Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

IV. Persimpangan Jalan


Aku tahu sebagian besar pria - setidaknya aku - punya fantasi seperti ini, yaitu suatu waktu mereka akan bangun dengan rasa hangat di penis mereka dan begitu membuka mata, mereka melihat penisnya sedang dihisap oleh pasangan wanitanya. Kalau dia pria yang beruntung fantasi itu akan jadi nyata, dan pagi ini aku adalah salah satu dari orang yang beruntung itu.

Tris sedang berlutut di ujung tempat tidur, mencondongkan tubuh ke atasku dan menghisap penisku dengan lembut, membuatku kesadaranku terkumpul dengan cepat berkat rasa hangat dan basah yang menyelimuti di bagian bawah sana. Tris mengerakkan kepalanya naik turun pelan sambil dia menatap penuh cinta ke mataku yang terbuka lebar.

"Selamat pagi." Mungkin itu yang dia bilang, karena ucapannya ga jelas akibat bibirnya tersumpal oleh penisku.

"Selamat pagi." Aku membalas. "Ga sopan ngomong kalau mulutnya penuh."

Dia mengeluarkan penisku yang sudah ereksi penuh dari bibirnya, "Jadi aku harus berhenti atau mau dilanjutin?"

"Aku tentu ga keberatan, asal bukan cuma aku yang menikmati." Aku mengulurkan tanganku kearahnya.

Dia mengangguk, memanjat naik ke tempat tidur dan menghujamkan penisku pada kemaluannya yang sudah basah dan licin.

“Aghh... Nmmpp...”

Tubuhnya membungkuk kedepan untuk menciumku, menahan desahannya dengan menempelkan bibirnya ke bibirku. Beberapa saat kemudian dia menegakkan tubuhnya dan mulai bergerak, dalam waktu singkat gerakan kami sudah seirama. Mata Tris terpejam dan dia menggigit bibir bawahnya, konsentrasi menikmati gesekan di kelamin kami, payudaranya memantul membentuk lingkaran saat dia memacu tubuhnya diatasku.

Aku bisa merasakan orgasmenya semakin dekat meskipun dia ga mengeluarkan suara selain nafasnya yang terengah-engah, dan aku mengulurkan tangan untuk menjangkau payudaranya dan menjepit putingnya. Matanya terbuka, penuh dengan gairah, dan dia menatapku dengan penuh nafsu.

“Umpph... ngghhh...”

Orgasmenya tiba, wajahnya meringis dan matanya sekali lagi tertutup rapat saat dia mengerang pelan dan mengejang. Aku bisa merasakan kontraksi vaginanya berkedut meremas batang penisku sebelum dia makin tenang dan diam.

Masih tanpa sepatah kata pun yang terucap, dia kembali dari dunia tanpa suara dan tanpa rupa itu, tatapannya melembut jadi tatapan memuja saat dia mulai bergerak naik turun sekali lagi, kali ini untuk kenikmatanku yang datang dengan cepat dan kuat berkat otot kegel dan jari-jarinya yang lincah, tangannya meraih ke belakangnya untuk membelai paha dan buah zakarku, dan akhirnya meremas berirama saat orgasme kami kali ini datang bersamaan.

Kami berbaring bersama disinari cahaya matahari yang menerobos masuk dari jendela, tahu bahwa kami perlu bangun dan menjalani hari lain yang berat untukku. Seperti biasa dia membaca pikiranku.

"Ga usah khawatir tentang hubungan kita, sayangku. Semuanya punya cara kerja yang misterius. Kita bukan pasangan pertama yang LDR dan harus menempuh perjalanan jauh untuk bertemu. Tempatmu di sini bukan di Semarang. Jangan merasa bersalah. Hiduplah untuk hari ini dan masa depanmu."

Aku memeluknya erat-erat sebagai balasan. Kami saling bertatapan satu sama lain penuh cinta dalam percakapan fasih tanpa kata yang cuma bicara tentang cinta dan penyerahan diri. Lalu kami bangun dan mandi – kali ini sendiri-sendiri -, sarapan, merapikan kamar dan menunggu kedatangan Alfon. Saat aku berangkat, Tris memanggilku. "Aku mau beli oleh-oleh. Kita ketemu lagi di sini nanti sore."

Aku melambaikan tangan dan masuk ke mobil Alfon. Kami berkendara singkat di sekitar Serpong. Samar-samar sepertinya aku tahu rute yang kami lewati. Begitu kami sampai di dekat pusat kota, Alfon berbelok dari jalan utama dan mengambil jalan kecil menuju kawasan industri. Dalam waktu singkat kami sampai di depan sebuah pabrik yang ga aku kenali, meskipun tulisan PT. Riccardson Global Teknik, terpampang jelas di dinding menunjukkan aku adalah pemilik tempat itu.

Kami berjalan memasuki lobby. Seorang wanita muda yang duduk di resepsionis menyapa Alfon, "Halo, Pak Alfon Syarif. Pak Jeffry sudah menunggu kedatangan Anda. Mau langsung masuk?"

Alfon mengisi buku tamu, menulis namanya dan menambahkan 'dan tamu' dibawahnya. Kami lalu melanjutkan ke lorong menuju ke sebuah ruangan di ujung lorong. Alfon mengetuk dan masuk, aku mengikuti di belakangnya memasuki sebuah ruangan yang punya banyak jendela besar, satu set sofa berwarna coklat berada di tengah ruangan, sederet rak buku dan kabinet berjajar di satu sudut, dua pintu kayu besar bersebelahan di sisi dinding seberang pintu tempat kami masuk.

Di sini ada wanita cantik lainnya, lebih tua dari yang pertama tadi, mungkin berusia akhir tiga puluhan. Rambutnya bergelombang dengan mata bulat, hidung kecil dan mulut lebar.

"Halo Widya," kata Alfon. "Jeffry sudah siap untuk ketemu kami?"

"Pagi Pak Alfon, Iya, dia sudah menunggu dari tadi. Silahkan masuk." Wanita itu berdiri dan berjalan menuju ke dua pintu besar yang tadi kulihat saat kami masuk.

"Kenal dia?" tanya Alfon padaku dengan suara lirih sehingga aku hampir ga bisa mendengarnya.

Aku menggelengkan kepala.

“Dia Widya, sekretaris perusahaan, dia adalah salah satu karyawan pertama yang kalian rekrut.”

Lalu kami mengikuti Widya yang mendorong sebuah pintu terbuka dan didalamnya aku melihat Jeffry Lukman untuk pertama kalinya (dalam ingatanku).

Aku ga punya bayangan jelas gimana penampilan seorang pemilik perusahaan, mungkin seorang eksekutif muda yang gagah, rambutnya klimis, memakai jas dan duduk di balik meja besar dengan senyum yang menawan. Tapi, apa yang kulihat adalah punggung dari sosok yang membungkuk di atas meja kecil tempat pria itu meletakkan laptopnya.

"Tunggu sebentar, Alfon," gumamnya. "Ada masalah sialan yang ga bisa kupecahkan. Mau coba sekali lagi."

Alfon memutar matanya keatas, "Dia selalu seperti ini," katanya padaku.

Jeffry segera menegakkan tubuh dan berbalik

"Oh, aku minta maaf, aku lupa Alfon mengajak tamu lain."

Laki-laki itu punya potongan rambut yang ga rapi, sedikit gemuk dan lebih tinggi dariku. Dia maju dua langkah ke arah kami sambil mengulurkan tangannya yang besar. Aku kaget dia ga menunjukkan reaksi sama sekali saat melihat wajahku. Sedikit pun ga ada.

"Senang ketemu Anda," katanya, "Saya Jeffry Lukman," dia memperkenalkan dirinya.

Aku meraih tangannya dan menjabatnya. "Apa kabar, Jeffry," jawabku, "Alfon sudah banyak cerita soal kamu. Aku jadi sangat ga sabar untuk bisa ketemu lagi denganmu. Kita sudah bertemu berkali-kali sebelumnya, tapi sekarang aku ga kenal kamu dan kamu ga kenal aku." lalu aku tertawa ringan.

Efeknya lucu. Dia kelihatan bingung. Bisa dilihat dahinya berkerut, mencoba mencerna arti kata-kataku yang saling bertentangan, yang sering ketemu tapi ga saling kenal, dan aku rasa dia kenal sesuatu dalam nada suaraku.

"Aku yakin aku bisa ingat Anda," katanya tapi tampak meragukan kata-katanya sendiri. "Nyatanya--"

"Dengan wajah seperti ini? Ya, kamu mungkin kenal aku, tapi itu pasti sebelum wajahku berubah jadi seperti ini sejak dua setengah tahun ketika aku berangkat ke Surabaya."

Dia cepat paham. Mulutnya ternganga. "Ini... bukan?"

"Ya Jeffry, ini aku," kataku.

Dia menatapku dalam diam, mulutnya terbuka dan tertutup.

Akhirnya dia tergagap, "Errik? Ya Tuhan, kamu kemana aja? Dan kamu kenapa?"

"Sebaiknya kita sambil duduk." saran Alfon.

Jeffry sadar dan menunjuk ke sofa di samping, dia sendiri duduk di salah satunya. Kami mengikutinya.

"Ceritakan padanya, Errik." kata Alfon.

Aku cerita padanya. Aku semakin jago cerita tentang kisah ini. Aku cerita semuanya kecuali untuk hal-hal yang masih belum pasti. Saat aku selesai dia kelihatan shock.

"Tapi kenapa ga ada yang tahu di mana kamu selama ini? Bukannya Ana mencarimu ke rumah sakit? Aku kira dia akan mencari kamu dengan menghubungi hotel, memastikan kamu masih ada di sana atau ga dan kalau ga ada, kapan kamu pergi, lalu telpon polisi, rumah sakit dan... Jadi maksudmu dia ga ngecek kesana?"

"Ga," jawabku, "Mungkin dia ngecek ke rumah sakit, tapi rasanya rumah sakit yang salah. Ga mungkin dia tiba-tiba nyari ke Rumah Sakit Semarang padahal aku hilang dari Surabaya. Ga mungkin dia bisa melacakku kesana dari apa yang dia tahu dari hotel."

"Tapi kenapa dia ga lapor polisi? Aku kira dia sudah lapor."

Dia kelihatan sedih.

"Kalau aku tahu, aku akan ikut bikin pencarian yang selayaknya," gumamnya. "Kalau aku tahu dia ga sampai ke sana, aku yang akan mencarimu kesana. Aku menganggap selama ini dia sudah ngelakuin semuanya."

"Dia lapor polisi tapi cuma sebatas itu. Dia ga ngecek detail ke hotel," kata Alfon. "Dia nyewa detektif swasta tapi sepertinya pasrah pada semua hasil yang diberitahukan sama detektif itu."

"Jeff," kataku, "Ga perlu nyalahin dirimu sendiri karena itu."

Dia tersenyum sedih.

"Kalau ga salah terakhir kita ketemu sebelum aku ke Surabaya, kan?" tambahku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Ceritain soal itu."

"Kamu ke Surabaya menemui Jason Thomas, pengusaha asal Singapore, saat dia mengikuti acara di Surabaya. Dia tahu keluargamu juga berasal dari Singapore dan selain itu dia sangat kagum pada presentasimu sebelumnya dan karena itu kita dapat order besar darinya. Hari itu kamu janjian ketemu dengannya untuk menandatangani kontrak lalu mengirim detailnya padaku."

Aku menggelengkan kepala.

"Aku ga ingat semua itu, Jeffry. Jangan kaget, aku bahkan ga ingat kamu. Aku ga tahu apa-apa tentang perusahaan ini selain bahwa aku adalah salah satu pemiliknya."

Tapi dia tetap kaget. Aku menjelaskan gimana ingatanku seharusnya bisa kembali dan perbedaan antara ingatan jangka pendekku setelah kejadian dan ingatan jangka panjangku tentang masa sebelum serangan itu. Aku cerita gimana ingatan masa kecil sering muncul awalnya dan secara bertahap ingatan yang lebih baru muncul, kadang muncul melalui mimpi.

Akhirnya dia bicara lagi. "Apa kamu sudah ketemu Ana? Alfon bisa kasih tahu alamatnya."

"Belum," jawabku, "Dan sejujurnya saat ini aku belum punya rencana soal itu."

Aku menjelaskan alasannya seperti pada Alfon. Dia melihat alasanku masuk akal dan mengangguk.

"Dan Jeffry," tambahku, "Aku minta tolong jangan sampai ada yang tahu aku sudah kembali. Aku ga mau kabar itu sampai ke Ana. Ga ada yang boleh tahu."

"Terus, gimana kami harus jelasin kehadiranmu di sini kalau ga boleh ada yang tahu, kedepannya kamu akan sering ke kantor kan?" Dia cerdik, dan segera melihat kesulitan yang muncul.

"Siapa aja di kantor ini yang bisa dipercaya untuk menyimpan rahasia ini?" Aku bertanya.

"Masa kamu ga tahu?" Jeffry tertawa dan lalu sadar kesalahannya.

"Maaf Errik, aku selalu lupa kamu ga punya ingatan tentang ini. Yang sudah jelas adalah Widya. Dia sangat setia pada kita. Dia nangis berhari-hari setelah kamu menghilang. Dia ga bisa percaya kamu ninggalin Ana dan pergi dengan wanita lain. "

"Kalau gitu, suruh dia masuk. Kita kasih tahu garis besarnya sekarang dan kamu bisa cerita detailnya saat kami sudah pergi."

Jeffry berdiri dan meraih telepon. "Widya, tolong masuk kesini?"

Aku berdiri saat dia masuk ke ruangan dan dia tersenyum pada kesopananku.

"Widya. Bisa kamu janji ga bocorin apapun keluar dari ruangan ini tentang apa yang akan kami ceritakan ke kamu?" Tanya Jeffry.

"Ya, sudah pasti, Pak Jeff."

"Halo, Widya. Aku sudah kembali." Kataku sambil berjalan mendekatinya.

Aku mulai terbiasa dengan berbagai macam reaksi orang. Itu kadang menghiburku. Kali ini dia menatapku lama sekali dan mengangkat bahu menyerah.

"Kamu ga bisa ngenali aku, dan untuk alasan yang beda aku ga kenal kamu, tapi aku yakin kita sudah saling kenal lama sampai aku menghilang dua setengah tahun lalu.."

Aku menunggunya bisa mencerna pernyataanku.

"Errik?" dia berbisik, matanya melebar. Reaksi berikutnya sama sekali ga terduga. Dia pingsan.

Aku, sebagai satu-satunya yang berdiri di dekatnya, melompat ke depan dan menangkapnya saat dia jatuh, berlutut untuk menahannya. Gerakan itu membuat lututku terbentur lantai dan sakit sekali, tapi aku berhasil menjaga agar kepalanya ga membentur lantai. Jeffry dan Alfon sudah melompat berdiri, tapi aku tetap memegangnya saat mereka berdiri di sekitar kami.

Lalu ga lama dia mulai sadar. Matanya terbuka dan dia sadar bahwa aku memeluknya di lantai. Dia berusaha untuk bangkit.

"Jangan, Widya, berbaring saja di sini sebentar. Tenang saja," kataku lembut.

Matanya menatap wajahku dan aku melihat sekilas ketidakpercayaan, kengerian dan belas kasihan.

"A-a-apa?" cuma itu yang bisa dia ucapkan.

"Ini aku, Widya. Seperti yang kamu lihat, aku dapat sedikit masalah. Jeffry akan menceritakan detailnya nanti. Beberapa orang merampokku dan mencoba membunuhku, tapi seperti yang kamu lihat, mereka gagal bunuh aku dan cuma berhasil mempermak ulang wajahku."

Dia mengulurkan tangan dan meraba wajahku.

"Oh, kasihan, orang malang," cuma itu yang dia bilang, matanya berkaca-kaca.

Kemudian dia mulai bangkit dan Alfon membantunya duduk di kursi. Aku tetap di tempatku. Lututku sangat sakit dan aku berharap ga cedera makin parah. Jeffry memperhatikan dan membantuku berdiri. Aku mencoba menggerakkan lututku dan untungnya rasa sakitnya ga bertambah. Aku kembali duduk di kursi lain.

Jeffry dan Alfon lalu bergantian cerita pada Widya, masing-masing melengkapi kekurangan satu sama lain. Dia duduk terpaku. Aku mendengarkan sambil memijat lututku.

"Dua tahun lebih?" ia bertanya, "Dan ga ada yang datang mencarimu? Aku ga percaya."

Aku menggelengkan kepala. "Setahuku ga ada. Oh iya, Widya, ini penting, ga ada orang selain beberapa orang terpercaya yang tahu aku sudah kembali kesini. Kabar ini ga boleh sampai ke Ana, Jeffry akan jelasin alasannya padamu nanti."

"Jadi, gimana kami jelasin kehadiranmu di sini?" tanyanya, mengulang pertanyaan Jeffry sebelumnya. Memang itu pertanyaan yang bagus.

Jeffry yang menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri tadi. "Kamu bisa pura-pura jadi konsultan. Seseorang yang aku rekrut untuk membantu aku karena kamu ga ada, Errik. Kamu bisa pakai nama... Heri Wicaksono. Gimana menurutmu?"

Aku menuliskan nama itu. "Ga mau lupa namaku sendiri, kan?" Aku tertawa. "Kenapa Heri Wicaksono?"

"Ya seandainya aku lupa dan ga sengaja manggil kamu Errik, Heri kedengarannya lumayan mirip."

Aku mengangguk, pria ini cukup pintar.

"Pasti terasa aneh buatmu," kata Widya.

"Memang bikin frustasi pas tahu aku pernah punya kehidupan selama empat puluh tahun, semua pengalaman hidup, keluargaku dan aku ga bisa ingat satu pun dari semua itu. Belum lebih tepatnya."

"Kalau diingat-ingat soal keluargamu," Jeffry merenung, "Ana sudah hampir setengah tahun ga ke sini. Dia masih sering kirim SMS ke istriku, tapi cuma pas hari raya atau tahun baru. Dia juga ga bilang alamat barunya."

"Mungkin dia merasa bersalah pada kalian setelah apa yang coba dia lakukan," Alfon membuat kesimpulan. "Aku punya alamatnya kalau kalian butuh."

Percakapan terus berlanjut ke hal-hal lain sampai akhirnya berakhir dengan sendirinya karena kehabisan topik.

"Oke, Jeffry," kataku, memecah keheningan yang mulai membosankan, "Ayo sekarang kita mulai bahas soal kerjaan."

Widya tahu itu artinya dia sebaiknya keluar dan berdiri untuk pergi. Aku juga berdiri dan dia tersenyum melihatku.

"Kamu sejak dulu selalu jadi pria yang sopan, Errik" katanya. Lalu, "Kalau boleh aku ijin bertindak sebagai temanmu." aku mengangguk.

Dia mendekat dan mencium di kedua pipiku yang rusak karena bekas luka. "Selamat datang kembali, Errik, maaf, Heri. Kamu ga tahu betapa bahagianya aku bisa melihatmu lagi," lalu dia pergi.

"Lucky Bastard," gumam Jeffry sambil menyeringai setelah pintu tertutup, "Dia ga pernah ngelakuin itu ke aku. Sekarang, kita balik ke bisnis."

Kami membahas tentang tuntutan hukum terbaru dari Ana dan Hadi dan aku setuju bahwa kalau perlu aku akan membuka jati diriku agar bisa tetap mengendalikan perusahaan.

Jeffry benar-benar menghayati hilangnya ingatanku dan mulai mengajakku keliling pabrik, memperkenalkan aku sebagai konsultan baru kepada semua pegawai, ga ada satupun dari mereka yang aku kenali, tapi beberapa orang cukup mudah untuk kuingat setelah kami kenalan. Dia menjelaskan apa yang mereka masing-masing kerjakan, dan saat kami balik ke kantor dia menunjukkan semua pesanan dan perkembangan penelitian yang sudah perusahaan kami lakukan. Saat dia mulai membahas tentang komputer dan teknologi, memakai istilah-istilah khusus, aku sadar bahwa aku bisa paham semua yang dia maksud. Hatiku melonjak bahagia. Sepertinya aku akan benar-benar kembali ke hidupku.


Alfon sudah kembali ke kantornya sendiri lebih dulu saat aku keliling pabrik tadi. Jadi Jeffry menawarkan untuk mengantarku kembali ke hotel dan aku dengan senang hati menerimanya.

Setelah sampai di hotel, Tris belum datang dari belanja, jadi aku memutuskan untuk mendengarkan lagi rekaman cerita Alfon dan Vivi tentang kehidupan dan situasiku sebelum tragedi. Aku sudah menyalakan perekam selama pertemuan pagi tadi dengan Jeffry, dan mendengarkannya juga. Aku mendengarkan semuanya beberapa kali sampai akhirnya aku mendengar suara pintu dibuka, dan Tris menerobos masuk ke kamar dengan tangan penuh dengan berbagai tas belanjaan.

Dia beli banyak pakaian untukku, yang sebagian besar lengan panjang dan menurutku bisa kupakai untuk menutupi bekas lukaku, mengurangi rasa ga nyaman dari orang yang bertemu denganku. Dia juga mencoba barang-barang yang dia beli untuknya sendiri dan aku suka semua pilihannya, terutama koleksi pakaian dalam yang dia beli.

Akhirnya aku berbaring untuk tidur sebentar, semua kegiatan dua hari ini benar-benar bikin aku luar biasa lelah.

Alfon datang saat kami sedang makan malam dengan membawa beberapa dokumen untuk kutanda tangani dan aku menandatangani di meja tanpa membacanya. Dia memberiku folder berisi detail bank, kartu debit, PIN-nya, dan hal-hal lain yang perlu aku tahu, dan segera pergi lagi, dia juga bilang akan telepon kalau dia butuh yang lain dariku.

Malam itu, Tris dan aku nonton TV dari tempat tidur, dan berpelukan sebelum mematikan lampu dan tidur. Kami berdua terlalu lelah untuk berhubungan seks. Besoknya kami berangkat ke Semarang yang sampai saat ini merupakan satu-satunya kehidupan yang aku tahu. Kami kembali ke Semarang melalui jalur selatan yang relatif lebih sepi, terhindar dari truk-truk besar dan bus yang lebih banyak melintasi pantura.

Hari ini adalah hari terakhir liburan kami dan sementara aku punya banyak waktu luang selain jadwal terapi, Tris sudah harus kerja lagi besok dan kebetulan dapat jadwal shift pagi. Dia harus masuk pagi sampai hari Sabtu. Jadi dia ingin memanfaatkan hari terakhir ini dengan mengemudi santai menikmati perjalanan, yang terlindung oleh mendung.

Kami sampai di Semarang sore hari dan menyempatkan diri belanja sebentar, makan, dan beristirahat di kamar asrama perawat Tris. Aku menawari pijat untuk Tris yang sudah mengemudi dari tadi, dia setuju, dan entah bagaimana sesi pijat berakhir dengan hubungan seks yang sangat santai.


Keesokan paginya ketika aku bangun, Tris sudah berangkat kerja jadi aku bersiap dan pergi sendiri mengikuti terapi. Seperti biasa terapi selalu menguras tenaga dan juga mentalku, tapi aku tetap berusaha keras menyelesaikannya dan pulang dengan rasa lelah tapi puas. Kali ini aku pulang ke kamar asrama Tris, dan walaupun baru semalam aku pernah kesini, karena disewakan apartment sendiri oleh Tris, tempat ini lebih terasa seperti rumah daripada kamar apartmentku. Aku tidur sampai sore dan terbangun karena Tris datang. Dia mengantarku ke apartment untuk mengambil baju ganti dan perlengkapan mandi.

Setelah makan malam, kami ketemuan dengan beberapa teman perawatnya di salah satu cafe dan ngobrol sampai larut malam bersama mereka, kami juga sempat minum minuman beralkohol.

Jadi Sabtu pagi aku bangun dengan rasa yang sangat ga enak. Obat-obatan yang kuminum sepertinya ga cocok kalau dikonsumsi bersamaan dengan alkohol dalam jumlah banyak. Sekali lagi Tris sudah berangkat kerja, meninggalkanku bergulat sendiri dengan rasa sakit di perut dan kepalaku.

Kondisiku sedang ga memungkinkan untuk mikir serius tapi aku melihat alat perekamku saat membereskan meja dan mutusin untuk mendengarkan lagi semua rekaman yang kupunya dari perjalananku ke Serpong.

Hal yang menarik perhatianku adalah semua orang tampaknya begitu ingin supaya aku ketemu dengan Ana. Aku bisa menebak alasannya, mereka punya kenangan tentang hubunganku dengan Ana di masa lalu, dan wajar kalau mereka ingin kami punya hubungan seperti itu lagi. Aku dengar suaraku di rekaman itu berulang kali bilang bahwa aku ga kenal dengan Ana.

Hal selanjutnya lebih serius dan penting. Sepertinya anak-anakku sangat membutuhkan aku. Gimana cara mengatasi masalah itu? Disaat Ana sekarang bahagia bersama orang lain yang jelas-jelas dia cintai, anak-anakku tetap butuh kehadiranku. Dibanding hubunganku dengan Ana, hubunganku dengan anak-anak ga kenal istilah mantan, ga masalah kalau aku ga ingat anak-anakku tapi bagaimanapun juga keadaanku, aku tetap adalah ayah kandung mereka, hubungan darah yang mengikat kami. Aku harus menemukan cara untuk kontak dengan mereka, hanya saja aku merasa saatnya belum tepat. Aku pasti akan tahu kapan waktu yang tepat, ya kan?

Aku tahu babak selanjutnya dari hidupku akan ada di Tangerang, bukan disini. Teman-temanku di masa lalu semua ada di sana dan aku yakin masih banyak dari mereka yang belum kuingat lagi, tapi cepat atau lambat aku akan bertemu lagi dengan mereka, demi menemukan kembali kehidupanku yang hilang aku harus kesana. Kalau perlu aku akan menganggap mereka teman baru dan memulai dari awal lagi. Teman-teman lama yang kutemui sejauh ini memberikan rasa aman yang diidamkan banyak orang dari temannya masing-masing, mereka menerimaku lagi dengan tulus, walaupun aku ga ingat mereka dengan baik.

Perusahaanku ada di sana. Sejarahku ada di sana dan aku yakin kalau aku disana, ingatanku akan kembali lebih cepat.

Tapi, untuk sekarang aku merasa lebih betah di Semarang. Aku ga punya sejarah panjang dengan Tris dan teman-teman kami dari rumah sakit, tapi dalam ingatanku yang terbatas, itu masih lebih lama dan lebih dalam daripada yang ada di Serpong. Di kehidupan baruku setelah peristiwa itu, merekalah yang ada disisiku, akan sangat berat untuk meninggalkan mereka begitu saja.

Dari sudut pandangku, Tris cantik, baik secara fisik, mental dan emosional, kami jelas sangat cocok secara seksual dan itu bukan cuma nafsu. Kami berhubungan dekat di semua level. Jadi kenapa aku ga membangun masa depanku bersamanya? Aku jelas mencintainya. Aku jatuh cinta padanya. Apa yang menjadi kendala hubungan kami? Tentu saja, aku lupa dia akan pulang ke keluarganya di Timor Leste.

Akhirnya aku sadar bahwa masalahnya adalah aku bukanlah orang yang utuh. Aku hidup dengan memori ga lengkap, dan saat memori yang lama muncul - kalau muncul - itu bisa mengubah banyak hal secara drastis. Lalu apa yang harus kulakukan?

Aku menyimpulkan bahwa itu artinya aku ga bisa bikin komitmen jangka panjang yang kuat dengan Tris. Dia selalu bilang bahwa dia ga mau berkomitmen tapi beberapa reaksinya bertolak belakang dengan pernyataan itu. Mungkin aku sombong tapi menurutku dia sudah jatuh cinta padaku.

Aku menelepon Tris di tempat kerja, dan kami janjian untuk ketemu di cafe langganan kami sepulang dia kerja. Sorenya begitu dia melihatku, aku bisa lihat dia tahu kami harus 'bicara'.

"Tris, Sayang..." aku memulai, tapi dia memotong.

"Kamu sudah putusin hubungan kita sudah selesai, Errik, ya kan?"

Aku berpikir sejenak, meski sepertinya lama.

"Tris. Banyak yang sudah terjadi. Aku ga yakin aku harus gimana."

"Oke, lanjutkan." Dia menguatkan dirinya untuk berita buruk.

"Aku sekarang sudah menemukan keluarga, mantan istri, uang, dan perusahaan yang kupunya yang mungkin sedang terancam oleh mantan istriku. Tapi disisi lain, hubungan kita..."

"Hubungan kita, jadi, menurutmu hubungan kita masih masih mungkin untuk berlanjut?" dia bertanya. "Kalau kemungkinan itu masih ada, aku bisa terima itu dan kita coba jalani seperti dulu. Aku sudah bilang hubungan kita tanpa ikatan dari awal dulu, jadi ga ada tekanan hubungan kita harus berhasil, kamu bisa pergi kapan saja."

Dia berhenti, lalu melanjutkan, "Berarti kamu berencana mau balik ke Tangerang seterusnya."

"Untuk saat ini sepertinya begitu, tapi Tris, aku ga mau hubungan kita berakhir. Mau ga kamu datang sesekali kalau aku sudah punya tempat tinggal?"

Dia ga perlu berpikir.

"Jangan konyol, Errik," dia terkikik, "Kita bisa tetap saling berkunjung, kamu juga bisa kesini. Semarang - Tangerang cuma berjarak beberapa jam perjalanan. Dan apapun yang terjadi, kita akan selalu dekat. Ini adalah konsekuensi misterius dari hubungan seks," Dia tersenyum. "Soal seks, apa kita tetap... melanjutkan?"

"Kamu mau dilanjutin?" Aku balik bertanya.

"Ya, aku sudah terbiasa dengan itu. Kamu jago banget soal itu tahu, ya berkat bimbinganku juga pastinya."

Dia menatapku mengharapkan respon, jelas ga ada karena aku sedang berusaha menahan senyum. Dia tahu itu dan tersenyum lebar, "Dan juga dibantu oleh naluri laki-lakimu yang luar biasa.”

"Pasti," jawabku puas. Dalam hati, aku tahu pembicaraan kami tadi sudah jelas ga menegaskan atau mengubah apapun tentang arah hubungan kami, tapi bagaimanapun kami berdua tertawa dan pulang ke asramanya.

"Apa kamu merasa jadi laki-laki yang ga setia pada Ana?" tanyanya saat kami membuka pakaian di hadapan satu sama lain.

"Dia sudah tinggal dengan pria itu, mereka sudah dewasa dan kita bisa tebak kan mereka ngapain. Dia sudah mengajukan perceraian kami, Tris," gumamku. "Aku ga mengenalnya saat ini. Jadi, menjawab pertanyaanmu, ga, aku ga merasa ga setia."

Kami berpelukan, lalu menjatuhkan diri ke tempat tidur dan sekali lagi kami saling menyatakan cinta kami satu sama lain secara fisik.

Setelahnya kami turun dari tempat tidur dan membuat makan malam, spaghetti, sederhana tapi enak. Kami nonton beberapa acara TV yang membosankan lalu tidur lebih awal. Tris harus masuk pagi seminggu kedepan karena tukar shift dengan temannya.

Kami bangun bersama dan sarapan bareng, lalu janjian untuk ketemu di cafe yang sama seperti kemarin jam 3 sore setelah dia pulang kerja. Begitu dia berangkat kerja, aku kembali ke tempat tidur dan tidur lagi selama dua jam. Saat bangun aku membaca artikel dari majalah yang kutemukan di meja depan asrama. Artikel itu membahas dua hal : cinta dan maaf.

Singkatnya, ditulis bahwa komitmen cinta pada orang lain adalah jalan menuju kedamaian dan kebahagiaan. Mencoba mencapai kebahagiaan abadi melalui tindakan egois pasti akan gagal dalam jangka panjang. Cinta adalah satu-satunya jawaban untuk pencarian manusia akan kedamaian sejati dan abadi. Masuk akal bagiku.

Lalu bahasan berubah tentang memaafkan. Aku tahu kondisiku sudah jauh membaik saat ini, tapi aku juga sudah melewati banyak rasa sakit, dan aku tahu bahwa orang lain memandang wajahku dengan ngeri. Beberapa orang sudah membuatku seperti ini. Mereka sudah menghancurkan hidupku. Aku tahu aku sudah kehilangan istri dan anak-anakku, ingatanku dan sekarang jadi orang yang ga akan sama lagi seperti dulu.

Memaafkan? Ga bisa! Aku mau balas dendam, atau setidaknya aku mau keadilan. Aku sadar yang disebut keadilan itu mungkin artinya hukuman penjara yang paling maksimal sekitar sepuluh tahun. Setelah itu mereka akan bebas, dalam keadaan sehat dan bisa melanjutkan hidup mereka seperti sebelumnya. Sedangkan buat aku, ini adalah hukuman seumur hidup, aku akan selalu terlihat seperti ini. Dokter dan terapis sudah memberi tahu bahwa seiring bertambahnya usiaku, aku akan merasakan sakit yang makin meningkat pada persendian dan ototku. Ga, aku ga akan memaafkan bajingan itu. Sekarang aku mau mereka ditangkap dan dihukum, tapi ga tahu gimana cara mewujudkannya.

"Kita mau kemana?" Tris bertanya saat kami masuk ke mobil temannya yang dia pinjam sore itu, setelah minum kopi di kafe dekat rumah sakit.

"Pantai," jawabku tanpa pikir panjang. Hari ini cukup cerah dan aku ingin melihat laut. Beberapa jam kemudian kami berjalan di sepanjang pantai, diam teredam suara ombak dan angin.

"Memaafkan." Aku berkata padanya tiba-tiba.

"Maksudnya?” katanya sambil memandangku.

"Hari ini aku membaca tentang cinta dan memaafkan. Aku setuju pada artikel itu sampai dia membahas tentang memaafkan. Gimana bisa aku memaafkan orang-orang yang ngelakuin ini padaku? Aku mau keadilan, bukan maaf."

"Apa kamu mau maafin istrimu?"

Pertanyaan itu mengagetkanku. Aku berhenti berjalan dan ga bisa jawab pertanyaannya. Entah kenapa itu membuatku marah.

"Kenapa membahas Ana? Apa karena aku bilang mau balik ke Serpong? Bukannya kita sudah omongin bareng? Bukannya kita setuju bahwa hubungan kita ga akan permanen? Kita sudah sepakat akan saling mengunjungi satu sama lain selama kamu mau melanjutkan hubungan kita. Bukannya itu yang kamu mau? Kamu sudah sering bilang itu."

"Maaf, Errik," dia kaget dengan reaksiku yang berapi-api, "Tapi ada dua pihak dalam sebuah hubungan dan mungkin kamu yang ingin pergi suatu saat nanti, bukan aku."

Aku memandang kearahnya yang memandangku dengan wajah sedih, aku mungkin bereaksi terlalu berlebihan.

“Aku juga minta maaf, Tris," kataku lebih tenang. "Cuma aku selalu dapat pertanyaan 'Apa kamu akan ketemu Ana? Apa kamu akan mencoba bersamanya lagi?' dari Vivi, bahkan Jeffry. Itu bikin aku jengkel. Ana sudah bersama pria lain. Mereka akan segera nikah. Dan aku sama sekali ga punya perasaan apa-apa tentang itu. Dia bukan orang yang kukenal."

Di mulut aku memang bilang seperti itu, tapi jauh di lubuk hati aku rasa aku tahu itu ga sepenuhnya benar. Aku sebenarnya juga penasaran pada reaksinya saat aku pergi dan aku secara emosional dipengaruhi oleh fakta ada pria lain disampingnya, meskipun aku ga tahu perasaan apa itu.

"Errik," katanya ragu-ragu, "Kamu pernah kepikir ga, seandainya nanti kamu sudah ingat tentang Ana, ada kemungkinan perasaanmu mungkin berubah. Kamu mungkin sadar betapa kamu cinta sama dia. Terus apa selanjutnya? Sebenarnya menurutku itu yang jadi masalahmu. Kamu takut saat kalian bertemu kamu akan jatuh cinta padanya dan sebaliknya dia akan menolakmu dan memilih pria itu. Benar kan?"

Kemunginan itu ga pernah terpikir olehku. Aku pernah jatuh cinta pada Ana selama bertahun-tahun, jadi ada kemungkinan yang besar aku akan jatuh cinta lagi saat bertemu dengannya.

"Nah, menurut prinsip cinta yang kubaca," jawabku, "Aku harus memilih yang terbaik untuknya. Kalau dia ingin menikah dengan pria itu, aku harus membuang egoku dan menjauhi dia."

"Nah itu dia," katanya lebih sabar, "Menjauhi dia. Dari awal kamu sudah merasa kalah dan ga mau mengambil resiko untuk ditolak. Menurutku kamu harus ketemu Ana sebelum dia menikah.”

"Kamu ga mungkin merahasiakan identitasmu seterusnya sambil menjalankan perusahaanmu di kota yang sama. Ingat, dia menuntut kepemilikan perusahaanmu dan cara mencegahnya adalah dengan kemunculanmu, jadi cepat atau lambat dia akan tahu kamu masih hidup. Dan akan lebih baik itu terjadi sebelum dia menikah.”

“Coba kamu bayangkan betapa ga adil buat dia kalau dia tahu seluruh ceritamu, masih mencintaimu dengan sepenuh hati padahal dia sudah terlanjur nikah dengan pria lain ini? Kalau dia memilihmu dan kamu juga cinta padanya, pertemuan itu akan menghentikan dia melakukan sesuatu yang akan dia sesali kemudian hari. Beri dia kesempatan untuk menentukan sendiri pilihannya."

Aku memikirkan kata-katanya.

"Seperti biasa, kamu benar. Aku masih punya kesempatan beberapa bulan sebelum pernikahan itu, aku sebenarnya ga mau buru-buru, tapi kamu benar, aku harus menemuinya. Walaupun itu akan menimbulkan masalah dengan calon suaminya."

Dia tersenyum puas karena berhasil merubah pendirianku, lalu dia menambahkan, "Kamu tahu aku cinta kamu, kan?"

"Aku tahu. Dan aku juga cinta kamu, kamu tahu itu, kan?"

"Jadi, ayo kita pulang."

Kami pun pulang, dan saat kami sampai di kamar asramanya, dia berbalik ke arahku dan lengannya melingkar di leherku sambil menciumku. Lenganku memeluk pinggangnya, menyelinap di balik bajunya. Ciumannya jadi makin bernafsu dan aku mulai mengangkat bajunya ke atas. Dia menghentikan ciumannya dan mengangkat tangannya agar aku bisa melepaskan bajunya. Aku juga melepas bajuku, lalu celana jins dan celana dalamku. Lalu celana dalamnya dan akhirnya bra-nya, dan kami pun telanjang bulat dengan cepat.

Tris berbaring telantang di tempat tidur dan aku segera berlutut di antara kedua kakinya, penisku sudah mengeras dan aku mengosoknya beberapa kali, sedangkan dia meraba klitorisnya. Kami saling pandang beberapa saat. Ga ada foreplay lebih lanjut saat aku menurunkan tubuhku kebawah dan penisku kedalam vaginanya.

“Ngghhh....”

Desahan puas terlepas dari bibirnya saat dia merasakan penisku mendorong lembut. Seperti biasanya, saat aku mulai memompanya dengan lembut, jarinya bergerak menelusuri bekas luka di dada, lengan, dan punggungku. Bekas luka itu anehnya sangat sensitif dan aku mengerang geli, membawaku dengan cepat mendekati orgasmeku. Aku menarik keluar penisku dan melambatkan gerakan agar bisa bertahan lebih lama tapi dia menarik pantatku dengan kakinya ke bawah.

"Jangan berhenti, ga usah nunggu aku. Tolong sayang...mmph.."

Jadi aku menurutinya dan ga menahan diri lagi mendorong penisku jauh kedalam dirinya dan dia mendengus dan mengerang saat dia merasakan maniku menyembur didalam dan melihat ekspresi orgasme di wajahku walaupun dia sendiri belum mencapai puncak. Aku menarik diri dengan cepat dan meletakkan jariku ke klitorisnya, aku tahu dia sudah hampir sampai dan aku mulai mengelitik tonjolan kecil dia atas vaginanya sampai dia kejang dan meronta-ronta dalam orgasmenya sendiri.

Saat dia mulai tenang, aku mendorong penisku yang mulai lembek kembali ke vaginanya dan dihadiahi oleh serangkaian kedutan susulan yang segera menghidupkan lagi batangku yang tadinya layu dan ga lama kemudian kami saling mendorong dan menarik kelamin kami menuju ke orgasme kedua kami masing-masing, yang walaupun ga sekuat yang pertama, tapi aku yakin tetap sangat memuaskan. Aku berguling darinya dan dia menggeser kepalanya bersandar didadaku dan kami saling membelai sampai kami tidur.


Bersambung... Chapter V
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd