Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
mau ending nya bisa ditebak kek mau engga kek....... masa bodo deh, yang penting ada cerita baru setiap hari.....semangat
 
Se
Aku memang tidak pernah menyukai pernikahanku. Pernikahan adalah titik awal hancurnya hidupku, direnggutnya kebebasanku, dan jurang tanpa dasar yang harus terus kulalui tanpa ada akhirnya. Sudah berkali-kali aku kepikiran ingin mati saja, tapi tak jadi-jadi. Aku tak terlalu berani.

Aku menikah karena dijodohkan—atau lebih tepatnya dijual—oleh kedua orang tuaku. Dengan si tua bangka jaraknya mungkin ada 20 tahun. Dia seumuran pamanku. Waktu menikah itu aku lulus SMA saja belum. Tadinya aku punya impian untuk pergi kuliah ke kota besar. Punya banyak pengalaman. Punya pacar orang kota yang terpelajar, syukur kalau dapat yang kaya meskipun itu tak menjadi tujuan utamaku. Pokoknya ada banyak sekali rencanaku selepas lulus SMA. Makanya aku sejak awal tidak mengikuti pergaulan seperti teman-teman kelasku yang lain. Aku fokus belajar karena memang sadar diri harus mendapatkan beasiswa kalau mau kuliah. Semua rencana itu lenyap gara-gara orang tua miskinku yang dengan sembrono bikin utang sama rentenir.

Aku murka sekali. Rasanya ingin kubunuh semua orang ketika itu. Apalagi ketika mengetahui ada seorang teman kelasku yang berhasil diterima di perguruan tinggi besar di sebuah kota besar yang jaraknya saja cuma bisa kubayangkan. Bangsat, iri sekali aku.

Aku memupuk dendam.​

Kukira permainannya sudah selesai, aku kira aku sudah ada di titik terendah hidupku, eh ternyata masih lanjut. Kejutan-kejutan tak menyenangkan terus-menerus mengoyak hidupku.

Memang si rentenir ini orang paling kaya se-kecamatan. Rumahnya paling besar tak ada yang menyaingi. Aku saja sempat takjub pas dibawa ke rumahnya. Tapi aku jauh lebih takjub lagi ketika mengetahui fakta anjing berikut ini.

“Nah, Yuni, ini istri pertama saya, boleh kamu panggil Teh Kukuk. Yang ini istri kedua saya, boleh kamu panggil Teh Neti.” Si rentenir memperkenalkan dua orang wanita yang menyambutku dengan ekspresi wajah tak sudi.

Bitch! Aku lebih kaget dari kalian tahu.

Apa-apaan ini hah?! Kenapa jadi begini?!! Aku seperti orang linglung dan hanya bisa merutuk dalam hati.

Kukuk dan Neti menyalami dan memelukku, tapi kentara sekali aura permusuhan yang mereka tunjukkan. Hanya sesama wanita yang paham. Si rentenir anjing mana mengerti masalah begini.

Malam itu aku terkekeh dalam ironi. Aku bahkan tak lagi bersedih menyadari betapa semakin menyedihkannya hidupku ini. Aku tak lagi terlalu berpikir ketika si rentenir tua menggagahiku dengan brutalnya. Mungkin sudah hilang seluruh jiwaku sejak malam itu.

***​

Kupikir kehidupanku sudah akan begitu-begitu saja. Datar dalam keterpurukan. Tapi, lagi-lagi, aku kecolongan. Ketika kukira hidup sudah selesai memperkosaku, rupanya dia masih bernafsu.

Si rentenir memang menikahiku cuma untuk ngentot. Tak ada alasan lain. Satu minggu pertama saja dia agak ramah kepadaku, memberikan tur keliling rumahnya yang memang hampir menyerupai istana, mengajakku makan malam di luar, dan membelikanku banyak sekali barang-barang baru kesukaan wanita. Setelah satu minggu, interaksinya denganku hanya seputar ngentot, ngentot, dan ngentot. Aku ini pada hakikatnya hanya perek. Perek tajir melintir.

Tapi ada satu peraturan yang selalu ditegakkan oleh si rentenir sangean itu. Tidak ada istrinya boleh keluar rumah tanpa dia temani. Atau setidaknya ditemani oleh pengawalnya. Dia beralasan bahwa seorang istri tidak layak keluar rumah karena berpotensi menggoda laki-laki lain. Aku sudah tak lagi heran dengan pikiran piciknya itu. Memang sih dia mampu memenuhi semua kebutuhan istri-istrinya. Di rumah besar ini segalanya ada. Mau apa saja ada. Kalau saja aku di sini bukan sebagai lonte, tentu saja aku akan bahagia.

Interaksiku di dalam rumah hanya kepada seorang pembantu yang usianya cuma terpaut lima tahun denganku. Dia adalah pembantu pribadiku, khusus digaji untuk melayani semua keinginanku. Aku memanggilnya Bi Atih. Padahal lebih cocok dia kupanggil teteh.

Selain dengan Bi Atih aku hampir tidak pernah ngobrol dengan siapapun di rumah ini. Bi Atih kemudian menjelaskan seluk-beluk rumah berikut semua penghuninya. Aku rada terkejut waktu tahu sebenarnya ada sekitar 15 orang keluarga inti yang tinggal di rumah gedong ini. Selain istri dan anak-anaknya, si rentenir juga menampung beberapa orang adik dan iparnya. Sudah kayak komplek saja rumah ini.

Kukuk punya tiga orang anak. Yang tertua bernama Mario dan usianya seumuran denganku. Inilah awal petaka chapter selanjutnya.

Biasanya, selain untuk makan malam dan sarapan bersama di ruang makan utama, semua penghuni rumah akan sibuk di ruangannya masing-masing. Si rentenir juga sering tidak pulang karena ada urusan di luar kota. Tapi tak ada bedanya dia ada di rumah atau tidak kecuali aku libur dikentot malam itu.

Aku sungguh suka malam-malam ketika aku sedang libur. Aku bisa bersantai sedikit. Menonton TV atau membaca buku—meskipun jadinya sangat menyakitkan karena aku jadi ingat mimpi-mimpiku.

Si rentenir sebenarnya tidak mengambil waktu terlalu lama ketika mengentotku. Dia itu nafsunya saja yang gede, tapi staminanya cupu abis. Tidak pernah lebih dari lima menit dia sudah crot. Setelah selesai dia langsung keluar meninggalkanku yang jadi sebal karena sama sekali tak pernah bisa menikmati. Aku kadang mengobel vaginaku sendiri karena sudah kadung horny. Tapi intinya, aku selalu bad mood setiap kali malam harus melayaninya.

Maka kumanfaatkan betul waktu liburku. Bosan menonton atau membaca, aku biasanya berkeliling rumah yang memang luasnya rada tak masuk akal ini. Kalau sedang pingin, kadang aku juga berenang di kolam renang dalam rumah. Tentu saja kupastikan dulu tak ada siapa-siapa. Malas juga aku kalau harus ketemu penghuni lain.

Aku berenang pakai kaos pendek dan hot pants. Kadang pakai lekbong. Kalau yakin sekali tidak ada siapa-siapa, sesekali aku berenang cuma pakai cangcut dan bh. Yang aku tidak tahu, setiap aku berenang selalu ada sepasang mata yang mengamatiku dari suatu sudut. Aku baru tahu jauh hari kemudian ketika yang bersangkutan…

***​

Suatu malam seusai berenang, aku sengaja berkeliling rumah. Sampai tiba aku di lantai tempat kamar Kukuk berada. Tak ada sedikit pun aku curiga atau berpikir apa-apa. Tapi kemudian aku mendengar suara erangan. Jelas sekali itu suara orang sedang mengentot.

Bukankah si tua bangka sedang ke luar negeri? Aku yakin dia sedang tidak di rumah. Baru pagi kemarin dia ada perjalanan bisnis ke Swedia. Mana mungkin sudah balik.

Jadi siapa yang sedang mengentot si Kukuk? Apa dia berselingkuh? Wah, gila ini. Kukira tidak akan pernah menemukan hal semacam ini.

Oh ya, ada satu lagi peraturan rumah yang belum kusebutkan. Di rumah ini pintu kamar tidak boleh dikunci. Benar-benar bisa kena marah besar kalau sampai ketahuan mengunci pintu kamar. Sebagai gantinya, setiap orang yang mau masuk harus selalu mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Kalau tidak dijawab, berarti tak boleh masuk. Satu peraturan aneh ini selalu ditegakkan. Tua bangka sangat ketat menerapkannya. Dan memang setelah kuperhatikan, tidak ada satu pun pintu yang ada kuncinya di rumah ini kecuali satu pintu besar, pintu depan.

Dimotivasi oleh rasa penasaran dan sedikit hasrat ingin cepu, aku memberanikan diri menempelkan kupingku di pintu kamar Kukuk. Erangan terdengar semakin jelas.

Ahhh… Ahhhh… enak sayang, terus…” sudah jelas itu suara Kukuk. Tak salah lagi.

“Suka kamu dientot begini, ya? Suka kamu, hah? Dasar lonte!” suara si laki-laki. Itu tidak asing. Jelas sekali aku pernah mendegarnya. Kemungkinan besar dia orang rumah. Gila. Ini gila sih!

“Kamu mau sampai kapan ngintipin perek kampungan itu di kolam renang,? Kan kamu bisa minta Ibu telanjang kalau kamu mau.”

Loh? Apa yang dimaksudnya aku? Mengintip? Aku diintip? Apa-apaan lagi ini!

Awalnya aku belum memperhatikan detail yang lain.

“Jangan banyak bacot lonte. Badan dia jelas lebih seksi dari kamu yang sudah berumur. Tapi aku belum bisa ngentot dia. Makanya pakai lu dulu. Ngerti lu?!”

Kemudian terdengar suara tamparan.

Ahhh… lagi. Tampar lagi pantat Ibu, Nak.”

Dengan jantung yang dagdigdug hampir copot, kuberanikan diri membuka pintu. Cukup sampai aku melihat wajah mereka saja untuk memastikan. Untungnya ranjang kukuk posisinya menyamping terhadap pintu, jadi mereka tidak akan langung menyadari kalau aku segera menutupnya kembali.

Yang kulihat sungguh di luar akal sehat. Di atas ranjang itu, si Kukuk sedang nungging, di lehernya ada sebuah tali pengekang dengan rantai yang ditarik dari belakang oleh tangan si laki-laki. Hampir saja aku pingsan. Laki-laki itu ternyata si Mario, anak sulungnya sendiri. Pikiranku jadi kacau karena dipenuhi terlalu banyak hal.

Aku segera menutup kembali pintu dan segera melesat menuju kamarku. Banyak sekali hal yang berhamburan di benakku.

Aku hampir tak bisa tidur malam itu. Ada sedikit juga takutku si Mario bakal masuk menerobos dan memperkosaku. Ini benar-benar di luar dugaan.

Pagi hari ketika sarapan bersama, kuamati Kukuk dan Mario tampangnya biasa-biasa saja. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Berarti mereka sudah sangat sering melakukannya. Belakangan aku akan mengetahui sebuah fakta mengejutkan lain yang bikin aku lebih geger lagi.

***​

Mario bisa dibilang semacam putra mahkota di rumah ini. Dia anak laki tertua dari istri tertua. Sebagai yang digadang-gadang bakal jadi pewaris sebagian besar bisnis dan kekayaan si tua bangka, tentu saja Mario tumbuh jadi lelaki yang tak kalah bangsat dari ayahnya. Bahkan lebih bangsat lagi karena kontol besarnya itu sepertinya memang tak pernah membedakan mana lubang yang bisa dimasuki dan mana yang tidak. Si tua bangka meskipun sama-sama sangean, setidaknya dia tidak main celup sebebas-bebasnya. Dengan modal kekayaan dia melakukan poligami. Beda dengan mario. Sepertinya tak ada sedikit pun aturan yang bisa menahan kontol besarnya itu.

Sebentar, kenapa aku sebutkan punyanya besar? Ya karena memang besar. Jauh lebih besar dari punya si tua bangka. Dan berdasarkan observasiku, staminanya juga memang jauh lebih tinggi. (Ya, aku kembali memergoki perkentotan ibu dan anak itu beberapa kali. Bahkan kadang aku yang memang pengen ngintip.)

Sambil ngintip tak jarang aku mengobel vaginaku sendiri. Aku sungguh tak menyangka pada diriku sendiri. Kok bisa sih?

Singkat cerita, karena naluri dasar seorang wanita, aku akhirnya membuka interaksi dengan Mario. Dia sendiri sepertinya memang sudah menunggu-nunggu untuk memulai komunikasi denganku.

Singkat cerita, akhirnya dia pun berhasil mengentotku. Aku sendiri tak merasa rugi. Dibanding dengan si tua bangka, Mario jauh sekali lebih unggul. Selain ungguh dari segi stamina, Mario juga unggul dari segi teknik. Gayanya tidak pernah monoton. Dia juga ada mengajariku soal fetish. Jadi lebih pandai aku setelah ngentot dengannya. Aku sungguh menikmati perselingkuhan sinting ini.

Belakangan aku tahu bahwa hampir semua perempuan di rumah ini pernah dikentot Mario. Bajingan memang. Tapi setidaknya, menurut penuturan Bi Atih, dia tak pernah memperkosa. Dia selalu mengawali dengan komunikasi, rayuan-rayuan maut, sampai akhirnya mangsanya mau sendiri dikentot sama dia. Bajingan… dasar bajingan…--tapi berkontol besar.

Setelah beberapa kali mengentot, aku pun hamil. Tentu saja anak Mario. Sebab, proporsi peju yang masuk ke dalam rahimku sudah jauh lebih banyak peju Mario. Aku yakin itu. Tapi kalau mau lebih yakin lagi dites DNA saja nanti kalau si anak sudah lahir.

Tua bangka rada baik padaku pas aku hamil. Hahahahaha. Ironis sekali. Sedikit ada kasihan juga aku. Otaknya memang tokcer kalau urusan bisnis, tapi kok bisa-bisanya dia tidak nyadar.

Anak kedua Kukuk berjarak 15 tahun dengan Mario. Ini sudah menjelaskan semuanya. Anak pertama Neti juga sekitar segitu. Neti punya dua orang anak, aku berani taruhan semuanya anak Mario. Di kemudian hari, setelah waktu yang cukup lama, aku mengetahui fakta bahwa tua bangka itu sebenarnya pernah mengalami semacam kecelakaan di sebuah pabrik. Dia jadi mandul setelah hanya berhasil membuat Kukuk hamil satu kali. Tapi dia rupanya tak mau menerima fakta itu dan malah kawin lagi. Ketika akhirnya Kukuk hamil anak kedua hampir berbarengan dengan Neti hamil anak pertama, tua bangka itu bangga bukan main. Dia bilang-bilang sama dokter bahwa ada keajaiban yang menyembuhkan pelirnya.

Aku sungguh tak terbayang kalau misalnya dia tahu yang sebenarnya. Mungkin bakal langsung mati kaget.

***​

Anakku lahir selamat. Tua bangka selalu mengizinkan istri-istrinya untuk memberi nama anak mereka. Aku tak berpikir banyak, kuberi saja nama Ragil. Tak ambil pusing aku urusan ini. Ada sedikit cintaku kepada si Ragil, tetapi semua itu karena babang Mario kontol besar terus mensupportku dengan kontolnya. Meskipun dari hamil sampai persalinan berat sekali, aku tetap bisa menerimanya.

Semua berubah ketika Ragil sudah berusia satu tahun. Entah bagaimana ceritanya, dua kakak seperpoligamianku menebarkan aura permusuhan yang lebih sengit kepadaku. Selama ini juga sebenarnya tidak pernah akrab, tapi setidaknya mereka tidak terlalu menunjukkan ketidaksukaan itu. Usut punya usut, semua itu gara-gara mereka menganggap perhatian Mario kepadaku berlebihan. Sejak saat itu pula akhirnya Mario pun mulai menjauhiku.

Semua berubah 180 derajat. Keadaanku jadi begitu menyedihkan karena pada saat titik balik itu aku juga kena depresi. Benar-benar suram. Kalau bukan karena Bi Atih, mungkin Ragil tak akan melewati tahun kedua hidupnya.

Semakin hari persekusi terhadapku ternyata kian menjadi-jadi. Setiap makan bersama pagi atau malam, dua lonte itu selalu membangga-banggakan pencapaian anak-anak mereka. Tentu saja si bajingan Mario yang paling di atas angin, tapi Neti juga tak kalah mempromosikan kebolehan anak lakinya. Aku, yang saat itu tertekan karena merasa tak punya sekutu, cuma bisa diam karena anakku si Ragil hampir seperti orang bisu. Tidak ada kelebihan apapun yang ditunjukkannya.

Tua bangka sebetulnya tak terlalu memperasmalahkan soal anak-anak. Bagi dia, yang penting sudah ada calon pewaris, dan si Mario itu sudah lebih dari cukup bagi dia. Itu semua karena tua bangka sama sekali tak tahu-menahu kelakuan Mario yang menghamili semua istri-istrinya di belakangnya.

Aku berkali-kali berpikir untuk memberitahu tua bangka tentang semua perselingkuhan istri-istrinya, tapi itu berarti termasuk harus membeberkan juga perselingkuhanku. Selama ini kami bertiga—dan entah berapa orang lagi wanita di rumah ini—sama-sama diam karena sepertinya semuanya memang pernah dikentot sama Mario.

***​

Di tahun ke sekian dalam kehidupan belangsak yang masih saja kujalani, kejutan tak terduga muncul kembali. Mario mati. Suatu malam dia ditemukan OD di sebuah klub malam di kota sebelah. Tua bangka murka sekaligus berduka.

Ini mengubah posisi politik semua kubu di dalam rumah. Dua adik Mario adalah perempuan. Kukuk kehilangan posisi strategis. Anak tertua Neti juga perempuan, tapi anak bungsunya laki-laki, dan usianya terpaut sekitar 2 atau 3 tahun dengan Ragil. Kukuk akhirnya berkoalisi dengan Neti untuk melawan aku. Persekusi dan penganiayaan mereka kepadaku dan Ragil semakin serius.

Sebentar. Sebentar. Kenapa aku jadi ikut perebutan kekuasaan begini? Aku sama sekali tak menaruh peduli walau sedikit pun atas harta kekayaan si tua bangka. Silakan saja ambil semua, aku tak peduli. Diusir keluar rumah ini aku malah senang.

Sayangnya aku tak bisa mengungkapkan pikiranku itu kepada kubu lawan karena mereka sudah kadung menganggapku musuh bebuyutan. Bahkan entah selentingan dari mana ada desas-desus yang menyatakan bahwa akulah yang bikin Mario mampus. Jelas saja mereka semakin dendam kepadaku.

Semua semakin serius ketika kutemukan luka lebam pertama di kaki Ragil. Tapi anak pendiam itu tak mau menjawab dengan jujur siapa yang memberinya luka itu. Malah menangis dia. Aku jadi emosi dan akhirnya kupukul juga dia meskipun tak sampai lebam.

Suatu hari yang lain Ragil tiba-tiba jatuh dengan mulut berbusa-busa. Aku begitu syok melihatnya dan tak bisa melakukan apa-apa. Bi Atih langsung memanggil ambulan. Tua bangka yang sedang di luar kota buru-buru pulang. Dia memurkaiku karena menganggap aku tak becus urus anak. Well, sebetulnya tidak salah anggapan dia. Tapi aku tahu betul Ragil diracun oleh kedua lonte itu yang bisa-bisanya pura-pura bersimpati dan menangis saat di rumah sakit.

Ini betul-betul menjadi semakin serius. Meskipun aku tak pernah benar-benar memberi kasih sayang yang seharusnya kepada Ragil, aku tetap punya secuil naluri keibuan yang membuatku tak sudi kalau sampai Ragil meregang nyawa disebabkan ulah kubu Neti. Aku memutar otak. Apa yang harus kulakukan?

Setelah semua pertimbangan yang serba cepat, aku akhirnya memutuskan satu hal yang sangat nekat. Beberapa minggu setelah Ragil pulih dari sakitnya, aku mengemasi barang-barangku dan Ragil secukupnya. Hanya satu koper saja. Bermodalkan mas kawin berupa 30 gram emas yang memang merupakan hak milikku, kami berdua menyelinap pada suatu malam tua bangka sedang tak di rumah.

Cuma Bi Atih yang tahu. Dan Bi Atih berjanji akan tutup mulut. Perpisahanku dengan Bi Atih sangat mengharukan. Dalam sekian tahun aku hidup di istana ini, tidak ada manusia lain yang memanusiakan aku kecuali Bi Atih. Betapa aku sangat banyak berutang budi kepadanya.

Babak baru hidupku pun dimulai.
Moga ragil bisa ml ma bi atih jg y hu
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd