4
Setelah menentukan tempat untuk membahas orientasi akhirnya Rendy membelokkan motor ke sebuah café yang tidak terlalu ramai. Bangunannya dihiasi dengan lampu-lampu berwarna kuning. Perpaduan antara wallpaper dinding dan lantai yang menggunakan motif bata menambah kesan
vintage.
Dita perlahan turun dari motor yang sudah diparkirkan Rendy. Seraya membetulkan jilbab karena sedikit kusut gegara helm. Dita memperhatikan sekitar. Nampaknya ia menyukai konsep café ini.
“Yuk!” ajak Rendy.
“Iya, A.”
Rendy menduduki meja paling ujung, Dita mengikutinya. Di atas meja terdapat beberapa menu yang sudah terlampir. Tak ada perbincangan selama Rendy masih memilih menu yang akan dipilihnya. Hingga akhirnya seorang
waiters menghampiri.
“Ada yang bisa Saya bantu? Silakan dipilih menunya,” seraya tersenyum ramah.
Dita mengangguk tersenyum memilih menu yang akan dipilihnya. Sedangkan Rendy sudah menyebutkan menu pilihannya.
“Saya mau chicken shihlin size M, dan jus mangga, Teh,” ucap Rendy.
“Mbaknya apa, Mbak?” tanya
waiters pada Dita.
“Aku kentang goreng sosis, minumnya oreo milky shake, sama air mineral 1 botol, Mbak,” ucap Dita.
Waiters menyebutkan ulang pesanan mereka dengan tepat dan barangkali ada tambahan lagi. Setelah
waiters meninggalkan mereka. Rendy mulai membuka topik obrolan dengan Dita. Basa-basi mulai terlontar mencoba membangun suasana akrab.
Rendy mulai mengeluarkan berkas dari tasnya, disimpan di atas meja dan memilihnya. Berkas mana yang akan dibahas terlebih dahulu bersama Dita. Rendy banyak sekali menyinggung mengenai anggaran yang akan digunakan selama orientasi. Dita dengan cekatan mencatat hal-hal penting di binder miliknya.
“Apa ngga kurang, A. Kalo segitu?” tanya Dita mengenai konsumsi.
“Ngga sih, Dit. Kayaknya cukup. Kita bikin paket buat konsumsinya,” balas Rendy.
Sekitar 15 menit mereka berdiskusi mengenai anggaran cukup panjang. Hingga akhirnya makanan pesanan mereka tiba. Rendy langsung menyantapnya, sedangkan Dita mengecek ulang catatan selama diskusi tadi, memastikan semuanya sudah tercatat.
“Eh, A. Maaf tadi yang buat konsumsi berapa anggarannya? Se X kan?,” ucap Dita.
“Iya, Dit. Tapi diginiin nanti pembagiannya,” balas Rendy yang bangkit dari duduknya dan hendak duduk di samping Dita.
“Deggg…,” jantung Dita berdebar saat Rendy duduk di sampingnya, kini kedua paha mereka bersentuhan secara tak langsung. Anehnya, Dita tak bisa bergerak, malah seperti es yang membeku. Perlahan Dita menggeser duduknya. Namun Rendy menempelkannya lagi seraya menjelaskannya. Wajah Rendy persis bersebalahan dengan pipi Dita yang sebagiannya tertutup kerudung.
“Oh iya, A. Ekhmmm…,” suara Dita hampir tak terdengar tenggorokannya kering, hingga ia pun berdehem reflek.
Aliran darah Dita berdesir, tubuhnya mendapatkan reaksi yang baru pertama dirasakannya. Keringatnya sedikit terlihat di dahi dan bibir atasnya. Sedangkan Rendy, sengaja ingin merasakan berdempetan dengan tubuh Dita, setelah di jalan tadi punggungnya mendapatkan asupan dari payudara Dita yang empuk (jahanam emang inisial R
).
Apa yang dilakukan Rendy begitu halus, tak terlihat seperti modus. Karena ia merapatkan badannya sembari memberikan penjelasan-penjelasan yang tidak ngawur. Malah Dita yang fokusnya terbagi dua. Antara mendengarkan penjelasan Rendy dan merasakan sensasi tubuhnya yang aneh.
“Udah, Dit? Paham?” tanya Rendy seraya tersenyum memandangnya.
“I…, iya, A. Paham,” balas Dita gugup.
“Kenapa, Dit? Gugup gitu?”
“Ngga, A. Hehe.”
“Gapapa kan, duduknya di sini?”
“Iya, A. Jangan macem-macem, tangan suka reflek mukul.”
“Iya, iya, percaya atlet mah,” balas Rendy sembari menggeser duduknya.
Mereka mulai menikmati pesanannya masing-masing sembari berbincang. Rendy menanyakan Dita akan lanjut kuliah ke mana. Yang ternyata sama dengan kampus tujuan Rendy. Hanya saja jurusan yang mereka pilih berbeda. Rendy juga banyak menawarkan bantuan untuk bisa lolos seleksi di kampus tersebut. Karena memang Rendy banyak kenalan senior di kampus tersebut.
“Oh gitu ya, A. Makasih, A. Informasinya,” ucap Dita.
“Oke, Dit. Jangan sungkan ya. Kalo mau nanya-nanya sesuatu tanya aja,” balas Rendy.
“Em…, Dit. Lagi deket sama siapa?,” tambah Rendy.
“Deket apanya?” ucap Dita.
“Iya lagi deket sama siapa? Lagi ada yang deketin ngga?”
“Oh itu, banyak, A.”
“Iya sih, pasti banyak yang deketin, kamu kan cantik, Dit.”
“Udah berapa banyak buaya yang mau jinakin, Dit?” sambung Rendy.
“Ga pernah kalo buaya mah.”
“Maksudnya cowo, Dit. Cowo.”
“Oh, gatau ga ngitungin atuh, kenapa emang?”
“Ngga, Dit. Hehe. Siapa tau saya bisa jinakin,” kata Rendy dengan tertawa.
“Coba aja, kalo bisa,” ucap Dita datar.
“Oke siap, hehe.”
Rendy selalu berusaha mencairkan suasana, namun sejauh itu Dita masih saja terkesan jaim. Hanya menimpali perkataan Rendy sebatas menghormati saja. Tingkah Dita yang seperti itu semakin membuat Rendy penasaran. Ia ingin menaklukkan Dita di pelukannya.
Setelah selesai makan dan perbincangan mengenai anggaran rampung. Mereka pulang. Dita diantarkan sampai rumah oleh Rendy. Meskipun awalnya Dita menolak dan ingin memakai angkutan umum saja. Namun Rendy memaksa karena alasan tidak enak.
Di perjalanan Dita cenderung diam, meskipun Rendy tetap mengoceh. Ia hanya menimpali seperlunya saja. Sampai akhirnya Rendy menyerah mencari topik lagi. Motor Rendy terhenti di sebuah rumah cat putih dengan gerbang hitam tinggi. Di halaman rumahnya terdapat laki-laki yang sedang mencuci motor. Matanya tajam menatap ke arah Rendy.
“Makasih, A. Udah nganterin,” ucap Dita.
“Iya, Dit. Sama-sama.”
“Mau mampir dulu?” tawar Dita.
“Emmm, nanti aja. Udah sore,” jawab Rendy yang tidak nyaman ditatap oleh lelaki yang sedang mencuci motor.
“Ya udah, saya pulang, Dit,” sambung Rendy pada Dita. Lalu ia menganggukan kepala pada laki-laki di halaman rumah Dita. Laki-laki itu pun mengangguk balik.
“Yeee lagi nyuci motor, ikutan ah,” ucap Dita pada Ican.
“Ganti baju heula ditu,” balasnya.
“Siapa, Neng?” tanya Ican kemudian.
“Temen, abis rapat pengen nganterin,” kata Dita.
“Aman?” tanya Ican.
“Amaaannn,” balas Dita yang tangannya melambangkan oke seraya memasuki rumahnya.
5
“Neng, udah makan bageur?” ucap Bi Inah menghampiri Dita.
“Udah, Bi. Tadi di luar,” jawab Dita.
“Ayah sama Mamah belum pulang, Bi?” sambungnya.
“Belum, bageur. Tadi teh nelepon sama Bibi katanya mau langsung ke Jakarta ngecek kantor baru,” jawab Bi Inah seraya mengelus pundak Dita yang sedang mencopot sepatu.
“Oh iya atuh, Mamang mana, Bi?” jawan Dita menanyakan Mang Munad suami Bi Inah.
“Ai itu, Mamang. Lagi ngobrol sama Aa,” jawab Bi Inah seraya menunjuk ke arah Ican dan Mang Munad.
Bi Inah adalah Ibu kedua bagi Dita. Dari kecil Dita seringkali diurus oleh Bi Inah dan Mang Munad. Karena kesibukan kedua orang tuanya yang mengurusi pekerjaan dan usaha-usahanya. Kasih sayang Bibi begitu dalam pada Dita, begitupun sebaliknya. Tak jarang saat Dita sedang demam ia seringkali minta ditemani tidur oleh Bibi. Meskipun begitu, Dita tumbuh menjadi anak yang bisa menghargai dan menghormati kedua orangtuanya. Nasihat-nasihat dari Bibi paling mempan terhadap Dita. Dita tak melihat Bibi dan Mamang sebagai ART, ia menganggap keduanya sebagai orang tua.
“Mau mandi sekarang bageur?” tanya Bibi pada Dita.
“Ntar aja ah, Bi. Masih males,” jawab Dita.
“Eh, ga boleh males. Sekarang atuh ya Bibi bikin dulu air panasnya buat mandi, Neng,” ucap Bibi.
“Hmm…, iya atuh,” balas Dita.
Bibi langsung menuju ke dapur, sedangkan Dita merebahkan diri di lantai setelah mencopot sepatunya.
“Euhhh…, eta kotor atuh baju seragam,” kata Ican yang telah beres mencuci motornya.
“Bae atuh, ah. Capeee…,” jawab Dita.
“Hih budak teh,” balas Ican seraya melemparkan kanebo ke muka Dita.
“Ih! Aa…!!!” teriak Dita kesal.
Ican tak menghiraukannya, malah rebahan di sofa dan memainkan ponselnya. Dita bangkit dan melempar kembali kanebo tadi ke muka Ican.
“Astaggg…, kalakuan, si Dita…,” ucap Ican yang kaget.
Dita tertawa melihat kakaknya yang kaget dan hpnya jatuh ke bawah karena ulahnya. Mang Munad yang melihat itu hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum.
“Angger adi lanceuk teh ieu mah ngan parasea wae,” ucap Mang Munad.
“Si Aana, Mang. Tah!” ucap Dita.
“Gandeng, Neng, ah. Mandi ka ditu!” balas Ican.
Dita berjalan menghampiri Ican tanpa sepengetahuannya dan merebut ponsel Ican seraya ngibrit ke dapur tertawa-tawa.
“Si Ditaaa…!!!,” ucap Ican.
“Hahahahaha…,” tawa Dita terdengar begitu puas.
Bibi yang melihat itu menggelengkan kepala.
“Astaghfirullah, ieu adi-lanceuk,” ucap Bibi.
Dita berlindung di balik badan Bibi mengindari kejaran Ican.
“Eta dieukeun hp, Sarneng!” kata Ican berusaha merebut hpnya dari tangan Dita.
“Sok kasih hpnya ke Aa, Neng mandi dulu sana, airnya udah siap tuh,” kata Bibi.
“Teuing da Bi, gabutna teh goreng si Eneng mah,” balas Ican.
Begitulah suasana di rumah Dita, antara kedekatan mereka yang seperti itu. Kelakuan-kelakuan Dita yang seperti itu sangat lumrah terjadi. Sifat manja dan kekanak-kanakkannya dapat terlihat setiap hari. Di rumah, Dita tetap menjadi anak semata wayang yang disayangi semua orang. Berbeda dengan di sekolah, ia begitu berwibawa dan mencitrakan siswi terbaik.