Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
4

Setelah menentukan tempat untuk membahas orientasi akhirnya Rendy membelokkan motor ke sebuah café yang tidak terlalu ramai. Bangunannya dihiasi dengan lampu-lampu berwarna kuning. Perpaduan antara wallpaper dinding dan lantai yang menggunakan motif bata menambah kesan vintage.

Dita perlahan turun dari motor yang sudah diparkirkan Rendy. Seraya membetulkan jilbab karena sedikit kusut gegara helm. Dita memperhatikan sekitar. Nampaknya ia menyukai konsep café ini.

“Yuk!” ajak Rendy.

“Iya, A.”

Rendy menduduki meja paling ujung, Dita mengikutinya. Di atas meja terdapat beberapa menu yang sudah terlampir. Tak ada perbincangan selama Rendy masih memilih menu yang akan dipilihnya. Hingga akhirnya seorang waiters menghampiri.

“Ada yang bisa Saya bantu? Silakan dipilih menunya,” seraya tersenyum ramah.

Dita mengangguk tersenyum memilih menu yang akan dipilihnya. Sedangkan Rendy sudah menyebutkan menu pilihannya.

“Saya mau chicken shihlin size M, dan jus mangga, Teh,” ucap Rendy.

“Mbaknya apa, Mbak?” tanya waiters pada Dita.

“Aku kentang goreng sosis, minumnya oreo milky shake, sama air mineral 1 botol, Mbak,” ucap Dita.

Waiters menyebutkan ulang pesanan mereka dengan tepat dan barangkali ada tambahan lagi. Setelah waiters meninggalkan mereka. Rendy mulai membuka topik obrolan dengan Dita. Basa-basi mulai terlontar mencoba membangun suasana akrab.

Rendy mulai mengeluarkan berkas dari tasnya, disimpan di atas meja dan memilihnya. Berkas mana yang akan dibahas terlebih dahulu bersama Dita. Rendy banyak sekali menyinggung mengenai anggaran yang akan digunakan selama orientasi. Dita dengan cekatan mencatat hal-hal penting di binder miliknya.

“Apa ngga kurang, A. Kalo segitu?” tanya Dita mengenai konsumsi.

“Ngga sih, Dit. Kayaknya cukup. Kita bikin paket buat konsumsinya,” balas Rendy.

Sekitar 15 menit mereka berdiskusi mengenai anggaran cukup panjang. Hingga akhirnya makanan pesanan mereka tiba. Rendy langsung menyantapnya, sedangkan Dita mengecek ulang catatan selama diskusi tadi, memastikan semuanya sudah tercatat.

“Eh, A. Maaf tadi yang buat konsumsi berapa anggarannya? Se X kan?,” ucap Dita.

“Iya, Dit. Tapi diginiin nanti pembagiannya,” balas Rendy yang bangkit dari duduknya dan hendak duduk di samping Dita.

“Deggg…,” jantung Dita berdebar saat Rendy duduk di sampingnya, kini kedua paha mereka bersentuhan secara tak langsung. Anehnya, Dita tak bisa bergerak, malah seperti es yang membeku. Perlahan Dita menggeser duduknya. Namun Rendy menempelkannya lagi seraya menjelaskannya. Wajah Rendy persis bersebalahan dengan pipi Dita yang sebagiannya tertutup kerudung.

“Oh iya, A. Ekhmmm…,” suara Dita hampir tak terdengar tenggorokannya kering, hingga ia pun berdehem reflek.

Aliran darah Dita berdesir, tubuhnya mendapatkan reaksi yang baru pertama dirasakannya. Keringatnya sedikit terlihat di dahi dan bibir atasnya. Sedangkan Rendy, sengaja ingin merasakan berdempetan dengan tubuh Dita, setelah di jalan tadi punggungnya mendapatkan asupan dari payudara Dita yang empuk (jahanam emang inisial R🤣).

Apa yang dilakukan Rendy begitu halus, tak terlihat seperti modus. Karena ia merapatkan badannya sembari memberikan penjelasan-penjelasan yang tidak ngawur. Malah Dita yang fokusnya terbagi dua. Antara mendengarkan penjelasan Rendy dan merasakan sensasi tubuhnya yang aneh.

“Udah, Dit? Paham?” tanya Rendy seraya tersenyum memandangnya.

“I…, iya, A. Paham,” balas Dita gugup.

“Kenapa, Dit? Gugup gitu?”

“Ngga, A. Hehe.”

“Gapapa kan, duduknya di sini?”

“Iya, A. Jangan macem-macem, tangan suka reflek mukul.”

“Iya, iya, percaya atlet mah,” balas Rendy sembari menggeser duduknya.

Mereka mulai menikmati pesanannya masing-masing sembari berbincang. Rendy menanyakan Dita akan lanjut kuliah ke mana. Yang ternyata sama dengan kampus tujuan Rendy. Hanya saja jurusan yang mereka pilih berbeda. Rendy juga banyak menawarkan bantuan untuk bisa lolos seleksi di kampus tersebut. Karena memang Rendy banyak kenalan senior di kampus tersebut.

“Oh gitu ya, A. Makasih, A. Informasinya,” ucap Dita.

“Oke, Dit. Jangan sungkan ya. Kalo mau nanya-nanya sesuatu tanya aja,” balas Rendy.

“Em…, Dit. Lagi deket sama siapa?,” tambah Rendy.

“Deket apanya?” ucap Dita.

“Iya lagi deket sama siapa? Lagi ada yang deketin ngga?”

“Oh itu, banyak, A.”

“Iya sih, pasti banyak yang deketin, kamu kan cantik, Dit.”

“Udah berapa banyak buaya yang mau jinakin, Dit?” sambung Rendy.

“Ga pernah kalo buaya mah.”

“Maksudnya cowo, Dit. Cowo.”

“Oh, gatau ga ngitungin atuh, kenapa emang?”

“Ngga, Dit. Hehe. Siapa tau saya bisa jinakin,” kata Rendy dengan tertawa.

“Coba aja, kalo bisa,” ucap Dita datar.

“Oke siap, hehe.”

Rendy selalu berusaha mencairkan suasana, namun sejauh itu Dita masih saja terkesan jaim. Hanya menimpali perkataan Rendy sebatas menghormati saja. Tingkah Dita yang seperti itu semakin membuat Rendy penasaran. Ia ingin menaklukkan Dita di pelukannya.

Setelah selesai makan dan perbincangan mengenai anggaran rampung. Mereka pulang. Dita diantarkan sampai rumah oleh Rendy. Meskipun awalnya Dita menolak dan ingin memakai angkutan umum saja. Namun Rendy memaksa karena alasan tidak enak.

Di perjalanan Dita cenderung diam, meskipun Rendy tetap mengoceh. Ia hanya menimpali seperlunya saja. Sampai akhirnya Rendy menyerah mencari topik lagi. Motor Rendy terhenti di sebuah rumah cat putih dengan gerbang hitam tinggi. Di halaman rumahnya terdapat laki-laki yang sedang mencuci motor. Matanya tajam menatap ke arah Rendy.

“Makasih, A. Udah nganterin,” ucap Dita.

“Iya, Dit. Sama-sama.”

“Mau mampir dulu?” tawar Dita.

“Emmm, nanti aja. Udah sore,” jawab Rendy yang tidak nyaman ditatap oleh lelaki yang sedang mencuci motor.

“Ya udah, saya pulang, Dit,” sambung Rendy pada Dita. Lalu ia menganggukan kepala pada laki-laki di halaman rumah Dita. Laki-laki itu pun mengangguk balik.

“Yeee lagi nyuci motor, ikutan ah,” ucap Dita pada Ican.

“Ganti baju heula ditu,” balasnya.

“Siapa, Neng?” tanya Ican kemudian.

“Temen, abis rapat pengen nganterin,” kata Dita.

“Aman?” tanya Ican.

“Amaaannn,” balas Dita yang tangannya melambangkan oke seraya memasuki rumahnya.

5

“Neng, udah makan bageur?” ucap Bi Inah menghampiri Dita.

“Udah, Bi. Tadi di luar,” jawab Dita.

“Ayah sama Mamah belum pulang, Bi?” sambungnya.

“Belum, bageur. Tadi teh nelepon sama Bibi katanya mau langsung ke Jakarta ngecek kantor baru,” jawab Bi Inah seraya mengelus pundak Dita yang sedang mencopot sepatu.

“Oh iya atuh, Mamang mana, Bi?” jawan Dita menanyakan Mang Munad suami Bi Inah.

“Ai itu, Mamang. Lagi ngobrol sama Aa,” jawab Bi Inah seraya menunjuk ke arah Ican dan Mang Munad.

Bi Inah adalah Ibu kedua bagi Dita. Dari kecil Dita seringkali diurus oleh Bi Inah dan Mang Munad. Karena kesibukan kedua orang tuanya yang mengurusi pekerjaan dan usaha-usahanya. Kasih sayang Bibi begitu dalam pada Dita, begitupun sebaliknya. Tak jarang saat Dita sedang demam ia seringkali minta ditemani tidur oleh Bibi. Meskipun begitu, Dita tumbuh menjadi anak yang bisa menghargai dan menghormati kedua orangtuanya. Nasihat-nasihat dari Bibi paling mempan terhadap Dita. Dita tak melihat Bibi dan Mamang sebagai ART, ia menganggap keduanya sebagai orang tua.

“Mau mandi sekarang bageur?” tanya Bibi pada Dita.

“Ntar aja ah, Bi. Masih males,” jawab Dita.

“Eh, ga boleh males. Sekarang atuh ya Bibi bikin dulu air panasnya buat mandi, Neng,” ucap Bibi.

“Hmm…, iya atuh,” balas Dita.

Bibi langsung menuju ke dapur, sedangkan Dita merebahkan diri di lantai setelah mencopot sepatunya.

“Euhhh…, eta kotor atuh baju seragam,” kata Ican yang telah beres mencuci motornya.

“Bae atuh, ah. Capeee…,” jawab Dita.

“Hih budak teh,” balas Ican seraya melemparkan kanebo ke muka Dita.

“Ih! Aa…!!!” teriak Dita kesal.

Ican tak menghiraukannya, malah rebahan di sofa dan memainkan ponselnya. Dita bangkit dan melempar kembali kanebo tadi ke muka Ican.

“Astaggg…, kalakuan, si Dita…,” ucap Ican yang kaget.

Dita tertawa melihat kakaknya yang kaget dan hpnya jatuh ke bawah karena ulahnya. Mang Munad yang melihat itu hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum.

“Angger adi lanceuk teh ieu mah ngan parasea wae,” ucap Mang Munad.

“Si Aana, Mang. Tah!” ucap Dita.

“Gandeng, Neng, ah. Mandi ka ditu!” balas Ican.

Dita berjalan menghampiri Ican tanpa sepengetahuannya dan merebut ponsel Ican seraya ngibrit ke dapur tertawa-tawa.

“Si Ditaaa…!!!,” ucap Ican.

“Hahahahaha…,” tawa Dita terdengar begitu puas.

Bibi yang melihat itu menggelengkan kepala.

“Astaghfirullah, ieu adi-lanceuk,” ucap Bibi.

Dita berlindung di balik badan Bibi mengindari kejaran Ican.

“Eta dieukeun hp, Sarneng!” kata Ican berusaha merebut hpnya dari tangan Dita.

“Sok kasih hpnya ke Aa, Neng mandi dulu sana, airnya udah siap tuh,” kata Bibi.

“Teuing da Bi, gabutna teh goreng si Eneng mah,” balas Ican.

Begitulah suasana di rumah Dita, antara kedekatan mereka yang seperti itu. Kelakuan-kelakuan Dita yang seperti itu sangat lumrah terjadi. Sifat manja dan kekanak-kanakkannya dapat terlihat setiap hari. Di rumah, Dita tetap menjadi anak semata wayang yang disayangi semua orang. Berbeda dengan di sekolah, ia begitu berwibawa dan mencitrakan siswi terbaik.
 
6

Setelah beberapa hari kedekatan antara Dita dan Rendy mereka semakin intens berinteraksi, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Banyak hal yang telah terlewati selama masa-masa pdkt. Hingga lambat laun Dita perlahan melunak terhadap Rendy. Rendy yang sabar dan tak gentar menghadapi sifat Dita si kulkas berjalan akhirnya membuahkan hasil. Jarang-jarang ada yang kuat mengejar Dita selama berhari-hari secara terus menerus, faktor yang tak dimiliki orang lain dimanfaatkan Rendy dengan begitu baik. Ia menyadari hal itu semua, dan tak ingin menyia-nyiakannya.

Hingga suatu saat, pelaksanaan masa orientasi sudah memasuki hari terakhir dan agendanya seperti malam keakraban serta menampilkan beberapa pertunjukan siswa baru, puisi, malam akustik, drama teater, dan masih banyak lagi.

Semenjak pukul 4 sore semua siswa peserta orientasi sudah berkumpul di titik yang sudah ditentukan oleh panitia. Semua peserta ikut setelah pihak sekolah mengeluarkan surat permohonan kepada orang tua siswa dan siap bertanggung jawab atas dilaksakannya kegiatan. Koordinasi yang dilakukan oleh ketua pelaksana (Rani) bersama pihak kesiswaan sangat apik hingga bisa terlaksananya agenda hari ke tiga ini.

Aktivitas hari pertama dan kedua hanya pengenalan lingkungan sekolah saja, lebih ke materi apa saja yang harus dipegang teguh bersekolah di SMA favorit ini. Dita pun diperkenalkan sebagai siswi teladan oleh pihak sekolah. Berbagai deretan prestasi yang ia torehkan disebutkan satu persatu, begitupun dengan Rendy.

“Semoga kalian semua bisa mencontoh kakak-kakak kelas kalian ya anak-anak. Bapak bangga sekali dengan Kak Dita dan Kak Rendy yang berhasil menorehkan prestasi di level Internasional dalam bidang English Debate,” ucap Kepala Sekolah di tengah-tengah sambutannya.

Dita dan Rendy menganggukan kepala dengan hormat ke Kepala Sekolah dan melempar senyum ke semua peserta orientasi.

“Sini, Nak. Kalian berdua maju,” ucap Kepala Sekolah melambaikan tangan kepada Rendy dan Dita.

Mereka berdua berdiri dari duduknya di kursi dan berjalan menghampiri Kepala Sekolah di atas podium. Semua mata tertuju ke arah Dita karena kecantikan dan lekuk tubuhnya yang pas. Sedangkan mata-mata cewek tertuju ke Rendy yang potongan rambutnya mirip artis korea.

“Nah ini, semua siswa di sini berprestasi termasuk yang berdua ini. Level internasional pernah mereka jajaki. Ferdinand Syahrendy dan Anindita Yuki Citraloka,” ujar Kepala Sekolah.

Suara tepuk tangan bergemuruh di aula yang menampung sekitar 100 orang itu. Rendy dan Dita bergantian memberikan sambutan dan suntikan motivasi agar tetap semangat menjalani masa orientasi.

“Jangan sungkan ya kalian kalo ada yang ingin ditanyakan atau merasa gak enak badan bisa langsung hubungi saya atau ke kakak-kakak panitia yang lainnya,” ucap Dita di penutupan sambutannya.

Setelah semuanya sudah rampung, peserta orientasi memanfaatkan waktu luang dengan beristirahat. Ada yang berkumpul, ada yang berhamburan ke kantin sekolah. Ada juga kakak kelas yang satset mencari mangsa ke sana kemari.

“Ran, mulai berangkat ke buper jam berapa?” tanya Dita.

“Abis ashar palingan, Dit. Jam 4 an lah,” jawab Rani.

“Duh, aku balik dulu keburu ga ya?” ucap Dita.

“Balik dulu ngapain, Dit?”

“Bawa baju ganti sama peralatan.”

“Yaelah kirain udah disiapin, ege.”

“Belum, hehe.”

“Ya udah buruan balik sekarang. Eh, tapi kamu bawa motor kan, Dit?”

“Bawa, Ran. Kalem aja.”

“Eh tapi mending di anter aja deh, Dit. Sama Rendy. Soalnya jam segini pasti macet, kalo Rendy yang nganter kan pasti satset tuh bawa motornya,” lanjut Rani.

“Duh, gimana ya.”

“Ah udaaahhh…, aku panggilin nih si Rendynya. Ren! Ren! Rendy…!” teriak Rani pada Rendy yang sedang berbincang dengan Dewan.

Kemudian Rendy menghampiri Rani.

“Kenapa, Ran?” tanya Rendy.

“Anterin si Dita balik gih mau bawa baju ganti buat malem di buper,” ucap Rani.

“Oh ya udah, gas, Dit,” kata Rendy langsung menyetujui.

“Udah noh, kamu juga mau kan? Hahaha,” ucap Rani pada Dita yang dari tadi diam.

“Kamu yang minta ih ege,” jawab Dita mencubit pipi Rani.

“Dih, dih, apaan nyubit-nyubit. Sono buruan. Salam ke aa. Hahaha,” lagi-lagi Rani berulah.

“Ga!” jawab Dita yang langsung pergi meninggalkan Rani bersama Rendy.

“Kamu ngapain masih di sini? Noh kejar Dita!” bentak Rani melihat Rendy yang malah diam.

“Oh iya, Ran. Hehe.”

Rendy berjalan menghampiri Dita yang sudah berjalan menuju parkiran.

“Dit, tunggu, Dit,” ucap Rendy.

“Sini makanya,” balas Dita.

“Kamu bawa motor yang mana?” lanjut Dita.

“Yang itu, Dit.” Jawab Rendy seraya menunjuk motornya.

“Udah pake motor aku aja, ribet pake motor Aa mah,” balas Dita.

Rendy mengangguk dan mengambil kunci motor yang diserahkan oleh Dita. Semenjak pertemuan pertama di café. Dita seolah menganggap biasa saja kalau payudaranya agak sedikit nempel di punggung Rendy. Ia menganggapnya hal wajar seperti saat dibonceng oleh kakaknya, Ican. Mungkin sebagian perempuan juga seperti itu, pikir Dita.

Setelah lebih dari 15 menit Rendy telah sampai di rumah Dita. Kali ini Dita mempersilahkan masuk Rendy dan menunggunya di ruang tamu.

“Bibiii…, Bi punten buatin teh buat temen Neng, Bi,” ucap Dita pada Bi inah.

“Iya, Neng. Siapa itu teh?” tanya Bibi dengan nada menggoda.

“Temeeennn, Biiiii…,” balas Dita yang langsung menuju kamarnya.

“Bi, Aa ke mana?,” tanya Dita mengalihkan topik.

“Masih di kampus, Neng. Tadi berangkatnya siang aa teh,” jawab Bibi yang sedang menyiapkan teh hangat untuk Rendy.

“Oh tumben aa berangkat siang. Oh iya, Bi. Langsung kasih aja tehnya ke ruang tamu. Neng mau langsung ke kamar nyiapin baju,” kata Dita seraya memeluk Bibi.

“Jadi nginep, Neng? Iya atuh nanti Bibi nyusul ya bantuin milihin baju,” ucap Bibi.

Setelah Bibi mengantarkan teh hangat untuk Rendy. Ia sendirian di ruang tamu menunggu Dita. Bibi langsung menyusul Dita membantu merapikan baju yang akan dibawa oleh Dita untuk nanti malam. Bibi begitu cekatan memilih baju yang hangat untuk dipakai Dita. Dita hanya nurut saja dan mendengarkan ucapan Bibi yang tak ingin Dita kedinginan. Perhatian dan perilaku Bibi yang seringkali membuat Dita luluh dan nurut. Setelah semuanya siap. Dita dan Bibi segera keluar kamar dan menghampiri Rendy yang sedang menunggu sedari tadi.

“Yuk, A. Udah,” ajak Dita pada Rendy.

Rendy segera berdiri. Bibi mengantarkan mereka sampai pintu gerbang.

“Kalo ada apa-apa hubungin Aa, Neng,” kata Bibi.

“Iya, Bibi…,” ucap Dita seraya menyalami tangan Bibi. Begitupun dengan Rendy.

“Nitip Neng Dita ya, A,” kata Bibi pada Rendy.

“Iya, Bi. Siap,” balas Rendy.

Rendy dan Dita mulai menuju ke sekolah lagi. Di tengah jalan Dita mendapat kabar dari Rani bahwa peserta orientasi sudah mulai berangkat ke buper menggunakan bus fasilitas sekolah.

“A, peserta orientasi udah pada berangkat, Rani ngabarin,” ucap Dita pada Rendy.

“Apa gimana, Dit?” balas Rendy yang tak bisa mendegar jelas perkataan Dita.

Hingga dengan terpaksa Dita harus merapatkan badannya dan mendekatkan kepalanya ke telinga Rendy untuk mengulangi ucapannya. Tapi “Sssrrr…,” sesuatu di tubuh Dita seperti tersengat listrik saat payudaranya menempel dengan kuat di punggung Rendy. Hingga perkataannya menjadi serak. Tapi Rendy bisa mendengar dengan jelas ucapan Dita.

“Oh, ya udah kita langsung ke sana aja Dit,” balas Rendy.

“Motor A Rendy gapapa di sekolah?” tanya Dita.

“Gapapa.”

Mereka memutuskan untuk langsung menuju buper (Bumi Perkemahan). Butuh waktu sekitar kurang lebih 1 jam untuk bisa sampai. Posisi Dita sekarang duduknya agak ke belakang setelah tadi kaget dengan reaksi tubuhnya sendiri. Di perjalanan Rendy berusaha untuk memancing Dita agar merapatkan badannya lagi dengan menanyakan catatan anggaran. Tiap kali Dita merapatkan badannya sensasi itu kembali datang. Hingga akhirnya memasuki jalan menuju buper yang jalannya berlubang. Sembari mengobrol, Dita merasakan sensasi yang lebih nikmat. Selain payudaranya yang menempel dengan punggung Rendy, payudaranya pun terguncang-guncang oleh trek jalanan yang tak rata.

Perlahan Dita menggigit bibir bawahnya mencoba menahan gejolak reaksi tubuhnya. Seharusnya ia bisa menggeser duduknya agak ke belakang, namun tubuhnya mengatakan lain. Dita pun aneh sendiri kenapa ia sangat sulit untuk mengontrolnya.

“A pelan-pelan bawa motornya, jalannya jelek!” teriak Dita.

“Ya gimana lagi, Dit. Nanti keburu maghrib,” jawab Rendy.

Dita diam tak menjawabnya. Dita merasakan lembab di daerah selangkangannya. Perlahan tangan kirinya mengecek dan meraba bagian selangkangannya dari luar. “Ah gaada yang basah,” ucapnya dalam hati. Tapi ia yakin pasti, celana dalamnya basah. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Kok bisa yah? Masa iya aku terangsang?” Sesaat setelah ia mengingat pelajaran biologi bab reproduksi🤣.

Semakin masuk menuju ke buper jalannya semakin menjadi-jadi, Dita mulai bingung, paayudaranya yang sedari tadi bergoyang-goyang menyentuh punggung Rendy, kini putingnya mengeras di balik branya.

Rendy melihat wajah Dita yang memerah dibalik spion motor. Justru Rendy tak berpikir aneh-aneh. Ia mengira bahwa Dita sakit.

“Dit, kamu kenapa? Sakit?” tanya Rendy.

“Ngga, A. Masih jauh?” jawab Dita.

“Itu muka kamu merah, napas kamu juga cepet gitu, mau berhenti dulu?”

“Aku ga kenapa-napa, ga usah berhenti nanti kesorean keburu maghrib.”

“Kalo pusing pegangan, Dit.”

Dita diam tak menjawab, namun tangan Rendy langsung meraih tangan Dita untuk berpegangan.

“Pegangan, jalannya licin,” ucap Rendy.

Awalnya tangan Dita menolak, namun setelah melihat sendiri jalannya yang licin tangan Dita mengalah.

Kini payudara Dita semakin menempel dengan nyata di punggung Rendy. Dita yang hanya memakai kaos tangan panjang tipis dan jaket tanpa disleting membuat tekstur payudaranya terasa oleh punggung Rendy.

Tanpa berucap Dita perlahan menikmati setiap getaran jalan dan shockbreaker yang mengampul. Matanya tertutup bibir bawahnya digigit. Keningnya mengkerut.

Kali ini Dita bisa merasakan bahwa celana dalamnya sudah basah, ia sudah tak bisa berfikir jernih lagi kenapa tubuhnya bisa begini. Yang jelas ia sedang fokus merasakan kenikmatan di atas motor menuju buper.

Pinggang Dita secara reflek bergerak-gerak dengan halus, mengikuti alur jalanan yang terjal. Semakin jalan terjal dan bergelombang semakin nikmat juga sensasi yang Dita rasakan.

Hingga akhirnyaaa…,

(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
jadi baper...dibuat mengikuti alur,,kadang ceria, kadang sedih, tapi banyakan konak...haha
thanks suhu utk cerita sangat keren...
 
Bimabet
Sedih q baca percakapannya suhu,,,,soalnya g tau artinya,🤣🤣🤣,,,tlg dikasih artinya jg suhubiar bisa bahasa Sunda sdkit2,,,thanks suhu sblmnya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd