Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT PPKM (Perempuan Pelayan Kakek & Mamang)

A story must have an end right?

Disclaimer :
Seperti yang disampaikan episode sebelumnya, endingnya anti klimaks jadi ending nya tidak akan terlalu membagongkan yang gimana-gimana.
Biar ceritanya ada endingnya aja gitu

Home (Index Halaman)
Episode 7a : Patungan Air Mani


Episode 7b : Buah Cinta & Kehidupan Baru



Secepat Mungkin Hana Berganti Baju


Rumahku masih gelap, hanya lampu depan menyala. Untung kunci rumah tidak pernah kuutak-atik dari tasku sehingga aku langsung bisa menemukan kunci rumahku.
Dan benar, persis di depan rumahku ada tas gemblok cukup besar. Aku tidak tahu isinya apa tapi langsung kubawa ke dalam.
Dengan tergesa-gesa, aku mengepak barang keperluanku sebisanya, kemudian aku taruh 2 tasku di motorku dan langsung ngacir.
Aku tahu ayahku orang yang serius, jarang bercanda dan tak mungkin dia bercanda seperti ini. Benar saja, bisa kulihat dari spion, seperti ada cahaya mobil yang berhenti depan rumahku.

Sepertinya orang yang naik mobil itu melihatku karena memang di jalanan sepi ini, cuma cahaya dari lampu motorku yang ada.
Segeralah mereka mengejarku, aku yang merupakan anak kampung sini pun tentu langsung bisa mengambil jalan yang hanya bisa dilalui motor dan wuusshh, aku pun berhasil keluar dari gang sempit itu, ngacir ke jalan raya.
“haah..haah..haah", nafasku tersengal-sengal. Seperti sedang ada di film aksi. Tring, tetiba whatsapp ku mengeluarkan notifikasi.
Notifikasi dari ayahku.
“pergi ke alamat ini...”, pesannya singkat setelah mengirim lokasi lewat fitur WA.
Bukannya aku nggak kepikiran Bang Jae yang mungkin saja bisa melindungiku tapi pikiranku berkata tidak ingin melibatkan mereka, nampaknya kondisi ini benar-benar berbahaya dari suara ayahku di telepon tadi.
Aku tak punya pilihan lain selain mengikuti arahan ayahku lewat map di WA.

Seperti rumah kontrakan kecil.
“Em..mm..ini gue ketok ?”, tanyaku dalam hatiku sendiri.
Baru saja mau mengetok, tiba-tiba pintu terbuka.
“P..pak Aryo ?”.
“ayo Hana...cepet ikut saya naik mobil...nanti saya jelasin....”.
“mo..motor saya...?”, tanyaku gelagapan dengan kondisi seperti ini.
“udah gampang tinggal aja...masukkin barang-barang kamu terlebih dulu...”.
Mengikuti kondisi yang ada dan Pak Aryo juga merupakan orang yang kukenal, aku langsung naik mobilnya setelah ku masukkan kedua tasku di bagasi mobilnya.
Hanya motorku tertinggal di sana...
Di dalam mobil, Pak Aryo hanya diam sambil sesekali menelpon. Aku tak terlalu mendengarkan, jantungku masih berdegup kencang, cemas, khawatir, takut, dan gugup bercampur jadi satu.
Ada apa ini semua !?.
“mana handphone kamu ?”.
“Ii..ni...”.
“ganti nomor kamu pakai ini...”.
“Ta..tapi....”.
“cepat Hana...nomor kamu udah disadap lokasinya...”.
“ha ?”, bergegas aku mengeluarkan SIM cardku dan menggantinya dengan yang diberikan Pak Aryo.
Dia langsung membuang SIM card ku keluar jendela mobil.

“Se...sebenarnya...ada apa, Pak....”.
“Nanti..kita sampai di tujuan dulu...ini minum dulu biar kamu tenang...”.
Tanpa pikir panjang, aku meminum pil dari Pak Aryo dan diam seribu bahasa, menahan rasa ingin menangis. Apa-apan semua ini sih? Kenapa nomorku sampe disadap segala. Dan bukannya kalau disadap, harusnya malah orang-orang itu datang ke rumah Bang Jae karena sudah 2 mingguan aku di sana ?”.
Tapi..kenapa sekarang…aku…sangat…ngantuk ??. Apa…Pak Aryo….”. Otakku langsung blank, aku tidak sadarkan diri.
“aduh..duuh..”, aku merasa pusing luar biasa namun terbangun dengan kondisi sudah berada di tempat tidur.
Tapi, pakaianku masih lengkap, tidak ada tanda-tanda pemaksaan apalagi perkosaan.
“kamu sudah bangun, Hana?”.
“Pak…Aryo...”. Aku baru teringat kembali terakhir aku bersama Pak Aryo di dalam mobil.
Secara refleks, aku menutupi bagian payudara dan daerah intimku. Lah lah lah? Kenapa tanganku refleks menutupi bagian sensitifku padahal biasanya juga aku bugil tanpa sebab berarti dan tanpa paksaan ?
“tenang Hana...saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu", ucap Pak Aryo sambil tersenyum hangat.

“sebelumnya saya minta maaf. Yang kamu minum pas di mobil itu obat tidur. Saya khawatir kamu jadi gimana-gimana. Jadi saya kasih obat tidur biar kamu bisa langsung istirahat”.
“Lalu..ini..sebenernya..ada apa sih, Pak…“, tanyaku yang sama sekali belum paham ada apa sebetulnya.
“Ini...kamu minum dulu sambil menenangkan hati dulu...”.
Ditemani teh manis hangat, Pak Aryo mulai bercerita. Cerita yang akan mengubah hidupku 180 derajat dan akan sangat mempengaruhi perjalanan hidupku ke depannya.
Mataku seakan mau keluar karena tak percaya, berkali-kali pula aku membantah dan bilang kalau semua ini bohong. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Mamaahhh !!!!”, air mataku mengalir deras, tiada henti membasahi pipiku. Aku hanya bisa menutupi wajahku dengan bantal dan memukul kasur sekeras-kerasnya. Ibuku...meninggal dunia...
Tanpa bisa kulihat jasad mendiang ibuku untuk yang terakhir kali. Aku benar-benar anak yang tidak tahu malu dan kurang ajar.
Teleponku dengan ibu waktu itu adalah terakhir kali aku bisa mendengar suara lembut ibuku, sosok yang selalu ada di saat ku butuh dan menemaniku tanpa pamrih sampai aku dewasa.
“Aagghhh !!”, aku teriak sejadinya. Melepaskan kesakitan yang begitu menusuk di hatiku, kesedihan & kepedihan yang tak kusangka karena aku tak kepikiran bakal secepat ini aku ditinggal ibuku.





Hana Frustasi



Pak Aryo tidak berkata apapun, nampaknya dia mengerti aku yang sedang tidak bisa mengontrol emosiku, dia meninggalkanku. Dan betapa jijiknya aku dengan diriku sendiri ketika mengingat terakhir kali aku berbicara dengan ibuku itu aku sedang menunggu Bang Jae pulang.
“Ma…maah….”, lemah suaraku.
Emosi kecewa pada diri sendiri telah menguap berubah menjadi kesediaan tak berujung hingga aku mulai kehilangan tenaga lagi dan menangis sekeras-kerasnya di tempat tidur sampai aku terlalu lemas.
Terlalu banyak yang kulalui hari ini, otakku tak sanggup menahannya dan menginstruksikan tubuhku untuk beristirahat lagi sampai mataku tertutup lagi.

Keesokan paginya, ku lihat di meja tempat dekat kasurku sudah tersedia sarapan. Tiada nafsuku untuk mengisi perut, kesedihan malam tadi kembali mendatangiku.
“Mah…”, tetesan air matakupun kembali keluar dari mataku.
Sampai beberapa lama, aku tak bisa mengontrol kesedihanku meski tidak meluap seperti semalam.
Mungkin sebagian diriku berpikir kalau ya memang Mama sudah meninggal dan tak akan bisa kuubah fakta tentang itu dan alasan mengapa tiba-tiba bisa meninggal karena terserang virus yang disebutkan di pandemi ini.
Berarti waktu ku telepon, Mamah sedang berjuang dong ? Kembali ku bersedih sekaligus jijik dengan diriku sendiri.
Di saat ibuku sedang melawan penyakit, aku malah sedang santai waktu itu menunggu pencabul ku pulang.

“Kamu sudah bangun, Hana ?”.
“iya, Pak...”.
“makan dulu....”.
“Nggak bisa, Pak...”.
“Ayo paksa...jangan sampai kamu sakit...”.
“iya, Pak...”.
“Sini biar saya setelkan tv supaya kamu nggak bosan...”.
Aku baru sadar, ternyata ini kamar hotel dan tentua ini bukan kamar hotel murahan, terlihat dari set tempat tidur, tv, sofa, makanan sarapan yang sedang kupaksa makan, dan berbagai furnitur lainnya.
“Jam berapa, Pak?”, kutanya Pak Aryo yang kelihatan agak sibuk mondar-mandir tapi beliau masih menyempatkan berhenti sejenak dan melihat jamnya.
“jam 9 pagi, Hana..”.
“sehabis sarapan, kamu harus mandi Hana...biar badan kamu kembali segar...”.
“I..iya, Pak...”.
“Saya mau keluar sebentar...kalau ada apa-apa...langsung telepon saya saja...”.
“iya, Pak...”, memang beda kharisma dari pebisnis sukses. Sekilas ku melihat sosok Kek Wiryo di Pak Aryo.
Sambil menatap kosong, aku paksakan diriku menyantap sarapan yang ada.
Sebenernya ini sarapan yang sangat enak, roti, sosis daging, telur dan secangkir coklat panas.
Benar-benar sarapan yang wow, menurutku. Tapi rasanya tidak sedap saja di lidahku yang masih terpengaruh karena rasa sedihku.
Dengan langkah gontai, aku berjalan ke kamar mandi dengan ada bathtub & shower.
Nampaknya Pak Aryo menyempatkan untuk mengisi bathtub nya untukku dengan air hangat.
Tanpa semangat hidup berarti, aku masuk ke bathtub, merendam tubuhku, duduk memeluk lututku dan merendam wajahku sampai menutupi mulutku.

Gila, ini semua terjadi cepat bagai mimpi. Dan aku sangat berharap, ini hanyalah mimpi buruk karena aku yang kelelahan setelah dirajam oleh Bang Jae & Udin. Tapi, tidak, aku telah mencubit kencang lenganku dan menampar keras pipiki, semuanya terasa sakit dan pedih.
Ini bukanlah mimpi. Terbesit sejenak di pikiranku untuk bunuh diri karena merasa tak kuat dengan semua ini.
Tapi...tidak, tetiba teringat aku akan rahimku. Entah kenapa, aku merasa perutku sebentar lagi ‘berpenghuni’. Apakah ini intuisi dari seorang calon ibu? Seolah berpegangan pada tali yang begitu tipis, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri untuk bertahan.
Usai mandi dan berpakaian, aku pun menelpon Pak Aryo.
“Pak....saya mau denger semuanya....”.
“Oo..oh..okeh..sebentar saya menuju sana lagi...”.
Tidak terlalu lama, Pak Aryo kembali ke kamar hotel ini. Kami duduk saling berhadapan, dengan wajah serius, beliau mulai bercerita.

Rupanya ayahku terlibat hutang dengan semacam mafia di luar sana karena untuk pengobatan ibuku. Hutang yang semakin menumpuk dan harus menjaga ibuku membuat ayahku tak bisa berbuat apa-apa. Dan tak sengaja para mafia itu melihat fotoku dan mengancam akan menjadikanku ‘pembayaran’ untuk melunasi hutangnya.
Tentu ayahku tahu apa yang dimaksud menggunakanku sebagai pembayaran, pastinya tubuhku lah yang mereka inginkan.
Tak mau itu terjadi, ayahku melawan dan meminta pertolongan Pak Aryo. Karena memang dia sudah mengakuiku sebagai anak angkatnya dan juga ayahku seorang rekan kerja yang jujur, tentu Pak Aryo tak keberatan membantu ayahku.
Alasan mengapa bukan ayahku langsung yang membantuku adalah demi menjauhkan mafia itu dariku, menjadi umpan yang harus selalu bergerak agar para mafia itu menjauh dariku.
Pak Aryo mengatakan kalau ayahku sangat menyesal karena sampai harus berhutang kepada mafia karena tak ingin menyusahkan Pak Aryo tapi malah kejebak dengan masalah yang lebih rumit lagi.

Ayahku tidak bisa menghubungiku dalam waktu dekat karena dia juga dilacak oleh para mafia itu. Kemarin dia mengambil resiko tinggi untuk memperingatkanku karena para mafia itu mendapatkan lokasiku (ya meski lokasi rumahku sih).
Akhirnya Pak Aryo menyarankan kami berdua untuk segera pergi juga dari hotel karena takut terlacak juga.
Pak Aryo menyebutkan kalau dia sudah mendapatkan lokasi sembunyi untukku dan akan menemaniku sampai keadaan aman.
Eh bentar, kapan dia sempat mencarikan tempat persembunyian padahal kan baru semalam. Apa mungkin Pak Aryo sudah menyiapkan semuanya?.
Tak ada pilihan, aku harus mengikuti Pak Aryo karena tak tahu harus kemana lagi.
Kami pun segera pergi dari hotel setelah makan siang menuju tempat persembunyian yang disebutkan Pak Aryo.
Sekitar 4 jam perjalanan, aku sempat tertidur lagi di dalam mobil sebelum akhirnya sampai di tempat tujuan kami.

“sementara kita bakal sembunyi dulu di sini...”.
“kita ?”, tanyaku.
“saya takut kamu kenapa-kenapa kalau sendirian...eh tapi kalau kamu keberatan..nggak apa-apa, nanti saya cari yang dekat sini juga biar kalau ada apa-apa bisa saya bantu
“eeh....nggak, maksud saya...emang Pak Aryo nggak apa-apa ?”.
“iya nggak apa-apa. Bu Dewi sudah tahu ceritanya, dia malah nyuruh saya nemenin kamu sampe kamu bener-bener udah tenang".
“kenapa…Pak Aryo & Bu Dewi baik banget sama saya ?”, jawabku dengan mata yang mulai lembab karena air mata mulai terbentuk di pinggiran mataku.
“loh...kan kamu emang anak angkat kami...”.
Tanpa sadar, air mata langsung keluar dari mataku.
“Eeh...jangan nangis, Hana....”.
Aku menangis sesegukan dan tanpa kurencanakan aku memeluk Pak Aryo.
“makasih...banyak....Pak....Hana..nggak tau...kalau misalkan nggak ada Pak Aryo....”, ujarku semakin erat memeluknya dan semakin kencang juga tangisanku.
“sudah...sudah....kamu jangan nangis lagi, Hana....justru saya & Bu Dewi mau minta maaf, cuma bisa bantu sampe segini aja....”.
“ayah kamu bersikeras nggak mau nerima bantuan dari saya lebih jauh dari ini...dia nggak mau ngelibatin saya sama istri saya lebih jauh”, katanya seraya mengusap-usap kepalaku.
“I..iya, Pak...ini benar-benar udah cukup...Hana terima kasih banyak”, tanpa sadar aku memanggil diriku dengan nama sendiri.

“Sudah...kamu jangan nangis lagi...luntur nanti cantik kamu...”.
Aku hanya tersenyum kecil sekedarnya saja mendengar usaha Pak Aryo untuk menghiburku itu.
“tapi kamu nggak apa-apa serumah sama saya?”.
Mungkin dia bertanya mengingat kejadian di hotel karena aku menutupi tubuhku dengan spontan saat melihatnya setelah bangun.
“I..iya Pak...nggak apa-apa”.
“oke..kalau gitu saya turunin barang-barang dari mobil ya....”.
“Saya bantu....”.
“Nggak usah, Hana....udah kamu istirahat aja dulu...”.
Sebenarnya aku sangat tidak enak, aku benar-benar mendapatkan bantuan dari A-Z, bahkan menurunkan barang pun dilakukan Pak Aryo padahal beliau habis menyetir 4 jam tanpa berhenti.
Aku tidak tahu lagi bagaimana aku membalas Pak Aryo yang notabene pemilik bisnis yang omsetnya miliaran rupiah sebulannya bahkan sudah sampai luar negeri.
Meski sudah dilarang, aku membantu Pak Aryo sebisanya. Akhirnya dia pun menyerah dan membiarkanku membantunya.
“Hana...maaf, saya mau istirahat dulu ya...kamar mandi ada di dalam kamar kamu..dan di dapur ada beberapa mie instan kalau kamu lapar...sementara mie instan dulu ya..nanti kita beli makanan yang lebih proper...”.
“Iya, Pak...cukup kok mie...”, jawabku yang sudah mulai mengatasi kesedihanku.

Aku ambil pakaian dari tasku dan tertegun sebentar, mainan seks yang biasa menjadi ‘dress code' ku di rumah Bang Jae masih ada di tas ku yang kecil.
Langsung kulempar keluar, entah terbang kemana. Aku jadi merasa sangat kesal sekaligus jijik lagi kepada diriku, mengingat terakhir kali aku berbicara dengan ibuku, rupanya saat itu dia sedang menahan sakit sementara aku malah sudah 2 minggu menjadi bahan ‘cabul' pria tua dan anaknya.
Biar tak berlarut-larut lagi, aku pun mandi membersihkan tubuhku yang terasa lengket karena keringat, segera mengeringkan tubuhku dan berpakaian.
Entahlah, aku merasa ingin keluar rumah, mungkin tanpa sadar aku ingin setidaknya tidak berlarut-larut dalam kesedihan & penyesalan dan aku hanya berharap ayahku yang entah dimana sedang berjuang sendirian di luar sana tetap selamat dan aman.
Aku pun keluar rumah, untungnya aku sempat membawa pakaian rumah biasa saat aku sempat pulang kemarin malam karena kalau tidak berarti aku harus mengenakan pakaian ‘alakadarnya’ yang kubawa saat menjadi gundik nafsu Bang Jae & Udin.

Rupanya rumah yang akan kutempati sementara ada di dalam komplek perumahan, tapi bukan komplek perumahan orang kaya melainkan komplek perumahan biasa namun wilayahnya cukup asri.
Ada lapangan dan ada taman kecil untuk warga sekitar berkumpul dan rumah-rumah yang cukup asri juga.
Di saat aku sedang memandangi dan menikmati pemandangan lingkungan baruku, kulihat ada sekitar 3 ibu-ibu yang sedang duduk di bawah pohon rindang, sepertinya sedang duduk santai sambil mengobrol saja.
“eh neng !! Sini sini gabung...”, sapa salah satu dari mereka yang mungkin melihatku sedang memperhatikan mereka.
Karena emang dasarnya aku suka mengobrol, aku langsung mendekati mereka.
“Izin gabung ya, Bu...”.
“ayo-ayo neng....sini, neng...”.
“neng orang baru ya?”.
“iya, Bu...baru sampe tadi jam 9an...”.
“siapa namanya, neng ?”.
“Saya Hana, Bu....”.
“Saya Dina...”.
“saya Lilis...”.
“Kalau saya Gadis…tapi udah nggak Gadis...hehehe".
“neng Hana ini sendirian pindah ke sini?”.
Biasalah, ibu-ibu suka menggali info dari orang baru.
“Oh nggak...itu sama....suami saya...”, sebutku keluar begitu saja dari mulutku, bukannya menyebut ayahku karena dia memang ayah angkatku tapi malah menyebut Pak Aryo sebagai suamiku, ini lidah kayaknya juga udah ikutan cabul, kataku.
“oh yang tadi nurunin barang dari mobil ya, neng?”, tanyanya yang memang rumahku cukup kelihatan dari tempat kami duduk saat ini.
“iya, Bu....”.
“Maaf nih, neng...suaminya umur berapa ?”.
“aah..mm..kepala 4, Bu...”, jawabku karena yang kutahu Pak Aryo memang umur 40an.
“ha? Kok? Emang neng umur berapa ?”.
“20, Bu". Kalo gue jawab 18, bisa berabe urusannya.

“kok beda jauh umurnya neng? Dijodohin ya?”.
“Ah..nnng…semacem itu, Bu...kalau nggak salah...istilahnya turun ranjang, Bu...permintaan mendiang kakak saya...”. (Maaf Bu Dewi, ini lidah lancar banget bikin cerita karena udah terlanjur salah jawab di awal).
“oohhh", hampir serentak mereka berbicara itu.
“Nah Lis...tenang deh lo...laki lo kan suka gatel tuh....”.
“Emang kenapa, Bu?”.
“ah nggak...nih lakinya emang terkenal gatel di lingkungan sini...kambing dibedakkin aja doyan kali....”.
“eh mulut kagak dijaga, Din", ujar Bu Lilis sambil menoyor Bu Dina.
“lah emang kenyataan Lis...hahaha…lo jagain laki lo...meskipun neng Hana jatohnya udah jadi bini orang...tapi kalo cantik banget kayak gini...laki lo ngiler dah...”.
“lu mah...nggak ada di rem omongnya...maaf ya neng Hana...ini emang nggak di sekolahin mulutnye...”.
“Kayaknya udah akrab ya Bu Dina, Bu Lilis, sama Bu Gadis...”.
“Udah lama tetanggaan, neng...ada kali 10 tahunan, ini base camp kita...”.
“ooh begitu...”.
“eh neng...jangan panggil saya Bu Gadis..Budis aja...ngerasa nggak enak dipanggil Gadis terus...hehehe".
“oh iya, Bu...eh Budis...”.
“btw, boleh-boleh kapan ya ketemu sama suami neng...”.
“Eh gila..lo..ngomong begitu ke bininya..***tel banget sih lo...”.
“lah...kan cuma mau kenalan sama tetangga baru aja...nggak apa-apa kan ya, neng?”.
“Hehehe…iya, nggak apa-apa, Bu. Nanti juga saya rencana saya ama suami kalau udah segeran, mau keliling, kenalan lah intinya".
“ooh oke-oke".

Kami pun terus mengobrol berempat. Dari karakteristiknya, aku tahu kalau dari 3 ibu ini lah kabar / gosip terbaru di komplek ini akan beredar.
“Kalau neng mau ikut kongkow ama kita di sini...dateng aja, neng..palingan kita jam segini ama sore-sore kalo udah keluar semua kerjaan di rumah".
“Boleh nih, Bu?”.
“boleh lah, neng...neng Hana enak banget diajak ngobrol...biasanya kan kalo masih muda, agak nggak nyambung ama kita yang udah kepala 5 begini...”.
“hehehe..iya, Bu...dulu saya juga sering ngobrol-ngobrol sama temen ibu saya jadi bisalah nyambung dikit...hehehe".
“oh iya, berarti...sebenernya neng Hana lagi masih masa honeymoon donk ini?”.
“iya, Bu...”, senyumku kecil.
“asiiknyaa...hihi…lagi semangat-semangatnya tuh...apalagi bininya cantik banget kayak neng Hana...”.
“Ah, Budis bisa aja...”.
“oh iya...maaf nih, neng. Saya penasaran banget. Kan turun ranjang, berarti suaminya nggak punya anak dari mendiang kakaknya neng?”.
“Oh..nggak…punya kok 1...justru itu...makanya kakak ipar saya alias suami saya sekarang di suruh turun ranjang ke saya...karena takut anaknya dijahatin kalau sama orang lain yang jadi ibu tirinya...”.
“terus anaknya almarhumah setuju?”.
“iya..dia setuju karena memang dari dulu saya emang deket sama keponakan saya..jadinya dia malah langsung setuju..”.
“Untung ya neng…eh bentar…berarti umur almarhumah kakaknya neng Hana berapa emang?”.
“oh emm…32 tahun..karena penyakit komplikasi, Bu...”.
“eh maaf, neng...”.
“iya nggak apa-apa, Bu…”.
“jauh juga ya umurnya berarti ? Emang neng berapa bersaudara ?”. Eh buset, jeli juga dia, gw lupa itung selisih umur di cerita gw.
“Cuma berdua aja, Bu. Saya nggak sengaja dibuat kalo kata ibu bapak saya...”.
“Hahaha…si neng bisa aja...nggak sengaja kebuat bisa secantik ini...apalagi kakaknya ya…”.
“iya, kakak saya beneran cantik..ya seperti Bu Lilis ini lah…”.
“ah neng bisa aja...”.
“Eh tau diri lo...kalo si neng Hana ya emang cantik. Lu mah pantat panci, Lis”.
Aku pun hampir ketawa melihat Bu Lilis dengan ekspresi datarnya langsung menoyor Bu Dina lagi.
“oh saya izin pulang dulu ya, Bu...takut suami saya udah bangun...”, izinku takut ditanya lebih lanjut.

“Oh iya neng...inget...nikmatin masa honeymoon neng...kalo suaminya minta jatah, jangan pernah ditolak daripada ntar dikasih jatah orang laen…hahaha", ucap Budis yang nampaknya tertarik dengan Pak Aryo karena memang Pak Aryo terbilang hot papa untuk pria seumurnya.
“hehe..iya…mari, Bu…”.
Pokoknya aku harus cerita ke Pak Aryo nanti untuk menyamakan cerita sekaligus minta maaf karena salah jawaban awalnya.
Nampak belum ada suara dari kamar Pak Aryo yang sebenarnya hanya bersebelahan dengan kamarku.
Ku rasa dia masih tidur, rasa lapar di perutku menandakan keadaan pikiran & mentalku sudah agak membaik setelah mengobrol dengan ibu-ibu barusan.
Aku mulai mencari mie yang disebutkan Pak Aryo barusan. Ternyata Pak Aryo juga sempat beli telur. Hmmm.
Aku pun mulai memasak, terbiasa mengurusi lelaki dalam hal birahi dan juga perut, insting ke-istri-anku pun muncul.
Kumasakkan juga sekalian untuk Pak Aryo ya meskipun dengan bahan yang ada, sepertinya aku hanya bikin pizza mie + nasi dan telur dadar, tapi lumayan lah untuk mengganjal perut.
Tak berselang lama, makanan selesai kusajikan, untungnya juga sudah ada peralatan makan. Untuk minum pun, kubuatkan minuman andalan pengembali tenaga, teh manis anget.
“tok tok tok...Pak...makan dulu, Pak !!”, teriakku dari luar kamarnya seraya mengetuk pintu.
“Oh iya Hana...sebentar”.

Ternyata, dia sudah bangun rupanya.
“hmm…kamu masak ?”.
“iya, Pak. Ayo makan, Pak...”.
“Ya sudah kamu makan saja duluan....”.
“ini juga ada buat Pak Aryo...”.
“Oh kamu bikinin buat saya juga....”.
“Iya, Pak. Yah meskipun ini cuma pizza mie sama telor dadar, abis nggak ada yang lain..”.
“Oh iya nggak apa-apa...saya malah suka...jadi keinget sering dibuatin anak saya dulu...”. Kami pun mengobrol kecil sambil makan dan hampir aku lupa.
Aku pun bercerita di akhir tentang obrolanku ke 3 ibu-ibu itu, tentu termasuk yang aku salah jawab bilang kalau Pak Aryo adalah suamiku.
“Hahahaha....kok bisa sih Hana, kamu ngomong gitu?”, tak kusangka ekspresinya malah tertawa, ku kira bakal marah atau gimana apalagi yang soal turun ranjang.
“hehehe...iya, Pak..maaf, Pak Aryo....mulut ini keluar aja kayak gitu....”.
“hahahaha...iya iya nggak apa-apa...ya sudah karena sudah terlanjur...kita lanjut pake cerita kamu aja...lagian juga kita rencananya nggak lama di sini kok...seenggaknya sampe semuanya aman dulu....”.

“iya, Pak...”.
“Kalo gitu...mulai sekarang saya itu suami kamu ya...yaya...”.
“hehe..iya Pak Aryo…maafin Hana ya”.
“Iya nggak apa-apa Hana...tapi namanya juga spontan...”.
“yaudah sini piringnya, Pak...”.
“Oke kalau gitu saya mandi sebentar...habis itu mau lapor pak RT...”.
“Eh tapi bisa, Pak ? Kan tadi...”.
“hoo.***mpang itu...Pak RT di sini kawan lama saya...makanya saya pilih perumahan ini...jadi gampang ngurus-ngurus surat-surat sementara aja sih...”.
“oh oke..eh, Pak...nanti habis dari Pak RT, kita keliling kenalin diri aja...biar nggak dicurigain gitu, Pak".
“Oh bener juga kamu...yaudah, nanti setelah saya dari Pak RT, kita sekalian belanja saja untuk kebutuhan tinggal di sini...”.
“Oh oke juga, Pak...boleh-boleh".




Hana Berbelanja Bersama Pak Aryo



Usai Pak Aryo mandi dan pulang dari rumah ketua RT, kami pun berangkat ke pusat perbelanjaan terdekat.
Meski masih dalam keadaan pandemi begini, sepertinya daerah sini tidak terlalu ketat. Hanya diwajibkan pakai masker dan sanitizer serta cek suhu.
Aku merasa berjalan dengan sugar daddy, semua uang dikeluarkan dari Pak Aryo mulai dari makan, minum, cemilan, dan juga belanjaan, semua dia yang bayarin.
Habis ya gimana, aku memang tidak punya uang ?, bukannya aku mau memanfaatkan.
Kami memutuskan untuk memberikan semacam handuk tapi yang kualitasnya cukup bagus untuk tetangga sekitar.
Katanya, Pak Aryo dulu seperti itu pas pindah ke rumahnya yang di luar negeri. Ya sudah, aku ikut saja meski mungkin bagi warga kita agak aneh saja.
Usai pulang ke rumah dan berganti pakaian, kami pun mulai berkeliling.

Dimulai dari rumah di samping kanan dan kiri kami. Di samping kanan kami ada keluarga Pak Parjo, pasangan tua yang sepertinya tinggal menikmati masa tuanya saja, kami tidak mengobrol lebih lanjut karena memang masih banyak rumah yang harus kami ketuk.
Sebelah kiri, rupanya pasangan muda yang masih baru memiliki 1 anak, Ririn & Dimas.
Berlanjut ke rumah di belakang kami, pokoknya rumah yang satu blok dengan kami. Ada pasangan paruh baya Pak Johan & Bu Tina, anaknya sudah 3, paling besar kuliah, dan paling kecil SMP. Satu keluarga lagi, entahlah, tidak ada orang di dalam jadi kami skip.

Berlanjut ke blok di depan rumah kami.
“Eh…neng Hana...”, sapa Bu Lilis. Ternyata ini rumah Bu Lilis.
“mari masuk-masuk, neng...”.
“Makasih, Bu...ini kami masih mau ngiter...cuma mau salam kenal aja saya ama suami saya".
“Iya, Bu...nama saya Aryo...”.
“oh iya...tadi udah sempet ngobrol sama neng Hana...”.
“Siapa, Mah ?”, tanya seorang laki-laki botak & buncit dari dalam rumah.
“oh ini tetangga baru kita, Pah...neng Hana sama Pak Aryo, suaminya..”.
“Gojali...”.
“Aryo...”. Mereka berdua bersalaman singkat.
“Gojali...”.
“Hana...”, aku refleks menyambut tangannya untuk bersalaman, dia memandangi wajahku.
Hmm...tatapan yang begitu familiar ketika seorang lelaki melihatku. Tapi berani sekali dia, padahal ada istrinya.
“ayo masuk dulu neng Hana”, ujarnya seakan sedikit memaksaku masuk.
“ma..makasih, Pak”, jawabku dengan agak menarik sedikit tanganku.
“kita masih mau ngiter lagi...mungkin nanti kapan-kapan main ke sini lagi...”.
“Ditunggu lho yaa..”.
“Hehe..iya, Pak..mari Bu Lilis..Pak Gojali...”, izinku sambil cepat-cepat pergi dari situ takut membuat masalah menjadi runyam.

“ati-ati kamu Hana...itu si Gojali kayaknya mata keranjang...”.
“hehe..iya, Pak Aryo...tenang, aku juga udah tau kok ciri-cirinya...”, ucapku menyebutkan diriku dengan aku karena kami sudah sepakat, takut keceplosan di depan orang, aku membiasakan diriku dengan panggilan ‘aku' di depan Pak Aryo, sama halnya dengannya.
“tapi ya nggak bisa disalahin...muka kamu kayak model gitu...dari tadi kenalan sama tetangga, si cowoknya pada ngeliatin kamu terus...”.
“Ih, Pak Aryo bisa aja...”. Kemudian, rumah yang kami kunjungi berikutnya adalah rumah Bu Dina, suaminya sedang tidak ada di rumah, nampaknya suaminya pengendara taksi online seperti itu.
Terakhir, rumah Bu Gadis.
“Nah yang ini aku tau...Pak Aryo yang mesti ati-ati...ini rumahnya Bu Gadis...kayaknya naksir sama Pak Aryo...”.
“lah kok bisa?”.
“Tau deh…coba aja buktiin...”.
Benar saja, karena ini rumah terakhir dekat rumah kami dan aku ingin melihat reaksi Pak Aryo, aku pun mengiyakan ketika diajak Budis masuk ke dalam.
Rupanya dia punya 2 anak laki-laki, kembar, sepertinya seumuran denganku.
Lucu juga, baru kali ini sih aku lihat anak kembar.

Ketika mereka dipaksa keluar oleh Bu Gadis untuk diperkenalkan, mereka sekedar berkenalan tapi kurasakan matanya sesekali melirik kepadaku. Tapi karena aku lagi fokus dan ketawa dalam hati melihat Pak Aryo yang gelapan menangani sikap Bu Gadis yang agak genit kepadanya, aku jadi tidak terlalu memperhatikan si kembar, tapi kutahu namanya Fadli & Fariz.
“huft...capek yah...”, keluh Pak Aryo.
“Capek kan digodain ? Mang enak Pak Aryo...”, ledekku sambil memeletkan lidahku.
“berarti kamu sering ya diginiin ama cowok?”.
“ya gitu deh...hehehe...”.
Selesai itu, kami pun pulang ke rumah untuk beristirahat kembali dan untuk menguatkan hatiku sekaligus mengobati rasa rinduku, aku pun menelpon Bu Dewi untuk memberi kabar sekaligus bertanya saat-saat terakhir ibuku karena Bu Dewi lah yang menjaga ibuku di saat-saat terakhirnya.
Dalam hati, aku berulang kali meminta maaf karena bukan aku, putri satu-satunya yang menemani saat-saat terakhir dalam hidup ibuku.
Pak Aryo & Bu Dewi hanya bisa menenangkanku lewat kata-kata karena aku menangis kembali.

Tapi setelah hari itu, aku merasa lega dan kuputuskan untuk tegar karena aku masih harus berusaha untuk setidaknya bisa bertemu dengan ayahku lagi.
Aku & Pak Aryo pun melanjutkan hidup bersama dengan peran suami & istri dan aku tak tahu kenapa bisa keluar surat KK dengan aku benar-benar tertera sebagai istri dari Pak Aryo, padahal jelas-jelas tentu Pak Aryo ada KK dengan Bu Dewi. Ini giman sih administrasi negeri ini...ckiiit, rem ah, putar balik 180 derajat, takut jadi ngomongin politik hehehe.
Mungkin karena Pak Aryo sudah pindah warga negara juga kali ya di luar negeri.
1 minggu tak terasa sudah terlewati. Kegiatan layaknya istri pun aku jalani seperti belanja ke pasar, memasakkan Pak Aryo makanan, membersihkan rumah, dan lainnya.
Hanya tugas sebagai ‘penghangat suhu tubuh' yang tidak kulakukan, dia benar-benar sama sekali tidak melalukan pendekatan kepadaku.

Bukannya aku kepedean atau gimana, tapi kebanyakan cowok, melihatku sekilas saja langsung mengejarku, yah minimal matanya langsung terpaku padaku lah. Dipersenjatai wajah cantik khas Asia Timur, kulit putih mulus seperti mutiara, kaki & leher jenjang serta bongkahan pantat kenyal dan menungging.
Tentu daya tarik utamaku adalah payudaraku yang bulat dan sekarang berukuran 36D ini, membusung ke depan benar-benar magnet bagi para lelaki.
Sedangkan Pak Aryo sudah serumah denganku selama seminggu, tidak melakukan pergerakan apapun. Sepertinya dia memang menganggapku sebagai anak, beda dengan ‘orang gila’ sepertiku.
Ya, dengan mental dan pikiran yang sudah berangsur-angsur kembali dengan tekadku yang tidak ingin lama bersedih, kembali pula lah rasa ‘gatal' ditubuhku.

Tapi aku tidak berani juga menggoda Pak Aryo yang sudah sangat baik kepadaku.
Sementara aku tetap di rumah dan sesekali mengobrol dan menyapa dengan tetangga sekitar, Pak Aryo sering keluar rumah. Mungkin mengurusi bisnisnya yang ada di sini.
Rumah Kek Wiryo yang waktu itu pun sudah dijual karena memang dia sekeluarga pindah ke luar negeri dan juga sesuai amanat dari mendiang Kek Wiryo waktu itu.
Aah, Kek Wiryo, salah satu ‘tuan’, ku.
Sore menjelang malam, Pak Aryo belum pulang juga.
Ingin telpon dia dan bertanya lagi dimana rasanya kurang pantas kulakukan karena istri bukan, anak pun bukan.
Aku hanya gadis yang di angkat sebagai anak angkat saja jadi aku pun mengurungkan niatku untuk memanggilnya.

‘Sifat' asli tubuhku mulai keluar, rasanya gerah sekali pakaian ini. Setelah menutup jendela dengan tirai, mengunci pintu, pakaianku pun segera ku loloskan dari tubuh ranumku.
Terasa begitu bebas. Akhirnya bugil lagi !! Teriakku dalam hati seakan aku sudah begitu lama tidak berkeliaran tanpa busana, padahal kan hanya sekitar 1 mingguan.
Begitu rasa sedih berhasil ku atasi eh malah rasa ‘gatal’ itu kembali lagi.
Aku pun melanjutkan memasak makan malam untuk Pak Aryo dalam keadaan tanpa busana.
Biasanya aku tak pernah bisa memasak dengan tenang karena selalu ada Udin yang menggerayangi tubuhku, entah dia mencemol-cemol dan meremas-remas payudaraku, mengobel-ngobel vaginaku, ataupun aku harus memasak dengan kondisi mengangkangi wajahnya pokoknya aku sama sekali tidak bisa memasak dengan tenang.




Memasak Tanpa Pakaian Dalam, Salah Satu Kebiasaan 'Baik' Hana



Pas sekali setelah selesai menaruh dan menata makan di meja makan, ada yang mengetuk.
“Sayang...buka pintu...”, secepat kilat aku langsung kembali ke dapur untuk mengambil bajuku dan mengenakannya kembali.
“Sebentar, Pah !!!”, jawabku sedikit teriak seraya buru-buru mengenakan pakaian.
Lucu juga kalau dipikir-pikir, kami memang sengaja memanggil Papah & Sayang, takut yang lain curiga. Padahal maksudnya panggilan Sayang Pak Aryo kepadaku lebih kepada anak dan ayahnya, sama juga dengan panggilan Papah ke Pak Aryo.
“maaf, Pah...baru selesai masak...hehehe...”, sapaku. Damn, gw lupa pake bh.
“Hoo..makasih ya..Hana...udah masakkin saya terus...”.
“lho? Kan emang kewajiban istri, Pak...”, candaku.
“eeh…kamu…udah ah, cuma kita berdua kan di sini...”.
“emang kenapa, Pak?”.
“iya..kalau cuma berdua nggak usah pura-pura suami istri ah...takut saya khilaf beneran...”.
“Hehehe…iya, Pak iya...maaf, Pak. Cuma bercanda...itung-itung anak berbakti yang masakkin buat ayahnya tiap hari, Pak..hehehe".
“Oh iya, bisa juga...kamu udah makan?”.
“belum, Pak".
“Oh ya sudah, kita makan bareng aja...”.
“oke, Pak".

Kami pun makan berdua, karena meja makan berdekatan dengan tempat memasak & kulkas, sambil menyuap makanan, mataku jelalatan, mencari bh. Itu, bh gw terbang kemana lagi sih, ujarku dalam hati.
Sumpah, tadi aku cuma ingin melepaskan ‘kegerahan’ku sejenak saja, tapi tak sangka aku lupa waktu dan Pak Aryo keburu pulang, mana aku sedang pakai kaos santai lagi yang agak longgar.
Aku tidak ada niatan untuk menggoda Pak Aryo, beneran deh pemirsah. Aku juga masih waras dan kepikiran Bu Dewi lah.
Payudaraku yang memang bulat membusung pasti lah terbentuk jelas di kaosku, karena di bajuku longgar justru jadi kebentuk jelas di bagian dada karena perutku yang rata dan pasti setiap bergoyang sedikit akan nampak jelas karena tidak tertutup bh.
“Hana...kamu hati-hati ah kalau pakaian...bahaya...”.
“Ha ? Oh..eeh...iya, iya, Pak. Maaf, Pak...Pak Aryo jadi ngeliat pemandangan nggak enak", aduh sungguh rasanya malu sekali, mungkin wajahku agak memerah. Sudah lama, aku tak merasa malu begini.

“nggak juga...eehmm”, Pak Aryo langsung berdehem setelah menjawab singkat.
“Apa, Pak?”, tanyaku memastikan.
“ah..nggak, Hana...kalau gitu saya mau istirahat dulu ya...”, Pak Aryo salah tingkah. Atau hanya perasaanku saja?.
“Ohh..okeh, Pak...”.
Aku melanjutkan membersihkan makanan dan mencuci piring. Setelah cuci piring, kulihat ada sesuatu di dekat kulkas.
“Njiir, ini kenapa bh sama cd gw bisa sampe di bawah kulkas sih...masa iya di bawa tikus? Mesum banget tuh tikus…ckckck”, omongku sendiri.
“Oh iya, gw lupa ngasih ini”, mengingat ada surat edaran dari RT, aku pun mengambil surat dari lemari dan mengetuk pintu kamar Pak Aryo.

“Pak Aryo...Pak Aryo...”, 2x kupanggil tidak ada jawaban dan ketika kucoba buka pintu kamarnya, pintunya tidak terkunci. Aku pun masuk ke dalam dan pas sekali, dia keluar kamar mandi dengan handuk di bahunya sementara area kejantanannya terbuka bebas.
“AAAHHH", pekikku.
“HANA ??!!!”, aku langsung ngacir pergi ke kamar. Jantungku berdebar kencang sekali.
Entah kenapa, aku merasa malu melihat ‘alat kawin’ milik Pak Aryo.
Padahal dalam kondisi tertidur, tapi bisa kulihat panjang & diameternya sama dengan milik Pak Karso dulu yang dalam keadaan sudah ngaceng.
Aku berdebar karena aku memang tak ada niatan untuk melihat batang kejantanan Pak Aryo yang merupakan sosok yang kuhormati seperti ayahku sendiri sekaligus membayangkan jika sudah dalam keadaan siap tempur, rasanya akan seperti penis Bang Jae & Udin yang dicampur jadi satu, panjang & tebal.

Antara segan & penasaran merupakan rasa campuran yang sedang kurasakan.
“Hana..Hana..Saya mau ngomong sebentar...”.
“Ii..ya, Pak...”.
“Saya tunggu di depan tv ya...”.
“iya, Pak”.
Aku harus menenangkan diriku, tahan diriku yang ‘gila’, ini Pak Aryo lho...ayah angkatku yang kuhormati layaknya ayahku sendiri.
Rupanya, Pak Aryo tipe orang yang tak segan konfrotasi daripada menghindari masalah, mungkin sudah insting pebisnis sukses sehingga masalah tidak berlarut-larut.
Aku lihat Pak Aryo memperhatikanku berjalan duduk di depannya.
“Saya minta maaf, Hana...”, dia langsung agak membungkukkan badannya ke arahku.
“ha? Ah..emm..Hana yang harusnya minta maaf, Pak...main nyelonong masuk aja...Hana minta maaf, Pak...”.
“kesampingkan itu...saya minta maaf, kamu jadi ngeliat pemandangan yang nggak enak...”.
“ha...nng..nggak juga kok, Pak”. Ehhh, tanpa sadar aku menjawab sama persis seperti yang jawaban Pak Aryo sebelumnya.
“…”. Pak Aryo terdiam sejenak.
“Jadi kamu tadi sebenarnya mau apa, Hana?”.
“Oh ini, Pak. Hana cuma mau kasih ini...”.
“ooh ini...sini saya baca sebentar...”.

Mataku benar tidak bisa kukontrol, seakan aku penasaran ingin mengintip apa yang tersembunyi di celana Pak Aryo.
“Hana...”.
“Ah iya, Pak...”, aku langsung gelagapan salah tingkah.
“Kamu...”.
“nggak, Pak..Hana nggak ngeliatin itunya Pak Aryo...eeh..”, spontan ku menutup mulut. Si bego, kenapa gue jawab begitu.
“maaf kalau menyinggung kamu...kamu boleh nggak jawab kalau nggak mau...saya cuma penasaran, sebenarnya kamu ini masih perawan atau nggak ?”.
“ah..itu....”, sontak kaget juga mendengar pertanyaan seperti itu dari mulut Pak Aryo.
“Ah...maaf, maaf..saya kurang sopan nanya begitu ke kamu...udah lupain aja...”
“ah…ngg..”. Bodo ah, birahi ku akhirnya memenangkan pertandingan dan meng-KO-kan akal sehatku.
“Hana....udah nggak perawan, Pak...”, aku tertunduk malu seolah putri yang sedang mengakui kepada ayahnya bahwa keperawanannya telah hilang.

“kamu mau tolong saya nggak, Hana? Sudah seminggu, saya nggak bisa nahan..rasanya sakit di alat vital saya...dan saya nggak berani jajan di luar karena takut kena penyakit dan kelamaan ninggalin kamu...”, terdengar hanya seperti sebuah alasan saja bagiku.
Ternyata memang benar, Pak Aryo pun tak tahan dengan hormon pheromone ku karena setiap hari mendapatkan pemandangan berupa tubuh sintalku dan aroma harum tubuhku.
“Ah..itu...”, aku masih agak merasa malu sih tapi otakku sudah kepikiran kegagahan batang kejantanan Pak Aryo barusan yang sudah ‘terekam’ jelas di memoriku dan birahiku yang sudah menggeser akal sehatku dan sekarang yang memberikan perintah untuk tubuh & mulutku untuk memberi signal-signal menggoda Pak Aryo.
Dan sekali lagi, akal sehat yang sudah KO tidak bisa meng counter ‘pembenaran’ dari birahiku yang menyuruhku untuk menggunakan kehangatan tubuhku sebagai balas budi ke Pak Aryo (dasar gw, alesan aja).

“tapi..Pak Aryo…nggak onani?”, jawabku mengeles.
“udah saya coba tapi tetap nggak bisa-bisa sampe tangan saya pegel..”.
Alah, Pak Aryo juga alasan saja sepertinya.
“Nanti Bu Dewi....”.
“Justru karena nggak ada istri saya, jadi saya begini...dan ditambah tiap hari mesti ngeliatin kamu yang sangat cantik...”.
“Eenng…”.
“Maaf, Hana. Untuk sekali ini saja, saya minta tolong. Rasanya saya ingin gila. Tolong Hana...”.
Aduh, sudah nggak kuat ku menahan harga diri. Dan biar tidak terlalu awkward, aku maju mendekatinya dan duduk di atas pahanya.
“Kalau gitu...biar Hana gantiin perannya Bu Dewi malam ini...”, bisikku manja.
Pak Aryo sumringah mendapat ‘sambutanku’ atas permintaannya.
“Ccpphh..ccpphh..hhaammmhh..”, bunyi decitan bibir kami berdua yang saling berpagut lembut tapi terasa nafsunya.
Tak hentinya lidah Pak Aryo berkelit dan mencari-cari lidahku untuk diajak gelut. Tentu kubalas pagutan lidah Pak Aryo tanpa sungkan.
Kami pun bertatapan mata dengan sangat dalam. Entahlah, hanya perasaanku atau bukan.
Tatapan mata Pak Aryo seakan memperlihatkan pria yang akhirnya ‘menang’ dan bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

Apakah karena memang sudah seminggu tidak merasakan kehangatan dari istrinya jadi begitu ku balas permintaannya dengan senang hati, dia langsung merasa ‘menang’, ataukah dia memang menginginkan tubuhku sedari awal bertemu.
Tangannya yang semula hanya di samping, kini mulai digunakan untuk mendekap tubuhku, dan tak lama bergerak turun ke bawah, menampung kedua bongkahan pantatku, meremasnya dengan gemas dan sesekali menampar pantatku cukup keras.
Usai bertukar liur dengan Pak Aryo, aku pun melepaskan bajuku untuk mempertontonkan payudaraku yang memang tidak terlindungi bh, langsung ke Pak Aryo.
Nampak dia menelan ludah dan matanya terpaku pada daging kembarku yang kenyal menantang ini.




Alat Hipnotis Hana



“Hana…dada kamu...benar-benar impian lelaki...”. Aku hanya tersenyum, dan menarik kedua tangannya dari pantatku untuk menggenggam payudaraku.
“Silahkan mainin sesuka Pak Aryo....hihihi", ucapku menantangnya.
Payudaraku yang bulat membusung ke depan memang benar-benar alat yang tepat untuk menghipnotis para pria. Pak Aryo, tanpa pikir panjang langsung mencaplok sekaligus tangan kirinya meremas-remas payudaraku yang kananku.
“mm..mm”, lirihku pelan seraya mengelus-elus kepala Pak Aryo.
Belum lama, tubuhku menjadi tempat penampungan air mani oleh Bang Jae dan Udin, saat ini ada seorang Om-Om yang menjadi ‘penerus’ dari mendiang ayahnya, Kek Wiryo sedang asik ‘mengunyah’ payudaraku dengan begitu asiknya.
Aku jadi sampai berpikir, apakah tubuh mulusku ini memang cocok menjadi ‘harta warisan’ yang dapat diwariskan turun menurun di satu keluarga dan bisa dinikmati mulai dari sang kakek, sang ayah, bahkan sang anak? Hmm...pikiran gila mulai meracuni otakku lagi padahal baru saja aku merasa separuh jiwaku hilang karen ditinggal ibuku tapi ‘sakit’ ku sudah kembali lagi saja.
Mungkin pengaruh dari kenyotan, sapuan lidah, dan remasan-remasan serta pelintiran Pak Aryo ke payudara & putingku.
“Udah puas nyusunya”, godaku setelah Pak Aryo selesai mengunyel-ngunyel buntalan daging milikku.
“haah....dada kamu...sungguh indah Hana...”.
“Hehehe....”.
Aku turun dari pangkuannya dan berdiri di depannya. Matanya sama sekali tak berkedip ketika aku mulai menurunkan celanaku. Sengaja aku lempar celanaku ke arahnya untuk menutupi wajahnya dan berjalan ke kamar.
“Hana tunggu di kamar....”, godaku begitu mengundang.




Suguhan Hana Untuk Pak Aryo



Tak usah menunggu puluhan detik, pintu kamarku terbuka. Aku sudah dalam posisi duduk dengan kaki menyilang, sengaja menutupi daerah kewanitaanku agar membuat Pak Aryo penasaran. Mata yang sudah penuh api nafsu pun terpancar jelas di mata Pak Aryo melihatku yang sudah duduk menantinya tanpa sehelai benangpun di tubuhku. Langsung lah dia menyerudukku, menindihku hingga aku tidur terlentang sambil diterpa cumbuan-cumbuannya yang begitu membabi buta. Seperti singa yang sedang ‘mencicipi' hasil buruannya, wajah dan tentu mulutku basah dijilati Pak Aryo. Aku menggeliat dan mendesah manja karena kegelian ketika dia mulai menciumi & menjilati leherku.
“Kamu bener-bener tau caranya bikin cowok nafsu....”.
“Hana emang diciptain buat mancing n pelampiasan nafsu cowok, Pak…mmmm", bisikku manja untuk semakin memancing birahinya.
Tentu itu sangat efektif, aku sampai gelagapan sendiri dari tangan dan mulut Pak Aryo yang sungguh intens mengeksplor setiap jengkal tubuhku. Bagi Pak Aryo yang setia dengan Bu Dewi, kesempatan seperti ini pastilah ia begitu bersemangat.
Pertama kalinya selingkuh langsung disuguhi tubuh putih mulus nan ranum seperti tubuhku ini. Bukannya menyombong, tapi tubuh sintalku ini sudah ‘teruji klinis’ bisa dengan mudah memancing gairah dan menjadi tempat ‘ideal’ pula untuk para pria berumur melampiaskan semua nafsu dan fantasi liarnya karena dengan senang hati, si pemilik tubuh yakni aku mau mewujudkan semuanya.
Sedangkan, untukku sendiri, ‘gandulan’ di selangkangan Pak Aryo itu sangat membuatku penasaran sampai seakan liang kewanitaanku merasa ‘genit’ dan ingin segera bertemu.
Tak mau berlama-lama, Pak Aryo sudah sampai di pangkal pahaku.
“wangi sekali, Hana....”.
Dia pun menyingkirkan kedua tanganku dari area intimku. Aku yang memang bertumpu pada sikuku bisa melihat ke arah selangkanganku dan melihat wajah Pak Aryo dan matanya yang terpaku pada pangkal pahaku.

Meski sudah seringkali bahkan tiap hari dirogoh-rogoh, disodok-sodok, dicelap-celup sampai disirami peju oleh 4 orang lelaki dengan berbagai tipe batang sampai saat ini, aku yakin betul bibir kemaluanku masih dalam kondisi rapat dan akan menggugah selera pria mana saja yang melihatnya secara langsung karena teknik perawatan tubuhku semakin canggih dari metode Pak Karso dulu didukung beberapa jamu dan obat herbal yang kubeli dari kenalan mendiang Kek Wiryo.
Aku jadi ingat, dulu ayahnya, Kek Wiryo menjadikan vaginaku sebagai ‘sumber udara segar’nya. Layaknya orang yang mengambil nafas dalam-dalam untuk.menghirup udara segar pegunungan, mendiang Kek Wiryo sangat gemar menjejalkan hidungnya ke belahan vaginaku agar wangi vaginaku memenuhi rongga hidungnya. Bagai wangi surga katanya.
Dan sebentar lagi, anaknya akan melakukan yang sama.
Ternyata memang benar tubuhku ini layaknya harta karun yang bisa dijadikan warisan antar generasi.
Baru saja selesai ‘masa bakti’ vaginaku sebagai tempat penampung air mani bagi ayah & anak yakni Bang Jae & Udin.
Ternyata sekarang, seakan arwah Kek Wiryo tak mau membiarkan vaginaku jatuh ke tangan orang lain lagi sehingga melalui anaknya, ia ingin agar tubuhku ini kembali menjadi ‘harta’ warisan keluarganya lagi.




Surga Hana Kembali 'Beroperasi'



Aku bisa melihat mata Pak Aryo tetap tak berkedip memandangi belahan bibir vaginaku seakan memandang lukisan yang indah.
“Hana....punya kamu....bagus sekali...”, pujinya.
“Boleh saya coba cium?”.
“Udah di depan mata...boleh diapain aja...hihihi...”, jawabku menggodanya.
Semakin dekat wajah Pak Aryo semakin terasa hembusan nafasnya di area intimku hingga akhirnya hidungnya terbenam tepat di antara belahan bibir vaginaku.
“nggak bau, Pak?”.
“Nggak...malah wangi sekali, Hana....”, ucapnya seraya semakin menekan hidungnya ke celah sempitku dan menarik nafas-nafas dalam-dalam.
Buah jatuhnya tak jauh dari pohonnya, dalam konteks ‘berhadapan’ dengan vaginaku, bisa sama persis dengan mendiang ayahnya. Padahal baru pertama kali ‘berkenalan’ dengan area pribadiku tapi seolah-olah seperti orang yang sudah lama tidak bertemu, akhirnya bisa bertemu kembali dengan kemaluanku dan sedang melepas rindu sekaligus nostalgia kepada vaginaku. Apa jangan-jangan, arwah Kek Wiryo sedang mengambil alih Pak Aryo untuk bisa melepas kangen kepadaku.
“hhmmm…iya…hh…Pak....di situ....”, eluhku lembut seraya menggelinjang-gelinjang kecil ketika Pak Aryo mulai menciumi pangkal paha putih mulusku, gundukan atas klitorisku, labia ku baik major maupun minor, bahkan fourchette dan anusku pun diciumi dengan penuh kelembutan dan begitu mesra.
Gelitikan lidahnya pun mulai memanjakan nafsuku. Rasanya, selangkanganku seperti sebuah hidangan yang begitu nikmat yang tidak mau dilewatkan setiap jengkalnya oleh Pak Aryo.
“Aahhmm…mmmhh…teruss…Paakh...hhmm…”, ku menggeliat-geliat dan berkedut-kedut kecil merasakan nikmat dari sapuan dan sentilan lidah Pak Aryo ketika menoel-noel klitorisku dan mengulik-ulik liang senggamaku.

Dari gerakan lidah Pak Aryo, bisa kutebak dia sudah cukup ahli dalam hal ‘menyantap’ vagina perempuan. Pastilah selangkangan Bu Dewi yang menjadi area pelatihan bagi Pak Aryo.
Aku yakin Bu Dewi juga sangat merawat area kewanitaannya, bisa dilihat dari Pak Aryo yang mahir dan nampak nyaman di selangkanganku, itu artinya berarti Pak Aryo sudah sering menyantap vagina perempuannya alias Bu Dewi, dan sekarang ketika di ‘empanin’ vagina gadis muda sepertiku, dia tinggal mengeluarkan pengalamannya saja sebagai ‘penyantap’ vagina.
“Paaakhhh !!!! NNNGGHHH !!”.
Aku tekan kepalanya dan mengencangkan jepitan pahaku pada kepalanya, refleksku ketika aku mendapatkan orgasme pertamaku dengan ayah angkatku ini.
“hh…maa…af, Pak…”, aku meminta maaf karena merasa tidak sopan dan sudah menjambak dan menjejalkan vaginaku ke ayah angkatku sendiri. Yah, meskipun salahnya sih karena ‘mengusik’ daerah intimku.
“ssslrrpp...”, bunyi seruput dari bagian bawah tubuhku karena Pak Aryo sedang mengkokop ‘kuah’ vaginaku langsung dari ‘mangkuk’nya.
“aah...enak sekali punya kamu Hana…manis gurih...kayak...”.
“jasuke...”, jawabku pelan.
“eh iya bener...kayak Jasuke...hehehe...”.
Pertama kali ku mendengarnya dari Bang Jae waktu itu. Ketika dia menyeruput cairan vaginaku, rasanya semakin manis gurih. Dan waktu itu dia bilang seperti kuah jasuke yang lebih ke arah susu kental manis cair + margarin. Hehehe, aku juga bingung, bisa-bisanya vaginaku rasanya disamakan dengan kuah jasuke. Dugaanku sih karena aku mulai minum jamu herbal baru yang kubeli dari kenalan mendiang Kek Wiryo.
Seakan makanan lezat, Pak Aryo benar-benar tak menyisakan sedikitpun cairan vaginaku, sampai di kilik-kilik vaginaku dengan telunjuknya untuk mendapatkan sisa kuah vaginaku.

“Gantian, Pak...”, jawabku lembut.
Aku berdiri berhadapan dengannya, kucumbu mesra ayah angkatku ini seraya bermain lidahnya. Tangannya menampung dan meremas-remas bongkahan pantatku yang kenyal.
Aku bantu buka kaitan celana dan resletingnya perlahan, dilanjutkan olehnya sendiri untuk melepas celananya disusul kaosnya. Tinggallah ia memakai celana dalam saja. Benjolan di celana dalamnya membuat jantungku berdegup kencang.
Kudorong perlahan ia untuk duduk di tepi ranjang.
“hhmm...”, ku bersuara ketika mengeluarkan ‘sang burung’ dari sangkarnya.
Menyembul keluar dengan posisi sudah mengacung tegak ke atas. Langsung kugenggam batang kejantanan yang ada di hadapanku ini.
“udah keras, Pak...”.
“iya....hehe...nggak tahan ngeliat kamu...Hana..”.
“Jadi ini mainan Bu Dewi tiap hari ya..”, ucapku seraya mengelus-elus kepala penisnya dengan jempol kiriku.
“Hari ini...temenin Hana main ya....”, tambahku seolah sedang berbicara ke kejantanan Pak Aryo diiringi gerakan jari telunjukku yang kuputar-kuputar mengelilingi leher penis Pak Aryo dan belaian halus pada kantung zakarnya.
Ku tahu pastilah rasanya ngilu namun cenderung nikmat setidaknya itu yang dirasakan Bang Jae kalau sudah kubeginikan.
“Eeh...kamu nggak jijik...”, tanya Pak Aryo begitu kubenamkan wajahku dan hidungku sampai benar-benar menekan kantung zakarnya agar bisa kuhirup dalam-dalam aroma ‘jantan’ yang khas ini.
Mungkin karena Pak Aryo orangnya cukup bersih, aromanya tidak terlalu tajam jika dibandingkan Bang Jae maupun Udin yang cukup menyengat dan menempel di hidungku.
Karena sering dijejali penis bau ayah & anak itu, hidungku seperti ‘nagih’ dengan aroma jantan dari selangkangan laki-laki layaknya ada orang yang candu dengan aroma bensin atau aroma kotoran kuku jempol kaki, ya pokoknya seperti itulah.




Wajah Cantik Hana Berhiaskan Penis Pak Aryo



“Hana malah suka...”, jawabku yang nampaknya cukup membuat Pak Aryo kaget namun lebih ke senang karena aku tak segan ‘menghadapi’ alat kawinnya ini.
Aku mulai dengan sapuan lidah dari pangkal zakarnya yang dekat dengan anus menuju ke atas, perbatasan antara kantung zakar dengan batangnya. Kutoel-toel bagian itu sebelum akhirnya lidahku bergerak menjelajahi ‘kantong menyan’ Pak Aryo secara menyeluruh, senti demi senti.
“Aaaahh....Hana....kamu…jago sekali....”, pujinya menggelinjang keenakan menikmati gerakan lidahku di sekujur kantung zakarnya apalagi ketika aku mengulum kedua bijinya bergantian. Meski jatuhnya baru 4 kemaluan pria yang sudah pernah ‘kusantap’ sejauh ini, tapi sepertinya sudah ratusan kali mulut dan lidahku memberikan ‘kasih sayang’ ke kejantanan para pria yang menjadi pasanganku itu jadi rasanya tak mungkin jika Pak Aryo tak menggelinjang keenakan.
“Ooohh Hanaa...enaakhhh...”, lenguhnya ketika aku mulai melahap utuh batang penisnya sampai menyentuh pangkal tenggorokanku. Tapi karena cukup panjang, mungkin hanya 3/4 saja yang bisa ku ‘simpan’ dengan rongga mulutku ini.
Dia mulai memegangi kepalaku dan perlahan menggerakkan perlahan penisnya dan menggunakan kerongonganku sebagai alat pompa penisnya. Mungkin karena dia melihatku cukup ‘nyaman’ malah tersenyum ke arahnya padahal penis besarnya menjejali mulutku.
“oooh Haanaa...”, berulang kali dia mengeluhkan namaku. Sepertinya baru kali ini ia merasakan bisa menggenjot mulut wanita bahkan sampai deepthroat seperti ini.
Selihai-lihainya Bu Dewi menservis Pak Aryo, kurasa Bu Dewi tak bisa deepthroat sepertiku karena untuk bisa seperti ini, seorang wanita harus mendapatkan ‘pelatihan’ yang cukup intens dan banyak. Kalau aku jangan ditanya. 3 lubang persengamaanku sudah terlatih sangat baik sehingga sudah sempurna untuk membantu para pria melampiaskan nafsunya kepadaku.

Terbiasa dicekoki ‘Joni’, aku tetap rileks meski Pak Aryo semakin intens menyogrokkan penisnya keluar masuk mulutku.
“Aaahhhh…”, bukannya melepas orgasmenya karena memang sudah terasa berkedut-kedut, Pak Aryo malah menarik keluar penisnya dari mulutku. Sempat terbentuk benang liurku antara mulutku dengan pucuk penis Pak Aryo.
“Ke..napa, Pak?”, tanyaku cukup tenang seraya sedikit mengatur nafas.
“Takut keluar di mulut kamu...Saya nggak kuat lagi...”.
“Lho? Hana malah mau minta pejunya Pak Aryo..”, langsung saja kusambar ‘topi’ pinknya itu dan kuempeng sambil kugelitik mesra kantung zakarnya dengan tangan kananku. Dan benar saja, tak sampai 2 detik, Pak Aryo menegang dan memegangi kepalaku lagi.
“AKKHHH HANAA !!!!”, erangnya. Langsung lah terasa tembakan cairan hangat di rongga mulutku, rasa khas asin kecut yang sudah familiar di mulutku. Sesekali mataku berkedip refleks seiring dengan tembakan air mani Pak Aryo yang mengenai langit-langit mulutku.
“hmmm..”. Ku urut batangnya dari pangkal menuju ke kepala penisnya agar sisa sperma yang tersisa bisa sepenuhnya keluar untuk kutampung dengan mulutku.
“hhh..hh", dia memandangiku dengan mulutku yang terbuka penuh dengan spermanya.
“kamu...nggak jijik ?”.
“glkk...”, untuk ku bisa jawab harus kutelan dulu kan?.
“nggak...Hana suka peju, Pak...”, jawabku begitu nakal.
“maaf, Hana...saya nggak kuat nahan...kamu…jago sekali...”.
Aku hanya tersenyum dan mengulik-ngulik lubang kencingnya dengan lidahku untuk mengais sisa sperma yang mungkin tertinggal di sana sebagai jawabanku.
“ini tetep keras ya, Pak...”, tanyaku agak heran karena batangnya terasa tetap keras padahal baru saja menembakkan ‘peluru putih’ nya.
“nggak bisa lemes ngeliat kamu Hana...”.
“hihihi...udah bisa ngomong jorok ke Hana...kalau gitu...yukk, Pak...Hana juga penasaran...punya Pak Aryo.. segede itu…bisa masuk apa nggak…hihi…”.
“kamu nggak apa-apa...kalau begituan sama saya?”.
“hihihi..udah nanggung, Pak...sekalian…lagian Hana juga udah gatel, Pak", jawabku untuk semakin merangsangnya dan tak buang waktu, aku naik ke pangkuannya dan memposisikan ujung penisnya di pintu masuk kemaluanku.
“eehhmm…”, kurasakan sensai tiap senti penis Pak Aryo yang membelah masuk dan menyeruak masuk semakin dalam ke liang senggamaku sampai akhirnya benar-benar amblas dan bisa kurasakan sudah sampai mentok di rahimku.
“ooh…sempit banget…dan anget…Hana…”.
“Punya Pak Aryo…juga..enak..keras…sampe mentook...”, kami berdua saling membalas ucapan nakal karena sama-sama menikmati pertemuan pertama kali antar ‘perangkat kawin’ masing-masing.

Dasar memang liang kewanitaanku itu ‘murahan’, sepertinya dia langsung terlena dengan panjang & diameter batang penis Pak Aryo dan langsung melupakan ‘cetakan’ penis Bang Jae & Udin lalu segera menyesuaikan dengan tekstur penis Pak Aryo yang sedang dijepitnya.
Dan dengan ini pula, resmi lah aku sebagai pelakor (perebut laki orang). Aku tak tahu apakah kedepannya, Pak Aryo akan menggunakan tubuhku sebagai pelampias nafsunya selama tinggal bersamaku ataukah kali ini saja. Tapi yang pasti, posisi penis yang sedang mengganjal liang kewanitaanku ini sudah cukup untuk bukti kalau aku adalah pelakor.
Apakah ini yang dirasakan pelakor atau cewek simpanan ya? Aku terus memikirkan itu padahal kami berdua sedang asik berpagut lembut dan mesra seraya sambil saling menikmati persatuan alat kawin kami di bawah sana.
Dengan tanganku melingkar di leher Pak Aryo, mulailah kugerakkan tubuhku naik turun untuk mengocok batang penis Pak Aryo dengan menggunakan organ intimku.
“eehmm….”, eluhku lembut merasakan batang milik Pak Aryo bergerak keluar masuk di relung vaginaku yang menarik dan mendorong dinding serta bibir liang kewanitaanku dengan begitu gagahnya.
“Pok pok pok…”, bunyi tumbukan antara pantatku dengan paha Pak Aryo sering gerakan naik turun tubuhku.
“oohh Paak…hhh". Pak Aryo memeluk tubuhku dan ‘menangkap’ payudaraku dengan mulutnya, mengenyotnya bergantian antara kanan dan kiri dadaku.

Tiba-tiba ia mendekapku, mengangkat tubuhku. Spontan, aku langsung mengeratkan tanganku di lehernya dan kedua kakiku di pinggangnya. Terbiasa menjadi ‘barang bawaan’ ketika digumuli Bang Jae, aku terbiasa dengan posisi ini.
Dulu Bang Jae suka sekali membuatku menjadi ‘barang bawaan’ dengan posisi penisnya mengait vaginaku seperti sekarang, jadi saat Pak Aryo mengangkat tubuhku, aku langsung refleks menemplok ke badannya seperti sekarang. Dia menaruhku perlahan di kasur sehingga kini aku yang tidur di kasur, nampaknya dia ingin memimpin persetubuhan kami ini lebih lanjut.
“Hana.....punya....kamu....sempit...peret....”, bisiknya memujiku.
“punya Bapak...yang gede....”, balasku. Usai beberapa detik dia diam yang nampaknya menikmati himpitan dinding vinaku pada kejantanannya, dia mulai menarik diiringi dorongan yang mantap sampai pucuk penisnya terasa mentok di liang senggamaku.
“eehhmmm..aaahmmm..iya, Paakh…terusshhh....”, celupan demi celupan yang pelan namun justru membuat rasa enak yang kurasa sampai ke ubun-ubun ini membuatku mendesah dan menggelinjang tak karuan.
Apalagi penisnya yang sungguh menyesakki liang vaginaku dan panjang penisnya yang membuatnya mentok di vaginaku membuatku merasa seperti ditelan rasa nikmat
“Hana…..Akkhhhh !!!!”, tiba-tiba saja dia mendorongku sekuat tenaga dan tak lama kurasakan semprotan hangat di dalam liang senggamaku.
“crootthh !!! Crrtthh !!”, tembakan demi tembakan kurasakan di kemaluanku, tubuhku sedikit berkedut kecil, efek sengatan listrik dari tembakan air mani Pak Aryo yang mengenai dinding vaginaku.




Tempik Hana Membuat Pak Aryo Lupa Diri



Dia ambruk di atas tubuhku.
“maaf Hana...saya..nggak kuat...punya kamu...terlalu sempit...”, masih saja dia bisa memujiku.
Aku hanya tersenyum ke arahnya masih dalam keadaan mengangkang dengan bibir vagina yang mulai ‘muntah’ sperma. Setelah ‘puasa’ air mani semingguan, akhirnya minum juga dia.
Tapi aku masih bingung, apakah ini memang karena vaginaku yang kurawat dengan sangat baik karena merupakan aset terbesarku yang membuat Pak Aryo kewalahan merasakan jepitan dagingku atau dia memang ejakulasi dini ? Yah setidaknya aku sudah orgasme tadi sehingga tidak terlalu masalah.
Biasanya aku bisa sampe berkali-kali ronde persengamaan saat aku masih menjadi ‘ember air mani’ Bang Jae & Udin dan baru merasa mengantuk tapi entah kenapa baru satu ronde dengan Pak Aryo, aku sudah mengantuk?.
Hmm tak tau lah, pokoknya aku mengantuk dan tidur memeluk Pak Aryo layaknya aku istri sahnya padahal aku hanya anak angkatnya yang sedang ‘difungsikan’ sebagai alat pemuas nafsunya malam ini.
“bangun Hana...”.
“aah..mm..iya....”.
“ayo sarapan dulu...tadi saya beliin makanan...”.
“iya, Pak...”, jawabku masih mengawang-awang karena belum sadar betul.
“terima kasih tadi malam, Hana...”, dia mengecup keningku dan meninggalkanku.
Terasa ngilu rasanya di selangkanganku, barulah ku ingat bahwa tadi malam aku habis menservis ayah angkatku dan bahkan menggunakan vaginaku untuk menjadi wadah air maninya di hari suburku ini.
Entahlah jika aku sampai hamil oleh Pak Aryo gimana jadinya nanti, toh rahimku sudah sering dicekoki air mani oleh Bang Jae & anaknya, Udin.
Wait, aku baru ingat, apa kabar ‘kecebong’ hasil patungan Bang Jae & Udin di rahimku waktu itu ya? Apa sudah berhasil menembus dan mendiami sel telurku di dalam sana? Hmm...
Tapi, aku mau mandi dulu, membersihkan bibir vaginaku yang terasa lengket dari sperma Pak Aryo yang sudah mengering di sana.

Usai mandi dan berpakaian, aku bergabung dengan Pak Aryo di meja makan. Kami sarapan dengan diam satu sama lain, awkward silence lah pokoknya. Nggak mungkin kan aku tiba-tiba bilang tentang tadi malam apalagi bertanya tentang ejakulasinya yang begitu cepat?
Padahal sayang sekali, ‘perkakas’ miliknya itu sudah sangat ideal untuk mengaduk-aduk kelamin wanita, hanya ketahanannya saja yang kurang, mungkin bisa kubantu latihan nanti..hehehe.
“Hana....soal tadi malam...”.
“ii..ya, kenapa, Pak?”.
“tolong jangan bilang Bu Dewi yaa..”.
“iya, Pak....”. Ya iyalah, bisa di gampar bolak balik gue kalau sampai ketahuan Bu Dewi.
“Saya janji nggak terulang lagi....”.
“iyaa, Pak...”.
Sebenarnya mau jawab, nggak apa-apa terulang lagi sih tapi entah kenapa rasanya segan meski dia bukan ayah kandungku, tapi tetap saja aku merasa tidak enakan.
“ya sudah, kamu makan ya...saya mau pergi sebentar ke luar...”.
“oh iya, Pak...”.
Usai aku sarapan, aku mengantar Pak Aryo keluar rumah sampai pergi naik mobilnya.
Lanjut saja ku beberes rumah, termasuk membereskan tempat tidur bekas aku digeluti Pak Aryo barusan.
Aku masih penasaran apakah kemaluanku sebegitu legitnya sampai Pak Aryo tak bisa menahan lama atau dia memang ejakulasi dini. Padahal ‘perangkat'nya sudah cocok untuk mengebor wanita, jika cuma daya tahan sih bisa kubantu latihan, sama seperti mendiang ayahnya dulu hehehe.

Selesai beberes, daripada bosan, aku pun nimbrung dan ikut mengobrol bersama Bu Dina, Bu Lilis, dan Bu Gadis. Yah, nampaknya peranku sebagai istri Pak Aryo, meski hanya bohongan, membuatku jadi ibu-ibu komplek mulai sekarang.
Ujungnya, kami pun pergi ke pasar bersama. Tentu, di pasar, ‘pandangan’ yang begitu familiar bagiku langsung kuterima dari para lelaki yang ada.
Dan banyak juga ibu-ibu yang memperhatikanku, mungkin karena baru lihat atau karena mereka merasa ada ‘musuh’ baru dan harus menjaga suami mereka. Hmmm…

Di pasar, aku diperkenalkan ke beberapa penjual langganan Bu Gadis, Bu Dina, dan Bu Lilis dan kebanyakan pertanyaan yang kuterima, baru pindah atau gimana dan siapa namaku, ya biasa sih, hanya sebatas perkenalan biasa.
Kami pun pulang setelah belanja bahan makanan dan masuk rumah masing-masing untuk memasak.
Mereka memasak untuk suami atau anak mereka, aku memasak untuk ayah angkatku yang sedang difungsikan menjadi suamiku. Mengingat tadi malam, dia benar-benar jadi suamiku sih, bahkan sampai meninggalkan ‘jejak’ di kemaluanku.
Karena aku tahu Pak Aryo akan pulang malam, aku pun jadi bingung harus apa. Beberes rumah sudah, bahan makanan tinggal di masak saja. Cuci sedang kukerjakan. Hmm ngapain lagi ya..
Biasanya jam segini, aku sibuk ‘mengempeng’ batang Udin bahkan mungkin habis meminum air seni nya.
Aku jadi kepikiran, apakah aku harus ke dokter ya untuk memeriksa progress benih hasil patungan Bang Jae & Udin yang waktu itu disuntikkan masuk ke dalam rahimku cukup banyak. Mungkin nanti kali ya..
Usai mencuci baju, aku pun sedikit berdandan dan berganti pakaian, aku ingin cari angin sebentar, hitung-hitung mengenal lingkungan sekitar rumah baruku ini karena aku takut jadi sedih kembali mengingat ibuku dan khawatir tentang keadaan ayahku.
Cukup jauh juga dari rumah sampai ke ujung komplek perumahan.
“aduh..aus juga...nggak ada warung apa nih?”, celingukan ku berjalan sambil mencari warung. Mungkin karena komplek jadinya, tidak ada warung seperti rumahku dulu.
“cari apa, nduk ?”.
“eeh..aah...mmm..ng..nggak, Kek...cuma cari warung..mau beli minum…”, jawabku kepada seorang kakek-kakek yang bertanya dari depan rumahnya yang nampaknya di fungsikan sebagai tempat cukur.




Mbah Kadrun



“oh masih jauh, Nduk...sini nggak ada warung...paling depan ada alpahmart atau endonmaret gitu...”
“ooh iyaa, Kek…kalo gitu saya permisi dulu...mau ke depan...”
“tapi kalau cuma minuman...Mbah ada, Nduk...”.
“ah nggak apa-apa...makasih, Kek...”.
“udah, Nduk..nggak apa-apa...ini...”, dia memberikanku semacam teh botol.
“aa..hh..makasih, Kek...”.
“Udah masuk dulu sini, Nduk…panas juga kan...”.
“Ii..ya, Kek”. Ternyata tempat cukurnya memakai AC, keren juga, lumayan untuk mendinginkan badan.
“Mbah baru liat kamu...kamu baru ya di sini?”.
“ii..ya, Kek..saya baru pindah ke sini belum lama...”.
“Hoo..pantes...baru Mbah liat yang apik tenan kayak kamu, Nduk...”. Emmh...kakek-kakek gatel niih.
“iya, Kek. Saya tinggal deket Bu Gadis, Bu Dina sama Bu Lilis...”.
“Oh iya...yaa..memang ada rumah kosong deket situ…sudah laku tooh…”.
“iya, Kek. Saya baru pindah sama suami saya...”.
“Oh ya ya ya...nama kamu siapa, Nduk ?”.
“Hana, Kek...”.
“kalau saya, biasanya dipanggil Mbah Kadrun...”.
“Oh iya, Kek Kadrun...”.
“Mbah Kadrun saja, biar sama kayak yang lain...”.
“oh ya, Mbah Kadrun...”.
“kamu jalan-jalan sendiri aja ?”.
“iya, Mbah…suami saya lagi ada perlu di luar...”.
“Ohh yaa..ya..”.
“Mbah udah lama tinggal di komplek sini ?”.
“yaahh..lumayan lah…pensiun umur 55, sekarang udah 64 tahun…pindah ke sini karena suasananya enak aja...”.
“Iya, Mbah..suasanya enak di sini..banyak pohonnya..adem gitu..”.
“Iya, makanya…kalau udah umur se Mbah gini ya tinggal santai menikmati hidup aja ya, Nduk yaa..”.
“hehehe..iya, Mbah...”.
“Udah punya anak, Nduk ?”.
“belum, Mbah..lagi proses...”, jawabku mengelus-elus perutku.
“Mbah sendiri...anak cucunya kemana ?”.
“yah udah punya hidup sendiri di luar sana...”.
“ooh tapi masih sering ngunjungin Mbah ?”.
“iya, beberapa bulan sekali masih...”.
“ooh...terus kalau istri Mbah ?”.
“udah wafat 5 tahun lalu..dia ada penyakit darah gula...”.
“maaf, Mbah...”.
“gapapa, Nduk...”.
“Ini, Mbah...”.
“Lho..apa ini, Nduk ?”.
“Ah ini buat minumannya…”.
“ya ampun, Nduk…Nduk...itu anggep aja salam kenal dari Mbah yang warga lama sini...”.
“ah iya, Mbah...hehehe…maaf…kalau gitu saya pulang dulu ya, Mbah...”.
“mau Mbah anter ? Lumayan jauh juga kan rumahmu dari sini, Nduk ?”.
“ah iya, nggak apa-apa, Mbah...biar sehat saya...”, sambil ku mengepalkan tangan dan berbuat seperti binaragawan menunjukkan bisep nya.
“hahaha..bisa guyon juga kamu, Nduk....”.
“hehehe…iya, Mbah…”.
“Sering-sering main ke sini, Nduk...enak ngobrol sama kamu...”.
“Iya, Mbah...nanti kapan-kapan main lagi....saya pulang dulu ya, Mbah...terima kasih banyak untuk minumannya, Mbah...”.
“Iya, Nduk…sama-sama...”.

Aku pun pulang ke rumah, lumayan lah sudah menjelang sore hari. Ku lihat nampaknya mobil Pak Aryo sudah tiba.
“dari mana kamu, Hana ?”.
“oh, habis muter-muter aja, Pak...mengakrabkan sendiri sama suasana sini...”.
“ooh gitu…sebentar..saya mau ngomong sesuatu...”.
“kenapa, Pak ?”.
“Jadi gini Hana....sepertinya saya nggak bisa tinggal lebih lama lagi jagain kamu...saya harus balik ke Amerika...urusin bisnis saya..”.
“saya juga takut....”.
“takut kenapa, Pak?”.
“takut terulang lagi kejadian kemarin....”.
“Ah..nng..iya, Pak...”.
“Maafin saya, Hana....saya khilaf dan jadi ngambil kesempatan dari kamu...”
“nggak apa-apa, Pak...karena Pak Aryo banyak bantuin Hana juga....”, jawabku canggung. Karena bingung bagaimana harus memperhalus kalimat “nggak apa-apa pakai badan gue buat lampiasin nafsu”, jadinya aku jawab seperti itu saja.
“kalau gitu...ini kamu pegang, Hana....”.
“eh...apa ini, Pak?”, tanyaku menerima kartu hitam.
“kalau kamu mau beli sesuatu, pakai itu aja...nanti googling aja ya cara pakainya kalau online shop”.
“eh....ini kartu kredit, Pak?”.
“iyaa...nanti kalau kamu ada keperluan mendadak...pakai aja...itu nggak ada limitnya...biar nanti saya yang bayar....”.
Waw, dari sepengetahuanku, kartu kredit yang berwarna hitam ini dan sudah begitu tak ada limitnya berarti ini kartu kredit khusus orang kaya yang sering kudengar itu.
“Oh iya...tadi saya udah cariin juga orang buat bantu-bantu kamu di rumah ini...dan mungkin 4 hari-an lg nanti ada dateng motor buat kamu...”.
“Ha ??!! Pak, beneran, Pak...nggak usah...Pak...Hana udah di bantu bisa tinggal di rumah ini aja udah makasih banget sama Bapak...ini juga nggak usah, Pak...nanti biar saya cari kerja sendiri aja...”, kataku menyerahkan kartu kredit.
“udah...kamu pegang aja Hana...buat keperluan mendadak...”.
Tiba-tiba dia memelukku.
“kamu anak angkat saya...kamu udah saya anggep anak sendiri...nggak mungkin saya ngebiarin kamu hidup kesusahan...kalau urusan kamu mau kuliah atau kerja, itu terserah kamu, Hana...pokoknya masalah keuangan, selama saya masih sanggup, kamu nggak usah khawatirin itu....”.
“Tapi, Pak...”.
“Sudah...pokoknya kamu terima saja...sekaligus permintaan maaf saya tentang tadi malam...tidak seharusnya saya ngelakuin itu ke kamu....”, dia melepas pelukannya dan menatapku.

“Hana nggak keberatan tentang tadi malam, Pak...hanya itu yang bisa Hana kasih buat bales kebaikan Pak Aryo...”, dan akhirnya keluar juga kalimat itu.
“maksud kamu ?”.
“Iyaa, Pak...kalau sedang susah bertemu Bu Dewi...Hana nggak keberatan jadi pengganti sementara Bu Dewi...”. Dia hanya tersenyum lembut kepadaku.
“Terima kasih, Hana...dan kalau ternyata gara-gara tadi malam...kamu kenapa-kenapa...saya siap tanggung jawab...”, nampaknya dia memikirkan masalah air maninya yang disemprotkan masuk ke dalam liang senggamaku.
“iya, Pak...terima kasih banyak, Pak”.
“Saya yang makasih, Hana...”.
Aku pun memberanikan diri mengecup lembut Pak Aryo, dan nampaknya Pak Aryo juga tak mau menyia-nyiakan kesempatan, dia balas melumat bibirku dengan penuh perasaan.
“Ini tanda dari Hana...kalau Hana siap jadi anak...tapi siap juga jadi istri...hehehe”.
“Kamu memang bidadari, Hana...”, ucapnya seraya membelai rambutku lembut.
Akhirnya keluar juga pengakuanku ke Pak Aryo kalau aku bisa berstatus anak angkatnya ataupun istri angkatnya. Eh bentar…ya pokoknya gitu lah. Siap disayang sebagai anak, tapi siap juga memberikan kasih sayang kepadanya sebagai istri ssementara.
Aku membantu Pak Aryo beres-beres perlengkapannya.
“Maaf ya, Hana...”, dia mengecup keningku. Aku balas dan mengecup mulutnya.
“kalau Pak Aryo lagi ke pulang...Hana siap nemenin Pak Aryo”, ucapku sedikit menggoda.
Dia hanya tersenyum sebelum naik ke mobilnya dan meninggalkan komplek perumahan ini.
Oke, mulai hari ini, berarti aku akan hidup sendiri. Tapi, kalau nggak salah, Pak Aryo tadi bilang kalau dia sudah mencari seseorang untuk membantu keseharianku. Hmm, nggak tau deh...yang penting aku akan coba melanjutkan hidup di rumah baruku dengan menyimpan memori tentang mendiang ibuku dan ayah kandungku yang mungkin dalam keadaan bahaya saat ini.
Usai memasak makanan dan mandi sore, yang bisa kulakukan hanyalah menonton tv saja. Sepertinya tv ini berlangganan channel luar jadi lumayan lah, aku bisa menonton serial luar negeri dibanding harus nonton sinetron dalam negeri.
Tidak ada hal spesial terjadi sampai malam tiba dan aku kebetulan mengantuk, mungkin karena tadi sore berjalan kaki cukup jauh dan akhirnya aku tidur cepat.

“hoeekk !!! OGGHHH !!! HOEEKK !!”, pagi hari kubuka dengan muntah karena rasa mual mendadak sesaat setelah bangun.
Perutku rasanya tak karuan, mual yang benar-benar tak tertahankan. Ingin menangis rasanya, biasanya kalau lagi tak enak badan begini, ibu langsung siap siaga merawatku, tapi sekarang aku hanya sendirian, terpaksa aku rebahan di sofa sejenak sambil sesekali menahan rasa mualku.
Untungnya waktu itu aku sempat beli obat-obatan dan kuminum obat paracetamol dan permen jahe agar tidak terlalu terasa mualnya, lalu aku membuat teh manis hangat, obat manjur di kalangan ibu-ibu.
Agak enakan setelah aku melakukan itu semua, tapi seketika aku berpikir, jangan-jangan…
Karena memang sebenarnya, aku sedang menunggu hasil dari ‘keroyokan’ Bang Jae & Udin waktu itu, aku juga sudah beli test pack.
Aku baca dengan seksama cara penggunaan dan indikasi yang ada.
“Gue....hamil...”. Aku langsung menutup mulut, jantung berdegup kencang. Kulihat lagi antara alat tes dengan petunjuk yang ada, benar-benar garis dua dan itu artinya positif hamil.
Seketika aku merasa tak kuat berdiri, aku langsung duduk dan menutup mulut. Air mata merembes keluar dari sela-sela mataku. Anehnya, bukan perasaan sedih melainkan perasaan gembira, benar-benar seperti seorang istri yang merasa bahagia dan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata ketika sang suami telah berhasil menghamilinya.
Seolah tak percaya, aku ambil alat tes baru dan kuuji lagi. Dan hasil yang sama keluar.
“Bang Jae....Udin...Kalian sukses...”, ucapku seraya mengelus-elus perutku.
Si bapak & anak mesum itu benar-benar berhasil membuatku hamil. Kegetolan dan kerajinan mereka menyirami rahimku dengan benih mereka tiap hari akhirnya membuahkan hasil meski aku yakin ini karena aktivitas terakhir kami waktu itu saat pertama kali aku merasakan gangbang, karena waktu itu, setiap ejakulasi, pastilah mereka keluarkan & “patungan” di dalam rahimku. Tak heran lah kalau sel telurku akhirnya kalah tempur lalu menyerah dan “merangkul” benih-benih di dalam sana.
“Mama akan rawat kamu dengan baik, Nak”.

Sungguh rasa bahagia yang tak bisa diungkapkan, aku merasa lengkap sudah menjadi seorang wanita. Meski memang belum resmi menjadi suamiku, rahimku sudah berhasil menjalankan fungsinya sebagai tempat penerus keturunan Bang Jae. Andai saja, aku masih di rumah Bang Jae, pasti Bang Jae & Udin akan senang bukan kepalang karena usaha mereka menghamiliku akhirnya membuahkan hasil. Aku juga sebenarnya ingin sekali berjumpa dengan mereka dan memberi tahu kabar ini kepada mereka secara langsung. Tapi, mau bagaimana. Aku bisa saja mencari alamat mereka di internet, tapi aku takut dengan kelompok pria yang waktu itu sampai datang ke rumahku dan bisa saja sampai membahayakan Bang Jae & Udin nantinya.
Padahal aku ingin sekali berjumpa dengan mereka dan merawat anak hasil “tabungan” mereka ini bersama-sama dan melanjutkan fungsiku dengan baik yakni menjadi “tempat produksi” massal keturunan untuk keluarga Bang Jae sesuai rancangan calon suamiku yang renta itu.
Rahimku yang memang sudah di desain untuk produksi 2-3 orang adik untuk Udin yang kemudian akan dialih fungsikan sebagai tempat “bersemayam” bagi benih-benih calon anak tiriku itu agar bisa menambah cucu untuk Bang Jae pastilah akan terwujud.
Belum lagi, mungkin kalau Bang Jae merasa sudah cukup menambah keluarganya dengan rahimku, mungkin rahimku akan “disewakan” ke teman-temannya untuk merasakan sensasi menghamili gadis muda sepertiku.
Hmm...memikirkan itu saja, rasanya tubuhku sudah menghangat kembali.
“Tenang, Nak...Mamah akan menahan diri...seenggaknya sampai kamu lahir dengan aman & sehat...”.
Sejak saat itu, aku pun benar-benar menjaga diriku. Dan beberapa hari kemudian, datang seorang perempuan agak tua datang dan sepertinya ini adalah orang yang disuruh Pak Aryo untuk membantuku dan beberapa minggu kemudian, datang juga motor untukku.
Aku sempat menelpon Pak Aryo dan protes karena harusnya tidak usah dibelikan, tapi dia bersikeras jadi mau tak mau, aku menerimanya.

Namun, aku tidak mengabari Pak Aryo mengenai kehamilanku ini. Takutnya dia salah sangka akibat peristiwa waktu itu, pastilah dia mengira anak yang sedang kukandung ini adalah anaknya. Aku yakin dan pasti kalau anak ini hasil dari Bang Jae & Udin sewaktu itu kami threesome, karena memang posisinya aku sedang masa subur dan ditambah pula air mani mereka yang disetor bergantian masuk ke dalam rahimku, tak mungkin lah sel telurku kuat menahan gempuran puluhan juta sperma yang ganas itu.
“neng Hana...hati-hati...jangan terlalu capek...kasian bayinya...”, ujar Mbok Tina, wanita tua yang memang datang karena dipekerjaan oleh Pak Aryo untuk membantuku di rumah.
Karena sudah beberapa bulan berlalu dan perutku sudah membesar tentu akhirnya aku harus cerita ke Mbok Tina. Untungnya, dia sangat baik, pengertian, dan tidak banyak tanya, tapi dengan pasti dia bilang akan merawatku & janinku ini layaknya anak & calon cucunya.
Tentu, harus ada versi cerita yang kusebarkan di area perumahanku dan pastinya dengan cara membuat cerita kemudian ku ceritakan ke Bu Gadis, Bu Dina, dan Bu Lilis.
Awal mereka menanyakan kemana Pak Aryo karena istri lagi hamil malah ditinggal. Ya, typical lah. Ku karang cerita saja kalau Pak Aryo sedang ada bisnis penting di luar negeri jadi mau tidak mau harus meninggalkanku, tapi ku ceritakan juga ada Mbok Tina untuk membantuku sehingga mereka tidak khawatir lagi dan tidak terlalu menggunjingkan Pak Aryo.




Hana Doyan Makan Saat Hamil Muda



“Nduuk...kamu lagi hamil malah jalan-jalan terus...”.
“iya, Mbah...justru biar sehat, Mbah...”, jawabku ke Mbah Kadrun.
“ayo istirahat dulu sini, Nduk...”.
“iya, Mbah...”.
Aku mengikuti Mbah Kadrun masuk ke dalam tempat cukurnya.
“Nengg...”, dia langsung memelukku.
“Eehmm…cccpphh..hhmm...”, kami langsung beradu lidah & mulut yang saling memagut satu sama lain selama beberapa saat.
“iih..Mbah Kadrun...main nyosor aja”, protesku manja.
“Hehehe...abis nggak tahan kalo liat bibir neng Hana...”.
Bagi pembaca, bingung atau sudah tahu kenapa dengan mudahnya Mba Kadrun mencumbuku ?.
Tadinya aku mau cerita lebih detail waktu pertama kali Mbah Kadrun merayuku, tapi ya karena aku sedang hamil jadi tidak boleh terlalu capek :p dan juga sudah terlalu stereotype ceritaku karena siklusnya selalu begitu, begitu kehilangan pemilik, tubuhku ini seakan bisa mencari sendiri ‘pemilik’ potensial berikutnya dan sudah gitu memang Mbah Kadrun ini genit sedari awal kepadaku jadi ya gitu deh. Intinya, setelah sering mengobrol denganku, bahkan membawakan makanan datang ke rumahku, pokoknya proses pendekatan padakulah.
Ketika kami sedang di tempat cukurnya, dia akhirnya mengaku sangat suka kepadaku, terlebih karena aku mirip dengan mendiang istrinya.
Padahal waktu posisinya, dia tahu kalau aku sudah punya suami yaitu Pak Aryo, ya meskipun cuma pura-pura dan dia tahu kalau aku sedang hamil tapi tetap dia nekat mengajukan permintaannya.

Permintaannya waktu itu agar aku memperlihatkan payudaraku dan membiarkan dia masturbasi di depanku dengan pemandangan kedua buah dadaku. Mungkin untuk membuatku menerima permintaannya, dia berjanji kalau itu pertama dan yang terakhir, selanjutnya dia tidak akan menggangguku lagi.
Aku iyakan permintaannya waktu itu. Ketika dia sudah mau mencapai klimaksnya, aku yakin dia sangat kaget ketika tiba-tiba aku menyambar ‘senjata usang’nya itu dengan mulutku.
Mungkin karena sudah tidak tahan, air mani nya langsung muncrat keluar memenuhi rongga mulutku.
Setelah itu, aku membuat statement agar Mbah Kadrun mau ‘bertanggung jawab’ kepadaku. Tentu ia sangat senang, apalagi pertama kali, aku langsung menenggak spermanya tanpa segan sedikitpun.
Lelaki mana yang bakal menolak gadis muda yang pertama kali saja langsung mau menelan air mani tanpa dipaksa & jijik.
Dan begitulah, ‘ciuman’ pertamaku dengan Mbah Kadrun langsung dengan alat kelaminnya.
Tapi tentu, dia juga banyak pertanyaan mengenai statusku dan bayi di kandunganku. Dan mau tidak mau, aku harus cerita sebenarnya ke Mbah Kadrun. Toh, tubuhku sudah menerima ‘biaya registrasi’ dari Mbah Kadrun yakni berupa air mani miliknya.
Dia geleng-geleng dan akhirnya baru sadar kenapa aku mudah sekali di dekati kakek-kakek sepertinya.
Dan sejak saat itulah, penis Mbah Kadrun semakin leluasa dan bebas keluar masuk tubuhku, meski tak melauli kewanitaanku sih, tapi dia puas karena skill oral & analku yang mumpuni. Bahkan seumurnya, baru kali ini dia bisa merasakan sempitnya lubang pantat wanita dan betapa puasnya bisa menghias wajah dan mencekoki gadis cantik sepertiku dengan sperma.

Eh tanpa sadar, aku sudah bugil saja.
“hehehe...Nduk makin seksi dan cantik tiap hari...kayaknya anak kamu cewek deh...”.
“kok? Tau dari mana?”.
“iya katanya kalau anaknya cewek, ibunya jadi keliatan makin cantik, Nduk...”.
“Ah bisa aja, Mbah...”.
“Ayo kamu cepet lahir ya...soalnya Mbah udah nggak sabar pengen bikin adek buat kamu...”.
“hihihi..dasar...”.
“tapi beneran, Nduk ? Mbah boleh hamilin kamu?”.
“boleh, Mbah ku sayaang”, jawabku manja.
“Kalau tiap Mbah hamilin kamu?”.
“Hana siaap kok. Rahim sama kandungan Hana emang udah kepunyaan Mbah Kadrun. Jadi bebas dipakai, terserah Mbah Kadrun…”, jawabku menggoda kemudian mencium lembut tukang cukur mesum yang satu ini.
Seriously, kayaknya memang ada ikatan tersembunyi antara pria lansia dengan menghamili gadis muda sepertiku.
“Ceekliing..krieek”, pintu tiba-tiba terbuka.
Ah sial, Mbah Kadrun lupa mengunci pintu sepertinya.
“aa...”, tercipta momen sunyi dan terkejut di antara kami bertiga. Orang yang datang itu menyaksikan seorang gadis muda yang bugil dengan perut yang sudah agak buncit sedang memeluk mesra kakek-kakek yang masih berpakain lengkap.
Ini fantasiku yang selama ini kuimajinasikan dalam pikiranku.
“ng..ngapain lo kesini...”, tanya Mbah Kadrun.
“Aah..i..itu..”, sepertinya orang ini pun bingun harus bagaimana, mungkin dia memang datang untuk cukur, entah beruntung atau sial, dia malah melihat seorang gadis muda tanpa busana sedang bermesraan dengan si tukang cukur.
Eh bentar....
“Udah lo sana dulu, So...” .
“eh sebentar...”, tanpa menghiraukan tubuhku sendiri yang tidak tertutup apapun, aku menghampiri orang tersebut.
“eeh....neng...Hana ?”.
“Pak Karso ? Iih bener Pak Karso !!!”.
Tanpa pikir panjang, meski pintu masih terbuka dan aku masih dalam keadaan bugil, aku memeluknya.
“Pak Karso !!! Hana...kangenn…”, keluhku sambil tak terasa menitikkan air mata.
Pak Karso tidak merespon tapi memelukku dengan sangat erat.
Sungguh tak kusangka, aku bisa bertemu lagi dengan cinta pertamaku, si lansia pertama yang mengambil keperawananku yang kuserahkan secara sukarela dan sumber dari awal hasrat seksualku yang menyimpang, Pak Karso.
IT’S LIKE A DREAM.
FINALLY, I MEET YOU AGAIN, MY OLD FIRST LOVE
I MISS YOU, PAK KARSO
Tangisan air mataku pun tak berhenti mengalir seolah pikiran, hati, dan rasa yang selama ini kehilangan ‘sesuatu’, akhirnya menemukan kembali ‘sesuatu’ itu.

TAMAAAT
END




Hana Bahagia Bertemu Kembali Dengan Cinta Pertamanya



Tamat (The End)

Home (Index Halaman)
 
Njirr ada yg online jm segini wkwkwk

Siap, bro
Silahkan di baca

Thanks suhu & bro yang betah di marih nongkrongin Hana sampe dia pegel sendiri bikin cerita alias tamat

Silahkan di baca sebelum thread ini di closed oleh moderator karena mungkin tidak ada update lagi dari TS nya

Sampe jumpa di thread-thread lainnya kalau author masih sempet ada waktu bikin cerita lainnya hahahaha
 
Bimabet
Njirr ada yg online jm segini wkwkwk

Siap, bro
Silahkan di baca

Thanks suhu & bro yang betah di marih nongkrongin Hana sampe dia pegel sendiri bikin cerita alias tamat

Silahkan di baca sebelum thread ini di closed oleh moderator karena mungkin tidak ada update lagi dari TS nya

Sampe jumpa di thread-thread lainnya kalau author masih sempet ada waktu bikin cerita lainnya hahahaha
Emang udah ditunggu tunggu kelanjutannya bro..wkwkwk..

Ditunggu karya selanjutnya 👍👍👍
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd