Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

Bimabet
Saran saya, untuk subes @Gentile matikan karakter Hadi biar gaada masalah kecemburuan kedepannya antara errik ana dan Hadi, momennya juga pas kan Hadi lagi dirumah sakit buatlah seolah2 orang suruhan Linda pergi kerumah sakit untuk memastikan Hadi mati, dan setelah itu target selanjutnya ana tapi udah keduluan diketahui errik dkk, atau terserah subes @Gentile mau diapakan si Hadi itu yang penting mati aja dulu wkwk.. Saya juga setuju sama para reader yang dimari bahwa sumber masalah errik dan ana itu Hadi simata keranjang,
 
Saran saya, untuk subes @Gentile matikan karakter Hadi biar gaada masalah kecemburuan kedepannya antara errik ana dan Hadi, momennya juga pas kan Hadi lagi dirumah sakit buatlah seolah2 orang suruhan Linda pergi kerumah sakit untuk memastikan Hadi mati, dan setelah itu target selanjutnya ana tapi udah keduluan diketahui errik dkk, atau terserah subes @Gentile mau diapakan si Hadi itu yang penting mati aja dulu wkwk.. Saya juga setuju sama para reader yang dimari bahwa sumber masalah errik dan ana itu Hadi simata keranjang,
Wkkkk ...wkkk

Gak gitu juga kali , kalau Linda lagi jadi ngulang dong cerita dari awal ...

Cukup dengan kembali kritis trus death , atau Hadi tersandung hukum ...
 
Chapter ini adalah chapter penutup dari kisah Errik dan perjalanan yang harus ditempuhnya untuk menemukan jati dirinya.

Terima kasih buat semua yang sudah setia membaca cerita ini dari awal sampai sekarang.

Terima kasih buat semua komentar yang diberikan dalam bentuk pujian, analisa, hujatan, protes, request, dan juga tagihan update, terima kasih sudah mau menjadi bagian dari cerita ini.

Mohon maaf kalau selama kurang lebih 4,5 bulan ini ada kesalahan baik yang disengaja ataupun tidak disengaja oleh saya, baik dalam kata-kata yang dipakai, typo, telat update, ataupun cerita yang ga sesuai dengan ekspektasi suhu semua.

Akhir kata, saya ucapkan selamat menikmati akhir kisah ini dan sampai jumpa di cerita yang lain.


Tris



Jenni



Ana



-------0-------


XXIX. Pulang


Saat semua pertanyaan dari polisi selesai, hari sudah beranjak sore. Mereka pergi dan kami makan roti panggang dengan selai kacang diatasnya, saling melempar senyum saat duduk berhadapan di meja makan. Tiba-tiba Ana tampak kaget.

"Kerja!" dia berteriak. "Aku harus kerja!"

"Aku sudah menghubungi kantormu," kataku. "Kamu ga perlu masuk kantor sampai setidaknya minggu depan. Mereka bisa mengerti dan ikut khawatir pada kondisimu."

Dia rileks lagi.

Setelah makan kami tetap duduk di situ. Aku tiba-tiba merasa sangat lelah, dan seperti yang sudah sering terjadi saat aku terlalu lelah, berbagai bekas lukaku mulai rewel. Kali ini rasa sakitnya lebih kuat dari biasanya.

Anehnya pada saat aku memandang ke arah Ana yang tampak khawatir di seberang meja, aku sadar, bahwa penghalang apapun diantara kami sudah hancur bersamaan dengan kejadian kemarin dan momen yang kami lalui bersama semalam. Ana selalu berusaha terlihat kuat di hadapan aku dan anak-anak, tapi di alam bawah sadarnya dia begitu tergoncang, terbukti dari mimpi buruk yang selalu datang dan seringkali dia melamun. Aku sudah yakin bahwa aku mencintai Ana dan aku pikir dia juga mencintaiku, seperti yang sudah dikatakannya selama ini.

Sekarang aku tahu aku harus pulang, kembali padanya. Ada sedikit rasa khawatir soal emosiku yang meledak-ledak, tapi aku memilih mengabaikannya sekarang. Dia membutuhkan aku, seperti aku membutuhkannya. Perbuatanku kemarin sudah membuktikan perasaanku yang sebenarnya pada Ana. Tapi mungkin aku salah.

"Aku ingin pulang," kataku tiba-tiba, memecahkan keheningan saat kami tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. "Maksudku pulang yang sesungguhnya."

Ana menatapku. Kalau aku berharap ada senyuman indah khasnya yang muncul dan tangan terbuka menyambut ucapanku, aku harus kecewa.

Sebaliknya dia tampak ragu-ragu.

"Aku ga tahu," katanya dengan cemberut.

Kemarahanku langsung meningkat lagi; dalam kondisi kesakitan dan kelelahan itu terjadi dengan sangat mudah. Aku memang harus khawatir pada pengendalian amarahku.

Dia tahu aku marah.

"Errik," katanya tegas, "Kamu bilang kamu akan mengontrol amarahmu."

Dia benar, aku pernah bilang begitu. Jadi aku mencoba sebisaku. Nyatanya aku merosot lagi di kursiku, postur tubuhku mencerminkan perasaanku yang lelah dan ga berdaya. Tiba-tiba aku merasa ga tahan lagi. Aku ingin sendiri, minum obat penghilang rasa sakit dengan dosis lebih dan tidur. Aku sudah muak dengan drama.

Aku bangkit perlahan, persendianku melawan, tapi aku berhasil berdiri lalu berbalik dan menuju pintu.

"Oke, aku ga akan pulang. Aku akan kembali ke apartment."

"Jangan, Errik!" dia berteriak, "Beri kesempatan aku menjelaskan! Tolong jangan pergi dulu."

"Tidak," kataku datar, aku merasakan penolakannya tadi sebagai beban yang sangat berat. "Aku mau pergi. Aku kelelahan dan kesakitan dan kamu toh sudah menolakku. Kalau kamu siap menerima aku, kamu yang harus bilang sendiri. Lalu aku akan memutuskan, dan setelah ini, aku pasti ga akan bertanya lagi soal itu."

"Tolong, Errik," pintanya, dia semakin gelisah, "Aku perlu menjelaskan dulu."

"Sudah kubilang. Aku terlalu lelah. Goodbye," kataku dan berjalan keluar.

Sudah pasti aku tahu, ini bukan akhir dari masalah. Saat aku memasuki apartment, telepon sudah berdering.

Itu dari Alfon. Dia ga pakai basa-basi.

"Errik," katanya, "Ana menelepon Vivi, dan Vivi menepati janjinya untuk ga ikut campur. Tapi ada apa ini? Ana menangis dan meracau bahwa kamu sudah meninggalkannya. Setelah kejadian kemarin dia butuh kamu; secara emosional dia ga sekuat itu."

Aku duduk di sofa dengan telepon, "Mungkin kamu ga sadar bahwa aku juga ga sekuat itu saat ini. Aku juga mengalami sendiri kejadian itu, kamu tahu, aku juga disana. Aku sangat lelah dan bekas lukaku terasa sakit. Aku ga butuh perdebatan ini.

"Tadi malam dia minta aku untuk menginap disana untuk menemaninya, Alfon. Aku merawatnya sepanjang malam saat dia mendapatkan mimpi buruk, jadi jangan menceramahiku soal betapa lemahnya dia. Kamu tahu bahwa selama ini dia sudah bilang bahwa aku ditakdirkan bersamanya dan dia akan menunggu sampai aku siap untuk kembali? Nah, tadi sore aku bilang padanya aku ingin pulang.

"Dia ga bilang ya, Alfon. Dia malah bilang 'Aku ga tahu'. Aku rasa sudah cukup. Saat dia sudah tahu, dia bisa memintaku untuk pulang, tapi aku ga bisa janji apa-apa, setelah ditolak mentah-mentah seperti itu. Paham? Sekarang aku mau tidur."

"Oh," katanya.

"Ya. Sampaikan kabar baik ini ke Vivi, ok?" kataku sinis dan aku menutup telepon.

Ga ada telepon lagi setelah itu. Aku minum obatku, dan menjatuhkan diri di tempat tidur. Saat itu jam empat sore dan aku ga bangun sampai jam enam pagi besoknya. Aku masih merasa sedikit sakit, tapi sudah lebih segar. Aku tetap berbaring sampai jam tujuh sambil mendengarkan radio, lalu bangun dan berangkat kerja.

Saat aku sampai, aku disambut dengan datar, tanpa antusiasme dari asisten pribadiku. Jenni ga komentar tapi suasananya ga menyenangkan. Aku menganggap itu ada hubungannya dengan Ana dan perselisihan kami. Aku ga peduli; sebenarnya itu malah kebetulan karena aku sedang ga ingin membicarakan itu. Ga banyak yang bisa kulakukan hari itu di kantor.

Jenny bilang hari ini dia akan pergi ke customer untuk meeting. Dia ga mengajak aku. Jeffry sibuk dengan masalah kecil yang rumit. Jadi aku memutuskan untuk pergi dan menemui karyawanku di The River. Aku meninggalkan pesan pada Widya soal ke mana aku akan pergi dan bilang aku ga akan balik ke kantor hari itu.

Di Clubhouse milikku itu, aku sempat menemui Hani, resepsionis yang sudah bersikap kasar saat aku datang sebelumnya, aku menenangkannya bahwa dia ga akan dipecat tapi dia jelas butuh training. Lalu aku menemui Martin.

Pertemuan kami konstruktif, dan aku memastikan padanya bahwa aku ga akan ikut campur manajemen tempat ini yang sudah dijalankannya selain menyewa seorang trainer untuk memberikan beberapa pelatihan dalam layanan dan costumer service, dan aku memuji pekerjaan yang sudah dia lakukan selama ini.

Dia tertarik dengan pengalaman terakhirku yang katanya diberitakan di koran dan televisi lokal kemarin malam. Aku tahu darinya bahwa Linda dikirim ke rumah sakit kepolisian untuk menjalani test psikologis dan Gerry, sepupunya ditahan sambil menunggu persidangan di pengadilan.

Di akhir pertemuan, kami jadi lebih akrab. Aku bilang padanya bahwa aku ingin melihat pembukuan dan mengenal para staf. Slamet sedang libur hari itu, jadi aku menitipkan pesan bahwa pekerjaannya masih ‘slamet’, asalkan dia mau menjalani training dan ga lagi suka mengancam calon pengunjung yang datang kesini.

Aku pulang. Setidaknya aku sudah melakukan sesuatu yang konstruktif, dan aku merasa lebih lega dalam perjalanan kembali. Namun, saat memasuki apartment, semua depresiku tentang Ana dan pertengkaran kami sehari sebelumnya muncul lagi. Aku memutuskan untuk memasak untuk mengalihkan pikiranku dari kejadian itu selama mungkin. Aku ngemil buah saat menunggu masakan matang dengan perlahan. Aku sempat tidur siang setelah itu, dan sedang memindahkan masakan dari panci sekitar jam setengah lima sore saat bel pintu berbunyi. Semangatku turun. Siapa lagi yang datang ingin berdebat denganku?

Agnes. Dia berdiri dengan gugup di depan pintu.

"Masuklah," aku tersenyum dan dia lebih rileks, menghela nafas lega. Dia memelukku dan aku memeluknya. Dia masuk dan mengambil jus buah untuknya sendiri dan duduk di sofa panjang ruang tamu.

"Aku rasa Ayah tahu kenapa aku kesini," katanya sambil menatapku dengan cemas.

"Ya! Kamu mau cerita soal Ibumu dan betapa sedihnya dia. Nah, Sayang, aku juga sama. Kali ini dia yang harus datang padaku."

"Oh, kalian berdua ini!" dia menggerutu, "Kalian berdua sama keras kepalanya satu sama lain! Aku ga ngerti. Kalian kemarin tidur sekamar."

Apa aku harus menjelaskan? Yah, dia hampir umur delapan belas tahun.

Dia memotong pikiranku dengan berkata, "Kalau menurut Ayah, Ibu yang menyuruhku kesini, Ayah salah. Ini kemauanku sendiri. Aku ingin rasa damai! Apa kalian berdua ga bisa memperbaikinya?"

"Apa Ibu cerita kenapa aku pergi?"

"Iya."

"Apa yang dia bilang?"

"Ibu bilang dia ragu saat Ayah bilang mau pulang."

"Betul. Setelah berulang kali bilang bahwa dia merasa kami masih suami istri, dan dia ingin aku kembali padanya. Lalu begitu aku bilang aku ingin pulang, dia bilang dia ga mau."

"Dia ga bilang dia ga mau, Ayah."

"Memang tidak, tapi apa yang dia bilang berarti sama. Kalau dia yakin, dia yang harus datang ke sini dan mengajakku baik-baik untuk pulang."

"Dia mungkin ingin bicara lebih dulu."

"Kami ga perlu bicara lagi. Ini sudah berlangsung cukup lama. Jadi, antara aku pulang. Atau ga sama sekali."

"Oh." Dia kelihatan licik. Lalu wajahnya berseri-seri. "Tapi aku bisa datang dan memberitahu Ayah soal apa yang ingin Ibu bicarakan, kan?"

"Aku sudah hampir ga bisa lagi mengaturmu, putriku tersayang, ya kan?" Aku tertawa, "Tapi itu bukan berarti aku akan memberikan jawaban padamu. Dia tetap harus datang ke sini."

"Aku masih ga ngerti semua ini, maksudku, Ayah tidur dengan Ibu malam itu."

"Ibu butuh teman, kenyamanan, keamanan. Itu saja."

Agnes tersenyum penuh arti.

"Tidak, Agnes," bentakku. "Maksudku persis seperti itu saja. Dia cuma butuh seseorang untuk menemaninya. Dia takut, Dia bolak-balik terbangun karena mimpi buruk semalaman. Aku sendiri kelelahan saat bangun pagi."

"Semalam dia juga masih mimpi buruk dan sering terbangun. Bisa saja Ayah masih ada disana. Dan dia masih..." Dia ga menyelesaikan kalimatnya saat dia sadar perbedaan sikap Ana yang mengundangku untuk menginap di malam sebelumnya dan menolakku di hari berikutnya.

"Oke, Ayah," katanya sambil bangkit, "Aku paham. Aku akan memberitahunya."

Kami berpelukan lagi, dan setelah itu dia pulang, membawa salam cintaku pada ibu dan adik-adiknya. Dia sudah berubah jadi wanita yang sangat dewasa.

Yang ga kusangka-sangka, dan sampai sekarang aku masih berpikir kenapa aku ga menduganya sama sekali, adalah saat sekitar jam enam sore, Ana muncul di depan pintu apartmentku. Dia berdiri di depan pintu persis seperti saat putri kami datang sore tadi. Aku mundur sebagai undangan agar dia masuk, yang dia terima dengan berjalan masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa persis di tempat Agnes duduk tadi sore.

"Mau aku buatkan minuman?" Aku bertanya.

"Ga usah, terima kasih."

Aku yakin dia ga mau buang-buang waktu lagi dan langsung to the point.

Aku duduk di kursiku. Ada keheningan di antara kami, tapi dia tetap tenang. Aku tetap menunggunya memulai. Lalu dia tersenyum padaku.

"Errik," katanya. "Saat kamu bilang ingin pulang, itu membuatku kaget. Saat itu aku juga sedang ga dalam kondisi idealku. Aku tahu kamu ga mau membicarakannya, tapi nyatanya kita harus melakukan itu. Aku akui aku ragu, setelah semua kesalahanku, aku ga tahu apa aku pantas untuk mendampingimu, dan terutama setelah apa yang diperbuat bajingan itu padaku kemarin.

“Tapi lalu aku sadar, saat kamu bilang ingin pulang, itu berarti kamu sudah memaafkanku dan menerimaku lagi apapun kondisiku. Sekarang, giliranku yang memohon padamu, sayangku, maukah kamu pulang? Malam ini? Tolong? Untuk seterusnya?"

Sekarang giliranku untuk ragu, ga tahu harus bilang apa. Tapi ga butuh lama buatku untuk sadar bahwa aku ga mau main-main lagi, kami sudah cukup lama menunggu, kami sudah terlalu lama saling menyakiti. Inilah saatnya kami saling memaafkan, kejadian kemarin menjadi pelajaran, ada begitu banyak hal lain yang ada diluar kontrol kami, dan kalau maut benar-benar menjemput, sebaiknya itu terjadi saat kami bersama-sama.

"Terima kasih, Ana. Ya, aku mau pulang malam ini."

Dia melompat kedepan dan ambruk di atas pangkuanku, menimpa lututku yang masih terasa sakit, memelukku erat-erat, kepalanya terbenam di leherku, dan ga lama kemudian aku merasakan bajuku basah. Tentu dia menangis bahagia, karena aku juga begitu dan kami berdua menangis berpelukan.

"Aku sangat bahagia," bisiknya sambil mengatur napas disela isakannya.

"Sudah terlalu lama..." Aku menjawab.

Kalimat berikutnya tertahan oleh bibirnya yang menempel di bibirku saat dia mencium aku dengan buas dan aku meresponnya dengan setara. Itu adalah ciuman pertama yang kami lakukan dengan sungguh-sungguh sejak aku kembali, atau dalam balutan gairah yang mengelegak, dan itu mencairkan semua ketegangan di pikiranku.

Tapi, itu juga menyebabkan ketegangan berbeda yang muncul di tempat lain dan dia merasakan itu lalu mengeser tubuhnya sebagai respon atas tonjolan yang sekarang muncul di bagian depan celanaku. Dia menatap tajam ke dalam mataku, dan ada rasa cinta yang besar terpancar di sana. Dia sama sekali ga menyinggung ereksiku, penyambutan pertama kembalinya kami saling menerima satu sama lain lebih penting daripada seks.

Dia memagut bibirku lagi lalu dia berdiri. Aku bertanya-tanya melihatnya sambil mengangkat alis yang seharusnya ada.

"Aku akan pulang sekarang," katanya. "Kamu mau kan menyusulku setelahnya, ya katakanlah satu jam lagi? Lalu aku punya beberapa hal untuk kukatakan padamu, kita buka lagi lembaran baru."

"Oke, sampai ketemu di rumah, aku akan mengemasi beberapa barang yang harus kubawa."

Dia pergi dan aku membereskan dua koper besar dan setelan jasku. Sisanya bisa kuambil lagi lain kali. Kegembiraanku membesar saat aku mengemudi semakin dekat ke tempat yang sekarang kembali jadi rumah 'kami'.

Sebelum aku sampai di belokan terakhir ke rumah kami, aku harus melewati beberapa mobil yang diparkir di pinggir jalan yang gelap. 'Ada yang bikin pesta,' pikirku sambil tersenyum. "Yah, mungkin akan ada pesta kecil juga di rumah kami."

Aku memasuki pekarangan rumah kami. Ada mobil Ana sudah disana. Aku berhenti dan berjalan ke pintu depan, dan hampir menekan bel saat aku berpikir, ini sekarang rumahku, aku bisa masuk kapan saja, jadi aku mengambil kunciku sendiri, dan masuk. Rumah itu sepi. Aku tersenyum. Ana pasti sudah meminta anak-anak untuk menginap di rumah neneknya atau rumah Adrian. Aku tersenyum dengan pikiran liar dikepalaku. Aku berteriak memanggil Ana.

"Aku di ruang tengah," Jawab Ana. Aku berjalan menyusuri lorong ke ruangan tempat kami pernah menonton VCD bersama waktu itu.

Aku berbelok dan berhenti, kaget. Aku sekarang berdiri di hadapan banyak orang yang tertawa dan tersenyum, meneriakkan 'Welcome Home' dan 'Congratulation' dan Ana tampak berbeda karena dia sedikit khawatir ditengah senyum semua orang. Ada Alfon dan Vivi, Adrian dan Jenni, Hasan, Jeffry dan Susan, Amanda dan suaminya, Agnes, Leo dan Stefan sudah pasti. Aku berhenti diam, bingung.

Suara sorak sorai itu mereda dan Ana mendatangiku, dan menggenggam tanganku.

"Errik, sayangku," katanya, dan aku bisa merasakan tangannya gemetar. "Aku meminta mereka semua untuk datang malam ini. Aku berharap kamu akan pulang, tapi kalau seandainya tadi kamu menolak, mereka akan ada disini untuk menghiburku. Aku sudah minta maaf pada semua teman kita ini karena aku pernah meragukanmu disaat mereka saja ga percaya kamu akan meninggalkan aku. Sekarang aku harus minta maaf secara langsung kepadamu atas kelemahanku dan ketidakmampuanku untuk mencarimu lebih gigih saat kamu menghilang. Maukah kamu memaafkan aku?"

"Kamu tahu aku sudah memaafkanmu," jawabku. "Kita harus melupakan itu sekarang. Kita akan memulai lembaran baru lagi, kan?"

Dia memberikan senyum indahnya dan kami berpelukan dan berciuman, disambut tepuk tangan semua teman kami. Lalu pesta dimulai, karena memang untuk itu mereka datang kesini.

Makanan dan minuman mengalir berlimpah dan musik dimainkan dengan lembut menghangatkan suasana. Ana menghilang untuk melakukan tugasnya sebagai nyonya rumah, dan aku berjalan berkeliling menyambut teman-teman kami.

Disaat yang sama telepon berdering. Dari Hasan.

Hasan bilang Hadi sudah siuman pagi tadi dan sore tadi sudah dimintai keterangan olehnya langsung. Hasan bilang, Hadi datang ke rumah Linda siang hari setelah dari kantorku. Dia ingin pamer pada Linda karena aku sudah membantunya dan dia kesana untuk meminta balik uangnya yang sudah dicuri oleh Linda, dia ga menyangka Gerry juga ada disana dan menyerangnya dari belakang.

“Setelah itu, kita tahu apa yang mereka lakukan pada Hadi. Kedatanganmu mungkin sudah menyelamatkan nyawanya. Tapi kami ga bisa minta keterangan terlalu detail karena dia masih terlalu lemah.”

Aku berterima kasih pada Hasan dan mengundangnya untuk datang di pesta, yang ditolaknya dengan ucapan terima kasih karena dia masih harus membuat laporan atas kasusku.

Aku sempat penasaran kenapa Linda mengincar kami lagi setelah dia ‘membiarkan’ kami begitu lama, tapi kedatangan Hadi ke rumahnya mungkin sudah membakar lagi dendam Linda padanya. Membuatnya ingin menghabisi Hadi dan juga menculik Ana lalu menghukum mereka dengan tangannya sendiri seperti yang dia bilang. Perbuatan Hadi terlalu gegabah mendatangi Linda, tapi nyatanya ga satu pun dari kami yang bisa menduga apa yang akan Linda lakukan setelah mendapatkan informasi itu, atau sejauh mana dia ingin melakukan pembalasan dendamnya yang gila.

Aku melanjutkan berkeliling.

Lalu Vivi datang mendekatiku. Ada ekspresi itu di wajahnya, yang seakan berkata 'Aku punya rencana' yang membuat perutku mual.

"Jangan khawatir Errik," katanya. "Kali ini bukan aku yang punya rencanaku, tapi aku datang untuk memberitahumu lebih awal tentang rencana itu. Ana ga tahu aku melakukan ini tapi aku ga mau ada masalah lagi di antara kalian."

Aku bingung. "Jadi--" cuma itu yang bisa kukatakan.

"Ana akan melamarmu di hadapan semua orang," katanya. "Aku pikir kalau kamu ga siap, itu mungkin akan memalukan bagimu dan baginya juga. Apa kali ini aku sudah melakukan sesuatu yang tepat?"

Aku tercengang mendengarnya. Lalu aku tergagap saat menjawab, "Y-ya, Vi, Sudah. Terima kasih."

"Lalu?" dia bertanya.

"Lalu?" Aku balik bertanya.

"Kamu akan jawab apa?"

"Kamu ga berharap aku menjawabnya di depanmu, kan?"

"Oh, bagus! Artinya kamu akan menerimanya!"

"Bisa dibilang begitu, aku ga bisa komentar," kataku, dan kami berdua tertawa.

Aku melanjutkan berkeliling, sampai Ana berseru meminta perhatian dan pembicaraan disana berhenti. Ada seseorang yang mengubah lagu yang sedang dimainkan jadi ‘My Valentine’.

"Errik," katanya, cukup keras untuk didengar semua orang. "Duduklah. Ada yang ingin kutanyakan padamu."

Aku duduk dan hendak bicara, tapi dia mendekat padaku dan meletakkan jarinya di bibirku. Ada senyum lebar pada wajah orang-orang di sekitar kami, suasananya penuh dengan ekspektasi dari mereka, menunggu apa yang akan terjadi.

"Biar aku selesaikan dulu, sayangku. Aku pernah bersalah karena sudah menceraikanmu, tapi sekarang aku ingin dan harus memperbaiki kesalahanku itu. Karena aku yang membuat rumah tangga kita hancur, sudah seharusnya aku sekarang mencoba membangunnya lagi."

Dia berlutut didepanku, kedua tangannya memegang tanganku.

"Errik," katanya serius, menatap mataku. "Tolong, maukah kamu menikah lagi denganku?"

Aku bangkit dan mengangkatnya berdiri lalu melihat sekeliling ke teman-teman kami. Mereka semua gelisah, ingin mendengar jawabanku. Aku sudah diberitahu soal ini, tapi aku masih kagum karena Ana benar-benar melakukannya. Sepertinya keheningan berlangsung lama, tapi mungkin sebenarnya hanya beberapa detik.

"Ana," kataku dengan tenggorokan tercekat. "Aku mau. Adalah suatu kehormatan dan keistimewaan untuk menikahimu - lagi."

Tapi ga ada reaksi dari orang-orang selain senyum lebar setelah mendengar jawabanku. Aku curiga masih ada lagi yang akan terjadi.

"Errik," katanya, "Aku tahu untuk menikah secara resmi kita harus melalui proses di kantor catatan sipil, tapi itu hanya urusan hukum. Aku ingin bersumpah kepadamu di sini, sekarang, dihadapan saudara dan teman-teman kita. Boleh?"

Aneh bahwa setelah semua keraguanku tentang kesetiaannya selama berbulan-bulan, aku sama sekali ga menahannya dan mengangguk.

Dia memegang kedua tanganku dan menatap mataku saat dia mengucapkan kata-kata: "Aku Ana Gracia memberikan diriku kepadamu Errik Riccardson untuk menjadi suamiku lagi, dalam keadaan baik atau buruk, kaya atau miskin, sehat atau sakit, untuk saling mencintai dan saling menghargai, setia sampai maut memisahkan kita."

Ini terjadi agak terlalu cepat bagi aku untuk bisa meresponnya dengan baik, tapi aku tahu apa yang harus kulakukan. Dia sudah memasrahkan dirinya padaku dengan bersumpah di hadapan teman-teman kami. Entah bagaimana aku merasa itu jauh lebih berarti.

Aku mengenal wanita ini dengan cukup baik. Aku tahu sebelumnya kami sudah berumah tangga selama dua puluh tahun, bahkan meskipun ingatanku pada masa-masa itu masih tambal sulam. Aku tahu dia mencintaiku dan aku tahu pada saat itu bahwa aku juga mencintainya. Terlepas dari apa yang kuingat, aku sekarang mencintai wanita ini, dan kalau dulu kami pernah punya dua puluh tahun yang indah (foto dan video membuktikannya), kami bisa punya dua puluh tahun lagi atau lebih penuh dengan kebahagiaan.

Jadi aku mengulangi sumpah yang dia ucapkan tadi. Saat aku selesai, aku perhatikan dia memegang cincin di tangannya. Dia mengulurkannya padaku dan aku memasangnya lagi di jarinya, itu cincin pertunangan kami dulu, cincin kawinku hilang bersama semua barang-barangku saat peristiwa itu dulu. Setelah itu aku menariknya ke arahku dan menciumnya penuh dan lama. Di sekeliling terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan, tapi kami berada di dunia kami sendiri selama beberapa menit itu. Lalu kami diserang oleh tiga orang anak yang memisahkan ciuman kami dengan paksa dan menuntut pelukan keluarga utuh yang sudah begitu lama tidak kami lakukan.

Saat kami akhirnya memisahkan diri, aku melihat sekeliling, dan sekarang giliranku yang meminta perhatian mereka.

Aku berterima kasih pada mereka semua atas dukungan mereka untukku dan untuk Ana serta anak-anakku selama dua setengah tahun terakhir saat aku ga ada disamping mereka, juga berterima kasih atas kebaikan mereka saat aku sudah kembali dan memulihkan diri. Lalu aku berjalan berkeliling dan sekali lagi menjabat tangan mereka satu persatu. Saat aku akhirnya sampai di hadapan Vivi, dia kelihatan begitu puas.

"Jangan bilang sepatah kata pun!" Aku berbisik.

"Ga akan," katanya dengan seringai di wajahnya. "Tapi kamu ga bisa melarang aku berpikir!"

------

Malam itu setelah tamu kami pulang, kami menunggu anak-anak masuk ke kamar mereka, dan menunggu sampai anak-anak itu tidur. Agnes ga seperti biasanya tidak membuat seringai mesum di wajahnya, digantikan dengan mata yang berkaca-kaca penuh kebahagiaan di malam bulan madu kedua yang romantis dari orangtuanya. Kami berdua mendapat pelukan yang lama dari putri kami dan ga ada komentar apapun selain 'selamat malam'.

Kami memasuki kamar tidur bersama-sama dan Ana lalu duduk dan melakukan rutinitas semua wanita di depan meja riasnya, sementara aku memakai kamar mandi. Setelah selesai, aku melepas semua pakaianku dan naik ke tempat tidur, menyelinap ke bawah selimut tidur saat Ana gantian menghilang ke kamar mandi dengan membawa sebuah tas. Saat dia muncul, aku berhenti bernafas sesaat. Aku ingat, dari foto-foto dan video yang dia kumpulkan untukku. Dia memakai lingerie yang sama dengan yang dia pakai untuk 'malam pertama' kami.

Aku mengatakan itu padanya. "Kamu kelihatan cantik. Ini lingerie malam pernikahan kita dulu, kan?"

Dia berpose, tangan di pinggul, satu kaki ke depan, lututnya ditekuk. Semua itu dibalut lingerie warna putih mengkilap, tembus pandang, membuat tubuh di baliknya terbayang dengan jelas. Celana baby doll, dengan renda yang rumit dan cukup tipis untuk memperlihatkan tali tipis thong di bawahnya. Stoking setinggi paha tipis putih, dan sepatu putih dengan hak setinggi delapan centi.

"Kamu ingat?" katanya dengan heran.

"Dari video itu," kataku.

“Aku punya satu hadiah lagi yang ingin kuberikan padamu, tapi aku ga mau membukannya di depan teman-teman dan anak-anak.”

Dia berjalan ke arah lemari pakaian besar, dan mengambil sebuah kotak berukuran besar tapi cukup tipis. Dia berbalik dan tersenyum ke arahku.

“Aku harap kamu suka,”

Dia meletakkan kotak itu di lantai dan membuka penutupnya, mengangkat sebuah foto, bukan, sebuah lukisan besar, sketsa hitam putih yang mengambarkan sepasang manusia yang berciuman, saling peluk, dan.. tanpa busana. Aku terkesima, gambar itu luar biasa, mengambarkan keintiman, penerimaan satu sama lain, dan fokus pada cinta diantara pasangan itu. Aku mengenali wajah wanita itu sebagai Ana dan dari dari kepalanya yang tidak berambut, aku yakin pria dalam sketsa itu adalah aku.

“Aku ga ingat kita pernah berpose seperti itu?”

“Memang tidak, aku memesannya dari sebuah website yang menjual lukisan dan sketsa yang beda dari biasa. Aku memilih salah satu foto pernikahan kita dulu sebagai dasar lukisan ini, dan meminta mereka menyesuaikan dengan keadaan kita sekarang, dan juga gaya mereka. Anggap saja ini foto pernikahan kedua kita,”

“Kamu suka?” Dia kelihatan sedikit khawatir pada reaksiku, tapi aku sudah janji akan mengontrol emosiku dan aku pikir ga yang salah dengan lukisan itu.

“Aku sebenarnya suka, hanya saja aku rasa gambar itu ga akurat.” Ana semakin khawatir, jadi aku menambahkan.

"Bekas luka di tubuhku dilukiskan ga sesuai dengan tempat yang sebenarnya, dan tubuhmu, kelihatan jauh lebih bagus dilihat secara langsung."

Dia tersenyum lega, meletakkan kembali lukisan itu di tempatnya, lalu sengaja mengoyangkan pinggulnya saat berjalan mendekat ke tempat tidur dan menarik selimutku kebawah. Aku mencium aroma parfum yang memicu kenangan seperti dulu di restoran, sebuah peristiwa yang sekarang terasa sudah lama sekali berlalu. Aku menarik napas dalam-dalam dan dia tersenyum saat dia melihat apresiasi dan reaksiku pada penampilannya yang saat itu nampak jelas mengeras dan bergerak-gerak menunjuk keatas. Dia melepaskan sepatunya dan naik ke tempat tidur. Aku berusaha untuk bangkit tapi dia dengan lembut mendorongku kembali berbaring.

"Kalau begitu, aku harus mulai menghafalkan dimana tepatnya semua bekas lukamu,”

Dia berlutut di atasku dan mulai melakukan ‘ritual’ yang sama seperti yang dilakukan oleh Tris dan Jenni. Dia menelusuri bekas luka di tubuhku dengan lembut, lalu mulai mencium masing-masing, dimulai dengan dada dan lenganku lalu turun ke kakiku. Lalu dia duduk.

"Aku harus melakukan itu," katanya. "Aku ingin menunjukkan padamu aku mencintaimu apa adanya, sayangku. Semua kekuranganmu," lalu dia melirik penisku, “dan kelebihanmu.”

Sambil mengatakan itu dia mulai membungkuk dan mencium penisku, menyusuri panjangnya, lalu ke dua bola yang mengantung dibawahnya, menghisapnya satu per satu ke dalam mulutnya. Secara naluri aku membuka kakiku lebih lebar, dan segera dia berpindah ke antara kakiku, dan kembali memberikan ciuman kecil di kemaluanku.

"Aku merindukanmu. Kamu yang ini," bisiknya. "Aku merindukanmu, setiap malam. Aku merindukanmu selama bulan-bulan yang panjang. Sekarang akhirnya aku mendapatkanmu lagi. Aku sangat bahagia."

Dia memasukkan penisku ke dalam mulutnya dan melakukan keajaiban dengan lidah dan bibirnya. Lalu mengeluarkannya dan menghembuskan nafas dengan lembut ke ujungnya. Itu terasa sangat istimewa. Aku membuka mataku yang terpejam dan menatap ke bawah, melihat payudaranya menggantung dan putingnya keras ditopang oleh kain tipis yang hampir kekecilan. Aku menarik tubuhnya ke atas dan kami berciuman. Lalu dia berlutut lagi di sampingku dan membuka atasannya.

Semuanya kami lakukan dengan lembut. Dia menciumku lagi dan menempelkan putingnya di dadaku. Aku menelusuri punggungnya dan bergeser untuk menyentuh bagian samping payudaranya. Dia berbaring diatasku dan mendesah. Aku menyelipkan jari-jariku ke pinggangnya dan mendorong sisa pakaiannya sejauh mungkin. Tapi dia pasti sudah membantu melepasnya karena saat aku melihat lagi ke arahnya, dia sudah telanjang.

Lalu dia memindahkan satu kakinya yang masih berstoking melewati kedua kakiku, mengangkangiku. Sekarang bukit kemaluannya menekan penisku yang sudah ereksi penuh dan mengeliat antusias. Dalam satu gerakan yang lancar dia memposisikan dirinya dan dalam sekejap penisku sudah berada di dalam vaginanya yang basah, lembut, dan hangat.

"Pulang!" dia tersentak saat dia merasakan aku tenggelam semakin dalam ke pusatnya, "Kamu sudah pulang!"

"Aku cinta kamu." Kataku. Rasanya seperti baru pertama kali aku memberitahunya. Dia menciumku untuk merespon.

"Aku mencintaimu juga," katanya, dan vaginanya meremas kemaluanku. Memang benar. Dia benar-benar mencintaiku apa adanya.

Momen itu serasa abadi. Ga ada yang penting pada saat itu kecuali penetrasi dan penerimaan total darinya. Ga ada gairah yang mengebu-gebu tapi intensitas perasaan yang terlibat. Sampai dia mulai bergerak, lambat dan menarik penisku sampai hampir keluar dan kemudian mendorongnya sampai tenggelam sepenuhnya, menggesekkan batang panjangku ke klitorisnya. Dia memompa tubuhnya bertumpu pada lengannya dan menatap mataku dengan penuh cinta.

"Yes!" dia berbisik, dan lagi, "Yes!" pada setiap dorongan. Perlahan-lahan irama gerakannya semakin cepat, dan akhirnya dia duduk dan merubah gerakannya menjadi pendek-pendek tapi setiap beberapa dorongan dia memutar pinggulnya dan membuat kemaluan kami saling menekan. Aku merespon dengan mendorong ke atas. Dia tersenyum padaku dan tempo kami meningkat sampai matanya terpejam, dan dia diam membeku, dan ga lama dengan teriakan tertahan, tubuhnya mulai bergetar ga terkendali. Akhirnya dia ambruk ke atasku dan terangah-engah kehabisan tenaga karena orgasme yang baru didapatkannya.

Saat dia agak tenang, dia bangkit dari dadaku.

"Giliranmu," katanya. "Waktunya mengambil kembali istrimu."

Dia berbaring di sampingku, menarikku untuk naik ke atasnya. Saat aku bergerak, dia berkata, "Jadikan aku milikmu. Cintai aku Errik!"

Aku memposisikan kemaluanku di depan vaginanya dan berkata, “Aku memang mencintaimu.” Lalu mendorong pinggulku kedepan dengan keras.

"Yes!" dia tersentak.

Aku mengangkat kakinya ke atas bahuku, dan mengabaikan rasa sakit di lututku. Itu lebih dari sekedar persetubuhan. Itu bukan 'mengambil' dia kembali, tapi aku ingin membangun kembali hubungan kami, yang telah terpisah begitu lama. Dia sudah menerimaku lagi dalam hidupnya dan tubuhnya, dan sekarang giliranku untuk mengisinya dengan gairah hidupku juga. Ga butuh waktu lama bagiku untuk mencapai orgasme, dan gerutuan, dan eranganku memenuhi ruangan ketika aku menyemburkan spermaku dengan kuat di dalam vaginanya, yang diterimanya dengan pasrah, terpejam saat dia mendapatkan orgasme keduanya dalam waktu bersamaan.

Aku melepaskan penisku darinya, menurunkan kakinya dan berbaring di atasnya, lengannya melingkari punggungku seolah-olah ga ingin berpisah lagi.

"Oh Errik, sayangku," katanya dengan antusias, "Aku sudah kangen dan merindukan saat-saat seperti ini. Sekarang kita benar-benar bersama lagi, sayangku!"

Aku mengangkat diriku sendiri dan menatap matanya.

"Rasanya aku selalu menginginkanmu," kataku. "Sejak aku mencium bau parfummu--"

"Yang kamu belikan untukku," potongnya. "Aku selalu memakainya untuk mengingatmu.."

"Aku rasa sejak saat itu aku sudah menginginkanmu tapi aku punya komitmen dengan orang lain dan aku selalu--"

"Setia pada wanitamu," dia tertawa, lalu dia menambahkan. "Aku seharusnya tahu, kamu selalu setia pada wanita ini. Maaf--"

"Jangan lagi," aku memotongnya. "Jangan ada lagi maaf. Kita sudah kembali bersama. Jangan ada lagi penyesalan. Jangan lagi ada orang lain diantara kita."

Dia tersenyum ceria, dan saat aku berguling dari atasnya, dia mengeser tubuhnya ke sampingku dan meletakkan kepalanya di bahuku.

"Setuju," katanya.

“Ngomong-ngomong, kita harus mulai mencari tempat yang cocok untuk memasang lukisan tadi.”

“Aku juga setuju soal itu,’ Jawabnya lagi, menenggelamkan wajahnya ke leherku.


Hari penuh kebahagiaan itu berlangsung di hari Kamis, dan besok masih hari kerja. Bisa ditebak kami kesiangan, untungnya Jeffry sudah melarangku untuk muncul di kantor sampai hari Senin, dan Ana juga sudah dapat ijin dari kantor untuk ga kerja lagi sampai hari Senin, tapi walaupun begitu Agnes masih harus tetap kerja magang dan anak-anak laki-laki masih harus sekolah. Jadi apa yang akan kami lakukan seharian di hari Jumat?

Begitu anak-anak pergi, Ana menerkamku yang sedang membawa piring kotor dari meja makan, aku ga bisa protes karena bibirnya sedang melumat bibirku sambil menarik leherku kearahnya. Aku akhirnya bisa menyerukan protesku hanya saat dia melepaskan dirinya, lalu berlari naik ke atas, sambil membuka dan melemparkan satu persatu pakaiannya.

Aku ingin melakukan hal yang sama, tapi melemparkan piring-piring ini bukan ide yang bagus, jadi aku membawa semuanya ke wastafel dan berbalik untuk menyusulnya ke lantai atas.

Aku menemukan blousenya di bagian bawah tangga, roknya di bagian atas tangga, branya di depan pintu kamar, dan terakhir celana dalamnya di depan pintu kamar mandi. Aku sendiri dalam waktu singkat sudah telanjang bulat, penisku mengangguk-angguk, menunjuk ke pintu kamar mandi yang terbuka, seakan-akan menunjukkan kearah mana aku harus pergi.

Penisku sepertinya lebih ingat soal hubunganku dengan Ana dibanding otakku, jadi aku menurut, melangkah masuk untuk melihat Ana berdiri di bilik shower, sedang menyabuni bagian depan tubuhnya. Lalu aku mendekat, menyelinap masuk perlahan dan berdiri di belakangnya.

Aku melingkarkan tanganku dari belakang, mengambil sabun yang menempel di payudaranya dan bergerak untuk menyabuninya punggungnya.

“Jangan memaksaku lari mengejarmu seperti itu,” bisikku, “Aku sudah ga sekuat dulu.”

“Kamu bisa tetap di bawah dan membersihkan piring-piring kotor di dapur.” Jawabnya sambil tersenyum jahil.

“Aku lebih suka membersihkan punggungmu.”

“Cuma punggungku?” tanyanya, sambil melangkah mundur, punggungnya menempel di dadaku. Tangannya terangkat dan memeluk kepalaku, kepalanya bersandar di bahuku, memberikan akses lebih luas bagiku kepada seluruh tubuhnya, aku memulai dengan mencium lehernya. Penisku terjepit di belahan pantatnya yang meskipun basah, terasa hangat.

Tanganku kiriku bergerak kedepan dan meremas-remas payudaranya. Sedangkan yang kanan bergerak melewati perutnya dan menyentuh rambut halus kemaluannya dan terus kebawah.

“Ahh...” desahnya, bergema di dinding kamar mandi. “Apa ada yang harus kamu bersihkan disana?”

“Ga juga, mungkin tanganku hanya tersesat karena tertutup oleh busa sabun.”

“Kalau begitu sebaiknya kita bilas busa ini kan?” Lalu di melepaskan tangannya dari kepalaku dan membungkuk, bertumpu di dinding kamar mandi saat air shower mengguyur punggungnya, membilas busa sabun dari tubuhnya.

Aku sekarang bisa melihat dengan jelas kepala penisku yang muncul dari celah pantatnya, mulai terasa sakit. Jadi aku menarik mundur pinggulku untuk membebaskannya dan disaat bersamaat memberi pandangan yang lebih jelas pada bongkah pantatnya yang bulat sempurna.

Tapi itu ga berlangsung lama, karena Ana meraih kebelakang, mencari penisku, menarikku kedepan. Aku tahu yang dia inginkan, dan setelah kepala penisku menyentuh bibir vaginanya, aku mendorong.

“Ngghh... aku mau semuanya.”

Penisku yang sudah terbenam setengah kutarik sampai hampir lepas dan sekali lagi mendorong dengan kuat, kali ini sampai seluruh penisku terbenam dalam vaginanya. Lututnya goyah saat aku melakukan itu, jadi aku memegang pinggangnya agar tidak jatuh dan ga lama mulai mendorong perlahan, dan semakin cepat pada dorongan berikutnya.

Ga butuh waktu lama baginya untuk mencapai orgasme pertamanya pagi itu, kedua kakinya lemas dan gemetar, membuatku harus membungkuk dan memeluknya, menahan tubuhnya dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain bertumpu di tembok. Aku menciumi bahu dan punggungnya sampai orgasmenya mereda.

Ana menegakkan tubuhnya dan penisku yang masih tegang terlepas dari vaginanya, dia mematikan shower lalu berbalik menghadapku dan menciumku dengan penuh gairah, mendorongku mundur perlahan tanpa melepaskan ciuman sampai kami keluar dari bilik shower.

“Aku mungkin belum bilang ini langsung kepadamu. Kamu belum pernah gagal memuaskanku dalam kehidupan seks kita, tapi tadi ada yang bilang kalau kamu sudah ga sekuat dulu. Jadi..” Lalu dia melompat naik duduk diatas meja wastafel dan menarikku kehadapannya.

Aku tersenyum saat dia sekali lagi menempatkan penisku di depan vaginanya, dan kusambut dengan dorongan kuat kedepan. Kakinya sekarang melingkari pingangku.

“Ngghhh.. Ahh...“ Ana terus mengeram dan mendesah, suaranya diperbesar oleh gema di kamar mandi ini. Mungkin suara itu yang disebut ‘berisik’ oleh Agnes, aku akan mengingat untuk ga menyetubuhinya disini ketika anak-anak ada di rumah.

Aku terus memompa, tanganku meremas payudaranya yang terpantul indah, sesekali mencium bibirnya yang setengah terbuka dan setelah beberapa waktu aku memberikan satu dorongan terakhir dan menyemburkan air maniku di dalam vaginanya.

Matanya terpejam, dan kakinya tidak lagi melingkari pinggangku dan setelah sempat kaku saat dia mencapai orgasme ke duanya dalam posisi ini, sekarang terkulai lemas di samping tubuhku.

Aku menciumnya dengan lembut, memaksanya untuk membuka matanya.

“Kamu tahu kan aku ingin mengendongmu ke tempat tidur, tapi aku sudah ga sekuat dulu, dan seingatku aku tadi belum mandi.”

Aku berbalik dan kembali ke bilik shower, membersihkan tubuhku sambil memandangnya yang berangsur-angsur pulih dari balik kaca. Dan ga lama dia menyusulku kedalam, bukan untuk seks, tapi untuk membantu menggosok punggungku. Seks harus menunggu setelah kami selesai makan siang, dan kami melakukannya dengan lembut di sofa ruang tengah, sambil menonton VCD rekaman hubungan intim kami, mengulang adegan yang muncul disana, menghabiskan waktu sebelum anak-anak pulang.

Ana masih sering mendapatkan mimpi buruk dan terbangun di malam hari, butuh beberapa waktu untuk pulih dari trauma peristiwa penculikan itu, tapi menurutku kehadiranku membantu mempercepat proses itu. Yang tidak kusadari adalah sebenarnya aku juga mendapatkan manfaat yang sama dengan berada disampingnya. Aku sangat takut aku ga bisa menolongnya pada saat itu dan dengan sekarang dengan kembali ke rumah ini, aku merasa aku akan bisa menjaga Ana dan juga keluargaku.

----0-----​

24 Agustus 2017

Aku dan Ana menikah secara resmi dalam prosesi singkat di kantor catatan sipil pada 24 Agustus 2015, tepat empat tahun setelah peristiwa yang gagal membunuhku, tapi berhasil memecahkan keluargaku. Dan di tanggal yang sama setelah empat tahun yang penuh perjuangan, sekarang keluarga kami kembali utuh. Jeffry dan Vivi, ya, Vivi, menjadi saksi pernikahan kami dan tentunya pasangan mereka masing-masing. Kami mengadakan pesta sederhana di rumah yang hanya dihadiri keluarga dan teman dekat kami

Pesta besar baru terjadi di ‘The River’ beberapa bulan setelahnya saat Jenny dan Adrian menikah di bulan Desember, dan sekarang mereka sudah punya satu orang anak yang lucu, dan satu lagi segera menyusul.

Satu pesta pernikahan lagi terjadi saat Tris bertemu dengan seorang dokter yang baik dan menikahinya pada Bulan Juli 2016, aku dan Ana mengajak Agnes menghadiri pernikahannya di Dili. Dokter yang menikahinya adalah pendiri sebuah yayasan yang memperjuangkan pengobatan murah untuk warga miskin disana, dan mereka jatuh cinta pada pandangan pertama saat sedang bersama-sama memberikan pelayanan kesehatan di sebuah daerah. Sudah jelas sekarang perusahaanku menjadi salah satu sponsor kegiatan mereka.

Semua penjahat diadili, divonis bersalah dan dijatuhi hukuman berat dalam sidang yang berbeda-beda. Mereka akan menghabiskan waktu di balik jeruji besi dalam waktu yang lama, meskipun Iwan mendapat vonis yang lebih pendek karena bantuannya pada penyelidikan. Linda dan Gerry divonis hukuman penjara seumur hidup, tapi Linda hanya berada dipenjara beberapa waktu dan setelah itu dinyatakan gila dan dikirim ke rumah sakit jiwa dengan pengamanan ketat tanpa batas waktu. Dia kelihatan marah dan sedih saat terakhir kali kami melihatnya di pengadilan. Aku dan Ana, ditemani Alfon, hadir di semua persidangan kasus ini. Untungnya aku ga perlu memberikan kesaksian. Karena aku sampai sekarang masih ga bisa ingat kejadian sebenarnya, jadi ga ada yang bisa aku tambahkan selain bukti-bukti yang sudah terkumpul.

Hadi, yang terluka parah akibat perbuatan gila mantan istrinya, butuh waktu dua bulan sebelum diijinkan pulang dari rumah sakit. Enam minggu setelah keluar dari rumah sakit Hadi menghilang dan setelah pencarian singkat oleh polisi, dia ditemukan tewas bersimbah darah di rumahnya. Belakangan kami tahu dari surat wasiat yang ditulisnya, bahwa perbuatan Linda dulu punya akibat yang permanen pada Hadi. Luka tusukan pisau di pahanya ternyata lebih parah dari yang diduga, merusak pembuluh darah besar di paha dan pinggulnya, mempengaruhi kejantanannya dan membuatnya frustasi dan memutuskan untuk bunuh diri. Hadi menyerahkan seluruh aset dan harta miliknya yang masih tersisa kepada aku dan Ana, diiringi permintaan maaf karena tidak bisa memenuhi janjinya membantu pembangunan kantorku.

Vivi, yang dengan caranya sendiri adalah salah satu sahabat yang paling setia memperjuangkan hubungan aku dan Ana dulu, sayangnya, Vivi mendapat serangan jantung fatal awal tahun ini yang menyebabkan kerusakan parah pada jantungnya dan setelah sempat dirawat sebentar dia meninggal dunia. Alfon sahabatku yang terpercaya, menerima segalanya dengan tenang. Tapi dia beruntung menangkap Lusi dalam jerat cintanya, dan dua tahun setelah istri pertamanya meninggal, dia menikah kedua kalinya dan hidup bertiga bersama istri dan putri tirinya. Leo sekarang selalu jadi yang pertama menyambut kedatangan Alfon setiap kali dia datang kerumah kami mengajak istri dan putri tirinya. Hormon remaja!

Leo tumbuh dewasa dan sekarang populer di antara teman-teman wanitanya dan karena itu dia begitu menikmati hidup. Stefan sedang ada di 'usia yang rumit', tapi dalam sebagian besar waktu dia selalu bahagia.

Agnes sekarang sudah kuliah dan pacaran dengan seorang pemuda yang baru saja mulai kerja di perusahaan kami. Rasanya aku sudah pernah bilang bahwa Agnes cenderung tertarik pada pemuda yang pandai bicara. Dan kami memanfaatkan bakat pacarnya itu dengan baik di perusahaan ini. Dia sangat membantu di bagian penjualan, menjadi asisten calon tantenya yang sekarang ga bisa sebebas dulu.

Aku dan Ana? Yah, memang ga gampang untuk menyesuaikan diri lagi satu sama lain. Ana sering lupa soal ingatanku yang rusak dan sering marah saat aku melupakan sesuatu. Tapi, kami berdua sepakat menerima kenyataan bahwa apa yang sudah terjadi ada di luar kendali kami berdua. Setelah melalui banyak sesi dengan psikolog, aku sudah cukup berhasil mengandalikan emosiku, ga ada lagi kemarahan yang tiba-tiba muncul dariku.

Seks ga jadi masalah, dan Ana bilang aku selalu bisa memuaskannya sama seperti dulu sebelum kecelakaanku. Mungkin, tubuh kami bisa mengingat kehidupan seks kami dulu walaupun pikiranku ga bisa ingat. Setiap kali kemaluan kami menyatu, rasanya sangat nyaman, seperti kami ditakdirkan bersama.

Jadi, sampai saat ini aku masih merasa ada sesuatu yang salah dan mungkin akan selalu terasa seperti itu. Benar atau salah disini maksudnya terkait dengan kesehatanku, kondisi tubuhku, otak, dan ingatanku. Sebagian besar ingatanku sudah balik lagi, tapi ingatan dari hari saat kejadian naas itu tidak pernah muncul. Memori dari hari kelam itu masih gelap dan belum bisa kuakses sampai saat ini bertahun-tahun setelahnya.

Tapi sekarang aku ga peduli. Siapa yang ingin mengingatnya? Bukan aku pastinya.

Ingatan jangka pendekku masih belum bisa diandalkan bahkan setelah masa pemulihan sekian lamanya. Kadang-kadang ingatanku tentang kejadian-kejadian yang baru saja terjadi bisa tiba-tiba hilang dan bikin aku panik sesaat karena aku ga ingat sedang ada dimana dan lagi ngapain. Untungnya sekarang aku punya buku catatan kecil yang terbiasa kupakai untuk mencatat kejadian-kejadian penting dan buku itu selalu kubawa kemana-mana, sangat membantu buat mengingat hal-hal yang paling penting. Jadi aku ga hilang arah kalau pas tiba-tiba lupa

Pernahkah aku bilang seperti itu sebelumnya? Sudah tentu aku pernah, ketika aku mengawali kisah ini.

Masih ingat kata-kata dokter, "Kasus ini adalah kasus yang sangat langka, jarang terjadi." Aku sering memakai kalimat itu saat bercanda dengan Ana, berulang kali mengingatkan dia pada ungkapan yang membosankan itu, tapi dia menanggapinya dengan tabah, dan bahkan kadang-kadang setuju pada kalimat itu.

Serius, memang nyatanya aku selamat dari sebuah peristiwa yang langka. Penampilanku memang masih ga enak untuk dilihat, tapi aku sudah jauh lebih baik sekarang, bisa berjalan normal, hanya sedikit pincang, tapi aku sehat.

Aku punya Ana yang mendukung disampingku, dan anak-anakku yang luar biasa. Kami ga merasa perlu berusaha keras mengingat kenangan-kenangan lama yang hilang karena peristiwa itu, tapi kami memilih membuat kenangan baru untuk kami ingat bersama.

Aku ga akan mengeluh lagi, karena sekarang, setelah melewati jalan yang berat dan panjang, aku sudah...

PULANG...



----- T A M A T -----​
 
Hmmm..berasa tidak adil, ada banyak adegan ss tris dan jenni, tapi untik anna, ss hanya muncul disini..
Tapi sangat berterimakasih pada suhu kita ini, yg sudah membuat cerita yg luar biasa ini..
Kita diajari untuk mengutamakan kepercayaan pada pasangan kita..

Terimakasih suhu, ditunggu karya yg lain.
:ampun: :ampun::ampun:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd