Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RANJANG SIANG RANJANG MALAM

Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 2
RERONCEN






Gandheng rendheng anjejering rendheng.
Reroncening kembang, kembang kemanten
.”




Tubuh Rima setengah dibanting di atas island dapur. Ia terlentang dalam kebingungan ketika sang suami mulai menarik celana dalamnya ke bawah. Rima jelas tidak suka ini terjadi karena anak-anak bisa setiap saat masuk ke dapur dan memergoki mereka berdua tengah melakukan hal yang tidak sepantasnya mereka lihat.

Tapi ia jelas tidak berdaya melawan Ryan yang sepertinya sudah kesetanan.

“Papa! Apa-apaan sih!?” Rima mencoba meronta dan melepaskan diri dari Ryan. Bukan karena dia menolak sang suami, tapi karena waktu dan tempatnya sama sekali tidak tepat. “Papa! Jangan sekarang! Jangan di sini! Anak-anak kan sedang...”

“Aku pengen banget. Aku sudah tidak tahan.” Ryan menarik tubuh Rima, memutarnya hingga sang istri menungging dengan tangan bertumpu di meja island. Ryan sendiri kemudian menurunkan celananya, mengeluarkan batang kemaluannya dan tanpa perlu berpikir lama langsung melesakkannya ke dalam liang kewanitaan milik sang istri.

Langsung. Begitu saja.

“Aaaaaaaaah!!” Rima berteriak, namun saat ia tersadar kalau anak-anak di ruang tengah mungkin mendengarnya, ia pun menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Ia memejamkan mata menahan rasa sakit yang merajam di liang cintanya.

Batang kejantanan Ryan amblas masuk ke vagina Rima – vagina yang belum lagi dibanjiri oleh cairan pelumas. Hal itu menimbulkan rasa sakit yang mengungkung Rima. Seakan tidak peduli, Ryan mempercepat gerakannya, tusukan demi tusukan kencang dan cepat menggeliat di liang cinta yang rapat dan berdenyut seperti memijat.

“Sudah... sudah... Pa... nanti... nanti pasti... jangan sekarang...” Rima mencoba memberikan alternatif pada sang suami, tapi Ryan tidak menjawab. Tubuh ibu muda itu bergoyang-goyang ketika dua tapak tangan Ryan meremas dan mencengkeram dua bongkah indah pantat sang istri dan menggunakannya sebagai pegangan saat batang kejantanan Ryan beraksi keluar masuk di liang senggamanya.

Ada sesuatu yang berbeda dengan batang kejantanan Ryan hari ini. Terasa lebih kencang, lebih kuat, lebih keras seperti batang kayu yang besar yang memenuhi liang mungilnya yang hanya mampu menjepit rapat. Rima melenguh-lenguh kesakitan tapi sekaligus perlahan mulai terbuai nikmat.

“Aaaahhh... aaaaaaah... aaaaaaaaaah...” Rima benar-benar tidak tahan lagi. Ryan telah menyiksanya dengan rasa sakit sekaligus kenikmatan yang membuatnya tak mampu mempertahankan akal sehatnya.

Tubuh Rima terdorong-dorong. Kepalanya dibenamkan ke lipatan tangan yang menumpu badan di atas island. Ia berdiri menungging dengan pantat diangkat tinggi, mengizinkan akses untuk sang suami supaya bisa beraksi dengan mudah.

“Aaaaah... Paaa... sudaaaah... sudaaaahhh... aahahhh... aaaahhh...”

Tusukan demi tusukan batang kejantanan Ryan membuat Rima lupa diri, benar ini berbeda dengan biasanya, batang kejantanan Ryan terasa lebih penuh dan kencang.

“Pa... aku tidak... sanggup... aku mohon...”

“Mama?”

Rima terbelalak. Dia menatap ke depan, ada bayangan di sana. Jangan-jangan... jangan-jangan anaknya melihat dia dan ayah mereka sedang... oh tidak! Tidak! Rima mencoba berontak, tapi Ryan tidak bergerak. Dia terus saja menggenjot vagina Rima yang legit. Ditarik, dimasukkan, ditarik, dimasukkan, ditarik, dimasukkan. Berulang-ulang. Dia tidak mempedulikan siapapun, dia bahkan tidak peduli seandainya Rasya dan Radja menyaksikan mama mereka tengah digumuli sang Papa.

“Mama!?”

“Pa! Sudah, Pa! Itu ada yang sudah bangun! Papa!”

“Mama....”

Rima menatap ke depan, bayangan itu seperti mewujud.

“Rasya? Mama tidak apa-apa, Rasya sekarang ke kamar saja ya. Na-nanti Mama menyusul... sebentar lagi... tidak apa-apa kan? Anak baik dan... dan...?”

Tapi bayangan itu tidak mewujud menjadi Rasya.

Bayangan itu mewujud seperti sosok lain. Seperti... sosok Pak Rebo?! Rima melotot. Apa yang Pak Rebo lakukan di rumahnya? Bagaimana dia bisa...? Pak Rebo berbisik perlahan dari kejauhan sembari menatap Rima dengan pandangan mata tajam. Dia mengucapkan sesuatu tapi Rima tak bisa memahaminya.

Rima terkejut bukan kepalang, kenapa... kenapa Pak Rebo ada di sini?

Belum cukup rasa heran melihat semua keanehan di depan matanya, tubuh Rima justru kembali terguncang-guncang, karena terus menerus disodok berulang dari belakang oleh Ryan yang sepertinya tanpa ampun.

“Papa! Itu ada orang di depan! Berhenti Pa! Berhenti!”

Ryan tak mau berhenti. Dia bahkan tak mengguris sama sekali.

“Pa! Berhenti! Sudah! Sudah!”

Rima mencoba berteriak menahan nafsu hewani Ryan yang semakin tak terkendali. Tubuhnya tersengal-sengal karena Ryan menggaulinya tanpa jeda dan penuh nafsu. Kenapa sih Ryan ini? Kenapa jadi seperti ini? Rima memejamkan mata. Tolong hentikan, Ryan... tolong hentikan...

Hentikan...

“Mama...?”

Rima yang baru saja terpejam akhirnya membuka mata, mulutnya terbuka tanpa suara. Berusaha menggapai si bayangan bertubuh mungil.

“Ra-Rasya?” panggil Rima.

“Mama... ada tamu, Ma.”

Hah?

Kok tamu?

Terdengar bunyi ketukan.

Rima mengejapkan matanya.

Saat itulah semuanya berubah.

Seperti ada cahaya yang tiba-tiba saja merubah ruangan, pandangan, pikiran, dan kewarasannya, Rima secara aneh sudah berada di tempat yang berbeda pada saat yang berbeda pula. Rima berusaha memahami di mana sebenarnya dia berada saat ini.

Apakah dia sekarang benar-benar sudah terbangun?

Ibu muda cantik itu menajamkan penglihatan dan menatap ke langit-langit rumah. ia lalu duduk dan melihat sekeliling. Hah!? Ini kan masih di ruang tengah!? Astagaaaaaa!!

Jadi sedari tadi dia masih tertidur rupanya?!

Jadi kejadian sama Mas Ryan barusan juga mimpi?

Ya ampuuuun. Pantesan kok bisa aneh banget. Bisa-bisanya dia secapek ini sampai bisa ketiduran dan bermimpi yang aneh-aneh? Mana sudah sore pula... saatnya anak-anak mandi. Rima bangkit dari duduknya dan menilik ke dapur.

Ternyata tidak ada Ryan, tidak ada siapa-siapa.

Ah, lega.

Rima melirik ke samping, kedua buah hatinya menatapnya dengan kebingungan. Rasya dan Radja sama-sama bertanya-tanya apa yang terjadi pada sang Mama.

“Mama...” Rasya kembali memanggilnya.

“Ya, sayang?”

“Ada tamu.”

Kembali terdengar bunyi ketukan.

Oh iya.

Rima terbangun dari tidur karena tadi Rasya membangunkannya. Anaknya itu mendengar pintu rumah diketuk tamu. Rima segera berdiri dan buru-buru mengenakan kerudung simpel dan cardigan rajut andalannya. Sembari setengah berlari Rima menuju ke pintu depan. Ia melirik ke arah anak-anaknya dan memberikan perintah, “kalian tetap di sini ya. Biar Mama yang ke depan.”

Rasya dan Radja mengangguk.

“Permisi, Bu Rimaaaaaa? Ada di rumah?”

“Adaaaaa Pak... maaf tunggu sebentar.”

Terdengar kunci pintu rumah diputar dan Rima pun tersenyum lebar saat berhadapan dengan Pak Ramidi sang Ketua RT dan Pak Rusep sang satpam komplek. Kedua orang itu langsung terhipnotis oleh pesona senyum manis Rima yang memang selalu memabukkan para pria. Pak Ramidi tidak terlalu tinggi, memiliki wajah kotak dan mata yang sayu, kumisnya tipis-tipis hanya sebentuk kotak tepat di antara bibir dan hidung, mengingatkan pada seorang Fuhrer, komedian film bisu, atau malah Jojon.

“So-sore Bu Rima.” Pak Ramidi mengambil peci yang ia kenakan dan diletakkan di dada. Kumisnya bergerak-gerak karena meski banyak yang ingin diutarakan tapi ia tak sanggup berkata-kata melihat kesempurnaan wanita jelita di hadapannya.

“Sore...” Pak Rusep nyengir lebar. Sang satpam bertubuh kurus, tinggi, dan langsing yang ada di depan Rima mempertontonkan deretan gigi tak rapi.

“Ada perlu apa ya, Bapak-bapak?”

Pak Ramidi dan Pak Rusep masih tersenyum, mendengarkan suara Rima ibarat mendengarkan musik yang merdu. Suaranya yang lembut itu lho empuk banget... seempuk bantal hotel.

“Pak RT?”

“Eh, I-iya.” Pak Ramidi gelagapan. “Maaf mengganggu waktunya, Bu Rima. Ini kelanjutan kita keliling narik uang sampah dan keamanan saja. Kebetulan bulan ini hanya tinggal Pak Ryan sama Bu Rima yang belum bayar.”

“Hah? Masa sih, Pak? Mas Ryan belum bayar ya? Aduh, maaf deh kalau ketinggalan. Biasanya kami tepat waktu. Lain kali suami saya dicolek saja kalau pas ketemu di pertemuan RT, Pak. Takutnya kelupaan bayar lagi.”

“Siap, Bu.”

“Sebentar ya, Pak. Saya ambilkan dulu.”

“Siap.”

Rima pun buru-buru masuk dan mengambilkan uang untuk membayar kebutuhan bulanannya. Setelah mendapatkannya ia segera menyerahkan uang itu ke Pak RT. Uang itu pun masuk ke dompet Pak RT dan dicatat oleh Pak Rusep.

“Siap, sudah dicatat, Pak RT,” ujar Pak Rusep.

“Lalu yang kedua...” Pak Ramidi mengambil sesuatu dari tas kresek hitam yang ia bawa-bawa. “...surprise! Hahaha. Ini adalah Teh Jahe Tjap Boenga Rose Merah yang viral itu. Satu bungkus murah. Harganya tertera di bungkusnya. Bisa untuk meredakan radang tenggorokan, batuk pilek, gatal-gatal, dan gangguan pernapasan. Buat masuk angin juga manjur banget ini, Bu. Pokoke cespleng mengatasi segala keluhan.”

Rima tersenyum, “satu bungkusnya berapa?”

“Dua puluh lima ribu seperti yang tertera di bungkusnya. Tapi jangan takut jangan khawatir, ini aman dan sudah lolos sertifikasi BPOM. Jelas berkhasiat banget ini, Bu. Dijamin. Kalau ga berkhasiat garansi uang kembali.”

Rima melirik ke dompetnya, mengambil selembar lima puluh ribuan dan menyerahkannya pada Pak Ramidi. “Saya beli dua deh.”

“Naaaaaaaaaah! Cocok jiwa. Terima kasih atas pembeliannya, Bu. Silakan follow instagram kami untuk membaca testimoni dan juga bukti-bukti khasiat Teh Jahe Tjap Boenga Rose Merah.” Pak RT dengan sumringah mengambil dua bungkus teh dan memberikannya pada Rima. “Silahkan dicicipi ya, Bu. Dijamin mantap pokoknya. Dijamin. Di-ja-min.”

“Hahaha. Sama-sama, Pak.” Rima mengangguk dan tersenyum.

“Oke. Begitu dulu ya, Bu Rima. Maaf mengganggu nih sore-sore.”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya yang terima kasih sudah diingatkan membayar sampah dan keamanan.”

“Siap. Mari, Bu...”

“Mari...”

Pak RT pun berjalan meninggalkan teras rumah Ryan dan Rima untuk menuju ke pagar depan. Tapi ia merasa aneh dan canggung. Perasaan kayak ada yang ketinggalan. Tapi apa ya? Saat melirik ke samping barulah ia sadar. Orang yang seharusnya berada di sebelahnya tidak ada.

“Ya ampooooon, Sep! Ngapain masih berdiri di depan Bu Rima? Ini saya aja udah nyampe sini. Jan wes wong siji iki jan. Maaf ya Bu Rima, Pak Rusep ini emang kadang suka malu-maluin.”

Pak Rusep yang tadinya terbengong-bengong karena terlalu mengagumi Rima akhirnya sadar dan cengengesan. “Euh iya. Saya pamit juga ya, Teh. Kalo Teteh butuh apa-apa tinggal panggil saja Rusep di pos satpam atau kalau butuh sesuatu apapun tinggal wasap saja. Rusep selalu siap sedia menjalin persatuan dan kesatuan.”

Rima hanya mengangguk dan tersenyum, menahan tawa.

“Sep. Rusep.”

Heueuh, Pak RT ini...”

Rima melirik ke rumah di depan. Ada perasaan tak nyaman seperti sedang diawasi.

“Eh, Bapak-bapak. Mohon maaf sebelumnya. Apa boleh saya minta tolong ke bapak-bapak?” tanya Rima dengan nada sedikit khawatir, wajahnya yang cantik juga menjadi agak muram. “Ini mungkin hanya perasaan saya saja sih. Mudah-mudahan tidak benar. Tapi alangkah baiknya kalau melakukan tindakan preventif.”

Pak Ramidi dan Pak Rusep saling berpandangan.

Pak Rusep buru-buru maju memasang dada. “Kalau buat Teh Rima, pagi siang sore malam, Rusep selalu siap. Mau apa aja tinggal bilang. Sok atuh, apa yang perlu Rusep bantu?”

Pak Ramidi geleng kepala dan mendorong Rusep ke samping. Ketua RT itu langsung bertanya, “Tentu saja boleh, Bu Rima. Mau minta tolong apa?”

“Suami saya kan sedang perjalanan dinas – kemungkinan untuk seminggu. Selama suami saya pergi, bolehkan saya minta tolong bapak-bapak satpam mengawasi rumah Pak Rebo?”

“Mengawasi rumah Pak Rebo? Memangnya kenapa dia? Apa ada kelakuan dia yang aneh-aneh? Keluar rumah juga jarang kan? Selama ini sepertinya dia tidak pernah mengganggu tetangga sekitar.” Pak Ramidi memutar badan untuk melihat ke rumah yang berada tepat di depan mereka.

“I-iya... tidak apa-apa sih, Pak. Takutnya kalau kenapa-kenapa saja. Pagi ini kami bertemu dan... pertemuan itu rasanya agak aneh, setelah itu saya juga mimpi yang aneh-aneh. Kok saya jadi curiga.”

“Anehnya bagaimana, Bu Rima? Kami tentu saja tidak bisa mengawasi orang hanya karena dasar kecurigaan. Semua warga punya hak praduga tak bersalah seandainya terjadi masalah. Takutnya kalau Bu Rima menuduh yang tidak-tidak malah jadi fitnah. Ingat lho, Bu. Memfitnah lebih kejam daripada tidak memfitnah.”

“Eh... iya juga ya, Pak? Ya udah deh, ga jadi.”

“Siap. Daripada curiga sama tetangga sendiri, lebih baik beli Teh Jahe Tjap Boenga Rose Merah yang kebetulan sedang diskon 20 persen. Khasiatnya wow. Bisa untuk mengobati radang tenggorokan, badan meriang...”

“Saya kan sudah beli tadi, Pak. Full malah, ga dapet diskon.”

“Oh iya ya? Xixixi. Maaf, Bu Rima. Kalau soal Teh Jahe Tjap Boenga Rose Merah, jiwa marketing saya meledak-ledak.” Pak Ramidi tertawa, “Ya sudah kalau begitu, kami permisi dulu, Bu Rima.”

“Mari, Teh.”

“Mari...”

Rima pun menutup pintu. Saat menutup pintu, Ia sempat mengintip ke rumah depan melalui sela-sela jendela di samping pintu. Entah kenapa ia merasa ada orang yang saat ini tengah memperhatikannya dari kejauhan. Apakah dari seberang sana?

Takut ih.

Cepat-cepat Rima menutup tirai jendela





.::..::..::..::.





“Permisi, Pak. Mohon maaf mau bertanya.”

Satu wajah manis muncul dari balik kaca mobil yang memasuki kompleks perumahan usai selepas dari gerbang. Selain wajah manis berkerudung itu ada dua orang lain yang juga berada di dalam mobil. Dua orang yang sedang berjalan kaki saling berpandangan, lalu mendekat ke mobil.

“Iya. Ada yang bisa saya bantu? Bade kamana?

Pak Ramidi dan Pak Rusep yang kebetulan sedang berjalan menuju pos satpam berhenti untuk menemui wajah manis itu. Seperti biasa, kalau ada yang manis-manis begini, Pak Rusep always selalu kudu menjadi Yamaha – semakin di depan. Dengan cengengesan Pak Rusep mendekat ke mobil Alphard warna hitam yang berhenti di dekat mereka.

Pak Ramidi sendiri insting sebagai RT-nya keluar, wajahnya menyelidik. Siapa ya mereka ini? Apa yang mereka lakukan di sini? Apa yang mereka kehendaki? Apakah mereka bersedia membeli Teh Jahe Tjap Boenga Rose Merah?

“Kalau rumahnya Ibu Rizka di sebelah mana ya?” si wajah manis bertanya.

“Ibu Rizka? Ibu Rizka yang mana ya, Teh? Ada banyak Bu Rizka di perumahan ini. Ada Rizka yang jualan lontong sayur, ada Rizka yang jualan pulsa. Banyak atuh Rizka-na. Coba lebih spesipik, Teh.” Pak Rusep memajang senyum andalan yang selebar jembatan Suramadu. “Kebetulan Aa Kepala Satpam di sini. Nah, kalau bapak ini, Kepala RT. Kami berdua hapal warga-warga sekitar.”

“Oh iya, Pak. Sebentar kami cek dulu. Rizka... Rizka siapa nama lengkapnya ya?” tanya si wajah manis itu pada orang di belakangnya, “Aku ga hapal deh, coba kamu lihat...”

“Bentar-bentar... Rizka... Rizka... aduh mana sih daftar namanya...” seorang laki-laki yang mengenakan kacamata hitam, berpakaian rapi jali ala direktur di sinetron Indosiar, dan memiliki kumis nan aduhai mulai membuka berkas-berkas yang ada di sebuah map. “Rizka... Aulia. Rizka Aulia.”

“Rizka Aulia?” Pak Rusep menengok ke arah Pak Ramidi yang ada di belakangnya, “Pak. Rizka Aulia teh saha?

Oalah. Rizka Aulia ya bojone Mas Raka. Bu Raka, Sep.” Kata Pak Ramidi dengan logat medok-nya. Ia akhirnya ikut mendekat ke mobil sembari menunjuk ke sebuah arah. “Rumahnya yang pojok itu, Neng. Apa perlu kami antar?”

“Oh, tidak usah, Pak. Terima kasih banyak. Berarti yang paling pojok itu ya?”

“Iya. Paling depan.”

“Baik. Terima kasih bantuannya. Terima kasih, Bapak. Hatur nuhun.” SI wajah manis tersenyum dan pria berkumis lantas menganggukkan kepala tanda hormat. “Mari...”

Pak Ramidi dan Pak Rusep ikut menganggukkan kepala. Mobil itu pun berjalan pelan meninggalkan mereka berdua untuk kemudian berhenti di depan rumah yang sebenarnya tak jauh dari posisi mereka sebelumnya.

Pak Ramidi menabok kepala Pak Rusep yang tidak segera berjalan dengan buku tulisnya yang digulung. “Ayo, iki malah meneng ae neng ndalan. Ayo jalan ke pos, kita udah ditungguin! Semua satpam sama bapak-bapak RT yang lain sudah nungguin sedari tadi ini, kita berdua yang paling telat. Katanya mau atur jadwal jaga malam? Gara-gara si Rudi cuti istrinya melahirkan, kita kudu harus mengatur jadwal yang baru buat nutup pintu masuk utara sama selatan.”

“Iya ih. Gurung gusuh si Bapak RT ini. Ini juga lagi mau jalan. Nih jalan nih.”

Pak Rusep buru-buru mensejajari Pak Ramidi yang langsung geleng-geleng kepala. “Kalau jalan ya yang awas, kenapa matanya lihat sana melulu. Udah ga usah ngurusin mobil yang barusan.”

“Ini namanya tindakan prepentip, Pak. Berusaha mengawasi tamu yang datang demi keselamatan warga. Itu ada di standar operan... operen... operepen... opresyen prosedur saya sebagai satpam.” Pak Rusep mencoba menjelaskan pada Pak RT yang malah mencibir, tak lama kemudian ia ketawa ketiwi. “ya... sekalian melirik yang geulis atuh, Pak.”

“Haish, wes ket mau ketahuan lagakmu, Sep. Lihat jidat jenong sedikit aja langsung belingsatan. Ga di rumah Bu Rima, ga di sini. Pantesan bojomu njaluk pegat ae. Wes lah, ayo jalan!”

Hayuk atuh, Pak. Hayuk. Duh lieur euy, dimarahin terus. Padahal urang mah hayuk aja.”

Akhirnya kedua orang itu berjalan, meninggalkan mobil yang berhenti di depan rumah Rizka tanpa gangguan lebih lanjut lagi. Ada tiga orang yang turun dari mobil, si mbak wajah manis yang berpakaian rapi ala marketing perumahan, si mas berkumis yang necis, dan satu orang lagi adalah seorang muda – pakaiannya santai, rambutnya dipotong model terkini, ada anting bulat di telinga kiri, kalung dengan rantai emas menjuntai, mulut komat-kamit sembari makan permen karet, dan kacamata hitam menghias wajah paspasan.

“Permisi... permisi.” Si Mbak wajah manis membunyikan bel yang ada di pagar.

Rizka yang tadinya berada di dalam rumah buru-buru mengenakan kerudung seadanya dan membuka pintu. “Ya? Siapa ya?”

“Permisi, selamat sore. Apa benar dengan Mbak Rizka?”

“Mmh sore, iya dengan saya sendiri. Ada apa ya?”

Rizka menatap curiga dengan ketiga orang di depan rumahnya. Jangan-jangan mau nawarin asuransi? Model-model begini kalau ga nawarin asuransi ya biasanya MLM model piramida dan sebangsanya. Entah darimana mereka bertiga tahu namanya.

“Saya Ratih dan ini Roger. Kami berdua dari Robekrobek Entertainment, Mbak. Kami berdua penggemar instagram Mbak Rizka.” Si wajah manis memperkenalkan dirinya dan si kumis necis sembari tersenyum sopan. “Kami ada penawaran kerjasama untuk Mbak Rizka. Apa boleh kami masuk dan menjelaskan maksud kedatangan kami?”

“Mmh...” Rizka berpikir keras. Diperbolehkan masuk atau tidak?

Jujur dia tertarik. Penawaran kerjasama? Kerjasama apa ya kira-kira? endorse kan maksudnya? Wah boleh juga nih, kayaknya penawarannya serius. Biasanya kalau endorse mereka bakal kontak via WhatsApp dan mengirimkan barang yang mau di-endorse, tidak menyempatkan diri untuk datang begini. Sepertinya oke. Kalau memang penawarannya bagus, dia bisa membantu Mas Ryan menutup kebutuhan finansial yang sedang banyak-banyaknya beberapa bulan terakhir ini. Terutama sekali menutup hutang-hutang cicilan yang semakin bertumpuk. Mereka tidak perlu lagi menjual mobil dan tanah warisan. Itu kalau beneran penawarannya oke.

“Boleh, silakan.” Rizka membuka pintu pagar dan mempersilakan tamu-tamunya untuk masuk dan duduk di kursi teras.

“Terima kasih, Mbak.” Ketiga tamu Rizka itu pun berjalan melalui Rizka.

Mbak Ratih bau wangi parfum mahal, Mas Roger bau wangi parfum jantan, sementara si jamet yang paling belakang bau wangi minyak kutus-kutus.

Rizka duduk di teras depan rumahnya yang kebetulan memiliki kursi tamu. Si cantik itu memandang ketiga tamunya satu persatu dengan pandangan malu-malu, “kalau boleh tahu... penawaran kerjasama apa ya?”

“Jadi begini, Mbak. Sebelumnya perkenalkan dulu kami dari Robekrobek Entertainment memiliki talent yang sangat populer di Youtube dan memiliki channel yang cukup ramai dikunjungi khalayak netizen. Talent kami adalah Mas ini... Mas Rhoma Wedhus.”

“Eh?! We... Wedhus?” Rizka terbelalak sembari mengangguk-angguk. Wedhus bukannya kambing ya? Kok julukannya agak... unik ya?

“Hahaha. Iya, Mbak. Itu nama julukan dari teman-teman saya.” kata Rhoma yang akhirnya bersuara juga. Logatnya agak medhok, mirip Pak Ramidi. “Nama asli saya Rhoma Narendra. Tapi supaya ngehits begitu di Youteb, saya pake nama yang agak keci, begitu.”

Keci?

Catchy maksudnya, Mbak.” Roger membenahi sembari berdehem. Malu-maluin aja nih.

“Oh.” Rizka mengangguk-angguk, mencoba memahami.

“Nah, kami melakukan scouting Mbak Rizka setelah melakukan search secara berkesinambungan dan menyeluruhs di instagram mengenai talent-talent yang kemungkinan bisa kami sewa untuk jangka waktu yang cukup panjang sebagai salah satu pemeran tetap di channel Youtube-nya Mas Rhoma ini.”

Rizka gamang, “Err... tapi follower saya belum banyak lho, kalau kalian memang mau yang sudah populer, ada Mbak Rima yang kebetulan tetang...” Rizka mencoba berdiri dan menunjuk rumah sang sahabat.

Tapi Ratih buru-buru menggeleng dan meminta Rizka duduk kembali, “memang kami sengaja mencari talent yang follower-nya masih... kurang, Mbak. Supaya tidak terlalu dikenal oleh netizen saat muncul sebagai pemeran di channel Youtube kami.”

Rizka duduk kembali, wajahnya memerah saat Ratih menyebutkan kata kurang. “Oh, begitu.”

“Jadi kami jelaskan duu ya, Mbak.” Roger membuka iPad dan meletakkannya di meja supaya dilihat oleh Rizka. “Di sini kami menunjukkan beberapa channel content creator kami yang jumlah subscriber dan view-nya cukup tinggi, Mbak. Sebagaimana Mbak Rizka ketahui, subscriber dan view jika dikonversi melalui Google Adsense dapat menghasilkan pendapatan lumayan jika dimonetisasi, itu tujuan utama kami - jujur saja. Nah, kami memang memiliki beberapa talent Youtuber yang kami kelola, mereka semua memiliki konten yang hampir mirip; yaitu prank, romantis, kehidupan sehari-hari, review makanan, review tempat wisata, hotel, review pakaian, dan sebagainya. Sederhana sebenarnya, tapi lumayan digilai netizen kita.”

“Oke... lalu apa peran saya?”

“Nah, kami membutuhkan Mbak Rizka untuk berperan sebagai pacar Mas Rhoma ini.”

“HAAAAH!?” Rizka melotot. “Pa-pacar? Tapi saya sudah menikah! Tidak mungkin saya...”

Ratih tersenyum dan mencoba menenangkan Rizka. “Benar sekali, Mbak. Kami memang membutuhkan talent untuk berperan sebagai pacar Mas Rhoma Wedhus. Ingat Mbak, hanya peran. Bukan sungguhan. Saat Mas Rhoma melakukan shooting, kami akan menemani kalian sepanjang perjalanan, kami yang akan mengedit videonya, dan kami juga akan mempersiapkan semua akomodasi untuk kallian berdua. Ingat ini cuma bohongan, Mbak. Dalam bahasa Youtube... ini semua settingan.”

“Oooh, settingan.”

“Iya. Ibarat aktris berperan dalam film, atau talent di acara reality show settingan seperti Rumah Kura, Katakan Cinta, Katakan Putus, Mengejar Janda, dan lain-lain.” Ratih tersenyum mencoba meyakinkan Rizka, “kalaupun nanti Mbak Rizka dan suami tidak setuju, kami juga tidak akan memaksa. Jadi silakan diputuskan berdua.”

Rizka mengangguk. Ia menilik ke layar iPad. Si Wedhus sedang beraksi membuka vlog-nya. Ini sepertinya salah satu teknik pengambilan gambar andalan, metode wawancara di mobil.

“Halo semuanya! Apa kabar gengs?! Ketemu lagi dengan saya Rhoma Wedhus Kapurbarus, yang punya wajah heavy metal tapi hati karet sendal. Hahahah. Sembari diiringi lagu Cuek-nya Rizky Februari, kita jalan-jalan di pinggir pantai yang rumantis ini. Hahhahaa, eaaaa, aseeekk. Hahaha. Nah, hari ini saya mau mencoba nge-vlog ini ya. Nge-vlog yang... apa sih ya kuwe jenenge... nge-vlog yang isine wawancanda, wawancara sambil bercanda dengan tamu kita hari ini, mbak Ririn Dwi Areola. Eh... lha kok malah areola si. Hahaha... salah nyonge, hahaha. Maapin becanda, Mbak Ririn. Selamat datang di vlog saya...”

Seorang wanita kemudian muncul di sebelah sang youtuber yang baru saja membuka intro di layar iPad yang tengah dipegang oleh Rizka, ia memperhatikan gerak-gerik sang youtuber yang lumayan populer secara lokal dengan sebutan Rhoma Wedhus itu sembari mengecilkan volume channel yang tengah ia tonton.

“Bagaimana, Mbak? Apakah berminat?”

“Kenapa saya?”

“Gimana, Mbak?”

“Kenapa kalian memilih saya?”

Ratih dan Roger saling berpandangan dan tersenyum, Ratih mendekat ke Rizka. “Karena Mbak ini meskipun sudah berkeluarga tapi awet muda seperti anak kuliahan yang imut, cantik, dan menarik. Mbak juga punya suara yang merdu kalau kami lihat saat cover lagu di Instagram. Sangat potensial sekali. Wajah cantik menarik berkerudung, berkulit putih, dan tubuhnya sangat sesuai seandainya kami ada endorse baju dan pakaian yang masuk.”

Rizka masih menimbang-nimbang, “Sebentar... sebentar... coba saya ulang lagi supaya saya jadi lebih paham. Jadi ini saya hendak dikontrak untuk berperan sebagai pacar settingan si Mas Youtuber ini, begitu?”

“Iya, Mbak.” Ratih tersenyum, “Mbak kan tahu kalau sekarang ini banyak Youtuber-Youtuber yang populer gara-gara konten prank, vlog keseharian, komedi receh, dan lain-lain. Nah salah satu potensi untuk menarik minat subscriber itu adalah dengan menggabungkan sosok Youtuber yang... ehem... biasa-biasa saja dengan sosok pacar yang cantik yang bakal kena prank melulu. Kontennya nanti sebenarnya kebanyakan memang prank dan ngerjain orang tapi itu tidak benar-benar kejadian kok, Mbak. Tidak ada yang benar-benar prank, semuanya sudah kita setting, bahkan Mbak Rizka pun akan kami briefing prank-nya seperti apa. Tinggal nanti Mbak Rizka berakting kaget, sedih, marah, dan sebagainya tergantung naskah. Nah, sukses tidaknya pengambilan video tentu akan tergantung pada akting dan chemistry sang youtuber dan talent pemeran pacarnya.”

“Oalah, jadi selama ini yang punya akun-akun prank itu ternyata hubungan pacarannya abal-abal ya? Settingan? Konten prank kadang-kadang emang agak gimana gitu sih ya, agak aneh gitu. Masa iya ada cewek yang di-prank tiap hari ga sadar-sadar.” Rizka mengangguk-angguk sembari mengamati beberapa pasangan couple di Youtube yang dijadikan contoh dan muncul di layar iPad, “pantesan ceweknya mau dipacarin youtuber kelas receh yang jamet kuproy gitu. Hihihi.”

“Uhug.” Si Rhoma Wedhus agak tersinggung dan terbatuk dengan sengaja saat mendengar istilah ejekan yang baru saja dilontarkan Rizka – meskipun si cantik itu tidak benar-benar sengaja menghina.

Ratih pun membenahi, “Hahaha, ya tidak semua, Mbak. Ada yang beneran pacaran, bahkan akhirnya menikah. Youtuber itu istilah simpelnya ya, Mbak. Istilah profesionalnya: content creator. Kalau boleh jujur nih, justru konten-konten receh begini malah yang nonton buanyaaaak banget, Mbak. Ladang pendapatan di masa yang tidak karuan.”

“Hahaha, oke deh. Jadi kalau buat aku kontraknya gimana nih? Harus jelas juga kan?”

Ratih kemudian membuka map dan meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja ruang tamu Rizka. “Nah gini, Mbak. Kami dari Robekrobek Entertainment mengajukan penawaran buat Mbak Rizka supaya mau dikontrak menjadi pacar online dari Mas Rhoma Wedhus ini selama setengah tahun dengan jumlah vlog minimal seminggu satu hingga dua kali tergantung konten dan minat netizen. Gaji pokok perbulan dan besaran royalti sudah tertera sesuai di kontrak yang Mbak pegang, semakin ramai channel mas Rhoma Wedhus, semakin banyak Mbak Rizka mendapatkan royalti sesuai kuantitas penampilan Mbak di vlog tersebut. Kami berhak memutus kontrak seandainya jumlah viewer menurun, terjadi force majeur, ataupun ada masalah di akun Youtube Mas Rhoma.”

Rizka mengangguk, jumlah subscriber-nya lumayan juga, si Rhoma Wedhus ini. Jumlah angka di kontrak pun menggiurkan. Kalau beneran oke, bisa membantu si Akang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka sekaligus mengembangkan usaha. Ini kan menarik sekali. Kira-kira suaminya mengijinkan tidak ya?

“Apa saja SOP-nya?”

“Baik, pertama Mbak Rizka boleh ganti pakai nama samaran apa pun supaya kehidupan pribadinya tidak ke-publish di publik, paling tidak sampai nanti kami mendapatkan ganti atau ada perjanjian kontrak lebih lanjut. Kita semua sama-sama cari aman. Silakan membuat akun instagram baru seandainya dibutuhkan, private akun instagram yang sekarang supaya tidak terlihat oleh orang lain.”

“Oke... lalu?”

“Yang kedua – selama kontrak kami meminta Mbak Rizka menunda kehamilan supaya tidak membuat kru kami menjadi kerepotan untuk menutupi kehamilan Mbak Rizka ke depannya. Baik untuk pengambilan gambar, pencarian konten dan plot cerita, semua akan jadi kacau kalau Mbak Rizka dan suami kebobolan.”

Rizka tentu saja lemas mendengarnya. Dia sedang menjalankan program untuk memiliki keturunan. Tapi kalau hanya sementara sepertinya tidak apa-apa. “Bagaimana kalau saya ingin memutuskan kontrak?”

“Setelah selesai setengah tahun baru Mbak Rizka bisa memutus kontrak. Kurang dari waktu itu tentu saja akan terkena penalti. Silakan dipertimbangkan.”

“Oke, syarat berikutnya?”

“Yang ketiga – selama setengah tahun ke depan, Mbak Rizka harus merahasiakan hubungan dengan suami di media sosial yang baru. Agar yang tidak kenal dengan Mbak Rizka tahunya Mbak masih single. Seandainya hubungan dengan suami terbongkar, kami dapat langsung memutus kontrak ataupun melanjutkan vlog dengan catatan tertentu nantinya.”

Rizka mengangguk-angguk, rasanya semua syarat dan ketentuan wajar adanya.

“Ada lagi yang mau ditanyakan?” Roger menyodorkan kontrak untuk ditandatangani oleh Rizka.

Rizka menghela napas panjang.

Keputusan besar.

Setengah tahun lho.

“Boleh saya bicara dengan suami saya terlebih dulu?”

“Silakan. Kami akan menunggu keputusan dari Mbak Rizka sampai akhir pekan ini. Tentu saja ya dan tidaknya lebih cepat lebih baik karena kami akan segera melakukan restrukturisasi vlog-nya Mas Rhoma Wedhus untuk mengakomodir framework dan template baru kita nantinya,” ujar Roger sembari tersenyum dan menyodorkan kartu nama. “Silakan hubungi kami di nomor ini, bisa ke nomor saya atau ke nomor Ratih.”

Rizka mengangguk.





.::..::..::..::.





Raka menyeruput kopinya.

Hmm, sudah hampir habis. Sepertinya dia harus membuatnya lagi. Raka paling tidak bisa kerja kalau tidak ditemani kopi.

Sejenak kemudian ia tertawa kalau ingat sebenarnya Raya yang membuatkan segelas kopi yang sudah hampir habis itu. Entah kenapa justru istri sahabatnya itu yang sangat hapal dengan takaran kopi yang selalu ia buat, sementara di rumah Rizka sangat jarang atau bahkan tidak pernah menyiapkan kopi yang ia sukai.

Raka menggeliat, melepas penat.

Kode-kode pemrograman di layar monitornya membuat Raka sedikit mengantuk. Setelah ini, lalu itu, setelah itu, lalu ini, lalu itu, lalu ini. Di-compile, di-run, di-edit. Begitu terus sampai Belanda datang lagi. Raka menguap.

Usai menjalankan rutinitas melakukan maintenance program dia juga harus membereskan salah satu aplikasi yang ada di bagian HRD. Ada bug yang cukup mengganggu di aplikasi itu. Sudah sebulan berjalan, sampai sekarang masih belum ketemu salahnya ada di sebelah mana, terus benerinnya juga harus gimana. Tim IT sudah berulangkali berusaha tapi selalu saja gagal menangani, pada akhirnya mereka angkat tangan dan menyerahkannya pada Raka seorang. Yang bener aja lah.

Itu artinya dia butuh kopi lagi.

Raka melongok ke gelas yang baru saja ia minum. Hmm... akhirnya habis juga. Raka menekan tombol save di software perancangan program untuk menyimpan kode-kode pemrogramannya. Ia lalu berdiri sambil membawa mug dan bersiap menuju ke pantry kantor yang ada di ujung lorong. Raka berulang kali mengangguk pada beberapa orang teman kerja yang berpapasan dengannya, sekedar basa-basi cari aman. Raka melalui ruang programmer junior, semua sedang sibuk bekerja.

Tak lama kemudian ia hendak berjalan melewati ruang pimpinan.

Saat itulah tiba-tiba saja pintu terbuka.

Raka terkejut melihat sosok yang keluar dari ruang pimpinan – Raya.

Yang membuat terkejut bukanlah karena Raya keluar dari ruang itu, karena memang sudah tugas Raya sebagai sekretaris wajib keluar masuk ruang pimpinan. Tapi karena Raya terlihat sedang menangis dan berulang kali mengusap bibirnya dengan lengan kanan dan kiri bergantian.

Raka mencoba memanggil sang istri sahabat, “Ray...”

Raya berlari meninggalkan Raka tanpa menengok sedikitpun. Ia berlari menuju ke pantry yang sepi di jam-jam segini. Dari gerak-geriknya, Raya tadi sepertinya hendak ke toilet, namun posisi toilet ada di dekat ruang kerja. Raya yang sepertinya sedang menghindari bertemu orang lain lebih memilih berlari ke pantry.

Apa yang terjadi? Berantem sama Pak Rustam?

Raka sempat terdiam sesaat, bengong sembari membawa mug di tangan. Dia melirik ke arah pintu ruang pimpinan yang masih terbuka lebar. Di dalam sana, di sebalik meja, Pak Rus tengah memeriksa beberapa carik kertas. Pak Rus juga melihat Raka. Mereka berdua saling bertatapan. Ingin rasanya Raka bertanya... Raya kenapa? Tapi kalimat itu tak keluar dari bibirnya.

“Ah, Mas Raka,” ucap Pak Rustam.

“Iya, Pak?”

“Bisa minta tolong tutup pintunya?”

“Ba-baik, Pak.”

Raka pun menutup pintu ruang pimpinan. Senyum di bibir Pak Rustam tadi... terkesan berbeda. Ada perasaan aneh yang membuat Raka penasaran. Pasti ada yang tidak beres. Apa ya yang terjadi? Buru-buru Raka mengejar istri sahabatnya ke arah pantry. Lumayan cepat juga lari si Raya.

“Ray? Kamu kenapa? Apa yang terjadi?”

Ketika dia masuk, Raya tengah mencuci mulutnya di wastafel, berulangkali ia mengusap air dan meludahkannya sembari menangis tersedu-sedu. Ada apa ini?

“Ray?”

“Diam! Jangan banyak tanya!”

“Ray...?”

“Diam dulu doooong, please... bisa diam tidak?”

Raka terdiam, membiarkan Raya melakukan apa yang dia inginkan, sudah jelas kalau wanita jelita itu tengah terguncang. Tidak biasanya Raya berperilaku seperti ini. Raka duduk di kursi yang ada di samping meja makan. Sekalian saja Ia mengambil kopi, krim, gula, dan air panas dari dispenser, lalu mengaduknya. Ia melirik ke arah Raya yang masih menangis di dekat wastafel.

“Aku di sini kalau kamu mau cerita. Aku tidak akan pergi kemana-mana sampai kamu tenang.”

Raya mendengus-dengus dengan kesal, matanya sembab. Mulutnya masih terkunci rapat, emosinya masih meledak-ledak sekaligus kacau balau. Sesaat kemudian Raya memejamkan mata, mengambil napas panjang, dan menghembuskannya. Sekali, dua kali, tiga kali.

Ia mengambil kursi dan duduk di dekat wastafel, menundukkan kepala.

“Ray?”

Ada hening sebelum akhirnya Ray menjawab, “Aku tidak apa-apa.”

“Tidak mungkin tidak apa-apa. Aku hapal seperti apa kamu sehari-harinya. Ini bukan kamu, Ray.”

“Kalau aku bilang aku tidak apa-apa ya aku tidak apa-apa.” suara Raya terdengar ketus.

“Aku akan terus berada di sini sampai kamu cerita.”

“Ih, kamu nyebelin banget sih! Udah sana balik ke meja kamu! Kerja sana!”

“Aku hanya akan balik ke mejaku, kalau kamu beneran tidak apa-apa. Tapi aku yakin seratus persen kamu sedang apa-apa. Jadi apa yang terjadi, Ray?”

“Ih dibilangin! Aku tidak apa-apa! Harus berapa kali aku ngomong?”

“Tidak butuh berkali-kali. Cukup sekali saja. Tapi jujur, kamu kenapa.”

Raya cemberut.

Raka berdiri, mengambil mug dari tempat gelas, menuang gula, air panas, dan mencelupkan satu sachet teh. Ia menyelipkan satu sendok teh ke dalam mug dan meletakkannya di samping Raya. Saat dekat dengan Raya, ia melihat ada garis air mata menetes tanpa bisa ditahan oleh sang teman kerja. Jadi benar kan? Dia sedang tidak baik-baik saja.

“Minum selagi hangat.”

Raya menatap Raka dengan pandangan berterimakasih, lalu mengangguk. Sahabat Romy itu lantas mengambil tissue dan menghapus tetes air mata dari pipi Raya. Ibu muda jelita itu jadi kikuk. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini di depan Raka.

“Terima kasih.” Wajah Raya memerah.

“Gapapa. Santai aja. Jadi gimana? Apakah ada sesuatu yang mau kamu ceritakan padaku? Siapa tahu aku bisa membantumu, Ray. Aku bisa kerja di sini karena kamu. Kalau kamu kenapa-kenapa, aku tidak akan pernah berhenti menyalahkan diriku sendiri.”

Ringtone smartphone Raka berbunyi.

“Sebenarnya aku tidak ingin cerita, tapi...” Raya kembali sesunggukan, mungkin ia terbayang pengalaman tidak menyenangkan yang baru saja ia alami.

“Tapi apa?”

Telpon terus berdering. Raka jadi risih. Siapa sih ini yang menelpon smartphone-nya dengan membabi-buta begini? Dia merasa kasihan pada Raya yang sudah mulai membuka cerita. Raka melirik ke arah ponselnya. Oalah, si Rizka.

“Istriku. Aku angkat dulu ya.”

Raya mengangguk sembari menghapus air matanya. Ia mengangkat kedua kaki ke tempat duduk, dan memeluk pergelangan kakinya dengan rapat sembari mencoba menenangkan diri. Sesekali Raya mengambil mug dan menyeruput teh hangat yang disiapkan oleh Raka. Si cantik itu benar-benar terguncang dengan apa yang baru saja terjadi.

Raka geleng-geleng kepala melihatnya. Apa yang telah terjadi?

Pria itu menekan tombol terima.

“Halo?”

Terdengar bunyi seorang wanita bicara. Raya tak bisa mendengar karena suara itu terlampau kecil dan jauh. Ia kenal istri Raka dengan baik, sangat jarang Rizka menghubungi Raka kalau tidak benar-benar karena urusan penting.

“Ya. Ini aku sama Raya. He’em. Lagi di pantry. Apa yang... oh? Oh really? Seriously? Mereka nawarin kamu itu?” Raka mendengarkan istrinya bicara dengan serius, namun ia sendiri tidak fokus. Sesekali ia melirik ke arah Raya yang menyeruput teh hangatnya. Setidaknya ia bisa menenangkan istri sahabatnya itu, walaupun dari getaran tubuhnya sudah pasti Raya masih sangat terguncang.

“Hem... yakin itu legit? Aman? Sudah kamu cek ke instagram, website, dan lokasi fisik kantornya? Beneran ada ga? Oh itu bekas tempat kerja salah satu suami temanmu? Sudah cari-cari informasi? Begitu ya... si Youtuber ini sendiri gimana dia? Aman?” Raka menatap Raya dengan tajam, sementara si cantik itu juga menatapnya balik sembari menyeruput teh hangatnya kembali. “Hmm... oke, oke...”

“Kenapa?” bisik Raya bertanya. “Penting? Aku pergi dulu saja ya?”

Raka menggeleng kepala dan melambaikan tangannya pertanda ia meminta Raya tetap di tempatnya. “Oke, paham... paham... ya, kalau memang sudah dihitung untung ruginya, ya terserah kamu aja, sayang. Aku sih pada dasarnya mengijinkan. Iya... iya...”

Raka seperti mendengarkan, tapi sebenarnya tidak memperhatikan. Dia benar-benar terserap pada sosok yang tengah rapuh di hadapannya. Terdengar suara balasan.

“Oke... oke. Dah sayang... eh oh iya, hari ini aku lembur ya, pulangnya agak malam nanti. Ga usah ditungguin, maem malam aja dulu. Iya. Iya. I miss you too. Dah sayang.”

Klk.

Telpon ditutup, percakapan berhenti.

Raka mendatangi Raya kembali. Ia berlutut di depan istri sahabatnya itu.

“Rizka?” tanya Raya yang langsung dibalas anggukan kepala Raka, “Kenapa? Tumben telpon kamu.”

“Gapapa. Dia dapat tawaran project panjang buat Youtube gitu dari production house. Lumayan buat nambah-nambah” jawab Raka. “Kalau soal cuan mah, ayo aja aku tuh. Hehehe. Lagipula daripada dia bengong aja di rumah, ngerumpi ke tetangga atau tukang sayur. Mending begini.”

“Dasar.” Raya tersenyum, setelah sekian lamanya ia bermuram durja. “Istri kamu cantik banget, tulus banget sayangnya sama kamu. Dijaga baik-baik jangan sampai lepas.”

Raka tersenyum dan mengangguk. Sesaat kemudian Ia menatap Raya dengan pandangan yang berbeda, ia mendapati sesuatu yang berbeda di wajah Raya, sesuatu yang mengkhawatirkan. Untuk pertama kali dalam hidup Raka mengucapkan sesuatu yang tak disangka-sangka, “Kamu juga cantik. Cantik banget.”

Raya sedikit terkejut dengan perkataan Raka itu. Wajahnya memerah, ia menunduk. Antara malu tapi juga sedih. Wanita berparas jelita itu sedikit meneteskan air mata, teringat apa yang terjadi tadi di ruangan pimpinan. Kalimatnya serak ketika terucap, “Cantik itu luka.”

“Dengar, aku mau kamu tahu kalau aku di sini mendukungmu seratus persen. Seratus persen aku ada di sini buat kamu. You jump, I jump. Jadi tolong ceritakan apa yang terjadi tadi. Please Ray, aku juga tersiksa melihat kamu seperti ini. Ini bukan kamu banget.”

Raya mendongak dan menatap Raka dengan pandangan sayu. “Aku mau resign.”

Raka terperangah. “Hah!? Kenapa?”

Raya tersenyum dan menatap sang sahabat dengan pandangan sendu, “Tidak ada apa-apa yang terjadi. Tidak ada apa-apa. Aku hanya sudah penat saja bekerja di sini, sudah terlalu lama. Aku butuh tantangan baru. Sesuatu yang berbeda, menjauhi zona nyaman.”

Jelas itu alasan yang dibuat-buat. Hari ini Raya terlihat bersemangat dan sangat mencintai pekerjaannya, tapi hanya dengan satu kunjungan ke ruang pimpinan, tiba-tiba saja istri sahabatnya itu berubah sikap bahkan mau mengundurkan diri dari pekerjaannya. Zona nyaman apanya.

Tapi Raka tetap berdiri, berusaha menghormati apa yang diucapkan oleh Raya.

“Okelah kalau begitu.” Raka mengangkat bahunya. Ia berjalan meninggalkan Raya hingga akhirnya ia sampai di dekat pintu pantry. Tanpa menengok ke belakang, Raka bertanya, suaranya berat dan dalam. Ia mengucapkannya sembari menahan berang, “dia melecehkanmu?”

Raya tersentak mendengar ucapan itu. Jantungnya seperti diremas oleh kenyataan yang sangat tidak menyenangkan yang terjadi. Air matanya menetes tanpa bisa ia kendalikan, dia sangat benci kalau itu terjadi. Raya salah satu orang yang tidak pernah ingin terlihat lemah di hadapan siapapun dan jelas dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Raka.

Tapi ini benar-benar di luar kendalinya.

Si jelita itu gemetar.

Raka menengok ke belakang dan terbelalak melihat wanita paling tegar yang pernah ia temui itu hancur berantakan dalam tangis. Segera ia menutup pintu pantry dan menguncinya. Lalu berjalan ke arah Raya tanpa banyak bicara. Ia merunduk dan memeluk istri sahabatnya itu.

Raya langsung menangis hebat di pelukan Raka.





.::..::..::..::.





Untuk ukuran lobi hotel yang ada di kota yang berada di seberang pulau utama, lobi hotel ini cukup mewah dan luas, mungkin sekelas bintang tiga atau empat. Pelayanannya ramah, kamarnya bersih dan rapi, makanannya juga enak. Ryan memberikan lima bintang dan memberikan review positif di aplikasi maps untuk hotel tempatnya menginap sekaligus mengadakan pertemuan kantor. Cukup memuaskan.

Ia menggoyangkan pergelangan tangan untuk melihat ke jam tangan. Sudah saatnya makan malam, mana nih si Robin kok tidak turun-turun dari kamar? Pandangan Ryan beralih ke lift dan berharap setiap kali pintu terbuka, itu adalah Robin. Karena Ryan sudah lapar berat.

Ryan berdiri dari duduknya dan meregangkan badan. Setelah sampai ke kota ini langsung dibagi kamar, briefing sebentar dan pembagian jadwal untuk esok hari. Malam ini dia bisa santai-santai di kota sama Robin. Lumayanlah. Eh, Rima sedang apa ya? Kangen juga nih sama istri dan anak-anaknya.

Ryan baru akan menekan tombol hubungi ketika ada suara merdu memanggil.

“Mas Ryan?”

Ryan celingukan. Siapa yang baru saja memanggil namanya? Eh, benar namanya yang dipanggil kan ya? Tidak ada orang lain di sini yang punya nama yang sama? Ryan menenggak minuman kaleng berperisa buah yang baru saja ia buka tutupnya dan meletakkannya di atas meja. Sungguh mati ia jadi penasaran. Siapa yang baru saja memanggil?

Jelas bukan Robin. Dia baru saja pamit ke atas untuk mengambil dompetnya yang tertinggal di kamar. Rencananya mereka berdua akan berjalan-jalan mencari makan malam di sepanjang jalan yang sejajar dengan hotel.

“Mas Ryan, kan?” satu tangan lembut menyentuh pundak Ryan.

“Iya. Ada yang bisa saya...”

Seorang wanita jelita berdiri di depan Ryan yang terperangah. Siapa yang tidak akan terpesona melihat keindahan di depan matanya saat ini. Seorang wanita berparas dewi dengan kerudung apik nan rapi, kulit putih bersih, mata berpendar indah, lekuk tubuh yang bodygoals, dan gerakan badan gemulai. Ia mengenakan seragam yang mirip dengan karyawan administrasi hotel.

“Re... Reva?”

Reva Devina tersenyum manis melihat sang mantan berdiri dengan gagah di hadapannya. Sudah berapa purnama mereka tidak berjumpa? Terakhir kali mereka bertemu adalah di resepsi pernikahan Ryan dan Rima.

“Apa yang kamu...”

“Apa yang...”

Ryan dan Reva sama-sama tertawa. Ini persis seperti bertahun-tahun yang lalu saat mereka masih bersama, yang satu selalu ingin berbicara tepat bersamaan dengan yang lain. Ya, di masa itu, di saat mereka masih bersama...

Ryan tersenyum, “Kamu dulu deh. Ladies first.”

“Hihihi. Apa yang kamu lakukan di sini, Mas?” tanya Reva. “Aku pikir kamu tidak akan pernah menjejakkan kaki lagi di kota ini. Apa yang menyebabkan kamu kembali ke sini? Ditugasin di sini lagi?”

“Hahaha, sayangnya tidak. Aku hanya dinas saja. Ada pertemuan dengan kepala cabang sini. Kamu sendiri? Kenapa ada di hotel ini?”

“Kelihatan kan dari seragamnya? Hihihi. Aku kerja di sini, Mas.”

“Hah? Oh ya ya?”

“Hihihi. Iya, Mas. Berhubung anakku sudah gede, sudah bisa ditinggal, aku kerja lagi. Lumayan bisa dapat kerjaan sebagai marketing di sini. Biasalah, lewat orang dalem. Hihihi.”

Ryan tersenyum. Tidak ada bedanya, Reva yang ceria dan cantik memang sangat cocok bekerja di hotel, dulu bahkan sempat ikut tes menjadi pramugari saat mereka berdua masih berpasangan. Dengan keramahan, kebaikan, dan kecantikannya, Reva sebenarnya tidak perlu mencari kerja di kala itu, kerja yang akan mencari dia... sayangnya kerja yang tentunya berhubungan dengan pamer paras. Kecuali menjadi pramugari, Reva menolak pekerjaan-pekerjaan yang semacam itu.

“Seneng banget Mas, bisa ketemu kamu.” Reva tersenyum lagi.

“Sama, aku juga. Eh, shift malam atau gimana? Marketing kok masuk sampai malam?”

“Aku ada rapat barusan sama pimpinan. Sebentar lagi kan musim liburan, biasalah.”

“Oh ya ya. Berarti ini udahan nih kerjanya? Mau pulang?”

“Iya. Kenapa?”

“Err... Va, aku agak lama tinggal di kota ini, bisa tiga sampai lima hari. Kayaknya seru kalau kita bisa jalan-jalan seperti dulu. Gimana? Apa kamu minat? Eh, tentunya dengan seijin suamimu. Aku tidak mau ada yang salah paham. Kalau perlu dia juga diajak. Seperti malam ini misalnya, kami kepengen makan seafood. Siapa tahu kamu ada rekomendasi.”

“Begitu ya?” Reva tersenyum dan sepertinya berpikir keras, tapi kemudian dia tertawa seakan-akan tidak memerlukan waktu yang panjang lebar untuk mengambil keputusan, “Hihihi, ayo aja ih. Kapan lagi kamu datang ke kota ini? Berapa orang yang bareng sama kamu? Siapa tahu aku bisa ajak temen juga. Kalau aku sih selalu bisa keluar jam segini sampai jam sembilan. Adikku dan suaminya yang akan mengasuh anakku. Sudah biasa mereka dititipin.”

“Lalu, ehm... suamimu?”

“He’em. Kalau suamiku tidak boleh gimana, Mas?”

“Ya sudah, batal. Hahaha. Masa ya mau kita terusin jalan-jalannya.”

Reva mengangkat bahunya dan tersenyum, “Yakin mau batal saja kalau tidak boleh?”

“Yakin.” Ryan mengangguk. “Aku sangat-sangat ingin jalan bareng sama kamu lagi, tapi tidak dengan melewati batas kesopanan dan etika. Kalau memang suamimu tidak berkenan, ya aku tidak akan memaksakan. Aku bisa paham kok. Lagipula...”

“Lagipula apa?”

“Lagipula bertemu denganmu seperti ini saja aku sudah sangat bahagia. Asli, entah kenapa rasanya jadi adem banget di hati.” Ryan berkata dengan jujur, “Sudah sejak lama aku ingin mendengar kabar tentangmu. Jadi saat akhirnya bertemu kembali, rasanya itu sudah cukup memberikan jawaban bagiku.”

Tiba-tiba saja Reva tertawa sembari menutup mulutnya dengan tangan. Meskipun geli, ia tetap berusaha sopan.

Ryan tertegun dan malu. Apa ada yang salah ya yang dia ucapkan? Dia melirik ke kanan dan ke kiri, takut ada yang memperhatikan mereka berdua. “Ke-kenapa?”

Reva memukul pelan pundak sang mantan, “Aku cuma becanda, Mas. Maaf ya.”

“Becanda?”

“Iya. Santai saja, Mas. Aku sudah bercerai. Bahkan mantan suamiku sudah menikah lagi. Jadi aku tidak perlu minta izin ke siapapun buat jalan sama kamu. Kalau kamu sendiri bagaimana? Takutnya istrimu nanti marah kalau tahu suaminya jalan sama aku. Sudah mantan pacar, janda pula. Hihihi. Double kill. Kalau itu suamiku, sudah aku rebus pake minyak tawon tuh.”

“Hahahaha. Eh, ehm... istriku.. san-santai kok. Jadi kamu sekarang sudah cerai?”

“Iya. Kami ada ketidakcocokan yang terlalu mendasar, setiap hari berantem.” Reva melirik ke arah Ryan yang parasnya berubah. Wanita jelita itu pun mengedipkan mata, “Kenapa? Bahagia dengernya? Bahagia denger aku sekarang jadi janda sementara kamu hidup bahagia sama istri kamu? Puas ya berdiri di atas penderitaan mantan? Hihihi.”

“Lah, ga gitu juga, Va.”

“Iya... iya...”

“Eh itu temenku datang.” Robin keluar dari lift menuju ke arah Ryan dan Reva. “Jadi... kamu sekarang jadi janda ya?”

“Ish. Asem. Tidak usah diulang-ulang.” Reva mencubit perut Ryan dengan main-main.

“Hahahaha, maaf... maaf... Eh, Rob, kok baru turun? Kenalin nih.” Ryan memperkenalkan rekan kerjanya pada sang mantan.

Robin terperangah melihat kecantikan wanita di samping Ryan. Buset si Ryan, nemu aja yang beginian. Kontestan Putri Indonesia dari provinsi mana pula ini? Robin mengulurkan tangan, mencoba menghormati. “Selamat malam. Saya Robin.”

“Reva.” Reva membalasnya.

“Ryan.”

Robin menjulurkan lidah, “Lha kamu ngapain juga ikut kenalan? Dasar! Ga penting, ah.”

“Hahaha, jadi si Reva ini yang bakal menemani kita jalan-kalan kulineran dan nongkrong selama kita berada di kota ini, Rob. Aku sebenarnya juga pernah tinggal di sini, tapi sudah agak lupa kuliner mana-mana saja yang oke. Jadi kita guide. Supaya ramai, nanti dia bakal ajak temennya juga. Bener ya, Va?”

“Iya. Nanti aku ajak temenku juga. Kita bisa pergi berempat. Kalian ada kendaraan?”

“Ada... ada... disewakan sama kantor. Kita bebas mau kemana saja kalau selepas jam enam sore, mau ngajak makan di mana?” Robin menarik kunci mobil dari kantongnya dan memainkannya di tangan.

“Oke nanti kita coba cari ya. Aku ke belakang sebentar, ganti baju dan bersiap. Nanti akan aku ajak temenku juga untuk teman ngobrol. Dia single, by the way. Hihihi.”

“Awas Rob, macem-macem aku laporin ke ibu negara.”

“Wooo. Asem.” Robin menganggukkan kepala, “Ya udah, Mbak. Gapapa. Kita tunggu saja di sini. Sembari mencari-cari wisata kuliner di maps juga. Malam ini kayaknya seafood oke juga.”

“Siap. I’ll be ready in twenty minutes, is that okay?” tanya Reva pada Ryan.

“Gapapa. It’s okay. Take your time.” Ryan mengangguk dan tersenyum.

“Oke, makasih. Just stay here. I’ll be right back.” Reva pun buru-buru mengundurkan diri dan masuk ke ruang karyawan. Ia berbincang dengan salah satu rekan yang cukup cantik. Mungkin itu yang mau dia ajak pergi. Keduanya cekikikan bersama, melirik ke arah Ryan dan Robin, lalu cekikikan lagi dan akhirnya masuk ke ruang karyawan.

Robin memukul pundak Ryan. “Asyu. Ngepet. Nemu wae.”

“Maksudnya?”

“Nemu aja barang bagus.”

“Barang bagus gimana?”

“Itu yang barusan? Dapet dari mana? SSI level dewa ya? Kamu pakai pelet model apa bisa ngajakain cewek secakep itu jalan?”

“Ya bisalah. Itu tadi kan mantanku.”

“Haaaah!? Serius demi apa?” Robin terbelalak, “Asyu pancene. Bojomu ayune ra umum, mantanmu ayune ra umum. Beli jimat di mana sih, Bro? Aku mau satu. Asem tenan. Tapi awas lho, Bro. Ingat istri di rumah menunggumu. Sudah nikah kan si Reva tadi?”

“Pernah menikah, sekarang janda.”

“Haaah!?”





.::..::..::..::.





“Terima kasih.”

“Terima kasih kenapa?” Raka tersenyum sembari mengendalikan motornya yang meliuk-liuk melalui kemacetan. Hingga selepas sore hari sepulang kerja, jalanan kota masih saja macet bahkan semakin menjadi. Itu sebabnya Raka lebih memilih mengendarai motor ketimbang mobil, karena ia bisa leluasa bergerak melalui kemacetan dengan bebas.

Saat ini Raya tengah membonceng di belakang, sesekali erat memeluk Raka saat ia mengendarai motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Ketika kemudian mereka berjalan perlahan dan memasuki perlintasan lampu merah, barulah Raya melepaskan pelukannya dan bisa berbincang sebentar.

“Yang pertama, terima kasih karena sudah membantu menenangkanku... aku malu tadi menangis seperti itu. Jangan ceritakan sama Mas Romy ya.”

He’em. Tapi kenapa harus malu? Itu wajar saja kan.”

“Pokoknya jangan cerita ke siapa-siapa.”

“Oke.”

“Lalu yang kedua, aku juga mau berterimakasih karena kamu masih berkepala dingin, tidak lantas gegabah masuk ke ruangan Pak Rus dan membabi-buta menghajarnya. Itu akan membuat kita berdua kesulitan di mata hukum. Aku benci jadi korban yang tidak berdaya seperti tadi, membuat aku tidak bisa berpikir jernih. Banyak hal yang tiba-tiba masuk ke kepalaku jadi aku melakukan hal yang seharusnya tidak aku lakukan.”

“Sebenarnya tidak berkepala dingin juga. Itu karena kamu menghentikanku, aku tadi sudah geram banget pengen masuk ke ruangannya. Kita harus memberinya pelajaran. Tidak boleh seorang pimpinan melecehkan karyawan seperti itu. Kita harus melaporkannya ke pihak yang lebih tinggi lagi atau malah sekalian melaporkan ke pihak yang berwajib.” Raka mendesah, “meskipun kalau jalan itu yang kita tempuh, kita sama-sama harus bersiap dipecat atau resign.”

“Emang kamu siap? Rizka masih butuh pemasukan, kamu butuh banyak pemasukan, aku juga butuh pemasukan. Aku tahu kondisi finansial kalian, kamu juga tahu bagaimana kondisiku dan Mas Romy. Kalau memang kamu mau keluar, kamu harus mencari pekerjaan lain terlebih dahulu sebelum gegabah melangkah.”

“Lebih baik aku menganggur daripada bekerja untuk seorang atasan yang kurang ajar dengan wanita. Bajingan itu mengira dia bisa memanfaatkan kondisimu.”

Raya tersenyum. “Terima kasih karena sudah memberikan semangat dan dukungan.”

Lampu menyala hijau.

Raka tidak menjawab, tapi dia tahu dia tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Raya. Motornya kembali melaju dan meliuk melewati jalanan kota. Melahap setiap tikungan dan belokan dengan mulus, Raka memastikan kalau Raya benar-benar nyaman.

Hingga sampai di belokan terakhir, untuk sampai di rumah Romy dan Raya.

“Mau sampai depan rumah atau di sini saja?”

“Di si...” Awalnya Raya tersenyum tapi sesaat kemudian ia terdiam, pikirannya kembali teringat saat ia berada di ruangan yang sama dengan Pak Rustam. Saat ia harus jongkok, membuka mulutnya, memejamkan mata, membiarkan bau menyengat tak sedap menusuk hidungnya, dan ketika ia harus... ketika ia kemudian harus...

“Gimana?” tanya Raka.

Raya menggelengkan kepala. “Boleh aku minta sesuatu?”

“Apa itu?”

“Sepertinya aku masih butuh waktu untuk bisa pulang dengan tenang. Aku tidak ingin Mas Romy khawatir berlebihan.”

“Dia suamimu, sudah kewajibannya mengkhawatirkanmu. Berbincang-bincanglah dengan dia untuk memutuskan langkah selanjutnya.”

“Aku tahu, seharusnya memang begitu... tapi akhir-akhir ini dia punya banyak hal yang harus dia pikirkan, proyeknya ada yang merugi – dan ia harus menutup dana hutang yang cukup besar. Aku bukannya membantu malah menambah bebannya. Belum lagi beban anak dan orang tua.”

“Semua memang sedang susah, aku pun begitu. Banyak sekali cicilan yang harus aku bayar. Aku beruntung Rizka tadi mendapatkan proyek tambahan. Tapi yang kamu alami tadi itu kasus, tidak boleh didiamkan begitu saja. Coba ajak ngobrol Romy, dia pasti tahu apa yang harus dia lakukan, Ray. Aku percaya padanya.”

“Mungkin... mungkin juga tidak. Ah, aku tidak tahu. Aku mau ke cafe sebentar, menenangkan diri sembari minum kopi dan dengerin musik Jazz yang santai. Setidaknya sampai nanti mereka tutup cafe-nya. Mau ikut?”

Raka tersenyum lembut, “Yakin? Apa tidak sebaiknya pulang ke rumah dulu? Romy pasti akan...”

“Mau ikut atau tidak? Jawabannya hanya dua itu saja.” Raya mengangkat bahunya, bersiap hendak turun dari boncengan motor. “Kalau kamu tidak mau menemani, aku akan pesan ojek online. Simpel kan? Hidup jangan dibikin ribet.”

Raka tertawa kecil, “Kamu itu memang...”

“Memang apa?” Raya mencibir.

“Memang lain daripada yang lain.” Mana tega Raka membiarkan Raya sendirian terutama dalam kondisi terguncang seperti saat ini, “Ya udah ayo.”

Raya tersenyum manis dan kembali pada posisi semula di jok belakang motor Raka.

Raka menurunkan kaca helmnya dan menjejakkan kaki di starter. Motor itu kembali melaju ke jalan raya, menuju kota kembali. Raya melirik ke arah rumahnya dan memejamkan mata, ia memeluk Raka yang melarikan motornya dengan kencang.

Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk di sebuah cafe, saling berbincang ngalor ngidul, membicarakan peluang pekerjaan di tempat lain, membicarakan teman kerja, membicarakan pasangan masing-masing, membicarakan semua hal kecuali yang hari ini terjadi pada Raya.

Sampai akhirnya malam telah larut.

“Sudah terlalu malam, istriku pasti sudah menunggu.” Raka tersenyum, “begitu juga Romy.”

Raya mengangguk. Sedih. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum, tangannya menangkup tangan Raka. “Sebenarnya aku ingin lebih lama lagi ngobrol sama kamu. Aku jadi lebih tenang. Terima kasih. Ini dari hati yang paling dalam, terima kasih. Kamu sahabat yang hebat.”

“Apapun untuk kamu, Ray.”

Mereka berdua berpelukan. Erat. Sangat erat.

Saat Raya dan Raka sama-sama menarik pelukan mereka, keduanya terhenti ketika wajah masing-masing hanya berjarak beberapa sentimeter. Bahkan sebelumnya pipi mereka bergesekan. Mata keduanya bertaut, saling mencoba memahami, saling mencoba mengerti, saling mencoba melindungi, sama-sama mencoba menahan diri.

Tapi gagal.

Entah siapa yang memulai.

Bibir mereka bertemu.

Hanya satu ciuman ringan saja, hanya beberapa detik, tapi cukup menyentakkan halilintar ke seluruh badan. Raka kaget, Raya pun tak menyangka. Mereka terkejut karena bibir mereka bertindak secara reflek. Apakah itu terjadi karena sama-sama sedang rapuh? Sedang terbawa keadaan? Atau sama-sama saling menginginkan?

“Ma-maaf.” Raka mundur. Ia merasa gegabah.

“Aku yang minta maaf. Aku yang salah...” Raya ikut mundur, dia merasa seharusnya tidak memeluk Raka terlalu erat. Ada batas yang baru saja ia loncati dan tak seharusnya ia lakukan. Ia merasa bodoh karena hari ini berkali-kali melakukan kesalahan.

Keduanya terdiam. Sama-sama tenggelam dalam kegagalan pemahaman mereka akan apa yang baru saja terjadi. Hanya terdengar alunan musik jazz di malam yang semakin larut. Sang penyanyi bersuara berat menyanyikan sebuah lagu yang merdu.

Me and Mrs Jones. We got a thing, goin’ on.
We both know that it’s wrong.
But it’s much too strong.
To let it go now
.”

Keduanya berusaha menikmati musik, sembari minum apa yang tersisa dari gelas mereka. Raka menatap mata Raya yang sekarang tak berani menatapnya balik. Semuanya jadi awkward sekarang. Sang istri sahabat menjadi serba salah, dia juga bingung harus bagaimana.

“Pulang yuk. Rizka pasti sudah nungguin kamu.” meski bergetar karena menahan rasa, Raya masih berusaha menganggap semua normal-normal saja dan tidak terjadi apa-apa.

Raka juga sebaiknya melakukan hal yang sama. “Oke.”

Keduanya bangkit, membayar apa yang mereka beli, dan pulang. Tak ada percakapan sama sekali selama perjalanan pulang. Tak ada kata terima kasih saat Raya turun di jalan dekat rumahnya, tak ada kata selamat tinggal.

Keduanya hanya diam.

Mereka berpisah dengan saling pandang.

Lalu menunduk.

Lalu pergi.





.::..::..::..::.





Malam telah larut, gelap berkuasa.

Kompleks perumahan asri yang ada di pinggiran kota menyambut saatnya beristirahat dengan suasana damai dan tenang. Pak satpam yang berjaga di gerbang utara dan selatan masing-masing menikmati waktu jaga mereka dengan menonton acara televisi tengah malam. Entah apa itu acaranya, kadang mereka sendiri juga tidak paham apa yang ditonton. Yang mereka butuhkan hanyalah semacam suara dan keramaian, bahwa masih ada juga orang yang belum tidur di jam-jam segini.

Tapi meskipun ia tidak sibuk, ia tidak akan dapat melihat satu sisi di tengah ruas jalan terdekat dengan pos satpam. Baik dari pintu gerbang utara maupun selatan, sudut itu tak nampak.

Hal itulah yang tengah dimanfaatkan oleh seorang pria.

Sepertinya tidak ada yang melihat sosoknya, Ia mengenakan baju hitam, celana hitam, dan kupluk rajut warna hitam yang digunakan sampai penuh menutup wajah. Warna hitam yang ia kenakan terselimuti kelam. Pria itu mengendap-endap di atas rumah Ryan. Kadang menyelinap dalam senyap, kadang mendekam dalam gelap malam.

Sosok itu sudah berhari-hari mengamati. Ia sudah lama mengincar rumah ini. Kalau malam rumah Ryan dan Rima ini selalu gelap selepas jam sepuluh malam, itu artinya mereka mulai tidur di kisaran jam sebelas dan dua belas. Dia jelas tidak akan berani melakukan ini kalau Ryan sedang berada di rumah. Jadi hari ini adalah hari yang paling tepat karena ia tahu pasti sang pemilik rumah sedang pergi keluar kota.

Sang pengendap-endap berhasil naik ke atap rumah Ryan setelah mendaki tembok di sisi belakang yang dekat dengan pohon milik tetangga belakang. Dilihat dari gerak-geriknya, orang ini sudah merencanakan apa yang ia lakukan hari ini selama berhari-hari. Dia hapal posisi genting rumah, ruas-ruas atap, dan bagaimana melalui titik-titik penting dari A ke Z dan sebaliknya. Ia sampai di posisi yang paling ia ketahui dan perlahan-lahan mulai membuka genting, menggesernya. Lubang hasil membuka genting itu membuka jalan ke bagian loteng yang lowong di bawah atap rumah Ryan dan Rima.

Dia berhati-hati sekali turun ke bawah supaya tidak menimbulkan suara.

Perlahan-lahan sekali. Perlahan-lahan...

Berhasil. Dia masuk ke loteng.

Sang penyusup mencoba menajamkan pendengaran. Nah benar kan? Situasi sepi sekali di dalam rumah, tidak ada suara siapapun terdengar. Padahal seharusnya ada tiga orang. Setahu sang penyusup, Ryan dan Rima memang kadang menyewa helper dan babysitter meskipun sangat jarang, tapi mereka biasanya akan pulang menjelang malam dan baru kembali lagi di pagi hari. Jadi seharusnya kondisi aman terkendali. Kalau semuanya sudah terjalin dengan sempurna, niat busuknya untuk masuk ke rumah dapat berjalan dengan lancar. Sang penyusup itu pun melangkah menuju ke sebuah pojok, tempat itu berbatasan langsung atas bawah dengan gudang.

Sang pria berkupluk membuka pintu loteng. Benar saja. Ia membuka pintu menuju sebuah ruangan yang sangat gelap. Ini pasti gudangnya. Sang penyusup melirik ke kanan kiri dan menemukan jalan turun tanpa perlu melompat. Ia berhati-hati sekali supaya tidak menimbulkan suara sedikit pun.

Sang penyusup berhasil turun, ia lantas membuka pintu gudang.

Gudang rumah Ryan dan Rima berada di sisi belakang, dekat dengan dapur dan taman mini yang cukup luas. Taman itu atasnya ditutup oleh kanopi yang membentang, itu sebabnya ia harus turun dari posisinya sekarang, bukan langsung di taman. Hal pertama yang ia lakukan adalah membuka pintu antara dapur dan ruang tengah.

Sang penyusup tersenyum, pintu itu tidak terkunci. Gila! Sungguh sangat beruntung! Jantungnya semakin berdebar. Rencana busuknya ternyata dapat memetik hasil panen yang luar biasa. Siapa sangka sang pemilik rumah ternyata kelupaan mengunci pintu belakang? Dia mengendap-endap masuk ke ruang tengah. Kosong dan gelap.

Jangan lupa membuka kunci pintu depan, seandainya nanti harus kabur.

Sang penyusup pun menuju pintu depan dengan berjingkat – ia lantas membuka kunci, gerendel, dan sedikit membuka pintu tersebut. Ini adalah jalur kaburnya nanti supaya tidak perlu repot-repot memanjat lagi lewat genting.

Sekarang... saatnya mengambil hadiah utama.

Sang penyusup mencoba membuka pintu kamar pertama. Yang berada di samping taman belakang. Ah, salah. Ini kamar anak-anak. Dia berpindah dan membuka pintu kamar kedua, yang berhadapan langsung dengan taman depan rumah.

Ia pun tersenyum bahagia.

Di sana, di ranjang, tergolek tubuh indah nan ranum.

Tubuh indah milik sang pemilik rumah yang aduhai, Rima Nur Agustin. Sang bidadari.

Duh, betapa ia selalu memimpikan saat-saat seperti ini. Saat-saat ketika dia berjingkat mendekati tubuh indah Rima yang tergeletak begitu rapuh di atas ranjang. Sang penyusup semakin mendekat, mendekat, dan mendekat.

Hmm... rambutnya yang panjang dan halus dibiarkan tergerai, kulit putih mulusnya seperti susu yang kental tanpa noda, dan daster yang ia kenakan ini. Duh... menambah gejolak nafsunya makin tak terkendali... daster itu tersingkap ke atas sampai ke pangkal paha tapi masih dilindungi oleh selimut, Sang penyusup meneguk ludah menikmati tontonan paha yang tanpa tandingan, halus dan mulus sekali – seakan-akan minta dijilati sampai habis. Lalu di ujung atas paha, gundukan terindah di dunia masih dibungkus oleh celana dalam renda warna biru muda yang apik dan manis.

Napas satu dua Rima mempertontonkan gerak dada yang naik turun. Ah, itu dadanya... dada yang benar-benar menggiurkan. Tidak terlampau besar, tapi juga tidak teramat mungil. Ukurannya cukupan. Buah dada yang sepertinya diciptakan untuk ditangkup dan diremas oleh tangan-tangan kasar seperti milik sang penyusup. Lebih asyiknya lagi, Rima kalau tidur tidak mengenakan BH yang terlalu ketat mengikat.

Ini nih.

Perlahan-lahan sang penyusup membuka selimut Rima yang hanya melindungi bagian atas dan sebagian bawah, menyingkap tubuh indah di sebaliknya. Aduh aduh ini nih memang, tubuh semolek ini kenapa harus disembunyikan oleh selimut? Tubuh yang seperti ini yang pasti tidak hanya lezat dipandang, tapi juga lezat dinikmati. Seharusnya dipertontonkan dan dibanggakan, tidak disembunyikan.

Sang penyusup menarik daster Rima. Ke atas, semakin ke atas, perlahan saja. Pelan-pelan yang penting kena sasaran. Buat apa buru-buru? Justru yang seindah ini harus dinikmati dengan penuh perasaan. Sang penyusup tersenyum, ia membuka bagian bawah kupluk yang ia kenakan sampai seluruh wajah, supaya mulut dan hidungnya terbuka.

Daster Rima berhasil ditarik ke atas dan berhenti tepat di bawah buah dadanya. Aduh aduh, mana tahan. Perut kok bisa selangsing dan semulus ini. Padahal sudah melahirkan dua anak kok ya masih menggiurkan.

Sang penyusup mengeluarkan lidahnya dan menjilat perut indah Rima.

“Nggh...” Rima menggeliat, tapi masih tetap terlelap.

Ah, memuaskan. Benar-benar wanita yang indah, perutnya saja enak.

Sang penyusup beranjak ke bawah, menjilat paha sang bidadari. Paha yang putih mulus tanpa cacat yang ibarat kata bahkan semut saja akan terpeleset. Benar-benar wanita sempurna si Rima ini. Sayang sudah ada yang punya, kalau saja boleh sang penyusup ingin memasukkan Rima ke tas kresek dan membawanya pulang untuk teman tidur. Hahaha, pasti nikmat sekali tidur seranjang dengan bidadari semolek Rima.

Sang penyusup sudah tak sabar.

Mari kita lihat ada hadiah apa di tirai pertama...

Daster diangkat semakin tinggi. Rima menggeliat tapi masih terlelap dengan nyenyaknya. Makin ke atas, semakin ke atas, ah. Buah dada membusung sang bidadari memang seperti yang ia idam-idamkan selama ini. Setangkup kenikmatan yang dulu hanya khayal kini hanya sebatas jengkal. Puting payudara mungil di kanan dan di kiri. Aduh, imut sekali.

Lidah sang penyusup keluar. Ia menyicip sedikit yang kiri. Cup.

Uh sedap.

Bagaimana yang kanan? Cup.

Ah, sedap juga. Begini lho, baru wanita sejati.

Lidahnya menjulur keluar lebih panjang, lalu bergoyang sedikit di atas pentil kiri susu Rima. Seoles, dua oles, tiga, empat. Duh aduh, Dik Rima, kenapa susumu menggemaskan sekali? Pria mana yang bisa tahan kalau disodorkan kenikmatan seperti ini?

Sang penyusup tertawa dalam hati. Tangannya mulai bergerak dengan bebas, meraba, dan meremas perlahan-lahan. Dia tidak ingin Rima bangun terlalu cepat. Dada sudah kini saatnya melihat hidangan utama.

Mari kita lihat ada apa di balik tirai nomor dua...

Perlahan-lahan sang penyusup menarik celana dalam Rima ke bawah.

Oho.

Dia tersenyum saat melihat bulu-bulu halus rambut kemaluan Rima menyembul. Rambut kemaluan yang dicukur rapi dan bersih membentuk pola segitiga. Memang idola banget cewek cakep satu ini, bahkan untuk urusan beginian pun rapi. Sang penyusup mendekatkan hidung dan bibirnya ke rambut kemaluan Rima, ah... khas baunya. Bau yang selalu bikin kangen.

Ia menurunkan lagi celana dalam lembut sang bidadari.

Ohoho.

Perlahan-lahan sekali gundukan indah yang ia bayangkan selama ini terwujud di depan mukanya. Gundukan berwarna pink yang imut, lembut, dan menggairahkan. Nah ini nih... ini dia nih... Edan, masih kayak perawan bentuknya. Suaminya ngapain aja nih barang beginian ga digiatin? Mau buat rame-rame aja? Bolehlah boleh.

Turunkan lagi celana dalamnya.

Ohohoho.

Akhirnya bibir kewanitaan Rima benar-benar terpampang dengan jelas di depan mata sang penyusup. Bagai cangkang kerang yang siap untuk dibuka dan disantap. Hehehe, pucuk dicinta ulam pun tiba. Yang beginian paling enak dicucup pas di pucuknya.

Sang penyusup menjulurkan lidahnya dan mulai mengecup ujung atas bibir kemaluan milik Rima. Ah, lezatnya. Daging mungil yang membuatnya akan selalu merindu. Mimpi apa dia akhirnya benar-benar bisa menikmati memek si Rima?

Sang pria itu sepertinya akhirnya bisa...

“Ehm.”

Rima terbangun.

Sang bidadari itu tiba-tiba saja merasa dingin. Kenapa kok dingin? Bukannya tadi dia mengenakan selimut? Apakah AC-nya dipasang ke tingkat yang tidak biasanya? Ketika matanya terbuka, ia melihat ke arah AC, lalu ke jendela, lalu ke pintu yang terbuka.

Kenapa pintu kamarnya terbuka? Kenapa... kenapa kok bibir vaginanya terasa geli?

“Eeeeh!?”

Sesaat kemudian barulah ia sadar. Dingin itu bukan karena AC maupun selimut, tapi karena dasternya sudah tersingkap sampai atas, dadanya terpampang, celana dalamnya sudah ditarik turun! Yang lebih mengagetkan lagi... ada seorang pria bertopeng sedang menjilati dan menikmati bibir kewanitaannya dengan buas!

Rima terbelalak! Apa yang terjadi!? Siapa orang ini!? Kenapa dia hampir telanjang begini!?

Buru-buru Rima yang ketakutan menarik tubuhnya ke atas. “Siapa kamu!? Apa yang kamu lakukan!? Tolooooooong!! Toloooo....!! Hppphhh!”

Sang penyusup buru-buru menutup lagi kupluk wajahnya dan langsung melompat untuk menyergap.

Rima segera dinetralisir. Mulutnya dibekap, tangannya dikunci, ibu muda itu mencoba meronta tapi tak bisa melepaskan diri. Air matanya mulai turun. Tidak! Tidak! Tidak! Dia tidak mau! Ibu muda itu terus menggeliat, mencoba mencari cara untuk lolos dari dekapan sang durjana yang tengah mencoba memperkosanya. Ke kanan, ke kiri, semua cara dicoba, tak ada yang bisa ia lakukan, tak ada yang berhasil, ia selalu gagal. Sang penyusup jauh lebih kuat dan kekar.

“Mmmmmmhhh! Mmmmmmmhhhhh!!” Rima mati-matian mencoba berteriak di bawah bekapan sang penyusup. Orang itu tidak menjawab, ia hanya meletakkan jari telunjuk di bawah hidungnya. Pertanda kalau ia meminta Rima supaya diam saja. Melihat Rima sepertinya tidak mau diam, sang penyusup mengeluarkan pisau dari sakunya.

“Heeeeeeemm!” Sang penyusup menggertak Rima, ia lalu menggunakan pisau yang ia pegang untuk menunjuk ke arah kamar anak-anak. Pisau itu diacung-acungkan ke sana. Pisau yang sama kemudian digunakan untuk menggores udara di depan leher sendiri. Rima sudah pasti tahu lah apa artinya. Dia mengancam keselamatan nyawa anak-anak Rima. Sang penyusup menggertak sekali lagi. “Hmmm!”

Rima melotot! Gawat! Anak-anak! Tidak! Tidak! Jangan! Jangan sakiti mereka!!

Rima menggelengkan kepala dengan panik, air matanya menetes kian deras. Dia tidak peduli apa yang terjadi pada dirinya, tapi tolong jangan sakiti anak-anaknya! Jangan sakiti mereka! Sang penyusup melepaskan bekapan di mulut Rima, tapi memasang pisau di leher sang bidadari dengan tangan kiri.

Kembali sang penyusup meletakkan telunjuk di depan bibirnya yang sekarang kembali tertutup kupluk. Rima mengangguk pasrah. Air matanya mengalir deras, tubuhnya gemetaran karena ketakutan. Dia tak bisa membiarkan siapapun menyakiti buah hatinya. Meskipun untuk itu dia harus mengorbankan dirinya.

Tolong... siapapun juga... tolong... dia dan anak-anaknya tak berdaya... mereka dalam bahaya.

“Ja-jangan sakiti anak-anakku... aku mohon... jangan... Apa yang kamu inginkan? Aku mohon jangan lakukan ini... aku punya uang, punya emas... aku berikan semua asal lepaskan kami... jangan sakiti kami, aku mohon...”

Emas? Uang? Itu urusan nanti. Sekarang urusan yang satu ini.

“Hnnnnggkkkhhh!” Rima terbelalak.

Tangan kanan si penyusup menyelinap ke bawah selangkangan dan melesakkan satu jari ke dalam pintu bibir kewanitaannya. Liang yang sebenarnya masih kering dan sakit jika dijejali sesuatu secara paksa.

Rima menggeleng. Jangan... jangan... ia mohon jangaaaaaan. Tubuhnya bergetar hebat. Harus bagaimana ini? Harus bagaimana ini?

Tapi sang penyusup tentu saja nekat, dengan penuh rasa puas dia menarik jemarinya dari bibir kewanitaan Rima, lalu memasukkan lagi, lalu dikeluarin lagi, lalu masukkan lagi, keluar, masuk, keluar, masuk. Berulang-ulang.

Rima menggeliat, antara pasrah, risih, dan sangat ketakutan.

“Akkkkghhh... aaahhhhh.... aahhhhkkk...”

“Heheheh.” Terdengar suara kekehan tawa mendengarkan desahan Rima kala bibir kewanitaannya mulai dijajah oleh benda asing yang tak seharusnya menginvasi.

Tawa terkekeh itu sepertinya pernah Rima dengar sebelumnya. Jangan-jangan ini orang yang Rima kenal? Rima makin meronta. Dia tak bisa menyerah begitu saja. Pasti akan ada masanya orang ini melepaskan dekapan pada Rima.

Pria penyusup mulai itu membuka celananya dengan menggunakan tangan kanan. Aduh celaka. Rima memejamkan mata. Apakah memang seperti ini nasibnya? Apakah dia harus kehilangan kehormatan di tangan orang yang tak dikenal?

Tolong... siapapun juga... tolong...

Tiba-tiba terdengar suara kentongan dibunyikan. Suaranya membahana tepat di depan pintu rumah Rima. “Bu Rimaaa? Ibu ada di dalam?”

Bug! Bug! Bug! Bug!

Saat itulah terdengar suara pintu rumah Rima yang sebenarnya sudah sedikit dibuka oleh sang penyusup digedor dari luar. “Bu Rimaaaaa!? Bu Rimaaaa!? Saya izin masuuuk!”

Baik Rima maupun penyusupnya sama-sama terkesiap. Siapa itu di depan? Karena suasana yang menegangkan, Rima tidak bisa mengenali siapa yang masuk ke rumahnya, tapi jelas-jelas dia memanggil nama Rima. Sang penyusup mendesis kesal karena rencananya bisa berantakan. Ia lalu melepaskan Rima dan berlari ke ruang tengah.

“Aaaaah!!”

Terdengar suara teriakan dan terdengar suara orang memukul, lalu lagi, dan lagi. Lalu gedebukan, lalu terdengar suara pintu terbuka, dan akhirnya terdengar suara orang berteriak-teriak di luar rumah Rima. Mereka saling pukul.

Rima menenangkan diri sesaat. Ia membenahi pakaiannya dan berjalan dengan cepat ke ruang tengah. Ia menemukan pisau sang penyusup terjatuh. Rima melirik ke kamar anak-anak. Aman. Meski Rasya dan Radja terbangun, tapi mereka berdua sehat tak kurang suatu apa. Syukurlah.

Ibu muda jelita itu lantas melirik ke luar, pintunya sudah terbuka lebar. Keramaian terjadi. Ada dua orang tengah berkelahi di depan pagar rumahnya.

Rima segera berlari keluar rumah, ia tak menyangka di luar pagar rumahnya ternyata sudah banyak orang-orang berkumpul, termasuk Pak RT dan Pak Satpam. Pak Ramidi yang rumahnya tak jauh dari rumah Rima tergopoh-gopoh menghampiri keributan yang terjadi, ia hanya mengenakan celana pendek saja sembari membawa tongkat kayu. Ia bahkan tidak mengenakan baju.

Ada dua orang yang saling dorong di depan rumah Rima. Melihat keramaian, buru-buru si cantik itu mengenakan cardigan rajut dan kerudung simpelnya untuk menutup diri. Ia berlari keluar hanya dengan mengenakan daster. Beberapa orang tetangga ikut keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi.

“Berhenti kamu! Apa yang kamu lakukan di sini!? Dasar manusia laknat!”

“Kamu yang seharusnya berhenti! Tingkah lakumu mencurigakan!”

Rima melihat ada dua orang yang tengah bertengkar di depan rumahnya, dua-duanya mengenakan baju, celana, dan kupluk hitam yang menutup wajah!

Pak Ramidi berusaha melerai. Tak lama kemudian, Raka dan Rizka yang mendengar keributan juga ikut keluar dan menghampiri Rima. Rasya dan adiknya bahkan sampai terbangun dan mendekati ibunya. Rima memeluk mereka berdua.

“Apa yang terjadi, Mbak?” tanya Rizka.

“A-ada orang yang masuk ke rumahku.”

Semua orang menatap Rima. Rasya dan Radja ketakutan melihat orang-orang mengerumuni mereka, Rima pun memeluk kedua buah hatinya semakin erat, mencoba menenangkan, padahal hatinya sendiri sedang luar biasa kacau.

Pak Ramidi mendekati Rima, “Mereka mencoba merampok, Mbak? Apa yang dicuri? Ada yang hilang?”

Rima menggeleng. “Se-sepertinya hanya salah satu dari mereka... orang itu me-mencoba melecehkan saya. Salah satu dari mereka, Pak. Tapi saya tidak tahu yang mana.”

Orang-orang yang berkumpul langsung ramai dan berteriak-teriak kesetanan, siap menghajar kedua orang berbaju hitam yang sebenarnya saling bertikai. Pak Ramidi berusaha keras menghalangi mereka semua main hakim sendiri.

“Dasar bajing...” Raka yang geram langsung memegang kerah dua orang yang tengah bertikai, “siapa di antara kalian yang kurang ajar, ha? Siapa? Siapa yang kurang ajar, Mbak? Yang di kiri atau kanan?”

“A-aku tidak melihat dengan jelas wajahnya. Aku hanya tahu dia memakai baju dan celana hitam. Tapi yang masuk ke rumahku hanya satu orang saja. Satu orang lagi justru membuat yang jahat kabur. Jadi yang satu jahat, yang satu orang lagi justru telah menolongku. Tapi aku tidak tahu yang mana.”

“Dua-duanya memakai baju hitam, Mbak. Apa ada ciri-ciri lain yang Mbak Rima ketahui?” Kata Rizka mengamati kedua orang itu. Rima menggeleng, dia benar-benar bingung. Yang mana yang telah menyelamatkannya dan yang mana yang mencoba memperkosanya? Yang mana? Rizka yang penasaran segera mengomando Raka. “Buka topeng mereka! Buka, Kang! Siapa sebenarnya yang sudah kurang ajar sama Mbak Rima!?”

Setelah kedua orang itu dipegang oleh warga dan satpam yang berjaga malam, Raka pun membuka topeng keduanya secara bersamaan. Betapa terkejutnya Rima saat melihat dua wajah yang muncul di hadapannya. Tidak hanya Rima. Rizka, Raka, Pak Ramidi, dan semua yang hadir pun terbelalak.

Yang satu adalah Pak Rudi, sang satpam yang seharusnya cuti karena istrinya melahirkan.

Sedangkan yang satu lagi... adalah Pak Rebo.

Keduanya menatap Rima dengan tatapan mata yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, keduanya sedang tegang dan terancam. Masing-masing bersikukuh pada pendirian dan alibi mereka.

“Tolong jelaskan pada mereka saya tidak bersalah, Bu Rima,” kata Pak Rudi dengan wajah memelas. “Justru saya yang memergoki orang ini hendak melecehkan Bu Rima. Saya ini satpam, tidak mungkin melakukan perbuatan tercela seperti itu pada warga!”

“Bu Rima, anda tahu mana yang bersalah dan mana yang tidak, dengarkan kata hati,” ucap Pak Rebo. “Saya sengaja mengenakan topeng tadinya supaya orang kurang ajar ini tidak mengenali siapa saya. Orang ini penjahat kelamin, Bu Rima. Dia sudah berulang kali mengamati dan memanjat rumah Ibu tanpa permisi dan tanpa ketahuan. Hari ini saya memergoki dia dan berusaha menjebaknya. Jangan dilepaskan.”

“Jangan menuduh sembarangan! Dasar pemerkosa sialan! Kenapa jadi aku yang kamu tuduh? Ngapain aku melakukan itu? Aku punya istri! Punya anak!” Pak Rudi mengamuk dan mencoba memukul Pak Rebo. Tapi Pak Ramidi mengunci posisi satpam itu dengan erat. Dia tidak akan bisa mencelakai siapapun.

Pak Rebo hanya tersenyum menyeringai aneh saat menatap Pak Rudi.

Pak Ramidi mendekati Rima, “yang mana, Bu Rima? Kami tidak mau salah tangkap.”

“Kanan atau kiri, Mbak?” tanya Raka.

“Mbak?” Rizka menatap Rima.

“Maaaa?” Rasya ketakutan, Radja menangis.

Rima makin kebingungan dan memeluk buah hatinya erat-erat.

Yang mana?





BAGIAN 2 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 3



no quote
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd