Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

VIII. Ombak


Hari Jumat aku bangun pagi dan sekujur tubuhku terasa sangat capek. Beberapa hari terakhir cukup emosional dan tubuh ringkihku bereaksi pada ketegangan yang kualami, tapi aku memaksa diriku turun dari tempat tidur, mandi, bercukur dan sarapan pagi, berusaha keras untuk sekedar menggerakkan tubuhku dan beraktifitas seperti biasa, aku ga boleh manja. Aku berangkat ke kantor dan sampai sebelum Jeffry datang. Aku sedang memeriksa spesifikasi untuk order terbaru saat dia tiba.

Dia sangat penasaran tentang hasil penyelidikan yang sudah kudapatkan di Singapore dan aku menceritakan semua padanya.

"Nah," katanya setelah aku selesai. "Jadi wanita itu ga menjebakmu ke perampokan. Aku juga senang Jason Thomas bisa memberi kesaksian pada kesetiaanmu. Bukannya aku pernah curiga juga sih. Jadi kapan kamu akan keemu Ana dan memberitahunya tentang kebenaran masalah ini? "

"Aku belum berpikir sampai kesana, Jeff. Aku butuh waktu untuk memahami temuan baru kami. Sejauh ini aku hanya bermaksud untuk membiarkan Ana melanjutkan hidupnya. Memberi tahunya tentang kenyataan bahwa dia sudah dalah sangka tentangku hanya akan menyakitinya."

"Tapi Susan merasa kamu setidaknya harus bertemu anak-anakmu. Mereka pantas untuk diperjuangkan, Errik. Lebih dari itu, mereka berhak untuk menemukan ayah mereka, bukan begitu?"

"Ya, aku ingin mereka punya aku sebagai ayah dalam hidup mereka lagi, tapi aku harus melakukan semua dengan hati-hati. Mereka akan baik-baik saja dalam beberapa minggu ini. Setelah keputusan cerai mutlak, aku pikir saat itu mereka baru akan sangat membutuhkanku. Alfon sudah mendapatkan hak akses pada anak-anakku, tanpa batasan juga, jadi ga akan ada masalah. Dia bilang Ana masih punya rasa keadilan yang kuat dan ga ingin memisahkan mereka dari ayah mereka. Itu pertanda baik, tapi aku ga mau mengganggu hidup Ana dalam prosesnya."

"Apa itu berarti kamu masih punya perasaan padanya?"

"Ga, ga juga, dia manusia dan aku ga ingin menyakiti siapapun. Aku ga akan menyakiti orang lain."

"Oke, aku paham maksudmu."

Kami mengalihkan pembahasan ke urusan bisnis dan bekerja bersama sepanjang hari itu. Aku berencana membatalkan fisioterapiku saat aku bangun pagi tadi, tapi setelah bekerja seharian aku malah merasa lebih segar, jadi aku mampir ke rumah sakit sepulang kerja untuk terapi.


Akumulasi kelelahan hari sebelumnya membuatku bangun kesiangan di Hari Sabtu, aku bangun sekitar jam sepuluh. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar apartment. Aku pergi keluar dan berniat menghabiskan waktu sambil berpikir. Pada kenyataannya aku hampir ga sempat berpikir sama sekali karena sibuk berusaha menghafalkan rute perjalananku, tapi aku senang karena kakiku sudah ga terasa sakit sama sekali. Satu jam lalu saat aku mulai berjalan cuaca masih cerah dan dengan cepat sudah berganti dengan mendung gelap dan ga lama hujan turun dengan derasnya, untungnya aku sudah ga terlalu jauh dari apartment dan berusaha berjalan berhati-hati melawan derasnya terpaan air dan angin kencang.

Saat aku tiba aku segera masuk dan mandi, lalu bersantai duduk di kursi favoritku dan menikmati saat sinar matahari perlahan muncul di langit, menerobos jendela besar di hadapanku. Aku merasa sangat rilex dan mulai memikirkan hidupku sejauh ini. Sejak aku kembali ke Serpong, aku menjadi pusat harapan dan antusiasme teman-temanku yang senang karena menemukanku lagi. Aku sudah tersedot ke upaya untuk mencari arti dari peristiwa yang menimpaku, untuk memecahkan misteri itu. Aku juga menghadapi usaha dari teman-temanku untuk membuatku bertemu dengan Ana dan bahkan kembali bersamanya, yang ironisnya sampai sekarang masih belum kukenali.

Dan selagi aku menjalani semua itu, masih ada Tris. Dia sudah jadi rumah yang kokoh bagi jiwaku, penyemangat dan pendukungku. Ga bisa dipungkiri ada perasaan yang terbentuk otomatis bahwa entah bagaimana kami mungkin akhirnya akan bisa bersatu. Aku sudah memikirkan semua alasan kenapa itu mungkin akan gagal, tapi setelah kesalahannya dengan Tommy, aku meragukan apa dia siap untuk komitmen hubungan yang lebih serius. Mungkin saja, pikirku. Kami toh punya semua yang kami butuhkan sebagai pasangan, itu kalau aku bisa mengabaikan tentang keluarganya di Timor Leste.

Aku sadar bahwa aku juga harus lebih memperhatikan pekerjaanku. Itu perusahaanku milikku sendiri dan aku harus punya andil lebih banyak disana. Kesehatan fisikku meningkat, aku sudah hampir ga butuh tongkat untuk berjalan kecuali saat aku terlalu lelah. Secara mental, ingatan aku kembali secara tiba-tiba, dan ingatan jangka pendek aku terus-menerus memberiku kejutan saat tiba-tiba blank, untungnya aku masih membawa ponsel dari Jeffry yang sejauh ini terbukti sangat membantu.

Masalah terbesarku adalah mengingat Ana dan anak-anakku. Aku ingat sebuah keluarga bermain di taman belakang rumah, kejar-kejaran, main bola, kolam plastik kecil, tapi semua lebih pada apa yang mereka lakukan, bukan penampilan mereka. Aku secara acak ingat hal-hal tentang kehidupan sekolah mereka, hasil ujian Agnes, atau putra tertuaku yang baru pulang dari study tour sekolah. Lagi-lagi itu lebih pada kejadian daripada gambaran detail dari peristiwa itu. Apa yang belum aku punya adalah ingatan tentang kehidupan emosionalku dengan Ana atau memori-memori yang membuat kami jatuh cinta dan menikah. Itu membuatku bingung, tapi aku yakin kenangan semacam itu akan datang pada waktunya nanti.

Hari sudah gelap pada saat aku sadar dari lamunanku dan aku merasa sedikit lega setelah sedikit mereview kehidupanku. Aku terlalu malas untuk keluar dan hanya menyiapkan roti untuk makan malam dan sepoci teh hangat. Aku baru saja selesai saat telepon berdering. Tris yang menelepon dari rumah sakit.

"Errik, aku mau bilang sesuatu."

Hatiku seakan tenggelam. Apa akan ada kekecewaan lagi yang akan datang?

"Jadi?" Aku bertanya, perasaan aku tergambar jelas dalam suaraku.

"Hei! Kok lemes banget sih? Aku mau bilang aku akan berangkat kesana malam ini, kamu keberatan ya?"

Semangatku langsung terangkat. "Ga lah, aku malah senang!" Sekarang aku tersenyum.

"Tapi aku bakal sampe sana malem banget, mungkin jam satu atau dua pagi."

"Ga masalah, aku akan titip pesan dan kunci cadangan ke security."

Malam itu aku sudah tidur lelap saat aku merasakan tubuh yang hangat meluncur ke tempat tidur di sampingku. Aku setengah sadar bertanya-tanya siapa itu, tapi tertidur lagi sebelum aku bisa menjawab. Paginya aku bangun seperti biasa dan menemukan dia tidur nyenyak di sampingku, setengah senyum di wajahnya yang cantik.

Aku membiarkannya tetap tidur dan pergi keluar membeli koran. Aku sedang mengerjakan teka-teki silang saat aku mendengar dia pergi ke kamar mandi, lalu membuat sepoci teh untuk menyambutnya saat dia kembali ke tempat tidur. Aku membawa teh ke kamar dan mulai membuka pakaian dan hendak naik lagi ke tempat tidur saat dia memaksa agar kami bangun dan jalan-jalan ke Anyer, segera setelah kami sarapan. Aku sedikit kecewa tapi setuju, dan satu jam berikutnya kami sudah dalam perjalanan, dengan cuaca cerah tapi berawan dan jalanan Minggu pagi relatif sepi kali ini.

Hotel yang kami sewa cukup bagus, makanannya enak dan cuaca cukup sejuk walaupun lembab udara pantai. Kami menginap selama beberapa hari yang santai, berkeliling dengan mobil ke tempat-tempat yang menarik, berjalan di sepanjang pantai menikmati pemandangan dan suara ombak.

Setiap hari kami kembali ke hotel saat sudah sore dan menghabiskan waktu sebelum makan malam dengan sesi seks yang santai dan sensual di tempat tidur besar yang nyaman. Ada rasa damai yang muncul saat bersama dengan pasangan yang saling cocok bersama dan apa adanya tanpa harus berpura-pura. Kami bicara tentang segala macam hal, tapi sering juga hanya saling diam tanpa merasa kesepian.

Aku pikir itu yang membuat kami dekat seperti saat ini. Kami merasa nyaman bersama, dalam hal seks kami sudah mencoba semuanya tanpa ada yang ditahan-tahan lagi. Dia bilang bahwa dia sudah melewati tahap one-night stand dan menginginkan hubungan seks yang lebih mengedepankan perasaan. Ana sudah move on dan akan menikahi Hadi, mungkin aku juga seharusnya move on dan membangun masa depanku sendiri. Aku sadar usiaku dan Tris berbeda jauh, tapi kalau dia ga keberatan soal itu, aku juga ga.

Jadi saat makan malam pada Selasa malam, malam terakhir kami sebelum pulang, aku memutuskan untuk mengambil risiko dan bertanya apakah dia mau membuat hubungan kami permanen saat dia memotong kata-kataku.

"Errik..." Aku memandangnya dengan gugup.

"Aku harus bilang sesuatu. Kamu tahu kan aku bilang aku ingin pulang dan menemani orangtuaku di Timor Leste? Nah, karena sekarang kamu sudah menetap di kampung halamanmu, di Serpong, aku sudah memutuskan bahwa aku juga akan pulang dalam waktu dekat. Prosesnya memang baru dimulai, tapi aku merasa aku harus memberitahumu secepatnya, sebenarnya karena itu aku mengajakmu jalan-jalan ke Anyer, untuk menberitahu ini."

Perkataannya datang terasa bagaikan hantaman di perutku, ada rasa sakit dan mungkin mual saat aku mendengarnya. Ga ada kata yang keluar dari mulutku yang terbuka beberapa saat, tapi ya jelas rasa kaget terpancar dari wajahku.

"Ya ampun, Errik!" dia berkata pelan, "Aku ga bermaksud melukaimu... Kupikir..."

Aku lalu tersadar dan bisa mengendalikan diriku.

"Ga kok, Tris. Aku cuma kaget, kamu tiba-tiba bilang seperti itu. Tapi gimanapun juga itu akan selalu bikin aku kaget karena kita sudah begitu dekat. Aku tahu kamu sudah pernah bilang tentang itu dan seharusnya aku tahu saat ini akan tiba, tapi entah gimana itu akan selalu terasa berat. Aku cuma belum siap untuk itu secepat ini. "

"Errik, seandainya kamu bisa ikut denganku, aku akan mempertimbangkan untuk menikah denganmu. Kau ga keberatan aku bilang gitu, kan?"

Aku menggelengkan kepala.

"Tapi aku tahu kamu ga akan pergi dari sini. Kamu punya ikatan pada pekerjaanmu dan juga orang-orang yang bekerja di sana. Dan juga ada anak-anakmu. Aku tahu kamu ingin mengenal mereka, mendapatkan kesempatan lagi menjadi ayah dan menghabiskan waktu bersama mereka didekatmu, tapi begitu juga aku. Orang tuaku semakin tua dan akan membutuhkan aku merawat mereka. Ayahku sudah menderita stroke ringan. Aku yakin kamu bisa memahami itu, ya kan?"

"Tris, sayangku, mungkin aku kaget karena akhir-akhir ini kita semakin dekat satu sama lain dan itu bukan secara fisik. Aku harus mengakui bahwa aku sendiri juga memikirkan tentang kita bisa menikah, tapi di sini, bukan Timor Leste. Kamu benar, aku ga bisa ninggalin kehidupan yang baru kutemukan lagi, meskipun akan terasa sangat kosong tanpa kamu bersamaku. Kamu adalah bagian dariku sekarang dan aku sangat berhutang budi sama kamu."

Di saat ini air mata sudah mengalir di mata kami masing-masing dan kami melanjutkan sisa makan malam dalam diam, untungnya restoran hotel cukup sepi di weekdays seperti ini. Setelah itu kami kembali ke kamar kami, melepas pakaian satu sama lain dan menjatuhkan diri ke tempat tidur, berpelukan erat dalam ketelanjangan kami. Tangan kami saling menjelajah seolah berusaha untuk mengingat setiap bagian tubuh satu sama lain. Penisku sudah keras saat dia memegangnya dan berguling di atasku. Aku lebih dari siap saat dia memasukkan penisku ke dalam vaginanya, dan mendorong pinggulnya kebawah sampai seluruh penisku tengelam dalam lubang kemaluannya.

Tris menjatuhkan tubuhnya ke depan dan meletakkan semua bebannya pada aku. Momen itu sendiri cukup luar biasa, karena selama berbulan-bulan kami melakukan ini dia ga bisa membebaniku tanpa membuatku merasakan sakit. Dia bilang padaku bahwa sekarang aku sudah kembali utuh seperti sebelumnya, dan dia juga akan selalu merindukanku.

Aku memeluknya dan menariknya lebih erat di atasku, dan kami hanya diam ga bergerak dalam waktu yang lama, sampai dia merasakan ereksi aku mulai melemah dan duduk lagi untuk mengerakkan pinggulnya, membuat penisku keras lagi, dan ga lama bergerak untuk menuju orgasmenya sendiri, juga untukku. Gerakannya makin cepat saat kurasakan orgasmenya hampir tiba, payudaranya berayun ke sana kemari saat dia naik dan turun, sampai aku menangkapnya dan memilin putingnya. Itu sudah cukup dan dia berteriak saat dia sampai, aku menyusul setelahnya, dipicu oleh remasan dinding vaginanya saat dia mencapai puncak.

Setelah itu dia kembali ke posisi tengkurap didadaku dan saat penisku terlepas darinya, dia secara perlahan turun dan berbaring di sampingku dan kami saling berpelukan, saling membelai dengan lembut.

"Errik."

"Ya sayangku."

"Masih beberapa minggu lagi sebelum aku pergi. Apa kita bisa seperti ini terus sampai saat itu tiba?"

"Maksudmu seperti ini. Saling mengunjungi?"

"Iya."

"Pasti. Aku ingin menikmati sebanyak mungkin sisa waktuku bersamamu, sampai kamu benar-benar lepas dari pelukanku."

Dia mendengus, dan wajahnya basah, "Ada satu hal lagi."

"Apa itu?"

"Kalau ada orang lain yang hadir, maksudku wanita lain, jangan menolaknya cuma karena aku. Janji sama aku kamu akan menerimanya."

"Tris," aku setengah tertawa, "Menurutku itu ga bakal mungkin, kan? Beauty and The Beast itu cuma ada di dongeng, ya ga?"

Mendengar ini dia tertawa sambil berurai air mata.

"Aku yakin itu bukan dongeng buatmu. Percayalah, aku rasa suatu saat kamu akan terkejut. Kamu itu pria yang kuat, kamu punya perusahaan besar. Kekuasaan sangat menarik bagi wanita. Kenapa politisi jelek bisa punya istri yang cantik dan bahkan wanita simpanan yang lebih cantik? Itu karena kekuasaan, dan tentu karena mereka kaya raya."

Aku terkikik. "Maksudmu, mereka cuma mengincarku karena uangku?"

"Errik, setelah kamu meniduri mereka, mereka ga akan peduli dengan uangmu," dia mengulurkan tangan dan membelai penisku. "Percayalah. Kamu adalah laki-laki yang hebat di ranjang, tapi uang dan kekuasaan milikmulah yang akan menarik mereka ke ranjangmu."

Aku tertawa. "Kami laki-laki selalu bernasib sial ga bisa berkutik menghadapi cewek matre, ya kan?" dan dia menampar perutku dengan lembut.



Rabu pagi basah dan berangin. Kami sarapan pagi lebih awal, aku check out dan jam sepuluh kami sudah dalam perjalanan pulang. Aku yang menyetir. Tris yang mengemudi saat kami berangkat dan saat kami berkeliling disini, dia suka mengemudi mobil matic, tapi nanti dia masih harus menyetir lagi saat pulang ke Semarang, jadi aku setengah memaksanya untuk beristirahat dan membiarkan aku yang menyetir. Kami mampir sebentar untuk makan siang yang sangat terlambat, dan setelah itu aku kembali mengendarai mobil menuju ke parkiran apartmentku dan parkir tepat di samping mobilnya.

"Jangan lupa, Errik," dia tersenyum, saat dia duduk di dalam mobil, "Kalau ada seorang gadis muda yang cantik mengejarmu, jangan menghindar! Ini perintah!"

"Kamu juga. Jangan lagi merasa bersalah kalau kamu selingkuh lagi sama Tommy."

Ekspresi wajahnya berubah sebentar sebelum kembali tersenyum.

"Ga ada lagi seks random buatku. Terserah kalau kamu mau ngelakuin itu sampai aku pergi, tapi aku sendiri baru akan mencari saat aku sampai di Timor Leste, ingat aku mencari cinta bukan sekedar seks lagi. Kalau kamu benar-benar ketemu dengan seorang wanita, kamu ga akan melupakanku sepenuhnya sebelum aku pergi, kan?"

Aku tersenyum dan meyakinkannya bahwa dia akan selalu dapat prioritas dalam cinta dan tempat tidurku sampai dia benar-benar pergi dan itu membuatnya lega. Aku membungkuk dan menciumnya dan dia balas menciumku, menarik kepalaku ke bibirnya yang lapar. Lalu dia berangkat.

Aku perasaan ga nyaman setelah dia pergi, jadi aku kembali ke mobil dan pergi ke gym untuk melakukan latihan yang agak berat. Pelatihku cukup puas atas kebugaran dan kemajuanku. Aku sendiri puas karena berhasil mengalihkan pikiranku dari Tris, dan pulang dengan perasaan santai dan puas.

Jeffry menelepon malam itu, menanyakan apa besok aku bisa datang ke kantor, yang segera kujawab ya.

"Dan Jumat, juga. Kamu yang nantinya akan bosan ketemu aku dan harus mengusirku dari perusahaanku sendiri karena aku ga berhenti bertanya tentang segala hal." Kataku

Setelah dia menutup telepon, aku meraih novel humor yang tergeletak di meja, tapi ga bisa fokus membacanya. Pikiranku tertuju pada Tris dan rencana kepulangannya ke Timor Leste.

Dia sudah menjadi pendukung dan pemberi rasa aman buatku dalam waktu yang lama, sepanjang hidupku yang baru setelah tragedi. Dia ibarat pondasi tempatku membangun kepercayaan diri dan tekadku. Dia mendukungku saat aku depresi, mendampingiku saat orang lain tampak ga nyaman berada di sekitarku, dan memberiku semua cinta dan pelepasan seksual yang kubutuhkan. Sekarang dia akan pergi dan aku mulai merasa khawatir tentang hidup sendiri tanpanya. Di kepalaku, aku tahu aku akan bisa mengatasinya, tapi hatiku merasakan kepanikan.

Sebelum Tris memberitahu tentang kepulangannya, aku ga pernah berpikir aku akan sendirian tanpa kekasih di sampingku selama sisa hidupku. Tris adalah satu-satunya partnerku dalam hal itu dan aku mungkin ga akan pernah punya yang lain. Dia mungkin yakin bahwa akan ada wanita yang jatuh di kakiku, tapi aku ga percaya pada dongeng seperti itu.

Jadi aku mulai merasa depresi karena dia meninggalkanku. Aku merasa dicampakkan, hampir dikhianati, tapi aku segera membuang pikiran itu jauh-jauh. Lagipula, sampai minggu lalu aku ga pernah benar-benar merasa bahwa kami akan jadi pasangan permanen. Kami berdua sudah sering membicarakan dan tahu posisi kami satu sama lain. Dia sudah membantuku dengan memberiku kesempatan untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri pada keadaanku saat ini. Aku merasakan gelombang cinta untuk wanita yang begitu bijaksana, begitu tulus, meskipun itu membuat kepergiannya semakin terasa berat.

Pikiranku beralih ke pekerjaanku. Jeffry ingin aku mengurusi kontrak dan secara ga langsung bagian penjualan. Aku memikirkan tentang itu. Wajahku ga akan membaik lagi seperti semula. Bekas luka itu akan selalu ada disana dan keliahatan jelek. Ga ada alis, hidung yang bengkok aneh. Aku sudah lama merasa malu dengan rambut aku yang tumbuh ga rata, dan terutama bagian yang ada bekas luka tidak bisa tumbuh rambut disana, jadi karena itu aku selalu mencukur habis rambutku dan bekas lukaku otomatis terlihat jelas membuatku harus menutupinya dengan topi.

Lututku masih terasa lemah walaupun sudah ga terasa sakit, tapi sejauh ini ga terlalu bermasalah. Berkat fisio dan gym, ototku menjadi luar biasa kuat untuk menopang persendianku yang lemah. Perutku six-pack, meskipun bekas luka dari operasi melintang di beberapa bagian perut dan dadaku.

Ingatan jangka pendekku sudah membaik dengan pesat, ga seperti ingatan jangka panjangku yang berlubang di banyak tempat seperti yang kusebutkan sebelumnya.

Aku ceroboh, sering salah meletakkan barang, lupa apa yang kucari. Aku bisa kehilangan pikiranku sesaat dan bingung apa yang sedang kukerjakan bahkan apa yang kubicarakan, dan secara umum kata-kataku kurang jelas.

'Kualitas' ini ga kondusif untuk teknik penjualan yang baik. Kelebihanku adalah menyusun kontrak dan memastikannya menguntungkan untuk perusahaan. Aku memutuskan aku harus bicara dengan Jeffry soal ini sebelum aku mengacaukan negosiasi yang ditugaskan padaku. Aku yakin pada kemampuanku, tapi sering kali yakin saja tidak cukup dan dalam hal ini kenyataannya aku bukan kandidat yang cocok jadi ujung tombak perusahaan dalam hal penjualan.

Jadi besok paginya aku bilang semua yang kupikirkan kemarin pada Jeffry dan lalu duduk diam menunggu responnya. Dia tampak berpikir dan duduk di kursinya sendiri. Akhirnya dia bicara dan menurutku dengan hati-hati memilih kata.

"Menurutku, kamu butuh asisten pribadi yang hebat. Seseorang yang bisa menangani banyak hal sendiri, dan karena itu akan mampu untuk, ya, kalau boleh aku bilang, memperbaiki kekuranganmu. Betul ga?"

Giliranku untuk berpikir.

"Masuk akal, tapi apa ga aneh seorang konsultan punya asisten pribadi yang mewakilinya?

"Memang agak berlebihan, tapi rasanya kamu ga akan perlu pura-pura jadi konsultan selamanya kan, dan ingat, mau seaneh apapun, kalau aku sebagai direktur pelaksana yang memutuskan, siapa yang mau protes?”

Dia tertawa keras yang mirip suara gonggonngan pendek, lalu kembali serius. "Dan yang pasti, Asisten pribadimu harus tahu siapa kamu yang sebenarnya dan bisa menyimpan rahasia itu."

"Terus?" Aku bertanya.

Dia diam sejenak dan tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.

"Patricia apa kabarnya?"

Aku menceritakan perkembangan hubunganku dengan Tris secara lengkap pada Jeffry, dan menutupnya dengan bilang bahwa kami punya open relationship sampai dia benar-benar pergi.

"Ga ada peluang kembali sama Ana?" Dia bertanya.

"Aku ga tahu apa relevansi semua pertanyaanmu ini," kataku, agak singkat, "Tapi karena kamu sudah nanya, aku ingetin bahwa dia mau nikah sama orang lain. Jadi, ga, ga ada peluang."

Dia tampak lega, aneh pikirku, karena dia sepertinya jadi anggota tim kampanye yang berusaha membuatku balik ke mantan istriku.

"Relevansinya adalah aku punya kandidat yang bisa bantu jadi asistenmu tapi dia seorang wanita. Aku cuma ga mau ada konflik dengan Patricia atau dengan Ana karena itu, cuma itu."

"Jangan berlebihan, ini akan jadi hubungan profesional, kan? Ga etis punya hubungan dengan rekan kerja, apalagi karyawan sendiri, itu seakan aku memanfaatkan kekuasaanku."

"Yah, normalnya aku setuju. Sebenarnya itu malah peraturan perusahaan ini, tapi kamu punya kasus khusus Errik. Asistenmu nanti, wanita ini harus mengenalmu luar dalam. Dia bisa jadi harus ikut bepergian kemanapun bersamamu, makan bareng, diskusi dari soal pekerjaan sampai entah apa batasnya berjam-jam bersamamu, tahu semua kelemahanmu - karena ide awalnya adalah dia harus menutupi kekuranganmu, kan?" tambahnya cepat, "Hubungan yang sedekat itu... "

Dia berhenti, maksudnya jelas.

"Kurasa ga, Jeff. Kurasa ketampananku yang luar biasa akan membuat hubungan kami tetap profesional."

"Jangan terlalu yakin," katanya datar.

"Jadi, siapa kandidat yang kamu pikirkan?"

"Namanya Jenni, Jennifer Suratman. Saat ini dia jadi salah satu sekretaris, tapi aku tahu dia gadis yang cerdas. Dia bergabung di perusahaan ini sekitar setahun yang lalu. Umurnya sekitar dua puluh akhir atau awal tiga puluhan, sangat bisa diandalkan dan aku yakin dia bisa menjaga rahasia. Tapi kalau seandainya dia membocorkan rahasiamu, dia bisa dipecat. Dia juga ga terlalu agresif, tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam, tapi dia juga bisa mempertahankan pendapatnya dalam debat, jadi jelas dia bukan wanita yang gampang berubah pendirian. Aku pikir dia akan jadi asisten yang ideal buatmu."

Aku ingat dia dari saat Jeffry mengajakku berkeliling untuk kenalan dengan para karyawan pertama kali aku kembali kesini. Sebenarnya malah aku masih ingat dia dengan jelas, karena yang belum disebutkan dalam penjelasan dari Jeffry adalah bahwa Jenni gadis yang cantik. Dia berperawakan kecil, langsing dengan rambut dicat pirang gelap, hidung mungil, mulut lebar dan mata jernih seperti kelereng.

"Kita harus lihat seberapa besar komitmennya pada tugas ini, dari apa yang kamu sebutkan sebelumnya, dia akan menghabiskan banyak waktu bersamaku," Kataku. "Pacar atau pasangannya bisa jadi keberatan kalau dia harus rutin bepergian jauh dari rumah dengan pria lain. Dari sisi dia sendiri, belum tentu dia mau menjalankan tugas seperti ini."

"Oke kalau gitu aku akan suruh dia kesini, aku akan tawarkan pekerjaan ini sekaligus mewawancarainya. Apa kamu mau ikut mewawancarai dia?"

"Ga perlu, aku akan sembunyi di kantor luar sama Widya dan mendengarkan dari sana. Aku akan punya gambaran yang lebih baik tentang apa dia cocok untuk tugas ini, aku juga bisa tahu pendapatnya tentang aku dengan lebih jujur jika aku ga ada dihadapannya."

"Apa kamu mau aku beritahu dia siapa kamu?"

"Jangan, aku yang akan beritahu dia kalau dia tertarik dengan pekerjaan ini. Aku mungkin harus menceritakan secara detail kondisiku, dan aku yakin itu butuh waktu yang panjang."

"Errik, aku harus bilang sebelum aku lupa bahwa ada beberapa orderan besar yang akan datang. Kamu harus pergi ke luar negeri. Aku harus bilang itu padanya."

"Oke. Silakan."

Aku keluar dari ruangan saat Jeffry menelepon Jenni, aku menceritakan pada Widya tentang rencanaku, dan masuk ke kantorku sendiri. Widya akan meneleponku saat Jenni diwawancara oleh Jeffry. Beberapa menit kemudian Widya menelpon dan aku keluar lagi ke ruang depan lalu kami bersama-sama mendengarkan lewat interkom. Basa-basi awal antara mereka sudah selesai.

"Jenni, aku panggil kamu kesini karena sejauh ini aku sudah mengawasimu dan kamu menunjukkan potensi yang besar."

"Terima kasih, Pak Jeffry."

"Jadi langsung saja ke intinya, aku mau menawarkan pekerjaan yang jauh lebih menuntut daripada tugas sekretaris yang sekarang ini kamu jalani. Ini akan jadi semacam promosi jabatan."

"Oh ya?"

"Dan itu berarti kamu akan sering bepergian, menginap beberapa hari, jauh dari rumah, bisa di dalam negeri atau bahkan keluar negeri. Gimana menurutmu?"

"Kedengarannya menarik. Saya suka travelling."

"Apa kamu bisa jadi asisten pribadi?"

"Bisa sih, tapi bukannya Mba Widya.."

"Oh, bukan buat aku. Heri Wicaksono, konsultan di perusahaan kita membutuhkan seorang asisten pribadi. Aku menawarkan pekerjaan itu untukmu, tentu dengan kenaikan gaji seperti seharusnya,."

Keduanya diam.

Jeffry melanjutkan setelah beberapa saat, "Kamu butuh waktu untuk berpikir? Kalau boleh aku bilang ini kesempatan bagus. "

"Menurut Bapak begitu? Saya masih belum paham."

"Dia butuh asisten pribadi, dan dia akan sering bepergian." Kata Jeffry. Aku sendiri baru tahu soal itu pikirku.

"Saya masih belum paham. Boleh saya bicara terus terang?"

"Tentu, ngomong saja."

"Dan Bapak ga akan marah? Saya cuma ga ingin ini nantinya mempengaruhi kemajuan pekerjaan saya di masa mendatang."

"Jenni, aku bukan orang semacam itu, kamu bisa pastikan ke Widya atau karyawan yang lain."

"Oke, saya akan jujur. Pertama-tama, saya ga mau pekerjaan yang sifatnya part time. Saya perhatikan dia cuma datang ke kantor sesekali, dan saat dia ada di sini dia sepertinya ga ngelakuin banyak hal. Yang kedua kalau saya menerima pekerjaan ini, saya ga mau jadi perawat untuk orang yang cacat, dan mohon maaf setahu saya dia punya kelemahan itu. Dari sisi gaji mungkin akan bagus, tapi kalau aku ingin jadi perawat, aku ga akan ada di sini, kan?

Jenni diam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang sedikit naik.

"Jadi apa maksud Bapak sebenarnya? Apakah saya harus menemaninya di tempat tidur saat perjalanan dinas? Apakah karena itu saya akan mendapatkan gaji lebih karena harus menemani seorang pria yang ga bisa mendapatkan itu dari wanita lain? Maaf Pak Jeffry, tapi kalau memang seperti itu, saya lebih suka pekerjaan saya yang sekarang. Saya bukan pelacur."

Widya yang meledak lebih dulu. "Beraninya dia bilang gitu? Dia perlu diajari sopan santun."

"Santai saja, Widya. Dia ga tahu siapa aku, atau cerita sebenarnya. Ingat kamu juga ga terlalu menganggapku saat aku pertama kali kembali, ya kan?"

Dia memerah. "Yah, oke. Tapi kenapa dia sampai harus berpikir bahwa Pak Jeffry mau dia jadi teman tidurmu. Itu kelewatan!"

"Sudah, dengerin mereka dulu!" Aku berkata dengan tegas, Kami ketinggalan pembicaraan di ruangan sebelah.

"... dan dia lebih dari yang kamu tahu. Apa kamu tahu berapa banyak dia menyelamatkan pendapatan perusahaan sejak dia 'datang sesekali'? Lima Milyar, sebanyak itu.”

"Dia sadar bahwa bicaranya ga lancar, jadi dia ga cocok dalam hal presentasi dan penjualan, tapi dia ga ada duanya dalam hal menyusun kontrak untuk kepentingan perusahaan kita. Dia tahu banyak tentang bisnis, tapi ingatannya buruk. Dia sering tiba-tiba kehilangan arah pikirannya.”

Jeffry terus melanjutkan

"Jadi dia butuh seseorang untuk membantu ingatannya, untuk jadi ingatannya, untuk membantunya di bagian presentasi penjualan, dan tentu membantunya dalam hal kontrak. Jadi, kamu akan ikut bersamanya dalam perjalanan dinas untuk memenuhi kebutuhan itu dan cuma itu. Saat dia ga ada di sini, kamu yang akan menyelesaikan pekerjaannya dan pekerjaan lain yang perlu dilakukan, atau bahkan pekerjaan yang perlu kulakukan."

Diam lagi.

"Jadi? Apa kamu butuh waktu untuk berpikir lebih. Atau kamu menolak dan aku harus mencari kandidat lain?"

"Bapak yakin ga ada maksud lain?"

"Ada banyak hal tentang dia yang pada waktunya nanti akan dia ceritakan sendiri padamu, tapi aku tegaskan bahwa dia adalah orang yang tegas memegang prinsip. Menurutku saat kamu kenal dia lebih baik, kamu akan terkesan."

"Apa nanti ada masa percobaan, melihat apa aku bisa membantu seperti yang diharapkan?"

"Kamu harus tanya sendiri soal itu padanya. Tapi ada satu hal, dia mungkin harus memberitahumu hal-hal tentang dirinya yang ga boleh, dan aku ulangi, ga boleh dibocorkan ke orang lain. Bukan hal yang buruk, tapi dia adalah orang yang tertutup, dan ga mau kehidupan pribadinya dibicarakan oleh orang-orang di kantor. Apa kamu bisa menyimpan rahasianya? "

"Selama dia ga berbuat sesuatu yang ilegal, ya. Aku bisa menjaga rahasianya."

"Kalau gitu silahkan kamu pergi ke kantornya dan bicara dengannya langsung, lalu kembali kesini dan bilang apa keputusanmu."

Aku 'melompat' dan masuk ke ruanganku, dan dalam waktu kurang dari dua menit dia mengetuk pintuku dan wajah cantik muncul dari baliknya, dan Jenni berjalan masuk menuju ke arahku.

Penampilannya sederhana tanpa riasan yang terlalu berlebihan, dia memakai rok pendek yang memamerkan kakinya yang panjang dan ramping. Secara keseluruhan, wanita paling cantik yang pernah kutemui - tentu saja dalam ingatanku. Aku membayangkan apakah nantinya dia lebih akan berperan sebagai pengalih perhatian daripada bantuan dalam pertemuan bisnisku nanti. Aku becanda, aku yakin dia akan mampu banyak membantuku.

"Pak Heri--" dia memulai.

"Masuk Jennifer, silahkan duduk. Kalau ga salah, kamu mau mewawancarai aku untuk jabatan sebagai asisten pribadimu."

"Bukan, Pak Heri, saya mau membicarakan tentang jadi asisten Bapak."

Aku tersenyum, dan dia memerah, sadar kalau aku sedang bercanda.

"Maaf, Jennifer, aku seharusnya ga becanda. Kamu mau bicara, jadi bicara saja, apa yang mau ditanyakan? Oh ya, sebelum itu apa kamu keberatan aku merekam pembicaraan kita? Ingatanku, kamu tahu kan."

"Tolong panggil saya Jenni saja. Dan ga, saya ga pembicaraan ini direkam."

"Oke, Jenni, selama menurutmu aku ga sok akrab. Sebaliknya kamu bisa panggil aku apa akan kita diskusikan dalam beberapa menit kedepan, semoga. Jadi, silahkan mulai pertanyaanmu."

"Baiklah, Pak Heri, saya ga paham sebenarnya apa tugas saya yang membuat saya layak dapat kenaikan gaji sebesar itu. Bapak hanya datang ke kantor sesekali, dan, maaf sebelumnya, dari sepengetahuan saya ga banyak yang Bapak kerjakan selama berada di sini, jadi apa yang mungkin bisa saya bantu sebagai asisten pribadi Bapak... Pak Jeffry bilang, Bapak berhasil menyelamatkan banyak uang perusahaan, tapi saya ga paham bagaimana caranya."

"Jadi menurutmu aku mungkin mencari lebih dari sekedar asisten pribadi? perawat? Pembantu? Wanita pemanis yang bisa memperlancar negosiasi? Atau ada lagi yang kamu duga?"

Dia memerah lagi. "Ya ampun, ini ga berjalan dengan baik."

"Sebaliknya, ini berjalan sangat baik. Jadi, kamu mau tahu apa tugasmu, seberapa banyak yang harus kamu kerjakan?"

"I.. Iya, Pak."

"Dan kamu ingin mengenal aku lebih jauh?"

"Yah..."

"Begini, Jenni, aku tahu terlalu banyak teka-teki di sini yang menyulitkanmu untuk membuat keputusan tentang penawaran serius ini. Ada hal yang lebih penting daripada sekedar gaji yang lebih tinggi, ya kan?"

Sekali lagi dia tampak berpikir. "Bapak sepertinya bisa membaca pikiran saya." Tanpa dia tahu aku sudah mendengarkan pembicaraannya dengan Jeffry tadi.

"Betul. Ini kesepakatannya. Aku akan memberitahumu semua detail yang kamu butuhkan, dan mungkin lebih dari yang kamu harapkan. Tapi, dan ada tapi yang besar... Kalau sampai apa yang kusampaikan padamu bocor pada siapa pun di sini, atau ke temanmu yang mana saja dan aku sampai tahu, kamu akan langsung dipecat, itu akan tertulis di kontrakmu nanti. kamu mengerti?"

Dia mengangguk, bayangan ketakutan melintasi wajahnya.

"Masalahnya adalah apa yang akan kamu dengar, pasti bikin kamu ingin ceritakan ke orang lain. Itu ga boleh terjadi!"

"Saya paham. Saya pasti bisa menyimpan rahasia."

"Ulurkan tanganmu."

Dia kelihatan ragu-ragu tapi tetap mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dan menjabat tangannya.

"Oke. Itu perjanjian kita," kataku, melepaskan tangannya. "Kamu mungkin merasa ini semua terlalu dramatis."

"Yah, agak--"

"Kalau gitu, mari kita buka semuanya. Kamu bisa panggil aku Errik."

"Tapi--"

"Aku Heri Wicaksono. Bukan, itu namaku bagi karyawan yang lain. Aku adalah Errik Riccardson." Aku membiarkannya memahami kata-kataku. Butuh beberapa saat sampai dia paham.

"Tapi itu... "

"Ya. Aku adalah pendiri dan pemilik perusahaan ini bersama Jeffry. Sekarang, apa kamu paham kenapa ini adalah rahasia?"

Dia diam sejenak tampak berpikir, lalu berkata, "Ya, saya paham."

"Ga, kamu pasti belum paham. Semoga kamu orang yang sabar, Jenni, karena aku mau menceritakan keseluruhan ceritanya secara detail. Aku ga perlu komentar apa pun, apalagi saran. Apa kamu bisa tahan mendengarkan cerita yang panjang? "

Dia mengangguk. Jadi aku menceritakan kisahku, termasuk tentang Tris dan Ana. Butuh waktu lama dan pada saat aku selesai wajahnya terlihat muram, tapi komentarnya ga terduga.

"Jadi Patricia meninggalkanmu?"

Giliranku untuk mengangguk, "Seperti yang kukatakan, kami ga pernah bikin komitmen permanen sebelumnya. Dia ingin berada dekat dengan keluarganya dan aku memilih ada di dekat perusahaan dan teman-temanku."

"Dan dekat dengan mantan istrimu?"

"Bukan. Bukannya aku sudah bahas soal itu tadi," Nadaku pasti kedengaran ketus walaupun aku mengatakannya dengan sabar, karena dia kelihatan ga nyaman.

Dia menggantinya dengan "Dengan anak-anakmu?"

"Tentu aku ingin dekat dengan anak-anakku."

Dia tersenyum.

"Sekarang," kataku, dengan suara 'kembali ke bisnis', "Apa kamu berminat untuk jadi asistenku?"

"Iya, Pasti."

Kami melanjutkan pembicaraan untuk membahas apa tugasnya nanti. Aku tekankan bahwa aku ga cuma butuh orang yang membantu mengingat, tapi seseorang yang bisa diajak diskusi tentang ide, rencana, dan punya saran darinya tentang permasalahan atau pekerjaan yang kami lakukan. Sudah pasti dia yang akan melakukan presentasi penjualan. Aku sampaikan padanya bahwa Jeffry merasa dia bukan wanita yang sekedar mengiyakan segala hal dan justru untuk itu aku bersyukur karena itu artinya akan ada yang membantuku dalam diskusi atau debat dengan klien nantinya. Dia jujur menyadari kekurangannya dalam hal pengetahuan teknis produk, tapi aku yakinkan itu ga akan jadi masalah.

"Kata Pak Jeff kita akan sering pergi dinas keluar kota bahkan keluar negeri." Katanya

"Dia juga belum bilang detail sepenuhnya, tapi rasanya begitu. Apa ada masalah? Apa kamu perlu bicarakan dulu dengan seseorang soal itu? Pacar? Suami?"

"Bukan. Saya cuma berpikir sebaiknya saya menyiapkan paspor. Satu pertanyaan terakhir."

"Apa itu?"

"Kenapa 'Heri Wicaksono'?"

"Idenya Jeffry. Dia pikir kalau seandainya dia ga sengaja panggil aku Errik, nama itu akan kedengaran seperti Heri sebagai alasan. Wicaksono juga mirip dengan Riccardson."

Dia tertawa. "Saya akan jaga semua rahasiamu, Pak Errik. Saya paham persoalan yang anda hadapi dengan mantan istrimu. Ngomong-ngomong, di mana saya akan bekerja?"

Aku belum memikirkan soal itu, tapi ruangan kantorku besar dan dapat menampung meja tambahan, komputer dan perlengkapan yang menyertainya. Dia kelihatan cukup senang dengan ide itu, dan aku pasti senang dengan ide duduk di hadapan wanita cantik seperti dia. Sepasang kaki itu sangat memikat!

Jadi dia kembali ke ruangan Jeffry bersamaku, dan kami memutuskan untuk memberinya gaji dua kali lipat.

"Ongkos tutup mulut." canda Jeffry. Aku ga bilang apa-apa.

"Sekarang balik ke pekerjaan, Jeff, asistenku yang baru...” Kataku sambil melirik Jenni, “Memberi tahuku bahwa aku bakal pergi ke luar negeri untuk perjalanan dinas."

"Oh, ya, aku belum sempat ngasih tahu kamu soal itu dengan detail. Kamu harus ke Australia tiga minggu lagi, Perth tepatnya. Lalu ke Jerman empat minggu setelah itu. Dan ada beberapa yang lain setelahnya. Menurutmu kamu sudah cukup sehat untuk pergi sejauh itu?"

"Bisa bos! Senang banget bisa ada di tim salesmu, Pak!"

Jenni sekilas terlihat kaget, tapi langsung paham kami sedang bercanda dan ikut tersenyum.

Jeffry tersenyum padanya. "Nah sekarang, karena kamu akan menghabiskan banyak waktu dengan partnerku, kalau boleh aku sarankan agar kamu menerima ajakan Errik untuk makan malam weekend ini, itu kalau kamu belum punya rencana lain?"

"Bukannya seharusnya Pak Errik sendiri yang mengajakku?" tanyanya dengan seringai genit.

"Dia terlalu pemalu!" kata Jeffry, menatapku.

"Oke!" Aku menjawab, "Jenni, apa kamu mau menemani aku makan malam hari Sabtu lusa?"

"Wah, terima kasih undangannya, saya kaget lho, Pak," dia menggoda. "Aku pasti mau."

Kadang hidup mirip seperti ombak, saat satu pergi, yang lain datang, tapi seberapa besar masing-masing berpengaruh pada pantai, waktu yang akan menjawab.


Bersambung... Chapter IX
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd