Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Petualangan Jenny-I

Gill_sexplorer

Guru Semprot
Daftar
2 Jun 2019
Post
570
Like diterima
2.595
Bimabet
Salam hangat bagi pembaca sekalian, kisah ‘Petualangan Jenny - I ‘merupakan buah karya perdana saya. Seluruh bagian dari cerita ini adalah fiksi.
Adapun kesamaan maupun kemiripan nama, lokasi maupun kejadian, adalah kebetulan saja, mengingat inspirasi dari cerita ini sendiri sebagian besar memang dari hal-hal real. Semoga dapat menghibur, memberi klimaks yang tertinggi kepada para pembaca dan senior-senior penulis sekalian.
Saya sangat berterima kasih apabila mendapat banyak masukan dan kritik atas tulisan ini.
Terima kasih.
  • Perkenalan awal pada sebuah minggu pagi yang sejuk
Suara motor mesin perahu meraung-raung. Seperti memberi semangat kepada para penumpangnya.
Pagi ini memang biru sekali, karena awal bulan Juli. Cerah dan angin terasa seperti es. Saat dimana salju di Australia sana mencair, membawa dinginnya ke negeri kita.
Saat terbaik untuk menghapus dahaga akan petualangan di laut.
Kota ini memang istimewa, karena lautnya masih tergolong bersih, dan banyak pulau-pulau bertebaran di dekatnya.
Hari masih pagi, setengah tujuh.
Rambut hitam tebalku yang kuikat ekor kuda, berkibar-kibar di belakangku, tak ketinggalan rambut-rambut tipis di dahiku.
Namaku Jenny, dan hari ini adalah awal dari sebuah petualangan yang tak terlupakan nantinya.
Hari ini adalah hari Jumat bertanggal merah, sehingga banyak pengunjung yang hendak menuju ke pulau Karang Putih, yang hanya berjarak 15 menit dari pantai kota M. Kebanyakan tujuannya untuk berenang, snorkeling, atau sekedar bermain air. Aku sendiri, masuk ke kategori yang terakhir: hanya sekedar menikmati matahari dan bermain air.
Pulau Karang Putih ini tidak begitu besar, malah hanya berbentuk linear, panjang namun tidak lebar.
Pulau ini adalah pulau artifisial yang dibangun jaman Belanda dulu yang berfungsi sebagai penahan ombak ke daratan.
Aku sendiri sudah sering ke pulau ini, semenjak bekerja di kota M selama setahun ini.
Selain tempat wisata, pulau ini juga menjadi tempat bermukim nelayan musiman, dalam artian rumah utama mereka bukan disini.
Bangunan tempat tinggalnya pun bersifat semi permanen-apa adanya dari kayu, seng, dan bambu.
Ada juga keluarga mereka yang berjualan makanan dan minuman kecil-kecilan untuk pengunjung pulau.
Tidak ada penginapan di pulau ini. Biasanya saat matahari meninggi, semua pengunjung pulau ini kembali ke daratan dengan perahu mesin terakhir.
Aku memang selalu seorang diri bila ke pulau ini, karena rekan kerjaku memilih tidur atau pergi ke tempat lain.
Aku tidak punya seorang temanpun untuk diajak. Kedengaran seperti wanita kesepian? Memang! Di usiaku yang sudah 39 tahun ini, setelah menjanda selama 2 tahun lebih, hanya ke pulau inilah hiburan utamaku, di kota yang juga bukan asalku.
Sebagai wanita yang sering bepergian sendirian, sebenarnya diriku cukup mencolok, karena tinggi badanku yang seperti model, 170cm dan bentuk badanku yang ‘curvy’. Bukan gendut loh ya, beratku ‘hanya’ 72kg.
Wajahku pun terbilang cukup menarik, agak mirip orang India, tapi berkulit putih bersih, sesangkan aku aslinya dari propinsi Sulawesi Utara.
Setelah puas bermain air, aku melirik jamku, baru pukul 8 lewat 17. Masih ada sekitar 45 menit sebelum kapal terakhir membawa pengunjung pulang ke darat.
Sepertinya aku terlalu pagi datang kali ini, pikirku. Ganti baju saja dulu lah…Aku lalu menuju ke bilik-bilik tempat berganti pakaian yang terbuat dari kayu dan seng. Fasilitas yang memang sudah tersedia di pulau itu. Tidak dipungut biaya.
Setelah berganti pakaian dan rapi, aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke ujung lain dari pulau tersebut, yang belum kujajaki sebelumnya.
Akupun berjalan memakai sandal jepit biru muda andalangue-ku, celana ketat sedikit dibawah pangkal paha, kaos putih lengan panjangku, topi lebar, dan tak lupa, sunglass teman setiaku saat bepergian kemana-mana.
Aku melewati deretan perahu-perahu nelayan yang bersandar sambil terayun-ayun dipermainkan ombak yang ramah, sambil melayangkan pandangan ke arah daratan sana.
Sepi sekali gubuk-gubuk tempat persinggahan nelayan ini. Hanya 2 orang nelayan sedang menjemur ikan di teras papan depan gubuknya di kejauhan. Angin mengantarkan aromanya kepadaku.
Tiba-tiba dari salah satu gubuk yang masih berjarak belasan meter dariku, keluar seorang wanita. Dia melambaikan tangan pertanda sedang pamitan kepada sosok di balik pintu yang tidak sempat terlihat olehku. Wanita itu berjalan melewatiku sambil tersenyum bersahabat.
Dimana pernah kulihat dia ya? Ah, nanti saja berpikirnya. Aku kemari tidak untuk mempekerjakan otakku yang susah-susah.
Akupun kembali meneruskan langkahku sambil coba mengingat-ingat. Sesekali aku menoleh ke belakang, mengikuti langkah wanita itu sedang berjalan menjauh sambil menenteng tas travel berukuran kecil. Mungkin dia datang lebih pagi lagi, karena aku tidak ingat melihatnya dalam perahu yang kutumpangi.
Aku melewati gubuk tadi. Sedikit agak mencolok dibanding gubuk lainnya, karenanya gubuk ini tidak boleh lagi disebut gubuk. Panjangnya minimal sekitar 6 meter dengan lebar 3 meter, dengan pintu di ujung sisi 3 meter tadi. Ada beberapa jendela kaca tua dengan tirai putih di baliknya. Di sampingnya ada jemuran baju kaos, celana, sarung dan beberapa handuk. Sepertinya ada yang menghuninya secara tetap, berbeda dengan gubuk lainnya. Setelah kupikir-pikir lagi, bangunan ini SANGAT mencolok.
“lumayan juga ya berjalan ke ujung lain dari pulau ini”, aku berbicara sendiri. Aku memang sering berbicara sendiri selama bepergian. Untuk mengusir rasa sepi juga. Aku kembali ke bagian pulau dimana kapal terakhir sudah menunggu. Sudah hamper penuh. Aku melambaikan tangan sambil berlari-lari kecil. Lemak-lemak di tubuh ‘curvy’ku pun bergoyang-goyang seakan ingin ikutan melambai sambil berlari. “terima kasih pak” ucapku sambil meraih tangan pengemudi kapal yang membantuku naik. Ternyata memang aku yang terakhir naik. Sedikit lagi, ketinggalan. Entah apa plan B nya kalau sampai ketinggalan kapal. Wanita yang kutemui di gubuk tadi duduk di sebelahku. Sekarang aku ingat, dia pemilik toko kelontong tidak jauh dari tempatku bekerja. Usianya kutaksir hanya lebih tua sedikit dariku. Keturunan Tionghoa. Lebih pendek dariku, namun bentuk tubuh lebih ideal ( baca: lebih langsing sedikit) dariku. Namun kalo soal ukuran payudara, masih aku ratunya. Curvy gitu lho. Di tengah raungan mesin kapal, kucoba menyapanya “cik, tanggal merah tokonya tutup?” ucapku setengah berteriak kepadanya, mencoba mengalahkan suara mesin. “buka kok!” sahutnya setengah berteriak juga. “ooh” balasku seadanya.
Kapalpun mematikan mesinnya, sambil pelan-pelan merayapi permukaan air mendekati dermaga. Sang pengemudi dengan cepat berpindah ke bagian depan kapal, melempar tali ke rekannya di dermaga, lalu kembali ke posisi mesin di belakang. Sepertinya kotoran kuping rontok semua akibat suara dan getaran mesin tadi. “pulang kemana mbak?’ Tanya ibu tadi. “ke kost di jalan A, cik” jawabku. “bareng saya aja yuk, kan searah” dia setengah mengajak. “saya bawa motor sendiri cik, terima kasih”
“ooh oke. Kita belum kenalan ya mbak. Saya Julia” ucapnya ramah sambil menyodorkan tangan. “Jenny” sambil kusalami dia. Kamipun berjalan bersama ke parkiran kendaraan yang tidak terlalu jauh dari dermaga. Mungkin dia bisa membaca pikiranku, yang penasaran, darimana dia tadi. Dia tiba-tiba berkata “habis pijat tadi”. Agak kaget juga aku mendengarnya. Ada tempat pijat di pulau itu? “nanti aku ceritain lagi mbak, mau cepat-cepat pulang dulu buka toko” katanya sambil membuka pintu mobilnya. “aku minta nomor kamu deh mbak” “baiklah” jawabku. Kamipun bertukar nomor handphone.
Hari selasa, tiba-tiba ada pesan Whatsapp masuk. Sudah pukul 16.55. sebentar lagi waktunya pulang alias teng-go. Aku melempar badanku sejenak ke sandaran kursi kerjaku, sambil melakukan seruputan terakhir di cangkir kopi hitamku. Ahh..
Julia: halo Jenny, lagi kerja ya?
Aku: halo jg cik, nggak kok, udah selesai lg santai aja..
Julia: lanjut cerita kemarin ah, kali aja kamu penasaran, hihihi
Aku: iya cik, ceritain donk..kali rekomended. Enak gak pijatannya?
Julia: wah kalo enaknya jangan ditanya…sampe ke awan loh hahaha
Aku: boleh tuh cik, aku semenjak di kota ini belum pernah pijat
Julia: iya, kamu bukan asli sini ya, aksennya beda. Btw disini sama suami n anak juga?
Aku: nggak cik, aku sudah pisah 2 tahun lalu. Dan kebetulan memang belum punya anak.
Julia: oh sorry, aku nggak tau Jen, tadi main nanya suami and anak aja. Aku panggil Jen aja ya gpp kan? Kamu panggil aku Julia aja, gak usah pake cik, hehehe
Aku: iya cik, eh Jul….hahaha
Julia: Karena kamu statusnya single, kayaknya rekomended deh tempat pijat ini buat kamu. Lebih rekomended dari aku malah, hihihi
Aku: rekomended bagaimana maksudnya Jul?
Julia: ini pijatnya khusus Jen, untuk wanita. Yang pijat juga cowok, namanya pak Jono.
Aku: wahhh, malu Jul, masa dipijitin cowok?
Julia: ada unsur terapinya juga sebenarnya Jen, dan mesti bikin appointment dulu. Aku kasihin nomor telponnya ya, nanti kamu tanya-tanya aja dulu, orangnya baik kok.
Aku: iya deh, aku simpen aja dulu nomernya.
Julia: *send contact*
Aku: udah masuk nih. Thanks ya Jul. aku otw pulang dulu


  • Follow Up yang membuat basah
Sebenarnya aku tidak terlalu serius menanggapi Julia saat itu, sekedar chit-chat menanggapi saja, tapi tetap kusimpan saja nomornya. Hari berlalu, Rabu, Kamis, dan Kamis malam akupun terpaksa lembur. Betul-betul seperti robot kerjanya. Kamis malam, pukul 21.13, pekerjaanpun selesai. Badan rasanya kaku seperti beton. Tiba-tiba aku teringat cerita Julia. Coba kubuka phone contact ku di handphone. Kulihat-lihat sebentar ketika kuketik nama Jono. “sepertinya memang aku sudah ditakdirkan dibawa ke awan oleh jari jemari pak Jono” aku kembali berbicara sendiri. Dan berlanjut dengan tertawa sendiri. Akupun menelpon beliau
“halo, selamat malam” terdengar suara pak Jono yang berat namun berisi keramahan. Kutaksir usianya sudah 50 an.
“dengan pak Jono? Saya dikasih nomor bapak dari ibu Julia”
“iya betul. Oooh ibu Julia, iya ibu, langganan pijat tetap itu. Sebulan 2x beliau ke tempat saya. Dengan ibu siapa ini?”
“dengan Jenny pak”
“bagaimana bu Jenny, apa yang bisa saya bantu? Ada keluhan apa?’
“nggak pak Jono, pegel-pegel aja banyak pekerjaan akhir ini sampai malam.”
“Sabtu malam besok bisa bu,jadwal terapi saya masih kosong”
“Sabtu malam? Tapi bagaimana ke pulaunya pak kalau malam?”
“bisa kok bu Jenny, semua pasien saya pijat dan terapinya memang malam, sekalian menginap dan pulangnya besok paginya. Disini dijamin bersih dan fasilitas juga lumayan lengkap kok bu”
Aku berpikir, yang bener aja, fasilitas seperti apa yang ada di pulau itu, malam pula. Tapi pegal-pegal di badanku ini seakan menyemangatiku untuk mengiyakan pak Jono. Nggak ada pilihan lain.
“oke pak Jono, tapi bagaimana saya nyeberang kesananya?”
“kalau ibu Jenny sudah pastikan Sabtu malam, nanti jam 8 malam ada adik saya nungguin ibu di pantai pake kapalnya. Jadi setelah makan malam nanti bu Jenny ke pantai aja, nanti dihubungi adik saya, namanya Sukri”
“ooh baiklah pak kalau begitu”
“maafkan saya bu Jenny, satu lagi pertanyaan, apa ibu sudah berkeluarga?”
Eh? Pertanyaan macam apa pula ini. Dengan sedikit ogah-ogahan aku menjawab “saya dulunya pernah menikah pak, sekarang sudah nggak lagi”
“ooh maaf ibu Jenny. Bukan maksud saya tidak sopan mempertanyakannya hal pribadi tersebut, tapi masih berhubungan dengan terapinya juga. Jadi selama dua hari ini, maaf, sebagai pantangannya ibu Jenny tidak boleh melakukan hubungan badan atau memuaskan diri dengan cara masturbasi, ini demi kelancaran pijat dan terapinya juga”
“iya pak iya. Kan bapak terapisnya, hihihi. Oke lah pak Jono, nanti sabtu malam ya. Kebetulan juga besoknya minggu jadi saya gak harus mikirin kerjaan” dalam hatiku, buset, ada juga orang ngelarang aku masturbasi.
Dalam dua tahun ini memang aku jarang sekali melakukan masturbasi. Mungkin bisa dihitung jari. Tapi kok diberi persyaratan seperti itu aku malah jadi kepengen ya? Mana masih 2 hari lagi haduhhh. Sepulang kerja, saat mandi air hangat dengan shower di kostku, rasa itu semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya jari jemariku mengobok-obok liang kewanitaanku yang sudah lama tidak menerima pengunjung. Ah, sebaiknya kuikuti saja aturan mainnya pak Jono, meskipun dengan memikirkannya saja aku sudah horny. Jumat pagi dan Sabtu pagi aku mengalami hal yang sama, saat bangun spontan rasanya jari-jariku ingin bermain di liang sorgaku yang memang sudah basah saat aku terbangun. Ah, menyiksa sekali ternyata. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya tubuh telanjangku nanti untuk pertama kali dilihat dan disentuh lelaki lain, selain mantan suamiku dulu. Ahhh…kujepit saja gulingku erat-erat. Aku perlahan-lahan bangkit dan mulai menunggangi gulingku, seperti Woman On Top, menguasinya dengan bulu-bulu kemaluan tipisku yang sudah sedikit basah. Aku memaju-mundurkan pinggulku seakan ingin memarut bantal guling itu. Namun hanya sekian detik, langsung kuhempaskan kembali badanku yang hanya mengenakan lingerie warna peach ke samping. Teringat pantangan dari pak Jono. Kutendang gulingku jauh-jauh, sambil menutup mukaku. Kutarik nafas panjang, dan kuhembuskan berulang-ulang untuk meredakan gejolak di bawah sana. Kubentangkan tanganku lebar-lebar ke samping sambil telentang, seakan membahasakan kepada tanganku sendiri “jauhi dia”
  • D day
Sabtu malam akhirnya tiba, aku tengah menghabiskan makan malamku di sebuah sari laut dekat pantai, sambil membawa tas ranselku yang berisi handuk, perlengkapan mandi, baju ganti, dan sebuah lingerie warna hitam. Entah mengapa, naluri kewanitaanku menyuruhku untuk memasukkannya ke tas. Aku Cuma memakai celana panjang jeans ketat, sandal jepit, kemeja lengan panjang tipis putih, dan jaket lumayan tebal. Jangan sampai masuk angin merusak segalanya. Tidak lama selepas pukul 8, teleponku berbunyi. Nomor tidak dikenal. Pasti ini adik pak Jono. “halo? Iya, betul. Hmmm iya saya sudah di pinggir pantai pak..ooh iya” kulambaikan tanganku membalas lambaian pria yang berdiri di pinggir dermaga dengan Hp menempel di telinganya. “ibu Jenny ya?” Tanya pria berbadan tegap dan hitam legam yang sedang berlari-lari kecil menjemput saya “saya Sukri, adiknya Jono” pak Sukri tidak terlalu tinggi, mungkin masih di bawahku sedikit tingginya. Sekitar 165 an mungkin. Pak Sukri membantuku naik ke kapal yang hanya memakai penerangan sedikit di posisi belakang dekat mesin. “Nggak ada yang ketinggalan bu?” Tanya pak Sukri ramah. “nggak pak” jawabku.
Sesaat kemudian perahu sudah meraung-raung berkelok-kelok menembus malam yang berombak dan sedikit berangin. Untung aku pake jaket, kalo nggak, yang ada mungkin sekalian kerokan disana nanti. Aku sedikit kuatir naik kapal malam-malam, mana aku nggak bisa berenang lagi. Suka laut tapi nggak bisa berenang, gimana sih? Beberapa menit kemudian kelegaan menghampiri diriku. Mesin kapal dimatikan dan kapal merayap ke tepian pulau Karang Putih dengan sisa-sisa tenaganya dan sedikit dibantu ombak. Setelah tiba, pak Sukri membantuku turun dari kapal. Payudaraku tersenggol jarinya sedikit. “maaf bu” gapapa pak, batinku. Apalah arti hanya nyenggol payudara dibanding tubuh lelahku yang sebentar lagi akan dimanjakan oleh jari-jari pak Jono, atau apapun itumungkin juga dimanjakan oleh kepunyaan pak Jono yang lain. Ternyata kapal mendarat tepat di depan rumah pak Jono, yang satu-satunya Nampak terang dibanding gubuk-gubuk lainnya yang gelap gulita. Hanya sebentar aku berjalan dia atas pasir yang masih agak hangat, sebelum tiba di semacam pendopo depan rumah pak Jono yang beralaskan batu merah dan beratapkan seng dengan lampu bohlam LED di tengahnya yang cukup terang, dan tertata cukup rapi. Pak Sukri mengetuk pelan pintunya. “ya” jawab pak Jono terdengar jelas dari dalam. “saya pamit dulu bu Jenny” ucap pak Sukri sedikit membungkuk dan sedikit terburu-buru, tidak menunggu kakaknya keluar. “makasih pak Sukri” balasku kepadanya yang sudah menjauh di kegelapan.
“selamat datang bu Jenny” ujar pak Jono sambil membukakakan pintu . ada sebaris keramahan di wajahnya. Kulitnya kecoklatan khas nelayan, namun sedikit lebih terang dibanding pak Sukri tadi. Beliau mengenakan kaos putih ketat dengan bawahan sarung. Tingginya juga sekitar 165 an dengan badan tegap dan kekar. Rambutnya panjang dan hitam diikat setengah punggung, dengan kumis lumayan tebal. “sini saya pegangkan tasnya bu” “ah, iya pak, terimakasih” rupanya aku sempat melamun dalam sekian detik tadi, secara tidak sadar mengamati pak Jono. Pak Jono menutup pintu. Well, rupanya di dalam rumah ini terasa lebih besar dibandingkan kelihatannya dari luar. Dindingnya berbahan papan dengan ventilasi rang nyamuk sedikit di bagian atas. Ada pintu di belakang menuju ke kamar mandi yang tidak beratap. Dan ada dua bilik bersebelahan yang hanya ditutupi dengan tirai kain tipis sejenis kelambu. Di seberang kedua bilik tersebut terdapat rak-rak dan lemari kecil. Ada berbagai macam minyak aromatherapy dan minyak pijat. Ternyata di balik gubuk ini terdapat sebuah ‘spa’ yang cukup rapi dan bersih. “kamar mandinya ada pemanas dan showernya bu Jenny” ucap pak Jono sambil tersenyum. Ah, beliau bisa membaca pikiranku.
Pak Jono menyingkap tirai salah satu bilik dan mempersilahkan saya masuk. Bilik tersebut lebih seperti lantai panggung yang dinaikkan sekitar 40 cm dari lantai, masih berbahan kayu dengan alas kasur dengan seprei putih yang harum. Aku bertanya-tanya bagaimana semua ‘kemewahan’ ini bisa sampai di pulau ini? “ibu Julia yang membantu saya menghadirkan semua ini” pak Jono memecah lamunanku. Sekali lagi, pikiranku dibacanya. “silahkan bu Jenny melepaskan pakaiannya di dalam lalu santai saja berbaring, saya akan mempersiapkan minuman hangat dan perlengkapan pijat saya dulu” sambil menutup tirainya perlahan. Ah, nyaman sekali disini. Suasana sepi, hanya suara deburan ombak dan suara klakson kapal di pelabuhan sesekali terdengar. Di bagian pembatas dengan bilik sebelahnya, ada bagian selebar 20cm yang terpasang lilin apung dalam gelas 2 buah, menghasilkan penerangan yang romantic macam suasana candle light dinner. Macam mau honeymoon saja aku ini. Perasaanku campur aduk. Setelah kulepaskan semua pakaianku, aku berpikir untuk mengenakan lingerie yang kubawa. Ah, aku sudah siap sekali merasakan kenikmatan setelah tersiksa selama 2 hari dilarang bermasturbasi. Lalu aku berbaring telungkup. Karena perasaan nyaman dan akumulasi rasa letihku, rasanya aku hampir tertidur. Aku tersadar ketika aku mulai merasakan pijatan-pijatan di telapak kakiku oleh jari-jari pak Jono yang kekar. Seperti ada aliran-aliran listrik, ketika tubuh yang letih, dan sudah lama tidak mendapat pijatan, untuk pertama kalinya disentuh pijatan lagi. “ibu Jenny pasti sudah lama tidak dipijat ya?’ ujar pak Jono yang masih meremas-remas telapak kakiku tanpa menggunakan minyak. “hmmm mm pak” jawabku mengiyakan, dengan wajah setengah terbenam di bantal. Setelah beberapa saat memijit telapak kakiku, pak Jono bergeser, mengambil minyak pijat lalu menuangkannya mulai dari telapak kaki sampai setengah pahaku. Lalu hal yang sama pada kaki satunya. Pak Jono menyingkap lingerie ku sampai setengah punggung. “biar gak kena minyak pijatnya bu” “buka saja ikatan tengahnya pak”. Lingerieku bisa terbuka pada bagian tengah belakangnya, hanya disatukan oleh ikatan tadi. Sekarang 2/3 punggung bawahku sudah terbuka sepenuhnya. Pasti pak Jono terkejut karena aku tidak memakai celana dalam. Sengaja, gantian biar pak Jono yang jadi gak sabar ingin cepat-cepat menggarapku. Siapa suruh nyuruh 2 hari puasa masturbasi..
Pak Jono menuangkan minyak pijat lagi, kali ini ke paha atasku yang seperti buah pir menyeberang melalui bongkahan pantatku yang padat berlemak itu. Sebagian minyaknya mengalir turun mengaliri liang sorgaku. Ah, ingin rasanya kugoyangkan pantatku menyambut lelehan minyak itu. Pak Jono tetap dengan sabar dan telaten memijat betisku naik ke paha. Dan berlama-lama disitu. Malah aku yang dibuat gak karuan, menantikan kapan tiba giliran dipijat liang sorgaku yang sudah berkedut-kedut, ingin segera mendapat sentuhan. “kalo kekencengan bilang ya bu Jenny” kata pak Jono masih mengurut betis hanya sampai setengah paha. “hmmm mmm..iya pak” gumamku. Ah, pak Jono ini, sudah menyuruhku puasa 2 hari, sekarang berlama-lama mengurut tepat sejengkal sebelum hotspotku. “maaf bu, kakinya sy lebarkan sedikit ya” kata pak Jono sambil melebarkan jarak antara kedua kakiku. Pasti hotspotku lebih welcome saat posisi kakiku lebih terbuka. Pak Jono bergeser agak ke kiri, setengah menduduki betis kiriku. Aku merasa ada sesuatu yang menyentuh betisku. Pak Jono tidak memakai celana, beliau juga telanjang bulat memijatku! Aku bisa merasakan pentungan pak Jono yang sudah mulai mengeras, duduk manis bersama biji pelirnya di atas betis sekalku yang sudah diurutnya tadi. Ah ini dia, saatnya telah tiba, detik-detik jari pak Jono yang licin akan menyleding liang sorgaku. Pak Jono melakukannya pelan sekali, macam slow motion saja, sambil diberi tekanan. sentimeter demi sentimeter, dan akhirnya, ahhh…jarinya mengusap pinggir bibir kewanitaanku dan kembali menjauh menaiki bongkahan pantatku. Ah, macam makanan sudah terhidang di depan mata tapi kita hanya diperbolehkan mengendusnya. Berulang-ulang pak Jono melakukan gerakan tersebut. Aku mulai terengah-engah karena nafsuku yang sudah memuncak. Tiba-tiba pak jono bangkit dan berpindah ke kaki kananku. Sama seperti tadi. Aku ingin sekali rasanya menangkap tangan hitam kekarnya, lalu mencucukkannya ke dalam liangku. Berkali-kali sudah aku melenguh, seperti orang yang sedang kesusahan hidupnya. Ternyata 30 menit sudah berlalu tubuhku diraba-raba jari-jari pak jono, tanpa mengusap liang kewanitaanku, hanya seliweran di sampingnya. Entah sudah sebasah apa seprai di bawah liang sorgaku itu. Pak Jono lalu meminta ijin untuk membuka semua lingerieku, karena akan memijat pinggang, punggung serta bahuku. Aku mengangkat tanganku agar pak Jono leluasa meloloskan tali lingerie hitamku keluar melalui kepala dan kedua lenganku. Sekarang aku sudah polos tanpa sehelai benangpun. Aku milikmu pak Jono, tolong cepat bawa aku ke awan. Pak Jono mengembalikan posisi kakiku ke posisi semula, tidak mengengkang seperti tadi lagi. Lalu bangkit dan menunggangiku tepat sebelum bongkahan pantatku. Dengan santainya seperti tidak terjadi apa-apa beliau duduk disana dan meletakkan senjatanya tepat diantara kedua bongkahan pantatku. Pak Jono kembali menuangkan minyak ke pinggang, punggung serta bahu lalu mulai meratakannya. Kembali, dengan telaten dan sabar beliau memijit pinggang, naik ke punggung, dan melebar ke bahu, dan selama itu pula kontol pak Jono bergesekan di antara kedua bongkahan pantatku. Ahhh, siksaan part 2. Ternyata rasa lelahku sudah terkalahkan oleh rasa nafsu purba yang sudah terkurung sekian lama di dalam , dan pak Jono hanya mengetuk-ngetuknya dari luar. Reflex, aku menggerak-gerakkan bongkahan pantatku seakan mencoba menelan kontol pak Jono yang hanya duduk-duduk di serambi kenikmatanku, sedangkan aku memohon di balik pintu agar pak Jono segera masuk.
“tolong balik badannya bu Jenny, berbaring telentang” entah sudah berapa lama pak Jono memijat punggungku sebelum akhirnya mengucapkan itu. Ah, rasanya seperti antri berjam-jam untuk nonton konser lalu tiba-tiba pintu gerbang dibuka. Perasaanku sudah bercampur aduk, antara ingin cepat dikawini pak Jono dan ingin melihat bentuk senjatanya itu. Aku berbalik dengan manja, sudah macam lonte saja. Lalu berbaring sambil menutup mata. Rencananya bukan begitu sebenarnya. Tapi ada perasaan malu juga. Aku memutuskan tetap memejamkan mata. Pak Jono mulai melakukan siksaan yang sama lagi seperti siksaaan part 1 tadi, bedanya ini dalam keadaan terlentang. Aku tidak tahu bagaimana menyembunyikan wajahku yang penuh nafsu dari penglihatan pak Jono, karena sekarang pak Jono bisa langsung melihat wajahku. Siksaan part 3 sudah mulai dilancarkan pak Jono. Kakiku posisi melebar seperti part 1 tadi, tapi jari-jari pak Jono hanya meluncur di samping lipatan liang sorgaku. Dadaku sudah naik turun dari tadi, dengan nafas yang tidak teratur. Tahan, Jenny, tahan. Aku memerintahkan kedua tanganku agar tetap di posnya masing-masing, karena rasanya sudah ingin menyerbu payudaraku dari tadi. Air mataku mulai menitik di sudut mataku. Ah, rasanya aku akan orgasme, bahkan sebelum apapun masuk ke dalam liang sorgaku. “ahh…ahh” aku masih menahan lolonganku sebisa mungkin, tapi pinggangku sudah bergerak tidak karuan akibat percikan-percikan kenikmatan yang menyentil liang sorgaku. Pak Jono tampak biasa-biasa saja. Aku akhirnya membuka mata. Aku menatap pak Jono yang tidak melihatku, beliau tetap focus memijat. Aku seperti berharap beliau akhirnya melihat ke arahku, agar aku bisa berkata kepadanya, cepat entot aku pak Jono. Tapi beliau tidak sekalipun melihat ke arah wajahku. Selesai mengurut sampai pangkal pahaku. Pak Jono mulai merapatkan badannya ke selangkanganku, sambil mengangkat kedua kakiku mengangkang. Terima kasih Tuhan, tolong akhiri penderitaanku. Beliau dengan perlahan tapi sigap menyisipkan lututnya di belakang kakiku yang dikangkangkannya tadi, lalu meletakkan senjatanya tepat di depan pintu rumahku. Beliau mengambil kembali minyak urut, menuangkannya ke perut, payudara serta lenganku. Ahhh, siksaan part 4. Diurutnya perutku naik ke dada, berulang ulang melingkarinya tanpa menyentuh putingku. Ahh, tubuhku sudah basah karena keringat. Bukan karena disetubuhi, bukan karena mengebor senjata pak Jono, tapi karena nafsu yang sejak setengah jam lalu sudah siap meledak namun belum disulut. Beliau mengambil posisi di sampingku untung memijat tanganku. Siksaan ini sedikit berkurang.. aku b isa kembali memejamkan mata dengan rileks. Bahkan aku kembali merasakan sensasi pijatan sesungguhnya, tanpa terganggu oleh nafsu yang sudah di ubun-ubun tadi. Setelah selesai, pak Jono tiba-tiba bangkit dan keluar dari bilik. What?? Ini lelucon?
Terdengar langkah kaki pak Jono kembali mendekat. Beliau menyingkap lagi tirainya, lalu tersenyum kepadaku. “diminum dulu tehnya bu Jenny agar lebih rileks”. Aku hanya mengiyakan. Aku minum tehnya sambil duduk di tepi bilik, mencuri-curi pandang ke arah senjata pak Jono yang masih setengah berdiri. Baru kali ini aku berkesempatan memperhatikan betul senjata pak Jono, dalam posisi duduk meminum teh hangat. “bagaimana bu Jenny, badannya yang kaku sudah enakan?”Tanya pak Jono seakan tadi tidak terjadi apa-apa. “iya pak, enak” jawabku seadanya. Beliau mengambil gelas kosong dariku dan berjalan ke belakang kembali menjauhiku. Akupun menghempaskan badan telanjangku ke atas kasur, melihat langit-langit sambil mengatur nafas. Terdengar suara tirai disingkap. Pak Jono masuk ke bilik,berlutut di samping wajahku, lalu mengambil tanganku untuk mengocok senjatanya. Ahh cepat sekali senjata pak Jono mengeras seperti kayu, penuh dengan urat. “isap kontolku sayang” katanya. Ahh dia sudah memanggilku sayang, sudah seperti suamiku saja. Tanpa menunggu keterangan lebih lanjut, langsung kukulum senjata pak Jono sesegera mungkin. Sruuuppp..cruppp...cruuup “kamu mau jadi lonteku, sayang?” “mm hmmm” gumamku sambil tetap mengoral senjata pak Jono yang hitam berurat itu. Pak Jono mengelus-elus rambutku dengan penuh kasih sayang selagi aku mengoralnya. “bikin kontolku keras betul sayang, biar enak gedor memekmu Jenny lonteku sayang” ujar pak Jono lembut sekali. Ah, semakin kotor kata-katanya, semakin bernafsu aku. Akupun mengobok-obok liang sorgaku sendiri. Melihat hal ini, pak Jono mengambil tanganku dengan lembut dan memindahkannya menjauhi liang sorgakuku. Rasanya seperti ibu yang dipisahkan dari anak bayinya,. Aku mengoralnya sambil menatapnya dengan tatapan mohon dikasihani. Ada setitik air mata di ujung mataku. “jangan sayang, simpankan memekmu hanya untuk kontolku, ya sayang?” aku kembali mengangguk. “jilatin bijiku juga sayang” aku menjilat dan mengemut biji pelir pak Jono bergantian tanpa sedikitpun perasaan jijik. Hal yang tidak pernah kulakukan pada mantan suamiku dulu. “hmmmm” pak Jono mendengus “ternyata naluri lontemu masih bagus Jenny ku sayang”. Tanpa dikomando tiba-tiba spontan aku memohon “cepat masukin senjatamumu pak Jono” sambil setengah meringis memohon. “hmmm baiklah sayang”. Aku buru-buru berbaring terlentang, membuka kedua kakiku selebar mungkin. Pak Jonopun dengan santai mengambil posisi di depan pintu masukku. Macam mau memperagakan suatu alat saja pak Jono ini. Gerakannya seperti slow motion. Beliau mengangkangkan kedua kakiku, memegangnya di pergelangan kaki, lalu mendekatkan ujung laras senjatanya yang hitam ke bibir memekku. Diusap-usapkannya kepala senjatanya di bibir liang sorgaku. Aku hanya bisa bisa kembali bergetar menahan siksaan tahap final ini sambil menangis. Beliau masih saja menggesek-gesekkan senjatanya diluar, tanpa menyelipkannya ke dalam liang sorgaku. “ahhhh pak Jonooo..cepat masukinnn…perkosa aku yang kasarrrrr “ aku setengah berteriak memohon. Dan seketika, pintu sorga itu terbuka. Blessssssss…pak Jono menghujamkan senjatanya sedalam-dalamnya ke liang sorgaku. “aaaaaaaawhhhhhh” aku langsung memeluk pak Jono kuat-kuat sambil memaju mundurkan pinggulku tanpa memberinya kesempatan menggoyangkan pinggulnya…..”ahhhhhh…ahhhhhh…ahhhhhhhh” hanya dengan sekali hujaman, aku orgasme berkali-kali, orgasme yang tertahan bertahun-tahun. “haaaaahhh..”aku melepaskan pelukan dari badan pak Jono dan terlentang. Giliran pak Jono yang sudah tidak tahan juga, dengan buas memainkan senjatanya di dalam liang sorgaku “ cleppp…cleppppp…cleppppp” kadang dengan gerakan pendek-pendek dan cepat, kadang ditarik keluar lalu dihujamkan sepenuhnya dengan kasar…oooh aku akan orgasme lagi….tiba-tiba sebelum ledakan terjadi, pak Jono mencabut senjatanya…lalu berbaring memegang senjatanya yang tegak seperti tugu. “aku mau kamu ngebor aku kayak Inul, lonteku” aku segera merangkak ke arah pak Jono, memposisikan tepat diatas tugunya, lalu kuamblaskan sepenuhnya. Kugoyangkan pinggulku maju mundur dengan cepat sambil menangkap tangan pak Jono untuk meremas bukit kembarku. “ahhhhh…ahhhhh dasar lonteeeee” pak Jono meracau sambil meringis. Giliran pak Jono yang menggila. “kamu liar sekali lonteekuuuu…ahhhh…kontolku kamu remas-remasss” aku semakin mendekati orgasmeku yang kesekian. “ahhhhhhhh auhhhhhh…” aku menjepit keras-keras tugu pak Jono sambil melepaskan kembali sisa-sisa dahaga kewanitaanku. Aku langsung lunglai ke depan, menindih pak Jono. Seperti beruang menindih serigala. Pak Jono memeluk badanku yang lebar itu sambil menggenjotku dari bawah dengan cepat seperti mesin pabrik. Gila nih pak Jono ini, gak keluar-keluar dari tadi. Aku sudah kelelahan gini terkuras semua cairanku. Tapi hentakan demi hentakan tugu pak Jono dari bawah yang masih keras seperti kayu membuat memekku basah lagi. Pak Jono mengangkatku dan menyuruhku nungging. “nungging lonteku, aku mau nyelesaiin terapi kamu bentar lagi sayang”. Akupun nunggung selonte-lontenya, dan blesssss! Pak Jono men doggy ku Dari belakang seperti piston mobil yang konstan tempo maupun hentakannya. “lontekuuu…kita keluar sama-sama yaaaa….ahhhh…” aku lupa, aku sudah melepas spiralku setahun lalu, tiba-tiba sekelebat ingatan itu muncul. Namun goyangan kontol pak Jono yang semakin meningkat horse powernya membuyarkan semuanya. Aku siap untuk tetesan cairan sorga terakhirku malam ini. “ aaaahhh…akuuuu…mauuuu….keluarrrrr sayangggg” sambil terus mempercepat pistonnya. Akupun menjawab “ akuuuh..jugaaaa..sayanggg…ahhh”” FROOOOOTTTTTTT FROOOOOOOTTTTTT FROOOOOOTTTTTTT FROOTT…pak Jono memberikan hentakan demi hentakan terakhir senjatanya. Lalu sesaat hening, hanya terdengar deburan ombak dan nafas kami berdua masih berpacu….pak Jono pun mencabut senjatanya dan ambruk ke belakang. Aku ambruk kesamping, dan cairan peju kental pak Jono pelan-pelan mengalir keluar dari liang sorgaku. Ah, aku sudah tidak peduli lagi, aku merasa sudah di atas awan yang paling atas. Pak Jono menghampiriku sambil mengatur nafas. “bersihin kontolku sayang”. Akupun mengulumnya dengan penuh kasih sayang, menjilati dan menghisapnya sampai habis tak bersisa. Pak Jono mendekatiku, berbaring bersebelahan hadap-hadapan, membelaiku dengan lembut seperti pasangan suami istri. “kamu cantik sekali sayang, kontolku jadi keras sekali saat ngentotin kamu tadi” bisik pak Jono. Aku benar-benar kelelahan setelah mengalami sekian kali orgasme tadi, sudah tak kuhitung. Pak Jono sudah tak memanggilku ‘bu Jenny’ lagi. Aku sudah seperti lontenya. Budak seksnya.
Sebelum tidur, mandi air hangat dari shower sepertinya ide yang bagus. “pak Jono, aku mandi dulu ya” bisikku. Ternyata pak Jono langsung tertidur pulas tanpa membersihkan senjatanya atau kembali memakai baju. Dasar lelaki. Aku berdiri mengambil handuk dan sabun mandi dari tasku, lalu bergegas ke kamar mandi. Kamar mandi ini sebenarnya hanya tempelan, dindingnya asal jadi dari anyaman bambu, atapnya pun hanya stengah, jadi kita mandi sambil melihat langit. Untung ada air hangatnya. Langsung kuatur shower mixernya untuk mendapatkan suhu air yang pas, lalu kembali menggantung shower headnya diatas. Benar-benar seperti honeymoon. Aku kaget sedikit memekik kecil, saat ada suara dari luar bilik kamar mandi memanggilku setengah berbisik “bu Jenny” sepertinya aku mengenal suara tersebut. Ternyata pak Sukri. Pak Sukri sudah sedari tadi menyaksikan adegan percintaanku dengan kakaknya. Pak Sukri menggeser sedikit dinding bamboo bilik tersebut lalu menyelinap masuk. Mukanya memelas dan memohon kepadaku. “Tolong hisap kontolku juga bu Jenny…hanya hisap saja” katanya sambil cepat-cepat melorotkan celana pendeknya tanpa persetujuanku. Entah mengapa aku jadi kasihan meliahtnya, sebenarnya aku sudah lelah sekali dan ingin segera tidur. “besok saja pak Sukri” aku mencoba nego. “jangan bu Jenny, mumpung abang lagi tidur pulas..tolong saya bu Jenny, saya gak tahan lihat kecantikan dan kemontokan badan bu Jenny”ucapnya lagi sambil terus mendekat. Tanganku pun reflex menggenggam dan mengocok senjata pak Sukri. “dihisap saja bu Jenny biar cepat keluar” pintanya. Akupun berlutut dan mulai mengoralnya. Pak Sukri hanya memejamkan matanya sambil mengusap-usap rambutku.

-bersambung-
 
Terakhir diubah:
Ijin jawil pantat ibu Jenny ah, sebagai tanda jadi pengikutnya hu..
 
ini TKP yg benar dimana ya....australia atau indonesia bos...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd