabahu hanya mendengarkan saja, tidak terdengar sedikit pun suara terucap dari mulutnya. Matanya hanya berkejap-kejap jenaka memandang Paksi Jaladara dari ujung rambut hingga ujung kaki, bahkan tadi sempat berdecak kagum saat mendengar bocah berikat kepala merah menceritakan tentang jati dirinya.
“Hei, bagaimana menurutmu?” kata si kakek aneh sambil siku kirinya menyenggol muridnya.
“Apanya yang bagaimana kek?”
“Bodoh! Jadi apa yang kau kerjakan sejak tadi?” sentak gurunya.
“Lho, bukankah kakek tadi menyuruhku diam, ya ... aku diam saja.” balas Arjuna dengan santai.
“Kura-kura tua, boleh kutahu siapa bocah itu?” tanya Tabib Sakti Berjari Sebelas yang dengan heran memandang seorang bocah yang memakai tempurung kura-kura di punggungnya, bahkan dengan santai sekali menjawab pertanyaan si kakek bercaping.
“Dia? Bocah menyebalkan itu? Dia ... dia adalah muridku.” sahut si Kura-kura Dewa dari Selatan dengan bersungut-sungut.
“Muridmu?” tanya Ki Gedhe Jati Kluwih, “Bocah, siapa namamu?”
“Kakek berkeranjang obat, saya adalah Arjuna,” ucap si bocah gemuk dengan mantap.
“Ha-ha-ha-ha ... “ Paksi Jaladara langsung tertawa terbahak-bahak mendengar nama bocah gemuk itu.
“Kenapa tertawa? Menghina ya?” bentak Arjuna Sasrabahu dengan mata melotot, “Ada yang aneh dengan namaku?”
“Tidak ... ha-ha-hi-hi, tidak, aku tidak menghinamu, hanya merasa lucu dan aneh saja, hi-hi.”
“Apanya yang aneh dan lucu?” bentak Arjuna, masih dengan mata melotot.
Melihat mata yang melotot lebar itu, tak urung si Kura-kura Dewa dari Selatan dan Tabib Sakti Berjari Sebelas tersenyum juga dan pada akhirnya malah meledak menjadi tawa yang berderai-derai.
“Bocah, tak perlu melotot begitu, mukamu bukannya menyeramkan malah makin lucu. Matamu itu ... ha-ha-ha ... seperti bisul yang mau pecah, ha-ha-ha!” ucap gurunya, si Kura-kura Dewa dari Selatan tertawa terkial-kial sambil memegangi perutnya.
Bocah bertempurung kura-kura di punggung itu hanya manyun berat. Sudah seringkali gurunya itu menggodanya dengan ‘kata-kata semanis’ seperti itu.
“Sudahlah! Arjuna, coba kau uji dia!”
“Uji apa kek?”
“Tolol, tentu saja uji ilmu silatnya! Memang kau mau uji nyali!?”
Arjuna tidak menyahut, hatinya masih dongkol sekali karena ditertawakan oleh bocah yang umurnya masih dibawahnya. Dia tidak menyadari bahwa dirinya juga seorang bocah!
“Kesempatan baik! Akan kuhajar dia sampai sungsang sumbel!” pikirnya. “Baru kutahu ... betapa manisnya balas dendam itu.”
“Arjuna, gunakan ‘Ilmu Silat Pulau Kura-Kura’! Ingat, jangan mengecewakan aku sebagai gurumu!” seru kakek bercaping tempurung kura-kura itu.
Bocah berbadan boros itu hanya mengacungkan jempol kanannya saja.
Tanpa persiapan terlebih dahulu, bocah yang mengenakan tempurung kura-kura di punggungnya itu menerjang Paksi yang saat itu sudah pasang kuda-kuda siap tarung. Badan besar tidak menghalangi kecepatan geraknya. ‘Ilmu Silat Pulau Kura-Kura’ yang dikuasainya memang merupakan salah satu ilmu silat langka di rimba persilatan. Gerakannya yang kadang selamban kura-kura berjalan dan kadang secepat kura-kura berenang, diiringi dengan kibasan tangan dan kaki dengan mantap.
Akan halnya Paksi, bocah berikat kepala merah itu dengan lincah menghindar kesana-kemari. Gerakannya ringan laksana elang muda yang sedang mengecoh mangsanya. Ilmu Silat ‘Elang Salju’ yang dimilikinya juga merupakan salah satu ilmu langka yang ada di rimba persilatan selain ‘Ilmu Silat Pulau Kura-Kura’ yang dimiliki oleh Arjuna, murid Kura-kura Dewa dari Selatan!
Sebentar saja, dua bocah murid tokoh-tokoh sakti rimba persilatan sudah baku hantam dengan seru. Kadang lambat, kadang cepat. Saat ini mereka berdua masih menggunakan ilmu silat dan kegesitan ilmu ringan tubuh yang mereka terima dari guru masing-masing.
“Tabib Tua, apakah kau sudah pernah mencoba ilmunya? Seberapa hebat dia?”
“Untuk bocah seukuran dia, aku cukup kaget karena dia bisa menahan sepertiga dari tenagaku!”
“Heh!?” kaget sekali kakek bercaping tempurung kura-kura itu.
Kembali kakek bangkotan yang usianya sudah ratusan tahun itu kembali terdiam. Otaknya yang sudah karatan itu kembali berputar-putar, mencoba mengingat sepenggal demi sepenggal tentang si Elang Berjubah Perak tentang segala macam kehebatan ilmu kesaktiannya.
”Kalau bocah bernama Paksi itu sampai bisa menahan gempuran tabib tua ini, aku yakin sekali bahwa bocah itu sudah menguasai atau setidaknya mempelajari Kitab Sakti ‘Hawa Rembulan Murni’ pada tahap ‘Temaram Sinar Rembulan’.” kata hati kakek bercaping tempurung kura-kura. “Hemm, bocah itu makin lama makin menarik saja.”
Pada saat itu, Paksi Jaladara menghadapi situasi yang sulit. Tangan kirinya melanjutkan serangan menukik menghindari tangkisan tinju kanan Arjuna Sasrabahu dan melewati bawah lengan. Sekarang ujung jemari tangan yang membentuk paruh elang menyerang ke arah titik kelemahan di leher.
Wutt!!
Sementara jurus ’Tinju Kura-kura Berantai’ dari Arjuna Sasrabahu mencoba ditangkisnya dengan tangan kanan, lewat jurus ‘Paruh Elang Memercik Air’!
Arjuna Sasrabahu tidak menghindar dari serangan paruh elang di lehernya, tapi ia meneruskan terjangan pukulan lurusnya ke empat titik di tubuh Paksi Jaladara. Percaya penuh dengan kekebalan kulitnya yang terangkum dalam ’Jubah Kura-Kura Sakti’, Arjuna membiarkan saja serangan lawan.
Dugh! Dugh! Dakk ... !
Tiga dari pukulan Arjuna berhasil ditangkis oleh Paksi Jaladara, bersamaan dengan ujung paruh elang Paksi Jaladara menyentuh kulit Arjuna Sasrabahu, bersamaan itu pula sebuah pukulan Arjuna Sasrabahu yang tak tertangkis menerobos masuk. Sedapat mungkin Paksi Jaladara menghindar. Namun tetap saja, pukulan Arjuna Sasrabahu masuk mengenai bahu Paksi Jaladara.
Bugh! Dess!! Jdduukkk!!
Sungguh perhitungan yang matang dari Arjuna Sasrabahu. Seolah ia rela mengorbankan titik lemah di lehernya terkena paruh elang, sementara tinjunya berhasil masuk.
Paksi Jaladara bersalto beberapa kali ke belakang untuk mengurangi daya serang pukulan dari Arjuna Sasrabahu. Ketika ia melihat bahunya, tampak bajunya gosong seolah habis terbakar dan tampak warna hitam bekas pukulan di bahunya. Tinju Arjuna Sasrabahu masih mengejar Paksi Jaladara, sementara sudah sekian puluh jurus Paksi Jaladara tidak membalas sama sekali melainkan hanya menghindar saja dengan menggunakan jurus yang bernama ‘Elang Menggulung Angin dan Awan’. Ia tak menemukan celah sedikitpun untuk menyerang Arjuna Sasrabahu.
Di saat itu, terdengar seruan keras dari Kura-Kura Tua, ”Bocah, gunakan ’Tinju Dewa Api’-mu. Gunakan tenaga sepuluh bagian!”
Arjuna tidak menyahut, karena pada saat itu serangan Paksi yang kini ganti menyergapnya dengan jurus ‘Elang Menggulung Angin dan Awan’, jurus ini tidak hanya untuk menghindar saja, tapi juga memiliki jurus serangan balik yang dahsyat.
Wutt!
Bocah bongsor itu segera bersalto menjauhkan diri dari serangan lawan. Arjuna segera mengambil posisi seperti kura-kura merangkak, sedang kepala, kedua tangan dan kaki di tarik ke dalam, masuk ke dalam tempurung kura-kura. Tempurung kura-kura yang disebut sebagai Perisai Kura-kura Sakti itu bukan benda sembarangan. Semua jenis senjata dan pukulan maut tidak akan dapat menembus atau bahkan menghancurkannya dengan mudah, karena tempurung itu berasal dari turunan binatang langka, kura-kura hijau raksasa yang sudah mati.
Melihat reaksi lawan, Paksi segera melentingkan tubuh ke atas dengan gerakan kilat.
Wuttt!!
Dari atas, Paksi Jaladara melancarkan jurus ‘Kelebat Ekor Elang’, sebuah jurus yang mengandalkan gabungan kecepatan serangan dan ilmu meringankan tubuh dimana setiap serangan dilambari dengan hawa tenaga dalam yang bisa menghancurkan tebing. Bahkan desiran angin tajam yang timbul akibat kecepatan serangan yang menggesek udara kosong bisa merobek kulit.
Dughh! Dharr ... !!
Terdengar benturan keras saat serangan dari jurus ‘Kelebat Ekor Elang’ yang dilancarkan Paksi Jaladara saat membentur Perisai Kura-kura Sakti yang berada di punggung Arjuna. Bocah gemuk yang menyembunyikan diri di dalam senjatanya yang unik itu, merasakan getaran yang cukup kuat dan rambatan hawa dingin yang menyusup-nyusup sampai tulang sumsum.
”Kurang ajar, ilmu apa yang dipakai bocah berikat kepala merah itu. Uhhh, dinginnya minta ampun. Brrrr ... !” gerutu Arjuna, sambil menggigil kedinginan. ”Harus kukerahkan ’Tenaga Inti Api’ nih. Dasar sialan!”
Tak lama kemudian, dia menangkupkan dua tapak tangan ke pusar, lalu menariknya ke atas dengan pelan. Napasnya menghela dengan teratur. Sebentar saja, terasa hawa hangat yang berputar-putar di pusarnya kemudian dialirkan ke seluruh pembuluh darah di tubuh untuk mengenyahkan hawa dingin akibat serangan dari Paksi Jaladara. Lalu perlahan tapi pasti, Arjuna Sasrabahu menjulurkan seluruh anggota tubuhnya yang tadi disembunyikan di dalam tempurung kura-kura sambil terus menghimpun Ilmu Sakti ’Tinju Dewa Api’!
Sementara itu, bocah berikat kepala merah itu kini membentangkan kedua tangannya seperti membentangkan sayap-sayapnya dan membentukkan jari-jarinya seperti sebuah cakar elang. Jurus ‘Elang Menyambar Ikan di Lautan’ yang merupakan bagian dari Ilmu Silat ’Elang Salju’ akan dikeluarkan. Sebuah jurus yang paling akhir dikuasai, bahkan Tabib Sakti pun belum pernah melihat jurus ini sebelumnya, dimana untuk menyerang titik terlemah dari si lawan. Dan yang menjadi sasaran adalah jantung atau ulu hati. Paksi Jaladara melentik tinggi dan kemudian dari ketinggian ia bergerak turun sangat cepat menuju satu titik.
Ulu hati lawan!
Arjuna Sasrabahu tampak bersiap dengan ‘Tinju Dewa Api’. Ia tidak berniat menghindar dari serangan Paksi Jaladara. Tetesan air keringat di tubuh Arjuna Sasrabahu sekejap berubah menjadi uap yang mengepul di sekitar tubuhnya. Bocah gemuk itu kembali mengambil sikap berjongkok seperti kura-kura merangkak, meletakkan kedua kepalan tinjunya di atas tanah.
Paksi Jaladara masih melayang di atas, dengan kedua lengannya dibentangkan membentuk sayap elang, kedua tangannya membentuk cakar turun dengan cepat menuju ke arah Arjuna Sasrabahu. Jarak sekitar dua tombak ketika Paksi Jaladara menggerakkan perlahan tangan kanannya menuju muka Arjuna Sasrabahu dengan jurus ‘Elang Menyambar Ikan di Lautan’-nya.
Whuss!! Whus!!
Dan Arjuna Sasrabahu menghentakkan tinjunya di tanah dan melompat menerjang Paksi Jaladara di udara.
Duaassss ... ! Duarr ... !!!
Di tanah keras, tampak bekas ‘Tinju Dewa Api’ Arjuna Sasrabahu yang barusan dihantamkan mengepulkan uap panas. Beberapa puluh pukulan tinju mengarah ke titik-titik lemah di tubuh Paksi Jaladara. Mengarah ke jidat antara dua mata, ke arah sebelah kiri dan kanan mata, ke arah titik leher bawah dagu kanan dan kiri, ke arah ulu hati, ke arah limpa, ke arah titik pusat, ke arah lutut dan pergelangan kaki.
Wusss ... Wuss ... !!!
Detik-detik terakhir sebelum benturan dua tenaga dan jurus terjadi, kaki kanan Paksi Jaladara menginjak kaki kirinya di udara, sebagai tumpuan loncatan. Tubuhnya meliuk berputar bersalto melewati kepala Arjuna Sasrabahu dan kini dalam gerak yang sangat cepat, dua cakarnya bergantian menyerang belakang kepala Arjuna Sasrabahu!
Sett! Settt!!
Hanya selisih hitungan detik saja ketika puluhan ‘Tinju Dewa Api’ Arjuna Sasrabahu mengenai tempat kosong dan kini ia terancam oleh jurus ‘Elang Menyambar Ikan di Lautan’ Paksi Jaladara.
Arjuna Sasrabahu menekuk kepalanya menghindari serangan ke arah belakang kepala. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya melengkung membentuk bulatan, meski ia tak bisa lolos dari cakar elang, ia masih dapat menyelamatkan ulu hatinya.
Dduuueessss ... !!!!! Drakkkk ... !!!
Jurus ‘Elang Menyambar Ikan di Lautan’ bergeser sasarannya, mengenai punggung Arjuna Sasrabahu, menghantam tepat pada tempurung kura-kura yang ada di punggungnya. Terdengar suara keras.
Brrakkk!!
Arjuna Sasrabahu terpelanting dan tulang ekornya terasa nyeri saat menghantam tanah. Sambil berputar turun dari udara, Paksi Jaladara masih sempat menjejakkan kakinya, meluncurkan tendangan ke arah ulu hati Arjuna Sasrabahu. Posisi tak memungkinkan mengenai sasaran, kembali terdengar suara keras.
Bughhh!! Krrakkkk ... !!
Ketika tendangan Paksi Jaladara mengenai tengah-tengah tempurung kura-kura itu. Arjuna Sasrabahu semakin terjerembab, nyungsep dengan tubuh telungkup sampai beberapa tombak.
”Cukup! Cukup!”
Terdengar bentakan keras dari mulut Kura-kura Dewa dari Selatan. Kakek bercaping itu segera menghampiri muridnya yang nyungsep di tanah. Bocah bertubuh gemuk hanya menggeleng-gelengkan kepala karena pusing yang teramat sangat. Tidak ada luka pada tubuhnya, akan tetapi andaikata tidak terhalang oleh Perisai Kura-kura Sakti, mungkin akan terluka dalam lumayan parah.
Pengawal Gerbang Selatan Istana Elang memeriksa keadaan muridnya. Tidak ada luka yang serius, hanya terasa hawa dingin saat ia menyentuh Perisai Kura-kura Sakti yang dikenakan muridnya.
“He-he-he, jangan sedih kek, aku tidak apa-apa kok,” ujar Arjuna seperti tahu apa yang dipikirkan gurunya, “Santai saja.”
“Sedih kepalamu pitak! Aku hanya mengkhawatirkan Perisai Kura-kura Sakti saja. Buat apa khawatir dengan bocah dogol macam kau!” sentak Kura-kura Dewa.
Arjuna hanya menjebikkan bibir saja, lalu bangkit berdiri setelah merasa bahwa hawa dingin itu sudah hilang saat kakek itu menyentuh tempurung kura-kura yang dipakainya. Sedangkan Paksi Jaladara, masih duduk bersila untuk menetralisir hawa panas yang sempat menyengat bahunya. Beberapa saat kemudian, keluarlah uap putih yang membungkus seluruh tubuhnya.
“Gila! Bukankah itu tahap awal dari Kitab Sakti ‘Hawa Rembulan Murni’ bagian kedua yang bernama ‘Bayangan Rembulan’?” Kura-kura Dewa dari Selatan berseru dengan kaget, “Bocah macam apa yang dipilih oleh sang Ketua? Sungguh luar biasa!”
Tabib Sakti Berjari Sebelas juga kaget saat mendengar perkataan kakek bercaping aneh itu.
“Benarkah?”
“Ya, aku tahu dengan pasti bahwa bocah itu sedang mengerahkan bagian kedua dari kitab itu,” jelas si kakek sambil mengamati gerak-gerik bocah berikat kepala merah. “Setahuku, ilmu ‘Tinju Dewa Api’ tingkat menengah sebanding dengan tingkat ke dua dari Kitab Sakti ‘Hawa Rembulan Murni’ yang bernama ’Bayangan Rembulan’.”
Ki Gedhe Jati Kluwih manggut-manggut. Tiba-tiba terlintas dibenaknya suatu hal dikepalanya.
”Sebenarnya, ada berapa tingkat yang ada di kitab itu?” Tabib Sakti Berjari Sebelas bertanya.
”Ada 4 tingkat. Yang pertama adalah ’Temaram Sinar Rembulan’, kedua adalah ‘Bayangan Rembulan’, yang ketiga adalah ‘Di Bawah Sinar Bulan Purnama’ dan yang terakhir adalah ‘Tapak Rembulan Perak’ yang merupakan bentuk gabungan 3 tingkat sebelumnya. Yang terakhir inilah yang paling sulit dikuasai. Ketua terdahulu hanya menguasai sampai tahap menengah saja,” sahut kakek bercaping aneh itu sambil mengamat-amati gerak-gerik Paksi Jaladara. “Kurasa bocah itu sudah menguasai tahap kedua meski belum sempurna betul.”
Sepenanakan nasi telah berlalu, bocah pilihan dari Elang Berjubah Perak telah selesai menetralisir hawa panas yang masuk ke dalam tubuhnya.
“Bocah, bagaimana keadaanmu?”
“Seperti yang kakek lihat, saya baik-baik saja.”
“Ayo, kita duduk disana,” kata kakek bertempurung kura-kura itu sambil berjalan menuju ke bawah pohon rindang dimana Joko Keling alias Arjuna Sasrabahu dan Ki Gedhe Jati Kluwih asyik ngobrol.
Paksi Jaladara mengiyakan saja, lalu berjalan mengikuti kakek itu.
Mereka berempat duduk melingkari api unggun sambil bercakap-cakap. Tabib Sakti Berjari Sebelas dan Kura-kura Dewa Dari Selatan duduk berjajar sedangkan dihadapannya duduk berdua Arjuna dan Paksi. Dua bocah yang tadi sudah saling gebrak itu, kini sudah ngobrol ngalor ngidul tak karuan juntrungannya. Maklum, namanya juga bocah, yang diberikan sekitar dunia mereka.
Kakek bertongkat kayu cendana mengeluarkan dendeng menjangan kering, dibumbui dengan merica, bawang putih dan garam yang sudah dilumatkan, lalu ditusuk dengan bilahan bambu kecil dan dibakar diatas api unggun. Lalu dikeluarkannya sebentuk kantong air dan 4 potongan gelas bambu, dibukanya tutup kantong itu dan air yang mengeluarkan bau semriwing telah tertampung di gelas bambu.
“Ha-ha-ha, dasar tabib! Kemana-mana selalu saja membawa air jahe, he-he-he,” seloroh kakek bercaping aneh itu, “ ... tapi bagus juga. Panggang dendeng menjangan diselingi dengan minum air jahe.”
Begitulah, sambil berbicara panjang lebar tentang pengalaman masing-masing, mereka menikmati makanan yang ada didepan mereka. Bahkan diselingi oleh gerak tawa dari mereka berempat jika ada cerita yang lucu dan menarik.
Tak terasa, tengah malam telah datang, kemudian Kura-kura Dewa mengajak mereka ke pondokan mereka dan mempersilahkan tamunya untuk istirahat di kamar sebelah kiri, sedang guru dan murid itu lebih memilih tidur dengan cara yang tidak lazim.
Tidur diatas tali yang digantung disisi kiri dan kanan!

-o0o-
 
Bab 12

Matahari bersinar cerah pagi itu.
Sinarnya mengintip malu-malu di balik Gunung Tambak Petir. Angin pun berhembus dengan lambat-lambat, seolah takut kehilangan pagi yang menyejukkan itu.
Sedang nun jauh disana, di kaki gunung paling ujung, di suatu tempat yang bernama Ladang Pembantaian terlihat begitu menghijau kebiru-biruan. Rumput yang menari-nari terkena tiupan angin, bagai lambaian tangan seorang gadis perawan. Meski terlihat indah menghijau, namun didalamnya menyimpan sejuta kengerian yang bisa merenggut nyawa siapa pun yang berani lewat tempat tersebut.
Selewat dari Ladang Pembantaian, terdapatlah sebuah lembah yang merupakan tempat lebih mengerikan dari pada Ladang Pembantaian. Suatu lembah yang kelihatannya aman-aman saja, bahkan amat indah jika dilihat dari kejauhan, akan tetapi menyimpan laksaan kengerian. Tempat yang kadangkala melontarkan kilatan petir dan gemuruh halilintar yang terjadi setiap saat, meski tidak pada musim penghujan, bahkan pula diselingi dengan hempasan salju dan tiupan angin menggila yang datangnya tidak terduga. Sampai-sampai pendekar-pendekar dunia persilatan yang merasa dirinya sakti, dugdeng, digjaya akan berpikir seribu kali jika ingin mencoba-coba menginjakkan kakinya di lembah tersebut. Bisa jadi orang lolos dari Ladang Pembantaian, tapi belum tentu bisa lolos dari lembah maut itu. Lembah itulah yang bernama ...
Lembah Badai!
Di perbatasan antara Ladang Pembantaian dan Lembah Badai, terdapat suatu tanah datar yang cukup luas, dimana tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan tumbuh dengan suburnya, segala macam binatang hidup dengan tenang, bahkan orang pun bisa tidur dengan nyaman. Salah satunya adalah seorang bocah bertubuh bongsor yang di punggungnya selalu membawa tempurung kura-kura besar. Bocah yang juga murid tunggal tokoh sakti dari Istana Elang yang bergelar Kura-kura Dewa dari Selatan.
Siapa lagi jika bukan Joko Keling atau dengan nama kerennya, Arjuna Sasrabahu!
Selain tinggal disitu, secara tidak langsung bocah itu juga bertugas sebagai mata-mata jika ada orang yang bisa melintasi Ladang Pembantaian dengan selamat. Namun selama ini, hanya empat orang yang berhasil lolos dari ladang maut tersebut, lolos dengan tubuh utuh dan nyawa melekat di badan, sebab kebanyakan yang bisa menerobos tempat tersebut kadangkala bisa sampai tanah datar tersebut, namun dalam keadaan yang sudah terluka parah, tubuh berwarna biru kehijauan karena keracunan, atau orang yang anggota tubuhnya sudah tidak lengkap karena terperosok dalam lumpur maut, dan kebanyakan tewas di tempat tersebut. Sehingga di ujung sebelah utara terdapat puluhan kuburan bagi mereka-mereka yang bisa sampai di tempat itu akan tetapi nyawanya tidak tertolong karena luka yang teramat parah.
Empat orang yang bisa lolos dengan selamat, selain Paksi Jaladara dan Tabib Sakti Berjari Sebelas yang memang sudah hafal dengan liku-liku Ladang Pembantaian adalah Pemburu Naga dari Pulau Kosong dan Ular Iblis dari Utara. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki ilmu kanuragan cukup tinggi di jajaran Serikat Serigala Iblis, pula keduanya berani menerobos ke Ladang Pembantaian pun atas perintah Ratu Sesat Tanpa Bayangan, yang bertujuan untuk mencari Istana Elang yang mana kabar santer di rimba persilatan, bahwa tempat itu berada di sekitar ladang maut tersebut. Meski bisa melewati Ladang Pembantaian dengan selamat, tapi akhirnya tewas juga saat bertarung setengah harian dengan Kura-kura Dewa dari Selatan.
Sedangkan Kaki Hantu Kipas Terbang bisa menerobos ke tempat tersebut karena mengandalkan ilmu ringan tubuh ‘Kaki Hantu’-nya dan juga kipas raksasa, senjata andalannya. Dengan menggunakan ilmu ‘Kaki Hantu’ itu, dia naik ke atas kipas, dan melayang melntasi Ladang Pembantaian, sehingga dengan leluasa bisa menghindari jebakan-jebakan maut yang ada di tempat itu. Hal ini berbeda dengan Pemburu Naga dari Pulau Kosong dan Ular Iblis dari Utara yang harus berjuang mati-matian untuk ‘menaklukkan’ tempat.
Namun, Kaki Hantu Kipas Terbang harus tewas juga saat berusaha menerobos ke Lembah Badai. Saat itu, Joko Keling sudah memperingatkan adanya bahaya sambaran petir dan badai salju, namun sebagai seorang tokoh muda yang sedang naik daun, si Kaki Hantu Kipas Terbang merasa tertantang. Dalam pandangannya, Lembah Badai sama saja dengan Ladang Pembantaian, tentu bisa ditaklukkan juga dengan menggunakan kesaktian ilmunya dan kehebatan Kipas Terbangnya.
Benar juga, baru berjalan beberapa langkah menginjak lembah badai, si Kaki Hantu Kipas Terbang sudah disambut desiran angin dingin membeku. Dengan cepat, ia mengerahkan tenaga DALAM berunsur panas, namun baru saja dikerahkan tujuh bagian, mendadak sambaran kilat menyambar dengan cepat.
Srakkk!! Dharr!!
Satu sambaran petir bisa dihindari dengan menggunakan ilmu ‘Kaki Hantu’-nya, namun sambaran kedua yang lebih menggila lagi, ia berusaha menangkis dengan Kipas raksasanya yang dilintangkan di depan tubuhnya, sedang kekuatan tenaga dalam sudah dihamburkan keluar untuk menahan lajunya desiran angin yang juga mulai mengganas.
Srakkk!! Dharr!! Dharr!!
Tubuhnya kontan terpental hingga keluar dari Lembah Badai dengan tubuh hancur berantakan hingga membentuk serpihan-serpihan daging hangus terbakar. Kipas Terbangnya pun hancur luluh saat terkena benturan petir lagi. Bagaimana pun juga, kekuatan alam tidak bisa disejajarkan dengan kekuatan manusia, namun karena keangkuhan dan kesombongan merasa memiliki ilmu tinggi, si Kaki Hantu Kipas Terbang melupakan falsafah itu, akibatnya, tubuhnya hancur berantakan karena kesombongannya sendiri.
Andaikata saat itu ia mendengarkan apa kata Joko Keling, mungkin nasibnya tidak akan seburuk itu.
Akan halnya Pelukis Buta datang dengan tidak suatu kesengajaan. Saat itu dia sedang dalam pengejaran tokoh hitam dari Partai Raga Bumi karena suatu masalah yang ia sendiri tidak mengetahui apa sebabnya. Pelukis Buta bukanlah seorang tokoh berilmu silat rendah, dengan sekuat tenaga berusaha melawan, namun kekuatan dan jumlah lawan jauh diatasnya, karena rata-rata orang-orang Partai Raga Bumi memiliki ilmu yang cukup tinggi. Dengan sangat terpaksa, kakek tua bermata buta itu harus melarikan diri dari kancah pertarungan. Tanpa sengaja, justru arahnya malah ke jurang yang lebarnya puluhan tombak jauhnya, dan tanpa ampun lagi langsung terjatuh ke jurang tersebut.
Untunglah bahwa pada saat itu, dibawah jurang yang dalam itu terdapat kolam alam raksasa yang bersuhu sedingin es.
Byurr!!
Pelukis Buta terselamatkan dengan terjatuhnya ke dalam kolam raksasa. Mata lahirnya memang buta, tapi mata hatinya setajam pedang. Sesaat kemudian, dia sudah muncul di permukaan air, dan meraih sesuatu benda yang berada di samping kanan. Benda yang dipegangnya terasa kasar, berlendir dan sedikit licin.
“Jangan-jangan, yang kupegang ini batang tubuh ular raksasa. Mati aku!” gumamnya.
Benda yang dipegangnya itu mendadak mengibas ke samping.
Bess ... !!
Tubuh Pelukis Buta kontan terpelanting, di saat tubuhnya sedang mengapung di udara, kakek itu mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya dari serangan susulan yang disadarinya berasal dari kolam itu.
Bluk!
Tubuhnya terbanting ke tanah dengan keras!
“Tenaganya besar sekali, makhluk apa itu?” kata Pelukis Buta lirih, karena menahan sakit akibat dibanting oleh makhluk dari kolam raksasa tadi.
“Kamandanu, yang sopan sedikit terhadap tamu!”
Sebuah suara terdengar oleh Pelukis Buta, suara yang bisa menggetarkan dada dan jantungnya. Suara itu meski pelan, namun dilambari dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup besar. Pelukis Buta menyadari adanya tokoh sakti yang berada di tempat itu, sebab dirinya tidak mengetahui ada orang di sekitarnya, bisa diartikan bahwa orang yang berada di tempat itu adalah tokoh kosen yang mungkin sedang mengasingkan diri. Begitulah, Pelukis Buta akhirnya mengetahui bahwa tokoh itu adalah Si Kura-kura Dewa dari Selatan, yang merupakan salah satu Pengawal Gerbang Selatan dari Istana Elang, sedang yang disebut ’kamandanu’ ternyata seekor kura-kura raksasa yang memiliki sepasang sayap di atas tempurung tubuhnya, yang bernama Tirta Kamandanu.
Tirta Kamandanu merupakan salah satu satwa langka yang ada di dunia ini, hewan air langka ini mendiami kolam raksasa itu sudah ratusan tahun lamanya. Pada mulanya ada sepasang kura-kura raksasa di kolam raksasa itu, saat Kura-kura Dewa dari Selatan tanpa sengaja menemukan tempat itu, itu pun tanpa suatu kesengajaan, karena mendengar raungan yang menggetarkan lereng sebelah selatan dari Gunung Tambak Petir. Kemudian dicarinya sumber suara dan menemukan kolam alam yang luar biasa luasnya, di dalamnya terdapat sepasang kura-kura raksasa, namun kura-kura betina sedang sekarat. Rupanya kura-kura betina itu berusaha mengeluarkan telur-telurnya, sedang kura-kura jantan gelisah menunggu di sampingnya. Melihat kedatangan manusia yang ia tahu dari nalurinya bahwa orang itu memiliki budi pekerti yang tinggi, kura-kura jantan memperlihatkan wajah memelas, seolah memohon pertolongan.
Kura-kura Dewa dari Selatan mahfum dengan hal itu, dengan kesaktiannya ia berhasil mengeluarkan dua butir telur yang ukurannya cukup besar, tingginya mencapai lehernya. Namun nyawa kura-kura betina tidak tertolong, akhirnya tewas setelah mengeluarkan telurnya yang kedua.
Kura-kura jantan meraung keras meratapi kepergian pasangannya.
Grooakkkhh! Grooakkkhh! Groakkkh ... !
Tempat itu serasa dilanda gempa bumi dahsyat, Kura-kura Dewa dari Selatan sampai mengkhawatirkan keselamatan telur-telur itu, takutnya pecah sebelum menetas, dengan sigap bertindak, segera saja ilmu ‘Jubah Kura-kura Sakti’ dikerahkan untuk melindungi diri dan telur kura-kura raksasa dari reruntuhan gua alam yang ada diatasnya.
Grakk! Dharr! Pyarrr ... !!
Runtuhan itu terpental balik saat membentur ilmu ‘Jubah Kura-kura Sakti’. Bersamaan dengan itu, jasad kura-kura betina memancarkan cahaya warna-warni yang berkilauan. Laki-laki itu sampai memicingkan mata saking silaunya. Menyusul surutnya cahaya kemilau itu, tampak di atas kolam itu melayang dua buah benda aneh.
Tempurung kura-kura berwarna hijau lumut!
Satu tempurung berbentuk kecil dan satunya berukuran besar, sedang melayang-layang diudara.

-o0o-

Saat ini, para pendekar golongan hitam mulai melakukan gerakan persatuan antar sesama golongan. Beberapa tokoh hitam mulai menyebarkan undangan yang isinya mengundang sesama tokoh-tokoh aliran hitam untuk berkumpul di suatu tempat yang bernama Benteng Tebing Hitam. Roda Sakti Tujuh Putaran-lah yang menjadikan Benteng Tebing Hitam sebagai tempat berkumpulnya para tokoh hitam yang diundang tersebut. Sebagai majikan benteng yang berilmu tinggi, serta telah diakui di seantero jagat hitam maupun putih, membuat Roda Sakti Tujuh Putaran menganggap dirinya sebagai tokoh hitam pilih tanding, tokoh nomor satu di kolong langit.
Tentu saja pengakuan ini mendapat tentangan keras dari sesama tokoh persilatan aliran hitam. Mereka satu persatu datang ke Benteng Tebing Hitam dan mengadakan perang tanding ilmu kesaktian, namun pada akhirnya harus terjungkal juga dibawah ‘Ilmu Silat Tujuh Putaran Atas Bumi’ majikan Benteng Tebing Hitam. Dan pada akhirnya, kekuatan Benteng Tebing Hitam semakin lama semakin membesar seiring dengan semakin banyaknya tokoh persilatan yang takluk dan bergabung dengan Benteng Tebing Hitam.
Si Roda Sakti Tujuh Putaran menyadari, bahwa orang-orang taklukan yang mendekam di dalam bentengnya, bagaikan memelihara harimau liar yang setiap saat bisa memangsa tuannya. Mereka masih menyimpan dendam sedalam lautan dan mungkin suatu saat bersatu padu untuk menjatuhkan dirinya dari dalam. Maka setiap pendekar golongan hitam yang telah kalah dan takluk, mau tidak mau dan suka tidak suka harus menelan racun ’Sekerat Daging Seonggok Darah’ yang akan kumat setiap tiga purnama. Racun ini akan menggerogoti tubuh dari dalam dimulai dari kaki kiri dan kanan, kemudian naik terus ke atas hingga akhirnya tubuh akan luluh lantak meninggalkan seonggok darah yang kental. Sedang penawar racunnya, hanya Roda Sakti Tujuh Putaran saja yang memiliki.
Bagi yang tidak mau, hanya kematian yang bisa diterima!
Sementara itu, tokoh-tokoh aliran putih yang melihat gerakan Benteng Tebing Hitam mulai bersiap-siap diri. Beberapa tokoh persilatan kenamaan mulai menghubungi kerabat dan kenalan sesama pendekar, dan kemudian berunding menetapkan tempat perkumpulan aliran putih, diputuskan berpusat di Benteng Dua Belas Rajawali, suatu tempat berkumpulnya para pendekar setelah aliran Istana Elang menghilang dari kancah rimba persilatan.
Benteng Dua Belas Rajawali diketuai seorang tokoh yang berjuluk Rajawali Alis Merah, seorang tokoh yang begitu disegani oleh kalangan rimba hijau. Belum lagi dengan saudara seperguruannya yang bergelar Naga Sakti Berkait, yang sudah malang melintang di delapan penjuru angin. Bahkan konon katanya pernah berguru kepada seorang tokoh sakti di kepulauan Borneo dan mendapatkan senjata pusaka Mandau Kait Sembilan dari tokoh sakti yang kini telah mangkat. Ketua perguruan silat, padepokan, serikat pendekar dan pendekar-pendekar sealiran menerima undangan dari Benteng Dua Belas Rajawali dan menyatakan kesanggupannya untuk bergabung dalam satu wadah pendekar.
Begitulah, dua bentuk kekuatan besar di rimba persilatan sedang menghimpun diri untuk memperkuat posisi masing-masing. Disatu posisi untuk mencari siapa yang terkuat dan bisa menguasai rimba persilatan, sedang di posisi satunya untuk mencegah kekuatan hitam yang berkuasa dan merajalela.
Dua kekuatan besar itu tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak ubahnya sedang mengumpankan diri ke dalam mulut harimau, karena tanpa sepengetahuan mereka terdapat suatu kekuatan bawah tanah yang bisa mengancam kekuatan besar itu.
Kekuatan iblis!
Kekuatan ini akan memangsa siapa saja, tidak peduli dari golongan hitam mau pun dari golongan putih, bahkan jika dari rakyat jelata sekalipun, akan dilibas tak tersisa. Kekuatan yang kadang diluar jangkauan akal sehat manusia pada umumnya, kekuatan iblis yang sudah menitis pada orang-orang tertentu, dimana orang-orang yang memiliki kekuatan itu ditandai dengan adanya rajah berwarna hitam berbentuk kepala setan bertanduk. Itulah yang dinamakan ...
Rajah Penerus Iblis!
Setiap orang yang memiliki Rajah Penerus Iblis, akan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Andaikata seorang bocah biasa jika memiliki tanda Rajah Penerus Iblis di salah satu anggota tubuhnya, bisa dipastikan akan memiliki kekuatan iblis yang luar biasa, bahkan dikeroyok oleh beberapa tokoh sakti berilmu tinggi sekalipun belum tentu bisa mengalahkannya.
Rajah Penerus Iblis itu ternyata dimiliki oleh seorang pemuda gagah dan tampan, berusia kurang lebih sembilan belas tahun dengan postur tubuh tinggi tegap. Dan saat ini pemuda itu sedang digembleng oleh suatu kekuatan sesat yang bermukim di dasar perut bumi. Kekuatan siluman, setan, iblis dan segala macam makhluk gaib menggemblengnya dengan sedemikian rupa. Bahkan raja diraja mereka pun turut andil didalamnya.
Kini, anak muda itu sedang mempelajari ajaran sesat dari kitab kuno yang bernama ‘Kitab Hitam Bhirawa Tantra’ dari suatu istana alam gaib, tepatnya ...
Istana Iblis Dasar Langit!
Karena anak muda itu sebenarnya merupakan buah perkawinan antara manusia dengan iblis yang menguasai Istana Iblis Dasar Langit, yaitu Raja Diraja Iblis Dasar Langit!
Pemuda titisan iblis itu memiliki Rajah Penerus Iblis di telapak tangan kirinya, tanda itu berbentuk kepala setan bertanduk bermata merah darah, sebagai pertanda dia adalah putra dari Raja Diraja Iblis Dasar Langit. Tak pelak lagi, dialah sesungguhnya ancaman maut di atas bumi ini. Akan halnya pemuda itu terlahir dari buah Laknat Hitam yang dimakan secara tidak sengaja oleh seorang gadis murid Perguruan Rimba Putih yang bernama Danayi, buah itulah yang mengubah sejarah hidup gadis itu. Yang merupakan aib bagi seorang gadis ...
Hamil tanpa suami!
Sebenarnya kehamilan itu terjadi karena campur tangan iblis penjaga buah Laknat Hitam itu. Setelah makan buah itu, Danayi langsung tertidur pulas, dan di alam mimpi, dia digauli oleh sembilan orang laki-laki yang gagah dan tampan, karena sebenarnya buah itu adalah buah simbol perkawinan iblis, siapa pun yang memakannya, secara tidak langsung sudah bersekutu dengan iblis. Ketika terbangun dari tidurnya, Danayi mengalami kekagetan yang luar biasa. Dalam tubuhnya seolah terjadi pergolakan hebat, perutnya seolah-olah diaduk-aduk, ususnya seakan dipelintir oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan. Karena tidak tahan dengan penderitaan itu, gadis murid Perguruan Rimba Putih akhirnya jatuh pingsan.
Entah berapa lama, Danayi siuman dari pingsannya. Ketika pandangan matanya terbuka, dilihatnya suatu pemandangan yang terasa asing baginya. Dirinya sudah berada diatas kasur yang empuk, di sekelilingnya duduk bersimpuh belasan perempuan yang mengenakan pakaian-pakaian aneh, berumbai-rumbai kuning kehitaman hanya sebatas dada saja. Sedang lebih aneh, lagi, tubuh mereka berwarna hitam kelam seperti tersiram tinta, walau berwajah rata-rata cantik manis, namun saat berbicara atau tersenyum, tersembul sepasang taring di dalam mulutnya.
Danayi sedikit ngeri, namun gadis itu ternyata tabah juga. Saat akan bangkit berdiri, gadis itu kagetnya bukan alang kepalang.
“Ahh ... !”
Perutnya telah membesar, menggelembung, seolah-olah ada sesuatu yang ada didalam perutnya.
“Apa yang terjadi? Dimanakah ini? Apakah aku sudah mati?” suara terdengar bergetar.
Suasana di tempat itu betuk-betul aneh. Seluruh ruangan juga berbentuk ganjil, ada meja berkaki dua, kursi berkaki lima, ada pula sebentuk buah pepaya, tapi bukan pepaya berwarna biru pucat. Banyak sekali hal-hal aneh yang tidak bisa dijangkau oleh akal pikirnya.
Ini adalah kamar teraneh yang pernah dikenalnya!
Dan lebih aneh lagi, dirinya merasa akrab dengan tempat itu, tempat yang tidak ketahui letak dan namanya, dikelilingi oleh wanita-wanita berkulit hitam dengan sepasang taring menghiasi mulutnya.
Seorang dari kumpulan aneh itu, menyembah dan berkata, “Nyai Ratu, sebaiknya Nyai Ratu jangan banyak bergerak dulu. Lebih baik beristirahat saja di ranjang, agar kehamilan Nyai Ratu tidak terganggu.”
“Apa kau bilang ... Nyai Ratu ... ? Ratu apa? Dan ... dan apakah ... aku hamil? Aku khan belum bersuami!?” seru Danayi kaget, “ ... dan siapa kalian ini ... ?”
“Nyai Ratu tidak perlu bingung, biarlah hamba yang menceritakan semuanya ... “
Kemudian perempuan bertaring itu mengenalkan dirinya sebagai Nyi Tembini, seorang kepala dayang dari Istana Iblis Dasar Langit, menceritakan secara terperinci semua kejadian yang dialami Danayi. Dari permulaan hingga gadis itu bisa hamil tanpa suami dan kini sedang tergolek atas kasur yang empuk.
Mendengar hal itu, Danayi tersentak kaget!
Dirinya memang secara tidak sengaja memakan buah berwarna hitam pekat yang terdapat di hutan sebelah timur dari Perguruan Rimba Putih, buah yang rasanya manis dan berbau harum itu sangat menarik perhatiannya. Namun sungguh tidak disangka bahwa buah tersebut adalah buah perkawinan bagi para penghuni gaib dari Istana Iblis Dasar Langit, dimana setiap biji dari buah itu mewakili satu penghuni gaib istana tersebut. Kebetulan yang dimakan oleh gadis itu adalah satu biji yang terbesar berwarna hitam kemerahan serta terletak paling atas dan delapan biji yang sudah matang di bawahnya, namun ukurannya agak kecil. Itu artinya Danayi telah bersuamikan dengan raja tertinggi dan delapan raja kecil dari istana alam gaib.
Seorang gadis dari alam manusia bersuamikan sembilan mahkluk penghuni alam gaib!
Alam gaib berbeda dengan alam manusia, dimana satu hari di alam gaib itu sama artinya dengan satu bulan di alam manusia. Begitulah, sembilan hari kemudian, Danayi melahirkan seorang bayi mungil laki-laki dan oleh Raja Diraja Iblis Dasar Langit diberi nama Nawa Prabancana.

-o0o-

Sepuluh tahun pun berlalu tanpa terasa ...
Suasana di Lembah Badai masih tetap sama seperti dulu, penuh dengan kilatan petir dan kadangkala disertai tiupan angin di tambah dengan sergapan badai salju yang menggila. Meski pun di pulau Jawadwipa hanya mengenal dua musim saja, nampaknya hal itu merupakan pengecualian pada Lembah Badai, lembah yang merupakan pintu gerbang menuju Gunung Tambak Petir.
Sesosok bayangan putih tampak berkelebatan kian kemari menghindari sambaran petir dan tiupan angin yang cukup ganas. Tubuh pemuda itu melayang-layang di angkasa, seperti terbangnya seekor burung yang sedang mengangkasa, kadangkala menukik tajam, saling susul menyusul dengan terjangan petir-petir dari langit, seolah berlomba untuk saling dahulu mendahului.
Dharr! Jdhar ... !!
Petir itu menyambar bumi dengan memperdengarkan suara yang gelegar memekakkan telinga. Tak pelak lagi, bumi bagai diguncang gempa yang dahsyat, salju yang membeku berhamburan ke udara membentuk tiang-tiang es yang menjulang beberapa tombak, kemudian luruh kembali memperdengarkan suara gemuruh yang keras. Lembah itu seakan diaduk oleh tangan-tangan tak kelihatan.
Bluarr ...!! Chaarr ... !!
Kalau hanya kekuatan petir saja, kejadiannya tidak akan seperti itu. Kiranya saat petir itu menghantam ke tanah, saat itu pula bayangan putih itu menghantamkan sepasang telapak tangan terbuka ke tanah, sehingga mengakibatkan menjadi bumi bergetar dan salju-salju beterbangan hingga membentuk tiang-tiang es yang tinggi. Bayangan itu kembali menggerakkan sepasang tangan memutar di atas kepala dengan sepasang kaki membentuk kuda-kuda kokoh. Secara perlahan namun pasti, tubuhnya dikelilingi oleh sebentuk cahaya putih tipis yang memendar-mendar memancarkan hawa dingin.
Wess! Bwooshh ... !!
Dari sepasang telapak tangan itu memancarkan hawa sedingin salju, memiliki liukan secepat angin, gerakan tangan memutar-mutar memilin udara dingin yang ada di lembah itu. Tak berapa lama kemudian, terciptakan pusaran angin yang membawa debu-debu salju dan serpihan-serpihan es. Lalu tangan kiri dikibaskan ke arah badai salju yang jaraknya masih puluhan tombak di depannya.
Whess ... !! Pratt! Dharr ... ! Blarr ... !!
Badai salju itu kontan pecah berantakan. Ambyar! Namun beberapa bagian masih ada yang lolos dan menyambar ke arah pemuda itu. Tangan kanannya kembali bergerak dengan cepat.
Pratt! Dharr ... ! Blarr ... !!
Kembali terdengar letupan keras disertai dengan salju yang berhamburan kemana-mana, kali ini sisa-sisa badai salju harus takluk dibawah anak muda!
Tubuh pemuda itu masih diselimuti dengsn selapis hawa putih keperakan, memunculkan nuansa dingin yang menyejukkan. Melihat hasil pukulannya, pemuda berwajah tampan itu menyunggingkan senyum tipis.
Senyum kepuasan!
“Pukulan ‘Sepasang Angin Mengguncang Salju’ sudah bisa aku kuasai dengan baik, entah bagaimana pendapat Eyang Guru jika melihatnya,” gumamnya lalu, “hmmm ... lebih baik kuulangi saja dari awal, mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang baru.”
Tubuh pemuda itu kembali berkelebat cepat sehingga meninggalkan sesosok bayangan putih. Pemuda kembali menyongsong badai yang mulai datang lagi, seakan Lembah Badai itu adalah tempat tinggalnya, tempat ia bermain-main, pendek kata seperti kampung halamannya sendiri. Padahal tokoh-tokoh persilatan akan berpikir ribuan kali jika ingin menapakkan kaki di lembah itu. Tapi bagi anak muda berbaju putih itu, Lembah Badai sungguh sedemikian bersahabat dengannya. Kilatan petir yang menyambar dan mengenai tubuhnya dianggap sebagai salam sayang dari langit, hempasan badai dan tiupan angin yang menggulungnya dianggap sebagai pelukan ibu terhadap anaknya. Dinginnya hawa dianggap teman yang senantiasa menemani dirinya.
Karena pemuda itu sudah menyatu dengan alam!
Tubuhnya berputaran kesana kemari, pukulan dan tendangan mengarah ke segala penjuru. Gerakannya laksana elang muda yang turun dari langit, kadang menukik, mencakar, mematuk, mengibas, mengelak, persis layaknya burung elang. Belum lagi dengan pancaran tenaga salju yang keluar dari tubuhnya, bahkan lapisan hawa putih keperakan yang melingkupi tubuhnya semakin menebal.
Sedang hawa yang sudah dingin membekukan tulang itu menjadi semakin dingin menyengat, sampai sosok pemuda bertubuh tambun dengan baju buntung hijau tanpa lengan yang mengawasi dari kejauhan terpaksa mengerahkan tenaga dalam berhawa panas untuk menahan hawa dingin yang bisa membekukan tubuh. Padahal dia menonton di luar wilayah Lembah Badai dengan jarak puluhan tombak, namun rasanya seperti dia sendiri berada di dalam lembah itu.
“Gila! Apa yang dilakukan anak itu? Mau membuat aku jadi kura-kura beku apa?” gumamnya, “tapi, ilmunya makin lama makin hebat saja. Sampai hawa dinginnya menyengat sampai kemari.”
Pemuda tambun itu terus saja mengawasi pemuda yang sedang berlatih di dalam Lembah Badai. Di punggungnya terdapat sebentuk tempurung kura-kura yang ukurannya luar biasa besar. Bobotnya pun bisa mencapai ribuan kati, tapi pemuda itu memakainya dengan santai saja, seolah tanpa beban. Di saat angin bertiup sedikit kencang, baju buntung sedikit tersingkap, sehingga nampaklah tato atau rajah kura-kura berwarna hijau tua di dada kiri. Siapa lagi jika bukan Joko Keling alias Arjuna Sasrabahu, murid tunggal Kura-kura Dewa Dari Selatan dan pemuda yang sendirian berlatih silat di Lembah Badai tak lain dan tak bukan adalah Paksi Jaladara adanya.
Dua orang itulah yang sekarang menghuni sisi luar dari Lembah Badai, dari dua orang bocah ingusan sekarang telah berubah menjadi dua pemuda sama jenis tapi beda bentuk. Paksi Jaladara bertubuh tinggi tegap dengan kulit bersih, dadanya bidang dan berwajah tampan, sedang Joko Keling tetap dengan postur tubuh tambun namun padat, kulit sedikit menghitam karena gemblengan yang diberikan oleh gurunya.

-o0o-
 
Bab 13

Pernah saat mereka baru dua tahun menghuni tempat itu, Joko Keling pernah coba-coba menginjakkan kaki di Lembah Badai, namun baru mencapai satu tombak, tiba-tiba kilatan petir telah menyambarnya. Meski telah mengerahkan ilmu ringan tubuh dan membentengi diri dengan tenaga saktinya, tak urung terjungkal juga terkena sambaran petir. Tubuhnya terpental sejauh tiga tombak lebih. Tubuh montok itu langsung berubah menjadi hitam legam seperti arang, pakaiannya hancur luluh berbau gosong, meski tubuhnya berubah hitam akibat tersambar petir tapi tidak terluka terlalu serius, dikarenakan telah mengadakan persiapan sebelumnya dan tetap mengenakan Perisai Kura-kura Sakti, hanya seluruh badan terasa di panggang dalam tungku api membara.
Lebih celaka lagi, tubuh bugil bocah itu terjatuh dalam keadaan tengkurap!
Paksi Jaladara yang melihat kejadian itu tertawa terbahak-bahak hingga keluar air matanya, bagaimana tidak tertawa geli, jika melihat tubuh bugil jatuh tengkurap dan tempurung kura-kura berukuran besar berada di atas punggungnya, persis kura-kura berjalan keluar dari selokan.
Joko Keling yang diketawai memaki panjang pendek, tapi melihat keadaannya sendiri yang hitam legam dan telanjang bulat, tak urung juga membuatnya tertawa tergelak-gelak. Tindakan itu cukup menjadi pelajaran bagi bocah bongsor itu, sampai keluar sumpah serapahnya tidak akan menginjak Lembah Badai lagi. Andaikata ada gadis secantik bidadari sekalipun menyuruhnya menginjak lembah maut itu, pasti bakal ditolaknya mentah-mentah.
Bagaimana tidak, jika nekat tentu keadaannya pasti seperti kura-kura yang ekornya di depan!
Sementara itu, Paksi Jaladara mengerahkan seluruh kekuatan hawa tenaga dalam yang bersumber dari kitab Sakti ‘Hawa Rembulan Murni’ yang kini telah mencapai tahap akhir dan digabungkan dengan ilmu silat ‘Delapan Belas Jurus Elang Salju’ yang diwariskan oileh guru gaibnya, Elang Berjubah Perak. Jurus itu pada mulanya hanya ada lima belas jurus saja, tapi oleh Paksi Jaladara dikembangkan hingga menjadi delapan belas jurus. Entah bagaimana kehebatan tiga jurus yang terakhir itu.
Jurus ke delapan belas merupakan inti dari ke tujuh belas jurus yang sudah ada sebelumnya. Oleh Paksi Jaladara, jurus ini dinamai dengan jurus jurus ‘Menyatu Menjadi Elang Raksasa’, mendadak saja terpancar cahaya menyilaukan mata, dan bersamaan itu pula tampak sesosok elang putih raksasa sedang melayang ke atas, kemudian menukik ke bawah dengan cepat dengan pekikan yang menggelegar.
“Awwkk! Awwkk!”
Weesshh!
Sasarannya adalah gugusan batu yang umurnya sudah ratusan tahun dan berada tepat di tengah-tengah Lembah Badai.
Jdharr ... ! Dhuuarr ... !!
Gugusan batu raksasa itu hancur berantakan setelah ditabrak oleh elang raksasa itu, menimbulkan buncahan debu-debu putih di angkasa. Beberapa saat kemudian, ketika guguran debu mereda, tampak sosok tubuh Paksi Jaladara berdiri dengan gagah. Guguran debu dan batu menyibak dengan sendiri, dikarenakan pengerahan tenaga dalam yang memuncak, seakan-akan ada tangan tak terlihat yang mengalihkan guguraan debu dan batu ke samping.
Namun mendadak, alis matanya mengernyit.
Dari bekas gugusan batu raksasa itu, tertancap sebatang pedang di sisi kanan dan sarung pedang di sisi kiri. Bentuk pedang itu seperti pedang biasa, hanya sedikit melengkung seperti golok dan panjangnya dua kali pedang biasa dengan bilah pedang selebar tiga jari tangan. Satu sisi pedang tumpul dan satunya tajam mengkilat seperti bilah golok dengan membentuk lekukan pedang seperti ombak yang memisahkan antara bagian tumpul dan tajam. Gagang pedang cukup panjang untuk ukuran pedang biasanya, panjang sekitar tiga kali ukuran gagang pedang biasa, jika digenggam dengan dua tangan akan cukup nyaman. Pembatas pedangnya pun berbentuk aneh, melingkar membatasi antara bilah pedang dengan gagangnya, dimana pembatas yang melingkar itu berlubang sebanyak sembilan buah. Lubang itu membentuk gambar bulan sabit dan bintang segi delapan.
Di kedua sisi bilah pedang terdapat ukiran-ukiran aneh, seperti tulisan-tulisan dari negeri seberang. Pedang itu memancarkan cahaya samar-samar kebiru-biruan. Akan halnya sarung pedang berwarna putih mengkilap mulus tanpa gambar apa pun. Hanya pada ujungnya terdapat gambar ukiran gambar angin dan awan yang berarak.
“Pedang apa ini?” katanya dalam hati.
Paksi mendekati pedang aneh itu, lalu menggenggam gagangnya dengan tangan kanan.
Srtt! Srtt ... !!
Mendadak muncul kilatan-kilatan petir kecil yang menyengat tangannya. Kilatan itu terus menjalar ke seluruh tubuhnya dan akhirnya seluruh tubuh Paksi Jaladara tersengat kilatan-kilatan kecil berbiru-biruan itu. Paksi Jaladara segera mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya, namun celakanya tenaga dalam itu seakan mampet, tidak mau keluar.
“Celaka! Apa yang harus kulakukan? Uhh ... tanganku tidak bias dilepaskan ... ”
Dalam kebingungannya, perlahan namun pasti tampak sesosok bayangan manusia yang makin lama makin jelas wujudnya. Sosok laki-laki berwajah tirus dengan mata sipit yang mencorong tajam, rambutnya dikucir ekor kuda dengan balutan pita hitam. Bajunya juga cukup aneh, dengan ukuran agak kebesaran berwarna biru laut demikian pula dengan celananya yang hitam juga terlihat kebesaran. Kulitnya yang pucat kekuning-kuningan ditingkahi dengan seulas senyuman ramah. Dipunggungnya terselip sebentuk pedang yang bentuknya cukup aneh dan cukup panjang ukuran pedang pada umumnya. Yang membuat Paksi sedikit terperanjat adalah pedang laki-laki itu sama persis dengan pedang yang saat ini digenggam oleh Paksi Jaladara.
Pedang panjang melengkung yang aneh!
Laki-laki bermata sipit dengan kulit kuning itu membungkukkan badan ke arah paksi dan dengan gerakan yang indah, ia mencabut pedangnya dan mulailah ia melakukan gerakan-gerakan aneh, dimana bayangan itu menggenggam gagang pedang dengan kedua tangannya. Gerakan itu terus diperlihatkan di depan Paksi Jaladara, seolah-olah sedang memperlihatnya jurus-jurus pedang yang menggunakan dua tangan. Gerakan menebas, menusuk, membabat, semua diperlihatkan di depan mata pemuda itu.
Anehnya, Paksi Jaladara bisa mengikuti gerakan itu dengan baik, seolah dia sendirilah yang melakukan jurus-jurus pedang aneh itu. Puluhan jurus pun berlalu dan selama itu pula, pemuda itu menatap semuanya dengan tanpa berkedip!
Mendadak orang yang bermata sipit itu meloncat ke atas, lalu mengayunkan pedangnya ke arah Paksi Jaladara dengan cepat bagai kilat.
Bwessh!
Pemuda itu tersentak kaget, untuk menghindar pun rasanya sudah tidak mungkin lagi, karena serangan hawa pedang itu membutuhkan waktu sepersekian detik dan langsung menerjang ke tubuhnya.
Cess!!
Aneh, hawa pedang tadi langsung lenyap saat membentur tubuhnya bersamaan dengan bayangan laki-laki bermata sipit itu juga menghilang tanpa bekas, termasuk juga kilatan petir kecil juga lenyap.. Paksi Jaladara hanya terlongong bengong, lalu tangan kiri meraba dadanya tanpa sadar.
“Apa yang terjadi ... ? Tidak ada luka sama sekali!” gumam pemuda itu. “Aneh, padahal tadi jelas-jelas sabetan pedang itu mengarah ke dada, tapi tidak ada bekasnya sama sekali.”
Ketika menggerakkan tangan kanan yang menggenggam gagang pedang, pedang itu tercabut dengan mudah. Pemuda pemilik Rajah Elang Putih itu lalu mengamat-amati pedang itu dari gagang pedang hingga ke ujungnya. Lalu jari tangan kiri menyentuh bilah pedang, terasa hawa dingin menjalar melewati jari-jarinya.
“Hmm, tajam juga. Bilah pedang ini memancarkan hawa dingin, entah dibuat dari bahan apa. Entah milik siapa pedang panjang ini. Lebih baik aku tanyakan saja pada kakek tabib dan kakek kura-kura, siapa tahu mereka berdua tahu tentang pedang ini.”
Dengan sengaja tak sengaja, Paksi mengibaskan pedang itu ke samping kanan dengan mendatar, menirukan gerakan orang aneh tadi.
Wess!
Sebentuk hawa pedang memancar keluar secepat angin dan menebas tiang es yang besarnya sepelukan orang dewasa yang jaraknya sepuluh tombak dari tempat pemuda itu berdiri.
Crass!!
Tiang es itu langsung terpotong rapi, lalu ambruk diiringi dengan suara keras.
Bruull ... !
Paksi terperanjat.
“Edan! Padahal cuma kibasan pelan saja, sudah bisa memotong tiang es sebesar itu. Wow, keren!” kata pemuda itu penuh kekaguman sambil menghampiri sarung pedang putih itu dan memasukkan pedang panjang itu ke dalamnya.
Pas sekali!
Lalu dengan tangan kanan menjinjing pedang panjang itu, dia berkelebat cepat ke arah tepi luar Lembah Badai dengan mengerahkan jurus peringan tubuh ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’. Gerakan kakinya seolah melayang-layang di udara, laksana menunggang angin. Jurus ini sudah banyak kemajuan dibanding pertamakalinya Paksi mempelajarinya dari Tabib Sakti Berjari Sebelas.
Wess!
Sebentar kemudian dia sudah sampai di sisi luar Lembah Badai, dan melihat Arjuna alias Joko Keling, musuh karib dan teman bebuyutannya yang setia menunggu.
Jleg!
Pemuda bongsor itu nampak sedang bersekedap di depan dada saat Paksi baru saja menjejakkan kakinya di sisi luar lembah. Sorot mata pemuda itu menatap tajam pemuda berikat kepala merah dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu berjalan memutari tubuh pemuda, seperti seorang pembeli sedang menaksir barang dagangan saja. Lalu pandangan matanya beralih kepada pedang panjang yang ada dalam genggaman tangan Paksi.
“Sepanjang pengetahuanku di Lembah Badai tidak ada pedang yang sepanjang itu.”
“Aku dapatkan diantara gugusan batu-batu raksasa yang ada di sisi selatan lembah ini.”
“Oooh ... “ kata Joko Keling manggut-manggut.
“Apa kau tahu siapa pemiliknya?” balik tanya murid tunggal Elang Berjubah Perak.
“Tidak,” sahut Joko Keling pendek, “lebih baik kita segera menghadap kakek. Tadi aku diberitahu, jika kau sudah keluar dari Lembah Badai, kita berdua supaya langsung menuju puncak Gunung Tambak Petir.”
Paksi mengiyakan saja, sambil berkata, “Kapan kita berangkat?”
“Tahun depan! Tentu saja sekarang, memangnya mau tunggu apa lagi?” ucap Arjuna dengan jengkel.
Kalau sudah begitu, Paksi kadang tertawa geli sendiri, karena muka pemuda bongsor itu kalau sudah marah atau jengkel, susah sekali membedakan mana hidung, mana mata dan mana pipi karena semua menjadi satu. Mungkin jika sekali tabok mukanya bisa kena hidung, mata dan pipi sekaligus.
“Kenapa senyam-senyum, ngejek ya?”
“Ah ... nggak kok ... “ elak Paksi sambil berusaha menahan senyumnya agar tidak meledak.
Pemuda bertempurung kura-kura langsung menjejakkan kakinya ke arah utara, mengikuti sisi luar dari lembah bersalju itu. Tubuh besar itu berkelebat dengan ringan, seakan tidak terbebani dengan berat badan dan juga tempurung kura-kura yang ada dipunggungnya.

-o0o-

“Kazebito!”
“Kazebito? Maksud kakek tabib, pedang ini bernama Kazebito?” potong Paksi dengan cepat.
“Ya. Tepatnya Pedang Samurai Kazebito! Pedang ini dulunya adalah milik seorang pendekar samurai dari Negeri Sakura yang bernama Sasaki Kojiro. Jika tidak keliru hitunganku, itu terjadi sekitar empat ratus tahun yang lalu pada masa ketua generasi ke 28,” tutur Ki Gedhe Jati Kluwih seraya menimang-nimang pedang samurai itu di tangannya, lalu lanjutnya, “Paksi, apakah ada kejadian aneh sesaat atau sebelum kau menemukan pedang ini?”
“Ada, kek.”
“Ceritakan!”
Paksi Jaladara dengan singkat menceritakan kejadian yang berhubungan dengan pedang itu, termasuk rambatan aliran hawa aneh bahkan saat sosok laki-laki bermata sipit yang diduga bernama Sasaki Kojiro pun diceritakan lengkap dengan jurus pedang anehnya. Dikatakan aneh, karena biasanya para pesilat dari Tanah Jawadwipa menggunakan tangan kanan atau kiri dalam bersilat pedang, sedang sosok Sasaki Kojiro menggunakan dua tangan dalam memegang gagang pedang.
Ki Gedhe Jati Kluwih, Kura-Kura Dewa Dari Selatan dan Joko Keling mendengarkan dengan seksama, tidak ada yang menyela atau memotong penuturan Paksi sedikit pun, bahkan sampai selesainya kisah itu, ketiganya masih tertegun dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Paksi, apakah kau masih bisa mengingat setiap jurus yang digunakan oleh sosok Sasaki Kojiro?” tanya Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
“Masih, kek.”
“Coba kau peragakan. Tapi, gunakan tanpa pengerahan kekuatan tenaga dalammu.”
“Baik.”
Paksi mencabut Pedang Samurai Kazebito dan mulailah ia melakukan gerakan-gerakan aneh seperti apa yang pernah dilakukan oleh Sasaki Kojiro, menggenggam gagang pedang dengan kedua tangannya. Lalu mulaialh ia melakukan gerakan menebas, menusuk, membabat, menangkis dan mengunci. Meski tanpa menggunakan pengerahan tenaga dalam, namun udara disitu seakan mengikuti kemanapun Paksi bergerak. Baju pemuda itu berkibar-kibar tatkala ia melakukan gerakan menusuk tiga kali dengan cepat.
Wutt! Wess ... !
Terlihat larikan udara yang meruncing keluar dari ujung pedang samurai itu, lalu membentur batang pohon yang ada didepannya.
Durrr!!
Meski tanpa pengerahan tenaga dalam, daun-daun berguguran terkena sentakan dari Pedang Samurai Kazebito yang digunakan Paksi.
“Cukup Paksi!”
Paksi Jaladara menyudahi gerakan pedangnya, lalu dengan gerakan manis, menyarungkan pedang panjang yang digenggamnya. Semua yang dilakukan Paksi murni dari apa yang diterima oleh indera penglihatannya, tidak ada yang tercecer sedikitpun.
“Bagus! Ilmu pedang yang baru saja kau gunakan tadi adalah jurus terhebat dari aliran Partai Matahari Terbit yang bernama ‘Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat’,” kata kakek bercaping kura-kura itu, “ ... setahuku, ketua generasi ke 28 terdahulu mengundang mendiang Sasaki Kojiro. Dia datang jauh-jauh dari Negeri Sakura untuk menjalin persahabatan antara dengan Istana Elang, dimana sebelumnya Ketua Galangtara pernah mengembara hingga tanah seberang dan berkunjung ke Partai Matahari Terbit serta saling bertukar jurus.”
“Lalu sebagai imbal baliknya dari Partai Matahari Terbit, dalam hal ini diwakili oleh mendiang Sasaki Kojiro yang mungkin anak dari ketua partai atau murid utamanya untuk berkunjung ke Tanah Jawadwipa ini. Namun mendiang Sasaki Kojiro berhasil melewati Ladang Pembantaian tapi gagal menembus ganasnya Lembah Badai tanpa sempat memperlihatkan kembali jurus pedang andalan Partai Matahari Terbit. Bukan begitu, kek?” duga Paksi Jaladara.
Kura-Kura Dewa Dari Selatan dan Tabib Sakti Berjari Sebelas menganggukkan kepalanya mendengar uraian panjang lebar dari Paksi Jaladara, sebuah analisa yang tepat dari seorang pemuda usia belasan tahun!
“Tepat sekali dugaanmu, Paksi!”
”Lalu, darimana kakek tahu kalau jurus pedang yang saya gunakan tadi adalah jurus terhebat dari Partai Matahari Terbit sedangkan Tuan Sasaki Kojiro sendiri sudah keburu tewas di tengah perjalanan dan belum sempat memperlihatkannya pada Ketua Galangtara?”
Kembali dua tokoh tua menyatakan kekagumannya.
“Dari sebuah kitab pedang yang diberikan ketua Partai Matahari Terbit kepada Ketua Istana Elang.” kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
“Kitab pedang?”
“Ketika terjadi pertukaran ilmu silat, Ketua Galangtara meminjamkan sejilid Kitab Sakti ‘Inti Beku’ kepada Ketua Partai Matahari Terbit yang konon kabarnya merupakan salah satu dari lima kitab pusaka yang menjadi perebutan tokoh golongan persilatan tempo dulu, dan sebagai gantinya Ketua Galangtara menerima sejilid kitab ‘Pedang Matahari Terbit Dari Timur’, yang juga merupakan salah satu pusaka partai itu. Akan halnya aku tahu jurus yang baru saja kau gunakan, ketua pernah memperlihatkannya padaku setelah mempelajari selama dua purnama,” tutur kakek bercaping kura-kura itu.
“Guru, dimanakah kitab pedang itu sekarang?” sela Joko Keling yang sedari tadi hanya diam saja mendengar tanya jawab antara Paksi dengan gurunya.
“Kitab itu sekarang berada di Ruang Pustaka,” kata Kura-kura Dewa dari Selatan, “ ... tapi, Ruang Pustaka itu hanya bisa dimasuki oleh ketua dan tidak seorang pun yang bisa memasukinya, kecuali orang itu telah ditunjuk sebagai Pewaris Tahta Angin. Jika bukan pewaris dari Empat Pengawal dan Pewaris Tahta Angin sendiri, orang lain pasti mati seketika!”
“Begitu rupanya,” kata hati Tabib Sakti Berjari Sebelas, “pantas Elang Berjubah Perak pernah berkata padaku ‘tidak ada penjaga di Ruang Pustaka karena Ruang Pustaka itu sendirilah yang menjaganya’, setelah kura-kura tua itu menyebutkan tentang pewaris, baru aku paham apa makssudnya.”
“Kakek, lalu apa yang harus kulakukan dengan Pedang Samurai Kazebito ini? Aku merasa tidak pantas memilikinya setelah kutahu bahwa pedang ini ada pemiliknya meski sekarang orangnya sudah tiada, namun aku yakin Partai Matahari Terbit masih memiliki hak dengan pedang samurai ini,” kata Paksi Jaladara sambil menimang-nimang pedang panjang ditangannya.
“Pada awalnya, Tuan Sasaki Kojiro berniat memperlihatkan kehebatan jurus pedang partainya kepada Ketua Istana Elang dan kukira mendiang Sasaki Kojiro sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dengan memperlihatkan jurus pedang itu padamu, karena menganggap dirimu sebagai Ketua Istana Elang yang baru. Maka sudah sepantasnyalah bila kau pula nantinya yang mengembalikan pedang itu ke tempat asalnya, yaitu ke Partai Matahari Terbit di negeri seberang sana,” kata Ki Gedhe Jati Kluwih.
“Benar apa yang dikatakan tabib tua, karena kaulah pewaris tunggal Elang Berjubah Perak.” kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan mantap.
“Guru, apa keistimewaan dari pedang samurai itu?’ sela Joko Keling.
“Arti dari ‘Kazebito’ adalah ‘kekuatan angin’. Aku sendiri belum begitu jelas dengan kehebatannya, hanya saja pedang itu, sesuai namanya pasti berhubungan dengan kekuatan angin atau udara. Tapi ini hanya pradugaku saja,” ujar Kura-Kura Dewa, lalu lanjutnya, “bagaimana dengan dirimu, tabib tua?”
“Ha-ha-ha! Aku pun sama tololnya dengan dirimu, kura-kura tua!”
“Paksi, apakah kau sudah menyelesaikan pelajaran dari gurumu?” tanya Tabib Sakti Berjari Sebelas mengalihkan pembicaraan
“Sudah semuanya, kek.”
“Bagus! Sampai tingkat berapa yang bisa kau kuasai?”
“Saya tidak begitu yakin, tapi mungkin sampai tingkat ‘Tapak Rembulan Perak’ dan pengembangan Ilmu Silat ‘Elang Salju’ hingga jurus ke – 18,” kata Paksi Jaladara.
Paksi sengaja menyembunyikan salah satu ilmu terbarunya, karena ia beranggapan ilmu barunya masih dalam tahap awal, dalam tahap coba-coba. Ilmu temuannya itu datang secara tiba-tiba saja, saat ia berhasil menyelesaikan jurus ke – 18. Yakni pada pemikiran bila seluruh tingkat dari kitab ‘Hawa Rembulan Murni’, ‘18 Jurus Silat Elang Salju’, jurus ‘Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat’ dari Partai Matahari Terbit dan dengan kekuatan ‘Ilmu Mengendalikan Badai’, semua digabung menjadi satu jurus tunggal, entah apa yang akan terjadi. Pastilah akan menghasilkan kekuatan dahsyat luar biasa, mungkin hasilnya sudah diluar jangkauan akal sehat manusia.
Lagi pula itu masih dalam pemikiran saja, belum sekali pun dalam tahap praktek!
“Apa akibatnya jika benda hidup atau mati terkena dampak dari ‘Tapak Rembulan Perak’?” selidik Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
“Jika benda hidup seluruh jaringan otot, daging, darah hingga tulang sumsumnya akan melebur hancur menjadi cairan es dan jika benda mati akan hancur menjadi serpihan es.”
“Betul!”
“Coba kau perlihatkan pada kami!” kata Tabib Sakti Berjari Sebelas, karena dirinya sangsi mana ada itu segila dan sehebat itu, kecuali hanya cerita dongeng saja?
Paksi melihat ke sekelilingnya, lalu matanya terbentur pada batu hitam sebesar kerbau. Tiba-tiba saja, jari tangan kanannya berpencar putih pekat lalu menjentik dengan pelahan.
Ctik!
Seberkas larikan cahaya putih keperakan yang menebarkan hawa dingin berkiblat diiringi dengan suara gemuruh. Cahaya itu meluncur cepat seperti anak panah lepas dari busurnya dan membentur batu besar itu sambil mengeluarkan suara mendesis.
Cesss!
Seketika seluruh batu itu terbungkus lapisan es, dan dalam sekedipan mata, batu hitam itu hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan es yang tersebar kemana diiringi dengan suara yang memekakkan telinga.
Brull!
“Bagus! Memang seperti itulah kekuatan tahap ke - 4 dari Kitab Sakti ‘Hawa Rembulan Murni’! Ilmu ini memang berbeda dengan ilmu sakti atau jurus maut pada umumnya, dimana harus mengolah tenaga dalam dahulu barulah kemudian menjadi satu jurus maut. Akan halnya orang yang menguasai hingga tahap ini, bisa menggunakan sesuka hatinya tanpa perlu bersusah payah mengolah napas, karena inti dari ilmu ini adalah kekuatan hati. Paksi, berhati-hatilah dengan ilmu tadi, karena bisa mencelakai orang tanpa kau sadari. Cobalah berusaha mengendalikan hati dan pikiranmu. Kau paham?” kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan memberi nasehat.
“Paham, kek.”
“Wuih, andaikata kena tubuhku, bisa jadi cairan es, nih!?” gumam Arjuna antara sadar tak sadar.
“Juna, bagaimana dengan ‘Tapak-Tapak Dewa Api’ yang kau pelajari?” tanya gurunya.
“Semua sudah Juna selesaikan dengan baik, kek! Pokoknya beres!” sahut si murid sambil mengacungkan jempol kanan dengan mantap.
“Perlu kau ketahui, ilmu ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’ kuturunkan hanya padamu, yang merupakan ilmu tandingan dari ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air’ milikku. Jangan sembarangan kau gunakan, jika bisa kau menggabungkan dengan ‘Ilmu Silat Pulau Kura-Kura’ tentu akan lebih baik.”
“Tanpa disuruh pun tentu akan kulakukan,” kata hati Arjuna Sasrabahu sambil mengiyakan perkataan gurunya.
Pada mulanya ia akan menurunkan ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air’ tapi tidak jadi setelah tanpa sengaja dirinya menemukan rangkaian ilmu ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’ saat sedang tiduran diatas tubuh kura-kura tunggangannya, si Tirta Kamandanu.
Setelah mencerna beberapa waktu, akhirnya ia paham!
Rupanya tempurung kura-kura betina yang kini dipakainya menjadi penutup kepalanya terdapat rangkaian ilmu ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air’ yang kini dikuasainya sedangkan di kura-kura jantan terdapat rangkaian ilmu ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’. Akhirnya kakek bertempurung kura-kura itu memutuskan untuk menurunkan kekuatan dari ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’ kepada murid tunggalnya.
“Paksi, sudah saatnya kau turun gunung untuk mengamalkan semua apa yang kau pelajari dari mendiang ketua lama. Biarkan Arjuna menemani perjalananmu, sambil sekalian mencari pewaris atau murid dari Tiga Pengawal Gerbang yang lain,” ujar Kura-kura Dewa Dari Selatan, lanjutnya, “Karena dirimu adalah titisan Sang Angin dan juga pewaris tunggal Elang Berjubah Perak, maka sudah menjadi tugasmu mengemban amanat ini.”
“Tapi, alangkah baiknya bila sebagai seorang murid ketua Elang Berjubah Perak untuk berkeliling ke wilayah-wilayah Istana Elang yang ada di puncak Gunung Tambak Petir ini.” Kata Tabib Sakti Berjari Sebelas.
“Tentu saja. Saya sudah lama ingin melihat-lihat kemegahan dari istana ini.”
-o0o-
 
Bab 14

Begitulah, dengan diantar Pengawal Gerbang Selatan, Paksi Jaladara menyusuri ruangan demi ruangan. Setiap tempat yang tidak diketahuinya, langsung ditanyakan. Sehingga semakin banyak pula pengetahuan baru yang diterima. Bahkan kakek bercaping tempurung kura-kura itu menceritakan sejarah berdirinya Istana Elang dari ketua generasi pertama hingga ketua generasi ke 32, betapa Istana Elang merupakan salah satu dari tiang penyangga rimba persilatan aliran putih dari jaman ke jaman. Sang Air juga menceritakan siapa saja tokoh-tokoh kosen rimba persilatan masa kini baik dari golongan putih mau pun dari golongan sesat.
Pada masa kini, rimba hijau baik golongan sesat maupun lurus terbagi menjadi Dua Istana, Tiga Wisma, Empat Benteng, Lima Perguruan dan Partai. Istana Elang yang dulunya diketuai oleh mendiang Elang Berjubah Perak dan sekarang akan tergantikan Paksi Jaladara yang baru saja keluar dari Lembah Badai dan satunya Istana Rumput Maut yang dipimpin seorang tokoh tua yang bergelar Nenek Rambut Hijau yang terkenal dengan jurus ‘Pukulan Tebaran Rumput Menggesek Awan'. Meski tabiatnya kasar dan kadang ugal-ugalan, namun pada dasarnya dia memiliki hati yang bersih. Konon kabarnya sudah berusia seratus tahun lebih.
Tiga Wisma yang dimaksud adalah Wisma Bambu Hitam, Wisma Harum, dan Wisma Samudera. Wisma Bambu Hitam saat ini dijabat oleh tokoh yang bernama Nyi Jagat Semayi, yang merupakan murid tunggal dari majikan Wisma Bambu Hitam yang telah tewas saat terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Serikat Ular Iblis pada empat puluh tahun silam. Meski sudah berusia tiga puluh lima tahun, namun postur dan penampilan tubuhnya masih tampak seperti gadis usia belasan tahun saja. Tubuhnya yang tinggi sekal terlihat kontras dengan kulit tubuhnya yang sedikit kecoklatan sehingga menambah daya pesona sebagai seorang wanita matang. Bibirnya yang selalu nampak merah delima dengan sebentuk lesung pipit di pipi kirinya, seakan mengundang hasrat bagi laki-laki yang memandangnya.
Banyak para jago silat yang berusaha mendapatkannya untuk dijadikan istri bahkan selir, namun akhirnya gagal karena Nyi Jagat Semayi memberikan syarat yang cukup berat, selain harus bisa mengalahkan ilmu silatnya, juga harus bisa menaklukkan hatinya. Apalagi sekarang dia memiliki Golok Pusaka Bambu Terbang dan juga jurus ‘Golok Bambu Terbang’ warisan gurunya kini sudah dikuasainya dengan sempurna.
Akan halnya Wisma Harum saat ini dipimpin pasangan sesat suami-istri yang kini bernaung dibawah Benteng Tebing Hitam, terkenal dengan julukan Sepasang Kupu-Kupu Besi. Belum ketahui sampai dimana kehebatan pasangan suami-istri ini, namun berita yang santer terdengar, bahwa saat ini Sepasang Kupu-Kupu Besi sedang mempelajari sebuah ilmu baru yang bernama jurus ‘Racun Kembang Patah Hati’.
Sedangkan Wisma Samudera saat ini diketuai laki-laki parobaya yang bernama Ki Dirga Tirta yang pada jamannya terkenal dengan ‘Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong’. Majikan Wisma Samudera mempunyai seorang anak gadis yang masih muda belia disebutnya sebagai Gadis Naga Biru. Saat ini, Majikan Wisma Samudera sedang giat-giatnya menggembleng putri tunggalnya untuk mewarisi semua ilmu yang dimilikinya. Entah sampai di tingkat ke berapa dari ‘Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong’ yang saat ini dipelajarinya.
Empat Benteng adalah Benteng Tebing Hitam yang dipimpin oleh Roda Sakti Tujuh Putaran, yang kini sedang menyusun semua kekuatan hitam di tempat kediamannya. Benteng Dua Belas Rajawali diketuai pasangan saudara seperguruan Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait, yang saat ini juga sedang menyusun kekuatan tandingan bagi Benteng Tebing Hitam. Majikan Benteng Lembah Sunyi yang bernama Ki Gentar Swara yang juga masih terhitung saudara dari garis keturunan ibu dari Naga Sakti Berkait pun kini juga mendukung Benteng Dua Belas Rajawali.
Akan halnya Benteng Lembah Selaksa Setan, saat ini dipimpin seorang kakek berusia delapan puluhan tahun yang bernama Kelelawar Iblis Berkepala Besi yang menguasai Ilmu Silat ‘Kelelawar Sakti’. Sukar sekali menentukan sikap dari Kelelawar Iblis Berkepala Besi, karena adakalanya membantu aliran putih, bahkan tidak malu-malu untuk mendukung aliran hitam. Bisa dikatakan sulit diraba kemana arah tujuan dari Majikan Lembah Selaksa Setan itu.
Lima Perguruan dan Partai, diantaranya adalah Padepokan Singa Lodaya yang berada di kaki Gunung Singa Putih yang diketuai oleh Ki Singaranu yang juga merupakan kakek dari Paksi Jaladara. Kemudian Partai Awan Merah dan Partai Dua Belas Lentera, saat ini sedang mengalami kekosongan kepemimpinan karena kedua ketua mereka dikabarkan sama-sama tewas saat membantu Wisma Bambu Hitam menghadapi Serikat Ular Iblis, sehingga untuk sementara masih diwakili oleh murid utama masing-masing. Meski kejadian sudah lewat empat puluh tahun lamanya, namun para murid utama tidak bisa begitu saja mengangkat diri menjadi ketua karena mereka masih mengharapkan kedatangan ketua mereka, hal itu disebabkan sampai sekarang masih diyakini bahwa sang ketua masih hidup.
Sedang Perguruan Pedang Putih merupakan sinar baru di rimba persilatan, meski baru berdiri beberapa tahun belakangan, namun kiprahnya cukup bisa disejajarkan dengan perkumpulan silat yang sudah punya nama. Perguruan Pedang Putih ini dipimpin seorang pemuda berusia dua puluh sembilan tahun dengan tinggi tubuh sedang-sedang saja. Raut wajah tampan dengan rahang persegi yang menggambarkan keteguhan hatinya. Dalam kalangan persilatan dijuluki si Raja Pedang dengan Pedang Sinar Bintang sebagai senjata andalannya.
Sedangkan Partai Telapak Sakti sampai sekarang ini masih menjadi misteri bagi orang-orang rimba persilatan, sama misteriusnya dengan Istana Elang sendiri. Dari kabar burung yang beredar, bahwa partai yang terkenal dengan ilmu ‘Telapak Sakti Matahari Membara’ saat ini sedang mengumpulkan tokoh-tokoh silat untuk direkrut menjadi anggotanya.
Dengan panjang lebar, Kura-Kura Dewa Dari Selatan menceritakan keadaan dunia persilatan saat itu, bahkan kemunculan tokoh-tokoh hitam sekelas Ratu Sesat Tanpa Bayangan yang dulu pernah menyerang Padepokan Singa Lodaya dan masih banyak tokoh silat dari aliran hitam dan putih yang kini kembali bermunculan.
Dengan demikian semakin menambah bekal bagi Paksi Jaladara maupun Arjuna Sasrabahu.
Menjelang sore hari, disaat sang surya mulai menutup diri, sampailah mereka berempat memasuki sebuah aula yang di kiri kanannya terdapat patung elang kembar raksasa yang beratnya mencapai ribuan kati. Setelah melewati aula yang oleh kakek bercaping itu disebutnya Aula Elang Kembar, sampailah mereka berempat di suatu ruangan berpintu besi tebal dengan gagang pintu yang menghitam. Di pintu besi itu terukir indah seekor elang berwarna putih keperakan yang sedang melayang-melayang di antara gumpalan awan yang membentang luas. Kura-Kura Dewa Dari Selatan menyebut ruang itu sebagai Ruang Pustaka, ruang pribadi dari setiap generasi ketua Istana Elang.
Sekeliling tempat Ruang Pustaka ditumbuhi dengan pohon-pohon yang aneh dan juga kolam yang jernih. Ruangan itu tepat berada di ujung paling timur dari Gunung Tambak Petir, seakan menyatu dengan perut gunung tersebut.
“Joko, coba kau buka pintu Ruang Pustaka.”
Tanpa banyak bicara, pemuda bertubuh bongsor itu segera mendekat dengan sigap. Begitu kurang lebih berjarak dua langkah dari pintu bergagang hitam itu, mendadak tubuhnya terpental dengan keras, lalu melayang jauh melewati patung elang kembar. Saat masih melayang, Joko Keling bersalto beberapa kali ke belakang untuk mematahkan daya lontar yang cukup kuat itu.
Wutt! Wutt! Jleg!!
“Hooiii, apa yang kau lakukan?” bentak gurunya.
“Entahlah, kek! Tahu-tahu tubuhku terasa ada yang mengangkat ke atas lalu melemparkannya dengan keras.”
“Tolol! Ulangi lagi!”
Kali ini Arjuna Sasrabahu lebih siaga. Dengan mengerahkan ilmu terakhir warisan gurunya, yaitu ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’. Sontak suasana disekitar tempat itu berubah menjadi panas membara laksana tungku api yang menyala-nyala. Kobaran api yang membentuk bayangan kura-kura api raksasa semakin lama semakan membesar.
Bwosshh! Bwoshh ... !
Terdengar desisan-desisan api yang menjilat-jilat menyelimuti tubuh bongsor yang punggungnya tergantung Perisai Kura-Kura Sakti. Perlahan-lahan Joko Keling alias Arjuna Sasrabahu memusatkan daya nalar untuk mengerahkan tujuh bagian dari ilmu yang saat ini sedang digunakannya. Tampak sepasang kaki pemuda itu diselimuti oleh kobaran api membara. Setelah merasa memiliki cukup kekuatan, melangkahkan kaki setindak demi setindak ke arah pintu baja itu.
Mendekati dua langkah dari pintu besi itu, mendadak Joko merasa ada kekuatan gaib yang kembali berusaha untuk melontarkannya. Namun tujuh bagian dari ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’ berusaha keras untuk menahannya. Akan tetapi desakan gaib makin lama makin kuat, sehingga mau tak mau harus ia meningkatkan lagi hingga bagian ke delapan.
Swooshh ... !
Hawa panas itu pun makin membara ketika sudah mencapai bagian ke sembilan dari seluruh ilmunya. Sungguh kekuatan tenaga dalam yang hebat. Jarang didapati jago muda yang memiliki tenaga dalam setinggi itu pada masa kini.
“Huh, kurang ajar! Apa perlu kugunakan sepuluh bagian sekalian?” pikirnya.
Seiring dengan daya pikirnya, akhirnya tenaga panas meningkat drastis hingga bagian ke sepuluh dari ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’. Bahkan sampai-sampai gurunya harus mengerahkan bagian ke tujuh ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air’, yang merupakan tandingan dari ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’ yang kini digunakan oleh Joko Keling. Akan halnya dengan Tabib Sakti Berjari Sebelas yang saat itu berdiri di samping Paksi Jaldara juga mengalirkan ‘Tenaga Sakti Aliran Pulau Khayangan’ untuk menahan hawa panas yang semakin lama semakin membuncah, sedang Paksi Jaladara juga harus mengerahkan tahap ke tiga dari Kitab Sakti ‘Hawa Rembulan Murni’!
Kini, hawa panas dan dingin menerpa silih berganti. Joko keling terus berusaha bertahan dengan kekuatan puncaknya, namun kekuatan gaib dari Ruang Pustaka itu juga semakin meningkat sebagai bentuk perlawanan, semakin besar tenaga yang menekannya, semakin besar pula daya benturannya.
Srekk! Srekk ... !!
Perlahan namun pasti, Arjuna Sasrabahu mulai terdorong ke belakang, dimana dorongan itu makin lama makin kuat. Dan akhirnya, kembali pemuda yang merupakan murid tunggal dari Pengawal Gerbang Selatan harus menyerah. Setelah berjuang keras selama sekian lama, pemuda itu jatuh terduduk kehabisan tenaga.
Brukk!
Napasnya terengah-engah karena baru saja menguras tenaganya.
“Kek! Aku capek sekali! Heh ... hehh ... aku ... tidak sang ... gup ... lagi ... !”
Kura-Kura Dewa Dari Selatan berjalan menghampiri pemuda itu, dan menepuk bahunya dengan tatapan bangga. “Juna, aku bangga padamu! Tidak percuma aku memilihmu sebagai pewarisku! Dulunya, aku harus sungsang sumbel saat berusaha mendekati Ruang Pustaka. Sedangkan kau, hanya terseret sejauh tujuh tombak jauhnya! Aku bangga memiliki murid sepertimu!”
Tertampak pancaran kekaguman yang tulus dari seorang guru kepada muridnya.
Untuk pertama kalinya Joko keling melihat gurunya mengucapkan kata-kata tulus seperti itu, bahkan dengan sorot mata kebahagiaan, tanpa dapat dicegah lagi, pemuda itu berlutut di hadapan gurunya, dan itu pun juga untuk pertama kalinya dia lakukan.
“Terima kasih, terima kasih Guru! Maafkan muridmu yang tolol ini!” Ini untuk pertamakalinya pula ia menyebut ‘Guru’ pada kakek itu.
“Sudah, ayo bangkit!” guru tua itu membimbing sang murid bangkit berdiri.
Sementara itu, pemuda pilihan dari Lembah Badai itu sedang berdiri termangu-mangu, pandangan matanya tertuju pada lukisan kepala elang yang ada di tengah-tengah pintu.
“Aneh! Lukisan itu hampir sama dengan rajah yang ada di dahiku. Aku yakin ini pasti ada hubungannya.” Katanya dalam hati.
Paksi perlahan mendekati pintu Ruang Pustaka, mendekati tiga langkah dari pintu, seolah sengaja tak sengaja tangan kanannya menarik lepas ikat kepala merah yang melingkar di kepalanya. Mata tertampaklah sebentuk lukisan kepala elang putih yang bentuk dan rupanya sama persis dengan lukisan kepala elang yang ada di pintu Ruang Pustaka itu.
Mendadak, sepasang lukisan elang yang sama rupa dan sama warna itu bersinar secara bersamaan.
Cahaya putih terang!
Beberapa saat kemudian, cahaya putih terang mulai memudar dan secara ajaib, ointu Ruang Pustaka terbuka dengan sendirinya, seolah ada tangan-tangan gaib yang membukakan pintu dengan selebar-lebarnya.
Krieet! Grakkh ... !
Rupanya penunggu gaib Ruang Pustaka mengetahui pemilik syah Rajah Elang Putih yang juga merupakan penguasa tunggal Istana Elang sedang berkunjung.
“Ketua, silahkan masuk.” kata Kura-kura Dewa Dari Selatan dengan sopan. Kura-kura Dewa Dari Selatan menyebut pemuda berikat kepala merah sebagai ketua, tentu saja membuat Paksi terperanjat kaget.
“Ketua?”
“Ya, sekarang andalah Ketua Istana Elang generasi ke-33. Sebenarnya ketua diajak berkeliling seluruh ruangan di Istana Elang ini, selain untuk mengenal lebih jauh tentang Istana Elang itu sendiri, juga sebagai salah satu bentuk ujian yang harus ketua hadapi adalah Ruang Pustaka, untuk menguji keaslian dan kemurnian Rajah Elang Putih. Jadi, maafkan saya karena tidak memberitahukan hal ini sebelumnya kepada Ketua.”
Tahulah Paksi Jaladara sekarang apa maksud tutur kata dari salah seorang Empat Pengawal Gerbang Istana Elang itu. Suka tidak suka dan mau tidak mau, entah sekarang atau pun besok, pada akhirnya pula ia harus memikul tanggung jawab itu.
“Jika aku masuk ke dalam, lalu bagaimana dengan yang ada disini?”
“Tentu itu tergantung dari kebijaksanaan ketua sendiri.”
Paksi Jaladara berpikir sejenak. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya terucaplah sebuah kata dari mulutnya, “Kalau begitu ... kita masuk bersama.”
“Baik, jika itu perintah dari ketua.”
Maka, dengan beriringan dua orang tokoh tua rimba persilatan dan dua orang muda usia memasuki Ruang Pustaka. Begitu melangkah masuk, pintu itu menutup dengan sendirinya.
Ruang Pustaka ternyata cukup luas dan lega bahkan cukup untuk menampung dua ratus orang pun sekaligus. Lantainya bening mengkilap hingga nampak bayangan orang waktu berjalan diatasnya, seolah sedang berjalan di atas air.
Dinding ruangan dibuat dari batu-batu alam yang memiliki nilai seni tinggi. Masing-masing dinding mempunyai karakteristik tersendiri.
Dinding sebelah utara berhiaskan senjata-senjata mantan ketua Istana Elang. Menurut Sang Air, itu adalah senjata yang didapat dari mengalahkan lawan tangguh atau pemberian dari tokoh-tokoh sakti. Setiap ketua diperbolehkan untuk menggunakan senjata-senjata itu sebagai alat pelengkap diri. Ada yang berbentuk tombak pendek, lembing, golok, pisau berlekuk, keris, bahkan tambur berbahan kulit badak pun juga ada.
Dinding timur berwarna biru gelap dipenuhi dengan alat-alat musik, seperti kecapi, sitar, seruling, dan lain-lain, juga dipenuhi oleh lukisan para ketua yang kini telah mangkat. Sinar terang memantul dari dinding sebelah selatan yang berwarna biru muda, tertumpuk puluhan kitab-kitab pusaka, terdiri dari kitab silat, kitab golok, kitab tenaga dalam, kitab pengobatan dan lain sebagainya. Semua kitab yang terbuat dari daun lontar tersusun rapi berderet-deret.
Sementara dinding sebelah barat berwarna hijau teduh yang berasal dari batu giok raksasa yang dihancurkan dan dijadikan campuran dinding, terdapat silsilah dari Istana Elang, termasuk Empat Pengawal Gerbang beserta pewarisnya juga ikut tertulis disitu. Yang membuat Paksi Jaladara kaget adalah namanya tertera pada silsilah itu dan terdapat garis lurus warna putih yang berhubungan dengan si Elang Berjubah Perak yang bernama asli Ki Wisnupati.
“Kek, itu ... “
“Ketua tidak perlu heran, setiap pewaris yang dipilih akan tertulis dengan sendirinya di dinding sebelah barat.”
“Saya paham. Terus, apa arti dari garis putih itu?”
“Garis putih memiliki arti bahwa calon pewaris dipilih sejak ia masih dari kandungan. Jika garis warna merah berarti pewaris dipilih setelah dewasa. Hal itu berlaku juga bagi para pewaris ilmu Pengawal Gerbang yang lain. Arjuna misalnya, dia memiliki garis merah, itu artinya dia dipilih ketika dia sudah dewasa,” tutur Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
“Betul! Dulunya aku tidak punya rajah itu. Aku tahu punya rajah itu dua purnama sebelum berkelahi dengan seekor ular sanca besar dan ditolong oleh kakek.” kata Joko Keling, “ ... pada mulanya kukira kena penyakit kulit, tak tahunya ... “
Took!
Kepalanya langsung bertelur bundar karena di jitak dengan manis oleh gurunya. Pun masih ditambahi dengan rasa pening dan mata berkunang-kunang.
“Bocah sial! Dikasih gambar bagus malah dibilang penyakit kulit! Sini kan kepalamu, biar kutambah satu telur lagi!”
“Ampun kek! Ampun ... !” teriak Joko Keling seraya berusaha menghindar dari ketokan gurunya.
Namun tangan kakek itu seolah mempunyai mata, kemana pun Joko Keling berkelit, selalu tangan kurus itu selalu dapat mengikutinya, setelah berkutatan cukup lama, akhirnya ...
Took!
Kena juga kepala pemuda itu diketok untuk kedua kalinya.
“Ha-ha-ha! Kau tidak mungkin bisa menghindar dari jurus ketokanku, bocah! Ha-ha-ha!”
Semua orang tertawa melihat wajah Arjuna yang meringis-ringis kesakitan sambil meraba-rba kepalanya yang punya dua telur bundar diatasnya.
“Kakek, sudahlah! Kasihan ... “ iba juga Paksi Jaladara melihat ringisan Joko.
“Tenang! Aku pun juga sudah puas!”
Begitulah, suasana di Ruang Pustaka yang semua lengang kini menjadi ramai oleh riuh tawa mereka berempat.

-o0o-
 
Bab 15

Satu bulan berlalu tanpa terasa ...
Paksi Jaladara seorang diri berada di Ruang Pustaka sambil memandangi dinding-dinding itu dengan seksama. Di dinding sebelah timur terdapat puluhan mungkin ratusan macam jenis alat-alat musik. Hanya sebentar saja ia melihat-lihat, karena pada dasarnya memang tidak paham alat-alat semacam itu, paling banter ia hanya paham cara meniup seruling saja sedangkan tinggi rendahnya nada cuma sekedar tahu saja.
“He-he-he, dari sekian alat musik, hanya meniup seruling saja yang bisa kulakukan.”
Setelah itu ia berjalan menuju ke dinding sebelah selatan dimana terdapat rak-rak kitab pusaka yang tersusun rapi. Setiap satu ukuran rak kecil tersimpan satu jilid kitab. Deret pertama berisi kitab-kitab ilmu pengobatan, deret kedua berisi kitab-kitab ilmu silat beraneka ragam termasuk keterangan asal-usul kitab tersebut. Diambilnya secara acak salah satu kitab lusuh yang dimana sampulnya tertulis ‘Ha Na Ca Ra Ka’, lalu dibuka-bukanya sebentar.
“Tidak ada yang menarik disini,” batinnya. “ ... lagi pula tulisannya aku juga tidak begitu paham. Semua menggunakan huruf Jawa Kuno.”
Lalu diletakkannya kembali kitab itu ditempat semula. Paksi Jaladara tidak tahu bahwa kitab ‘Ha Na Ca Ra Ka’ merupakan salah satu kitab paling langka yang puluhan tahun silam menjadi buruan kaum persilatan hingga mengakibatkan pertumpahan darah dimana-mana. Hingga pada akhirnya jatuh ke tangan si Elang Berjubah Perak, lalu disimpan rapat di dalam Ruang Pustaka, karena memang bertujuan untuk meredam gejolak saat itu, maka lambat laun kegemparan yang diakibatkan perebutan kitab ‘Ha Na Ca Ra Ka’ itu hilang dengan sendirinya.
Dari semua deret kedua rak kitab silat tidak diketemukannya kitab ‘Ilmu Silat Elang Salju’. Diperiksanya kembali seluruh rak-rak kitab itu, tapi tidak ada satu pun yang menyinggung kitab yang dicarinya. Bahkan sampai dibolak-balik berulang kali tetap juga tidak ketemu.
“Apa mungkin dideret yang lain, ya?” gumamnya, “ hmmm ... lebih baik kutanyakan saja nanti pada kakek kura-kura.”
Kemudian Paksi Jaladara menuju ke dinding sebelah barat dimana terdapat silsilah sejarah dan silsilah 33 orang ketua dari Istana Elang. Dimulai dari ketua yang pertama, Ki Tapa Geni yang bergelar Hakim Jujur Berwajah Besi, lalu ketua generasi ke - 2 dan seterusnya, hingga pada akhirnya sampailah pada generasi ke – 32, si Elang Berjubah Perak. Dibawahnya persis tertulis nama dirinya sebagai ketua generasi ke – 33.
Paksi Jaladara membaca seluruh silsilah dengan seksama, bahkan silsilah Empat Pengawal Gerbang Utama juga ikut dibacanya dengan maksud untuk mencari para pewaris dari Empat Pengawal Gerbang Utama yang masih tercecer, kecuali pewaris dari Sang Air, yaitu Arjuna Sasrabahu alias Joko Keling. Setelah mencatat dalam ingatan siapa saja nama pewaris Empat Pengawal Gerbang Utama, Paksi Jaladara menuju ke dinding berikutnya.
Dinding sebelah utara berhiaskan ribuan senjata-senjata sakti, semuanya disusun dengan rapi dan tampak terawat dengan baik. Ada deret pedang terdapat berbagai macam jenis pedang dimana terdapat pedang pendek, pedang panjang meski kalah panjang dengan Pedang Samurai Kazebito milik mendiang Sasaki Kojiro, bahkan ada pedang bermata dua yang bernama Pedang Dua Ular milik Raja Ular Hitam.
“Kalau menggunakan pedang seperti ini, pasti membutuhkan tenaga dalam yang cukup besar,” katanya sambil menimang-nimang pedang bermata dua, lalu diletakkannya kembali.
Dia beralih ke deret tombak, lalu terus deret tongkat panjang, begitu seterusnya hingga akhirnya sampai pada deret golok di paling ujung. Di dunia persilatan banyak sekali beraneka ragam bentuk golok, namun di deret golok yang ada Ruang Pustaka hanya ada empat jenis. Dua golok yang bentuknya lurus dengan satu mata tajam, satu golok yang bentuknya melengkung seperempat lingkaran. Dan yang terakhir susah disebut dengan golok, karena besar dan lebar hanya satu jengkal tangan dengan bentuk melengkung seperti bulan sabit dengan pegangan golok hanya berbentuk cerukan lima jari tangan berada tepat ditengah-tengah lengkungan. Tepinya berwarna putih mengkilap sebagai sisi tajam dan sisi sebelah dalam warna gelap kehitaman dan agak kasar bila diraba, termasuk pula cerukan lima jari tangan, namun ukuran lima lubang dibuat cukup halus.
Tidak ada keterangan apa pun tentang senjata aneh itu, baik nama atau pemilik dari senjata yang panjangnya cuma sejengkal itu!
Paksi Jaladara mengambil salah satu golok aneh tadi, karena memang jumlahnya ada sepasang.
“Mungkin cara pakainya begini,” gumam Paksi Jaladara sambil memasukkan lima jari tangan kanannya ke dalam cerukan kecil yang ada di tengah lingkaran, “ ... Hemm, nyaman juga.”
Dicobanya mengibaskan senjata aneh itu secara acak ke segala arah. Saat digerakkan terdengar seperti suara daging yang disayat dengan pisau tajam.
Sriit!
“Wah, hebat! Dengan bentuk sekecil ini, ternyata bisa menghasilkan suara seperti sayatan pisau,” gumamnya. “Coba kupakai kedua-duanya.”
Kemudian Paksi Jaladara mengambil satunya dan di pakai ditangan kiri.
Pas sekali!
Dicobanya lagi mengibas-ngibaskan ke sana kemari, kadangkala digesek-gesekkan satu sama lain. Maka terjadilah hal yang cukup menakjubkan, kadang muncul suara decitan tajam bagai angin yang terbelah, kadang muncul suara seperti sayatan daging yang dipotong dengan pisau tajam, ada kalanya pula keluar bunga api kecil-kecil saat sepasang golok berbentuk bulan sabit itu saling diadu.
Trriik! Triing ... !! Criing!!
Paksi Jaladara memandangi kedua golok aneh di tangannya itu.
“Coba kalau kugunakan Ilmu ‘Mengendalikan Badai’, hasilnya bagaimana ya? Tapi ruangan ini terlalu sempit, lebih baik aku ke dekat kolam saja.” gumam Paksi Jaladara.
Lalu pemuda itu keluar dari Ruang Pustaka, lalu berjalan lambat-lambat sembari menimang-nimang benda aneh itu. Beberapa saat, sampailah dekat tepi kolam yang berair jernih. Setelah tengok kanan tengok kiri untuk memastikan bahwa tidak ada orang di sekitar tempat itu, pemuda yang kini secara resmi menjabat ketua Istana Elang segera melemparkan sepasang golok aneh itu ke arah yang berlawanan.
Swiing ... sritt!!
Dua bayangan berkelebat cepat ke sisi kanan kiri dengan laksana kilat, namun anehnya kedua benda bergerak seolah ada tangan gaib yang menggerakkan dengan lincah mengikuti arah telunjuk Paksi Jaladara. Kemana pun dua telunjuk itu bergerak, maka dua bayangan itu juga mengikuti arah yang sama secara bersamaan pula.
Setelah beberapa saat menggerakkan dua golok itu secara serampangan, terbersit pikiran cemerlang dari anak muda itu. Lalu tampaklah sepasang golok berbentuk lengkung seperti bulan sabit dengan lima cerukan di tengahnya bergerak dalam aturan-aturan tertentu. Sekilas nampak pemuda itu menggunakan jurus pedang aliran Partai Matahari Terbit yang bernama ‘Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat’ untuk menggerakkan sepasang golok lengkung, karena memang dari semua ilmu yang dimilikinya, hanya jurus pedang itulah yang dikuasainya.
Itupun hanya satu jurus pedang!
“Hemm ... kalau begini saja, kelihatan kurang bagus!” pikirnya, “lebih baik aku tambah tenaga dalamku hingga empat bagian dan kuubah arah menjadi berlawanan ... “
Seiiring dengan pemikirannya, tangan kiri bergerak dengan pola-pola serangan ke arah kiri, begitu pula tangan kanan bergerak dengan pola serangan ke arah kanan.
Sett ... reett!!
Sekarang suara gesekan udara semakin keras menyayat, laksana ratapan hantu di siang bolong. Semakin cepat, suara sayatan semakin membuat gendang telinga laksana ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Dalam gerakan menebas, Paksi Jaladara mengubah gerakan menjadi arah yang berseberangan, satu bergerak ke kiri dan satunya bergerak ke kanan dengan kecepatan yang lebih tinggi hingga nampak kelebatan bayang putih kehitaman, sehingga kelihatan menjadi dua serangan yang berbeda meski tetap menggunakan jurus yang sama. Hingga tampak dua bayangan yang seolah saling berkejaran. Itulah Ilmu ‘Mengendalikan Badai’, sebuah ilmu yang bisa mengendalikan benda apa pun sesuai dengan keinginan pemilik ilmu tersebut.
Air di kolam nampak semburat kemana-mana terkena gesekan udara yang tersayat oleh golok itu, saat salah satu dari golok itu nampak menghunjam ke dalam kolam, lalu muncul kembali diikuti dengan semburat tiang air setinggi beberapa tombak.
Pyarr ... !
Dari arah ketinggian salah satu golok lengkung itu bergerak cepat membentur dengan sisi tajam golok yang saat itu baru muncul dari kolam. Terjangan keras pun terjadi.
Rrrtt ... Critt ... ! Crriing!! Triing ... !!
Terdengar suara dentingan nyaring diikuti dengan percikan bunga-bunga api yang berterbangan. Mendadak sepasang golok itu berputaran ke atas, lalu melayang cepat ke Paksi Jaladara!
Sutt! Sutt ... ! Tapp!
“Jurus yang bagus!” seru seseorang yang berjalan keluar dari balik rerimbunan pohon perdu. Di kepalanya mengenakan tempurung kura-kura sebagai caping dengan balutan baju hijau serta alat pancing di tangan kanannya. Siapa lagi jika bukan Kura-Kura Dewa Dari Selatan adanya. Memang sedari tadi, ia sudah ada disitu, menikmati keindahan alam sambil memancing ikan yang ada di kolam. Tak terduga bahwa ia melihat Paksi Jaladara sedang berlatih ilmu ditempat itu.
“Oh ... kakek, kukira siapa?”
“Maaf, Nakmas Paksi, kalau saya sedikit mengagetkan tadi. Saya tadi sedang memancing ikan di tepi kolam sebelah sana, dekat rerimbunan perdu itu.” kata kakek itu sambil menunjuk ke tempat darimana ia tadi muncul.
“Tidak apa-apa kek, justru kebetulan sekali ketemu kakek di tempat ini ... “ ucap Paksi Jaladara, lalu sambungnya, “ ... padahal rencananya saya mau ke Graha Air untuk menanyakan sesuatu kepada kakek.”
“Apa itu Nakmas?”
“Saya mau menanyakan ini kek.”
Paksi Jaladara mengangsurkan benda yang berada di tangannya, sembari duduk ditepi kolam diikuti dengan kakek itu. Benda yang diangsurkan ternyata sepasang golok aneh melengkung dengan lima cerukan jari tangan dtengahnya.
“Darimana Nakmas menemukan senjata itu?” tanya kakek berbaju hijau itu, sembari meneliti golok itu dengan seksama.
“Dari deret golok paling ujung, saya menemukan senjata ini. Memangnya ada apa dengan senjata ini?”
“Sebetulnya senjata ini ditemukan secara tidak sengaja oleh Ki Wisnupati.”
“Secara tidak sengaja?”
“Benar! Waktu itu di langit malam, bulan sedang bertengger berbentuk sabit, Ki Wisnupati sedang berenang di kolam ini berdua dengan saya. Waktu itu beliau masih muda sekali, baru beberapa tahun menjabat sebagai ketua. Saat di tengah kolam, ia melihat suatu bayangan cahaya berkilauan berbentuk bulan di dasar kolam ini,“ kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan, sambil menunjukkan tengah kolam itu, “ ... pada mulanya Ki Wisnupati mengira bahwa itu cuma pantulan cahaya bulan ke dalam kolam saja. Namun setelah berulangkali berenang bolak-balik, ternyata bayangan sinar itu masih tetap saja berada pada tempatnya, tidak bergerak meski dicobanya membuat percikan-percikan air. Karena penasaran, saya dan Ki Wisnupati menyelam ke arah dasar kolam dan menemukan sepasang senjata ini.”
Paksi Jaladara mengangguk-anggukan kepalanya.
“Jadi, kolam ini merupakan kolam alam ya, kek?”
“Betul, kolam ini sudah ada sebelum Istana Elang dibangun oleh Ki Tapa Geni. Dari sekian banyak ketua, hanya Ki Wisnupati yang senang berlama-lama di kolam ini.” ucap pemilik Graha Air, lalu lanjutnya, “Kemudian, oleh Ki Wisnupati senjata ini disimpan dalam Ruang Pustaka, beliau berkata bahwa senjata berbentuk aneh ini sulit digunakan sebagai pelengkap ilmu silat, tapi jika sebagai senjata gelap atau rahasia juga kurang menarik karena bentuknya terlalu besar untuk ukuran senjata gelap.”
Kembali Paksi Jaladara mengangguk-anggukkan kepalanya. Otaknya berusaha mencerna setiap perkataan dari kakek tua disampingnya.
“Tadi sewaktu saya sedang memancing, saya melihat Nakmas Paksi menggunakan senjata ini,” kata kakek itu sambil mengangsurkan kembali golok aneh itu, “ ... rasanya senjata berbentuk bulan sabit ini cocok untuk digunakan seperti jurus yang barusan.”
“Betul, kek! Saya sendiri juga sudah merasa nyaman. Disamping bentuknya yang kecil sehingga tidak menyolok dilihat orang, penggunaan jurus atau pun tenaga dalam juga tidak ada bermasalah. Lagi pula saya tidak ingin memamerkan apa yang saya miliki pada orang lain.”
“Pemikiran yang bijaksana! Saya setuju dengan hal itu,” kata kakek bercaping kura-kura itu, “ ... lalu, akan diberi nama senjata berbentuk bulan sabit itu?”
“Nama ... ?” gumam Paksi Jaladara.
“Setiap senjata memiliki nama, orang pun juga memiliki nama. Saya kira tidak ada salahnya jika kita memberi nama untuk sesuatu yang kita miliki.”
Otak Paksi Jaladara mengingat-ingat semua yang diceritakan oleh Pengawal Gerbang Selatan tentang golok aneh yang ditemukan di dasar kolam alam, bahkan jurus-jurus yang baru saja ia gunakan tak luput singgah di otaknya tentang kelebat golok yang saling berkejaran di angkasa.
“Bagaimana jika ... Golok Terbang Mengejar Bulan?” usul Paksi Jaladara, “ ... sebab jika diberinama Golok Bulan Sabit, rasanya lucu sekali dan juga terlalu hebat sedangkan bentuk dan ukuran senjatanya kecil mungil saja. Menurut kakek bagaimana?”
“Hmmm, Golok Terbang Mengejar Bulan ... ?” kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan sambil meraba-raba jenggotnya yang cuma beberapa gelintir itu.
“Atau kakek punya nama yang lain?” pemuda itu bertanya.
“Oh, tidak ... tidak! Nama itu sudah bagus! ... “ sahut Kura-Kura Dewa Dari Selatan setelah merenung beberapa saat,” ... sebab nama Golok Sakti Bulan Sabit saat ini digunakan oleh seorang tokoh aliran putih yang bergelar Dewa Golok. Jadi, jika ada nama senjata yang sama, orang akan kesulitan membedakan Golok Bulan Sabit yang mana? Yang kecil apa yang besar?”
“Ha-ha-ha, kakek bisa-bisa saja. Tapi, ada lagi yang ingin saya tanyakan pada kakek.”
“Boleh, silahkan saja.”
“Ini perihal kitab ‘Ilmu Silat Elang Salju’ ... ” tanya Paksi Jaladara dengan hati-hati. “ ... kenapa tidak ada di deret-deret kitab?”
“Oh, itu ... memang kitab itu tidak terdapat di deret kitab di Ruang Pustaka, karena memang sengaja tidak ditulis dalam bentuk kitab melainkan diwariskan secara gaib,” sahut Kura-Kura Dewa Dari Selatan, setelah menghela nafas sejenak, sambungnya, “ ... hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian dari ilmu ini saja. Lagipula ‘Ilmu Silat Elang Salju’ memang diperuntukkan hanya untuk calon ketua atau ketua saja. Sedang kitab-kitab yang lain boleh dipelajari oleh siapa saja.”
“Begitu rupanya.”
“Kapan Nakmas Paksi akan berangkat?” kata kakek itu mengalihkan pembicaraan.
“Jika tidak ada halangan, mungkin saja akan berangkat besok pagi bersama dengan Kakang Joko Keling,“ kata Paksi Jaladara, lanjutnya, “ ... tapi sebelumnya selain Dua Istana, Tiga Wisma, Empat Benteng, Lima Perguruan dan Partai, bagaimana dengan para tokoh rimba persilatan saat ini, mungkin bisa menjadi bekal bagi saya jika turun gunung besok pagi.”
“Baiklah, kukira tidak ada jeleknya jika Nakmas tahu.”
Pada saat ini, banyak bermunculan jago-jago muda yang kebanyakan juga dari perkumpulan silat ternama seperti dari Istana Rumput Maut keluar seorang jago muda yang bergelar si Pedang Awan Terbang yang juga merupakan murid utama dari partai tersebut. Dari Wisma Samudera keluar seorang jago muda yang berjuluk Tombak Perak Tapak Maut yang merupakan murid tunggal dari Majikan Wisma Samudera, sedangkan putrinya yang menyebut diri sebagai Gadis Naga Biru saat ini masih digembleng oleh ayahnya. Namun menurut kabar angin, gadis ini pun juga sudah menamatkan pelajaran silatnya dan turun gunung serta ikut meramaikan rimba persilatan.
Lalu ada Sepasang Naga Dan Rajawali dari Benteng Dua Belas Rajawali yang merupakan murid utama dari pasangan tokoh golongan putih Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait, yang mana sebenarnya Sepasang Naga Dan Rajawali adalah anak kembar dari Ki Gentar Swara selaku Majikan Lembah Sunyi, yang kemudian diangkat murid oleh Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait karena mereka berdua tidak memiliki seorang anak pun meski sudah menikah puluhan tahun.
Singa Jantan Bertangan Lihai dari Padepokan Singa Lodaya yang juga paman dari Paksi Jaladara dari garis ibu yang sudah malang melintang cukup lama di rimba persilatan sejak usianya masih belasan tahun. Belum lagi dengan tokoh-tokoh kelas wahid yang mengasingkan diri tidak terhitung jumlahnya dan juga tokoh kosen tanpa nama cukup banyak bertebaran di dunia persilatan. Ada yang benar-benar mengasingkan diri, ada pula yang mendalami ilmu-ilmu baru seperti halnya Sepasang Kupu-Kupu Besi yang mendalami ‘Racun Kembang Patah Hati’, ada pula yang sedang mendidik murid-muridnya di tempat yang sunyi sepi dan suatu saat akan keluar untuk menggegerkan jagad persilatan.
Belum lagi dengan Cakar Iblis Taring Serigala yang merupakan pentolan dari Gerombolan Serigala Iblis yang juga murid kedua dari Ratu Sesat Tanpa Bayangan. Sebenarnya murid Ratu Sesat Tanpa Bayangan berjumlah tiga orang, yang dua orang sudah tewas saat terjadi penyerangan ke Padepokan Singa Lodaya karena memperebutkan Pusaka Rembulan Perak, yaitu Serigala Hitam Bermata Tunggal dan Tangan Kilat Kaki Bayangan. Oleh gurunya, Cakar Iblis Taring Serigala digembleng kembali untuk meningkatkan ilmu silat dan ‘Tenaga Sakti Serigala Iblis’-nya. Sepuluh tahun terakhir ini, kegiatan Gerombolan Serigala Iblis makin menggila, bahkan dari kabar terakhir mereka berhasil menjalin hubungan dengan Benteng Tebing Hitam.
“Pada saat ini gelar pendekar persilatan dipegang seorang tokoh sakti yang bergelar Pendekar Gila Nyawa,“ tutur kakek itu.
“Pendekar Gila Nyawa? Aneh sekali namanya ... ”
“Perlu Nakmas ketahui, bahwa hanya satu orang yang boleh menyandang gelar Pendekar Nomor Satu Dunia Persilatan dan perebutan gelar tersebut dilakukan setiap tiga puluh tahun sekali.”
“Wah ... lama sekali!”
“Jika tidak salah perhitunganku, dua bulan dari sekarang, perebutan gelar tersebut akan dilakukan di puncak Gunung Tiang Awan.”
“Apakah Pendekar Gila Nyawa juga akan hadir di tempat itu, kek?”
“Tentu saja, sebab setiap orang yang ingin mendapat gelar kehormatan ini, tak peduli dari golongan putih maupun golongan hitam harus bisa mengalahkan Pendekar Gila Nyawa.” kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan. ”Perlu diketahui pula, bahwa setiap pesilat harus mengalahkan para pesaingnya terlebih dahulu. Begitu seterusnya hingga akhirnya harus melakukan tarung penentuan dengan pemegang gelar pendekar rimba persilatan.”
“Jika boleh saya tahu, siapakah lawan terakhir dari Pendekar Gila Nyawa saat itu?”
“Dari kabar yang kusirap di luaran, lawan terakhirnya adalah Dewa Golok yang juga ketua Perguruan Golok Sakti dan seorang dalang muda yang berjuluk Si Pemikul Gunung. Saat itu si Gila Nyawa malah langsung bertarung dengan dua lawan tangguh sekaligus, namun akhirnya pada akhirnya dua lawan tangguh itu harus takluk dibawah ilmu silatnya.” kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan, “meski tidak tewas, namun Dewa Golok dan Si Pemikul Gunung harus mendapat jejak luka yang sangat parah akibat terkena ‘Pukulan Pelebur Raga’ dari Si Gila Nyawa.”
Paksi Jaladara mendengarkan semua apa yang diceritakan oleh kakek itu dengan seksama.
“Begitu pentingkah gelar pendekar itu ... ?” kata Paksi Jaladara. “ ... Jika yang menyandang gelar pendekar tapi bukan berjiwa pendekar, mungkin dunia akan penuh dengan kekacauan karena merasa tanpa tanding, tanpa lawan sehingga bisa mengumbar nafsu angkara murka. Bertindak adigang adung adiguna.“
“Betul apa kata Nakmas Paksi ... “ sahut kakek itu, “ ... lebih baik bukan pendekar tapi berjiwa pendekar daripada pendekar tapi bukan berjiwa pendekar.”
Pengawal Gerbang Selatan kagum sekali dengan sikap bijaksana ketuanya masih muda itu. Jarang ditemui jago muda yang memahami sifat kependekaran yang sejati. Pada umumnya jago-jago muda yang baru saja turun gunung mudah sekali bangga dengan apa yang dimilikinya saat ini, merasa hebat sehingga memandang rendah setiap insan manusia, merasa dirinya paling jago di jagat ini. Mereka lupa bahwa diatas langit masih ada langit, di atas jago masih ada jago yang lebih jago.
Pada keesokan harinya, Paksi Jaladara dan Arjuna Sasrabahu turun gunung. Setelah membekali diri dua anak muda itu dengan wejangan dan nasehat yang bermanfaat, Kura-Kura Dewa Dari Selatan dan Tabib Sakti Berjari Sebelas mengingatkan tujuan utama mereka berdua turun ke rimba persilatan, yaitu untuk mencari para pewaris dari Tiga Pengawal Gerbang Utama yang lain sekaligus mengamalkan ilmu yang mereka miliki untuk menolong siapa saja yang membutuhkan.
Tak lupa Ki Gedhe Jati Kluwih mengingatkan Paksi Jaladara tentang munculnya pemilik Rajah Penerus Iblis, supaya berhati-hati dalam menghadapi para pemilik rajah setan ini. Jika memungkinkan untuk bisa menghancurkan rajah setan itu tanpa harus melukai atau membunuh pemiliknya.

-o0o-
 
Bab 16

Air terjun ...
Air mengalir dari ketinggian, kemudian air jatuh ke bawah menghasilkan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Akan tetapi dibalik suara yang keras menggelegar itu, tersimpan suatu keindahan yang tiada duanya. Dedaunan yang terkena percikan air bergoyang-goyang memunculkan irama kehidupan. Burung walet pun beterbangan sambil sesekali menyambar ke atas air, berkelebatan membelah angin.
Beberapa ekor kadal berwarna kelabu kehijauan nampak bertengger di atas bebatuan sambil menikmati sentuhan sang surya di kulitnya yang licin mengkilat. Beberapa diantara nampak berloncatan dari atas tebing dan meluncur dengan cepat mengikuti arus air terjun, kemudian menyelam untuk beberapa saat dan akhirnya muncul dari cerukan air yang cukup dalam dan akhirnya berenang ke tepian. Adapula yang hilir mudik berenang di telaga yang jernih itu.
Pada umumnya kadal memiliki ukuran sebesar ujung jari manusia, tapi berbeda dengan kadal yang menghuni sekitar air terjun ini. Ukurannya jauh lebih kecil dari kadal pada umumnya, tapi sedikit lebih besar dari cecak dengan bentuk kepala yang gepeng menyerupai ular sanca. Namun yang luar biasa adalah panjang badannya yang seperti ular, sekitar satu tombak serta dihiasi dengan sisik-sisik mirip ular yang berkilauan saat tertimpa sinar matahari. Di saat melayang di udara, perutnya mengempis dengan sedemikian rupa hingga menyerupai bilah bambu yang dibelah tipis dengan delapan kaki yang saling merapat ke badan.
Yang paling unik dari binatang ini adalah matanya berjumlah tiga!
Itulah binatang istimewa yang bernama Kadal Ular Berbisa Mata Tiga. Jangan ditanya bagaimana kehebatan racunnya, sekali tergigit kadal ular jika dalam sepeminuman teh tidak mendapatkan penawarnya bisa mengakibatkan kematian. Kumpulan binatang unik itu memang bukan satwa liar pada umumnya, tapi peliharaan seorang tokoh kosen yang menghuni goa di balik air terjun, seorang tokoh yang kemana-mana selalu membawa kitab kumal dan bertongkat bambu berwarna hitam kebiruan. Siapa lagi tokoh dengan ciri khas unik seperti itu jika bukan si Kutu Buku Berbambu Ungu, yang beberapa tahun belakangan ini lebih banyak mengasingkan diri dari pada berkeliaran di rimba persilatan.
Si Kutu Buku Berbambu Ungu sebenarnya tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, dia bisa tinggal dimana saja dengan beralas bumi dan beratap langit sudah cukup baginya. Namun pada akhirnya, karena usia yang sudah semakin menaik, mendekati usia senja membuat dirinya memutuskan untuk menetap di suatu tempat tertentu. Pada akhirnya dia memutuskan untuk menetap di goa di balik air terjun itu setelah sebelumnya menghadiri pengangkatan ketua baru Perguruan Gerbang Bumi. Meski bukan termasuk dari Lima Perguruan dan Partai terkenal rimba persilatan, tapi ketua lama Perguruan Gerbang Bumi adalah sahabat karibnya ketika masih kecil, bisa dikatakan seperti saudara sendiri. Kaum persilatan menjulukinya Si Harimau Buas yang kondang dengan ‘Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi’-nya.
Oleh Si Harimau Buas, si Kutu Buku Berbambu Ungu disarankan agar menempati tempat mereka bermain-main waktu kecil dahulu, tepatnya pada goa di balik air terjun yang masih berada di wilayah Perguruan Gerbang Bumi. Selain bisa bertemu kapan saja juga sekalian merawat tempat yang begitu indah rupawan agar tidak rusak. Bahkan beberapa ekor Kadal Ular Berbisa Mata Tiga ikut berpindah ke tempat itu sebagai hewan peliharaannya. Kakek bertongkat bambu menyetujui saja, dan begitulah sejak saat itu terdapat penghuni baru lengkap dengan hewan peliharaannya.
Dua tahun kemudian, si Kutu Buku Berbambu Ungu menemukan tubuh pingsan gadis remaja akibat terkena gigitan kadal peliharaannya. Akhirnya, gadis berusia dua belasan tahun bernama Rintani itu diambil menjadi anak angkat sekaligus sebagai murid penutup untuk mewarisi ilmu silat dan jurus tongkat ciptaannya yang bernama ‘Ilmu Tongkat Daun Bambu Melayang‘ agar tidak musnah dibawa mati. Sejak saat itu bertambah satu lagi penghuni baru di tempat itu.
Begitulah, sepuluh tahun pun berjalan tanpa terasa. Kadal Ular Berbisa Mata Tiga yang pada mulanya berjumlah beberapa ekor itu kini menjadi ratusan ekor jumlahnya. Jika bulan purnama penuh, telaga itu akan berubah menjadi tempat pesta pora dari kawanan kadal badan panjang itu. Semua tumpah ruah menjadi satu. Tak peduli besar kecil dan tua muda, bahkan kadal betina yang sedang mengerami telurnya pun akan menyempatkan diri untuk menikmati indahnya sinar bulan.
Rintani pun tumbuh menjadi gadis cantik berkulit sawo matang dengan postur tubuh padat berisi. Meski wajah cantiknya biasa saja seperti gadis kebanyakan, dengan tubuh tinggi semampai serta potongan tubuh yang cukup sempurna. Mata bulat dengan dihiasi hidung mancung serta sepasang alis cukup tebal dan gigi putihnya berbaris rapi. Bibirnya yang tipis merah merekah tanpa pemerah bibir ditingkahi dengan sebentuk tahi lalat kecil di pipi kiri menambah kemanisannya. Rambut hitam kelam yang adakalanya diikat ekor kuda sehingga memperlihatkan leher jenjangnya. Ibarat bunga yang sedang mekar-mekarnya, sehingga nampak sedap dipandang mata. Kesukaannya memakai pakaian serba coklat sehingga nampak serasi dengan kulitnya yang sawo matang.
Berbeda dengan kakek bertongkat bambu berwarna hitam kebiruan, usianya juga sudah semakin tua, ibarat lentera sudah kehabisan minyak semakin hari semakin payah saja. Meski begitu, semangatnya masih kuat. Saat usianya mendekati delapan puluh tahun, kakek itu tanpa sengaja menemukan khasiat lain dari hewan peliharaannya. Tubuh yang semula sering sakit-sakitan, kadang sering pingsan tanpa sebab berubah menjadi sehat setelah tanpa sengaja memakan sebutir telur kadal!
Waktu itu tubuhnya kadang panas kadang dingin selama tiga hari berturut-turut, bahkan dia pernah berpikir mungkin seperti itulah rasanya jika orang mau mati. Pada hari keempat dia pingsan setengah harian, hingga membuat Rintani kelabakan, bahkan si Harimau Buas yang pada saat itu sedang berkunjung ke tempat itu karena mendengar sahabatnya menderita sakit panas dingin, sudah menduga kalau temannya pasti menelan telur kadal ular.
Bekas ketua Perguruan Gerbang Bumi tahu betul apa akibat menelan telur kadal ular itu, sedangkan dirinya saja akan berpikir ribuan kali jika disuruh menelan telurnya apalagi sampai memakan daging Kadal Ular Berbisa Mata Tiga.
Rintani dan si Harimau Buas menunggui tubuh pingsan si Kutu Buku Berbambu Ungu setengah harian lamanya. Tubuh kakek tua yang semula terbujur lemas, mendadak bangun seperti orang kaget karena tersengat lebah. Tentu saja yang paling kaget adalah Rintani dan si Harimau Buas.
“Ayah!!” seru Rintani dengan kaget.
“Dasar kutu busuk, buat apa pakai acara pingsan-pingsanan, seperti gadis perawan saja kau! Bangun pun bikin orang jantungan!” bentak Si Harimau Buas sambil mengurut-urut dadanya yang berdebar kencang. Dia memang terbiasa menyebut teman karibnya itu dengan sebutan ‘kutu busuk’.
“Hei, macan tengik! Siapa yang main pingsan-pingsanan? Aku tadi sedang berjuang antara hidup dan mati.” sahut kakek itu sambil bangun dari tidurnya, “ ... enak saja kalau ngomong! Kau tidak senang kalau aku masih hidup, hah!?” semprot Kutu Buku Berbambu Ungu.
“Ha-ha-ha-ha! Rupanya kau sudah benar-benar sehat sekarang! Buktinya, mulut nyinyirmu itu sudah kumat lagi.”
“Uhh, dasar sial kau!”
Akhirnya dua teman karib itu saling berpelukan erat.
Jika orang lain yang mendengar percakapan mereka, tentu akan berpikiran bahwa mereka berdua sedang bermusuhan satu sama lain, tapi begitulah si Harimau Buas dan si Kutu Buku Berbambu Ungu. Meski saling ejek dan saling maki, mereka tetap akrab, tak ada dendam atau pun kebencian apalagi perselisihan justru mereka makin akrab dengan saling mengejek seperti itu.
Begitulah, sakit yang diderita oleh si Kutu Buku Berbambu Ungu hilang lenyap tak berbekas dan bagi si Harimau Buas merupakan penemuan yang menakjubkan sekaligus mendatangkan ide cemerlang di otaknya yang karatan itu, yaitu membuat ramuan obat-obatan dengan bahan utama telur kadal ular!
Rintani pun juga kecipratan rejeki tak terduga. Selain ilmu pengobatannya bertambah juga mendapat tambahan ilmu jurus tendangan dari si Harimau Buas yang bernama ‘Belalang Salto Menerjang Batu’. Jurus ini harus dilakukan dalam posisi bersalto kemudian melakukan tiga kali serangan kaki ke arah bagian kepala, terutama di ubun-ubun dengan posisi kepala tetap dibawah saat melakukan jurus ini. Pada mulanya Rintani agak kesulitan melakukan gerakan dari jurus ‘Belalang Salto Menerjang Batu’. Kalau hanya gerakan jungkir balik atau salto saja bisa dia lakukan, tapi jika harus salto sambil melakukan tendangan beruntun dengan posisi kepala tetap berada dibawah, merupakan kesulitan tersendiri baginya. Pada hari kelima, barulah ia berhasil menguasai jurus itu, meski pun masih banyak celah-celah yang bisa ditembus oleh lawan.
“Jurus ini mengutamakan kecepatan dan ketepatan dalam serangan. Aliran tenaga dalam pun juga harus sesuai, tidak kurang dan tidak lebih. Jika aliran tenaga dalammu tidak stabil akan mengakibatkan dirimu terpelanting seperti kejadian tempo hari.” ujar si Harimau Buas pada Rintani, “Jadi, usahakan kau harus bisa memusatkan tenaga dan konsentrasimu dengan baik. Ingat, kawan masih bisa mengampunimu, tapi tidak untuk lawan. Camkan itu!”
“Baik, paman!”
“Lebih kau istirahat saja, hari pun sudah menjelang sore. Aku mau menemui guru di dalam goa.”
“Saya masih ingin menjajal jurus ini lagi, paman.” kata Rintani dengan tegas.
“Bagus, tapi ingat pesanku tadi.”
“I ya, paman!”
Rintani pun kembali berlatih lagi. Mula-mula ia melatih kembali ‘Ilmu Tongkat Daun Bambu Melayang‘ ajaran guru sekaligus ayah angkatnya. Tubuhnya berkelebatan cepat diiringi suara kesiuran tongkat panjang yang menderu-deru. Tenaga dalam pun dinaikkan setingkat demi setingkat. Gerakan tongkat bambu panjang pada intinya hanya mengait, menangkis, menusuk, memutar, menempel dan menebas saja, namun yang luar biasa adalah pergeseran jurus tongkat yang tak terduga. Saat Rintani sedang mengait ke atas, baru setengah jalan sudah berganti dengan tebasan cepat bertenaga.
Wuuung!
Tak pelak lagi, dedaunan yang terkena sambaran angin yang diakibatkan oleh jurus tongkat bambu itu berhamburan kesana kemari mengikuti arah gerak tongkat, hingga nampak daun-daun kering itu melayang-layang di udara seoalh ada tangan-tangan yang sedang bermain.
Di depan goa ...
“Lugita, bagaimana menurutmu kepandaian muridku itu?” kata si Kutu Buku Berbambu Ungu menyebut nama asli si Harimau Buas.
“Hemm, jurus tongkat muridmu itu makin lama makin bagus saja, Bargawa,” kata si Lugita alias si Harimau Buas, “ ... aku iri padamu yang memiliki murid secerdas itu. Kulihat hawa tenaga dalamnya juga semakin matang.”
“Ha-ha-ha! Kau terlalu memuji kawan. Bagaimana dengan anakmu si Seto Kumolo itu? Apa ‘Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi’-nya sudah mencapai tingkat terakhir?” tanya si Kutu Buku Berbambu Ungu yang ternyata bernama asli Bargawa itu.
“Huh, anak itu makin hari makin dogol saja! Sampai sekarang baru mencapai tingkat sebelas. Benar-benar payah dia.” jawab Harimau Buas dengan bersungut-sungut.
Bargawa hanya manggut-manggut saja sambil mengelus jenggot putihnya, batinnya, “Seto Kumolo sudah sampai tingkat ke sebelas dari dua belas tingkat yang ada, padahal usianya lebih tua dua tahun dari Rintani. Setahuku si macan tengik ini mencapai tingkat sebelas menjelang usianya empat puluh tahun. Edan, masak seperti itu dibilang dogol?”
“Lihat, nampaknya muridmu sedang mengerahkan jurus ‘Belalang Salto Menerjang Batu’.” kata si Harimau Buas.
“Ehmm.”
Pada saat itu Rintani mulai melakukan gerakan dua kali salto, lalu sepasang kakinya bergantian melakukan gerakan menendang dengan cepat ke arah tiga jurusan yang berbeda dengan posisi kepala tetap berada di bawah. Ketepatan dan kecepatan dalam hal ini sebagai kunci penentu berhasil tidaknya melakukan jurus ‘Belalang Salto Menerjang Batu’!
Wutt! Debt! Debb! Debb!
Setelah melakukan tendangan tiga secara beruntun, Rintani langsung melakukan liukan tajam ke bawah sambil melakukan ayunan tongkat bambu dengan cepat melalui jurus ‘Daun Berguguran Jatuh Ke Bumi’ dimana tongkat panjangnya melakukan gerakan sapuan-sapuan pendek diikuti dengan hempasan tenaga dalam yang tinggi.
Wutt! Wushh!!
Daun-daun kering pecah beterbangan menjadi serpihan saat terlibas hempasan yang terangkum rapi dengan tenaga dalam tinggi milik Rintani.
“Hebat! Muridmu benar-benar hebat, Bargawa!”
“Sudahlah! Ayo masuk ke dalam, aku punya sesuai untukmu,” kata si Kutu Buku Berbambu Ungu.
“Apa?”
“He-he-he, pepes telur kadal! Mau nggak?” katanya lagi sambil menjungkit-jungkitkan alisnya.
“Nggak!”
Akhirnya dua orang itu tertawa terbahak-bahak sambil berangkulan masuk lebih ke dalam goa, karena goa di balik air terjun itu memiliki empat ruangan yang cukup lebar dan lega.
Sementara itu, gadis murid si Kutu Buku Berbambu Ungu pun telah selesai melatih jurus-jurus silatnya. Saat ini sedang melakukan pernafasan untuk menata kembali aliran tenaga dalam yang baru saja digunakan. Beberapa saat kemudian, nafasnya sudah normal kembali seperti sediakala.
Ia pun menyeka peluh yang menetes dari dahinya. Seluruh tubuh gadis itu nampak berkeringat menimbulkan aroma khas seorang dara muda. Keringat yang membasahi tubuh sintal itu nampak mencetak ketat lekukan-lekukan indah terutama di bagian dada yang membusung kencang, seolah tidak bisa di sembunyikan lagi dari balik pakaian coklat yang dikenakannya.
“Wah tubuhku berkeringat begini, lebih baik aku mandi sekalian saja di dalam telaga.” gumamnya, “... ayah kalau sudah ketemu paman Lugita, pasti akan ngobrol terus hingga tengah malam. Lebih baik aku mandi dulu, lalu berburu di hutan sebelah sana. Hemm, siapa tahu dapat ayam hutan lagi seperti kemarin.”
Air terjun itu jarang sekali diinjak oleh manusia, selain disekitar tempat itu banyak terdapat binatang-binatang berbisa, juga merupakan daerah larangan bagi murid Perguruan Gerbang Bumi untuk mendekati tempat itu apalagi sampai memasukinya. Siapa saja yang melanggar larangan tersebut akan mendapat hukuman yang cukup berat. Hanya ketua Perguruan Gerbang Bumi dan orang-orang tertentu saja yang boleh memasuki tempat larangan itu. Seto Kumolo dan Ki Lugita saja yang tahu kalau tempat terlarang itu dihuni oleh si Kutu Buku Berbambu Ungu dan muridnya.
Gadis itu nampak berkelebat cepat ke sisi kanan air terjun menembus lebat rerimbunan dedaunan dan beberapa saat kemudian nampak keluar lagi sambil tangan kirinya membawa seperangkat pakaian ganti. Pakaian ganti warna coklat itu diletakkan di sebuah batu hitam berbentuk datar yang ada di situ. Lalu dengan tenang Rintani melolos sabuk kain yang melilit pinggang rampingnya diikuti melepas kancing baju dan pakaian yang dikenakan oleh gadis itu. Terlihat sebentuk tubuh dara muda yang masih terbalut baju dalam tipis coklat muda yang menutupi sepasang payudara bulat penuh yang membusung kencang, sehingga semakin merangsang daya khayal laki-laki yang melihatnya. Beberapa saat kemudian dia telah melepas baju dalam tipis coklat muda diikuti dengan celana coklat setinggi lutut pun terlepas dari kakinya.
Praktis, terpampanglah sebentuk keindahan yang menggiurkan para perjaka!
Kemudian gadis cantik bertubuh mulus itu langsung terjun ke dalam telaga.
Byurr!!
Air semburat saat gadis itu menceburkan diri ke dalam telaga. Sergapan hawa sejuk menggantikan rasa panas menyelimuti tubuhnya. Gadis itu berenang kesana kemari dengan gembira. Tubuh mulus gadis tampak semakin jelas karena jernihnya air telaga tersebut. Beberapa ekor kadal ular nampak berebutan mendekati tubuh sintal gadis, seperti tangan-tangan perjaka yang ingin menjamah setiap bagian tubuh indah Rintani. Bahkan seekor Kadal Ular Berbisa Mata Tiga dengan berani melingkari leher gadis itu lalu kepalanya yang gepeng meluncur cepat ke arah kiri dan sasarannya adalah ...
Ujung bukit kembar si gadis!
Meski sambil berenang, Rintani tetap tidak hilang kewaspadaannya, dengan cepat menangkap tangan kanan bergerak cepat menangkap kepala makhluk panjang tersebut.
Tepp!
“Hi-hi-hi, jangan nakal ya?” katanya sembari menarik lepas Kadal Ular Berbisa Mata Tiga yang nakal dan melepaskan kembali.
Begitulah, sambil membersihkan diri, gadis murid Kutu Buku Berbambu Ungu bermain-main dengan binatang berbisa itu. Dan itu dilakukan hampir setiap hari. Adakalanya ia mandi di tengah telaga, tak jarang pula ia bersemadi sambil bertelanjang bulat di bawah derasnya air terjun sekaligus berlatih tenaga dalam.
Setelah puas bermain-main dan membersihkan diri, gadis itu berenang ke tepian, ke arah batu datar dimana ia meletakkan pakaian gantinya. Saat berenang itulah, tampak di pundak sebelah kiri terdapat sebentuk lukisan kecil berwarna biru terang dengan garis tepi kuning keemasan berbentuk bintang segi lima sejumlah tiga. Lukisan bintang segi lima itu nampaknya bukan sembarang lukisan tapi memiliki arti tertentu, karena sebenarnya lambing itu adalah salah satu dari lambang Delapan Bintang Penakluk Iblis!
Sedangkan yang tertera di pundak gadis itu bintang ke tiga dari Delapan Bintang Penakluk Iblis yang ada di dunia. Bahkan Paksi Jaladara dan Tabib Sakti Berjari Sebelas pun tidak mengetahui perihal adanya Delapan Bintang Penakluk Iblis, meski di tubuh pemuda hasil didikan Lembah Badai tertera lambang bintang itu, karena bintang itu letaknya tersembunyi di tengkuk agak ke atas.
Bintang ke satu!
Jadi selain memiliki Rajah Elang Putih, pemuda sakti murid si Elang Berjubah Perak itu juga memiliki salah satu lambang dari Delapan Bintang Penakluk Iblis tersebut.
Rintani akhirnya selesai berpakaian lengkap dengan tubuh segar bugar setelah mandi di dalam telaga yang berair sejuk itu. Wajah tampak berseri-seri sambil bibirnya menyunggingkan senyuman tipis nan menawan, mematut-matut diri sebentar sambil mengikat rambut hitam panjangnya menjadi ekor kuda. Meski sudah mengenakan pakaian lengkap, tetap tidak bisa menyembunyikan tubuh padat berisi itu.
Kemudian gadis itu berkelebat cepat ke arah hutan mengerahkan segenap ilmu peringan tubuh sambil tak lupa menyambar tongkat bambu hitamnya yang diletakkan atas batu datar. Tubuh itu berloncatan dengan cepat di antara dahan-dahan pohon bagai kera yang lincah.
Tepp! Wwess!!
Pijakan kakinya terlihat ringan saat kakinya menutul daun-daun yang diinjak ujung kaki gadis itu, dimana daun-daun itu hanya bergoyang-goyang sedikit saja.

-o0o-
 
Bab 17

Malam pun kembali menyapa bumi. Kegelapan mulai menyelimuti seantero jagad raya. Bintang-bintang di langit bertaburan dengan menebar pesona. Sungguh suatu karunia Yang Kuasa yang tiada bandingnya. Entah dengan cara bagaimana bisa membuat siang dan malam datang silih berganti tanpa pernah terlambat sedikit pun.
Sinar bulan yang cuma setengah sudah lebih dari cukup menerangi malam yang pekat. Dengan sedikit cahaya bulan pula sudah lebih dari cukup untuk menerangi tempat larangan Perguruan Gerbang Bumi, tepatnya di air terjun dimana Bargawa dan muridnya tinggal.
Nampak Bargawa atau yang dikenal dengan si Kutu Buku Berbambu Ungu duduk berendeng dengan Lugita atau si Harimau Buas di atas batu datar yang cukup besar. Terlihat air liur mereka mau menetes keluar saat memandang sebentuk benda ‘ajaib’ yang dibolak-balik oleh tangan gadis berbaju coklat. Sepasang mata tua itu tidak pernah lepas dari tangan gadis itu.
Sedang di sebelah kiri si gadis, duduk seorang pemuda tampan berusia sekitar dua pulluh empat tahun dengan baju buntung loreng-loreng bercelana komprang hitam. Sebentuk sabuk berwarna kuning hitam loreng-loreng terlihat mengikat pinggangnya dengan kokoh. Lengan kekar berotot dengan dada bidang berbulu semakin menambah kejantanannya. Sebaris kumis tipis tercetak rapi dibawah hidungnya yang mancung. Yang menggetarkan adalah sorot mata pemuda itu sangat tajam bagaikan sorot mata kucing di kegelapan malam.
Pemuda itu adalah Seto Kumolo, yang secara resmi diangkat sebagai Ketua Perguruan Gerbang Bumi, yang tiga tahun belakangan ini mengukir nama besarnya dengan sebutan Sabuk Hitam Macan Loreng. Nama itu diberikan oleh lawan yang takluk dibawah senjata sabuknya dikarenakan Seto Kumolo mahir sekali menggunakan senjata berbentuk sabuk, meski dasar ilmu yang dimilikinya adalah jurus pedang. Sampai saat ini, pemuda berbaju loreng itu telah menguasai ‘Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi’ tingkat sebelas, sungguh jarang dijumpai pemuda yang memiliki kecerdasan yang begitu tinggi.
Rintani duduk tenang sambil terus sibuk membolak-balik daging ayam panggang yang dipegangnya. Sebentar-sebentar matanya melirik ke arah dua kakek itu. Nampak tersungging senyum kecil saat melihat mimik muka ayah angkat dan sang paman.
Mimik muka orang tidak pernah melihat makanan enak!
Tempat duduk dua kakek bangkotan dengan gadis itu hanya terpisah dua tombak saja, dimana di tengah-tengah mereka terdapat api unggun yang apinya menyala sedang. Tangan kiri Rintani menaburkan bubuk rempah-rempah diikuti tangan kanan membolak-balik ayam panggang tersebut. Tak lama tercium bau harum yang menebar kemana-mana.
“Rintani, sudahlah ... ayam itu sudah siap mengisi perutku, tak perlu kau bolak-balik begitu terus.” kata Bargawa sambil mulutnya bergerak-gerak lucu sedang sepasang tangannya mengelus-elus perut.
“Enak saja! Kutu busuk, tiap hari kau dapat jatah makan enak karena muridmu ini pintar sekali menyenangkan perutmu yang karatan itu.” sahut Lugita tak mau kalah, “sedang aku ... tiap hari harus menelan rasa pahit. Menyesal dulu aku tidak memiliki mengambilnya saja menjadi muridku!”
“Salah sendiri, kenapa dulu-dulu kau tidak mau mencari murid perempuan?”
Memang perlu diketahui, bahwa seluruh murid Perguruan Gerbang Bumi seluruhnya adalah laki-laki, tidak ada satu pun yang perempuan.
“Eee ... kau ngledek ya?” kata lugita dengan mata sedikit melotot.
“Apa? Mau mengajak berkelahi? Ayo!”
Bargawa sudah berdiri sambil menyingsingkan lengan bajunya.
“Huh, siapa yang takut dengan kutu busuk macammu itu!”
Tak mau kalah, Lugita pun langsung berdiri sambil menyingsingkan lengan baju. Dua kakek yang sudah bau tanah itu tampak saling dorong satu sama lain. Dorongan tangan pun bukan sembarang dorongan, tapi disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi, hingga setiap hempasan mengeluarkan suara angin menderu-deru.
Rintani dan Seto Kumolo hanya saling pandang saja melihat tingkah laku dua ‘bocah tua’ itu.
“Kakang Seto, lebih baik ayam ini kita saja yang makan. Nampaknya ayah dan paman Lugita sudah tidak berminat lagi. Sayang sekali ... Hemm ... padahal sudah matang semua ... ”
“Hemm ... harum sekali.” seru Seto Kumolo agak keras, lalu sambil menggosok-gosok telapak tangannya dia berkata, “ ... sinikan ayam panggang itu. Wah ... nampaknya enak betul!”
Aneh, mendengar kata ‘makan’, dua kakek itu langsung berhenti main dorong-dorongan!
“Tung ... tunggu dulu, Rintani! Jangan kau berikan semua pada bocah dogol itu. Aku masih mau ... “
“Hei, siapa yang bilang tidak berminat lagi ... ”
Dua kakek itu secara bersamaan langsung mengulurkan tangannya, dan sekejap mata kemudian tangan masing-masing telah memegang ayam panggang matang dan tanpa dikomando langsung melahap dengan cepat. Tak terlihat bahwa mereka tadi saling dorong-dorongan, kini saling beradu punggung sambil makan. Dua kakek itu seakan sedang beradu cepat siapa yang duluan menghabiskan ayam panggang di tangan masing-masing. Tanpa perlu tempo yang lama, dua ayam panggang itu sudah ludes tandas masuk ke dalam perut mereka!
Seto Kumolo dan Rintani hanya geleng-gelang kepala saja.
“Masih ada lagi?” kata dua kakek itu secara bersamaan sambil mengangsurkan tangan kanan.
Rintani mengangsurkan lagi dua ekor ayam panggang utuh ke arah dua kakek itu, dan dengan sigap dua tangan keriput menyambutnya dengan manis.
“Ha-ha-ha! Kau memang muridku yang jempolan!” seru Bargawa sambil mulutnya penuh dengan kunyahan daging ayam.
“He’eh, betul-betul enak!” sahut Lugita dengan kondisi mulut yang sama.
Seto Kumolo hanya tersenyum kecil saja mendengar celoteh dari sepasang sahabat karib itu.
Karena tadi Rintani menangkap lima ekor ayam hutan, kini tinggal seekor saja yang masih dalam keadaan di panggang. Setelah matang dari panggangan, Rintani membelah daging ayam itu menjadi dua bagian, kemudian satu bagian diberikan pada Seto Kumolo sedang satu bagian untuk dirinya sendiri. Baru saja daging ayam itu mendekati mulut mereka, dua kakek itu sudah memandang potongan ayam itu mulut bergerak-gerak diikuti pandangan berbinar-binar seolah berkata, ‘untukkukah?’.
Seto Kumolo dan Rintani untuk kesekian kalinya saling bertemu pandang, kemudian pandangan mereka beralih ke orang tua yang ada didepannya, lalu beralih pada setengah potong ayam panggang di tangan masing-masing.
Dua kakek itu tampak mengangguk kepala dengan mimik muka penuh harap, bahkan sepasang tangan mereka secara tidak sadar sudah setengah terulur siap menyambut hidangan lezat itu.
Pasangan anak muda itu saling menghela napas dalam, lalu masing-masing memberikan setengah potongan daging ayam yang seharusnya mengisi perut mereka.
“He-he-he, ini baru betul! Yang muda harus lebih mengalah pada yang tua. Betul tidak?”
“Tentu saja betul! Masak teori sederhana seperti itu saja tidak kalian pahami!?” sahut Bargawa sambil menelan potongan daging yang ada dimulutnya.
Akhirnya, lima ekor ayam hutan itu tandas dan menghuni perut dua kakek itu. Namun mata kakek itu masih jelalatan kesana-kemari mencari-cari sesuatu.
“Ayah cari apa?” Tanya Seto Kumolo sambil celingukan kesana-kemari.
“Masih ada?”
“Apa?”
“Ayam!”
“Ayam?” sahut Rintani.
“Iya.”
“Lima ekor ayam sebegitu besar masih kurang juga?” ucap Seto Kumolo dengan heran.
Kakek itu hanya menganggukkan kepala saja.
Seto Kumolo malah menoleh ke arah Rintani dan dibalas dengan kedipan mata.
“Masih, bahkan masih banyak! Ayah dan paman Lugita masih mau?” kata Rintani kembali.
Dua pasang kakek itu langsung mengangguk dengan cepat.
“Itu ... disana!”
Jari telunjuk gadis itu menunjuk ke arah timur, diikuti dengan pandangan mata dari Bargawa dan Lugita secara bersamaan. Ketika melihat arah yang ditunjuk, sorot mata penuh harap berubah menjadi pandangan sayu.
Karena yang ditunjuk Rintani adalah hutan!
“Hua ... ha ... ha ... “
Dua pasang muda-mudi itu tertawa terkial-kial melihat dua kakek di depan mereka memperlihatkan wajah kusut, karena itu artinya mereka harus berburu sendiri ke dalam hutan!
“Bargawa, nampaknya nasib perut kita sedang tidak baik.”
“Betul-betul malang sekali.”
“Padahal nafsu makanku sedang baik-baiknya malam ini.” kata Harimau Buas kembali.
“Apalagi aku!? Aku khan sedang dalam kondisi memulihkan kesehatan karena sakit kemarin itu.” timpal Kutu Buku Berbambu Ungu sambil menghela napas.
Mereka pun bangkit berdiri dengan sedikit kemalas-malasan.
“Kau masih punya simpanan air jahe?”
“Ada ... ada tiga guci penuh!” sahut kakek bertongkat bambu itu.
“Bagus! Disini sudah tidak ada yang bisa kita makan lagi, lebih baik kita masuk ke dalam saja sambil menikmati air jahe.”
“Tak masalah!”
Tanpa pamit sama sekali, dua kakek itu langsung melesat cepat ke dalam gua dibalik air terjun itu. Mereka berdua memamerkan ilmu ringan tubuh tingkat tinggi di hadapan pasangan muda-mudi dengan melewati tengah-tengah telaga. Kaki-kaki itu seakan berjalan di atas air. Hanya dengan beberapa kali loncatan saja, dua sosok kakek itu telah menghilang dibalik tirai air terjun.
Rintani menunggu beberapa saat sambil matanya tidak lepas dari tirai air terjun. Setelah dirasakan cukup aman, tangan kanannya mengambil bulatan tanah liat yang cukup besar dari balik batu datar tempat duduknya.
“Apa itu, Rintani?” tanya Seto Kumolo heran.
Sejak kedatangannya ke tempat itu, ia sudah melihat bulatan tanah liat yang diletakkan di belakang batu datar tapi si pemuda berbaju loreng hanya memendam tanda tanya di dalam hati saja. Begitu melihat gadis disampingnya mengambil benda aneh itu, rasa ingin tahunya sudah tidak bisa ditahan lagi.
“Kakang lihat saja sendiri,” kata gadis itu sembari melepasi bongkahan tanah liat dengan cepat.
Didalamnya masih terdapat lipatan daun jati dan setelah lipatan daun itu terlepas, nampak seekor ayam panggang utuh!
“Jadi ... ?”
“Iya! Kalau ketahuan ayah sama paman Lugita, malam ini kita berdua benar-benar kelaparan!”
“Kapan kau membungkusnya?”
“Tadi waktu aku berburu mendapatkan enam ekor ayam hutan, lalu kupikir-pikir jika ayah dan paman Lugita melihat semua ayam-ayam tangkapanku ini pasti semua habis ludes dimakan mereka berdua. Lalu aku masak saja salah satunya dan aku sembunyikan dibalik balutan tanah liat ini,” kata gadis murid Kutu Buku Berbambu Ungu sambil membagi ayam itu menjadi dua potong.
Tanpa malu-malu, langsung disambarnya potongan ayam panggang dan dilahapnya dengan cepat.
“Ih ... kakang ini lapar atau rakus, sih?”
“Kalau ditanya aku ini lapar atau rakus, mungkin kedua-duanya benar,” jawab Seto Kumolo sambil mengunyah daging di dalam mulutnya. “Hemm ... ayam panggang ini betul-betul enak, gurih dan empuk! Pantas ayah sering-sering kemari, tak tahunya disini terdapat gadis paling cantik sekaligus tukang masak terbaik di dunia.”
Rintani hanya tersenyum simpul saja dengan muka merah jengah. Siapa gadis yang tidak mau dipuji oleh sang pujaan hati?
Gadis mana pun jika sudah dipuji oleh sang pujaan hati, mukanya pasti merah jengah karena senang ditambah dengan hati berbunga-bunga. Setelah sekian lama membina hubungan asmara dengan Seto Kumolo, sudah seringkali gadis manis itu menerima segala macam puja-puji dari sang kekasih, terutama sekali tentang masakan buatannya, pujian setinggi langit pasti akan meluncur keluar dari bibir Seto Kumolo.
“Uhh ... gombal! Paling-paling setelah itu ada maunya ... ” kata Rintani sambil mencubit lengan kiri pria ganteng di sebelahnya.
“Aduhh, aduhh ... “ terdengar keluhan kesakitan saat jari lentik itu mencubit dengan gemas.
Dimana pun seorang gadis, jika sudah melakukan aksi cubit mencubit, jari lentik itu akan berubah seperti capit kepiting.
Sekali capit langsung merah!
Walau mengerang kesakitan, anehnya pemuda itu tidak mau menarik tangannya yang dicapit oleh jari lentik si gadis. Kadangkala cinta memang suatu yang misterius. Andaikata dibacok golok atau tertebas pedang hingga tangan buntung sekali pun, seorang laki-laki masih bisa menahan rasa sakit yang mendera dengan sekuat tenaga, tapi jika dicubit oleh seorang gadis, apalagi dia seorang gadis cantik, pasti akan berteriak-teriak kesakitan.
Dan lucunya laki-laki pada umumnya tidak akan berusaha menghindari serangan ganas itu!
Tiba-tiba saja terdengar gelak tawa riuh dari balik pohon trembesi raksasa, lalu keluarlah si Kutu Buku Berbambu Ungu diikuti dengan Harimau Buas. Mereka masih tertawa keras sambil memegangi perut.
“Ha-ha-ha! Rupanya anakmu dan anakku sedang asyik pacaran di tempat ini, Lugita!”
“He-he-he, betul! Pantas saja akhir-akhir ini bocah dogol itu sering menghilang entah kemana, rupanya dia telah kecantol sama muridmu, kutu busuk!” seloroh si Harimau Buas sambil masih tertawa terbahak-bahak hingga air matanya keluar.
Dua muda-mudi itu malu bukan alang kepalang. Wajah mereka berdua merah seperti kepiting rebus. Mereka menjadi salah tingkah, ada saja yang mereka berdua lakukan untuk menutupi rasa malu masing-masing.
Melihat tingkah polah dua anak muda itu, tawa dua kakek bangkotan itu justru makin keras saja, seolah berusaha mengalahkan derasnya suara air terjun. Tentu saja Seto Kumolo dan Rintani makin salah tingkah saja. Pada akhirnya, Rintani bangkit berdiri dan melesat cepat ke arah belakang air terjun.
“Hoi ... Rintani!! Kau mau kemana?” seru Bargawa melihat kelebatan anak angkatnya.
“Tidur!!!”
“Hah!? Tidur!? Lalu Seto Kumolo bagaimana? Masak ditinggal sendirian?” seru Bargawa lagi dengan nada menggoda.
Senyap!
Tidak ada sahutan sama sekali dari mulut Rintani.
Bargawa dan Lugita saling pandang, kemudian tatapan mata mereka beralih ke Seto Kumolo.
Seto Kumolo dengan wajah senyum tak senyum pun beringsut berdiri.
“Seto, kau mau kemana?”
“Ayah, aku mau pulang saja. Ini sudah tengah malam!”
Tanpa menunggu jawaban dari ayahnya, pemuda yang berjuluk Sabuk Hitam Macan Loreng itu langsung berkelebat cepat ke jurusan selatan.
Kembali sepasang mata kakek itu saling pandang kembali, tapi kali ini tatapan mata itu tertuju pada dua potongan besar ayam panggang yang kini tergeletak di atas batu datar.
Tanpa ba-bi-bu, langsung sikat!

-o0o-
 
Bab 18

Suatu pagi yang cerah ...
Seorang gadis muda berbaju merah berusia belasan tahun berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan di sebuah padukuhan yang cukup ramai. Di sebuah jalan yang cukup lebar, agak sedikit ke timur terdapat sebuah pasar rakyat dimana tampak berkerumun beberapa orang baik tua muda laki perempuan berbaur menjadi satu, dimana ada yang membeli dan ada yang menjual, tidak ketinggalan juga yang hanya melihat-lihat saja sekedar cuci mata. Segala macam hasil bumi tersedia ditempat itu, tak ketinggalan pula hasil ternak ikut mengisi keramaian dengan suara khas masing-masing.
Beberapa pemuda desa kelihatan hilir mudik. Ada yang sedang bersenda gurau, ada yang sedang tawar-menawar barang dagangan, namun banyak juga yang duduk ongkang-ongkang kaki sambil menikmati minuman hangat dan beberapa jenis jajanan pasar, seperti klepon, cucur, wajik dan lain sebagainya. Bisa dipastikan, di setiap pasar seperti itu pasti ada yang namanya keributan, tentu saja keributan-keributan kecil antar sesama pedagang dan pembeli. Si pedagang ingin barang dagangannya terjual dengan harga setinggi-tingginya sedang si pembeli menginginkan harga murah dengan barang yang diinginkannya.
Beberapa orang pemuda sedang memandang si gadis baju merah dengan raut muka terbengong-bengong, ada yang cuma melirik saja dengan ekor mata, ada yang terang-terangan memelototkan mata lebar-lebar, bahkan ada pula pemuda ceking menggodanya sambil bersiul-siul untuk menarik perhatian si gadis. Tak sedikit pula yang memandang penuh kekaguman terhadap kecantikan si gadis.
Di sebuah kedai nasi, tampak seorang laki-laki parobaya dengan perut gendut memandangnya sampai bibir tebalnya mengeluarkan air liur tanpa sadar. Air liur tampak menetes perlahan-lahan kemudian turun ke dagu dan akhirnya meluncur pelan menuju perut buncitnya. Mata laki-laki perut buncit yang semula kecil-kecil saja berubah melotot lebar saat memandang gadis berbaju merah itu seolah berusaha menelanjanginya bulat-bulat.
Pandangan nafsu bejat seorang hidung belang!
Laki-laki itu merapikan bajunya yang kedodoran, kemudian berdiri di depan pintu kedai sambil menebar senyum ramah ke arah gadis berbaju merah itu, namun susah sekali mengatakan bahwa senyum itu sangat manis, karena wajah yang selebar nampan itu justru malah tidak sedap di pandang mata.
Si gadis berbaju merah nampak menoleh ke arah si laki-laki gendut, karena sorot mata si gendut cuma tertuju pada dia seorang. Ia sedari tadi mengetahui kalau dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang di pasar itu, tapi ia tidak peduli sama sekali, sebab sudah terbiasa menjadi tatapan mata laki-laki dimanapun ia berada, baik dengan tatapan kekaguman maupun dengan tatapan jalang. Namun, kebanyakan yang memandang seperti itu adalah orang-orang yang masih muda, jarang sekali orang tua atau pun kakek-kakek yang memandang dengan sorot mata seperti itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa heran karena yang memandangnya kali adalah seorang laki-laki parobaya, gendut pula.
Gadis itu berjalan menghampiri si laki-laki.
Tentu saja laki-laki itu tampak senang, lalu ia menjawil teman di sebelahnya, “Jenggot! Kau lihatlah, gadis itu berjalan kemari. Nampaknya ia terpikat dengan ketampananku.”
Laki-laki berbadan subur yang dipanggil Jenggot menoleh sekejap ke arah gadis baju merah yang berjalan kian mendekat itu, namun ia hanya meringis saja memperlihatkan giginya yang ompong tiga.
“Huh, gigi ompong seperti itu tak perlu kau perlihatkan padaku,” sungut si laki-laki gendut, lalu dengan sok berwibawa ia berkata, “Pergi sana! Mengotori pandangan saja.”
Si gendut melangkah lebar ke arah gadis baju merah, seakan meyongsong kedatangannya, itu pun hanya dua langkah saja dari pintu kedai nasi.
Sesaat kemudian, gadis berbaju merah itu sudah sampai di depan pintu kedai itu, sejarak tiga langkah dari si gendut. Tercium aroma harum bunga yang menyeruak hidung orang-orang yang ada di sekitar tempat itu. Bau semerbak bunga menguar keluar dari balik tubuh gadis itu.
Gadis itu nampak memandang si gendut dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, lalu memutari tubuh subur itu dengan pandangan seperti meneliti ayam betina untuk disembelih. Beberapa orang tampak merasa iri hati dengan keberuntungan si gendut. Bahkan ada yang sambil menjebikkan bibir segala.
Setelah itu, si gadis kembali ke tempat semula.
Tentu saja tingkah polah si gendut nampak menjadi-jadi dan hal ini semakin membuat iri orang-orang di yang ada di dalam kedai. Seolah ialah yang nantinya akan dipilih oleh gadis itu. Air liurnya pun tampak semakin banyak menetes keluar tanpa disadarinya, tentu saja diikuti dengan aroma yang cukup membuat kambing betina pun pingsan.
“Wah, kalau gadis ini menjadi biniku, ini pasti suatu anugerah bagiku,” batin si gendut.
Tentu saja itu merupakan anugerah baginya, tapi musibah bagi si gadis!
Sebuah senyuman manis tersungging dari bibir tipis si gadis baju merah.
Si gendut pun makin blingsatan tak karuan karena melihat senyuman menawan hati.
“Namamu siapa?”
“Aku? Oh ... a ... aku biasa dipanggil Karto Subur.” jawab si gendut dengan mimik muka sumringah.
“Oooo ... Karto Subur ... boleh aku memanggilmu ... Kang Karto.” kata si gadis dengan merdu.
“Iya ... Kang Karto juga bo ... boleh.” sahut Karto Subur dengan gugup.
“Aku cantik, ya kang?”
“Tentu saja cantik, yang bilang kau tidak cantik cuma orang tolol.”
“Betul! Tapi, biasanya orang tolol lebih banyak selamatnya dari pada orang pintar.”
“He-he-he, entahlah ... “ sahut Karto Subur, dengan sedikit bingung.
“Pernah makan cawan air?” kata si gadis semakin aneh.
“Cawan?” tanya Karto Subur semakin bingung.
Tentu saja ia semakin bingung, karena setiap pertanyaan dari gadis baju merah itu makin lama makin membingungkan dirinya.
“Cawan seperti ini,” kata si gadis sambil mengambil cawan yang ada disamping kirinya dan diperlihatkan di depan mata Karto Subur.
“Belum pernah.”
“Kalau begitu, sekarang kau akan mencicipinya!”
Begitu selesai perkataannya, tangan kiri si gadis yang memegang cawan berkelebat cepat. Sesaat pandangan Karto Subur berubah gelap.
Prokk!!
Cawan itu membentur mulut Karto Subur dengan menimbulkan suara keras. Tentu saja Karto Subur langsung terlempar ke belakang masuk ke dalam kedai, lalu membentur meja kursi dan akhirnya jatuh terjerembab dengan pantat terlebih dahulu menyentuh lantai.
Prangg! Blukk! Kroommpyang ... !
Piring-piring tanah liat hancur berantakan ditimpa tubuh manusia sebesar kerbau bunting itu. Karto Subur meraung-raung kesakitan. Sepasang tangan gemuk berlemak langsung mendekap mulut berdarah-darah itu. Beberapa giginya nampak rompal, bahkan ada satu dua yang tertelan saat ia mendekap mulutnya yang hancur. Air matanya nampak meleleh keluar, suaranya sengau karena rasanya memang sakit bukan main.
Sambil bangkit berdiri Karto Subur memaki dengan suara sengau, “Khu ... rhanghh ... ajhrarr ... !”
Baru saja Karto Subur selesai menutup mulut lebarnya, sebuah nampan kayu melayang dengan cepat dan mampir di tepat wajah berminyak itu.
Bluakk!!
Kembali tubuh subur itu terjengkang ke tempat semula. Kali ini bukan hanya bibir dan mulutnya yang semakin berantakan, ditambah pula dengan hidung besarnya tampak bengkak membesar kemerah-merahan dengan darah kental yang menetes-netes membasahi bibir bahkan ingus pun ikut berleleran keluar. Akan tetapi kali ini tidak terdengar lagi suara erangan atau makian yang keluar.
Karto Subur pingsan seketika!
Si gadis menghampiri nenek pemilik kedai dengan langkah gemulai.
“Nyi, ini sebagai ganti meja dan piring yang rusak.” kata gadis itu sambil mengulurkan beberapa keping uang tembaga ke si pemilik kedai, yang saat itu tampak menggigil ketakutan.
“Teri ... ma ka ... sih ... Den Ayu ... “
Beberapa orang yang ada di kedai nasi hanya terpana saat gadis cantik itu melangkah keluar dengan lenggang kangkung, seakan tidak pernah terjadi apa-apa di tempat itu. Kejadian yang cuma sekejap itu memang membuat orang-orang yang ada di kedai itu terpesona.
Karena baru kali ini, ada gadis yang bisa membuat Karto Subur jungkir balik seperti itu!
Karto Subur sebenarnya adalah penguasa pasar di tempat itu. Ia terkenal memiliki tenaga yang besar dan katanya pernah belajar silat di sebuah perguruan silat ternama selama beberapa waktu, tapi dari perguruan silat yang mana, tidak ada yang mengetahuinya secara pasti. Tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kekuatan Karto Subur, bahkan pernah dikeroyok beberapa pemuda kampung, namun pada akhirnya para pemuda itu harus takluk dibawah kakinya. Walau tidak pernah menarik upeti, tapi beberapa orang terpaksa memberinya dengan mau tak mau.
“Jenggot, kenapa kau tidak membantunya?” kata salah seorang pemuda kepada laki-laki yang tadi dijawil oleh Karto Subur.
“Membantunya?” ucap Jenggot dengan mata melotot besar, suara serak terdengar keras meradang, “Memangnya gigiku yang rontok tiga ini perbuatan siapa!?”
“Jadi gigimu itu ... perbuatan gadis itu juga?“
“Benar.”
“Dirontokin pakai apa?”
“Batu.”
“Batu?”
“Aku kemarin sore juga menggodanya seperti Karto Subur, tapi akhirnya aku harus makan batu.”
“Memangnya kejadiannya dimana?”
“Di tepi sungai ujung dukuh sana.”
Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepala. Ia tahu dimana letak sungai itu, sungai yang memang isinya cuma batu-batu kali yang lumayan besar. Ia bisa membayangkan betapa ‘nikmat’ dan ‘asyik’-nya makan batu di tempat itu!
“Kau tahu siapa gadis itu?” tanya pemuda itu kembali.
“Hei Parjo, apa kau juga mau seperti diriku?”
“Oh ... tidak! Aku masih ingin menikmati enaknya makan daging. Maaf-maaf saja.” kata pemuda yang dipanggil Parjo.
“Kalau kau mau tahu, dia anak ketiga Ki Kandha Buwana.” kata Jenggot sembari nyruput wedang jahe.
“Ki Kandha Buwana yang dalang kondang itu?”
“Iya. Ki dalang dari Dukuh Songsong Bayu.”
“Darimana kau tahu kalau dia anak ketiga Ki Kandha Buwana?”
“Gadis itu sendiri yang bilang.”
“Kok bisa?”
“Tentu saja bisa! Sebab setelah aku dijatuhkan ke sungai berbatu, aku disuruhnya mengantar ke tempat kediaman Ki Dalang. Mau tak mau juga harus mau.” kata Jenggot, kemudian dengan nada meninggi, ” ... sudahlah, kau ini makin lama makin cerewet saja.”
Parjo hanya menghela napas saja, kemudian melanjutkan kegiatannya yang tertunda sebentar.

-o0o-

Malam gelap gulita tanpa bintang, tak terlihat satu pun yang menghiasi langit. Awan kelabu berarak mengikuti arah angin yang bertiup pelan. Bersamaan dengan desiran angin malam, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat melintasi atap-atap rumah penduduk. Jejak kaki yang ditimbulkan tidak terlihat sama sekali karena saking cepatnya ia bergerak. Beberapa orang peronda yang sedang bertugas dilewati begitu saja bagai tiupan angin. Para peronda yang rata-rata penduduk biasa hanya merasakan tiupan angin yang cukup keras, tak terlihat sebentuk orang yang baru saja lewat di depan hidung mereka.
Bisa dipastikan bahwa orang yang berpakaian hitam-hitam memang bertujuan menyatroni padukuhan yang aman tenteram itu. Kali ini, sosok bayangan hitam nampak berjumpalitan di udara, lalu hinggap di atas pucuk pohon jati yang berdiri angkuh di sekitar pelataran rumah yang cukup besar. Mata dibalik kain hitam terlihat bersinar terang di malam gelap menandakan bahwa ia memiliki tenaga dalam tinggi, sebab sorot mata itu begitu tenang namun menyimpan kebuasan dan hawa hitam pekat terlihat menyelimuti tubuhnya.
Rumah itu merupakan rumah terbagus ke dua setelah rumah Juragan Padmanaba yang juga merupakan kepala dukuh Songsong Bayu. Disanalah berdiam dalang kondang yang biasa disebut Ki Dalang Kandha Buwana. Ki Kandha Buwana bukan hanya seorang dalang biasa, sebab dulunya ia pernah berkecimpung di dunia kependekaran dengan menyandang nama besar Kakek Pemikul Gunung sejak tiga puluh tahun berselang.
Bahkan pada saat berusia dua puluhan tahun, nama Si Pemikul Gunung ini pernah ikut serta dalam perebutan gelar Pendekar Nomor Satu Dunia Persilatan di Bukit Kuda Putih, namun pada akhirnya harus kandas di tangan Pendekar Gila Nyawa. Meski sekarang sudah tidak lagi mengangkat nama di kancah persilatan, namun nama harum Kakek Pemikul Gunung masih disegani sebagai angkatan tua masa kini.
Bisa dipastikan jika orang yang mencari gara-gara dengannya sama saja dengan cari mati sendiri!
Sebuah suara teguran dengan nada berat terdengar di belakang sosok kedok hitam.
“Apa yang kau cari disini, kisanak?”
Sosok berbaju hitam itu tampak terperanjat kaget. Terlihat dari sinar mata yang semakin mencorong tajam dibalik kedok hitam yang dipakainya. Sosok berkedok langsung membalikkan badan dengan perlahan.
Kini, didepannya berdiri seorang laki-laki tinggi besar mengenakan baju batik lurik lengkap dengan blangkon hijau tua bertengger di atas kepala. Rambut hitamnya sudah mulai beruban sebagian. Dibalik punggung nampak tersembul sebuah gagang sebilah keris. Akan halnya laki-laki itu bersedekap dengan tangan bersilangan, matanya tajam menyelidik memandang sosok berbaju hitam-hitam dengan lekat.
“Sejak kapan laki-laki ini berada di belakangku? Kenapa aku tak mengetahui kedatangannya?” batinnya, kemudian ia berkata dengan nada dingin, “Aku tidak sedang mencari siapa-siapa disini.”
“O ya?” ketus suara laki-laki berbaju batik itu.
“Kau tidak percaya kalau aku sedang cari angin disini?”
“Percaya! Tapi aku lebih percaya lagi kalau kau sedang mengamati rumahku. Apa yang kau cari?” ulang si baju batik dengan pertanyaan yang sama.
“Heh, nampaknya sulit sekali untuk menipu dirimu.”
“Ha-ha-ha. Memang betul! Cuma ... orang sinting saja yang mau cari angin di tempat setinggi ini.” sahut laki-laki itu dengan nada sedikit meninggi.
“Aku sedang mencari anakmu. Ayu Parameswari!”
“Mencari anakku? Untuk apa kau mencari anakku?” kata laki-laki itu dengan heran.
“Aku ingin membunuhnya!”
“Dengan alasan apa kau ingin membunuhnya?”
“Aku punya dua alasan untuk membunuhnya.”
Laki-laki berbaju batik hanya diam saja tanpa melontarkan pertanyaan, karena dia yakin sosok hitam depannya pasti akan menjawab sendiri pertanyaannya.
“Pertama, malam ini rasanya cocok untuk membunuh seorang gadis. Apalagi seorang gadis semuda dan secantik Ayu Parameswari.”
“Yang kedua?”
“Yang kedua, tentu saja ada orang yang menyuruh diriku untuk melakukannya.” ucap laki-laki berkedok hitam dengan enteng, seakan membunuh orang tak ubahnya seperti membunuh seekor semut.
“Siapa yang menyuruhmu untuk membunuh anak gadisku?” suara geram terdengar saat laki-laki berbaju lurik itu mendengar bahwa ada orang yang menginginkan kematian anak gadisnya.
“Kau tak perlu segeram itu, orang tua! Tentu saja ketuaku sendiri yang menginginkan nyawa anakmu itu.”
“Bagus! Aku pun juga disuruh orang untuk membunuh orang semacam dirimu ini!”
“Benarkah?” kata si kedok hitam sedikit melengak kaget. “Siapa dia!?”
“Raja Neraka!”
Belum sampai ucapan ‘raja neraka’ hilang dari tenggorokan, laki-laki berbaju lurik itu langsung melayangkan satu pukulan keras ke arah wajah sosok hitam dengan kecepatan kilat.
Wutt!
Desiran angin tajam terdengar keras saat pukulan itu terlontar. Si sosok hitam tidak mau mandah begitu saja menerima serangan yang disertai dengan kekuatan tenaga dalam tinggi itu. Tubuhnya langsung melayang turun ke belakang sambil berjumpalitan di udara dan turun di tanah dengan kaki terpentang lebar.
Jlegg!
Dari peragaan ilmu ringan tubuh barusan, terlihat bahwa sosok hitam itu memiliki ilmu silat yang tidak bisa dianggap enteng.
Bagai burung besar turun dari langit, laki-laki berbaju batik langsung meluruk turun dari ketinggian. Sepasang tangan membentuk cakar harimau diiringi dengan suara raungan dahsyat membahana. Cakar merah bening menebarkan hawa panas menerjang sosok baju hitam itu.
“Jurus ‘Cakar Perogoh Sukma’?!” seru si kedok hitam.
Sosok berkedok hitam langsung mengerahkan tenaga peringan tubuh untuk menghindari serangan dari ilmu ‘Cakar Perogoh Sukma’ yang dilancarkan oleh lawan.
Brakk!! Blarrl!
Tanah berhamburan saat jurus ‘Cakar Perogoh Sukma’ membentur bekas pijakan kedok hitam dengan diiringi suara keras. Selisihnya hanya sekedipan mata saja dengan gerak meloloskan diri si sosok hitam saat ia menghindari jurus maut yang dilontarkan oleh lawan.
“Setahuku, jurus ‘Cakar Perogoh Sukma’ hanya dimiliki tokoh kosen yang berjuluk Kakek Pemikul Gunung.” kata hati si sosok hitam. “Apakah dia ini orangnya?”
Tampak tubuh hitam itu berkelebatan kesana kemari menghindari serangan laki-laki berbaju batik yang diduganya sebagai Kakek Pemikul Gunung. Puluhan jurus telah berlalu, namun sampai saat ini belum nampak sama sekali kalau pertarungan akan segera berakhir. Sosok hitam itu hanya selalu menghindar kesana kemari dengan ilmu ringan tubuh, sehingga yang nampak hanya sesosok kelebatan bayangan hitam menghindari bayangan cakar merah yang berkelebatan mengejarnya.
“Kurang ajar! Apa bisamu hanya lari-lari saja seperti monyet!” bentak Kakek Pemikul Gunung sambil mengibaskan tangan kirinya ke arah lambung lawan dengan cepat.
Wess ... ! Brett!
Meski sudah berusaha menghindar dengan loncatan ke atas, tak urung tulang keringnya harus tersambar cakar lawan. Darah kental merah kehitaman pun langsung meleleh keluar.
“Uhh, jejak lukaku terasa panas menyengat. Ini benar-benar jurus ‘Cakar Perogoh Sukma’ yang sesungguhnya.” batin laki-laki berkedok itu sambil bersalto ke belakang menghindari serangan susulan. Meski begitu, akibat luka yang dideritanya sedikit banyak mengurangi kelincahan dalam mengerahkan tenaga peringan tubuh.
Kembali pertarungan menghiasi pada malam itu. Pepohonan rusak porak poranda, tanah tercongkel dan berhamburan kemana-mana, kesiuran angin tajam yang datang silih berganti dan juga suara ledakan yang memekakkan telinga.
Suatu saat, posisi sosok hitam itu benar-benar terjepit. Hujan serangan cakar bertenaga dalam tinggi semakin gencar dilontarkan Kakek Pemikul Gunung untuk menekan kedudukan lawan, sehingga sulit sekali bagi sosok hitam itu menghindar kembali dengan ilmu ringan tubuh andalannya. Dimana posisi yang berlangsung saat itu, Kakek Pemikul Gunung bertumpu kokoh di atas tanah, sambil sepasang tangan merah membara dengan tak henti-hentinya mengerahkan serangan jurus ‘108 Cakar Perogoh Sukma’, sehingga sosok hitam yang waktu itu sedang melenting ke atas terkepung lontaran puluhan bahkan ratusan cakar berhawa panas membara.
“Uh, kalau begini terus ... aku bisa hancur terkena serangannya. Terpaksa aku harus menghadang serangan ini.” batin si sosok hitam.
Diiringi suara bentakan penambah semangat, si kedok hitam pun menjulurkan sepasang tangan yang berubah menjadi hitam kelam diikuti kabut hitam yang membungkus tubuhnya memapaki jurus serangan yang dilontarkan Kakek Pemikul Gunung dengan gencar.
Plakk! Plakk! Dharr! Jdharr! Dhuas!!
Terdengar suara bentukan keras bagai besi ketemu besi di saat jurus ‘108 Cakar Perogoh Sukma’ bertemu dengan tapak tangan berkabut warna hitam yang dilontarkan oleh si kedok hitam.
Sepasang kaki Kakek Pemikul Gunung nampak amblas ke dalam tanah hingga setinggi lutut. Tangannya nampak bergetar kencang menahan daya bentur dari tenaga dalam lawan yang luar biasa itu. Bahkan nampak lelehan darah segar terlihat dari sudut bibirnya.
“Bukankah itu tadi ‘Pukulan Tangan Kabut Hitam’ yang telah menghilang ratusan tahun silam?” gumam kakek itu sambil menyusut darah dari bibirnya.
-o0o-
 
Bab 19

Sedangkan lawan terpental jauh akibat dari benturan dua kekuatan sakti yang dilancarkan masing-masing pihak. Tubuh terbalut baju hitam terlempar ke belakang keras dikarenakan posisi tubuh berada di atas lawan, meluncur cepat bahkan sampai menabrak hancur berturut-turut tiga pohon jati yang ada di belakangnya. Darah pun nampak berhamburan keluar dari mulut, bahkan sampai menetes keluar dari kedok hitam yang dikenakannya.
Tanpa menunggu lawan bangkit dari keterpurukannya, Kakek Pemikul Gunung atau Ki Kandha Buwana langsung melontarkan sebuah pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam tinggi.
Wutt! Duubbb!!
Sebuah pukulan sakti tanpa wujud yang dulu pernah dipakainya untuk mengalahkan lawan-lawannya disaat mengikuti perebutan gelar Pendekar Rimba Persilatan pada masa tiga puluh tahun silam. Kini jurus pukulan itu kembali digelar untuk menghadapi si sosok hitam.
Pukulan yang dinamainya dengan ‘Pukulan Tanpa Bayangan’!
Pada intinya pukulan ini memanfaatkan kekuatan hawa udara dan hawa murni tubuh lalu diolah dengan menggabungkan udara kemudian hawa murni tubuh dikeluarkan dalam bentuk hawa padat tanpa wujud, sehingga terciptalah sebuah jurus pukulan yang bisa menghantam lawan tanpa diketahui oleh yang bersangkutan. Hanya orang yang memiliki ketajaman telinga yang tinggi bisa merasakan gesekan udara yang datang secara bergelombang silih berganti.
Demikian juga dengan sosok hitam itu. Telinganya yang tajam lapat-lapat mendengar suara desiran angin tajam bergelombang mengarah tepat pada dirinya. Karena luka akibat benturan ‘108 Cakar Perogoh Sukma’ cukup parah, sulit sekali bagi sosok itu menghindari serangan dari ‘Pukulan Tanpa Bayangan’ yang dilontarkan oleh Kakek Pemikul Gunung. Jangankan berdiri, menggerakkan jari tangan susahnya setengah mati.
“Celaka!” kata si kedok hitam. “Matilah aku ditempat ini!”
Di antara kepasrahannya antara hidup dan mati, mendadak selebat bayangan hitam yang entah darimana datangnya sudah berdiri menghadang di depan sosok kedok hitam. Lalu tangan kiri bergerak memutar secara aneh diikuti dengan hentakan kaki kanan ke bumi dengan keras, bayangan hitam yang baru saja datang itu mendorongkan tangan kiri memapaki serangan Kakek Pemikul Gunung.
Wutt!!
Jurus yang baru saja terlontar memiliki kemiripan dengan ‘Pukulan Tanpa Bayangan’, baik cara mengolah udara dan menggabungkan dengan hawa murni, hanya gerakan menghentakkan kaki kanan ke tanah dengan keras serta memutar tangan baru melontarkan jurus saja yang berbeda. Samar-samar terlihat semacam hawa golok yang ikut terlontar bersamaan.
Dub! Blubb!! Bhess!!
Terdengar suara seperti besi panas yang dicelupkan ke dalam air saat dua pukulan yang sama-sama tanpa wujud itu saling bertemu. Sosok bayangan hitam hanya terjajar dua langkah ke belakang terkena imbas dari dua benturan yang terjadi.
Sedangkan keadaan lawan lebih parah lagi. Kaki Kakek Pemikul Gunung sampai tercerabut keluar dari dalam tanah lalu terlempar sejauh dua-tiga tombak. Dada terasa tersayat-sayat seakan ada ribuan senjata tajam yang merajam tubuh bagian dalam. Kembali darah kental menetes keluar, kali ini luka dalamnya benar-benar parah.
Andaikata lawan tetap melancarkan serangan, tipis kemungkinan untuk bisa menyelamatkan selembar nyawanya.
“Jurus ‘Ribuan Golok Membelah Lautan’! Apa hubunganmu dengan si Dewa Golok?” seru Kakek Pemikul Gunung sambil mengedarkan hawa murni ke seluruh tubuh untuk menekan luka dalam agar tidak menjadi lebih parah.
“Huh! Aku tidak kenal dengan manusia yang kau sebut sebagai Dewa Golok itu. Memangnya siapa dia?”
Suaranya terdengar seperti ditekan ke dalam, jelas sekali kalau itu adalah suara perut. Namun Kakek Pemikul Gunung yakin bahwa yang baru saja menolong si kedok hitam adalah seorang perempuan, terlihat dari postur tubuhnya ramping dan adanya tonjolan di depan dadanya.
“Dia adalah sahabatku!”
“Huh, memangnya hanya dia seorang yang memiliki jurus ‘Ribuan Golok Membelah Lautan’! Jurus picisan seperti itu bagiku hanya permainan bocah kemarin sore. Buat apa diributkan?”
Sosok hitam yang diduga berjenis perempuan itu segera menghampiri si kedok hitam, lalu bagai mengangkat karung basah, diangkatnya tubuh pingsan sesaat setelah terjadi benturan keras tadi. Di panggul pada pundak kiri, lalu berkelebat cepat ke arah selatan tanpa mempedulikan lawan.
Wesshh!
Namun baru beberapa langkah, sesosok bayangan merah menerjang dengan cepat. Kaki kiri nampak memutar cepat diikuti dengan hentakan kaki kanan dalam posisi serong menyusur tanah. Akibatnya tanah seperti dibajak, saling berhamburan memanjang dan menerjang ke arah sosok penolong kedok hitam.
Drakk! Srakk! Srakk! Srakk ... !!
Jurus tendangan yang barusan dikerahkan oleh sosok bayangan merah tadi adalah jurus ‘Ekor Naga Menggetarkan Gunung’, dimana kemampuan dari jurus ini menyerang lawan dari jarak jauh dengan memanfaatkan tanah sebagai alat penyerang.
Sosok hitam hanya mendengus saja, lalu mengibaskan tangan kanan dengan asal-asalan.
Wutt!
Serangkum hawa hitam pekat berkabut dari ‘Pukulan Tangan Kabut Hitam’ menerjang ke arah hamburan tanah yang menyerang dirinya.
Keras lawan keras!
Blarr! Blarrr, dharr ... !!
Suara benturan kembali terdengar. Namun bayangan hitam itu nampak terperanjat kaget. Serangan yang dilancarkannya tidak berpengaruh sama sekali terhadap sergapan hamburan tanah yang akibat dari jurus ‘Ekor Naga Menggetarkan Gunung’ yang digunakan bayangan merah, justru kekuatannya malah makin menggila laksana naga mengamuk.
“Slompret! Itu pasti jurus ‘Ekor Naga Menggetarkan Gunung’ milik dari Si Naga Bara Merah! Aku harus menghindar sejauh mungkin!”
Namun terlambat!
Baru saja bayangan hitam itu balik badan, punggungnya sudah terhantam hamburan tanah sarat tenaga penghancur dengan telak.
Blakk! Dhuuess ... !!
Tubuh ramping itu nampak terlontar kuat ke depan bagai disentakkan tangan-tangan setan. Sambil menahan rasa sakit yang mendera punggungnya, sosok hitam itu mengerahkan tenaga peringan tubuh kelas atas, lalu melesat cepat ke arah selatan dan akhirnya menghilang di kegelapan malam.
Blashh ... !!
“Jangan lari! Berhenti!”
Sosok bayangan merah tadi ternyata adalah gadis yang tadi siang telah menghajar adat pada Karto Subur. Gadis itulah yang dicari si kedok hitam, gadis yang bernama Ayu Parameswari!
“Ayu, biarkan mereka pergi!” seru Kakek Pemikul Gunung saat melihat Ayu Parameswari ingin mengejar si bayangan hitam.
Mendengar seruan sang ayah, gadis menghentikan kelebatan tubuhnya dan berkelebat cepat ke tempat dimana sang ayah menderita luka dalam.
“Siapa mereka sebenarnya, ayah?” kata Ayu Parameswari sambil memapah bangkit ayahnya. “Ilmu mereka tinggi sekali.”
“Aku sendiri tidak tahu, Ayu.” kata Ki Dalang Kandha Buwana sambil berpegangan pada pundak anaknya, kemudian, “ ... hanya saja, mereka mencari dirimu.”
“Mencari diriku? Buat apa mereka mencari Ayu?” tanya Ayu Parameswari dengan heran.
“Apa mereka musuhmu, anakku?”
“Entahlah! Tapi dari ilmu silat mereka, Ayu bisa pastikan belum pernah bentrok satu kali pun dengan mereka, kecuali hari ini.”
“Hmm, aneh juga!”
“Ayah, lebih baik kita ke dalam dulu,” potong Ayu Parameswari.
Di dalam rumah, Nyi Dalang sudah ketar-ketir melihat suami dan anak perempuannya berkelahi dengan dua orang yang tidak diketahui siapa adanya mereka. Apalagi melihat Ki Dalang terluka dalam membuatnya semakin khawatir.
Sepenanak nasi kemudian ...
“Kakang, bagaimana keadaanmu, apa sudah baikan?” tanya Nyi Dalang sambil menempel bobok ramuan untuk mengobati luka dalam Ki Dalang Kandha Buwana.
“Aku sudah agak lumayan, Nyi Lastri.”
Bobok ramuan berwarna hijau kehitaman yang mengeluarkan bau cukup menusuk hidung tampak dibalurkan ke bagian dada. Ramuan itu dibuat dari campuran beberapa lembar daun Tapakliman dan Tapakdara kemudian digerus hingga lembut, lalu dibalurkan pada bagian yang mengalami luka. Setelah selesai, dibalut dengan sehelai kain putih agar bobok obat itu tidak rontok ke bawah.
“Apa kakang dalang sudah tidak bisa lagi untuk turut campur dengan urusan seperti itu?”
“Nyi, sebenarnya aku juga tidak mau turun tangan. Tapi kalau tidak aku sebagai kepala keluarga disini, siapa lagi?” ungkap Ki Dalang Kandha Buwana, lanjutnya, “ ... tidak mungkin menyuruh Ayu untuk menghadapi mereka, walau aku yakin sepenuhnya anak gadismu bisa mengatasi mereka berdua.”
“Tapi Kang, aku takut jika terjadi apa-apa ... “
“Nyi, hidup mati orang itu di tangan Hyang Widhi, jika memang aku harus mati di tangan mereka, apa yang bisa kita lakukan?” sahut Ki Dalang memberi nasehat, “ ... tapi andaikata belum saatnya dipanggil Yang Kuasa, dengan leher terpotong pun jika Hyang Widhi belum menghendaki, kita juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ingat Nyi, kita harus pasrah dan ikhlas menerima apa saja yang diberikan Hyang Widhi pada kita, maka hati dan pikiran akan menjadi tenteram.”
“Iya juga, tapi ... “
Ki Dalang segera meletakkan jari telunjuk ke depan bibir Nyi Lastri, “Sudahlah Nyi ... “
Nyi Lastri hanya bisa menghela napas panjang, untuk menghilangkan kegalauan yang menyelimuti hatinya.
“Ayu, kau harus menjaga bapakmu yang keras kepala ini dengan sebaik-baiknya.”
“Hi-hi-hi, tenang Bu! Ayu pasti tidak akan melepaskan untuk kedua kalinya.” kata Ayu cepat sambil memeluk leher Ki Dalang dari belakang.
“Hei, memangnya ayahmu ini burung apa?” kata Ki Dalang sambil memencet hidung bangir Ayu.
“Ihh ... ayah genit ... !!!”
Istri Ki Dalang Kandha Buwana memang bukan dari kalangan persilatan, ia hanyalah perempuan desa biasa yang setiap harinya berkutat dengan lumpur sawah dan adakalanya pergi ke pasar menjual hasil bumi, bisa dikatakan ia hanya tahu pisau dapur saja. Jangankan memegang pedang, melihat orang berkelahi saja ia sudah gemetar ketakutan.
Nyi Dalang yang bernama asli Sulastri memang sosok perempuan yang sederhana, tidak suka neko-neko seperti istri orang terpandang kebanyakan. Apa yang diberikan oleh suaminya akan diterima dengan hati ikhlas, bahkan andaikata dimadu sekali pun, Nyi Sulastri akan menerima istri muda suaminya dengan lapang hati. Karena kesederhanaan dan rasa keikhlasan yang tulus itulah yang membuat Ki Dalang semakin menghormati istrinya dari hari ke hari dan tidak ada niatan sedikit pun untuk menduakan sang istri.
Hingga mereka berdua dikaruniai tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan kehidupan mereka tetap aman tentram dan bahagia. Anak sulung, Wanengpati mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang dalang, selain untuk Nguri-uri Kabudayan Jawi, juga pada dasarnya sedari kecil Wanengpati sudah dikenalkan dengan dunia wayang. Kini pemuda Wanengpati telah berumah tangga dan menjadi menantu satu-satunya dari Juragan Padmanaba yang juga kepala dukuh Songsong Bayu.
Sedangkan anak kedua yang bernama Dewi Pembayun, baru beberapa bulan melangsungkan pernikahannya dengan seorang pendekar muda dari Partai Dua Belas Lentera yang bernama Kuda Sempana, dan sekarang ini Dewi Pembayun mengikuti suaminya menetap di sekitar lereng sebelah tenggara dari Bukit Pelangi. Dimana jarak antara Bukit Pelangi dengan Partai Dua Belas Lentera dapat ditempuh dengan setengah hari perjalanan menunggang kuda, akan halnya jarak dari Bukit Pelangi dengan dukuh Songsong Bayu dapat ditempuh dengan sehari semalam dengan menunggang kuda.
Sedang si bungsu, Ayu Parameswari saat umur lima tahun pernah hilang tak ketahuan rimbanya. Tentu saja pasangan suami istri itu kelabakan setengah mati, bahkan sampai minta bantuan hampir seluruh warga dukuh Songsong Bayu untuk mencari Ayu kecil yang tiba-tiba saja menghilang, namun hasilnya nihil. Pada akhirnya pasangan suami istri itu harus pasrah dengan nasib, semua diserahkan pada Hyang Widhi.
Gadis kecil itu tiba-tiba muncul kembali ke rumah orang tuanya dua tahun berselang, dan menceritakan bahwa selama dua tahun menghilang ternyata ia diangkat sebagai murid gaib dari si Naga Bara Merah, dan harus menjalani masa gemblengan selama sepuluh tahun lagi di Jurang Tlatah Api.
Ayu kecil dipilih menjadi pewaris dari semua ilmu kesaktian Naga Bara Merah yang merupakan salah satu dari Pengawal Gerbang Timur – Sang Api, dikarenakan pada punggung Ayu terpatri dengan kuat sebentuk rajah naga berwarna merah darah. Rajah Naga Merah Darah muncul dengan sendirinya saat Ayu menginjak usia lima tahun, itu pun diketahui pertama kali oleh Nyi Dalang saat memandikan Ayu kecil.
Ki Dalang Kandha Buwana mengetahui perihal rajah berwujud naga itu setelah diberitahu oleh Nyi Lastri, pada mulanya ia beranggapan bahwa itu merupakan tanda setan atau iblis yang menyusup ke dalam diri anaknya, hingga diselenggarakan ritual meruwat Ayu kecil agar terbebas dari rajah yang diduganya berhubungan erat dengan kekuatan setan tersebut. Namun hasilnya, rajah yang semula samar-samar justru semakin jelas menampakkan diri saat dibacakan mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’.
Rajah Naga Merah Darah!
Dua pekan sejak Ayu menghilang, Ki Dalang Kandha Buwana maklum bahwa rajah yang ada di punggung gadis kecilnya bukan rajah sembarang rajah dan hilangnya Ayu kecil pasti berhubungan erat dengan rajah yang ada di punggungnya. Saat ia melakukan muja semadi untuk melakukan kontak gaib dengan penghuni Rajah Naga Merah Darah, tiba-tiba di alam semadi atau tepatnya di alam gaib, Ki Dalang ditemui oleh sosok perempuan tua berbaju merah bersih dengan rambut digelung ke atas, di tangan kiri terbentang lebar sebuah kipas dari kain sutera halus berwarna putih dengan sulaman naga terbang berwarna merah. Sosok tua itu mengaku bahwa dirinya yang mengambil Ayu lewat tuntunan gaib dan kini dididik sebagai murid tunggal si nenek berkipas naga.
Tanya jawab antara Ki Dalang Kandha Buwana dengan sosok gaib perempuan berlangsung hingga fajar menjelang. Ki Dalang mengakhiri masa semadi dan menceritakan semua yang ditemuinya di alam gaib kepada Nyi Dalang. Perempuan parobaya itu akhirnya mengerti juga kemana hilangnya Ayu selama dua pekan.
Dua tahun berlalu tanpa terasa ...
Ayu kembali ke dukuh Songsong Bayu untuk menemui ayah ibunya menceritakan segala hal yang diketahui dan itu sama persis dengan apa yang diceritakan Ki Dalang, tapi gadis kecil itu hanya satu hari saja berada di rumah orang tuanya, kemudian ia kembali lagi ke Jurang Tlatah Api untuk melanjutkan pelajaran silatnya. Masa sepuluh tahun pun sampai pada titik akhir, kini Ayu kecil telah menjelma menjadi sosok gadis rupawan berilmu tinggi, dikarenakan semua ilmu silat dan kesaktian milik Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api telah dikuasainya dengan sempurna, bahkan senjata andalan gurunya, Kipas Sutera Naga Merah pun kini secara resmi telah berganti pemilik.
Pada keesokan paginya, dukuh Songsong Bayu gempar!
Kegemparan itu terjadi di pagi buta kala seorang penduduk bernama Sentot sedang menyusuri tepi hutan sebelah barat untuk mencari kayu bakar. Bukannya menemukan onggokan kayu bakar tapi malah menemukan sesosok mayat.
Mayat yang berkedok hitam!
Sentot yang berusia senja itu langsung ngibrit, lari sekencang-kencangnya sambil berteriak-teriak ketakutan.
“Ada mayat ... ! Ada mayat ... !”
Warga padukuhan yang saat itu memang bersiap pergi ke sawah, terkejut mendengar seruan keras itu. Tanpa dikomando, sebagian berlarian ke arah suara yang berteriak keras mencari kabar, sebagian berlarian menuju ke rumah kepala dukuh, ada pula yang langsung mengabari Ki Dalang Kandha Buwana dan sebagian kecil dari mereka berlarian sambil memukul kentongan!
Took! Toook! Toook ... !!
Juragan Padmanaba yang pagi itu masih asyik goyang-goyang kaki sambil menghisap cangklong pipa tembakau, nampak mengerutkan dahinya mendengar suara kentongan yang bertalu-talu.
“Bukankah itu suara kentongan tanda bahaya?” kata Juragan Padmanaba dengan nada heran. “Siapa yang berani menyatroni padukuhan ini di pagi buta begini?”
Dengan sedikit kemalas-malasan, laki-laki tambun itu bangkit dari duduknya. Tubuh gemuk itu terlihat kepayahan saat melangkahkan kaki, sebab selain harus menopang berat badan yang berlebihan ia harus keluar dari perangkap nikmat yang tadi didudukinya, apalagi dalam suasana sepagi itu!
Setelah menggeliat sebentar untuk melemaskan otot-otot tubuh, lalu melangkah dengan lambat-lambat ke arah regol depan. Laki-laki berbadan subur itu hanya berdiri mematung saja, seperti sedang menunggu seseorang. Tak lama kemudian, dari kejauhan tampak berlarian seorang laki-laki dengan pakaian ringkas warna biru tua lengkap dengan golok yang terselip di pinggang.
Laki-laki berpakaian biru tua langsung menghampiri Juragan Padmanaba yang nampak sedang menantinya. Memang sudah menjadi kebiasaan kepala dukuh itu, bahwa ia akan selalu berdiri di depan regol depan rumahnya jika terjadi sesuatu kejadian dan menunggu laporan dari para jagabaya.
Suatu kebiasaan jelek!
“Ki Suro, apa yang telah terjadi?” tanya Juragan Padmanaba sambil tangan kiri tetap memegang cangklong, sementara mulutnya asyik menghisap-hisap ujung pipa tembakau yang terselip di bibir yang cukup lebar.
Setelah menata napasnya sebentar, barulah jagabaya yang bernama Ki Suro itu menjawab, dengan terbata-bata, “Maaf, Ki! A ... ada ... mayat di tepi ... hutan!”
“Mayat? Mayat siapa?”
“Kurang tahu Ki! Tapi Den Wanengpati sudah berangkat duluan. Tadi saya bertemu di jalan.”
Laki-laki itu hanya manggut-manggut saja.
“Hmm ... mantuku itu memang cekatan.” gumam Juragan Padmanaba, lalu lanjutnya, “Ya sudah, kita sekarang berangkat kesana.”
Dua orang itu berjalan beriringan.
Meski hanya berjalan lambat-lambat, ternyata Suro tidak bisa menyamai langkah kaki si kepala dukuh yang berbadan tambun itu. Sudah berulangkali ia mencoba mensejajari, tetap saja ia ketinggalan beberapa langkah di belakangnya.
“Aneh, padahal langkah kaki Ki Padmanaba tidak lebih lebar dari langkahku. Dengan tubuh yang segemuk kerbau begini, kenapa aku tidak bisa menyamai langkah kakinya ... ” batin Ki Suro dengan kagum. “ ... apa mungkin Ki Padmanaba ini dulunya orang sakti, ya?”
Dengan sedikit berlari-lari, barulah Ki Suro berhasil sejajar dengan laki-laki gemuk itu, namun itu hanya sebentar saja, lalu ia kembali tertinggal seperti sebelumnya.
Padukuhan Songsong Bayu bukanlah wilayah yang luas. Tempat itu di lewati oleh dua buah sungai kecil, yang satu berair jernih dan bersih sedang satunya sungai dangkal penuh dengan batu-batu yang berserakan. Karena itulah kehidupan di dukuh itu lebih banyak menghasilkan hasil bumi yang berlimpah, baik dari palawija hingga rempah-rempah. Bisa dikatakan gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Serba makmur dan aman tenteram.
Di selatan sungai yang berbatu, terdapat sebuah hutan yang cukup luas dan lebar, namun tidak ada seekor binatang buas pun yang menghuni tempat itu. Meskipun disebut hutan, tapi tempat itu lebih cocok disebut sebagai taman raksasa, sebab setiap batang pohon yang hidup ditata dengan rapi, semak-semak dan perdu yang tumbuh berkelompok dipotong rapi, bahkan ada yang dicabut hingga ke akar-akarnya. Tanah yang tinggi rendahnya tidak sama, dibuat sama rata. Bahkan pada bagian tengah hutan dibelah dengan jalan selebar dua tombak berbatu-batu rata dan dibuat tembus hingga ke tepi hutan seberang, dimana jalan berbatu itu dibuat sebanyak tiga tempat, yaitu di tepi hutan bagian timur, di tepi hutan bagian barat dan di bagian tengah hutan. Di bagian kiri kanannya tiap ruas jalan ditanami dengan beraneka ragam bunga sehingga tampak asri dan sejuk dipandang mata.
Akan halnya sesosok mayat itu ditemukan di tepi hutan sebelah barat, tergeletak begitu saja. Mayat berkedok itu tewas dalam keadaan tengkurap, sehingga susah menentukan dia itu laki-laki atau perempuan, tapi yang pasti di kakinya terdapat sebentuk luka berwarna hitam berjajar empat larik.
Beberapa penduduk sudah berdatangan ke tempat itu, namun tidak ada satu pun yang berani menyentuh sesosok mayat yang tergeletak dihadapan mereka. Beberapa saat kemudian, Wanengpati datang ke tempat itu pula setelah mendapat laporan dari Jagabaya. Laki-laki berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun yang berpakaian ringkas putih-putih dengan keris yang terselip di pinggang belakang. Pakaiannya yang dikenakan sekilas mirip dengan pakaian para dalang. Wanengpati duduk berjongkok di depan mayat itu sambil tangan kiri yang memegang sebatang ranting pohon berusaha menyingkap kedok hitam.
Brett!
Kedok hitam akhirnya terlepas dari kepala.
Orang-orang yang ada ditempat itu nampak terperanjat kaget melihat roman muka si mayat.

-o0o-
 
Bab 20

“Bukankah itu ... si Parjo?” kata Sentot, orang yang pertama kali menemukan mayat itu.
“Apa Aki Sentot yakin?” tanya Wanengpati pada Sentot.
“Benar, Den! Itu pasti si Parjo!”
“Parjo yang tinggal di ujung desa itu?” kata orang tua berbadan kerempeng, di belakang Sentot.
“Di dukuh ini hanya satu orang yang bernama Parjo, Kang.” tutur Sentot pada si orang tua. “Ya ... dia ini!”
“Tapi kenapa ia mati disini?” tanya si orang tua kembali.
“Mana kutahu! Bukan aku yang membunuhnya!”
Sementara orang sibuk berkomentar tentang mayat Parjo, Wanengpati mengamati sekujur tubuh mayat parjo dari ujung rambut hingga ujung kaki, semua diteliti dengan seksama. Dengan ujung ranting itu pula, ia menyobek baju atas mayat hingga bertelanjang dada. Laki-laki berpakaian dalang itu menggunakan ranting pohon untuk mengantisipasi adanya racun yang mungkin saja menempel di tubuh mayat Parjo.
Sebuah pemikiran yang cermat!
“Mayat ini sudah dingin dan kaku, bisa dipastikan ia tewas di sekitar pertengahan malam. Dari jejak luka yang diderita di pundak, mayat ini terkena serangan sejenis tendangan bertenaga dalam tinggi, meski cuma menyerempet saja, tapi jantungnya sedikit tergetar akibat bias dari tenaga tendangan itu,“ batin Wanengpati saat melihat lebam biru kehitaman yang membekas di pundak kiri mayat.
Setelah membolak-balik mayat dengan ranting pohon dan yakin tidak ada racun yang menempel barulah Wanengpati berani menyentuhnya. Seluruh tubuh Parjo diteliti dengan seksama, setiap jengkal tubuh mayat tidak luput dari pandangan tajam Wanengpati. Di bagian dada kanan agak sedikit ke atas, samar-samar terlihat semacam tanda hitam yang berbentuk kepala setan bertanduk.
“Hemm, ini mungkin lambang suatu aliran. Tapi setahuku tidak ada lambang perguruan atau partai persilatan yang menggunakan wajah menyeramkan seperti ini sebagai tanda pengenal? Apa mungkin si Parjo ini dari aliran hitam?” pikir Wanengpati sambil tangannya menyentuh lambang kepala setan bertanduk itu. Tiba-tiba sebersit pikiran melintas di benaknya, “ ... atau jangan-jangan ... “
Kembali mata tajam itu menjelajah sekujur tubuh mayat Parjo dan di saat matanya menemukan jejak luka di tulang kaki, dia agak tersentak kaget.
Jejak luka yang amat sangat dikenalnya!
“Bekas luka yang menghitam ini nampaknya kukenal. Luka ini tampak merapat rapi, dari arahnya jejak luka tergurat dari bawah ke atas, mungkin ia hendak melarikan diri dari perkelahian atau menghindar dengan meloncat ke atas, tapi masih terkena serangan,” pikirnya, “ ... dan kulit lukanya terlihat mengkerut ke luar ... hmm, luka ini diakibatkan serangan ‘108 Cakar Perogoh Sukma’. Selain diriku, hanya Dewi dan ayah saja yang memilikinya. Apa mungkin ayah yang melakukannya? Andaikata betul, lalu dengan alasan apa?”
Daya nalar Wanengpati berputar-putar menganalisa apa yang dilihat dan ditemukan pada mayat Parjo. Bahkan sampai kedatangan mertua dan Ki Suro juga tidak diketahuinya. Hal itu dikarenakan ia terlalu konsentrasi dengan segala macam kemungkinan yang terjadi hingga mengakibatkan sosok kedok hitam yang oleh warga padukuhan bernama Parjo meninggal di tempat itu.
Juragan Padmanaba hanya melirik sekilas pada mayat yang ada di depan Wanengpati. Wajah kepala dukuh terlihat datar-datar saja seakan apa yang dilihatnya sudah kejadian biasa. Kemudian ia ikut berjongkok di samping Wanengpati, ia juga meneliti mayat itu dari ujung kepala hingga ujung rambut. Laki-laki gemuk berpipa tembakau juga berusaha menganalisa dari apa yang dilihatnya, tapi sebentar kemudian ia sudah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah menghela napas, ia bertanya pada Wanengpati, “Apa yang kau temukan?”
Wanengpati agak kaget mendengar pertanyaan barusan, karena sedari tadi ia asyik dengan daya nalarnya hingga ia tidak mengetahui kehadiran seseorang disebelahnya.
“Oh, Ayah! ... maaf, apa yang ayah tanyakan tadi?” jawab Wanengpati agak gugup.
“He-he-he, kau ini jika sudah menggunakan kemampuan otakmu, petir menyambar dekat telinga pun kau tak bakalan tahu.” seloroh Juragan Padmanaba sambil terkekeh-kekeh, ” ... apa yang kau temukan?”
“Cukup banyak yang saya temukan.”
“Ooo ... “ sahut mertuanya dengan mulut bundar.
Benar-benar bundar!
“Bisa kau jelaskan padaku?” katanya sambil menyedot pipa tembakau dengan santai.
“Emm ... mungkin lebih baik di rumah saja, karena apa yang dialami mayat ini berhubungan erat dengan diri saya, meski secara tidak langsung.”
“Yang benar?”
Wanengpati hanya mengangguk pelan membenarkan pertanyaan sang mertua.
Tak lama kemudian, Ki Kandha Buwana dan Ayu Parameswari telah datang di tepi hutan, dan menjumpai Juragan Padmanaba serta Wanengpati yang telah datang terlebih dahulu ditempat itu. Apa yang dilakukan dalang kondang itu tak jauh beda dengan apa dilakukan oleh besannya. Tetapi yang cukup membuatnya terkejut adalah jejak luka di kaki mayat tersebut sama persis dengan jejak luka ditimbulkan oleh jurus andalannya, namun keterkejutannya semakin menjadi-jadi saat melihat sebuah gambar wajah menyeramkan di dada mayat itu.
“Rajah Penerus Iblis!” desis Ki Dalang Kandha Buwana.
Ayu Parameswari yang berada di samping ayahnya agak terkejut mendengar desisan pelan itu.
“Apa yang ayah katakan barusan?” tanya Ayu Parameswari dan Wanengpati bersamaan.
“Kau ... ?” tanya Wanengpati dengan heran, namun setelah mengamati beberapa saat wajah cantik gadis itu, sebuah senyum lebar terukir, “Kau ... Ayu?”
“Hi-hi-hi, kakang Wanengpati sudah lupa sama adik sendiri?” seloroh Ayu Parameswari sambil terkikik-kikik, lalu katanya menggoda, “Lupa apa lupa nih?”
“Ha-ha-ha, kapan kau balik ke rumah?” tanya Wanengpati sambil membusai rambut adiknya.
“Kemarin sore!”
“Dimas Kandha Buwana, tadi apa yang kau katakan?” tanya Juragan Padmanaba, karena memang dua orang itu hanya sejarak setengah tombak jauhnya.
Sambil mengarahkan telunjuknya, Ki Dalang berkata, “Ini adalah lambang kekuatan setan aliran Tantrayana kuno atau lebih tepatnya pemuda ini adalah salah satu pengikut dari aliran Bhirawa Tantra.”
“Lambang kekuatan setan?”
“Lambang ini dinamakan sebagai Rajah Penerus Iblis, dan rajah ini harus segera dimusnahkan, sebab jika tidak rajah ini bisa berpindah ke tubuh orang lain tanpa yang bersangkutan menyadarinya,” tutur ki Dalang Kandha Buwana, sambungnya, “ ... dan kau tahu sendiri apa akibatnya jika seseorang memiliki rajah setan ini. Dia akan menjadi orang yang berilmu sesat.”
Tiga orang itu sama menganggukkan kepala.
Lebih-lebih Ayu Parameswari, sebab sesuai pesan dari guru gaib si Naga Bara Merah bahwa selain harus mencari titisan Sang Angin sekaligus mencegah munculnya lambang wajah setan bertanduk di muka bumi. Sebab andaikata dibiarkan, bumi akan menjadi sarang setan dan iblis, dan dunia akan kacau balau.
Segera saja Ki Dalang Kandha Buwana melantunkan rangkaian mantra sakti Rajah ‘Kalacakra Pangruwating Diyu’, sebuah mantra yang digunakan untuk mengenyahkan pelbagai kekuatan jahat yang mengganggu lahir batin pada waktu berlangsung ritual ruwatan bagi para bocah sukerta serta juga bisa menghilangkan segala bentuk ilmu-ilmu hitam yang bersumber atau pun bersekutu dengan kekuatan setan.
Hong ilaheng, Sang Hyang Kalamercu Katup
Sun umadep, Sun Umarep
Nir Hyang Kalamercu Katup
Nir Hyang Kala Mercu Katup, Nir Hyang Kala Mercu Katup
Yamaraja – Jaramaya
Yamarani – Niramaya
Yasilapa – Palasiya
Yamiroda – Daromiya
Yamidosa – Sadomiya
Yadayuda – Dayudaya
Yaciyaca – Cayasiya
Yasihama – Mahasiya
Mungguh wis pada saguh
Anggladi oyoting jati
Sakmadyaning kuwat kulup
Narima yen kataman
Isin panggawe dudu
Ninggalaken laku ngiwa
Oleha hayu swarganipun
RAJAH KOLO COKRO
Tulisan yang tergores di dada Batara Kala yang kemudian dapat dibaca oleh Batara Wisnu yang menyamar sebagai dalang Kandhabuwana. Munculnya Rajah Kalacakra itu pada upacara ruwatan dengan cerita Murwakala. Karena hal itu, Batara Kala kemudian mengikuti kehendak Batara Wisnu.

Mantra untuk mengenyahkan pelbagai kekuatan magis jahat yang mengganggu kesentosaan lahir batin pada waktu berlangsung upacara ruwatan bagi para bocah sukerta. Mantra Rajah Kalacakra dibaca berulang kali oleh ki dalang sewaktu memotong rambut bocah sukerta dan sewaktu memandikanya dengan air kembang. Dalam bentuk sebagai jimat, mantra ditulis pada kain putih dan dilipat menjadi empat.


Hong ilaheng, Sang Hyang Kalamercu Katup, Sun umadep, Sun Umarep, Nir Hyang Kalamercu Katup, Nir Hyang Kala Mercu Katup, Nir Hyang Kala Mercu Katup.
YAMARAJA…JARAMAYA - siapa yang menyerang berbalik menjadi Belas kasihan
YAMARANI…NIRAMAYA - siapa datang bermaksud buruk akan malah Menjauhi
YASILAPA…PALASIYA - siapa membuat lapar akan malah memberi Makan
YAMIRODA…DAROMIYA - siapa memaksa, malah memberi Keleluasaan atau kebebasan
YAMIDOSA…SADOMIYA - siapa membuat dosa malah membuat jasa
YADAYUDA…DAYUDAYA - siapa memerangi membalik menjadi damai
YACIYACA…CAYASIYA - siapa membuat celaka membalik menjadi Membuat sehat, sejahtera
YASIHAMA…MAHASIYA - siapa membuat rusak membalik menjadi Membangun dan sayang
Bersamaan dengan lantunan mantra Rajah ‘Kalacakra Pangruwating Diyu’, tubuh kaku Parjo berguncang kencang, semakin lama guncangan tubuh semakin kencang seolah ada kekuatan gaib yang ingin menerobos keluar.
Beberapa penduduk mulai menjauhi tempat itu, seiring dengan getaran tubuh mayat semakin keras dan kencang, bahkan tersentak-sentak laksana tersengat ribuan petir. Tiba-tiba, meloncat keluar sebentuk cahaya kehitam-hitaman berbentuk bola sebesar kepalan tangan dengan cepat laksana kilat dari dada Parjo.
Wuss ... ! Wutt ... !!
Ki Dalang Kandha Buwana yang sudah siap sedia, segera mendorongkan telapak tangan kanan yang terisi rangkuman kekuatan gaib dari mantra Rajah ‘Kalacakra Pangruwating Diyu’. Seberkas cahaya biru terang berpendar-pendar melesat cepat dan menghantam gumpalan bola cahaya kehitam-hitaman yang merupakan penjelmaan dari kekuatan setan.
Dhuess ... !!
Terdengar letupan kecil saat dua kekuatan saling bertabrakan di udara. Cahaya menyilaukan mata terpancar kuat ke segala arah. Khalayak yang ada ditempat itu segera mengantisipasi dengan cara menutup mata rapat-rapat, namun ada juga bersembunyi di belakang pohon yang ada di sekitar tempat itu. Bahkan Ayu Parameswari dan Wanengpati sampai-sampai memalingkan wajah sambil memicingkan mata dikarenakan tidak tahan dengan cahaya menyilaukan itu.
Bersamaan dengan lenyapnya cahaya menyilaukan itu, mayat Parjo pun lenyap tak berbekas, hanya menyisakan seonggok pakaian hitam!
“Hilang?”
“Mayat Parjo hilang!”
Komentar beberapa penduduk Padukuhan Songsong Bayu mewarnai hilangnya sosok mayat Parjo yang semula terbujur kaku di hadapan mereka.
“Hemm, akhirnya musnah juga kekuatan setan itu,” desis Juragan Padmanaba.
“I ya. Untuk sementara waktu kekuatan setan itu tidak akan kembali lagi.” tukas Ki Dalang Kandha Buwana alias Kakek Pemikul Gunung.
“Kenapa bisa begitu?” tanya Juragan Padmanaba, heran.
“Karena yang tadi, hanya sebagian kecil saja dari kekuatan setan,” sahut Wanengpati, lalu lanjutnya, “... kita harus mencari sumber dari segala sumber kekuatan iblis itu, sebab jika hanya anak buahnya saja yang kita hancurkan, kemungkinan kekuatan setan yang lebih besar masih bisa mengincar siapa saja yang dikehendakinya. Terutama sekali mereka yang memiliki kekuatan batin yang lemah.”
“Lalu bagaimana mengatasi masalah ini?”
Kepala Dukuh Songsong Bayu termenung beberapa saat, lalu katanya pada Ki Suro, “Ki Suro, tolong bubarkan mereka dan bereskan sekitar tempat ini. Pastikan tidak ada bagian yang tersisa atau terlewati pada benda-benda yang berhubungan dengan mayat Parjo. Pakaian hitam ini, sebaiknya kau bakar saja.”
“Baik, Juragan.” jawab Ki Suro dengan patuh.
“Lebih baik kita bicarakan masalah ini di rumahku.” kata Juragan Padmanaba.
“Baik.”

-o0o-

“Jadi ... menurutmu, Parjo-lah yang menyerang rumahmu semalam?” kata Juragan Padmanaba, kaget setelah mendengar dengan ringkas kejadian yang terjadi semalam di rumah besannya.
“Berdasarkan jejak luka di kakinya, aku berani memastikan bahwa memang Parjo yang menyamar sebagai sosok kedok hitam ... “ tutur Ki Dalang Kandha Buwana dengan yakin, “ ... ditambah lagi dengan jejak luka akibat tendangan yang dilancarkan oleh Ayu secara tidak sengaja ikut melukai si sosok hitam.”
“Yang jadi pertanyaan, kenapa sosok hitam itu menghendaki kematian Ayu anakmu? Apa tujuan mereka sebenarnya dan kenapa harus Ayu, dan bukan orang lain?” kata Juragan Padmanaba, sambungnya, ”Lalu siapa sebenarnya sosok hitam yang kedua itu? Kenapa pula ia meninggalkan mayat kawannya di termpat ini dan tidak membawanya sekalian?”
Tidak ada yang bisa menjawab serentetan pertanyaan yang dilontarkan oleh Juragan Padmanaba. Memang sulit sekali meraba arah tujuan dari dua sosok bayangan hitam yang malam itu menyatroni kediaman Kakek Pemikul Gunung. Otak empat orang itu berpikir keras, saking kerasnya diperas hingga keluar keringat sebesar jagung.
Tiba-tiba saja, Ayu berteriak, “Aku tahu!”
“Apa yang kau ketahui Ayu?” tanya Juragan Padmanaba, sambil mengatur jalan napas yang berdenyut kencang karena kaget.
“Guruku pernah memberi amanat agar aku mencegah munculnya sebuah kelompok aliran sesat dan saklah satu cirinya adalah lambang wajah setan bertanduk. Pada waktu aku baru keluar dari Jurang Tlatah Api, secara tidak sengaja aku melihat beberapa orang yang sedang melakukan ritual sesat dengan cara mengorbankan beberapa gadis desa sebagai tumbal ritual sesat mereka,“ kata Ayu Parameswari dengan berapi-api, “ ... kemudian aku mengobrak-abrik tempat itu, dan terpaksa membunuh pemimpin mereka karena ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Waktu itu aku sempat heran melihat lambang yang ada di tubuh Parjo, sepertinya aku pernah melihat, dan kuingat bahwa lambang itu sama dengan lambang yang ada di telapak tangan kiri pemimpin ritual. Lagipula pancaran hawa hitamnya juga sama persis dengan sosok yang terkena jurus tendanganku tadi malam. Meski pun menggunakan jurus-jurus silat para pendekar persilatan, tapi hawa tenaga sesatnya tetap sama, meski kadar tinggi rendahnya berbeda.”
“Jadi ... kau berkesimpulan, bahwa mereka semua memiliki hubungan erat?” tanya Wanengpati.
“Benar kakang! Dengan dasar lambang Rajah Penerus Iblis itulah aku memiliki dugaan yang kuat bahwa mereka satu aliran. Setidaknya mereka tahu bahwa akulah yang menghancurkan kelompok yang berada di sekitar Jurang Tlatah Api,” kata Ayu Parameswari dengan mantap.
“Lalu ... apa kau juga memusnahkan lambang sesat itu?” tanya ki dalang kandha buwana.
“Itulah masalahnya, Ayah! Waktu itu aku tidak tahu bahwa rajah setan itu bisa berpindah tempat dengan sendirinya. Kalau saja aku tahu ... “ kata Ayu Parameswari dengan penyesalan yang dalam.
“Kau tidak salah anakku. Apa yang kau lakukan sudah termasuk dalam darma kependekaran. Kau sudah berusaha, berhasil tidaknya kita serahkan pada Hyang Widhi,” kata Ki Dalang sambil menepuk-nepuk pundak Ayu Parameswari. “Tenangkanlah hatimu.”
“Terima kasih, ayah.”
“Lalu bagaimana jika penduduk desa ini ada yang memiliki lambang rajah setan itu? Apa perlu kita membunuhnya?” tanya Juragan Padmanaba.
Empat orang itu kembali terdiam.
“Paman, aku punya usul,” kata Ayu Parameswari setelah termenung beberapa saat, ”itu pun jika paman, ayah dan kakang Wanengpati menyetujuinya.”
“Apa usulmu, Nimas?” tanya Wanengpati dengan pandangan bertanya-tanya.
“Nanti siang kita kumpulkan seluruh warga padukuhan ini. Seluruhnya, baik tua-muda, laki-laki dan perempuan, baik yang sehat maupun yang sakit tidak terkecuali. Jika mereka bertanya-tanya, kita katakan saja bahwa Paman Padmanaba sebagai kepala dukuh ingin mengadakan ritual ruwatan sukerta untuk menangkal terjadinya serangan pagebluk yang sedang mengincar padukuhan ini ... ” kata Ayu Parameswari, lalu setelah mengambil napas sebentar, ia menyambung,” ... dengan alasan itu, aku yakin bahwa semua penduduk padukuhan ini pasti akan mengikutinya dengan sukarela. Di sini peranan ayah dan kakang Wanengpati sebagai dalang ruwat sangatlah besar.”
 
Terakhir diubah:
Bab 21

“Lalu bagaimana dengan yang tidak bisa datang? Apa perlu kita curigai bahwa mereka memiliki rajah setan itu?” tanya Wanengpati kagum dengan pemikiran adiknya yang sudah lama menghilang itu.
“Kita jemput mereka! Bukankah Paman Padmanaba punya kereta kuda yang sering digunakan untuk mengangkut hasil bumi ke pasar? Kita bisa gunakan kereta itu.” kata Ayu Parameswari dengan tandas, “Untuk curiga memang itu diperlukan, tapi saya rasa kewaspadaan lebih penting lagi.”
“Bagus, bagus sekali! Sebuah pemecahan yang cemerlang!” seru Juragan Padmanaba sambil tertawa senang, “Bagaimana Dimas, kau setuju?”
“Itu adalah pemikiran yang cemerlang. Ibarat sekali tepuk, dua pulau terlampaui!” sahut Kakek Pemikul Gunung dengan cepat.
Pada pagi itu juga, lima orang jagabaya di dibawah pimpinan Ki Suro mendatangi rumah penduduk satu persatu untuk menyampaikan perintah dari Juragan Padmanaba tentang adanya ritual ruwatan tersebut. Tentu saja berita itu disambut dengan sukacita oleh para penduduk, ada juga yang setengah percaya bahwa padukuhan itu sedang diincar oleh wabah pagebluk. Karena kepintaran lidah Ki Suro sambil memberikan bukti-bukti nyata tentang mayat Parjo yang tiba-tiba menghilang membuat orang yang semula tidak percaya, berbalik ketakutan dan akhirnya percaya penuh dengan apa yang dikatakan oleh Ki Suro.
Setelah semua penduduk menyatakan kesediaannya, Ki Suro dan empat kawannya kembali ke rumah Juragan Padmanaba untuk melaporkan segala sesuatunya. Kepala dukuh bertubuh subur itu senang melihat kesigapan dan hasil kerja anak buahnya, kemudian mereka diperintahkan menjaga perbatasan padukuhan.
Lima orang itu saling pandang satu sama lain.
“Tapi Ki ... “
“Ada apa lagi? Bukankah itu sudah menjadi tugas kalian berlima?”
“Bukan begitu, Ki! Bukankah Aki sendiri yang mengatakan bahwa semua warga padukuhan harus diruwat, lalu bagaimana dengan kami? Apa kami dibebaskan, tidak perlu mengikuti ritual ruwatan?” tanya Ki Suro dengan panjang lebar.
Betul-betul pintar bersilat lidah!
“Aduh celaka! Kenapa aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya?” pikirnya. “mereka berlima juga tidak boleh tahu apa tujuan sesungguhnya dari ruwatan kali ini.”
“Kalian tidak perlu khawatir akan hal itu,“ sahut seseorang melangkah masuk sambil memanggul sebuah gunungan wayang berwarna keemasan.
Gunungan kuning keemasan itu berukuran tiga kali lebih besar gunungan biasa. Torehan tinta dan lukisan yang ada didalamnya begitu hidup dan nyata persis sama dengan gunungan wayang pada umumnya. Yang menarik adalah sisi tepi gunungan terlihat tajam mengkilap. Itulah senjata pusaka Ki Dalang Kandha Buwana, yang membuatnya dijuluki sebagai Kakek Pemikul Gunung. Gunungan itulah yang nantinya akan digunakan untuk meruwat seluruh penduduk Padukuhan Songsong Bayu.
Mengikut di belakangnya Ayu Parameswari yang tetap berpakaian merah-merah dan Nyi Sulastri yang berjalan anggun dengan kebaya warna kuning gading. Di kepalanya bertengger sebentuk sanggul yang menambah keanggunannya sebagai istri dalang kondang.
“Oh, Ki Dalang ... “
“Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kalian berlima. Kalungkan saja benda ini di leher,” ucap Kakek Pemikul Gunung sambil merogoh saku celananya, “Ingat, jangan sampai dilepas!”
Ki Dalang Kandha Buwana segera mengangsurkan lima lempengan logam berbentuk segi delapan dengan ujung yang meruncing seperti bintang. Di atasnya tertulis beberapa Aksara Jawa yang merupakan untaian mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’. Rajah itu memang sengaja dibuat untuk para jagabaya, karena bisa dipastikan mereka tidak bisa mengikuti ritual ruwatan secara langsung.
“Bawa ini sebagai jimat pelindung kalian berlima! Orang yang memiliki kekuatan setan dan dekat-dekat dengan jimat yang kalian pakai ini, badannya akan panas membara seperti terbakar api. Benda ini khusus kuhadiahkan pada kalian berlima.” tandas Ki Dalang Kandha Buwana. “Sekali lagi, jangan sampai dilepas! Ingat itu!”
“Terima kasih, Ki!” ucap Ki Suro mewakili teman-temannya.
Maka pada siang hari itu pula, digelar ritual sukerta bagi seluruh penduduk Padukuhan Songsong Bayu, bahkan ada beberapa orang dari padukuhan sekitarnya yang mengikuti ritual tersebut. Tentu saja hal itu disambut dengan senang hati oleh Juragan Padmanaba dan hal itu justru semakin menambah kewaspadaannya tentang kemungkinan terjadinya penyusupan dari pihak lawan.
Sementara ini, di tepi hutan bagian timur nampak berjalan dua muda-mudi dengan langkah lambat-lambat sambil menikmati keindahan alam dan kicauan burung yang terdengar begitu merdu di telinga. Jika dilihat sekilas, sulit sekali membedakan dua muda-mudi itu. Mereka memiliki tinggi tubuh yang sama, wajah dan sorot mata yang sama pula, bahkan baju dan celana yang dipakai pun memiliki warna yang sama, semua serba putih.
Karena sebenarnya mereka adalah anak kembar!
Tentu saja hanya jenis kelamin mereka saja yang berbeda, satu gadis cantik dan satunya adalah seorang pemuda tampan. Si gadis memiliki rambut tergerai panjang diikat dengan pita putih dan dihias dengan sebuah bunga anggrek putih pula. Wajah bulat telur sangat sepadan dengan bibir mungil serta hidung mancung yang tercetak dengan menawan. Kulitnya pun putih bersih tanpa cacat, andaikata nyamuk pun akan merasa enggan menggigit kulit yang halus itu. Di dada padat kencang sebelah kiri tertera sulaman benang perak bergambar rajawali merentangkan sayap.
Ikat pinggang putih keperakan melingkari pinggang si gadis, bagaikan tangan-tangan kekasih yang sedang memeluk dengan mesra, dan dari balik punggung tersumbul sebuah gagang pedang dengan ukiran kepala burung rajawali yang saling bertolak belakang juga berwarna putih keperakan. Dari seluruh tubuh luarnya, mungkin hanya rambut kepalanya saja yang berwarna hitam.
Benar-benar gadis yang sangat rupawan!
Sedangkan pemuda di sebelahnya tergolong pemuda yang menarik hati. Bagaimana tidak menarik, jika sepasang alisnya yang melengkung tebal adakalanya bergerak-gerak ke atas-bawah disaat sedang diam, seakan sepasang alis itu juga berbicara pada tuannya. Belum lagi dengan seraut wajah tampan putih bersih dan bebas dari jerawat terpatri kuat dengan pancaran sinar mata lembut, sehingga seluruh wajah pemuda tampan menyerupai wajah si gadis saking halus dan putihnya, bahkan tinggi badan si pemuda sama tinggi dengan tinggi badan si gadis.
Yang berbeda adalah gambar sulaman benang perak di dada si pemuda. Jika si gadis cantik memiliki sulaman benang perak bergambar rajawali, maka di dada kiri si pemuda tertera sulaman benang perak bergambar naga berkaki empat yang sedang mengejar mutiara. Dari balik punggungnya tergantung sebuah tabung bambu putih sepanjang satu tombak, dan salah satu tabung terlihat terbuka sehingga memunculkan cahaya kemilau dari mata tombak.
Mereka berdua merupakan murid kembar dari pasangan Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait dari Benteng Dua Belas Rajawali yang menyandang gelar si Sepasang Naga Dan Rajawali. Si gadis cantik adalah murid dari Rajawali Alis Merah dan si pemuda tampan merupakan murid Naga Sakti Berkait. Ada kalanya pasangan pendekar dari Benteng Dua Belas Rajawali bertukar murid, sehingga dua muda-mudi kembar itu masing-masing memiliki gabungan dua ilmu dari pasangan suami istri tersebut. Bahkan Sepasang Naga Dan Rajawali berhasil menggabungkan dua ilmu guru mereka menjadi sebuah ilmu silat yang mereka namai sama dengan gelar kependekaran mereka, yaitu ‘Ilmu Sakti Sepasang Naga Dan Rajawali’!
“Nawara, apa benar ini tempatnya? Kok sepi sekali?”
“Kalau menurut keterangannya sih, memang ini tempatnya Nawala,” jawab si gadis yang bernama Nawara, lalu lanjutnya, “bukankah hutan ini sebagai pintu masuknya?”
“Uuh ... hutan ini kok aneh begini? Biasanya hutan itu sedikit remang-remang, banyak pohon dimana-mana dan rimbun, terus banyak binatang buas yang berkeliaran dengan bebas ... “ keluh Nawala sambil tangan kanan kiri sesekali membuat gerakan melingkar-lingkar, “ ... lha hutan ini kok malah sebaliknya. Asri, sejuk, pohon-pohon tertata rapi dan seekor binatang buas pun tak ada, cocoknya disebut taman raksasa daripada hutan. Jangankan harimau, seekor kucing pun tak nampak batang hidungnya.”
“Sudahlah Nawala, jangan mengeluh terus ... “
Dua muda-mudi kembar itu terus saja berjalan santai membelah hutan sambil berbicara panjang lebar. Tak berapa lama kemudian, mereke berdua sampai di tepi taman raksasa. Belum lagi keluar dari tepi hutan, mendadak terdengar bentakan nyaring.
“Berhenti!”
Lima sosok bayangan biru berloncatan keluar menghadang langkah dua muda-mudi kembar itu. Seorang laki-laki berkumis baplang tampak berdiri tegak di depan sebagai pemimpin sedang empat orang berdiri tepat di belakang si kumis. Masing-masing dari mereka menyelipkan sebilah golok yang cukup lebar dan besar.
“Maaf kisanak berdua, untuk sementara ini kisanak berdua tidak boleh memasuki padukuhan ini.” kata si kumis baplang yang tak lain adalah Ki Suro, pimpinan jagabaya Padukuhan Songsong Bayu.
Ki Suro tampak tertegun. Tadinya ia melihat sekilas saja, tanpa memperhatikan jelas siapa dua orang di depannya, tapi setelah memandang beberapa lama, ia baru menyadari bahwa dua orang didepannya memiliki sedikit keunikan tersendiri.
Mereka adalah dua bersaudara kembar!
“Memangnya ada apa paman?” tanya Nawala dengan sopan mencairkan lamunan Ki Suro.
“Anak muda, maaf kami tidak bisa mengatakannya. Untuk sementara waktu memang wilayah kami tertutup untuk umum,” jawab Ki Suro mengalihkan pembicaraan.
“Baiklah, paman! Kami akan mencari jalan lain saja.” kata Nawara yang sedari tadi diam, sedang Nawala hanya melontarkan seyuman ramah saja kepada laki-laki parobaya didepannya.
“Silahkan kisanak, nisanak! Sekali lagi maafkan kami,” ujar Ki Suro dengan segan.
Tentu saja segan, karena dua muda-mudi kembar itu ternyata begitu sopan dan merendah. Padahal dengan melihat gagang pedang si gadis, ia tahu bahwa mereka orang-orang rimba pendekar, mudah saja bagi mereka berdua untuk memaksa masuk ke Padukuhan Songsong Bayu, semudah membalik telapak tangan.
Tiba-tiba sebuah seruan nyaring memanggil nama mereka berdua.
“Nawala! Nawara! Akhirnya kalian sampai juga disini!”
Dari kejauhan terlihat sesosok bayangan merah berkelebat dengan cepat ke arah Nawala dan Nawara yang baru saja berjalan tiga langkah.
Sepasang Naga Dan Rajawali saling pandang sambil tersenyum simpul. Tentu saja mereka tahu siapa adanya bayangan merah yang berseru memanggil nama mereka berdua. Siapa lagi jika bukan Ayu Parameswari, murid si Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api, sahabat karib mereka berdua.
Wutt! Wutt!
Ayu Parameswari berloncatan dari pohon ke pohon dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh yang bernama ‘Naga Berjalan Di Atas Awan’. Tubuhnya terlihat berjumpalitan beberapa kali hingga akhirnya kakinya turun terlebih dahulu dan berdiri tepat di hadapan Sepasang Naga Dan Rajawali berdiri.
“Ayu!” seru Nawara sambil memeluk gadis baju merah di depannya.
Akhirnya dua gadis sama-sama cantik itu saling berpelukan melepas rindu dan kangen. Beberapa saat kemudian mereka saling melepas pelukan masing-masing.
“Wah, aku tidak kebagian dipeluk nih?” goda Nawala pada Ayu.
“Uh … maunya,” cibir Ayu Parameswari pada pemuda tampan di depannya.
“Den Ayu, mereka ... “
“Oh iya. Paman Suro, mereka ini berdua sahabat-sahabat saya. Paman tidak perlu khawatir.” jawab Ayu Parameswari sambil menyebut nama teman-temannya, “Yang perempuan bernama Nawara dan laki-laki ceriwis itu bernama Nawala.”
“Jika begitu, maafkan kelancangan saya. Saya tidak tahu jika kisanak berdua adalah teman dari Den Ayu.”
“Tidak apa-apa, paman.”
“Lebih baik, kita ke balai dukuh saja.” sahut Ayu Parameswari. “Disana sedang ada keramaian.”
“Baiklah,” sahut Nawara, lalu lanjutnya, “mari paman, saya duluan.”
“Silahkan ... silahkan ... “
Ayu Parameswari berkelebat cepat ke arah darimana ia muncul, diikuti dengan Nawara dan Nawala yang menyusul di belakangnya sejarak satu tombak jauhnya.
Slap! Lapp!
Seorang jagabaya mendekati Ki Suro sambil berkata, “Untung kita tidak jadi bentrok dengan dua orang kembar tadi, Ki.”
“Ya! Untung saja.” sahut Ki Suro pendek.
Sementara itu, tampak dua bayangan putih berkelebatan di antara pepohonan mengikuti sesosok bayangan merah di depannya. Sebentar saja, mereka bertiga sudah berada di sekitar rumah Juragan Padmanaba.
Agar tidak membuat heboh, mereka bertiga berjalan biasa saja sambil bercakap-cakap.
“Ayu, kenapa disini banyak orang? Bahkan menggelar wayang kulit segala,” tanya Nawala, lalu sambungnya, “apa kau mau menikah ya? Wah ... selamat kalau begitu!”
“Menikah kepalamu pitak! Di sini sedang ada ritual ruwatan bagi penduduk padukuhan ini.” potong Ayu dengan cepat, lalu ancamnya dengan mata melotot, “sekali lagi kau bilang ‘menikah’, kuremas mulut ceriwismu itu!”
Nawala dan Ayu jika sudah ketemu pasti terjadi perang mulut. Tidak ada yang pernah saling mengalah, dua orang itu maunya menang sendiri. Nawara hanya bisa cekikikan saja melihat saudara kembarnya beradu mulut dengan Ayu yang memang sedikit bawel itu.
“Hi-hi-hi, kalian berdua ini memang cocok satu sama lain. Lebih kalian berdua saja yang menikah.” kata Nawara, ”Aku yakin rumah tangga kalian pasti ramai sekali, hi-hi-hi!”
“Apa? Nikah sama dia?” sahut Nawala dan Ayu bersamaan.
Jari telunjuk mereka saling menunjuk satu sama lain. Jari telunjuk Nawala menunjuk hidung Ayu, sedang jari Ayu menunjuk hidung Nawala.
Benar-benar pas!
Padahal dalam hati masing-masing berkata, “Masa dia tidak mau menikah denganku?”
Tak lama kemudian, tiga orang itu sudah sampai di depan pendapa balai padukuhan, dan di sambut dengan hangat oleh Nyi Sulastri. Setelah berbasa-basi sebentar, Nawara dan Nawala mengambil tempat duduk lesehan di sudut paling belakang, berdekatan dengan gapura sebelah kiri.
Suasana nampak khidmat dan hening sekali keadaan di tempat itu. Hanya suara Ki Dalang Wanengpati yang terdengar mengalun mantap. Kibasan tangan dalam menggerakkan wayang kulit begitu hidup, bahkan terlihat sangat menjiwai peranannya sebagai dalang, seakan Ki Dalang Wanengpati sendirilah yang berperan Bathara Wisnu yang sedang meruwat Bathara Kala.
Ketika waktu sudah mencapai tengah hari, lantunan mantra sakti Rajah ‘Kalacakra Pangruwating Diyu’ kembali terdengar nyaring. Mendengar lantunan mantra jawa kuno itu, membuat penduduk padukuhan songsong bayu yang mengikuti ritual ruwatan semakin tenggelam dalam alam keheningan, bahkan desiran angin berhenti perlahan-lahan seakan sedang menikmati lantunan mantra-mantra yang keluar dari bibir Ki Dalang Wanengpati.
Akan halnya Ki Dalang Kandha Buwana duduk bersedekap sejauh dua tombak di belakang anak laki-lakinya yang sedang bertugas sebagai dalang ruwat. Matanya yang tajam menyapu ke sekeliling, satu demi satu wajah para penduduk padukuhan dilihat dengan seksama. Bola matanya sedikit bercahaya putih tipis pertanda mata batinnya sedang berkonsentrasi penuh untuk memilah satu demi satu pancaran hawa dari masing-masing orang yang ada disitu. Rupanya, untuk melihat pancaran hawa hitam dari pemilik rajah penerus iblis itu, laki-laki itu harus mengerahkan ajian yang bernama ‘Ilmu Suket Kalanjana’, suatu ilmu kuno yang berguna untuk melihat suatu pancaran hawa seseorang atau suatu benda yang memiliki kekuatan gaib atau hanya benda biasa saja.
“Hemm, tidak ada pancaran hawa hitam di tempat ini,” pikirnya, “atau barangkali mungkin ada yang terlewat dari pancaran hawa orang-orang itu? Hatiku mengatakan bahwa ada sesuatu yang berhawa sesat berada di tempat ini. Aku harus mencarinya!”
Ki Dalang Kandha Buwana alias si Kakek Pemikul Gunung segera beranjak dari tempatnya duduk bersila, namun baru berjalan dua tiga langkah, mendadak terdengar jeritan panjang menyayat. Suara jeritan wanita yang berasal dari dalam rumah Juragan Padmanaba!
“Aaaah ... panas ... panassss ... tobaat!!“
Semua orang yang ada ditempat itu tersentak kaget dari kekhusyukan masing-masing. Tanpa di komando lagi, semua warga padukuhan langsung lari tunggang langgang mendengar jerit kesakitan yang berkepanjangan itu.
“Ooooh ... panas ... panassss ... ampun!!“
“Itu suara Nyi Padmanaba!” gumam Ki Dalang Kandha Buwana.
“Benar, itu suara istriku!”
“Wanengpati, teruskan pekerjaanmu!” kata Kakek Pemikul Gunung pada anak laki-lakinya.
Bergegas dua laki-laki yang saling berbesanan itu berlarian masuk ke dalam rumah, namun baru sampai mendekati pintu, sebuah bayangan berkelebat dengan cepat seraya mendobrak pintu belakang hingga hancur berantakan.
Brakk! Drakk!!
Bayangan itu sekilas berlari cepat ke arah selatan menggunakan ilmu peringan tubuh tingkat tinggi.
“Dia lari lewat belakang!” seru Juragan Padmanaba dengam cemas.
“Kejar!”
Ki Dalang Kandha Buwana segera menyambar gunungan emasnya dan langsung menguntit bayangan yang baru saja lari lewat pintu belakang, diikuti dengan kelebatan tubuh Ayu Parameswari dan Juragan Padmanaba, bahkan Sepasang Naga Dan Rajawali pun tidak mau ketinggalan, mereka mengejar dengan ketat ke arah yang berlawanan.
Wess! Blasshh! Lapp!
“Kurang ajar! Cepat juga larinya!” batin Kakek Pemikul Gunung, lalu dengan segera ia mengempos kembali tenaganya, sontak aliran tenaga dalam mengalir cepat dan kemampuan ilmu ringan tubuhnya meningkat lima kali lipat dari sebelumnya. Ilmu lari cepat yang paling sangat diandalkannya yaitu ‘Ilmu Menjangan Punguh’ dikerahkan hingga delapan bagian!
Swoooshh ... !
Bagai seekor menjangan liar, Kakek Pemikul Gunung berlari dengan lompatan-lompatan panjang, seakan tidak memijak tanah di bawahnya. Tak lama kemudian, terlihat setitik bayangan di kejauhan sambil memegangi kepala dan mulut berteriak-teriak kesakitan.
“Hemm, rupanya pengaruh mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’ masih ada pada dirinya. Aku harus secepatnya menyusul!”
Kakek itu kembali meningkatkan tenaga dalamnya hingga ke tingkat sepuluh, tingkat yang paling tinggi dari kekuatan ‘Ilmu Menjangan Punguh’ yang dimilikinya. Segera saja pancaran sinar kuning temaram melingkupi seluruh tubuhnya, dimana pancaran sinar temaram itu membentuk sosok bayangan menjangan raksasa yang berlari cepat mengiringinya.
Blashhh ... ! Blashh ... !
Bukan main!
Ternyata kekuatan gaib yang menyusup ke dalam raga perempuan itu bukan kekuatan gaib biasa, terbukti ia mampu menahan kekuatan dari mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’ yang dilantunkan oleh Ki Dalang Wanengpati.
Wutt! Jlegg!
Setelah jarak semakin dekat, Ki Dalang Kandha Buwana melakukan gerak berjumpalitan tiga kali, lalu turun ke tanah tepat sejarak tiga tombak di depan sosok yang di kejarnya.
“Berhenti!”
Sosok wanita itu kaget. Lalu berusaha berbalik arah, namun ia sedikit terlambat!
Wutt! Wutt!
Ayu Parameswari dan Juragan Padmanaba telah berada di tempat itu dan mengepung dari arah yang berlawanan, diikuti dengan kelebatan dua bayangan putih yang datang menghampiri. Rupanya tadi Sepasang Naga Dan Rajawali tersesat ke arah lain, dikarenakan tidak mengenal wilayah Padukuhan Songsong Bayu dengan baik, namun dengan ‘Ilmu Delapan Arah Pembeda Gerak’ yang dimiliki Nawala, mereka akhirnya dapat mengetahui posisi dari bayangan yang dikejar dan sampai hampir bersamaan dengan Ayu Parameswari dan Juragan Padmanaba.
“Nyi ... “ keluh Juragan Padmanaba setelah yakin bahwa sosok yang memegangi kepalanya sambil berteriak-teriak kesakitan adalah sang istri, sambungnya, “ ... kenapa harus dirimu, Nyi? Kenapa?”
“Uaahh ... sakitt ... sakiit ... ampun ... “
Wanita berbadan ramping berkulit kuning langsat dan mengenakan kebaya itu kembali meraung-raung kesakitan sambil terus memegangi kepalanya yang terasa berdenyut-denyut. Justru karena tangan yang memegangi kepala itulah terlihat sebentuk lukisan sepasang kepala setan bertanduk menyeramkan dengan sepasang mata merah membara!

-o0o-
 
Bab 22

Mata liarnya jelalatan kesana-kemari mencari celah untuk meloloskan diri, namun tempat dimana ia berdiri sudah terkepung rapat lima orang yang mengelilinginya, namun dari ke lima orang itu yang paling ditakuti adalah Ki Dalang Kandha Buwana alias Kakek Pemikul Gunung yang berada tepat didepannya. Dikarenakan sosok dalang kondang itulah pemegang tuah mantra yang paling ditakutinya.
Mantra Rajah ‘Kalacakra Pangruwating Diyu’!
“Kakang Padmanaba, dia bukan istrimu!” seru Ki Dalang Kandha Buwana.
“Tidak! Aku yakin sekali, dialah Rengganis. Aku yakin dia ... “
“Bukan! Jika aku bilang bukan, berarti dia memang bukan istrimu!” potong Ki Dalang Kandha Buwana dengan cepat, “kalau kakang tidak percaya, lihat tangan kirinya!”
Juragan Padmanaba hampir saja membentak Kakek Pemikul Gunung karena meragukan sosok wanita itu adalah Nyi Rengganis istrinya, namun mendengar ucapan sang besan mengatakan perihal tangan kiri, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Pandangan matanya segera beralih ke tangan kiri sosok wanita itu. Sepasang mata itu tampak nanar menatap tangan kiri wanita yang memiliki salah satu dari sepasang rajah setan bertanduk. Bahkan Ayu Parameswari, Nawala dan Nawara pun ikut-ikutan menatap tangan kiri si wanita yang dikepungnya.
“Hemm, tidak ada yang aneh dengan jari tangannya, semua lengkap. Tidak berjari enam atau pun tujuh,” gumam Nawala setelah mengamati beberapa saat.
“Aku juga sama, bahkan tangannya terawat dengan baik sekali. Pasti dia wanita yang rajin merawat diri,” timpal Nawara.
Yang terlihat oleh tiga anak muda itu memang sebentuk tangan halus wanita dengan balutan kulit kuning langsat dengan jari-jari yang terawat rapi, bahkan kukunya cenderung runcing namun bersih.
Namun bagi Juragan Padmanaba dan Ki Dalang Kandha Buwana malah memiliki pandangan yang berbeda. Justru dikarenakan jari tangan dan kuku yang lengkap dan terawat rapi itulah yang membuat Juragan Padmanaba sedikit tersentak kaget, karena setahunya jari manis kiri Nyi Rengganis terpotong sabit sebatas kuku, sedang sosok wanita di yang diakui sebagai istri memiliki memiliki jari tangan yang lengkap. Jelas wanita itu adalah ...
Nyi Rengganis palsu!
“Benar ... dia memang bukan istriku!” gumam laki-laki tambun itu sedikit terhenyak.
“Kakang Padmanaba, tolong ... tolonglah aku ... aaaahh ... kepalaku sa ... kitt ... sakit sekali ...”
“Kau bukan istriku! Siapa kau sebenarnya!?” bentak Juragan Padmanaba dengan keras.
Suaranya keras menggelegar bak petir di siang hari. Getaran suara yang sarat dengan kemarahan dan luapan emosi berbaur dengan kekuatan tenaga dalam tanpa wujud terlontar dari ‘Ajian Gelap Ngampar’ tanpa disadarinya. Gendang telinga khalayak yang ada disitu serasa ditusuk-tusuk ribuan jarum tajam, bahkan sosok wanita yang ternyata Nyi Rengganis palsu nampak terhuyung-huyung sampai akhirnya jatuh terjengkang.
Justru karena lontaran ‘Ajian Gelap Ngampar’ membuat tuah mantra sakti penolak setan menjadi tawar!
Nyi Renggani palsu akhirnya bangkit berdiri setelah rasa sakit yang menyerang kepalanya sirna.
“Terima kasih, kakang! Kau telah ... “
“Aku bukan suamimu!” bentak Juragan Padmanaba dengan kecewa, karena justru bentakan penuh emosi tadi membuat wanita itu sadar kembali, “Siapa kau sebenarnya? Dan apa yang telah kau lakukan pada istriku!?”
“Nisanak, untuk apa kau menyamar sebagai Nyi Rengganis?” tanya Ki Dalang Kandha Buwana dengan tajam.
“Kakang Padmanaba, aku ini benar-benar istrimu! Istrimu yang sesungguhnya ... “ ucap Nyi Rengganis palsu, berusaha meyakinkan Kepala Dukuh Songsong Bayu.
“Tidak! Kau bukan istriku! Sekali kubilang tidak, maka selamanya tidak!!” bentak Juragan Padmanaba dengan keras, namun kali ini suara keras itu dilambari dengan ‘Ajian Gelap Ngampar’ tingkat tinggi.
Swoshh ... buasshh ... !!
Sontak, tempat itu bagai diguncang gempa bumi kecil, tanah bergetar cukup kencang disertai tiupan angin yang sedikit membadai, bahkan beberapa pohon kecil yang ada di depannya ikut tercabut dari akar-akarnya dan akhirnya tumbang setelah terlempar dua tiga tombak.
Brakk ... Blamm ... !!
Bahkan Kakek Pemikul Gunung harus mengerahkan dua ilmu andalannya sekaligus yaitu ilmu kebal ‘Aji Tameng Wojo’ untuk melindungi tubuhnya dari lontaran serangan ‘Ajian Gelap Ngampar’ Juragan Padmanaba dan ‘Aji Gajah Wulung’ untuk memberatkan tubuh agar tidak tersapu angin kencang yang menerpa dari depan.
“Gila! ‘Ajian Gelap Ngampar’ Kakang Padmanaba sudah mencapai tahap pamungkas! Betul-betul ilmu yang dashyat. Entah bagaimana dengan ‘Pukulan Gelap Sewu’ miliknya?” kata hati Ki Dalang Kandha Buwana memuji.
Bahkan gadis cantik murid tunggal Naga Bara Merah dan si kembar dari Benteng Dua Belas Rajawali menerima serangan yang tidak kalah parahnya. Mereka bertiga harus membentengi diri dari serangan tidak langsung ilmu yang dikerahkan oleh kepala Dukuh Songsong Bayu dengan kekuatan tenaga dalam masing-masing.
“Uhh ... gila benar! Ilmu macam apa ini?” gerutu Nawala sambil menutup telinga dengan tangan yang sudah dialiri tenaga dalam untuk menahan getaran tersebut.
Justru yang paling parah adalah Nyi Rengganis palsu. Tubuhnya langsung terlempar keras, hingga menabrak hancur beberapa pohon.
Brakk! Krakk!!
Justru sialnya, arah lemparan tubuh ramping berkebaya ke arah sosok laki-laki bersenjatakan gunungan emas berdiri. Dengan manis, ki dalang segera mengulurkan tangan kanan menyentuh punggung, lalu dengan gerakan cepat memutar ke kanan luar dalam jurus ‘Kibasan Gunungan Wayang Kulit’, tubuh wanita itu justru semakin terlempar jauh dan keras sekali menghantam sebuah batu hitam sebesar sapi.
Wutt! Blarr!!
Terdengar benturan keras saat tubuh wanita pemilik sepasang rajah setan bertanduk membentur batu. Meski sudah dihajar dengan dua kekuatan tangguh, namun wanita itu masih bisa bangkit bahkan kini berdiri tegak. Tak terlihat roman kesakitan dari wajahnya.
“Huh, sudahlah! Aku tidak akan bermain sandiwara lagi!”
“Bagus kalau kau sudah menyadarinya.”
“Kalau kau tanya istrimu, lebih baik kau tanyakan saja pada raja akhirat!”
“Wanita keparat! Kau ... kau telah membunuh istriku!?” suara Juragan Padmanaba sedikit bergetar mengetahui bahwa istrinya telah tiada. Sebagian dari sisi hatinya telah hilang untuk selamanya. Dia haanya bisa menangis tersedu-sedu sambil berjongkok.
Ayu Parameswari segera menghampiri sosok tambun itu, namun tidak ada kata yang bisa terucap untuk menghibur kesedihan mertua dari kakaknya itu.
Sementara itu, wanita yang menyamar sebagai Nyi Rengganis segera meraba wajah, lalu dengan tarikan yang kuat, dia menarik sesuatu dari wajah cantiknya.
Srett!
Seraut wajah yang lumayan cantik berkulit putih cemerlang, namun matanya berkesan jalang dengan hidung yang cukup mancung dipadu dengan sebentuk bibir tipis menggiurkan.
“Aku pun juga sudah bosan memakai baju kumal seperti ini!”
Brett! Brett!
Dalam satu tarikan napas saja, kebaya wanita itu sudah hancur tercabik-cabik, sehingga terlihat sebentuk baju dalam hitam ketat. Baju hitam ketat itu membentuk badan ramping dari seorang wanita umur lima puluhan tahun. Meski sudah berusia setengah abad, namun pancaran kecantikannya masih terlihat sempurna untuk ukuran wanita seusianya.
“Oooo ... ternyata cuma si kucing garong! Kukira siapa?” seru Nawala setelah beberapa saat mengamati wanita cantik itu beberapa saat.
“Bocah keparat! Sekali lagi kau mengatakan kucing garong, kubeset mulutmu!”
“Nawala, rupanya kucing garong itu masih kangen denganmu!” seru Nawara sambil tertawa geli.
“Bah! Paling-paling juga, kangen sama anginku ... maksudku sama angin busuk alias ... kentut!”
“Bangsat kecil! Kurobek mulutmu!” bentak wanita yang disebut ‘kucing garong’ oleh Nawala.
“Bangsat besar! Kalau kau berani, sini ... beset mulutku, tapi pakai bibir ya? Jangan pakai tangan!” seloroh Nawala sambil mengangsurkan mulutnya ke depan, “Nih!”
“Kurang ajar!”
Wanita itu sangat marah dengan perbuatan salah satu dari Sepasang Naga Dan Rajawali. Memang pada setahun silam, wanita cantik berbaju hitam ketat yang menyebut diri sebagai Kucing Iblis Sembilan Nyawa dan suaminya si Musang Terbang Tangan Hitam dari Partai Sarang Iblis dan Setan yang bernaung di bawah bendera Benteng Tebing Hitam pernah menyatroni Benteng Dua Belas Rajawali, untuk melakukan penyelidikan mengenai kekuatan aliran putih yang sedang memupuk diri.
Pasangan golongan sesat yang terkenal dengan ilmu ringan tubuhnya itu diutus oleh Roda Sakti Tujuh Putaran untuk menyelidiki seberapa besar kekuatan aliran putih, namun akhirnya penyelidikan mereka kandas, dikarenakan kepergok oleh murid kembar dari Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait. Setelah terjadi baku hantam beberapa puluh jurus, dengan terpaksa pasangan dari Partai Sarang Iblis dan Setan harus angkat kaki karena tidak kuasa menahan gempuran Sepasang Naga Dan Rajawali, terutama dengan ilmu pasangan pedang dan tombak dua anak kembar itu.
“Kucing garong, mana suamimu si musang busuk itu? Kenapa tidak kelihatan batang hidungnya? Sudah mampus ya!?” kata Nawala dengan sedikit bercanda. Memang diantara Nawara dan Nawala, hanya si pemuda saja yang paling suka bercanda.
Kucing Iblis Sembilan Nyawa hanya melirik saja pada Ki Dalang Kandha Buwana.
“Kakek Pemikul Gunung! Kau harus menggantikan nyawa suamiku yang tewas ditanganmu!” geram Kucing Iblis Sembilan Nyawa, suara terdengar bergetar.
“Jadi ... “
“Ya! Laki-laki yang menyatroni rumahmu kemarin malam adalah suamiku, Musang Terbang Tangan Hitam!” sebelum kata-katanya selesai, Kucing Iblis Sembilan Nyawa sudah menyerang ke arah Ki Dalang dengan sepasang cakar terkembang.
Sett!
Namun baru sampai setengah jalan, tiba-tiba saja Juragan Padmanaba yang tadi sedang menangis dikarenakan kehilangan istri, mendadak menerjang maju ke arah Kucing Iblis Sembilan Nyawa. Sepasang telapak tangannya yang besar nampak terselimuti oleh pendaran cahaya hitam keunguan dan sekarang terulur ke depan dalam sebuah dorongan yang kuat.
Wukk!
Dalam kemarahannya, Juragan Padmanaba merapal satu ilmu andalannya yang bernama ‘Pukulan Gelap Sewu’, sebuah ilmu pukulan maut yang memiliki tenaga penghancur kelas tinggi bahkan bisa menghancurkan bukit cadas dalam sekali pukul. Jika yang jadi sasaran adalah tubuh manusia, bisa dibayangkan apa akibat yang bakal terjadi, tubuh bakal hancur lebur menjadi bubur!
Selama ini, laki-laki bertubuh tambun itu memang selalu menyembunyikan ilmu kesaktian yang dimilikinya, hanya Kakek Pemikul Gunung saja yang mengetahui kalau sosok kepala Dukuh Songsong Bayu adalah orang berilmu tinggi. Setiap kali ditanya oleh kakek yang bersenjatakan Gunungan Emas kenapa ia tidak mau mengangkat nama harum di kalangan rimba persilatan, selalu dijawab dengan alasan yang cukup sederhana.
Karena ia orang yang cinta damai!
Ia tidak mau repot dengan urusan tetek-bengek yang berhubungan dengan darah, segala bentuk balas dendam, saling jegal satu sama lain, bahkan sampai lempar batu sembunyi tangan, terlebih lagi dengan rebutan kitab sakti dan senjata pusaka, terlebih lagi dengan segala macam tipu muslihat antar sesama pendekar. Itulah gambaran rimba persilatan menurut Juragan Padmanaba, gambaran yang membuatnya malas terjun ke rimba hijau. Bahkan mantunya, anak dari Ki Dalang Kandha Buwana yang bernama Wanengpati pun sudah diwanti-wanti agar tidak ikut dalam kancah berdarah seperti itu.
Sebagai sosok yang juga cinta damai sama seperti mertuanya, Wanengpati pun tidak keberatan dengan hal itu, karena mengingat pengalaman pahit yang dialami oleh sang ayah saat perebutan gelar pendekar rimba persilatan di Bukit Kuda Putih pada tiga puluhan tahun yang lalu.
Sekarang, dalam suatu keterpaksaan yang ditimbulkan oleh Kucing Iblis Sembilan Nyawa, Juragan Padmanaba dipaksa melanggar apa yang selama ini tidak ingin ia lakukan, yaitu ...
Balas dendam!
Sebentuk cahaya hitam keunguan yang bersumber dari ‘Pukulan Gelap Sewu’ berkiblat cepat ke arah sosok wanita berbaju hitam itu.
Wutt! Wesshh ... !
Melihat serangan dadakan pembawa maut itu, sosok wanita sesat baju hitam ketat tidak mau tinggal diam begitu saja dirinya dihantam tanpa melawan sama sekali. Tangannya segera berputar cepat setengah lingkaran di depan dada, dimana gerakan itu merupakan gerakan pembuka dari ‘Pukulan Tangan Kabut Hitam’, lalu diikuti hentakan kaki ke tanah, segumpal kabut hitam pun melesat keluar dari tangannya, memapak serangan lawan.
Buashh ... ! Dhuass ... Dharr ... Jdharrr!!
Terdengar benturan keras antara ‘Pukulan Tangan Kabut Hitam’ milik Kucing Iblis Sembilan Nyawa dengan ‘Pukulan Gelap Sewu’ milik Juragan Padmanaba. Tubuh laki-laki tambun itu sedikit terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak, jika tidak ditahan oleh Ayu Parameswari mungkin sudah jatuh terjengkang ke tanah. Terlihat segumpal darah kehitam-hitaman terlempar keluar dari mulutnya.
“Hoekhh ... !”
Pertanda luka dalam yang diderita cukup parah akibat benturan yang terjadi. Sedangkan kondisi lawan justru malah jauh lebih parah. Tubuhnya terlempar dengan deras ke belakang dengan darah merah berhamburan di udara, dan pada akhirnya jatuh bergulingan di tanah.
Brukk!
Namun sesaat kemudian ia sudah berdiri tegak dalam kondisi yang mengenaskan!
Justru yang membuat lima pengepungnya terpana adalah sebuah lubang menganga yang cukup besar di bagian perut hingga tembus sampai ke punggung, lubang sebesar kepala bayi. Tapi dengan luka tubuh sebesar itu, Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang seharusnya tewas, justru masih kelihatan segar bugar, seakan tidak memiliki jejak luka yang mengerikan.
Cuhh!
Ia meludahi telapak tangan kanan kiri, lalu dengan segera mengusap pulang balik ke depan dan belakang tubuh, seolah hendak menutupi luka yang menganga lebar. Dan sungguh ajaib, luka tembus sebesar kepala bayi yang diakibatkan oleh pukulan Juragan Padmanaba yang terangkum dalam ‘Pukulan Gelap Sewu’ telah pulih seperti sediakala,e kembali merapat seperti tidak pernah terluka sama sekali. Tersisa hanya ceceran darah merah di baju hitam yang dikenakannya, tentu saja baju hitamnya tidak dapat pulih kembali, tetap robek sebesar kepala bayi dan menampak sebentuk pusar seorang wanita.
“Ilmu ‘Rawa Rontek’!” desis Ki Dalang Kandha Buwana mengenali jenis ilmu yang dimiliki oleh lawan.
Sebagai orang yang mendalami ‘Kitab Sastra Hati’, tentu saja Ki Dalang Kandha Buwana dan Ki Wanengpati mengenal segala jenis ilmu-ilmu hitam, termasuk juga ‘Ilmu Rawa Rontek’ yang saat ini dipertontonkan di depan mata tuanya.
‘Ilmu Rawa Rontek’ membuat orang yang memilikinya bisa hidup kembali selama masih menyentuh tanah meski raga sudah hancur terpotong-potong bahkan menjadi potongan kecil sekali pun. Andaikata sampai kepala tertebas pedang dan golok sekali pun, tubuhnya masih bisa tersambung kembali. Konon kabarnya kekuatan ilmu hitam tingkat tinggi ini sanggup menahan pukulan bertenaga dalam tinggi dan serangan senjata pusaka.
Sebuah tataran ilmu yang sangat mengerikan!
Karena adanya rajah setan bertanduk itu pula, yang membuat kedashyatan ‘Ilmu Rawa Rontek’ semakin menampakkan taringnya, di mana proses penyembuhan luka dan penyambungan tubuh dapat berlangsung dalam satu kedipan mata.
Dan kini ... kengerian itu dipertontonkan di depan tiga orang jago-jago muda persilatan. Sepasang Naga Dan Rajawali hanya bisa meleletkan lidah saja melihat peragaan ilmu hitam yang bernama ‘Ilmu Rawa Rontek’, sedangkan Ayu Parameswari hanya tertegun tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun!
“Hi-hi-hik, bandot tua sepertimu juga mengenal kehebatan ilmu andalanku ini!”
“Ilmu setan seperti itu, apa hebatnya!?” ejek Nawala. “Paling juga bisanya menakuti anak kecil!”
“Bocah, tempo hari aku memang kalah darimu! Namun sekarang, setelah Paduka Raja menganugerahkan ilmu sakti ini padaku, tahun depan adalah hari peringatan kematianmu!” bentak Kucing Iblis Sembilan Nyawa dengan berang. Sudah muak rasanya ia mendengar olok-olok dari pemuda kembar itu. Lalu sambil menuding Nawala dia berkata, “Lebih baik, kalian maju bersamaan!”
“Ahh ... yang benar!?” kata murid Naga Sakti Berkait, lalu menoleh pada saudara kembarnya, “Nawara, bagaimana pendapatmu?”
Di saat genting seperti ini, sempat-sempatnya pemuda itu meminta pendapat saudara kembarnya, dengan gaya yang kocak pula!
“Kucing buduk itu sendiri yang meminta, jadi apa salahnya kita mengabulkan permintaan mereka?”
Tiba-tiba saja Ayu Parameswari menyela, “Tunggu dulu! Aku juga pengin sekali menggebuk matang pantat wanita sial itu! Nawala, kau khan laki-laki, sebaiknya urusan ini biar para gadis saja yang menyelesaikannya! Kalau kau yang menyentuhnya, keenakan dia!”
Dengan mengangkat dua tangan tanda menyerah, Nawala pun mengundurkan diri sambil berkata, “Baiklah kalau itu maumu, sayang! Aku hanya bisa menonton saja!”
“Apa kau bilang? Sayang kepalamu pitak!”
“Cukup! Aku muak mendengar perkataan kalian yang tak karuan juntrungannya itu!” bentak Kucing Iblis Sembilan Nyawa, seakan dirinya dianggap tidak ada oleh dua orang itu.
Ayu Parameswari yang memang sudah gatal tangannya, segera melancarkan sebuah tendangan berantai dengan cepat ke arah kepala lawan.
Wett! Syattt!!
Murid tunggal Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api yang sudah mengetahui kehebatan lawan, tidak tanggung-tanggung dalam mengerahkan jurus-jurus silatnya. ‘Ilmu Silat Naga Langit Timur’ di kerahkan tanpa perlu ditahan lagi, bahkan aliran tenaga dalamnya pun semakin deras, maka sosok bayangan naga berwarna merah pekat seakan ikut keluar dari tubuh Ayu Parameswari. Sosok samar bayangan naga itu telah menyatu dengan tubuh anak gadis Kakek Pemikul Gunung yang bergerak lincah dalam memainkan jurus-jurus silat tingkat tinggi.
Wessh! Wakk!!
Akan halnya Kucing Iblis Sembilan Nyawa juga melakukan hal sama. Meski dirinya memiliki ‘Ilmu Rawa Rontek’ namun dirinya sadar bahwa ilmu itu tidak bisa dipakai dalam pertarungan sesungguhnya. Kekuatan hitam sesat yang bersumber dari rajah setan bertanduk berbaur menjadi satu dengan ‘Tenaga Hitam Siluman Kucing’, sehingga kekuatan yang dimilikinya semakin meningkat pesat, maka tampaklah sosok samar bayangan kucing raksasa bermata hijau menyala. Sepasang tangannya yang memiliki kuku-kuku runcing bagaikan cakar-cakar kucing, silih berganti menerjang lawan.
Sratt! Sratt! Prakk! Crakk!
Jurus ‘Sepasang Cakar Naga Membentur Gunung’ bertemu dengan jurus ‘Cakar Kucing Mengaduk Tanah’, sehingga terdengar suara tulang beradu keras.
“Gila! Tulang bocah itu keras juga! Aku lebih hati-hati terhadapnya,” batin Kucing Iblis Sembilan Nyawa sambil mengerahkan ‘Tenaga Hitam Siluman Kucing’ untuk mengatasi rasa ngilu di tulang tangannya.
“Tenaga si kucing garong ini sarat dengan hawa setan. Untunglah Nenek Guru telah mengajarkan cara menghalau tenaga sesat, kalau tidak tentu aku terjungkal dari tadi,” batin Ayu Parameswari sambil mengalirkan tenaga dalamnya untuk menghilangkan rasa sakit dan ngilu akibat benturan keras barusan.

-o0o-
 
Bab 23

Saat itu pertarungan menjadi semakin seru.
Sesekali bayangan naga merah melibas dengan garang, sedangkan bayangan kucing hitam raksasa menghindar dengan gesit. Adakalanya bayangan kucing hitam raksasa berusaha menyerang ke arah ekor bayangan naga merah, namun dengan gerakan manis, mulut naga merah menghembuskan napas apinya untuk menghalau. Begitulah, pertarungan maut yang mempertontonkan peragaan ilmu-ilmu silat kelas tinggi dan dipadu dengan kemampuan mengolah tenaga dalam nomor wahid dari dasar ilmu silat masing-masing, seakan larut menjadi satu dengan raga pemiliknya.
Yang muda adalah pewaris tunggal dari Naga Bara Merah yang juga merupakan salah satu dari Empat Pengawal Gerbang Utama bagian timur dari Istana Elang yang juga disebut Sang Api. Gadis yang memiliki Rajah Naga Merah Darah yang secara sah telah diangkat sebagai pengganti Pengawal Gerbang Timur Istana Elang.
Sedang satunya adalah salah satu dari pasangan suami-istri pentolan sesat Partai Sarang Iblis Dan Setan, yang kini bernaung di bawah bendera Benteng Tebing Hitam. Sejak suaminya Musang Terbang Tangan Hitam yang menyamar sebagai Parjo, dan tanpa sengaja tewas di tangan Ki Dalang Kandha Buwana, ia mulai menyamar sebagai Nyi Rengganis, istri Juragan Padmanaba. Tentu saja ia harus menyingkirkan terlebih dahulu Nyi Rengganis asli.
Meski penyamaran mereka berdua sudah berlangsung satu purnama lebih dengan berganti-ganti rupa, tabiat suaminya yang suka dengan daun-daun muda tidak hilang begitu saja. Justru karena si Musang Terbang Tangan Hitam salah mengincar mangsa, maka ia harus merelakan nyawanya di tangan ayah si gadis yang diincarnya!
Prakk! Prakk! Daar!!
Kembali terdengar benturan keras saat tendangan ‘Naga Menggiling Padi’ milik Ayu Parameswari tepat mengenai dada, pundak dan pelipis kiri lawan dengan beruntun. Wanita berbaju hitam ketat itu langsung terpelenting ke tanah dengan keras diiringi teriakan kesakitan. Dada terasa sesak, pundak kiri tergeser ke samping, kepala pening dan yang pasti mata berkunang-kunang.
“Kurang ajar! Jurus tendangan bocah perempuan itu makin lama semakin cepat dan ganas!” keluhnya dalam hati, “untung saja hawa pelindung tubuhku cukup tebal.”
Kucing Iblis Sembilan Nyawa segera mengibaskan tangan kanan yang membentuk cakar ke arah Ayu Parameswari yang diwaktu melihat lawan sedang kepayahan, langsung melakukan pukulan susulan dengan telapak tangan kanan miring berniat memapas bagian leher.
Wutt! Plakk!
Cakar tangan sarat dengan tenaga dalam itu berbenturan keras dengan telapak tangan si gadis baju merah, karena posisi si gadis yang sedang melayang membuatnya terpental sambil berjumpalitan ke belakang.
Wutt! Jlegg!
Langsung berdiri tegak di atas tanah.
“Tanganku rasanya kebas saat membentur jurus cakar si kucing garong itu,” gumam Ayu Parameswari sambil mengalirkan tenaga untuk memulihkan kondisi tangannya.
Sebagai murid tunggal dan sekaligus pewaris dari Naga Bara Merah, Ayu Parameswari tentu memiliki ilmu yang tinggi, bahkan sampai senjata pusakanya gurunya yang bernama Kipas Naga Sutera Merah kini telah berganti majikan lengkap dengan jurus-jurus ‘Kipas Pengacau Langit’, bahkan ilmu kesaktian yang dimilikinya sejajar dengan tokoh-tokoh kosen rimba persilatan masa kini. ‘Ilmu Silat Naga Langit Timur’ yang berjumlah 18 jurus silat terdiri dari atas 15 jurus tendangan, 2 jurus pukulan dan yang paling akhir adalah 1 jurus telapak telah dikuasai dengan sempurna. Bahkan ‘Tenaga Sakti Naga Langit Timur’ pun sudah sampai pada tahap pamungkas.
Tahap ke sepuluh!
Sekarang, menghadapi tokoh hitam sekelas Kucing Iblis Sembilan Nyawa berjalan dengan seimbang tentu saja dapat dimaklumi, apalagi wanita sesat itu telah disusupi oleh sebentuk kekuatan setan yang membuat ilmu kesaktiannya menjadi meningkat puluhan kali lipat dari aslinya, bahkan sampai ‘Tenaga Hitam Siluman Kucing’ yang selama ini dipelajari dengan cara memuja Ratu Siluman Kucing pun meningkat pesat.
Sehingga pertarungan kali ini ibarat pertarungan hidup mati antara kebaikan melawan kejahatan!
Berkali-kali pukulan, cakaran, tamparan dan tendangan mereka saling beradu keras dan berkali-kali pula mereka terlontar balik akibat benturan yang terjadi. Ketika menginjak jurus yang ke seratus lima, posisi masing-masing sedang melayang di udara dimana Ayu Parameswari sedang melancarkan salah jurus pamungkasnya yang bernama ‘Telapak Naga Turun Dari Langit’ dengan kekuatan tenaga dalam delapan bagian. Seberkas hawa naga berwarrna merah pekat terlihat memancar keluar dari sepasang telapak tangan yang terbuka lebar itu.
Hoargghh ... !
Terdengar raungan naga yang membuncah diiringi dengan pekikan nyaring yang kian membahana memenuhi angkasa, bahkan arena pertarungan berguncang cukup keras disaat sepasang hawa naga itu terlihat meraung keras memperlihatkan rentetan gigi-giginya yang tajam sambil badannya meliuk-liuk di angkasa turun ke bumi.
Sepasang tangan Ayu Parameswari yang mengerahkan jurus ‘Telapak Naga Turun Dari Langit’ berulangkali berputar-putar saling susul menyusul sehingga membentuk gulungan hawa naga menjadi semakin pekat diiringi suara desisan menyelingi raungan naga yang semakin mengangkasa.
Woshhh ... Cwozz ... !!
Melihat hal itu, Kucing Iblis Sembilan Nyawa juga tidak tinggal diam. Sepasang telapak tangannya yang berkuku runcing tajam bercuitan keras membelah udara diiringi dengan kepulan kabut hitam yang semakin santer.
Swoshh ... Swoshh … Syatt!!
Kuku-kuku tajam itu saling menjentik satu sama lain sehingga menghasilkan larikan-larikan kabut hitam yang semakin banyak jumlahnya. Bau amis darah tercium keluar saat larikan-larikan kabut hitam itu mulai menggumpal menjadi sebentuk bola hitam raksasa menyelubungi Kucing Iblis Sembilan Nyawa didalamnya disertai suara ribut yang cukup menusuk telinga. Rupanya wanita sesat itu sedang mengerahkan tingkat tertinggi dari ‘Tenaga Hitam Siluman Kucing’ yang terlah tercampur dengan tuah rajah setan bertanduk yang ada di punggung tangannya serta disatukan dengan ‘Pukulan Tangan Kabut Hitam’!
Syuuung … Wuung!!!
Raungan naga dan cuitan tajam saling bertubrukan menghasilkan getaran-getaran suara yang bias menjebol telinga. Akibatnya, Ki Dalang Kandha Buwana yang saat ini berdiri dekat dengan Juragan Padmanaba serta Sepasang Naga Dan Rajawali harus mengerahkan tenaga dalam masing-masing untuk menahan getaran suara yang semakin lama seakan merobek pecah gendang telinga.
Sebuah kengerian yang dipertontonkan dengan amat dahsyat!
“Kakang Padmanaba, tutupi telingamu dengan tanah! Cepat!”
Juragan Padmanaba yang paling rendah ilmunya diantara mereka berempat, segera saja meraup segumpal tanah lalu ditutupkan diantara ke dua lubang telinga. Sebentar kemudian, suara dengingan sudah lumayan berkurang, tidak seperti sebelumnya.
Saat dua ilmu sakti berbeda sifat itu sudah mencapai titik puncak, dengan cepat laksana sambaran kilat, dua wanita berilmu tinggi itu menghantamkan ilmu masing-masing ke arah lawan.
Cwoss ... Swoshh ... Srakk!!
Terdengar suara gesekan dengan udara bagai sayatan pisau di sekitar mereka saat masing-masing menghantamkan ilmunya. Sepasang hawa naga yang berasal dari ilmu ‘Telapak Naga Turun Dari Langit’ dengan mulut terpentang lebar seakan ingin menelan bongkahan bola kabut hitam yang ada didepannya.
Hoarghhh!! Srakk! Dhesss!! Dhuaarrr!! Jderrr ... !!
Hawa naga sebelah kiri mendahului menelan bongkahan kabut hitam milik Kucing Iblis Sembilan Nyawa. Kontan keduanya langsung meledak memperdengarkan suara yang keras diiringi pancaran cahaya abu-abu terang yang menyilaukan mata.
Empat orang yang ada ditempat itu tampak memicingkan mata saat cahaya itu menerpa mata mereka. Nawara menyadari ada yang tidak beres dengan pancaran cahaya itu, segera saja maju ke depan sembari mendorongkan sepasang tangan yang berpendar putih perak yang terangkum dalam ‘Ilmu Benteng Baja Dan Tembaga’ membentuk dinding pelindung bagi mereka berempat.
Sratt! Brakk! Brakk!
Benar saja, terdengar benturan keras antara dinding pelindung dengan pantulan cahaya abu-abu terang itu.
Sedangkan hawa naga yang sebelah kanan terlihat meliuk ke atas, lalu dengan kecepatan luar biasa, menerjang ke arah Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang tampak terkesiap melihat hawa naga itu bisa berubah haluan.
Hoarghh!!
Tanpa bisa menghindar lagi, mulut naga itu langsung menelan Kucing Iblis Sembilan Nyawa bulat-bulat!
Srakk! Jdarr!!
Diikuti dengan hawa naga raksasa yang langsung meluruk masuk ke dalam tanah diikuti suara keras bak halilintar menyambar. Setelah hawa naga itu menghilang amblas ke dalam tanah, terlihat seonggok daging yang sudah hancur lebur seperti bubur, susah sekali untuk dikenali wujudnya.
Ayu parameswari yang telah selesai mengerahkan ilmu pamungkas, terlihat sedang mengatur napas. Dadanya turun naik dengan cepat, pertanda bahwa ilmu yang dikerahkan barusan hampir menggunakan seluruh dari ‘Tenaga Sakti Naga Langit Timur’-nya.
“Ayu, kau hebat!” kata Nawala sambil mengacungkan jempol kanan.
Selesai Nawala berucap, tiba-tiba keluar suatu kejadian aneh. Sesosok bayangan hitam tampak berkelebat cepat laksana angin berhembus, melompati sosok tubuh Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang sudah menjadi bubur dengan cepat.
Splashh! Lapp!
Bersamaan dengan hilangnya sosok bayangan kecil itu, jasad halus wanita sesat itu juga ikut lenyap tak berbekas!
“Apa itu?” tanya Nawara tanpa sadar, seolah bayangan hitam tadi membuatnya terpana sesaat.
“Entahlah! Tapi yang jelas, ia telah membawa pergi bubur kucing itu,” kata Nawala seenaknya.
“Hmm, apa ini?” kata Juragan Padmanaba yang sedari awal hanya terbengong melompong, melihat sesuatu yang aneh dari bekas tempat mayat wanita sesat, suatu benda hitam yang sangat lembut dan halus mengkilap.
Bulu hitam!
“Apa yang kau temukan, Kakang Padmanaba?”
Laki-laki tambun itu tidak menjawab pertanyaan Ki Dalang Kandha Buwana yang saat itu sudah berjongkok di sebelah kiri.
Setelah mengamati beberapa saat, ia bergumam sendiri, ”Ini ... bulu ... bulu kucing?”
“Bulu kucing?”
“Mungkin bulu kucing atau sejenis musang,” gumam Juragan Padmanaba sambil memperhatikan bulu itu lebih jauh.
Tak berani ia menyentuh bulu itu dengan tangan, tapi dengan sebuah ranting kecil yang tergeletak di situ.
“Itu memang bulu kucing!” sahut Nawala dengan tegas.
Juragan Padmanaba menoleh, sambil bertanya, “Darimana Nakmas tahu jika ini bulu kucing?”
“Mudah sekali, paman! Setahun yang lalu, kucing iblis sembilan nyawa dan musang terbang tangan hitam pernah menyatroni tempat kami, tapi gagal total. Saat itu terjadi perkelahian dan wanita sesat itu berhasil kami pecundangi. Namun saat kami akan menghabisinya, seekor kucing hitam datang menolong mereka yang saat itu dalam keadaan sekarat menunggu ajal. Kucing hitam itu mendadak melompati tubuh dua orang itu, dan mereka berdua langsung menghilang begitu saja. Hilang tak berbekas. Guru menyadari bahwa kucing itu bukan kucing biasa, tapi kucing jadi-jadian. Lalu dihantam dengan ‘Pukulan Paruh Rajawali’, hingga akhirnya kucing hitam itu mati seketika. Namun, beberapa saat kemudian, kucing hitam itu hidup lagi, lalu menghilang di kegelapan malam,” tutur Nawala panjang lebar.
“Dan lagi, di ekor kucing itu sudah ada tujuh sayatan. Menurut guru, kucing hitam itu adalah Ratu Siluman Kucing, majikan yang sesungguhnya dari Kucing Iblis Sembilan Nyawa. Sedangkan jumlah sayatan berarti ia pernah mengalani beberapa kali kematian,“ tambah Nawara, lalu sambungnya, “sebelum kucing hitam itu hidup kembali, bertambah lagi satu sayatan di ekornya. Jadi bisa disimpulkan bahwa ia pernah mati delapan kali, mati satu kali di tangan guru kami berdua.”
“Jadi ... jika jumlah sayatan berjumlah sembilan, apa yang akan terjadi?” tanya Ayu Parameswari dengan tertarik.
“Mungkin ia akan mati dengan abadi alias tidak bisa hidup lagi!” kali ini Nawala yang menjawab.
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena kucing hitam itu hanya memiliki sembilan nyawa! Kini nyawanya tinggal satu, tentu saja ia harus kabur cepat-cepat sebelum nyawa terakhirnya benar-benar melayang ke neraka,” jawab Nawala dengan mantap.
Akhirnya, mereka berlima kembali ke Padukuhan Songsong Bayu dengan langkah lesu, terutama sekali juragan padmanaba. Bagaimana tidak lesu, jika kepulangan mereka berlima tidak berhasil menangkap orang yang membuat geger di padukuhan, tapi justru pulang membawa sesosok mayat kaku.
Sosok kaku Nyi Rengganis yang asli!
Nyi rengganis ditemukan telah menjadi mayat, saat mereka berlima melewati jembatan bambu yang tidur melintang di atas sungai berbatu. Mayat Nyi Rengganis tergeletak begitu saja di bawah jembatan. Pelipis kanan kirinya terlihat masing-masing berlubang lima, tidak ada luka yang lain, jelas sekali bahwa Kucing Iblis Sembilan Nyawa langsung menghabisi istri kepala dukuh dengan satu serangan mematikan.
Yang lebih menyedihkan, Nyi Rengganis mati dalam keadaan telanjang bulat dan mata melotot!
Dhandang Gendhis langsung pingsan melihat sosok ibunya yang mati mengenaskan, bahkan Juragan Padmanaba yang semula terlihat tegar, langsung ambruk tatkala selesai meletakkan mayat istrinya di atas dipan. Andai di belakangnya tidak ada Nawala, tentu sudah jatuh mencium tanah.
Sore itu juga, pemakaman Nyi Rengganis diselenggarakan dengan khidmat. Puluhan warga padukuhan berbondong-bondong mengiringi kepergian istri kepala dukuh itu dengan deraian air mata, bahkan beberapa teman karib Nyi Rengganis sampai merutuki orang yang membunuh sahabat mereka dengan kejam. Bahkan anaknya Dhandhang Gendhis berkali-kali pingsan, untung saja suaminya wanengpati selalu berada disisinya hingga langsung membawa bisa mengatasi keadaan istrinya yang berkali-kali pingsan karena ditinggal pergi ibunya.
Setelah masa berkabung lewat satu minggu ...
Di Dalem Kadukuhan terlihat beberapa orang yang sedang bercakap-cakap, dimana terdiri dari sepasang muda-mudi kembar berbaju putih yang tak lain Sepasang Naga Dan Rajawali yang berasal dari Benteng Dua Belas Rajawali duduk berendeng dengan seorang dara cantik baju merah menyala yang bukan lain adalah Ayu Parameswari.
Seorang laki-laki tambun yang bibirnya tidak lepas dari pipa tembakau tersebut adalah kepala Dukuh Songsong Bayu Juragan Padmanaba terlihat duduk berhadapan dengan dua orang laki-laki tua muda berpakaian dalang. Mereka berdua adalah Kakek Pemikul Gunung atau yang terkenal sebagai dalang kondang, Ki Dalang Kandha Buwana serta anak laki-laki satu-satunya yang bernama Wanengpati.
Sedang tiga orang lagi terlihat duduk dengan posisi tubuh yang berbeda-beda, satunya sedang tidur-tiduran di atas dipan, sedang satunya benar-benar tidur, tidur yang sebenarnya. Sedang yang terakhir adalah seorang wanita yang masih terlihat cantik, terlihat duduk dengan tenang di sebelah kiri Juragann Padmanaba.
Yang sedang tidur-tiduran di atas dipan adalah seorang kakek usia delapan puluhan tahun yang mengenakan baju kembang-kembang penuh tambalan dimana-mana. Cukup sulit untuk mencari mana warna yang asli dari sekian puluh tambalan yang ada di pakaian kebesarannya. Dari tiga puluh dua gigi yang ada di mulut, cuma tersisa barang tiga biji saja yang masih setia menghuni mulut peotnya, dua berada di atas dan satu berada di bawah.
Akan halnya bibir keriput itu selalu bergerak-gerak terus tiada henti, entah apa yang ada di dalam mulutnya, mungkin sebangsa kelabang atau cacing barangkali. Meski terlihat kemalas-malasan, namun kakek bangkotan itu merupakan salah satu tokoh rimba persilatan yang berilmu tinggi, bahkan bisa dikatakan setiap tokoh kosen akan berpikiran ribuan kali jika ingin berurusan dengan si Raja Pemalas.
Dan perlu diketahui, dimana ada Raja Pemalas, tentu ada kambratnya si Raja Penidur!
Sama halnya Raja Pemalas, Raja Penidur yang usianya sepantaran dengan Raja Pemalas itu memiliki keunikan tersendiri, dimana pun ia berada, tak peduli di kubangan lumpur atau di kandang sapi sekali pun, tidak peduli siang atau pun malam, kakek itu bisa tidur dengan nyaman. Bahkan berjalan dan berbicara pun ia bisa sambil tidur, seakan mata tuanya itu selalu saja terkatup dengan rapat.
Justru jika mata Raja Penidur yang selalu tertutup rapat malah terbuka lebar, akan sangat berbahaya bagi siapa saja yang memandangnya, karena dari mata Raja Penidur bisa memancarkan cahaya merah yang bisa menghancurkan segala macam benda di depannya. Bisa dihitung dengan jari tokoh persilatan yang bisa memaksanya membuka ‘Sepasang Mata Maut’ milik Raja Penidur.
Yang terakhir adalah seorang wanita yang tampak duduk dengan anggun di samping kiri Juragan Padmanaba. Sebenarnya usia wanita yang seluruh bajunya warna ungu sudah mendekati tujuh puluh lima tahun, tapi masih terlihat anggun dan cantik menawan seperti wanita usia tiga puluhan tahun. Tentu saja hal ini dipengaruhi tingkat ketinggian tenaga sakti dan juga segala jenis ramuan-ramuan obat serta ilmu awet muda yang diwarisi dari gurunya.
Bidadari Berhati Kejam, sebuah julukan yang cukup menggetarkan di kalangan tokoh-tokoh hitam, bahkan ada yang juga yang menyebut sebagai Sang Pembantai Cantik. Tentu saja hal ini hanya berlaku bila mereka sampai kepergok berbuat kejahatan di hadapan Bidadari Berhati Kejam, jangan harap dapat pengampunan darinya, sedikitnya mereka akan mati dengan jasad utuh!
Pernah suatu ketika, Tiga Belas Hantu Malam mengeroyok Bidadari Berhati Kejam dikarenakan salah satu dari Tiga Belas Hantu Malam secara tidak sengaja kesalahan tangan mencelakai salah satu murid kesayangannya, hingga si murid tewas. Setelah mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas kematian muridnya, Bidadari Berhati Kejam menyatroni sarang Tiga Belas Hantu Malam dan tanpa perlu bertanya-tanya lagi, langsung membantai habis seluruh pengikut Tiga Belas Hantu Malam tanpa sisa.
Melihat anak buahnya habis terbantai, Tiga Belas Hantu Malam marah besar dan langsung mengeroyok Bidadari Berhati Kejam. Namun akibatnya, justru Tiga Belas Hantu Malam tewas seluruhnya, bahkan salah satu dari Hantu Malam yang membunuh sang murid, tangan dan kaki dipotong dengan pedang, hingga menimbulkan jerit lengking kesakitan dari Hantu Malam yang malang itu. Dua hari dua malam lamanya Bidadari Berhati Kejam menyiksa si Hantu Malam dengan sadis, dan akhirnya ia tewas karena kehabisan darah.
Setelah jadi mayat pun, Bidadari Berhati Kejam masih tidak puas, sebuah ‘Pukulan Sakti Pecah Raga’ dilancarkan hingga mayat si Hantu Malam hancur tercerai-berai!
Bahkan Dewi Cendani atau si Dewi Obat Tangan Delapan yang mendengar sendiri bahwa sahabat karibnya si Bidadari Berhati Kejam baru saja membantai habis seluruh pengikut dari Tiga Belas Hantu Malam sampai bergidik ngeri melihat sepak terjang sahabatnya itu.
Akan tetapi jika melihat segala bentuk kejahatan Tiga Belas Hantu Malam, rasanya apa yang dilakukan oleh Bidadari Berhati Kejam masih terlalu ringan diterima oleh Tiga Belas Hantu Malam, sebab sekitar tiga purnama yang lalu, hanya dalam satu malam saja, Tiga Belas Hantu Malam membantai habis sebuah desa!
Sebuah kekejaman yang melebihi batas kemanusiaan!

-o0o-
 
Bab 24

“Jadi ... perempuan yang menyamar sebagai istrimu itu memiliki ‘Ilmu Rawa Rontek’?” tanya Raja Pemalas dengan heran.
“Benar, paman.”
“Setahuku, ilmu sesat itu sudah punah beberapa ratus tahun yang lalu, tapi kenapa bisa muncul kembali di rimba persilatan?” tanya Raja Penidur dalam nada gumam.
Meski dalam keadaan tidur, tapi telinga Raja Penidur ternyata tidak pernah tidur!
“Jika tidak salah, yang terakhir kali menguasai ilmu ini adalah Si Macan Gembong! Jelas tidak mungkin jika tokoh sesat itu bisa mempertahankan umurnya hingga ratusan tahun lamanya,” ujar Ki Dalang Kandha Buwana setelah berpikir beberapa saat.
“Tapi ayah, bukankah Kura-Kura Dewa Dari Selatan usianya juga sudah mencapai lebih dari tiga ratus tahunan. Jadi mungkin saja Si Macan Gembong hingga sekarang masih hidup.” sela murid tunggal Naga Bara Merah.
“Benarkah?” terperanjat juga Bidadari Berhati Kejam mendengar ada tokoh persilatan yang bisa hidup hingga ratusan tahun lamanya, namun dalam hatinya, “kenapa aku tidak sampai mengetahuinya?”
“Benar, Nini! Memang begitulah kenyataannya.”
“Betul! Kenapa aku sampai bisa melupakan tokoh sakti itu,” ucap Kakek Pemikul Gunung sambil menepak dahinya dengan pelan.
“Anggaplah benar bahwa Si Macan Gembong masih hidup hingga sekarang, maka akan semakin sulit bagi kita untuk menumpas para pemilik rajah setan itu,” kata Wanengpati yang sedari awal hanya diam saja, “ ... dan dapat dipastikan bahwa Kucing Iblis Sembilan Nyawa pasti punya dukungan di belakangnya. Tidak mungkin jika pemuja setan itu bergerak sendirian. Salah satu yang sudah kita ketahui dengan pasti, ia dibantu oleh sesembahannya yaitu Ratu Siluman Kucing, sedang tokoh-tokoh lainnya kita masih meraba-raba dalam gelap.”
“Benar apa yang dikatakan Wanengpati ... “ kata si Raja Pemalas, tentu saja dengan sikap kemalas-malasannya, “ ... dan lagi pula kita pun tidak mengetahui dimana sarang mereka. Itu yang lebih penting!”
Kata-kata yang terakhir sedikit diberi penekanan.
“Dan itu berarti bahwa gerakan pertama yang harus kita lakukan adalah melakukan penyelidikan tentang letak dari sarang mereka terlebih dahulu,” imbuh Juragan Padmanaba.
Terlihat pancaran sedih dari sorot mata laki-laki tambun yang selalu menghisap pipa tembakau itu, karena dalam satu hari saja ia harus kehilangan seorang yang sangat ia cintai dalam hidupnya.
“Dimas Kandha, adakah cara untuk menangkal ilmu hitam ‘Rawa Rontek’? Apakah dalam ‘Kitab Sastra Hati’ bagian atas terdapat cara-cara tertentu untuk menghancurkan ilmu hitam itu?” tanya Juragan Padmanaba kemudian.
Tentu saja kepala dukuh itu mengetahui tentang adanya ‘Kitab Sastra Hati’ yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Dimana ilmu di ‘Kitab Sastra Hati’ bagian atas adalah berisi tentang berbagai jenis ilmu-ilmu kesaktian kuno, baik pengolahan tenaga sakti, ilmu-ilmu pukulan serta jurus-jurus silat tingkat tinggi, bahkan pada bagian akhir terdapat ulasan beberapa pula ilmu hitam tingkat tinggi serta tatacara penangkalnya. Dua diantaranya adalah ‘Ilmu Pancasona’ dan ‘Ilmu Rawa Rontek’, meski berbeda sifat namun memiliki kesamaan dalam penggunaan, yaitu mengembalikan keadaan tubuh pemilik ilmu ini ke bentuk semula!
Tentu saja penangkal dari ‘Ilmu Rawa Rontek’ terdapat di dalamnya meski secara tidak lengkap, satu diantaranya adalah dengan mencegah jangan sampai tubuh yang sudah terpotong menyentuh tanah, misalnya si pemilik ‘Ilmu Rawa Rontek’ kepalanya terpotong, sebisa mungkin agar salah satu atau keduanya baik potongan badan dan potongan kepala yang terpisah jangan sampai menyentuh tanah. Tapi dalam ‘Kitab Sastra Hati’ bagian atas hanya mengulas tataran terendah dari ‘Ilmu Rawa Rontek’, sedang untuk tataran yang lebih tinggi tidak dijelaskan secara terperinci.
Sedangkan ‘Kitab Sastra Hati’ bagian bawah hanya terdapat tiga ilmu saja, meski hanya tiga jenis ilmu, namun sudah bias membuat orang yang mempelajari sebanding dengan tokoh-tokoh persilatan tingkat atas. Yang pertama adalah cara bersemadi untuk membangkitkan kekuatan tenaga dalam seseorang secara bertahap dengan memanfaatkan inti kekuatan bumi dan langit. Sampai sekarang ini Juragan Padmanaba baru menguasai kekuatan ‘Inti Bumi’ tahap menengah, itu pun sudah mampu menumbangkan tokoh hitam sekelas Kucing Iblis Sembilan Nyawa.
Yang kedua adalah ‘Ajian Gelap Ngampar’, yaitu suatu ilmu yang membangkitkan hawa murni tubuh dan dilontarkan dalam bentuk getaran suara sehingga lawan bagai diserang dengan getaran suara bertenaga dalam tinggi bisa berakibat gendang telinga pecah dan jantung bisa berhenti mendadak. Sedang yang terakhir adalah ‘Pukulan Gelap Sewu’, suatu jenis pukulan tingkat tinggi yang bisa menghancurkan bukit cadas dengan sekali hantam.
“Ada kakang! Asalkan darah atau potongan tubuh pemilik ‘Ilmu Rawa Rontek’ tidak menyentuh tanah secara langsung, mereka bisa mati dengan sempurna,” jawab Kakek Pemikul Gunung, lalu sambungnya, “ ... Tapi itu hanya untuk tataran terendah saja, sedangkan untuk tingkat tertinggi, di dalam kitab itu tidak disebutkan. Tapi aku yakin tidak jauh bedanya dengan langkah yang pertama.”
Juragan Padmanaba mengangguk-anggukan kepala. Setiap kali berpikir dengan keras, kepulan asap tembakau semakin jarang terhembus dari mulutnya.
“Meski cuma sedikit, tapi setidaknya kita sudah mengetahui titik lemah dari ilmu hitam itu.”
“Huh, aku jadi penasaran dengan kehebatan ilmu setan itu, apa masih bisa menahan 'Pukulan Sakti Pecah Raga' milikku?” geram Bidadari Berhati Kejam.
“Bidadari Berhati Kejam, simpan saja rasa gerammu itu, saat ini kita sedang menghadapi masalah yang lebih besar dari pada sekedar menjajal ilmu kesaktian lawan,” gumam Raja Penidur menimpali ucapan Bidadari Berhati Kejam.
“Raja Penidur, apa kau meragukan kemampuanku!?”
“Bukan begitu, nini cantik! Saat ini kita harus melakukan penyelidikan yang lebih mendalam tentang hal ini. Jika hanya mengumbar nafsu saja, urusan yang tentang rajah setan ini akan berlarut-larut.”
“Baiklah! Aku tidak suka bercakap-cakap panjang lebar dalam urusan ini! Aku akan bergerak sendirian ke arah selatan, silahkan kalian tentukan sendiri langkah masing-masing. Permisi!”
Dengan langkah lebar, nenek cantik itu segera beranjak pergi dari dalem kadukuhan, meski terlihat berjalan dengan langkah-langkah lebar, tapi beberapa saat saja, ia sudah menghilang dari pandangan mata.
“Hmm, 'Ilmu Indera Kelana'-nya sudah semakin meningkat pesat dari sepuluh tahun yang lalu,” gumam Raja Penidur.
“Bahkan 'Ilmu Langkah Sakti Pemalas'-ku pun sudah bukan tandingannya lagi.” kata Raja Pemalas.
“Tapi nenek pemarah itu tetap saja membawa adatnya yang keras kepala dan mau menang sendiri.” gumam Raja Penidur kembali, sambil sedikit menggeliat membetulkan letak tubuhnya.
“Menurutku, keadaan saat ini sudah cukup mengkhawatirkan. Aku takut jika berita ini tersiar di luaran tentu akan membuat geger banyak orang. Kemungkinan besar, rimba persilatan juga akan turut bergolak,” sahut Kakek Pemikul Gunung, sambungnya, “ ... padahal tiga purnama ke depan, di puncak Gunung Tiang Awan akan diadakan perebutan gelar kependekaran.”
“Huh, rebutan gelar seperti itu buat apa untungnya?” gumam Raja Penidur.
“Bagi tukang ngorok sepertimu mungkin tidak ada gunanya! Tapi bagi para jago-jago muda yang ingin mengharumkan nama di rimba persilatan, tentu saja mereka malu jika tidak ambil bagian dari peristiwa tiga puluh tahunan itu,” kata keras Raja Pemalas.
“Heh, gombal! Paling-paling juga mengantar nyawa dengan sia-sia.”
“Ki Dalang, lalu bagaimana menurutmu?” tanya si Raja Pemalas mengalihkan pembicaraan.
Heran juga, namanya saja Raja Pemalas, tapi kenapa begitu bersemangat, tidak ada sifat malasnya sama sekali!
“Wanengpati, lebih kau saja yang berbicara! Otak anak muda biasanya lebih cerdas dari tua bangka seperti aku ini,” kata Ki Dalang Kandha Buwana melempar ‘tanggung jawab’ itu pada Wanengpati.
“Seperti apa yang dikatakan oleh Nini Bidadari Berhati Kejam, kita harus membagi tugas,” kata Wanengpati memulai pembicaraan, “Saat ini Nini sudah bergerak ke arah selatan. Untuk arah utara saya serahkan pada paman Raja Pemalas dan Raja Penidur, sebab di wilayah utara banyak sekali terdapat hutan-hutan yang cukup lebat. Dimungkinkan wilayah itu digunakan oleh para pengikut Kucing Iblis Sembilan Nyawa sebagai markas, jika tidak dalam keadaan terpaksa, jangan melakukan tindakan apa-apa.”
“Hemm, hutan di utara! Baik, kalau begitu! Aku terima tugas ini! Tukang ngiler, kau bersedia tidak?” tanya Raja Pemalas sambil mengusap-usap dagunya yang klimis.
“Ada daging menjangan tidak?”
“Dasar bego! Yang namanya hutan semua binatang juga ada. Dari harimau sampai kutu monyet juga ada! Kalau kau mau embat semua juga tidak ada yang melarang!” bentak Raja Pemalas.
“Terserah kau sajalah!” sahut Raja Penidur dengan acuh tak acuh.
Wanengpati hanya geleng-geleng kepala saja melihat tingkah laku dari dua orang berbeda kebiasaan itu.
“Heran, kenapa ayah betah lama-lama berteman dengan mereka,” pikir si dalang muda.
“Untuk wilayah timur, mungkin saudara kembar dari Benteng Dua Belas Rajawali bisa mewakilinya, sebab di wilayah ini banyak terdapat tebing-tebing yang tinggi serta curam. Sebagai murid dari majikan Benteng Dua Belas Rajawali pasti memiliki ilmu ringan tubuh yang handal.”
“Baik! Kami berdua siap!” kata Sepasang Naga Dan Rajawali bersamaan.
“Sedang wilayah barat, terpaksa saya harus merepotkan ayah berdua yang bisa menghubungi beberapa perguruan silat yang ada wilayah itu. Untuk Perguruan Perisai Sakti dan Perguruan Karang Patah sudah saya hubungi sendiri dua hari yang lalu, mereka bersedia dan kemungkinan besar nanti sore bala bantuan dari dua perguruan silat itu sudah datang kemari. Mungkin ayah bisa menghubungi Partai Ikan Terbang dan Pesanggrahan Gunung Gamping yang dipimpin Panembahan Wicaksono Aji. Dua tempat itu sangat berdekatan, mungkin mereka bisa kita mintai bantuan, terutama sekali Panembahan Wicaksono Aji,” kata Wanengpati panjang lebar.
Semua yang ada di situ mengangguk-anggukkan kepala pertanda persetujuan.
Wanengpati menerangkan pembagian tugas sesuai dengan wilayah dan kondisi masing-masing orang. Orang sekelas Raja Pemalas dan Raja Penidur tentu memiliki ketelitian tersendiri terhadap tempat-tempat yang rawan jika berada di dalam hutan. Konon kabarnya Raja Pemalas memiliki hidung setajam hidung anjing, dia bisa mengendus segala jenis bau keringat manusia, selama tidak lebih dari sepekan kakek pemalas itu masih bisa menemukan jejak orang yang diinginkannya!
Sedangkan Sepasang Naga Dan Rajawali, sebagai tokoh muda yang sedang naik daun lebih cocok ditugaskan pada daerah bertebing tinggi serta curam dikarenakan selain memiliki ilmu ringan tubuh yang tinggi, mereka kemampuan lain yang jarang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Suatu ikatan yang hanya dimiliki oleh orang-orang kembar.
Ikatan batin!
Juragan Padmanaba dan Ki Dalang Kandha Buwana tentu saja sudah sangat akrab dengan lingkungan sekitar mereka, jika hanya untuk menghubungi beberapa perguruan silat yang ada sekitar wilayah barat, tentu saja merupakan tugas yang paling ringan, karena masing-masing dari ketua perguruan silat merupakan sahabat karib dari Kepala Dukuh Songsong Bayu dan Kakek Pemikul Gunung.
“Kakang, lalu tugas Ayu apa?”
“Ayu, kau bisa ikut dengan si kembar,” jawab Wanengpati dengan cepat.
“Baiklah.”
“Jika semua sudah siap, menjelang petang kita sudah harus berkumpul di tempat ini melaporkan hasil penyelidikan masing-masing. Ada pertanyaan?”
“Bagaimana dengan nenek pemarah itu?” tanya Raja Pemalas.
“Biar saya yang menghubungi.”

-o0o-

Sementara itu, di sebuah dataran lembah yang cukup luas, berada dibalik lebatnya rerimbunan perdu dan pohon-pohon raksasa, terdapat sebuah lubang yang cukup menjorok ke dalam tanah, menyerupai liang tikus yang besar cukup memuat dua orang. Akan tetapi liang itu tertutup oleh rerimbunan semak belukar, sehingga orang yang lewat disekitarnya akan menganggap tidak ada apa-apa dibalik semak-semak yang rimbun itu.
Liang itu hanya sedalam tiga empat tombak saja, tapi setelah sampai di dasar liang, akan terlihat sebuah lorong gelap setinggi kurang lebih setengah tombak. Orang harus berjalan dengan membungkuk jika ingin melewati lorong gelap ini. Lorong ini memiliki panjang yang tak terukur, berkelok-kelok seperti ular dan banyak tikungan dimana-mana, andai orang yang baru pertama kali masuk ke tempat iti, dijamin sulit menemukan jalan keluar.
Tetapi sesosok tubuh ramping dengan baju ketat hitam-hitam tampak berjalan dengan tenang dalam kegelapan, sinar mata mencorong tajam kuning kehijau-hijauan di dalam gelap, seakan menerangi jalan berkelok-kelok yang dilaluinya. Ternyata ia tidak sendirian ditempat itu. Sesosok mahkluk kecil berkaki empat dengan bulu hitam legam tampak berjalan cepat didepannya. Sorot mata kuning kehijau-hijauan sama persis dengan sosok ramping di belakangnya.
Karena makhluk itu adalah seekor kucing berbulu hitam!
Tapi kucing itu bukan sembarang kucing, ia adalah sejenis kucing jejadian, kucing siluman yang dipuja oleh sosok wanita yang berjalan dengan tenang di belakangnya.
Setelah melewati jalan yang berkelok-kelok dengan berjalan sambil membungkuk selama sepenanakan nasi, sampailah dua makhluk beda jenis di suatu ruangan yang cukup lebar dan luas, menyerupai sebuah kubah raksasa. Di tepat tengah ruangan terlihat sebuah bola kristal yang diletakkan di atas kepala patung raksasa berwajah setan. Bola kristal itu memancarkan warna kuning terang, sehingga cukup menerangi bagian dalam kubah raksasa.
Tidak ada apa-apa di tempat itu, selain dari sebuah kursi besar dilapisi beludru kuning gading dengan sandaran kursi yang memiliki ukiran menyeramkan, dimana lantainya di lapisi dengan hamparan kulit harimau raksasa berwarna hitam pekat. Beberapa ekor ular belang terlihat berlalu-lalang di sekitar tepian kubah, tapi tidak ada yang berani mendekati kursi besar, seakan terdapat rasa takut yang aneh.
Si wanita dan kucing siluman itu berjalan mendekati kursi menyeramkan, sepuluh langkah dari kursi berbeludru kuning gading, entah dari mana datangnya, sebentuk kabut hitam pekat menyelimuti sosok kucing hitam.
Bwoshh! Soshh!
Kabut itu terlihat berputar-putar, bahkan sampai sosok mungil kaki empat berbulu hitam tidak terlihat bentuknya. Semakin lama putaran semakin melebar dan membumbung ke atas setinggi tiga tombak. Tiba-tiba ...
Bweshh! Srepp!!
Gumpalan kabut hitam mendadak buyar, kemudian meluruh ke bawah dengan cepat, seakan dibawahnya terdapat lobang penghisap.
Sekarang, yang berada dihadapan si wanita berbaju hitam ketat bukan lagi seekor kucing hitam, tapi sesosok tubuh ramping berkulit kuning langsat. Beberapa gelang emas bertahta berlian melingkar indah di pergelangan tangannya yang mulus, sebutir tahi lalat pun tidak terdapat di atas hamparan kulit itu. Tubuh tinggi semampai dengan balutan pakaian warna hitam cemerlang dimana seluruh benda yang menempel di badannya memancarkan cahaya pemikat gaib. Dengan adanya tonjolan membusung kencang di bagian dada, bisa dipastikan sosok itu seorang berjenis perempuan. Dan dilihat dari postur tubuh dan kuning langsatnya kulit, ditambah dengan rambut hitam legam sepanjang pinggang bisa dipastikan ia adalah sosok wanita sempurna, dalam artian cantik jelita. Namun, saat wanita jelmaan kucing siluman itu menoleh ke arah orang dibelakangnya, sontak terlihat keterkejutan yang begitu kentara dari tokoh bergelar Kucing Iblis Iblis Sembilan Nyawa.
Sebab sosok wanita bertubuh aduhai itu ternyata berwajah kucing!
Tentu saja si Kucing Iblis Sembilan Nyawa terkejut melihat kenyataan perubahan wajah junjungannya sebab sudah puluhan kali dirinya melihat sosok di depan yang disebut sebagai Ratu Siluman Kucing selalu merubah wujud menjadi sosok gadis cantik rupawan berkulit kuning langsat dengan wajah cantik jelita, tapi baru kali ini ia melihat wajah Sang Ratu berwujud kepala kucing lengkap dengan telinga yang berada disisi atas kepala.
“Nyi Ratu ... wajahmu ... “ terdengar gagap sekali si kucing iblis sembilan nyawa.
“Aku tahu!” suara serak terdengar dari mulut Ratu Siluman Kucing, “semua ini gara-gara di rajawali tua itu!”
Tidak ada lagi kemerduan suara yang biasa di dengar, tapi suara serak yang jelek sekali, bahkan terlihat pancaran dendam mata membara di bola matanya. Bahkan sorot mata kuning kehijau-hijauan semakin mencorong tajam, seolah mengeluarkan kobaran api dendam yang ingin membakar orang yang disebutnya 'rajawali tua' itu.
“Bukan hanya wajahku, tapi nyawaku kini hanya tinggal satu-satunya! Benar-benar keparat busuk!” maki Ratu Siluman Kucing.
“Ratu Siluman Kucing! Kau tidak perlu berang seperti itu!”
Sebuah suara tanpa wujud menggema di dalam kubah raksasa itu.
Karuan saja, Ratu Siluman Kucing dan Kucing Iblis Sembilan Nyawa langsung berlutut mendengar suara teguran yang cukup keras itu.
“Hormat kepada Ketua!”
“Kuterima salam hormat kalian!”
Perlahan namun pasti, terlihat samar-samar sesosok bayangan kuning keemasan, dimana bayangan itu seolah antara ada dan tiada, bahkan ada kalanya terlihat mengambang di udara. Sesaat kemudian, sosok bayang kuning keemasan terlihat semakin nyata dan terlihat sesosok tubuh manusia duduk tenang di atas kursi besar satu-satunya di tempat itu.
Sebuah peragaan ‘Ilmu Panglimunan’ tingkat tinggi pun terpentang di depan mata!
Sulit sekali mengetahui bagaimana raut wajah sosok dikarenakan ia mengenakan sebuah topeng tengkorak yang terbuat dari emas murni. Topeng tengkorak emas itu seolah merupakan bagian dari wajah karena tidak ada sepotong tali atau seutas benang pun yang menopang agar topeng tengkorak emas itu tetap berada di tempatnya. Dari bentuk tubuh, dipastikan bahwa sosok berpakaian yang serba kuning keemasan itu adalah seorang laki-laki, ditilik dari getaran suara dan adanya jakun di leher.
Sepasang mata tajam sedikit terpejam berada di balik topeng tengkorak emas itu. Entah siapa gerangan tokoh ini, sehingga begitu ditakuti oleh tokoh sakti sekaliber Kucing Iblis Sembilan Nyawa dan juga makhluk dari alam gaib sekelas Ratu Siluman Kucing.
“Bagaimana dengan tugas kalian?” tanya si tokoh bertopeng tengkorak emas dengan suara datar.
Jelas ia berusaha menyembunyikan jatidirinya dengan mengubah nada suaranya
“Maafkan hamba, ketua! Hamba belum berhasil ... “ sahut Ratu Siluman Kucing dengan masih berlutut, suara yang terlontar terdengar sedikit bergetar.
“Hemm ... belum berhasil atau gagal?” balik bertanya si Topeng Tengkorak Emas, tetap dengan nada datar.
Tiada jawaban sama sekali dari mulut Ratu Siluman Kucing, namun dari getaran tubuhnya terlihat jelas kalau ia sedang mengalami rasa takut, disebabkan dirinya sudah pernah mati lima kali tewas di tangan si Topeng Tengkorak Emas dan itu artinya ia pernah lima kali mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas. Sedangkan kini nyawa yang ada ditubuhnya hanya tinggal satu!
Dengan pelan, laki-laki bertopeng tengkorak emas bangkit dari tmpat duduknya, lalu berjalan lambat-lambat ke arah dua orang wanita itu berlutut, dengan menggendong tangan di belakang tubuh.
“Kalian seharusnya tahu! Bahwa dengan mendapatkan Mutiara Langit Merah merupakan hal yang paling penting dalam kelangsungan hidup para makhluk gaib yaitu bangsa kita!” kata si Topeng Tengkorak Emas pelan, namun pancaran hawa membunuh terasa sekali menyentuh kulit tubuh dua wanita yang masih berlutut. Sebagai orang yang berilmu tinggi, Kucing Iblis Sembilan Nyawa tentu menyadari adanya hawa membunuh yang pekat dan mendekat ke arahnya.
“Padahal kalian tahu bahwa beberapa tahun yang lalu, Mutiara Langit Putih yang semula berada di tangan Ketua Padepokan Singa Lodaya telah berhasil diambil alih oleh seorang bocah ingusan yang bernama Paksi Jaladara. Bahkan sampai Ratu Sesat Tanpa Bayangan yang aku utus pun gagal. Dan akibatnya .. Kalian pasti tahu sendiri bukan?” kata dengan si Topeng Tengkorak Emas dengan santai sambil tetap berjalan ke arah mereka berdua.
Masih ingat dalam benak dua orang itu, bagaimana ketuanya, si Topeng Tengkorak Emas memberi hukuman atas kegagalan si nenek sesat itu.
Tangan kiri dan kaki kanannya harus buntung sebatas siku!

-o0o-
 
Bab 25

Sudah beruntung bagi Ratu Sesat Tanpa Bayangan karena si Topeng Tengkorak Emas hanya membuntungi tangan kiri dan kaki kanan saja, sebab sebelumnya Sepasang Demit Anjing Liar harus meregang nyawa di tangan Pengawal Kanan sang ketua dikarenakan gagal mendapatkan Mutiara Langit Putih, bahkan kembali dengan kondisi terluka parah. Meski dua siluman anjing dari alam gaib itu gagal, tapi jasadnya masih utuh, tidak hancur seperti utusan yang sudah-sudah.
Benarkah Pusaka Rembulan Perak adalah Mutiara Langit Putih seperti yang dimaksud oleh si Topeng Tengkorak Emas?
Jika memang benar, maka Istana Elang, terutama Paksi Jaladara, harus menghadapi seorang musuh yang paling tangguh dalam sejarah berdirinya tonggak Istana Elang yang bermukim di Gunung Tambak Petir itu!
“Ampuni hamba Ketua! Hamba ... “
“Mengampunimu? Enak saja kau bicara!” bentak si Topeng Tengkorak Emas dengan keras.
Entah bagaimana caranya, segumpal kekuatan tak kasat mata telah menampar pulang balik pipi Ratu Siluman Kucing, sedang Kucing Iblis Sembilan Nyawa juga tak luput dari tamparan gaib itu.
Plakk! Plakk! Brugh!
Badan Ratu Siluman Kucing hanya oleh ke kanan ke kiri, namun akan halnya dengan Kucing Iblis Sembilan Nyawa langsung terpental ke belakang dan akhirnya jatuh setelah menabrak dinding kubah dengan keras. Dan akhirnya ...
Pingsan!
Bisa dipastikan tulang pelipisnya remuk. Tentu saja tamparan itu bukan tamparan biasa, tapi telah dilambari dengan rangkuman tenaga gaib yang tinggi. Bisa dibayangkan bagaimana kesaktian dari si Topeng Tengkorak Emas. Hanya dengan pancaran hawa gaib dari tubuhnya saja sudah mampu membuat tokoh gaib sekelas Ratu Siluman Kucing menjadi tergetar.
“Baik! Kali ini kalian berdua aku ampuni!” kata si Topeng Tengkorak Emas sambil balik badan dan berjalan ke arah kursi kebesarannya, sambil berjalan ia berkata, “... tapi kalian berdua harus lebih banyak menyebarkan rajah setan bertanduk kepada para tokoh-tokoh hitam. Jika tokoh dari aliran putih, akan sulit sekali mengendalikan mereka. Selain dari mencari Sepasang Mutiara Langit, aku juga menginginkan kalian untuk mencari keterangan keberadaan orang-orang pemilik Delapan Bintang Penakluk Iblis. Jika kalian menemuinya, bunuh saja!”
“Terima kasih, Ketua!”
“Kalian akan dibantu oleh dua orangku dalam melaksanakan tugas ini!” sambung si Ketua.
Sang ketua pun tampak berkomat-kamit membaca sesuatu. Tiba-tiba saja ...
Jlegg! Jleeg!
Entah dari mana datangnya, dua sosok makhluk setinggi rumah sudah berada di tempat ini. Mereka jatuh dalam keadaan berlutut. dua sosok makhluk dari alam gaib masing-masing berbulu lebat dengan sepasang taring tajam di sela-sela bibirnya. pancaran mata merah menyala terlihat nanar menggidikkan.
“Hormat kepada Pangeran!”
“Jin Hitam! Gendruwo Sungsang! Kalian bantu Ratu Siluman Kucing dan muridnya. Jika mereka gagal, kalian tahu apa yang harus kalian kerjakan!” perintah sang ketua bertopeng tengkorak emas kepada dua orang bawahannya.
“Baik, kami laksanakan Pangeran!” kata dua makhluk tinggi besar yang disebut Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang bersamaan.
“Ubah dulu wujud kalian seperti manusia!”
“Baik!”
Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang segera duduk bersila, sesaat kemudian keluar segumpal asap tebal berbau busuk memualkan dari tubuh mereka berdua.
Wush!! Woshh!!
Sekedipan mata kemudian, dua sosok tinggi besar telah hilang, tergantikan dengan sosok dua orang yang duduk bersila dengan pakaian biru menyala. Diatas kepala masing-masing terdapat sebentuk lingkaran dari emas putih, ditengahnya terdapat sebutir mutiara yang berwarna biru terang tembus pandang. tentu saja mereka salin rupa menjadi pemuda-pemuda gagah dan tampan dengan postur tubuh tinggi tegap. Itulah perubahan wujud dari Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang yang merupakan dua dari delapan senopati tangguh dari Istana Iblis Dasar Langit dari alam gaib.
“Tugas kalian berdua adalah merebut Mutiara Langit Merah! Dan kau, Ratu Siluman Kucing! Kau cari keterangan siapa saja pemilik dari Delapan Bintang Penakluk Iblis. Jika berhasil, maka lima nyawa yang dulu aku ambil, akan ukembalikan padamu!” kata tegas si Topeng Tengkorak Emas.
“Baik, Ketua!” sahut Ratu Siluman Kucing dengan gembira.
Tidak ada sahutan sedikit pun dari mulut sang ketua. Beberapa lama mereka menunggu dengan kepala tertunduk, tapi tetap tidak ada perintah atau pun suara yang mereka dengar. Pelan-pelan, kepala Ratu Siluman Kucing mendongak. Dia tidak melihat lagi sang ketua bertopeng lagi.
Si Topeng Tengkorak Emas ternyata telah menghilang tanpa bayangan!
Jin Hitam, Gendruwo Sungsang dan Ratu Siluman Kucing bangkit dari tempatnya berlutut.
“Nyai Ratu, bagaimana wajahmu bisa seperti itu?” tanya jin hitam terkejut saat memperhatikan raut wajah Ratu Siluman Kucing, “Apakah ... wajahmu masih bisa dikembalikan seperti sediakala?”
“Huh! Ilmuku sudah berkurang banyak semenjak nyawa ke delapanku hilang!” sahut Ratu Siluman Kucing dengan penuh sesal, “hanya seperti inilah tingkat perubahan yang bisa aku lakukan. Untuk merubah wajah, rasanya sudah cukup sulit! Ini semua gara-gara si rajawali tua keparat itu!”
Lagi-lagi rajawali tua disebut-sebut Ratu Siluman Kucing, mungkinkah dia adalah Rajawali Alis Merah yang telah menghilangkan nyawa ke delapannya?
“Bagaimana jika kami bantu memulihkan wajahmu?”
“Kalian berdua mau membantuku mengembalikan wajahku seperti sebelumnya?”
“Tentu saja kami bersedia, cuma ... “ kata Jin Hitam dengan terputus.
Seolah paham dengan maksud Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang, Ratu Siluman Kucing hanya ketawa kecil. Apalagi yang diinginkan dua makhluk dari alam gaib itu jika bukan kehangatan tubuhnya?
“Ooo ... kalau cuma hal itu, aku tidak keberatan sama sekali! Aku pun juga sudah lama tidak merasakan kehebatan kalian berdua di atas ranjang, hi-hi-hik!” sahut Ratu Siluman Kucing sambil menowel pipi Jin Hitam.
“Ha-ha-ha! Lalu bagaimana dengan muridmu?”
“Perempuan tolol itu pasti ikut dengan apa yang aku katakan! Kalian tidak perlu khawatir akan hal itu!” jawab sang siluman kucing dengan penuh arti.
“Ha-ha-ha! Bagus kalau begitu! Ha-ha-ha!” sahut Gendruwo Sungsang sambil tertawa lebar. “Kapan kita mulai?”
“Sekarang saja, buat apa ditunggu lama-lama?” jawab Jin Hitam sambil membopong tubuh sintal Ratu Siluman Kucing.

-o0o-

Menjelang petang, dimana matahari sudah siap-siap berada di balik peraduan abadinya, Ayu Parameswari dan si kembar dari Benteng Dua Belas Rajawali datang terlebih dahulu ke padukuhan itu. Sesampainya disana, ternyata sudah di tempat itu bertambah dengan empat orang yang masing-masing mengenakan baju ungu dan celana hitam dengan sabuk kuning gading terdiri dari dua laki-laki dan dua orang perempuan.
Mereka berempat memperkenalkan diri sebagai utusan dari Perguruan Karang Patah, yang dua laki-laki masing-masing adalah Linggo Bhowo dan Mahesa Krudo yang usianya sekitar dua puluh tujuh tahunan, sedangkan yang dua perempuan bernama Kamalaya yang berusia sekitar dua puluh tiga tahunan dan Janapriya yang berusia sekitar dua puluh empat tahunan. Mereka berempat adalah empat orang murid utama dari perguruan itu yang terkenal dengan sebutan Empat Golok Sakti dari Perguruan Karang Patah.
Untuk mendalami ‘Ilmu Golok Sejodoh’ masing-masing orang harus berpasangan dengan lawan jenisnya sehingga oleh Ki Angon Samudro, mereka dinikahkan untuk lebih mendalami ilmu golok ini. Dikarenakan sebelumnya Linggo Bhowo dan Kamalaya sudah saling mencintai, begitu juga dengan Mahesa Krudo dan Janapriya, sehingga tidak terlalu sulit mereka berdua untuk menguasai ‘Ilmu Golok Sejodoh’, bahkan pada tataran jurus yang paling tinggi, dimana mengerahkan jurus-jurus golok dengan paduan tenaga dalam tinggi, setiap pasangan suami istri bisa menggunakan jurus golok seperti orang yang sedang bermesraan.
Jurus ‘Golok Lengkungi Jagad’ bisa membuat lawan menjadi terlena dan terpana sesaat karena pasangan yang mengerahkan Jurus ‘Golok Lengkungi Jagad’ terlihat seperti orang yang sedang di mabuk birahi, saling cumbu dan saling lilit dengan pasangan, bahkan ada kalanya diiringi dengan desahan-desahan napas halus dari si wanita. Tentu saja suara-suara itu digunakan untuk memecah konsetrasi lawan sehingga mudah ditumbangkan.
“Kakang Wanengpati, di sebelah timur tidak ada tempat-tempat yang mencurigakan seperti yang kita inginkan.” lapor Ayu Parameswari pada kakaknya, “ ... tidak ada satu manusia pun yang berani mendiami tempat itu.”
“Hemm, apa kau yakin?”
“Yakin sekali, Kakang! Bahkan sudah dijajaki Nawara dengan 'Ilmu Empat Arah Pembeda Gerak', yang ada cuma kumpulan hewan-hewan melata saja yang ada di tempat itu.”
“Baik kalau begitu! Lebih baik kalian bertiga istirahat saja di dalam,” kata Wanengpati,” ... Oh, ya! Mereka berempat adalah Empat Golok Sakti, sahabat-sahabat dari Perguruan Karang Patah.”
Tiga anak muda itu menganggukkan kepala sebagai tanda hormat, dan dibalas dengan anggukan kepala pula oleh Empat Golok Sakti.
“Maaf, kami masuk ke dalam terlebih dahulu,” kata Nawara pada Empat Golok Sakti.
“Silahkan, saudari!”
Karena betul-betul lelah tiga anak muda itu langsung ngeloyor pergi ke dalam. Nawara dan Ayu langsung menuju bilik tengah tempat gadis itu biasa tidur, sedangkan Nawala langsung menuju dipan dimana sebelumnya Raja Penidur sedang 'menjalani pertapaan'. Sebentar saja, pemuda berbaju putih yang dada kirinya adalah sulaman naga, langsung menggesor tidur.
Benar-benar tidur!
Berturut-turut, datanglah Kakek Pemikul Gunung dan Kepala Dukuh Songsong Bayu yang datang bersama seorang kakek bertongkat kayu cendana. Kakek itu mengenakan sehelai kain putih yang di selempangkan di dada. Tubuhnya terlihat ringkih dengan berjalan tertatih-tatih ditopang oleh tongkat kayu di tangan. Beberapa kali terdengar batuk-batuk kecil dari mulutnya yang sudah keriput dan ompong, bisa diperkirakan sosok tua berselempang putih berusia sekitar sembilan puluhan tahun.
Dialah Panembahan Wicaksono Aji!
“Selamat dating, Bapa Panembahan! Maaf kami harus merepotkan panembahan dengan masalah yang di hadapi padukuhan ini,” sambut Wanengpati dengan hormat.
“Uhhukk, uhukk! Tidak apa-apa Nakmas. Mungkin tulang-tulang tua ini perlu sedikit pelemasan. Semadi terus-menurus juga tidak baik bagi kesehatan,” jawab Panembahan Wicaksono Aji dengan suara khasnya.
Suara yang lembut menenteramkan.
“Ayah, bagaimana dengan Partai Ikan Terbang? Apa mereka bersedia?” tanya Wanengpati setelah Panembahan Wicaksono Aji berlalu dan duduk satu meja dengan Empat Golok Sakti.
“Kelihatannya agak sulit, anakku! Sebab di Partai Ikan Terbang sendiri juga sedang mengalami musibah. Salah seorang dari murid Partai Ikan Terbang ternyata juga memiliki rajah setan bertanduk. Terpaksa tadi aku dan mertuamu harus sedikit memeras keringat untuk mengusir rajah setan bertanduk itu,” terang Kakek Pemikul Gunung.
“Untungnya, rajah setan itu baru berwujud samar-samar, jadi murid Partai Ikan Terbang tersebut masih bisa diselamatkan. Untung masalah itu segera diketahui sendiri oleh Ketua Partai Ikan Terbang,” kata Juragan Padmanaba.
Wanengpati mengangguk-anggukan kepalanya, gumamnya, “Jadi ... lambang setan itu sudah mulai menyebar. Tidak hanya pada orang biasa saja, bahkan murid-murid perguruan juga kena pengaruh rajah setan itu.”
Setelah berpikir beberapa saat, pemuda berkata, “Berarti ... memang ada orang atau golongan tertentu yang secara sengaja memberikan menyebarluaskan rajah setan itu. Tidak peduli siapa saja, bisa terkena.”
“Benar juga pemikiranmu.”
“Yang jadi masalah, dengan cara bagaimana rajah setan bertanduk itu bisa menempel ke tubuh manusia? Dam siapa sesungguhnya yang menempelkan rajah setan itu?” kata Wanengpati dalam bentuk pertanyaan.
Ki Dalang Kandha Buwana hanya terdiam saja.
Tak lama kemudian, tiga orang sudah sampai di pendopo dan berbaur menjadi satu dengan empat golok sakti dan Panembahan Wicaksono Aji yang terlibat dengan pembicaraan seru.
Wanengpati kemudian menceritakan tentang adanya Rajah Penerus Iblis, yang diketahuinya dari mayat Parjo. Semua diceritakan sampai ke detail-detailnya. Semua orang yang ada di tempat itu selain Ki Dalang Kandha Buwana, Juragan Padmanaba dan Wanengpati sendiri, tersentak kaget!
“Jadi, Nyi Rengganis juga telah jadi korban?” kata Panembahan Wicaksono Aji dengan kaget.
“Benar, Paman Panembahan. Sungguh malang sekali nasib istriku!”
Sebagai orang yang waskita, orang yang ngerti sakdurunge winarah (mengerti sebelum terjadi), tentu saja Panembahan Wicaksono Aji bisa meraba di dalam gelap. Kemampuannya untuk memilah-milah hal-hal pelik sangat diperlukan saat itu. Setelah termenung sejenak sambil mengerahkan ilmu batinnya, terlihat kilasan-kilasan kejadian yang muncul di dalam benaknya.
Justru yang membuatnya kaget adalah sosok samar Dhandang Gendis yang pertama kali muncul dalam mata batinnya. Bersamaan dengan itu pula, istri Wanengpati yang juga putri tunggal Juragan Padmanaba keluar diiringi dengan membawa makanan kecil berupa pisang goreng, Nogo Sari, Klepon dengan parutan kelapa dan wedang jahe tampak beriringan keluar.
Justru itulah yang membuat Panembahan Wicaksono Aji semakin tersentak kaget.
“Aahh ... !”
“Ada apa Paman Panembahan?” tanya Kakek Pemikul Gunung.
“Kandha, gunakan ‘Ilmu Suket Kalanjana'! Maka kau akan tahu sebabnya,” jawab Panembahan Wicaksono Aji dengan nada berbisik.
Segera saja Ki Dalang Kandha Buwana merapal mantra ‘Ilmu Suket Kalanjana’, suatu ilmu kuno yang berguna untuk melihat suatu pancaran hawa seseorang atau suatu benda yang memiliki kekuatan gaib atau hanya benda biasa saja, bahkan mampu melihat benda-benda yang tertutup sekalipun. Kali ini, pancaran sinar gaib dari mata Ki Dalang Kandha Buwana mengarah pada dua orang yang baru saja datang. Yang pertama menjadi sasaran tentu adalah istrinya sendiri, Nyi Lastri.
Setelah diamati-amati beberapa saat, tidak ada yang aneh dan istimewa pada diri istrinya. Kemudian pancaran mata gaib Kakek Pemikul Gunung beralih ke diri Dhandang Gendis, anak mantunya. Juga tidak ada yang pada diri mantunya itu. Namun secara tanpa sengaja ia mengarahkan kekuatan ‘Ilmu Suket Kalanjana’ ke arah perut Dhandang Gendis, kakek itu terperanjat sampai tubuhnya terlonjak ke atas.
Selain terdapat seorang calon jabang bayi yang baru tujuh delapan bulanan, di dalam perut mantunya terdapat sesuatu pancaran hawa gaib merah hati!
“Paman, cahaya apa itu?” kata Ki Dalang Kandha Buwana setelah hilang keterkejutannya.
“Mungkin cucumu itulah sebenarnya tujuan utama dari para pemilik rajah setan bertanduk itu,” kata Panembahan Wicaksono Aji sambil mengelus-eluis jenggot putihnya yang panjang.
Semua percakapan itu terdengar jelas oleh semua orang yang ada ditempat itu, bahkan rata-rata tidak bisa menyembunyikan kekagetan di wajah mereka.
Tentu saja yang paling kaget adalah Wanengpati!
“Apa!?”
“Tenang Nakmas ... tenang! Saya belum selesai berbicara,” tutur Panembahan Wicaksono Aji sambil memegang pundak Wanengpati dengan lembut.
Setelah menghela napas beberapa jenak, Wanengpati berkata, “Silahkan Bapa Panembahan lanjutkan! Maafkan tentang kelancangan saya tadi!”
Seulas senyum arif tersungging di bibir tua itu.
“Bapa Panembahan, bisakah Bapa memperjelas dengan semua ini! Terus terang saja, kami masih belum mengerti dengan apa yang Bapa Panembahan maksudkan,” kata Mahesa Krudo, salah satu dari Empat Golok Sakti.
Setelah minum seteguk air jahe, Panembahan Wicaksono Aji berkata, “Nakmas Wanengpati, seharusnya kau berbahagia saaat ini dikarenakan anakmu sudah ditakdirkan sebagai salah satu calon penerus penumpas iblis yang ada di muka bumi. Hal ini memang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, dirimu tidak perlu menyesali hal ini.”
“Jadi ... anakku merupakan salah satu dari penerus penumpas iblis? Jika begitu masih ada beberapa orang lagikah para penerus itu?” potong Wanengpati dengan tergesa-gesa.
“Sabar, sabar! Biar Paman Panembahan meneruskan dulu keterangannya.” kata Ki Dalang Kandha Buwana.
“Tidak apa-apa Kandha! Kekhawatiran yang dipunyai Nakmas Wanengpati itu sudah sewajarnya dimiliki oleh para orang tua,” sahut Panembahan Wicaksono Aji dengan tenang, lalu lanjutnya, “Di bumi yang damai ini, terdapat delapan orang yang memiliki tanda sebagai penerus penumpas iblis. Untuk saat ini sudah muncul tujuh orang, sedang orang yang ke delapan adalah calon anakmu, Nakmas.”
Semua orang terdiam mendengar cerita dari Panembahan Wicaksono Aji, seorang pendeta tua yang sangat mumpuni dan waskita pada jaman ini.
“Mereka berdelapan adalah tonggak dunia persilatan dalam memerangi kejahatan dan kemungkaran, baik yang dilakukan oleh manusia mau pun makhluk alam gaib. Bisa dikatakan delapan orang ini bisa hidup di dua alam, yaitu alam manusia dan alam gaib. Setiap orang yang dipilih akan memiliki sebuah tanda khusus yaitu adanya sebentuk rajah berbentuk bintang segi delapan berwarna biru dengan tepi kuning keemasan akan tertera di tubuh mereka,” tutur Panembahan Wicaksono Aji. Setelah berhenti sejenak, pendeta tua itu pun melanjutkan penuturannya, “Rajah bintang itu dinamakan dengan Bintang Penakluk Iblis.”
“Lalu, pancaran gaib warna merah itu apa, Bapa Panembahan?” tanya Linggo Bhowo dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
“Menurut kitab kuno yang pernah aku baca, hanya pemilik lambang Bintang Penakluk Iblis ke satu akan memiliki Mutiara Langit Putih, sedangkan pemilik Bintang Penakluk Iblis ke delapan akan memiliki Mutiara Langit Merah. Dengan adanya pancaran sinar merah yang turut dalam kandungan istri Wanengpati, bisa diartikan calon jabang bayi itu merupakan bintang yang ke delapan. Artinya bahwa Mutiara Langit Merah sudah memilih sendiri tuannya,” lanjut Panembahan Wicaksono Aji dengan lugas.
Semua orang menganggukkan kepala tanda mengerti.
“Lalu, apa kegunaan Mutiara Langit Merah itu, sampai-sampai orang-orang yang memiliki rajah setan bertanduk mengincarnya?”
“Selain sebagai senjata pemusnah segala jenis kekuatan hitam atau kekuatan iblis, Sepasang Mutiara Langit selain bisa meningkatkan kemampuan tenaga gaib para makhluk tersebut, juga mampu membuka tirai gaib antara alam manusia dan alam gaib sehingga mereka bisa muncul ke permukaan bumi kapan saja, tidak terpancang waktu siang atau malam, bahkan makhluk gaib yang memiliki kekuatan tenaga gaib paling rendah sekalipun, bisa sliwar-sliwer di depan mata kita tanpa perlu menggunakan ilmu sakti untuk bisa melihat mereka. Bisa dibayangkan bagaimana keadaan bumi ini, jika makhluk gaib bisa hidup bebas di alam manusia. Maka yang terjadilah adalah ... Kekacauan besar!” jawab Panembahan Wicaksono Aji dengan panjang lebar.
Semua khalayak terhenyak!
Tidak pernah dibayangkan dalam pikiran mereka, bahwa akan muncul kejadian mengerikan seperti itu. Sulit sekali mencerna keterangan yang diberikan oleh Panembahan Wicaksono Aji, namun melihat kenyataan yang terjadi saat ini, mau tidak mau mereka harus percaya juga. Jika hanya mengatasi setan berwujud manusia akibat tertempel rajah setan bertanduk saja sudah harus memeras tenaga yang begitu besar, bagaimana jika yang harus dihadapi adalah biang keroknya?
Sungguh sulit dibayangkan akibatnya!
“Jadi ... cucuku dalam bahaya, Paman Panembahan?” tanya Juragan Padmanaba.
“Tidak!”
“Tidak?”
“Ya! Sebab jika memang benar bahwa Mutiara Langit Merah sudah memilih tuannya, siapa pun dia, tak peduli dia demit, siluman atau iblis sekali pun tidak akan bisa mengambil mutiara langit, kecuali ... “
“Kecuali apa?”

-o0o-
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd