Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

ku12ku0ku177ku1ruyuk

Semprot Baru
Daftar
14 Mar 2021
Post
32
Like diterima
1.570
Bimabet
Aku memang tidak pernah menyukai pernikahanku. Pernikahan adalah titik awal hancurnya hidupku, direnggutnya kebebasanku, dan jurang tanpa dasar yang harus terus kulalui tanpa ada akhirnya. Sudah berkali-kali aku kepikiran ingin mati saja, tapi tak jadi-jadi. Aku tak terlalu berani.

Aku menikah karena dijodohkan—atau lebih tepatnya dijual—oleh kedua orang tuaku. Dengan si tua bangka jaraknya mungkin ada 20 tahun. Dia seumuran pamanku. Waktu menikah itu aku lulus SMA saja belum. Tadinya aku punya impian untuk pergi kuliah ke kota besar. Punya banyak pengalaman. Punya pacar orang kota yang terpelajar, syukur kalau dapat yang kaya meskipun itu tak menjadi tujuan utamaku. Pokoknya ada banyak sekali rencanaku selepas lulus SMA. Makanya aku sejak awal tidak mengikuti pergaulan seperti teman-teman kelasku yang lain. Aku fokus belajar karena memang sadar diri harus mendapatkan beasiswa kalau mau kuliah. Semua rencana itu lenyap gara-gara orang tua miskinku yang dengan sembrono bikin utang sama rentenir.

Aku murka sekali. Rasanya ingin kubunuh semua orang ketika itu. Apalagi ketika mengetahui ada seorang teman kelasku yang berhasil diterima di perguruan tinggi besar di sebuah kota besar yang jaraknya saja cuma bisa kubayangkan. Bangsat, iri sekali aku.

Aku memupuk dendam.​

Kukira permainannya sudah selesai, aku kira aku sudah ada di titik terendah hidupku, eh ternyata masih lanjut. Kejutan-kejutan tak menyenangkan terus-menerus mengoyak hidupku.

Memang si rentenir ini orang paling kaya se-kecamatan. Rumahnya paling besar tak ada yang menyaingi. Aku saja sempat takjub pas dibawa ke rumahnya. Tapi aku jauh lebih takjub lagi ketika mengetahui fakta anjing berikut ini.

“Nah, Yuni, ini istri pertama saya, boleh kamu panggil Teh Kukuk. Yang ini istri kedua saya, boleh kamu panggil Teh Neti.” Si rentenir memperkenalkan dua orang wanita yang menyambutku dengan ekspresi wajah tak sudi.

Bitch! Aku lebih kaget dari kalian tahu.

Apa-apaan ini hah?! Kenapa jadi begini?!! Aku seperti orang linglung dan hanya bisa merutuk dalam hati.

Kukuk dan Neti menyalami dan memelukku, tapi kentara sekali aura permusuhan yang mereka tunjukkan. Hanya sesama wanita yang paham. Si rentenir anjing mana mengerti masalah begini.

Malam itu aku terkekeh dalam ironi. Aku bahkan tak lagi bersedih menyadari betapa semakin menyedihkannya hidupku ini. Aku tak lagi terlalu berpikir ketika si rentenir tua menggagahiku dengan brutalnya. Mungkin sudah hilang seluruh jiwaku sejak malam itu.

***​

Kupikir kehidupanku sudah akan begitu-begitu saja. Datar dalam keterpurukan. Tapi, lagi-lagi, aku kecolongan. Ketika kukira hidup sudah selesai memperkosaku, rupanya dia masih bernafsu.

Si rentenir memang menikahiku cuma untuk ngentot. Tak ada alasan lain. Satu minggu pertama saja dia agak ramah kepadaku, memberikan tur keliling rumahnya yang memang hampir menyerupai istana, mengajakku makan malam di luar, dan membelikanku banyak sekali barang-barang baru kesukaan wanita. Setelah satu minggu, interaksinya denganku hanya seputar ngentot, ngentot, dan ngentot. Aku ini pada hakikatnya hanya perek. Perek tajir melintir.

Tapi ada satu peraturan yang selalu ditegakkan oleh si rentenir sangean itu. Tidak ada istrinya boleh keluar rumah tanpa dia temani. Atau setidaknya ditemani oleh pengawalnya. Dia beralasan bahwa seorang istri tidak layak keluar rumah karena berpotensi menggoda laki-laki lain. Aku sudah tak lagi heran dengan pikiran piciknya itu. Memang sih dia mampu memenuhi semua kebutuhan istri-istrinya. Di rumah besar ini segalanya ada. Mau apa saja ada. Kalau saja aku di sini bukan sebagai lonte, tentu saja aku akan bahagia.

Interaksiku di dalam rumah hanya kepada seorang pembantu yang usianya cuma terpaut lima tahun denganku. Dia adalah pembantu pribadiku, khusus digaji untuk melayani semua keinginanku. Aku memanggilnya Bi Atih. Padahal lebih cocok dia kupanggil teteh.

Selain dengan Bi Atih aku hampir tidak pernah ngobrol dengan siapapun di rumah ini. Bi Atih kemudian menjelaskan seluk-beluk rumah berikut semua penghuninya. Aku rada terkejut waktu tahu sebenarnya ada sekitar 15 orang keluarga inti yang tinggal di rumah gedong ini. Selain istri dan anak-anaknya, si rentenir juga menampung beberapa orang adik dan iparnya. Sudah kayak komplek saja rumah ini.

Kukuk punya tiga orang anak. Yang tertua bernama Mario dan usianya seumuran denganku. Inilah awal petaka chapter selanjutnya.

Biasanya, selain untuk makan malam dan sarapan bersama di ruang makan utama, semua penghuni rumah akan sibuk di ruangannya masing-masing. Si rentenir juga sering tidak pulang karena ada urusan di luar kota. Tapi tak ada bedanya dia ada di rumah atau tidak kecuali aku libur dikentot malam itu.

Aku sungguh suka malam-malam ketika aku sedang libur. Aku bisa bersantai sedikit. Menonton TV atau membaca buku—meskipun jadinya sangat menyakitkan karena aku jadi ingat mimpi-mimpiku.

Si rentenir sebenarnya tidak mengambil waktu terlalu lama ketika mengentotku. Dia itu nafsunya saja yang gede, tapi staminanya cupu abis. Tidak pernah lebih dari lima menit dia sudah crot. Setelah selesai dia langsung keluar meninggalkanku yang jadi sebal karena sama sekali tak pernah bisa menikmati. Aku kadang mengobel vaginaku sendiri karena sudah kadung horny. Tapi intinya, aku selalu bad mood setiap kali malam harus melayaninya.

Maka kumanfaatkan betul waktu liburku. Bosan menonton atau membaca, aku biasanya berkeliling rumah yang memang luasnya rada tak masuk akal ini. Kalau sedang pingin, kadang aku juga berenang di kolam renang dalam rumah. Tentu saja kupastikan dulu tak ada siapa-siapa. Malas juga aku kalau harus ketemu penghuni lain.

Aku berenang pakai kaos pendek dan hot pants. Kadang pakai lekbong. Kalau yakin sekali tidak ada siapa-siapa, sesekali aku berenang cuma pakai cangcut dan bh. Yang aku tidak tahu, setiap aku berenang selalu ada sepasang mata yang mengamatiku dari suatu sudut. Aku baru tahu jauh hari kemudian ketika yang bersangkutan…

***​

Suatu malam seusai berenang, aku sengaja berkeliling rumah. Sampai tiba aku di lantai tempat kamar Kukuk berada. Tak ada sedikit pun aku curiga atau berpikir apa-apa. Tapi kemudian aku mendengar suara erangan. Jelas sekali itu suara orang sedang mengentot.

Bukankah si tua bangka sedang ke luar negeri? Aku yakin dia sedang tidak di rumah. Baru pagi kemarin dia ada perjalanan bisnis ke Swedia. Mana mungkin sudah balik.

Jadi siapa yang sedang mengentot si Kukuk? Apa dia berselingkuh? Wah, gila ini. Kukira tidak akan pernah menemukan hal semacam ini.

Oh ya, ada satu lagi peraturan rumah yang belum kusebutkan. Di rumah ini pintu kamar tidak boleh dikunci. Benar-benar bisa kena marah besar kalau sampai ketahuan mengunci pintu kamar. Sebagai gantinya, setiap orang yang mau masuk harus selalu mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Kalau tidak dijawab, berarti tak boleh masuk. Satu peraturan aneh ini selalu ditegakkan. Tua bangka sangat ketat menerapkannya. Dan memang setelah kuperhatikan, tidak ada satu pun pintu yang ada kuncinya di rumah ini kecuali satu pintu besar, pintu depan.

Dimotivasi oleh rasa penasaran dan sedikit hasrat ingin cepu, aku memberanikan diri menempelkan kupingku di pintu kamar Kukuk. Erangan terdengar semakin jelas.

Ahhh… Ahhhh… enak sayang, terus…” sudah jelas itu suara Kukuk. Tak salah lagi.

“Suka kamu dientot begini, ya? Suka kamu, hah? Dasar lonte!” suara si laki-laki. Itu tidak asing. Jelas sekali aku pernah mendegarnya. Kemungkinan besar dia orang rumah. Gila. Ini gila sih!

“Kamu mau sampai kapan ngintipin perek kampungan itu di kolam renang,? Kan kamu bisa minta Ibu telanjang kalau kamu mau.”

Loh? Apa yang dimaksudnya aku? Mengintip? Aku diintip? Apa-apaan lagi ini!

Awalnya aku belum memperhatikan detail yang lain.

“Jangan banyak bacot lonte. Badan dia jelas lebih seksi dari kamu yang sudah berumur. Tapi aku belum bisa ngentot dia. Makanya pakai lu dulu. Ngerti lu?!”

Kemudian terdengar suara tamparan.

Ahhh… lagi. Tampar lagi pantat Ibu, Nak.”

Dengan jantung yang dagdigdug hampir copot, kuberanikan diri membuka pintu. Cukup sampai aku melihat wajah mereka saja untuk memastikan. Untungnya ranjang kukuk posisinya menyamping terhadap pintu, jadi mereka tidak akan langung menyadari kalau aku segera menutupnya kembali.

Yang kulihat sungguh di luar akal sehat. Di atas ranjang itu, si Kukuk sedang nungging, di lehernya ada sebuah tali pengekang dengan rantai yang ditarik dari belakang oleh tangan si laki-laki. Hampir saja aku pingsan. Laki-laki itu ternyata si Mario, anak sulungnya sendiri. Pikiranku jadi kacau karena dipenuhi terlalu banyak hal.

Aku segera menutup kembali pintu dan segera melesat menuju kamarku. Banyak sekali hal yang berhamburan di benakku.

Aku hampir tak bisa tidur malam itu. Ada sedikit juga takutku si Mario bakal masuk menerobos dan memperkosaku. Ini benar-benar di luar dugaan.

Pagi hari ketika sarapan bersama, kuamati Kukuk dan Mario tampangnya biasa-biasa saja. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Berarti mereka sudah sangat sering melakukannya. Belakangan aku akan mengetahui sebuah fakta mengejutkan lain yang bikin aku lebih geger lagi.

***​

Mario bisa dibilang semacam putra mahkota di rumah ini. Dia anak laki tertua dari istri tertua. Sebagai yang digadang-gadang bakal jadi pewaris sebagian besar bisnis dan kekayaan si tua bangka, tentu saja Mario tumbuh jadi lelaki yang tak kalah bangsat dari ayahnya. Bahkan lebih bangsat lagi karena kontol besarnya itu sepertinya memang tak pernah membedakan mana lubang yang bisa dimasuki dan mana yang tidak. Si tua bangka meskipun sama-sama sangean, setidaknya dia tidak main celup sebebas-bebasnya. Dengan modal kekayaan dia melakukan poligami. Beda dengan mario. Sepertinya tak ada sedikit pun aturan yang bisa menahan kontol besarnya itu.

Sebentar, kenapa aku sebutkan punyanya besar? Ya karena memang besar. Jauh lebih besar dari punya si tua bangka. Dan berdasarkan observasiku, staminanya juga memang jauh lebih tinggi. (Ya, aku kembali memergoki perkentotan ibu dan anak itu beberapa kali. Bahkan kadang aku yang memang pengen ngintip.)

Sambil ngintip tak jarang aku mengobel vaginaku sendiri. Aku sungguh tak menyangka pada diriku sendiri. Kok bisa sih?

Singkat cerita, karena naluri dasar seorang wanita, aku akhirnya membuka interaksi dengan Mario. Dia sendiri sepertinya memang sudah menunggu-nunggu untuk memulai komunikasi denganku.

Singkat cerita, akhirnya dia pun berhasil mengentotku. Aku sendiri tak merasa rugi. Dibanding dengan si tua bangka, Mario jauh sekali lebih unggul. Selain ungguh dari segi stamina, Mario juga unggul dari segi teknik. Gayanya tidak pernah monoton. Dia juga ada mengajariku soal fetish. Jadi lebih pandai aku setelah ngentot dengannya. Aku sungguh menikmati perselingkuhan sinting ini.

Belakangan aku tahu bahwa hampir semua perempuan di rumah ini pernah dikentot Mario. Bajingan memang. Tapi setidaknya, menurut penuturan Bi Atih, dia tak pernah memperkosa. Dia selalu mengawali dengan komunikasi, rayuan-rayuan maut, sampai akhirnya mangsanya mau sendiri dikentot sama dia. Bajingan… dasar bajingan…--tapi berkontol besar.

Setelah beberapa kali mengentot, aku pun hamil. Tentu saja anak Mario. Sebab, proporsi peju yang masuk ke dalam rahimku sudah jauh lebih banyak peju Mario. Aku yakin itu. Tapi kalau mau lebih yakin lagi dites DNA saja nanti kalau si anak sudah lahir.

Tua bangka rada baik padaku pas aku hamil. Hahahahaha. Ironis sekali. Sedikit ada kasihan juga aku. Otaknya memang tokcer kalau urusan bisnis, tapi kok bisa-bisanya dia tidak nyadar.

Anak kedua Kukuk berjarak 15 tahun dengan Mario. Ini sudah menjelaskan semuanya. Anak pertama Neti juga sekitar segitu. Neti punya dua orang anak, aku berani taruhan semuanya anak Mario. Di kemudian hari, setelah waktu yang cukup lama, aku mengetahui fakta bahwa tua bangka itu sebenarnya pernah mengalami semacam kecelakaan di sebuah pabrik. Dia jadi mandul setelah hanya berhasil membuat Kukuk hamil satu kali. Tapi dia rupanya tak mau menerima fakta itu dan malah kawin lagi. Ketika akhirnya Kukuk hamil anak kedua hampir berbarengan dengan Neti hamil anak pertama, tua bangka itu bangga bukan main. Dia bilang-bilang sama dokter bahwa ada keajaiban yang menyembuhkan pelirnya.

Aku sungguh tak terbayang kalau misalnya dia tahu yang sebenarnya. Mungkin bakal langsung mati kaget.

***​

Anakku lahir selamat. Tua bangka selalu mengizinkan istri-istrinya untuk memberi nama anak mereka. Aku tak berpikir banyak, kuberi saja nama Ragil. Tak ambil pusing aku urusan ini. Ada sedikit cintaku kepada si Ragil, tetapi semua itu karena babang Mario kontol besar terus mensupportku dengan kontolnya. Meskipun dari hamil sampai persalinan berat sekali, aku tetap bisa menerimanya.

Semua berubah ketika Ragil sudah berusia satu tahun. Entah bagaimana ceritanya, dua kakak seperpoligamianku menebarkan aura permusuhan yang lebih sengit kepadaku. Selama ini juga sebenarnya tidak pernah akrab, tapi setidaknya mereka tidak terlalu menunjukkan ketidaksukaan itu. Usut punya usut, semua itu gara-gara mereka menganggap perhatian Mario kepadaku berlebihan. Sejak saat itu pula akhirnya Mario pun mulai menjauhiku.

Semua berubah 180 derajat. Keadaanku jadi begitu menyedihkan karena pada saat titik balik itu aku juga kena depresi. Benar-benar suram. Kalau bukan karena Bi Atih, mungkin Ragil tak akan melewati tahun kedua hidupnya.

Semakin hari persekusi terhadapku ternyata kian menjadi-jadi. Setiap makan bersama pagi atau malam, dua lonte itu selalu membangga-banggakan pencapaian anak-anak mereka. Tentu saja si bajingan Mario yang paling di atas angin, tapi Neti juga tak kalah mempromosikan kebolehan anak lakinya. Aku, yang saat itu tertekan karena merasa tak punya sekutu, cuma bisa diam karena anakku si Ragil hampir seperti orang bisu. Tidak ada kelebihan apapun yang ditunjukkannya.

Tua bangka sebetulnya tak terlalu memperasmalahkan soal anak-anak. Bagi dia, yang penting sudah ada calon pewaris, dan si Mario itu sudah lebih dari cukup bagi dia. Itu semua karena tua bangka sama sekali tak tahu-menahu kelakuan Mario yang menghamili semua istri-istrinya di belakangnya.

Aku berkali-kali berpikir untuk memberitahu tua bangka tentang semua perselingkuhan istri-istrinya, tapi itu berarti termasuk harus membeberkan juga perselingkuhanku. Selama ini kami bertiga—dan entah berapa orang lagi wanita di rumah ini—sama-sama diam karena sepertinya semuanya memang pernah dikentot sama Mario.

***​

Di tahun ke sekian dalam kehidupan belangsak yang masih saja kujalani, kejutan tak terduga muncul kembali. Mario mati. Suatu malam dia ditemukan OD di sebuah klub malam di kota sebelah. Tua bangka murka sekaligus berduka.

Ini mengubah posisi politik semua kubu di dalam rumah. Dua adik Mario adalah perempuan. Kukuk kehilangan posisi strategis. Anak tertua Neti juga perempuan, tapi anak bungsunya laki-laki, dan usianya terpaut sekitar 2 atau 3 tahun dengan Ragil. Kukuk akhirnya berkoalisi dengan Neti untuk melawan aku. Persekusi dan penganiayaan mereka kepadaku dan Ragil semakin serius.

Sebentar. Sebentar. Kenapa aku jadi ikut perebutan kekuasaan begini? Aku sama sekali tak menaruh peduli walau sedikit pun atas harta kekayaan si tua bangka. Silakan saja ambil semua, aku tak peduli. Diusir keluar rumah ini aku malah senang.

Sayangnya aku tak bisa mengungkapkan pikiranku itu kepada kubu lawan karena mereka sudah kadung menganggapku musuh bebuyutan. Bahkan entah selentingan dari mana ada desas-desus yang menyatakan bahwa akulah yang bikin Mario mampus. Jelas saja mereka semakin dendam kepadaku.

Semua semakin serius ketika kutemukan luka lebam pertama di kaki Ragil. Tapi anak pendiam itu tak mau menjawab dengan jujur siapa yang memberinya luka itu. Malah menangis dia. Aku jadi emosi dan akhirnya kupukul juga dia meskipun tak sampai lebam.

Suatu hari yang lain Ragil tiba-tiba jatuh dengan mulut berbusa-busa. Aku begitu syok melihatnya dan tak bisa melakukan apa-apa. Bi Atih langsung memanggil ambulan. Tua bangka yang sedang di luar kota buru-buru pulang. Dia memurkaiku karena menganggap aku tak becus urus anak. Well, sebetulnya tidak salah anggapan dia. Tapi aku tahu betul Ragil diracun oleh kedua lonte itu yang bisa-bisanya pura-pura bersimpati dan menangis saat di rumah sakit.

Ini betul-betul menjadi semakin serius. Meskipun aku tak pernah benar-benar memberi kasih sayang yang seharusnya kepada Ragil, aku tetap punya secuil naluri keibuan yang membuatku tak sudi kalau sampai Ragil meregang nyawa disebabkan ulah kubu Neti. Aku memutar otak. Apa yang harus kulakukan?

Setelah semua pertimbangan yang serba cepat, aku akhirnya memutuskan satu hal yang sangat nekat. Beberapa minggu setelah Ragil pulih dari sakitnya, aku mengemasi barang-barangku dan Ragil secukupnya. Hanya satu koper saja. Bermodalkan mas kawin berupa 30 gram emas yang memang merupakan hak milikku, kami berdua menyelinap pada suatu malam tua bangka sedang tak di rumah.

Cuma Bi Atih yang tahu. Dan Bi Atih berjanji akan tutup mulut. Perpisahanku dengan Bi Atih sangat mengharukan. Dalam sekian tahun aku hidup di istana ini, tidak ada manusia lain yang memanusiakan aku kecuali Bi Atih. Betapa aku sangat banyak berutang budi kepadanya.

Babak baru hidupku pun dimulai.
 
Aku kadang kesal dengan betapa pendiamnya Ragil, tapi kadang juga sangat bersyukur. Bayangkan kalau anakku seorang anak yang banyak omong dan rewel, tidak mungkin perjalanan nekatku ini bisa mulus.

Namun ternyata yang mulus hanya awalnya saja. Sebab, cuma orang sinting yang berharap dapat pekerjaan dengan ijazah SMP. Hampir satu tahun aku tak mendapatkan pekerjaan sama sekali. Banyak biaya kukeluarkan untuk sekolah baru Ragil. Tabungan semakin menipis. Aku di ambang keputusasaan.

Sempat terpikir ingin jadi lonte betulan saja. Usiaku masih terbilang lumayan. Masih sangat bisa dipakai. Tapi kuputuskan untuk menundanya sampai aku benar-benar tak punya uang sepeser pun.

Di saat-saat terakhir, ketika kupikir betulan harus melacur, akhirnya ada lowongan di sebuah rumah makan tak jauh dari kontrakan. Untuk sementara ada pemasukan untukku meskipun sangat pas-pasan.

***​

Aku bukan ibu yang baik. Itu kuakui sejak Ragil masih dalam kandungan. Aku membiarkannya lahir ke dunia ini hanya karena ketika hamil dulu Mario terus menyuplaiku dengan kontolnya. Berkali-kali aku hampir menangis mengingat betapa menyedihkannya hidupku.

Di tempat kerja, anak perempuan pemilik rumah makan usianya terpaut satu tahun denganku, lebih muda. Kami sering mengobrol, dan bara api rasa iri itu menyala lagi di dalam sanubariku. Di usia segitu dia sudah mau menyelesaikan kuliah S2-nya. Sudah pernah berkunjung ke berbagai negara. Punya pacar seorang dosen muda yang usianya hanya terpaut tiga tahun.

Ketika mengobrol dengannya, aku merasa seumuran. Aku lupa saja dengan kehidupan dan semua masalahku ketika sedang dengan dia. Tapi begitu kembali ke rumah, dan kulihat Ragil sedang menonton TV, aku seperti dibetot kembali ke alam kenyataan.

“Cucian tuh! Udah numpuk baju lu mau sampai kapan ga dicuci, hah?!”

Tak digubris, kupukul punggungnya. “Lu denger ga gue ngomong! BUDEG!”

Ragil hanya mengaduh dan segera pergi ke belakang untuk mencuci baju kotornya.

Lain kali pernah kumarahi dia karena lupa menjetrekkan mejikom ketika kusuruh untuk menanak nasi.

“Makanya kalau disuruh itu dengerin yang bener. Perhatiin! DASAR BEGO!” seraya kutoyor kepalanya.

“RAGIL…! INI APA HAH TOPLES GULA BERANTAKAN GINI?! KALAU ABIS DIBUKA ITU TUTUP LAGI YANG BENER! DIPAKE DONG OTAKNYA!”

Suatu hari pernah kutampar dia karena urusan sepele salah membeikan bumbu masakan. Saat itu sedang bokek dan lapar akhir bulan.

“MASA BEGINI AJA LU GA BISA?! HAH? ******!” Kutampar lagi dia. Ragil diam saja. Tak menjawab. Tak menghindar. Dia diam saja seperti patung.

Tanpa kusadari aku semakin sering memukul dan memaki Ragil, tapi anak itu tetap saja diam. Dan aku malah tambah kesal dengan diamnya dia itu.

Di kemudian hari kusadari bahwa Ragil sebenarnya sama sekali bukan anak yang bandel. Masih di batas wajar kesalahan-kesalahan yang dia lakukan. Dia hanya apes karena harus lahir dari rahim wanita hina sepertiku.

Peristiwa marahku yang paling dahsyat terjadi ketika ranking Ragil turun dari tahun sebelumnya rangking 2 menjadi rangking 5.

“******!!” kupukul kepalanya pakai buku rapor.

“JANGAN MAIN TERUS! TURUN KAN RANGKING LU! DASAR TOLOL!” padahal aku tahu dia main sewajarnya saja.

“MAU JADI APA LU KALAU BEGO BEGINI HAH? JAWAB!”

Ragil tetap tertunduk, pasrah menerima gebukan buku rapor.

“JAWAB BANGSAT! MAU JADI APA LU, HAH?!”

Ragil tetap bergeming. Setan sudah menguasai tubuhku.

“DASAR ANAK ANJING!”

Kutempeleng dia sangat keras sampai terjatuh. Untuk pertama kalinya kulihat dia seperti hampir menangis. Dan aku cukup terkejut ketika melihat bercak merah di sudut bibirnya.

Saat itulah aku sadar, dan akal sehatku sedikit kembali. Saat itulah semuanya berubah seketika. Tiba-tiba aku melihat semuanya dari perspektif Ragil. Dia yang tak tahu apa-apa kubawa kabur beberapa tahun lalu, kemudian kupaksa dia hidup seadanya, dan kulampiaskan semua emosiku kepadanya.

Malam itu aku memikirkan ulang semuanya. Sampai tidak tidur.

***​

Setelah kejadian menempeleng itu interaksiku dengan Ragil berubah. Dia jadi semakin hati-hati, tak membiarkan sedikit pun kesalahan terjadi. Aku sendiri—meskipun canggung—mulai berusaha untuk mencintainya sedikit demi sedikit. Seperlahan mungkin. Sebisaku. Walau bagaimana pun, cuma anak ini keluargaku yang sebenar-benarnya, dan dia telah tahan hidup denganku sekian tahun meskipun perangaiku seperti orang gila.

Perlahan keadaan hidup pun mulai semakin membaik. Aku semakin dipercaya di tempat kerja. Gajiku naik. Aku juga mulai cari-cari penghasilan tambahan. Aku sangat terbantu karena banyak pekerjaan rumah yang mulai dikerjakan dengan serius oleh Ragil. Anak itu bahkan sudah bisa masak-masak sederhana.

Hal paling mengejutkan adalah ketika suatu hari Ragil pulang bawa piagam. Dia memenangkan sebuah lomba matematika tingkat provinsi dan akan segera berangkat ke nasional bulan depan.

“Bu, Ragil bulan depan ke Jakarta.” Ujarnya sambil menyodorkan beberapa lembar kertas.

“Apaan ini?”

“Lomba matematika, Bu.”

Aku sempat tak percaya. Kemudian perasaanku berubah jadi sangat senang, tapi sialnya aku gengsi menunjukkan itu kepada anakku sendiri. Meskipun hubungan kami semakin membaik dan aku tak pernah lagi mengasarinya, aku tetap belum pernah berkata-kata manis kepada Ragil.

“Oh. Tanggal berapa berangkatnya?” Aku berusaha untuk bersuara sedatar mungkin. Padahal saat itu ingin sekali aku lompat-lompat kegirangan.

“Lombanya tanggal 13, dari sini berangkat tanggal 12.”

Oke. Sekarang apa yang harus kukatakan? Sumpah aku mati kutu. Ingin sekali aku memberinya selamat, bilang kepadanya betapa aku sangat bangga.

“Jaga kesehatan. Mulai sekarang ga usah main ke luar dulu. Di rumah aja.”

“Iya, Bu.”

“Perlu bayar berapa ini?”

“Nggak ada kok. Semuanya dibayarin pemprov sama sekolah.”

“Ya udah. Tidur duluan sana. Ibu mau cuci muka dulu.”

Ragil mengambil kembali kertas-kertas itu dan masuk ke dalam kamar. Sementara aku segera bergegas masuk kamar mandi. Kunyalakan keran air, dan aku menangis kecil karena terharu. Jangan salah, ini tangis bahagia.

Selesai menangis dan mencuci muka, aku pun masuk kamar. Ragil sudah tertidur pulas. Keperhatikan wajahnya, aku hampir tak tahan ingin memeluknya. Entah mengapa malam itu rasa keibuanku seperti meledak-ledak, tapi tetap tak bisa kuungkapkan. Tapi karena tak tahan, kuberanikan diri, dengan sangat pelan dan tanpa menimbulkan suara, kukecup lembut kepalanya. Aku sudah pastikan bahwa dia benar-benar tidur.

***​

Hari keberangkatan aku heboh sendiri.

“Sikat gigi, handuk, odol, udah dimasukkin belum?”

“Udah, Bu.”

“Coba cek lagi. Takutnya lupa.”

“Iya.”

Ragil mencium tanganku sebelum berangkat—seperti biasanya. Yang tak biasa adalah, entah wangsit dari mana, tiba-tiba saja dengan cepat kucium pipinya. Ragil sempat mengalami freeze. Tentu saja dia kaget, aku saja kaget, kok bisa-bisanya aku berbuat keibuan seperti itu? Dan sepertinya orang-orang yang melihat pun akan lumayan kaget. Sebab, Ragil bukan lagi bocah balita.

“Hati-hati,” ujarku ketika Ragil mulai berjalan menuju mobil jemputan. Itu pertama kalinya aku bilang hati-hati sama anakku sendiri.

Baru beberapa menit mobilnya pergi, aku sudah tak sabar ingin dia cepat pulang. Selama kepergian Ragil ke Jakarta, waktu menyendiri membuatku banyak merenung lagi. Aku mengambil jarak yang cukup jauh supaya bisa melihat hidupku secara lebih adil. Memang hidupku ini sangat menderita dan sengsara, tetapi mungkin Ragil adalah kompensasi atas semua kesialanku itu. Aku jadi sedikit lebih rela menerima semua keterpurukan yang pernah kualami.

Semakin lama aku semakin merasakan rasa cinta yang tumbuh meledak-ledak di dalam hatiku. Sebagian besar mungkin dilatarbelakangi oleh rasa bersalahku karena telah memperlakukannya dengan sangat buruk. Aku jadi bertekad untuk memberikan seluruh hidupku untuknya. Ya. Apalagi hal yang bisa diberikan oleh seorang ibu selain memberikan seluruh hidupnya kepada anaknya?

Saking tak sabarannya, di hari kepulangan aku berangkat pagi-pagi sekali ke kota besar, ingin kujemput dia di bandara. Dari pembimbingnya aku tahu bahwa Ragil tak mendapat juara di tingkat nasional. Aku tak peduli sama sekali. Aku cuma ingin cepat melihatnya.

Begitu Ragil nongol dari pintu kedatangan, aku hampir berlari hendak memeluknya. Tak sempat kulihat raut wajahnya, juga tak sempat aku mempedulikan sekitar, langsung kupeluk saja anakku itu. Kubenamkan wajahnya di dadaku sambil kuelus-elus kepalanya. Aku tidak menyadari dampak besar dari afeksi tiba-tiba yang kuberikan ini.

“Maaf Bu, Ragil ga dapet juara.” Wajahnya tertunduk, tampak sangat murung.

“Ga apa-apa.” Kusejajarkan wajahku dengan wajahnya. “Hei.” Kuangkat wajahnya supaya menatapku. “Ga apa-apa. Ya?” Kuusap lembut pipinya. “Ga apa-apa.”

Dari yang tak pernah peduli anak itu mau melakukan apa, aku jadi sayang sampai mabuk kepayang kepadanya. Kupeluk lagi anakku itu sepuasku.

***​

Keadaan jadi jauh lebih baik. Aku sangat menikmati perasaan cintaku yang semakin hari semakin bertumbuh ini. Meskipun tetap tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, entah karena gengsi atau karena canggung, tapi untuk hal lainnya aku sudah jauh lebih perhatian kepada Ragil. Dia juga, mungkin karena merasa tersanjung, semakin menurut dan tak pernah tunggu waktu untuk melaksanakan semua perintahku.

Kadang ada sedikit kesalahan, dan aku tetap memarahinya, tapi tak lagi betulan marah. Kini setiap ucapanku penuh kesadaran sebagai upaya untuk mendidiknya.

“Tadi katanya cuma sejam? Ini udah lebih sepuluh menit.”

Dan Ragil segera mematikan PS-nya seraya bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengerjakan PR.

Pernah Ragil memecahkan gelas dan piring yang hendak ia cuci sehabis makan.

“Aduh. Hati-hati dong, Ragil!”

Dia hendak memungut pecahan gelas itu. Segera kucegah.

“Diem! Biar Ibu aja. Nanti kaki lu kena, bisa berdarah.”

“Maaf Bu.”

“Lain kali hati-hati. Jangan sambil ngelamun.”

Aku mengambil pengki dan berjongkok untuk membersihkan pecahan kaca, Ragil berdiri diam di tempatnya, yakni di hadapanku yang sedang membersihkan kaca. Aku fokus membersihkan dan tidak mengamati apa yang Ragil lakukan. Ketika aku menengadah ke arahnya, kulihat tatapannya sangat tajam melihat ke arahku.

“Woy! Tuh kan ngelamun lagi.”

Seperti orang linglung, Ragil langsung membuang muka dan bergegas pergi. Aku cuma geleng-geleng. Waktu itu aku belum menyadari apa yang sedang terjadi.

Sejak kejadian itu, semakin sering kutemukan Ragil melamun, tapi aku tak pernah berpikir apa-apa.

Hingga suatu hari, saat sedang memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, aku mencium sesuatu yang sangat khas. Sesuatu yang sangat kuhafal baunya tapi sudah lama. Kusibak pakaian kotor satu per satu, mencari sumber bau, firasatku sudah mengatakan sesuatu, tapi aku belum berani berpikir apa-apa.

Sejujurnya aku bingung dengan pikiranku sendiri. Sejak pertama kali mencium bau itu, aku sudah haqqul yakin asalnya dari mana. Itu bau yang sangat familier dari fase hidupku bertahun-tahun yang lalu. Tapi aku masih tak punya keberanian untuk menghubungkan temuanku itu dengan suatu fakta yang lain.

Mendadak rasa gundah memenuhi relung hatiku. Sangat cepat seperti tinta yang diteteskan ke dalam air bening. Aku terduduk di lantai memegangi sepotong sesuatu yang menjadi sumber bau. Jantungku langsung berdebar-debar. Tiba-tiba masa depan menjadi tak jelas lagi. Perutku dilanda mulas.

Berlusin-lusin bayangan masa lalu memenuhi benakku. Bukan bagian masa lalu yang buruk dan sengsara, melainkan secuil masa lalu yang menyenangkan. Bukan hanya menyenangkan, tetapi… Ahh… Apa yang akan terjadi?

Adegan demi adegan. Seperti playback memutar film lama.

Tanpa kusadari, aku sudah mendekatkan sepotong sesuatu itu ke wajahku. Sialan. Apa yang terjadi? Siapa ini yang mengambil alih tubuhku? Tiba-tiba saja sudah kuendus sepotong sesuatu itu.

“HMMPPPPHHHH…!” Kuambil satu tarikan napas penuh. Lalu seluruh tubuhku bergetar. Kuambil tarikan napas kedua, dan kepalaku menjadi sedikit pusing. Tubuhku seperti bukan milikku lagi.

Aku kesurupan. Aku kerasukan. Kesadaranku berusaha melakukan pertahanan terakhir tetapi sia-sia.

Kurang dari 30 detik aku sudah melucuti seluruh pakaianku. Satu tanganku menekan sepotong sesuatu itu ke hidungku, satu tanganku yang lain mengobel alat kelaminku sendiri. Tak lama, lenguhan erotis keluar dari pita suaraku. Aku sudah hilang kesadaran akan sekitar.

Pada saat itu, tanpa sepengetahuanku, ada sepasang mata yang mengintip dari balik ambang pintu. Tentu saja dia juga tak sadar sekitar.

Lalu pada detik yang sangat krusial, mata kami saling bertemu. Ragil melihatku yang sedang masturbasi sambil mengendusi celana dalamnya. Aku melihat Ragil sedang mengocok penis yang menyembul dari celananya.

Ragil langsung ngibrit meninggalkan ruang belakang setelah terburu-buru memasukkan penis tegangnya ke dalam celana. Sementara aku masih dalam posisi duduk, tak tahu apa yang akan kulakukan, sedangkan celana dalam itu masih dalam genggaman.
 
Bertahun-tahun tidur sekamar dengan Ragil, baru kali ini aku merasa risih—bukan hanya risih, tapi juga takut. Aku tidak tahu—atau pura-pura tidak tahu—apa yang akan terjadi. Aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, apa aku serendah itu sebagai seorang manusia—sebagai seorang ibu?

Bayangan persetubuhan antara Kukuk dan Mario—yang dulu kusaksikan sambil masturbasi—terus berkelebat di benakku. Semakin berusaha kuusir, semakin jelas bayangan keparat itu.

Malam itu aku tidur di sisi pinggir ranjang, berusaha membuat jarak sejauh mungkin dari Ragil yang juga tidur memojok ke sisi yang satunya dengan posisi memunggungiku. Sulit sekali untuk tidur dengan tenang.

Jam sudah menunjukkan pukul 1, tapi belum juga bisa kubuang kesadaran keparat ini. Sialnya, aku juga tahu Ragil belum tidur sama sekali. Beberapa kali dia bolak-balik kamar mandi.

Selain karena bingung dan khawatir, sesungguhnya faktor nomor satu yang membuatku tak bisa tidur adalah horny yang tak tertangguhkan. Sebab, waktu di dapur tadi belum sampai puncak sudah keburu saling memergoki. Kurasa Ragil juga begitu.

Peduli setan lah.

Setelah pegal tidur menyamping ke sisi kanan, kubalikkan badan ke sisi satunya sehingga aku menghadap Ragil. Mataku terpejam, tapi kemudian perlahan kubuka. Dan aku sungguh ingin mampus rasanya karena kutemukan Ragil sedang menatapku lekat-lekat.

“Kenapa belum tidur?!” tanyaku, berusaha terdengar seketus mungkin.

Ragil tak menjawab.

“Tahu ga ini udah jam berapa? Tidur sana!” Sialnya, seberapa pun aku berusaha terdengar tegas, yang keluar dari mulutku tetap suara bergetar. Soalnya aku pura-pura bodoh, menganggap tidak ada yang terjadi tadi sore.

“Tidur ga!” Sekali lagi aku berusaha terlihat marah, tapi bagi Ragil, wajahku mungkin terlihat semakin merangsang. Aku sendiri bisa merasakan aura sensual itu menguar dari seluruh tubuhku. Aura tubuh wanita yang sedang sangat ingin dientot.

Dengan tetap membungkam mulutnya, kulihat Ragil mulai memasukkan tangan kirinya ke dalam celana. Matanya tetap lurus menatap mataku.

Aku mendengus. Ini sih mati kutu namanya. Kubalikkan lagi badanku seperti semula memunggungi Ragil. Bukan untuk menghindar atau apa. Justru…

Perlahan tapi pasti, aku semakin menggeser badanku—mendekati Ragil sambil memunggunginya. Tanpa dia bisa lihat, aku sendiri sudah mengusapi celana dalamku pakai tangan kanan. Lalu akhirnya tubuh kami hampir merapat. Kurasakan napas kami berdua semakin jelas memburu. Jantung semakin bergemuruh. Keringat mah sudah tak usah ditanya.

“Duh, gerah banget sih,” ucapku, sebisa mungkin terdengar kesal. Lalu dengan cepat kubuka kaos tipis yang sudah lepek karena keringat itu. Kini bagian atasku hanya pakai BH di depan Ragil yang sedang mengocok penisnya sendiri.

Saat melepas baju, aku tidak melihat ke arah Ragil, tapi ketika kembali merebahkan badan, aku usahakan pantatku merapat ke selangkangannya. Dan bisa kupastikan bahwa penis Ragil sudah keluar dari sarangnya. Sebab, kurasakan hangat batang itu menempel di pantatku yang masih dibungkus celana pendek.

Aku terus mengusapi vaginaku, kini tanpa sembunyi-sembunyi—memakai tangan kiri. Dari belakang akan terlihat jelas bahwa aku sedang masturbasi. Sementara itu, tanpa aba-aba dari siapapun, Ragil mulai menggerak-gerakkan penis tegangnya itu menggeseki pantatku. Kudengar sedikit suara ia mengerang, tapi segera hilang lagi.

Juga tanpa aba-aba, entah siapa yang suruh, pantatku pun mulai aktif bergerak seirama dengan gesekan pelirnya Ragil. Kini giliranku yang keceplosan mengerang.

Sebagai seorang ibu yang sedang berusaha jadi baik, tentu saja aku sangat peduli dengan kodisi anak semata wayangku. Demi menjaga keselamatan batang pelirnya dari gesekan dengan bahan celana, aku segera berinisiatif untuk memelorotkan celanaku sampai ke lutut. Begitu celanaku melorot (aku tidak pakai CD, sengaja), si pelir itu langsung saja mencari peraduannya. Sudah sangat homesick rupanya dia.

Aku tak begitu mengerti bagaimana semuanya bisa sampai ke titik ini, akan tetapi, setelah beberapa kali usaha, setelah berbagai macam penyesuaian posisi baik dari pihakku maupun pihaknya, setelah sekian tahun lubang memekku tak menerima tamu, akhirnya malam itu dia bersukacita.

“AHHHHHH…!!” aku melenguh tak ditahan. Langsung kupegangi pinggul Ragil supaya tidak langsung bergegas menggenjotku.

“Sebentar. Diem dulu.”

Ragil menurut. Dia mengurungkan niatnya untuk langsung memompa penis tegangnya itu di sepanjang lubang vaginaku. Benar-benar anak berbakti memang.

Ingin kunikmati dulu sensasi bersetubuh yang sudah sangat lama sekali tidak kurasakan. Aku bahkan sudah lupa bahwa hal semacam ini ada. Hidupku selama ini terlalu sibuk mengutuki keadaan diri.

Tangan Ragil kubimbing ke arah toketku yang juga sedang bersukacita. Setelah beberapa saat, setelah kurasa diriku siap, aku sendiri yang mengawalinya, kugerakkan pantatku secara perlahan, dinding vaginaku mengurut batang penis Ragil dengan begitu khidmat-nya.

“Ahhh…” pelan saja aku mengerang, tanda bahwa kenikmatannya sungguh luar biasa. “Ahhh… Ssshh…”

Kuberi instruksi. “Gerakin pelan-pelan.”

Anakku yang baik itu menurut. Dia ikut menggerakkan pinggulnya secara perlahan.

“FWUUHHHHHH……… Ahhh…” kuhembuskan napas panjang untuk mengontrol gerakanku sendiri. Sementara tanganku kiri tetap memegangi pinggul Ragil meskipun cuma megang saja.

Ini adalah pengalaman pertama bagi Ragil. Entah kenapa, ada sekelumit rasa haru di dalam diriku, aku tahu ini sangat aneh, tapi aku tak bisa memungkiri bahwa aku senang pengalaman pertamanya adalah aku, ibunya sendiri. Siapa lagi coba yang pantas menjadi pengalaman pertamanya selain aku?

“Enak ga?”

Ragil tidak menjawab. Mungkin dia malu.

“Enak nggak…?”

Kudesak sekali lagi, baru dia menjawab.

“Iya, Bu.”

“Sekarang gerakin yang cepet.”

Kecepatan sodokan Ragil langsung meningkat. Segini saja dia sudah luar biasa menahan diri padahal ini pengalaman pertamanya. Anak lain pasti sudah tak karuan menggenjot. Berhubung anakku ini penurut dan pengertian, dia bisa menahannya dengan sangat baik.

“Terus. Cepetin ga apa-apa.”

Mendengar aba-aba itu, tangan Ragil yang tadinya menggerayangi susuku pindah jadi memegangi pinggulku. Dia jadikan itu sebagai tumpuan untuk menyodok semakin cepat dan kuat.

“Ahhh… Sshhh… Hmmpphh… Ahh… Ahhh… Hmppphh… enak banget.” Aku mengerang tanpa beban.

Beberapa saat kemudian Ragil buka suara, dan apa yang ia ucapkan membuatku menjemput orgasmeku (setelah sekian juta tahun lamanya).

“Bu… Bu… Bu…” hanya itu yang dia ucapkan. Sepertinya dia ingin bilang sesuatu, tapi dia tidak tahu.

“Kenapa? Hmmmpphhh… Mau keluar?”

“Bu… Ibu…”

“Mau ngecrot?”

“Iya…”

“Ya udah. Hmmmpphhh… Keluarin aja.”

“Ahhh… Ibu…! Ahhh…!

“AHHHH…!”

Secara tak terkendali, Ragil menyodokku sangat keras sebanyak empat kali, sambil memuntahkan pejunya.

Kami berdua terengah-engah.

Sulit kupercaya apa yang sudah terjadi. Apakah ini karma karena dulu pernah aku memandang hina pada hubungan Kukuk dan Mario—meskipun aku tetap masturbasi saat menontonnya? Bagaimana mungkin seorang ibu bisa serendah itu melakukan seks sama anak sendiri? Benar-benar pelacur paling hina, dulu aku beranggapan begitu terhadap Kukuk meskipun tak kuungkapkan.

Kini, aku sendiri yang dengan tanpa ragu-ragu memasukkan kontol anakku ke dalam lubang kemaluanku. Aku sendiri yang sangat menikmati hubungan seks ini.

Tak ada sedikit pun aku menyesal atau merasa bersalah. Dan dalam hatiku sudah tertanam bahwa aku akan mengentot Ragil lagi nanti. Aku tersenyum sangat lebar, bahkan sampai nyengir saking bahagianya. Tentu saja tak kutunjukkan pada Ragil senyum bahagiaku itu. Tengsin lah.

Setelah napas berangsur kembali normal, aku segera beringsut ke sisi kasur yang satunya, menjauhi Ragil karena tak tahan gerah. Selang beberapa menit aku pun tertidur dengan sangat pulas seakan-akan tak pernah tidur sebelumnya. Masih dalam keadaan atasan hanya pakai bh, itu pun sudah tak karuan, dan celana dalamku melorot sampai lutut. Rasanya aku tak pernah menderita.

***​

Baru kali itu aku bangun tidur pukul 8 pagi. Tidak pernah sebelumnya. Tidurku saking nyenyaknya, tak ada sedikit pun bermimpi. Rasanya seperti baru lima menit yang lalu aku terlelap. Bangun tidur paling segar sepanjang hidupku.

Meskipun di bawahnya masih tak berbaju, tapi saat bangun tubuhku dibalut selimut. Pasti Ragil yang menyelimuti. Anak itu…

Ke mana dia?


Ah, tentu saja. Ini kan bukan hari libur.

Aku beranjak dari kasur, berniat langsung mandi, tapi melihat di dapur ada sepiring nasi goreng, aku langsung sadar bahwa aku sangat lapar. Langsung saja kuserbu nasi goreng itu—dengan hanya pakai bh. Sensasinya benar-benar sinting, terasa seperti dimasakin oleh seorang pacar. Aku senyum-senyum sendiri seperti orang bloon.

Pukul 9 aku berangkat kerja, dengan pikiran yang masih saja berbahagia.

Kolega di rumah makan yang berjumlah tiga orang, semua bertanya kenapa aku tampak sangat senang pagi itu. Tampak sangat cerah dan tanpa beban. Pokoknya raut wajahku belum pernah mereka lihat sebelumnya yang seperti itu.

Bagi orang yang peka, tentu akan paham perubahan raut muka wanita yang baru selesai ngentot semalam.

***​

Pukul 5 sore aku pulang, hampir menyerempet orang karena ngebut. Tidak sabar ingin cepat sampai rumah. Aku sudah membayangkan berbagai skenario.

Skenario #1: Kalau Ragil belum di rumah ketika aku sampai, aku akan segera mandi, kemudian menyambutnya ketika pulang sambil telanjang bulat.

Skenario #2: Kalau Ragil sudah di rumah, dan dia belum mandi, akan kusuruh dia mandi, lalu aku akan mengikutinya mandi, kemudian kami ngentot di kamar mandi.

Skenario #3: Kalau Ragil sudah di rumah, dan sudah mandi, aku akan masuk mandi dan dengan sengaja tidak bawa handuk, lalu kuminta dia untuk membawakan handuk. Sisanya ya improvisasi saja. Aku yakin dia sama sange-nya denganku.

Di depan pintu rumah kulihat sepatu Ragil. Aku sumringah membayangkan skenario 2. Semoga saja anak itu baru tiba di rumah.

“Ragil…?”

Tak ada jawaban. Tidak mungkin dia tidak dengar. Apa dia sedang tidur?

Begitu kubuka pintu kamar, yang menyambutku di luar dugaan. Ragil duduk di pinggir ranjang, celananya sudah melorot, dan dia sedang merem-melek mengurut penisnya sendiri. Kami langsung saling pandang.

Sial, ini belum kusiapkan skenarionya. Tapi justru karena itu horny-ku jadi berkali lipat.

“Kalau dipanggil tuh nyahut dong. Diem aja lu.”

Ragil tetap tak bilang apa-apa, sambil tetap mengocok pelan penisnya, sambil pandangan mupengnya seakan-akan mendikteku untuk segera turun tangan.

Sementara aku, yang terkesima, cuma bisa bengong dan bergeming di tempatku berdiri. Mataku berpindah-pindah antara menatap mata Ragil dan menatap tangannya yang sedang mengocok. Memekku sudah sangat gatal sebetulnya, tapi begini-begini aku masih harus menjaga martabat sebagai seorang ibu. Tidak mungkin kan langsung kuterjang dia. Memangnya aku ibu macam apa?

Ekhm. Dari jam berapa lu pulang?” aku masih berusaha basa-basi.

“Baru lima menit.”

“Dih. Nggak sabaran amat sih.”

Dengan cepat aku mengambil posisi di sampingnya. Kutepok tangan Ragil yang sedang mengocok.

“Awas. Sini Ibu aja.”

Ragil menurut dan menyingkirkan tangannya. Tadi malam aku tak sempat menjelajahi secara detail penis Ragil. Ternyata memang segagah itu. Mataku seakan mau copot saking terpananya.

Kukocok, kuurut, kuusapi setiap inchi penis anakku itu. Ragil agak condong ke belakang dengan bertumpu tangannya supaya aku lebih leluasa. Aku sudah tak kuat.

Kuludahi penis tegang itu tiga kali, lalu kukocok agak lebih cepat. Kulihat Ragil merem melek. Aku nyengir bahagia. Tak lama kemudian aku pun menurunkan kepalaku seraya mengulum batang itu. Ah, sudah lama sekali tak kucicipi rasa kontol yang begitu jantan ini.

“Ahh! Bu…!” Ragil memekik kecil. Tangannya sedikit menjambak rambutku. Mungkin dia tak mengira aku bakal memberikan fellatio. Hahaha, dasar cupu.

Kusepong penis Ragil kuat-kuat, kukulum naik turun cepat-cepat, sambil tanganku tetap mengocok bagian pangkalnya. Pemula seperti dia pasti tak akan tahan lama.

“Bu! Kecepetan. Ahh! Ibu! Nanti keluar.”

Aku mesem penuh kemenangan sambil malah mempercepat kulumanku. Ragil gelagapan memegang kepalaku, menahannya supaya berhenti bergerak.

“Ntar dulu, Bu. Ragil nggak mau keluar dulu.”

Kuangkat kepalaku, kutatap dia dengan pandangan meremehkan.

“Emang mau gimana?”

“Mau keluar di memek Ibu aja kayak semalem.”

Anjing. Anak ini ya. Berdesir sekujur tubuhku mendengarnya mengucapkan kata-kata sefrontal itu. Tapi aku tak boleh kelihatan tak tahan. Mesti tetap stay cool.

“Alah, paling juga langsung crot begitu masuk.”

“Ya udah. Ibu lagi sekarang.”

“Apanya?”

“Memeknya Ragil jilatin.”

Sekuat tenaga kutahan sesungging senyum nakal yang hendak melengkung di bibir.

“Emang bisa lu?”

“Emang susah ya?”

“Emang lu pernah?” Sebentar. Kok aku jadi ada perasaan tidak enak. “Lu ngaku. Lu pernah ngapain sama cewek, hah?”

“Cewek apaan. Punya cewek juga nggak.”

“Jangan bohong lu.”

“Sumpah. Mana bisa Ragil punya cewek kalau ada Ibu.”

“Lah, apa maksudnya?”

“Ya maksudnya ngapain harus nyari cewek kalau tiap hari Ragil ketemu sama perempuan secantik Ibu.”

Cuih! Apa-apaan sih?! Nggak bakalan mempan gombalan basi kayak begitu. Tapi mukaku memerah seperti anak ABG habis ditembak. Sialan betul memang tubuh tak bisa berbohong.

Mati-matian kuatur raut wajahku supaya tak kentara senangnya.

“Ya udah. Cepetan!”

“Ibu nyender aja di bantal. Sini.” Ragil mengarahkanku untuk bersandar di tumpukan bantal. Lalu dia buka resleting celanaku, sangat teratur, sama sekali tak terburu-buru. Dadaku bergejolak mengamati setiap detail gerakan dan gestur tubuh Ragil. Betapa gentle anak itu memperlakukan ibunya. Aku sungguh terharu.

“Angkat dikit Bu, pantatnya.”

Dengan sigap dia memelorotkan celana sekaligus celana dalamku. Lalu dia buat kakiku mengangkang lebar. Sebelum memulai aktifitasnya, dia menatapku sejenak dan tersenyum sangat manis. Aku hampir sinting karena berusaha menahan untuk tidak nyengir balik. Aku sungguh berada di puncak gejolak. Makanya begitu lidahnya mengusap bibir memekku, aku memekik pendek. “AHH!” Dan langsung saja kedua tanganku menjambak rambutnya.

Bangsat. Jago banget anak ini. “Ahhh! Ahh!!” Sesekali Ragil menggelitik pakai hidungnya. “Ahhhh!”

Lalu dia menyedot-nyedot. “Ahhhh! Ragil..!!!”

Hampir lima menit dia menjilat memekku.

Ragil mengangkat kepalanya. “Bisa kan Ragil, Bu?” Dia tersenyum lebar merasa bangga.

Sambil dada bergemuruh, kupelototi saja anak itu. Kalau bukan karena gengsi sudah kulumat bibir manisnya itu. Aku rada frustasi dengan tabiat jual mahalku sendiri.

“Cepet masukin,” tegasku seketus mungkin.

“Apaan, Bu?”

“Ya masukin!” aku melotot.

“Iya, apanya yang dimasukin?”

Sialan! Aku mengumpat dalam hati (with love <3).

“Kontol kamu, Ragil! Kontol kamu cepetan masukin ke memek Ibu! Ngerti nggak? Masa gitu aja mesti dijelasin sih? Lu bloon apa gimana deh?”

Heheheh. Bilang dong.”

‘Heheheh.’ Sok bego lu!”

Ragil pun ambil posisi. Kalau tadi malam butuh berkali-kali percobaan untuk gol karena kondisi gelap dan tak terlihat, sore ini gol terjadi dengan sangat lancar.

“Ahhh!” kami mengerang bersama. Kontol Ragil ambles seluruhnya ke dalam vaginaku.

Tangan Ragil bertumpu pada kedua lututku yang ditekuk. Dengan perlahan, dia mulai menarik dan mendorong penisnya keluar masuk. Saat gerakannya masih pelan, mata kami berdua fokus memperhatikan alat kelamin kami yang sedang bersenggama. Betapa anehnya perasaan senang dan terangsang ketika mengamati persenggamaan tabu ini.

Ketika makin cepat, kami saling tatap. Ragil memperhatikan wajahku dengan saksama. Aku juga memperhatikan wajahnya. Baru kusadari betapa gantengnya anakku ini. Dari dulu dia memang cakep sih, tapi wajahnya saat sedang bercinta begini sungguh lain. Aku kemana saja selama ini?

“Ibu cantik banget.” Ucapnya tiba-tiba.

Aku mati kutu tak bisa menjawab. Aku menyerah dan akhirnya tersenyum juga. Mungkin senyum paling tulus yang pernah kusunggingkan seumur hidupku.

“Ragil boleh cium Ibu nggak? Kalau Ibu nggak keb—”

Persetan semua gengsi keparat ini. Kutarik wajah Ragil, lalu kulumat bibirnya sepenuh perasaan yang kupunya.

“Hmmpph! Hmmpphh! Sllrrrttt! Hmmpphh! Sllrrrttt!”

Mataku terpejam dan rasanya seperti berada di surga meskipun aku tak pernah ke sana. Tapi kan aku selama ini hidup di neraka, jadi tentu saja persatuanku dengan Ragil kali ini benar-benar memberi nyawa baru pada kehidupanku. Jiwaku hidup kembali.

Lama sekali kami berciuman. Hingga kurasakan aku hampir sampai.

“Ibu mau nyampe nih. Ahhh! Ssshh!” Kugigit bibirku. “Kamu masih lama ga?”

Setelah ciuman, jarak antara aku dan Ragil sepertinya musnah.

“Ragil juga mau sampe, Bu. Hmmmmhhh!

“Ya udah, cepetin lagi.”

Ragil segera memompa dengan kecepatan maksimal.

Ahhhhhhhhh!!! Enak banget sayang.” Kata sayang yang keluar dari mulutku sendiri menjadi pemicu paling besar gelombang orgasme yang segera kurasakan.

Aku pun orgasme duluan. Dinding vaginaku berkedut menjepit penis Ragil. Dengan begitu pengertiannya, Ragil menghentikan genjotannya sejenak. Anak ini ya, benar-benar!

“Maaf Ibu sampe duluan.”

Setelah orgasmeku mereda, kuminta Ragil melanjutkan genjotannya yang tertunda.

Tak berapa lama.

“Bu! Ibu! Ibu!” Ragil membenamkan wajahnya di dadaku seraya terus-menerus memanggilku. “Ahhhhhhh!!! Ahhhh!! Ahhh!” Ragil menghujam kontolnya dalam-dalam.

Napasnya hampir habis. Aku juga sih. Jangan-jangan anak ini begitu sampai rumah langsung buka celana dan onani, tidak sempat cuci kaki-tangan apalagi minum.



つづく
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd