Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RANJANG SIANG RANJANG MALAM

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Asli keren banget ceritanya. Nungggu banget lah ini hu TS
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
BAGIAN 3
RAJANGAN






Mantene wus dandan dadi dewa dewi,
dewaning asmara gya mudhun bumi
.”



“Dia.”

Rima menunjuk ke arah Pak Rudi.

Semua mata dan pandangan langsung mengarah ke sang satpam yang seharusnya sedang cuti karena istrinya melahirkan itu. Mata demi mata yang awalnya memandang ke arah Rima kini beralih ke Pak Rudi, kepala mereka bergerak seirama seperti penonton pertandingan tenis. Semua orang menatap tak percaya dengan mulut terbuka lebar karena terkejut. Orang yang seharusnya melindungi mereka, ternyata malah jadi biang kerok peristiwa mengerikan malam ini.

Pak Ramidi sang ketua RT yang terkejut langsung mendatangi Rudi dengan geram. Ia mencengkeram kerah baju sang satpam yang ketakutan dan mendorongnya menjauh dari kerumunan. “Wong gendeng! Wong edyan! Beneran ya kamu sudah gila?! Istri di rumah mau melahirkan, di sini malah cari gara-gara sama istri orang?! Sudah edan kamu ya!? Sudah sinting ya!? Ditaruh di mana otakmu, heh? Ditaruh di mana!?”

Meski marah dan geram, tindakan Pak RT mengamankan Rudi ke sudut yang sepi sudah sangat tepat karena saat itu, para bapak-bapak yang ikut berkumpul sudah siap meluncurkan kepalan ke wajah sang satpam.

“Ta-tapi, P-Pak... bukan saya, Pak. Sungguh bukan saya.” Pak Rudi geleng kepala dengan cepat. Dia tidak mau dituduh sembarangan. Dia bahkan sampai luruh ke bawah dan menyembah Pak Ramidi – sang Ketua RT. “Pak, mana berani saya melakukan hal yang seperti itu pada Bu Rima, Pak. Bu Rima orang baik, Pak. Tidak ada sedikitpun bayangan saya untuk menyakiti beliau, Pak. Saya selalu ingat istri, Pak... tolong saya, Pak... sungguh saya tidak bersalah.”

Pak Rudi melirik ke massa yang berkumpul karena takut dihakimi di tempat malam itu. Meski sudah diamankan Pak Ramidi, tak urung ada juga yang berhasil mendekat. Raka yang marah mendorong Pak Rudi sampai terjengkang.

“Ga usah cari-cari alasan! Sudah ngaku saja! Kamu bersalah tidak!?”

“Ti-tidak, Pak...”

“Bersalah atau tidak!?”

“Tidak, Pak...” Pak Rudi menggeleng kepala berkali-kali, “saya berada di tempat yang salah di waktu yang salah. Saya tahu pakaian yang saya kenakan memang mencurigakan, tapi sungguh saya tidak melakukan seperti yang dituduhkan, Pak. Asli, sungguh, ini saya sudah jujur. Saya harus bagaimana lagi supaya semua orang percaya, Pak? ”

“Asssshhh!! Diam kamu!!” Raka sudah menarik tangannya hendak menghantam Rudi, tapi Pak RT memegang lengannya dan menggeleng kepala.

“Jangan main hakim sendiri, Pak Raka. Coba kita dengarkan dulu alasannya dan kita putuskan bagaimana menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin,” ujar Pak Ramidi yang kemudian menatap Rima yang sebenarnya juga masih gemetar, “Apa alasannya Bu Rima menuduh Pak Rudi sebagai pelakunya?”

“Saat dia berusaha... berusaha... melecehkan saya, orang itu sempat tertawa. Saya mengenali suara tawa itu dan saya yakin sekali suara tawa itu pernah saya dengar sebelumnya. Dari situlah saya berpikir, Pak RT. Dari dua orang ini, saya tidak pernah sekalipun mendengar bagaimana Pak Rebo tertawa – jadi dari mana saya akan mengenal suara tawanya? Saya mencoba mengingat-ingat dan terus berusaha untuk dapat seadil mungkin memberikan tuduhan, tapi saya yakin sekarang. Satu-satunya jawaban yang terpikir bagi saya saat ini dari dua orang ini, pelakunya adalah Pak Rudi.”

Pak Rudi menggeleng ngeri saat Rima menjatuhkan vonisnya.

“A-atas dasar itu saja? Ayolah, Bu Rima! Itu tidak cukup kuat untuk mendakwa saya bersalah! Seharusnya saya punya hak praduga tak bersalah, Bu. Karena sungguh pelakunya bukan saya, Bu Rima! Sungguh bukan saya! Apa tidak ada yang percaya sama saya? Tidak adakah yang percaya? Apakah kalian benar-benar tidak mengenal saya? Saya mohon, demi apa yang telah saya lakukan selama ini dengan menjaga keamanan sebagai satpam. Kita semua sudah sama-sama kenal. Mana mungkin saya melakukan hal seperti ini.”

“Lalu kenapa kamu ada di sini, malam-malam begini, pakai baju hitam, pakai kupluk hitam? Itu saja sudah aneh.” Raka dengan geram menuding Pak Rudi, “Tidak akan pernah ada maling teriak maling ketika terpepet.”

Pak Ramidi melerai sebelum Raka gelap mata.

“Sudah sudah... kita bawa saja dia ke Pos Satpam, kita interogasi di sana sembari memanggil pihak yang berwajib, biar mereka yang menyelesaikan semuanya dan menentukan apakah dia bersalah atau tidak.” ujar Pak Ramidi. “Pak Rebo, anda masih belum lepas dari jerat hukum sepenuhnya. Kami akan membawa anda ke pihak yang berwajib kalau nantinya Pak Rudi terbukti tak bersalah. Jangan meninggalkan rumah dan...”

Pak Rebo mengangguk hormat, “Silakan saja. Saya tidak ada rencana kemana-mana. Saya akan berada di rumah saya seperti biasanya. Kalau perlu membuktikan diri di depan pihak yang berwajib saya juga siap.”

“Ya sudah! Bubar semua! Bubar! Biar Pak Satpam yang bawa Pak Rudi ke pos dan mengamankan dia di sana, kalian tidak perlu main hakim sendiri. Nanti kita yang akan selesaikan. Kami akan segera menghubungi pihak yang berwajib.” Pak RT segera mengatur orang-orang yang berkumpul supaya segera meninggalkan lokasi. Pak RT menunjuk satpam yang berada di tempat kejadian, “Bawa orang ini ke pos satpam! Amankan dia!”

Dua orang satpam langsung mengangguk dan membawa Pak Rudi yang terus saja berteriak-teriak. “Paaak! Bukan saya, Pak! Sungguh bukan sayaaaa! Saya memang bersalah, tapi saya belum melakukan apa-apa dan tidak di rumah Bu Rima! Pak RT! Saya mohooon! Kasihan istri saya, Pak! Kasihan anak saya, Pak! Paaaaak!!”

Tapi Pak Ramidi tidak mempedulikan apapun yang diucapkan Pak Rudi, dengan geleng-geleng kepala Ketua RT itu mendekati Rima. “Bu Rima, saya benar-benar mohon maaf atas kejadian ini. Kami akan menginterogasinya dan menyerahkan kasus ini ke pihak yang berwajib supaya Pak Rudi diperiksa secara hukum... kecuali nanti Bu Rima memilih untuk penyelesaian secara kekeluargaan. Tapi supaya aman, Pak Rudi kami tahan dulu. Sekali lagi mohon maaf atas ketidaknyamanannya, Bu Rima. Silakan kembali ke rumah, kunci semua pintu, dan tenangkan anak-anak. Hubungi suami jika diperlukan. Kami hubungi lagi Bu Rima besok pagi.”

“Ba-baik, Pak.” Rima mengangguk.

“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dulu. Duingin buaaaanget ini.” Pak RT yang memang hanya mengenakan celana pendek itu memeluk dirinya sendiri dan mulai berjalan pulang dengan setengah berlari.

Satu persatu orang mulai meninggalkan tempat berbarengan dengan Pak RT.

Rizka memeluk Rima dan mengelus kepala anak-anak, “Kami juga pulang ya, Mbak. Kalian jagain Mama ya. Anak-anak pinter semua.”

Raka mengangguk. “Kalau ada apa-apa, bilang aja sama kami. Telpon saja.”

Rima mengiyakan. “Terima kasih. Aku juga tidak tahu kenapa sampai ada kejadian seperti ini menimpaku, apalagi di saat Mas Ryan tidak ada di rumah. Seharian ini benar-benar berasa aneh sekali.”

“Sayang, mungkin besok kamu tidur dulu di tempat Mbak Rima. Selama seminggu ini demi keamanan. Bagaimana?” usul Raka.

“Iya, Mbak. Boleh? Paling-paling hanya akan aku tinggal beberapa kali kalau ada pekerjaan, kebetulan aku baru menerima satu tawaran pekerjaan. Tapi di luar jam-jam itu aku bisa menemani Mbak Rima.”

Rima masih belum bisa memutuskan apapun karena dirinya masih cukup shock, antara bimbang dan setuju, tidur ditemani Rizka sepertinya cukup menenangkan hatinya. “Aku tidak ingin merepotkan kalian...

“Mbak, kalian baru saja terkena musibah yang cukup mengerikan. Tentu saja kami sama sekali tidak akan merasa direpotkan.”

“Kita lihat besok ya, Ri.” Rima tersenyum dan sangat-sangat berterima kasih.

Rizka tersenyum dan mengangguk, ia menggandeng Raka dan keduanya pun meninggalkan kediaman Rima. Akhirnya hampir semua orang sudah meninggalkan lokasi yang sebelumnya ramai dan terjadi drama itu, hampir semua yang pergi berbisik-bisik. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau ada seorang laki-laki yang istrinya hamil dan akan melahirkan dalam waktu sebulan justru dengan tega hendak memperkosa wanita lain.

Semua meninggalkan Rima dan anak-anak, kecuali satu orang.

“Sepertinya saya juga harus pamit, Bu Rima.” Suara berat dan tenang itu mengagetkan Rima.

“I-iya, Pak Rebo.” Rima masih selalu takut-takut jika menatap mata Pak Rebo. Rasanya ada yang aneh di tatapan mata dan senyum seringainya. Ada yang tidak normal dan tidak baik-baik saja. tapi Rima tidak tahu apa yang aneh itu dan meskipun aneh, dia tidak merasakan ada aura jahat di senyumnya. Pak Rebo hanya sedikit... unik.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih karena Bu Rima telah menyelamatkan saya dari keroyokan warga. Saya juga berterima kasih karena Bu Rima telah menaruh kepercayaan besar kepada saya dengan meyakini bukan saya yang bersalah.”

“Sa-sama-sama. Saya juga berterima kasih karena tadi Pak Rebo telah menyelamatkan saya dengan datang ke depan rumah saya. Andai saja Pak Rebo tidak datang, saya tidak tahu lagi bagaimana nasib saya. Sekali lagi terima kasih ya, Pak. Maaf kalau saya jadi merepotkan.”

“Tidak apa-apa, Bu Rima. Sesama tetangga sudah sewajarnya saling tolong menolong. Selama ini saya pasif, tapi mulai hari ini saya putuskan untuk aktif menjaga keselamatan semua orang yang dekat dengan saya. Jujur saya sudah menduga ada yang aneh ketika melihat bayangan mengendap-endap di depan rumah Ibu. Tidak ingin menakut-nakuti, tapi ini bukan pertama kalinya ada yang seperti itu. Beberapa kali saya melihat ada bayangan masuk ke halaman rumah Bu Rima dan mengamati kondisi di dalam rumah. Tadi saya sempat kehilangan sosok bayangan yang masuk ke rumah Bu Rima ketika dia melompat ke pagar rumah sebelah. untung kemudian dapat saya kejar dan bertemu lagi di depan rumah Bu Rima.”

“Jadi dia sudah mengamati saya sejak lama? Menakutkan sekali, Pak. Syukurlah semuanya selamat dan pelakunya bisa dibekuk.”

“Syukurlah seperti itu yang terjadi. Tapi saya harap untuk ke depannya nanti Bu Rima memperhatikan keselamatan diri sendiri dengan selalu mengunci pintu, baik pintu depan maupun belakang. Karena kita tidak pernah tahu kapan kejahatan akan terjadi.”

“Pastinya, Pak.”

“Baiklah, saya juga pamit, Bu Rima. Saya pulang dulu ke rumah.”

“Rima saja.”

Pak Rebo yang sudah siap berbalik, menatap Rima dengan tanda tanya. “Ya?”

“Panggil nama saya Rima saja, Pak. Tidak perlu Bu Rima. Saya sungguh merasa berterima kasih telah ditolong oleh Pak Rebo hari ini. Saya berhutang budi, Pak.”

Pak Rebo tersenyum dan mengangguk, “Tidak usah dipikirkan, saya tidak berharap ada hutang budi apapun di antara keluarga kita. Saya hanya melakukan apa yang saya pikir harus dilakukan. Mengenai panggilan, rasanya saya tidak mau tidak hormat kepada Bu Rima... apalagi dari segi usia rasanya kurang pantas jika...”

“Rima saja.” Rima tersenyum manis, senyuman indah yang mampu merontokkan tembok baja nan tebal dengan mudahnya.

Pak Rebo mengalah dan menghela napas sembari tersenyum. “Rima.”

“Nah gitu. Terima kasih, Pak Rebo.”

“Sama-sama.”

Rima dan anak-anaknya balik ke rumah, Pak Rebo berjalan dengan tenang ke rumahnya sendiri. Saat hendak memasuki rumah, Pak Rebo sempat menengok ke arah rumah Rima. Ternyata di sana pun Rima sedang menatap ke arah Pak Rebo. Pria tua itu menganggukkan kepala, Rima tersenyum lagi dan ikut mengangguk lalu masuk ke dalam rumah.

Pak Rebo menundukkan kepala dan masuk ke dalam rumahnya. Saat ia menutup pintu rumah yang lampunya tidak dinyalakan, ada kesepian menyayat yang kembali memeluknya seperti seorang kawan lama. Tapi kali ini, kesepian itu seperti enggan karena Pak Rebo bagai mendapatkan kawan baru di sosok Rima.

Kamar tamu rumah Pak Rebo tetaplah sepi. Kamarnya juga masih sepi. Rumah ini selalu sepi. Perumahan itu juga kembali ditelan sepinya gelap malam menjelang pagi. Merangkak menyelesaikan tugas menuju terbitnya sang mentari.

Sementara itu, di sebuah sudut, tak jauh dari rumah Rima, tak jauh dari rumah Pak Rebo, ada sesosok laki-laki yang mengendap-endap mencari sesuatu di semak-semak halaman rumahnya. Ia melirik ke kanan, ia lirik ke kiri, tidak ada orang yang melihatnya, kan? Semua orang sudah pulang kan? Akhirnya sosok yang mengendap-endap itu menemukan apa yang ia cari dan membawa barang-barang itu ke rumahnya sendiri melalui pintu belakang.

Tentu saja ia memastikan semuanya aman terlebih dahulu. Ia memastikan keluarganya yang ada di dalam rumah tidak menyadari apa yang terjadi.

Laki-laki itu mengamankan pakaian serba hitam yang ia ambil dari semak-semak ke dalam sebuah tas plastik hitam dan meletakkannya di sudut yang tak diketahui orang lain. Ia buru-buru mencari baju dan celana panjang dan langsung memakainya, karena sebelumnya ia hanya mengenakan celana pendek saja. Pria itu kemudian bersiap-siap untuk menuju ke pos satpam, berniat hendak menyelesaikan masalah yang sedang terjadi di sana.

Pak Ramidi tersenyum.

Untunglah semuanya aman-aman saja.

Hampir saja.





.::..::..::..::.





Pagi-pagi sekali, Rima memasak dengan sangat serius.

Ia memperhatikan buku resep, memperhatikan tutorial di Youtube, memperhatikan petunjuk di internet. Semua ia lakukan agar hasilnya sempurna. Dia tidak mau masakan pagi ini jadi masakan yang mengecewakan. Seumur hidup, baru sekali ini dia seperti ini – merasa bahwa makanan yang sedang ia masak seakan-akan akan dinilai oleh juri Masterchef.

“Mama masak apa?”

“Hmm, rahasia dong. Nanti ya dicicipin sepulang sekolah. Kalau pagi ini sepertinya belum bisa matang. Maaf ya, Kak. Maem roti dulu? Itu sudah Mama siapkan di meja.”

Putra pertama Rima tertawa, “Yaaaah, kok belum bisa matang sih. Hahahaha. Ya sudah, nanti pokoknya harus disiapin buat kakak dua porsi.”

“Lho kok dua porsi? Satu kakak satu adek?”

“Nggak lah. Semua buat Kakak sendiri. Masakan Mama kan selalu enak. Hahahahaha.”

Rima tersenyum dan merapikan kerah baju Rasya. “Kakak belajar yang pinter ya di sekolah, Mama sama Adek nunggu di rumah. Mobil jemputan sekolah datang jam bera...”

Terdengar bunyi klakson mobil dibunyikan dari luar.

“...ah, baru diomongin ternyata datang. Itu Kak, sudah dijemput. Hati-hati di jalan ya. Pokoknya pulang pergi harus bareng mobil sekolah. Oke? Tidak boleh bareng siapapun. Tidak boleh bareng temen juga, pokoknya Mama maunya kamu bareng mobil sekolah. Paham?”

“Paham Maa... ya udah, Kakak berangkat dulu yaaa,” Rasya mencium punggung tangan Rima, mengambil bento bekal berisi sandwich, sosis, jagung, daging, dan brokoli. Anak sulung Rima itu pun melesat ke depan karena sudah ditunggu oleh mobil jemputan.

“Hati-hati Kakak.”

“Dah, Mama. Dah, Adek.”

Radja tertawa-tawa melihat kakaknya berlari-lari dengan terburu-buru, seakan-akan itu sesuatu yang lucu. Rima tersenyum melihat buah hatinya yang bungsu kemudian mengucek-ucek mata karena masih mengantuk.

“Eh anak pinternya Mama udah bangun, itu di meja sudah ada susu sama roti. Sarapan dulu ya, Nak. Mama bikin makan siang dulu.”

Radja tidak menyahut, tapi mengangguk-angguk karena mulutnya sudah dijejali oleh roti tawar dua lapis dengan topping selai nanas dan margarine. Dia duduk di depan meja tamu, kepalanya mendongak, dan matanya tertuju pada layar televisi yang sedang memutar serial animasi anak-anak Rupin dan Ripin. Konsentrasinya segera terpusat pada Tuk Dalang yang sedang mengejar-ngejar si Rambo sang ayam jago.

Melihat anak bungsunya sudah tenang di posisi nyaman sembari sarapan. Rima pun melanjutkan memasak. Sampai di mana tadi? Ah ya... masukkan telur... telurnya berapa banyak? Buru-buru Rima memeriksa resepnya kembali. Mana tadi resepnya? Duh halamannya kok kebalik? Aduh, panasnya harus seberapa ini apinya? Mana tadi resepnya? Mana... mana... aduh... duh...

Rima? Kok kamu jadi panik? Ayo tenangkan dirimu.

Huff.

Rima memejamkan mata, menarik napas panjang, dan tersenyum sendiri. Kenapa sih Rima? Kenapa kamu jadi seperti ini? Kenapa jadi tidak percaya diri?

Ayo fokus. Kamu pasti bisa kok. Kamu kan pernah melakukan ini.

Apa kejadian semalam membuatmu tak mampu berpikir jernih?

Ya.

Rima masih deg-degan dan tak bisa melupakan kejadian yang semalam menimpanya. Bagaimana mungkin bisa melupakan saat-saat mengerikan ketika kita hampir saja diperkosa?

Apakah benar apa yang ia lakukan dengan menuduh Pak Rudi sebagai pelaku? Apa yang terjadi pada satpam itu hari ini? Hukuman apa yang dijatuhkan kepadanya? Apa sebaiknya ia memutuskan untuk menyelesaikan semuanya secara kekeluargaan? Rima kenal dengan istri Pak Rudi, Mpok Ria. Dia tahu di mana mereka tinggal dan pernah ke berkunjung ke rumahnya juga. Wanita ramah dan baik. Apakah dia telah menuduh orang yang tak bersalah?

Lalu yang bersalah siapa? Pak Rebo? Kalau itu rasanya Rima yakin kalau bukan dia. Postur tubuh penyerangnya dan Pak Rebo agak berbeda. Postur tubuh penyerangnya lebih ke Pak Rudi yang gempal. Tapi Rima tidak tahu juga. Bisa juga dia salah kan?

Rima menarik napas panjang dan menghelanya pelan-pelan.

Kenapa juga Mas Ryan tidak bisa dihubungi sejak semalam sih? Sedang apa dia? WhatsApp-nya hanya centang satu, sepertinya ia sama sekali tidak membuka WA. Ditelpon pun tidak diangkat. Kemana suaminya? Kemana sang suami di saat ia benar-benar membutuhkannya? Ada apa dengan Ryan? Apakah dia sedemikian sibuknya sampai-sampai sama sekali tidak sempat membuka handphone?

Dasar ih.

Masa tidak ada prioritas? Apakah dia tidak ingat pada anak istri di rumah? Apakah dia lupa? Apakah dia tidak ingat...

Oh iya.

Rima kelupaan mengunci pintu.

Rima buru-buru berlari ke depan dan memutar kunci di pintu depan, lalu ia ke belakang dan melakukan hal yang sama ke pintu belakang.

Huff.

Duh gimana sih kok ceroboh banget? Tuh kan? Lupa lagi kan? Sepertinya bukan hanya Ryan yang kadang lupa dan tidak ingat akan sesuatu. Rima pun juga sama saja. Yang kayak begini ini yang mengundang kejahatan. Rima geleng-geleng kepala menyadari kecerobohannya sendiri. Iya ya, barangkali suaminya tengah sibuk dengan sesuatu sampai-sampai dia tidak sempat menghubungi Rima dan anak-anak.

Ya udah, sekarang fokus dan konsentrasi pada masakan. Yuk.

Yuk...

Yu...

Angan Rima mengelana.

Dia terdiam menatap air mendidih di atas kompor.

Tangan kanan si penyusup menyelinap ke bawah selangkangan dan melesakkan satu jari ke dalam pintu bibir kewanitaannya. Liang yang sebenarnya masih kering dan sakit jika dijejali sesuatu secara paksa.

Tapi sang penyusup tentu saja nekat, dengan penuh rasa puas dia menarik jemarinya dari bibir kewanitaan Rima, lalu memasukkan lagi, lalu dikeluarin lagi, lalu masukkan lagi, keluar, masuk, keluar, masuk. Berulang-ulang.

Ugh
.

Rima memejamkan mata. Aduh, kenapa malah dia membayangkan hal menjijikkan itu? Mengapa ia justru tidak bisa melupakan saat-saat ketika ada laki-laki selain suaminya yang bisa menjamah bagian paling rahasia dari tubuhnya?

Hanya Ryan-lah yang sejatinya berhak menikmati tubuh indah Rima, hanya Ryan-lah yang boleh. Kepada sang suami-lah Rima pernah menyerahkan harta miliknya yang paling berharga dan itu tak bisa tergantikan oleh siapapun. Tubuhnya seharusnya tidak dijamah oleh siapapun selain sang suami.

Tapi semalam... dia sudah dijamah oleh...

Ah lupakan.

Kenapa justru diingat terus?

Dia rindu pelukan suaminya, Rima pasti akan merasa aman nanti kalau Ryan sudah pulang... Mas Ryan... cepatlah pulang, Mas. Tak terasa ada gelombang air mata yang siap tumpah, namun Rima berusaha keras untuk menahannya. Tidak, Rima tidak boleh cengeng. Dia tidak boleh membiarkan air mata itu meleleh. Dia harus kuat. Dia harus melewati peristiwa yang sangat mengguncangnya semalam dengan keberanian. Rima percaya dia bisa.

Terima kasih pada Pak Rebo, dia selamat dari peristiwa yang sangat mengerikan.

Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini, adalah dengan terus-menerus berterima kasih dan menjalin hubungan persahabatan dengan pria sepuh yang seumur hidupnya sepertinya menjalani hidup kesepian itu.

Rima berharap makanan yang sedang ia masak bisa menjadi kunci pembuka gerbang persahabatan keluarga mereka. Mudah-mudahan Pak Rebo menyukai apa yang ia masak, karena kalau tidak – ya percuma saja.

Jadi, fokus yuk.





.::..::..::..::.





Seorang pria mengejapkan mata, helaan napasnya mengalir lembut, suasana sejuk menenangkan jiwanya. Pagi sudah menjelang sepertinya, ada secercah cahaya dari balik tirai kamar yang tertutup rapat. Ketika ia hendak bangkit, ia baru menyadari ada kepala seorang wanita sedang menggunakan dadanya selayaknya bantal.

Wanita itu tengah memeluknya.

“Pagi.” Sang pria menggerakkan kepalanya sedikit dan mengecup dahi sang perempuan yang masih memeluknya.

“Sudah pagi?”

“He’em.”

Wanita itu pun mulai melepas pelukannya, menguap, membentangkan tangannya lebar-lebar, dan mulai mencari-cari pakaiannya yang berserakan kemana-mana. “Wah. Ternyata kita agak keterlaluan rasanya. Gila. Sampai pagi. Ini benar-benar sudah kelewat batas.”

“Begitukah?”

“Ya jelas dong! Ini sudah keterlaluan yang kita lakukan. Kok kayaknya kamu justru menikmati ini sih? Ini kan salah. Kamu sudah punya istri lho.”

“Hmm... dibilang menikmati ya nikmat, dibilang tidak kok ya nikmat. Kamu sepertinya juga tidak menyesal. Dari tadi bilang ini sudah kelewat batas tapi santai banget.”

“Idih. Ntar aku bilangin ke istrimu.”

“Dasar cepu. Tapi kamu tidak akan berani.”

“Kenapa tidak? Aku justru bakal terus terang pada si sundal itu, karena aku membencinya. Dia telah merebut kekasihku yang paling ganteng, membawanya pergi untuk selamanya dari sisiku, dan sepertinya tak akan pernah kembali. Sampai akhirnya semalam dia pulang ke tempat di mana seharusnya dia berada.”

“Di mana itu?”

“Di pelukanku.”

Sang pria menjulurkan lidah. “Dasar nakal.”

“Aku tidak nakal. Kamu duluan yang godain. Aku tidak pernah sanggup menolakmu. Dasar laki-laki, kalau sudah dapet enaknya tiba-tiba suka lupa. Padahal selama ini aku selalu rindu pelukanmu. Aku selalu sayang sama kamu, bahkan ketika kita sama-sama menikah dengan orang lain, aku masih tetap menyimpan perasaan yang sama. Kamu masih sayang sama aku kan?”

Pria itu mengangguk. “Aneh juga ya. Kalau kita selalu sama-sama sayang, lalu kenapa dulu kita putus?”

“Kamu yang mutusin, bukan aku. Kamu pasti ga kebayang betapa sakit hatiku sampai bertahun-tahun setelah kamu putusin? Susah banget tahu ngelupain kamu. Aku sampai harus pacaran sama orang lain untuk melupakan kamu. Tapi ga bisa, kamulah satu-satunya.”

“Gombal. Lebay beud. Pasti bohong.”

“Iya sih, hihihi. Memang tidak separah itu. Tapi bohong atau tidak, itu tidak merubah apa yang terjadi semalam. Kamu yang menggodaku dan membawaku ke ranjangmu ini.”

“Mana mungkin. Tidak bisa begitu.”

“Ih, kok bisa-bisanya bilang tidak bisa? Jelas-jelas kamu duluan yang memulai. Aku tidak pernah melakukan apa-apa untuk memprovokasimu sampai akhirnya kejadian seperti ini. Ih malesin ih, kamu yang nakal tapi ga mau disalahin. Emangnya aku cewek apaan.”

Sang pria mendengus dan tersenyum tanpa menjawab. Ia lantas bangkit dari pembaringan dan berjalan menuju ke tirai yang masih tertutup rapat. Dengan berani dia membuka tirai jendela lebar-lebar. Cahaya matahari pun masuk dengan menjalar dan mengatup setiap sisi kamar dengan sinarnya yang terang. Tidak ada sudut yang bisa sembunyi dengan begitu mudahnya.

Sang wanita tersenyum dan geleng-geleng kepala. Dia mencari-cari sesuatu di antara lipatan selimut. Ketika menemukannya, ia melempar barang itu ke pria yang sedang berdiri di depan jendela kamar hotel yang berada di lantai cukup tinggi itu.

Barang itu diterima oleh sang pria yang langsung tersenyum. “Buat apa ini?”

“Paling tidak kalau mau mejeng di depan jendela, pakailah boxer-mu dulu. Kontal-kantil begitu kok ga malu lho kamu ini, Mas. Mana pas kenceng lagi, kayak batang singkong. Hihihi.”

“Kita berada di lantai yang cukup tinggi, mana ada orang yang bisa lihat.”

“Ish, ya tetap saja malu lah. Udah ah, aku mau berangkat kerja. Harus siap-siap. Duh, anakku gimana yah semalaman aku tinggal. Gara-gara kamu nih, semua jadwalku jadi berantakan.” Sang wanita pun beringsut keluar dari dekapan selimut yang menutup indah tubuh indahnya yang ternyata juga bugil – tidak mengenakan selembar benang pun. Tubuhnya yang curvy dan indah bak gitar Spanyol ditambah dengan wajah ayu yang khas dan rambut indah panjang dengan ujung berombak membuatnya nampak seperti dewi yang baru saja turun dari khayangan – meskipun ia baru saja bangun pagi, tetap saja penampilannya mempesona.

Bagian belakang tubuh sang dewi melenggang tanpa pakaian, menimbulkan gejolak membara dalam batin sang pria. Edan, lihat tubuh indah itu. Pantat yang bulat dan apik itu, setiap gerakan kanan dan kiri seakan meminta diremas bergantian.

Sang pria tidak tahan lagi.

“Reva...”

Reva menengok ke belakang. “Apa?”

Sang pria berlari kecil mengejar Reva yang masih terus berjalan menuju kamar mandi. Dengan berani, ia menjulurkan tangan dan meremas bongkahan pantat sang dewi untuk menggapainya.

Reva terpekik kaget. “Aaah! Mas ih! Ngagetin aja! Udah ah, aku mau mandi dulu! Mau berangkat kerja nih.”

“Masa bodoh.”

Sang pria mengangkat tubuh sang dewi, menggendongnya dengan kedua tangannya yang kokoh. Sang wanita menjerit kecil karena terkejut. Sang pria tentu saja tidak peduli. Apa boleh buat, perempuan itu terlampau seksi untuk dibiarkan melenggang begitu saja.

“Maaaas!”

“Satu kali lagi.”

“Nggak ah! Aku mau kerja, Mas! Kamu kan juga harus... mmmphhh!”

Mulut sang dewi yang mencoba memprotes sudah dikatup oleh bibir sang pria. Tidak perlu waktu lama sampai keduanya tenggelam dalam gelut lidah yang menyedot jiwa dan raga, seakan semua energi mereka tertumpah pada ciuman yang mereka lakukan, menghabiskan seluruh sukma dalam satu dahsyatnya ciuman. Sang pria menggendong sang dewi dan meletakkannya dengan lembut di atas ranjang hotel.

Keduanya melepas pagutan, saling memandang.

“Mas... jangan nakal dong. Please...” lirih sang dewi berucap. “Aku harus berangkat kerja, harus ketemu anakku dulu...”

“Satu kali lagi,” ujar sang pria. “Kamu ga kasihan? Selama ini aku menahan rindu. Aku kangen banget sama kamu.”

“Mmmh, kok nakal banget sih? Hmm... aku harus gimana coba? Aku kan jadi pengen. Hihihi. Aku juga kangen banget. Boleh tidak sih kamu aku miliki lagi? Boleh tidak aku menyimpanmu hanya untuk aku seorang?” sang dewi menatap mesra, sibuk menggali kenangan indah yang tak pernah ia lupakan dan selalu simpan dalam hati, tapi kini telah meledak tanpa bisa dijinakkan kembali. Dia telah mendapatkan apa yang dulu hilang dan tak ingin dilepaskan lagi.

Sang pria tidak menjawab, ia hanya memeluk sang dewi sekali lagi. Kedua tubuh telanjang itu kembali bergumul di atas ranjang. Saling menyelami kenikmatan yang tidak setiap hari datang, sehingga mereka berdua memanfaatkannya dengan sepenuh jiwa.

Keduanya bertatapan, mata bertemu mata, rasa bertemu rasa. Sang pria mendekatkan bibirnya, sang wanita membuka bibir indahnya. Pertemuan bibir keduanya memang sudah saatnya. Rindu bertemu rindu, saat kalbu tak lagi tahu, apa yang harus dilakukan karena lama tak bertemu. Kedua bibir saling menaut, mengoles, menuntut. Saat bibir sudah saling bertemu, giliran lidah yang ikut memadu. Lidah saling mengikat, bersama terikat, satu sama lain melingkar kala bibir melumat.

Sang pria memandang ke bawah. Puting imut berwarna kemerahan itu sangat mengundang, seperti ingin diberikan kenikmatan. Kepalanya turun ke bawah, mencium pentil susu mungil yang makin terangkat. Kepalanya tenggelam di antara dada, tangan kanan meremas, tangan kiri turun ke bawah, bermain di bibir kewanitaan yang menjadi santapan utama. Reva mengerang manja, lenguhannya bak musik yang indah di telinga sang pria. Puting susu kiri, lalu kanan, lalu kiri, lalu kanan, lalu kiri, dan akhirnya kanan, bergantian. Semua kena giliran.

Reva tidak kuat lagi.

“Maaaas... Masukkan... please.”

“Kenapa harus aku masukkan? Tadi kan sudah. Mau lagi?”

“Ayolah sayaaaaang. Aku sudah tidak tahan lagi... aku ingin dimasuki.”

“Apanya yang dimasuki?”

“Mmhhh... nakal.”

“Apanya yang dimasuki?” ulang sang pria.

“Memekku...” bisik Reva manja sembari melebarkan pahanya, menunjukkan bibir kewanitaaan yang memiliki rambut rapi dan penampilan bersih. Si cantik ini pandai merawat liang cintanya. Meskipun sudah pernah menikah sebelumnya, tapi tetap seperti liang cinta seorang gadis remaja yang masih perawan – meski tidak sesempurna itu.

Sang pria menyerah. Ia menempatkan posisi batang kejantanannya tepat di bibir kewanitaan Reva, bibir kewanitaan yang sepertinya sudah becek oleh cairan cinta. Reva memejamkan mata, menikmati saat-saat yang sangat ia rindukan selama ini. Saat-saat ketika perlahan-lahan batang kejantanan sang pria dihempaskan masuk ke dalam. Meski tak lagi sempit, tapi tentu saja masih tetap nikmat.

“Esssst... sayaaaaaaaang.... enaaaaaaakghhkkk... eheeeeggg!!”

Reva mengerang dan menggelinjang, membiarkan batang kejantanan sang pria menginvasi dan menjadi raja di liang cintanya.

Deru napas berpacu, jemari saling terkait, tubuh saling beradu.

Gerak perlahan dimulai, awalnya mencoba, lalu lebih giat digerakkan. Lalu berubah menjadi dorongan demi dorongan dalam satu kesatuan irama. Berawal dorong diakhiri tarik, dorong tarik dorong tarik, tak henti bergantian. Adrenalin kian memuncak, wajah sang kekasih kian terlihat cantik menarik di bawah lampu hotel yang diredupkan.

Maju, mundur, maju mundur.

Desah napas kian tak terbendung.

“Ah... ah... ah... ah...”

Reva mengembik dan mengerang, melenguh dan menggelinjang. Bagaimana mungkin ia bisa berpisah dari permainan batang kejantanan besar milik sang pria yang selalu memuaskannya? Sang mantan suami tak ada apa-apanya.

Hingga muncul sebuah ide.

Woman on top,” ucap Reva manja sembari menggigit bibir bawahnya, menampilkan sisi seksi darinya yang sudah pasti membuat pria manapun mabuk kepayang – termasuk sang pria yang saat ini sedang menjalani surga dunia bersamanya.

Sang pria pun tersenyum dan mengangguk. “Mau Woman on top? Seriously? Silakan saja kalau begitu. Aku sih ngikut apa katamu saja...”

Sang pria menarik batang kemaluannya dari liang cinta Reva yang sudah amat becek, begitu basah sehingga penis milik sang pria ibarat dilumuri oleh saus kental yang tak kentara. Pria itu merebahkan diri di pembaringan. Reva mendekatinya, mata mereka bertatapan, bibir mereka bertemu, saling menghisap, saling menjilat, saling mengelus saling menuntut, lalu turun ke bawah, ke leher, lalu turun lagi ke bawah, ke dada sang pria. Lidah Reva bergerak liar, memutari puting sang pria, mengecupnya.

“Essst...” geli rasanya. Sang pria pun menggelinjang.

Reva tentu tidak berhenti. Dia turun lagi, ke perut rata sang pria yang six pack dan perkasa. Lalu turun lagi, dan lagi, dan lagi, sampai akhirnya bertemu dengan tujuan utama : penis kencang, keras, bak kayu pancang. Tangan Reva menggenggam batang kejantanannya itu dengan mata berbinar. Dia sudah tidak sabar.

Bibir Reva mengecup ujung gundul kemaluan sang pria, sebelum ia bangkit dan berbisik.

“Sudah siap? Aku masukkan sekarang ya.”

Tidak ada jawaban, hanya mata terpejam, dan bibir yang mengerang. Reva tersenyum, sang lawan main pasti sudah menunggunya. Mereka berhadapan, sang pria di bawah, Reva di atas. Tangan mungil si cantik itu memegang batang kejantanan sang pria dan memposisikannya tepat di bawah liang cintanya yang sudah siap melahap.

Pelan-pelan... pelan. Pelaaaaaan. Aaaaahhhh.

Ah... batang kejantanan sang pria mulai masuk ke dalam liang cinta Reva seiring gerakan sang dewi yang menekan pinggulnya ke bawah.

Reva memejamkan mata, menikmati jelajah dan kemampuan batang milik sang pria berkuasa di dalam liang cintanya. Sang dewi melenguh manja sembari memutar pantatnya. Ke kiri ke kanan, ke kanan, ke kiri, dia sudah pro. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia merasakan vagina Reva beraksi seperti pusaran air.

“Nghhh... enak banget sayaaaaang... enak bangeeeet... mmmhhh...” Semakin lama gerakan Reva semakin menjadi, ia bergoyang dengan sangat agresif, makin meminta, memohon, dan menginginkan sang lawan main melakukan gerakan yang lebih menuntut.

Pria itu tersenyum, ia mencengkeram bongkahan dada indah yang bergerak mengangguk naik turun tanpa henti. Reva menjerit lirih, semakin diremas, semakin kencang sang bidadari merengguk kenikmatan. Sang pria memejamkan mata, merengkuh kenikmatan yang diberikan dengan bertubi-tubi. Sekali... dua kali... tiga kali... luar biasa... ahhh... mmh...

Mereka beradu, berpacu, dan bergerak seperti terburu-buru. Sama-sama saling meningkatkan kecepatan, hendak menuju puncak kenikmatan, tak ada lagi basa basi, yang tertinggal hanya rasa ingin melengkapi dan mengisi.

Keduanya memejamkan mata, keringat deras mengalir bak air bah, gerakan makin menggila. Tangan sang dewi mencengkeram dada sang pria. Reva mengibaskan rambutnya, tubuhnya melonjak-lonjak bagai mengendarai kuda pacuan. Bunyi pertemuan batang kejantanan dan bibir kewanitaan yang becek makin terdengar nyaring. “Teruuuussss... teruuuuuuusss... teruuuuuuuuusss...”

Sang pria menggeleng kepala, sudah rasanya. Sudah cukup.

“Aku tidak tahan lagi,”

“A-aku juga sudah tidak tahan...”

Kalimat itu bagaikan password yang membuka pintu gerbang kenikmatan. Cairan cinta terlontar ibarat air keran dibuka hingga posisi terlebar, disemburkan ke dinding-dinding liang cinta sang dewi, sementara sang pemiliknya lubang surgawi itu sendiri masih belum berhenti bergoyang, mencari apa yang dicari, menikmati apa yang hendak dinikmati, mencoba mendapatkan kepuasan sejati – sampai akhirnya ia mengerang lama, tangannya mencengkeram bahu sang pria. Pandangannya menusuk tajam sebelum akhirnya terpejam.

“Aaaaaahhh... keluaaaar, aaaaah...!!”

Reva ambruk di dada sang pria. Napasnya satu dua.

Ia mencoba bangkit.

Keduanya bertatapan sembari terengah-engah, ada keringat menetes tanpa terkendali. Sang dewi menurunkan kepalanya ke depan, dua bibir saling menyambut, menyangkut, dua tubuh beringsut. Dua tangan saling memeluk, dan menuntaskan rasa ke dalam lawan main mereka hari ini.

Reva tersenyum menatap sang pria. “Hh... hh... hh... bagaimana?”

“Luar biasa. Entah sudah yang keberapa kalinya. Aku sampai keluar lagi.”

Reva tertawa. “Puas?”

“Banget.”

“Boleh diangkat?”

Pria itu mengangguk.

Tubuh indah itupun diangkat dengan perlahan dan berat hati, seakan mengucapkan sampai jumpa pada batang kejantanan yang sudah lemas dan tak kencang lagi. Suara lepasan terdengar dan terasa sangat menyenangkan bagi keduanya. Ah, memang kalau sudah cocok itu susah obatnya. Reva dan pasangannya mengatur napas, mereka beristirahat. Dada si cantik yang telanjang bulat itu naik turun karena sempat tersengal-sengal. Luar biasa. Sudah berapa kali hari ini?

Reva menarik selimut untuk menutup tubuh telanjangnya, ia meringkuk menyamping, mencoba beristirahat dari serangan bertubi-tubi sang lawan main. Tubuh indahnya memunggungi sang pria yang kemudian terkekeh pelan. Cantik. Sungguh cantik si Reva. Memang pantas diperebutkan oleh banyak pria.

Tangan sang pria menelusup di bawah lengan sang janda muda. Memeluknya dari belakang. Kepala sang pria berada tepat di belakang leher Reva, menghembuskan helaan napas yang bisa terasa di tengkuk sang bidadari jelita.

“Apa yang kamu lakukan semalam sebelum menemuiku?” tanya sang pria. “Kok datengnya malem banget? Kamu jalan-jalan sama siapa?”

“Aku? Hmm... apa ya? Sama siapa ya?” Tangan sang pria mencubit lembut pemuncak payudara sentosa milik Reva. Membuat wanita cantik bertubuh indah itu menggelinjang manja. “Ih! Nakal ih!”

“Makanya jawab, apa yang kamu lakukan semalam?”

“Hihihi... memangnya kenapa? Kamu cemburu ya?” Reva menggoda dengan suara manjanya.

Sang pria mencibir. “Jadi benar ya sama dia? Aku tahu kamu keluar dengan siapa. Dia tidak selevel denganku. Jadi kenapa harus cemburu?”

“Lha itu tahu aku kemana. Kenapa harus nanya?”

“Hanya ingin memastikan kalau dia tidak melakukan apa-apa sama kamu.”

“Tuh kan cemburu. Baru juga ketemu sudah cemburu aja.” Reva membalik tubuh telanjangnya dan bertatapan mata langsung dengan sang pria. “Dia kan juga mantanku, wajar kalau kami saling sapa dan melepas rindu. Hihihi.”

“Dasar.”

“Bukankah dia juga teman sekantormu?”

“Memang.” Ada geram di nada suaranya.

“Kenapa? Kamu ga suka sama dia?”

“Kinerjanya terlampau bagus dan cemerlang akhir-akhir ini di mata para bos besar, dan itu sangat mengkhawatirkan buat karirku. Bisa-bisa dia menggeser posisiku nantinya. Aku harus menghentikannya bersinar. Cara pertama adalah dengan menghancurkannya dari dalam. Dia punya istri yang sangat cantik, tapi rasa-rasanya kamu tidak akan kesulitan untuk membuatnya berpaling dari sang istri,” ujar pria itu sembari tersenyum menatap Reva. Ia memainkan jari telunjuknya di hidung Reva. “Kamu akan jadi kartu as-ku untuk menghancurkan karir dan hidupnya. Bayangkan saat dia hancur nanti... karirnya tamat, istrinya pergi, dan wanita yang dia harapkan... ternyata milikku.”

Reva tersenyum menatap Reno Afrizal, supervisor Ryan dan Robin. Janda cantik itu mengedipkan mata, “Berani-beraninya menyuruhku melakukan hal seperti itu. Memangnya masih kurang apa aku jadi janda sampai-sampai harus jadi pelakor juga? Apa untungnya buat aku? Wani piro?

“Kalau rencana ini sukses, aku akan menikahimu secara resmi... dan si Rambo yang satu ini...” Reno menarik tangan Reva dan membimbing jari-jemarinya yang lentik untuk meremas-remas batang kejantanannya yang sudah membesar dan kencang kembali. “Si Rambo ini akan jadi milikmu selamanya.”

Reva mendengus-dengus, napasnya berpacu dengan cepat, nafsu birahinya menggelegak. Tangan janda cantik itu perlahan-lahan memijat dan bergerak naik turun di sekitar batang kejantanan Reno. “Kok jadi besar lagi sih...? kok bisa...? Mas... Mmmhh... jadi gemes ihhh... ini buat aku selamanya? Bagaimana dengan istrimu... kalau kamu menikahiku gimana istrimu...? Mmmhhh... besar banget ini, Mas... mmh... besar...”

“Menurutmu apa yang sebaiknya aku lakukan sama istriku? Kamu mau jadi yang kedua?”

“Ih ogaaah... aku mau jadi milikmu satu-satunya... supaya kamu fokus sama aku saja, ga boleh ada yang lain lagi.”

“Kalau begitu akan kita atur supaya dia juga menghilang dari hidupku. Dia cantik dan seksi, tapi sangat membosankan. Kamu jauh lebih menggairahkan. Kalau aku tidak bisa menemukan alasan untuk menceraikannya, maka kita harus mencari cara untuk melenyapkannya. Cara apapun itu,” Reno tersenyum sambil mengecup bibir manis Reva. “Mau sekali lagi?”

“He’em... aku pengeeeen. Sekali lagi yaaaa? Duuuh, ini gede bangeeeet.” Sepertinya Reva sudah lupa kalau dia harus masuk kerja, barangkali dia juga sudah lupa sama anaknya. Yang nikmat memang selalu membutakan.

Tangan Reva membimbing batang kejantanan Reno untuk memasuki liang cintanya sekali lagi. Entah untuk yang keberapakalinya hari ini.

Dua tubuh telanjang menggelinjang di atas ranjang. Berbagi peluh, saling merengkuh.

Dua nafas berpacu, di dalam ruang itu.

Mereka lupa waktu.





.::..::..::..::.





“Kamu berangkat kerja jam berapa?” tanya Raka sembari memakai sepatunya.

Sementara sang istri masih sibuk mempersiapkan bekal untuk sang suami tercinta. “Mungkin sekitar tengah siang, aku juga belum tahu jadwal hari per hari dari Mbak Ratih, Kang. Cuma untuk hari ini diminta bersiap agak siangan. Tidak apa-apa kan? Paling cuma sebentar saja.”

“Hmmmhh... kalau sebentar boleh, kalau lama sebaiknya tidak. Tapi ya hati-hati saja ya. Mudah-mudahan semua lancar. Kalau ada apa-apa yang aneh, berbahaya, atau di luar batas wajar, hubungi saja aku. Aku pasti akan datang menjemputmu. Setelah aku baca-baca kontrak kerjamu ternyata memang agak-agak gimana gitu.”

Rizka tersenyum, dia bahagia sang suami masih peduli, jelas lah dia harus peduli sama istri sendiri. Awas aja kalo nggak. “Iya, Kang. Kan Akang sendiri yang kemarin mengiyakan. Katanya boleh.”

Raka mendengus dan mengangguk. Dia menyesal kemarin tidak benar-benar mendengarkan apa yang diucapkan sang istri karena sibuk dengan masalah yang menimpa Raya. Kalau saja dia sadar apa yang istrinya bicarakan, pasti dia tidak akan memperbolehkan. Aneh saja rasanya membiarkan istri sendiri main pacar-pacaran dengan jamet kuproy yang kewarasannya kurang sesendok. Raka diam-diam menonton vlog-vlog milik Rhoma Wedhus dan sepertinya bukan vlog yang mendidik. Membiarkan Rizka tenggelam ke dunia itu bukan hal yang disarankan, tapi sayang kontrak sudah ditandatangani. Mereka akan terkena penalti yang cukup lumayan seandainya putus di tengah jalan.

“Boleh sih boleh, tapi tetap waspada ya. Aku kurang percaya sama si Wedhus itu. Mukanya ketahuan kalau orangnya ga banget. Mungkin sering ngobat juga, aku kurang suka sama dia. Tapi siapa tahu sebenarnya dia tidak seperti penampilannya dan ini semua hanya dugaanku saja.”

Rizka tersenyum, dia senang sekali kalau Raka memperhatikannya seperti ini, seperti saat mereka pacaran dulu, kangen banget diperhatikan seperti ini oleh sang suami. “Tenang saja, Kang. Aku tahu kok batas-batasnya.”

Raka mengangguk, dia percaya Rizka tahu apa yang terbaik. Raka pun mengangkat gelas kopi-nya dan menyeruput setarikan. Ah, memang ga ada yang ngalahin kopi di pagi hari seperti ini, berjuta banget rasanya.

Ding.

Ponsel Raka mengabarkan ada pesan singkat masuk. Suami Rizka itu melirik ke arah layar sambil terus menyeruput kopinya sedikit demi sedikit. Pagi-pagi begini, ada WhatsApp dari siapa? Saat Raka melirik, ia menyadari nama yang tertera di layar bukan nama orang selayaknya karena Raka sudah mengubah nama asli orang itu di ponselnya.

Aku sudah di kantor, tapi aku butuh bantuanmu. Aku tidak kuat lagi, pengen resign rasanya. Ada yang terus menerus memaksaku masuk ke ruangannya. Aku masih menghindar. Apa yang harus aku lakukan? Aku sedang sembunyi, keluar gedung sekarang. Di cafe seberang kantor. Ke sini sekarang ya? Aku bingung mesti gimana – Raspberry Cheesecake.

Raka hampir tersedak saat melihat pesan singkat itu.

“Eh, ehm... aku berangkat dulu ya.” Raka buru-buru mengambil bekal yang sejak tadi disiapkan oleh Rizka. Ia melesat ke depan tanpa membawa tumbler minuman yang sedang diisi oleh sang istri. Dia langsung berangkat setelah membaca pesan singkat yang baru masuk ke ponselnya, Rizka tak menyadari hal itu.

“Eh? Kang? Minumannya, Kang?”

Raka sepertinya tidak mendengar karena sejurus kemudian ia sudah melesat meninggalkan rumah dengan menggeber motornya kencang. Rizka menutup tumbler, meletakkannya di meja dan mengerutkan kening. Ada apa ya dengan suaminya? Kenapa dia begitu terburu-buru?

Aneh.

Tapi Rizka tidak punya banyak waktu untuk memperhatikan suaminya yang kini sudah melesat jauh dan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Tumben banget dia ngebut pagi-pagi, biasanya juga dia akan berangkat lebih siang. Rizka melirik ke jam dinding, setengah jam lebih cepat. Apa ada sesuatu di kantor?

Rizka mulai melanjutkan dengan membenahi rumah, menyapu, dan merapikan. Dia sendiri juga harus bersiap – mandi yang bersih, siapkan baju terbaik, pakai minyak wangi, dan berdandan yang cantik. Karena tidak lama lagi Rhoma dan rombongan Mbak Ratih pasti akan datang menjemput. Dia bohong pada Raka akan berangkat agak siang karena tak mau suaminya terlalu khawatir kalau Rizka harus bekerja dari pagi sampai sore nanti.

Benar saja, tak lama setelah Rizka selesai berdandan terdengar bunyi klakson mobil di depan rumahnya. Klakson mobil yang cukup mengganggu.

Rizka buru-buru keluar, mengunci pintu rumah dan berlari ke mobil yang sudah menunggunya. Hanya ada satu mobil saja yang datang. Ia masuk ke kursi penumpang di mobil yang parkir tepat di depan rumahnya.

Rhoma tersenyum menyambut Rizka, “Halo, selamat pagi Mbak Rizka. Widih, cuaaantik banget. Bisa munduran dikit ga, Mbak? Cantiknya kelewatan. Hahahahaha. Sudah siap?”

Tumben sopan nih kang cilok, batin Rizka dalam hati. Tampilan Rhoma semakin membuat istri Raka itu jengah. Rambut dipotong ala-ala punk dengan warna campuran pink dan hijau, kaus hitam band metal yang entah asalnya dari mana, pakai maskara hitam entah supaya apa, mungkin maunya serem, tapi malah bikin geli.

“Siap, Mas. Mohon bantuannya, ya. Mulai hari ini saya jadi partnernya.”

“Siap. Dibikin santai saja, Mbak. Kita jalan ya.”

Rizka mengangguk sembari memasang sabuk pengamannya. Dia melirik ke dashboard mobil yang sudah tersemat beberapa kamera untuk mengambil adegan akting mereka berdua. Ada kamera yang di tengah, kanan dan kiri. Rizka melirik ke belakang.

“Mbak Ratih mana, Mas?”

“Mbak Ratih tidak bisa ikut sore ini, Mbak. Jadi hanya kita berdua saja. Tidak apa-apa, ya. Supaya Mbak-nya bisa santai, kita take untuk satu atau dua episode saja hari ini. Di hari-hari berikut mungkin bisa untuk tiga episode atau lebih, tolong besok-besok bawa baju dan kerudung ganti supaya bisa ganti penampilan dan pakaian jadi tidak terlihat kita melakukan take dalam sehari, Mbak.”

“Oh gitu, baik, Mas.”

“Oke, untuk script hari ini sudah di-send sama Mbak Ratih? Bisa dicek di WA, Mbak.”

“Oh, sudah semalam, Mas. Sudah saya baca juga.”

“Oke berarti kita ready ya. Ingat ya Mbak, ini cuma akting, jadi santai aja.”

“Siap.”

Mobil Rhoma berhenti di sebuah kafe tak jauh dari sebuah mal besar. Tempat ini cukup terang, pencahayaan juga tidak perlu banyak repot karena suasana mendukung. Lokasi cukup lengang dan sepi, cocok untuk pengambilan gambar. Rhoma sudah beberapa kali mengambil gambar di sini dan pemiliknya pun sudah konco dewe.

Setelah turun dan memesan makanan, Rhoma dan Rizka ke posisinya masing-masing. Rhoma masuk ke mobil untuk memulai intro, Rizka duduk di kursi yang ada di kafe. Semua kamera sudah disiapkan oleh Rhoma. Satu dia bawa, satu lagi ada di depan meja Rizka.

“Halo semuanya! Apa kabar gengs?! Ketemu lagi dengan saya Rhoma Wedhus Kapurbarus, yang punya wajah heavy metal tapi hati karet sendal. Hahahah. Sembari diiringi lagu Tempat Biasa-nya Anak Kompleks, kita mau masuk ke kafe ini nih. Kafe opo ya iki? Kafe Ahmad namanya. Hahaha. Oke lah kalo begitu. Nah Rhoma mau ngapain ke kafe ini? Jadi begini gengs, selama ini Rhoma ga pernah bilang-bilang ke gengs sekalian kalo Rhoma itu benere sedang deketin gebetan nih. Orangnya kek apa? Yang jelas orangnya cantik, alim, semampai, dan pokoke tipe-nya Rhoma banget wes to. Setelah sekian lama, akhirnya Rhoma hari ini beranikan diri untuk nembak nih, gengs. Kira-kira jawabannya apa ya? Jawabannya apa gengs? Yuk ikuti gengs.”

Rhoma pun turun dari mobil sembari membawa bunga seikat. “Duh tegang nih gengs. Kira-kira jawabannya apa ya? Diterima atau ditolak gengs? Silakan tulis jawabannya di kolom komentar ya. Bagi yang bener, nanti Rhoma pilih buat bagi-bagi giveaway. Gimana? Joss to? Wes tah, joss pokoke kalau jadi sebskreber-e Rhoma Wedhus Kapurbarus. Jadi jangan lupa sebskreb, like, komen, dan nyalakan lonceng notifikasinya.”

Rhoma menyembunyikan buket bunganya di meja kasir. “Mbak, hari ini saya mau nembak cewek saya. Nitip bunganya dulu ya. Nanti kalo saya kodein, bisa minta tolong anterin?”

Sang kasir awalnya bingung, tapi lantas sadar ketika Rhoma menunjuk ke arah kameranya.

“Oh, baik Mas. Buat konten ya?”

“Hehehe, iya. Tolong ya, Mbak. Sama minta Teh Bolot-nya satu.”

“Baik, Mas.”

Dalam hati, kasir itu pun penasaran dengan hasil akhir perjuangan si Rhoma. Emang mau tuh cewek se-ekslusif Rizka ditembak sama sapu lidi selokan kayak Rhoma begini? Dilihat dari sisi manapun tidak akan bikin garis keturunan membaik, malah anjlog.

“Hai, halo.” Rhoma sok akting mencari-cari Rizka sebelum akhirnya menemukan juga si cantik itu sedang duduk di luar kafe, menatap indahnya pemandangan gunung menjulang. Rhoma pun duduk di samping Rizka dan meletakkan sebotol teh kemasan di atas meja. Di depan Rizka sendiri sudah ada cemilan pisang goreng lumur coklat keju dan french fries. “Kamu di sini toh.”

“Iya. Emang kenapa?”

“Aku nyariin kamu lho sedari tadi.”

“Oh ya?”

“Iya... nih buktinya minumnya tinggal separuh. Aku nungguin di meja yang di belakang, kirain kamu kesana, eh ternyata di sini. Hahahahhaha. Kamu nggak ngabarin sih dari tadi.”

He’em. Tapi kan barusan udah ngabarin, Mas?”

“Iya. Barusan. Lama ngabarinnya, sampai minumnya udah ampir habis. Tapi ga papa, nanti pesan lagi. Kafe ini emang asyik banget, menunya juga lengkap. Emangnya tadi kamu di sini sama temen? Aku ga ganggu kan?”

“Hah, nggak kok. Dari tadi sendirian.” Duh kaku ga sih ini ngobrolnya? Berasa awkward banget. Rizka mencoba memperbaiki duduknya, dia masih segan menatap langsung ke arah Rhoma. Malu-malu tapi emang ga mau. “Emang kenapa nyariin?”

“Ga papa juga sih, kan emang kita janjian di sini. Eh, ini aku rekam ga apa-apa ya?”

“Ga apa-apa, Mas.”

“Oke makasih ya. Gengs. Jadi ini temen aku, namanya Rizka. Dia anak kuliahan.”

Lho gimana sih? Ga baca skrip ya? Duh, kurang kompak nih. Buru-buru Rizka protes. “Aku kerja, Mas.”

“Kan belum selesai tadi... kuliah sambil bekerja. Hehehe.” Bisa aja ngelesnya kang cilok. “Jadi kita saat ini ada di sebuah Kafe. Tempatnya bagus banget. Namanya Kafe... namanya kafe apa sih ini, Ka?” tanya Rhoma sambil menunjuk logo sponsor.

“Ini namanya Kafe Ahmad, Mas.”

“Nah iya, Kafe Ahmad. Sebenere namane panjang ya, Kafe Ahmad dan Nasigila Slavina. Hehehe, ga tau dapet ide kasih nama seperti itu dari mana ya. Hahahahaha.”

“Iya, Mas. Dari mana ya?” Rizka mengangguk sambil mengetuk-ngetuk keningnya dengan manis. Uedan manisnya, Rhoma sampai bengong melihat Rizka. Wes jan koyo widodari, cewek ini bener-bener selayaknya bidadari turun ke bumi, ga pakai pantura atau jalur utara, tapi langsung pakai tol. Manisnya maut.

Rhoma buru-buru mengalihkan perhatian, gawat kalau terpesona, bisa-bisa garing nanti kontennya. Perbincangan mengenai kafe memakan waktu sekitar sepuluh menit lebih. Setelah itu barulah Rhoma melancarkan aksinya. Ia memandang tak berkedip ke arah Rizka. Hal yang lama-lama membuat istri Raka itu merasa risih.

“Apaan sih? Kok dari tadi ngelihatin terus? Ada yang aneh ya, Mas?”

“Nggak sih, aku cuma mengagumi keindahanmu.”

“Weits, apaan sih. Aku malu tahu.” Jantung Rizka berdentum dan berdebar. Ini nih, mulai nih si sambel kacang. Eh, tapi kalau ditembak itu meski boongan, ternyata tetep bikin degdegan juga ya. Seakan-akan seluruh dunia menatap tanpa kedip ke arah mereka.

“Kenapa harus malu? Kamu cantik, menarik, seksi, semua kotak checklist sudah dicentang. Sempurna.”

“Mana ada yang sempurna. Bisa-bisanya ah, Mas.”

“Ada yang sempurna meski tidak mungkin sempurna seratus persen, tapi setidaknya aku yakin ini lebih dari sembilan puluh sembilan persen.”

“Apa tuh?”

“Perasaanku padamu.”

“Eh?”

“Rizka, kita kan kenal udah lama ya. Jadi berdua temenan ya. Kamu sering bantu aku, aku pun selalu ikhlas bantuin kamu. Kamu selalu ada di saat aku membutuhkan dan aku pun berharap aku bisa ada saat kamu membutuhkan...”

“Okeee... ” Meski sudah membaca skrip, tapi Rizka tetap geli. Ia mencoba berakting senatural mungkin menghindari jijik. Ga tau kenapa, tapi rasanya deg-degan juga ditembak si kang cilok satu ini. “Terus?”

Rhoma mengangguk ke kasir dan mbak-mbak yang sejak tadi mengamati buru-buru berlari sembari membawakan buket bunganya. Rhoma menerima bunga itu, lalu turun sembari menekuk satu kaki. Beberapa orang yang melihat kejadian itu langsung berdecak kagum, sembari ngomongin – ada putri khayangan sedang ditembak ampas ketan!

“Mas? Kamu mau apa, Mas? Orang-orang ngeliatin kita semua ini, Mas.” wajah Rizka memerah, tak urung ia merasa malu jadi pusat perhatian. Tapi the show must go on. Rizka mencoba menatap mata Rhoma saat menerima bunga yang dihunjukkan kepadanya. Entah kenapa, seperti ada kesungguhan di kedua mata Rhoma, ada sesuatu... yang sangat-sangat dalam.

“Aku hanya berharap kalau apa yang aku lakukan ini bukanlah hal yang mengejutkan dan terlalu cepat aku sampaikan. Tapi aku saat ini ingin mengungkapkan perasaan dari hatiku yang paling dalam. Setelah lama kita berkenalan, setelah sekian lama main bareng, rasa-rasanya aku ingin menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar teman. Aku tahu kamu masih sendiri seperti aku juga masih sendiri. Saat mataku menatap indah raut wajahmu, aku seakan-akan tak akan sanggup hidup tanpa bilang... aku cinta kamu.”

“HAAAAAHHH!?” ekspresi Rizka tidak dibuat-buat, dia memang benar-benar kaget meski adegan itu ada dalam skrip. Kapan sih cewek ga deg-degan pas ditembak sama cowok? Eh, ini cowok kan ya? Bukan sapu ijuk? “Se-serius, Mas?”

“Serius, Ka. Tidak ada orang yang lebih aku cintai selain kamu. Dulu, sekarang, ataupun masa yang akan datang, perasaaanku tidak akan berubah. Aku tergila-gila padamu, kamu menjadi candu yang tak bisa kusembuhkan. Memang, aku hanyalah laki-laki biasa yang punya banyak kekurangan dan mungkin tak pantas mengharapkan cintamu, tapi jika kamu bersedia menerima cintaku, aku berjanji untuk melakukan apapun yang terbaik untukmu.”

“Mas... pelan-pelan, Mas... aku bingung...”

“Sejak pertama kali bertemu denganmu, aku langsung membayangkan betapa indahnya jika suatu saat nanti kita dapat membina rumah tangga dan hidup bersama sampai akhir hayat. Tapi impian itu hanya akan jadi impian jika saat ini kita masih berada di jalan yang berbeda... jadi... Rizka... maukah kamu jadi pacarku?”

Rizka tahu ini cuma bohongan, tapi hatinya benar-benar seperti disamber geledeg mendengar pernyataan dari Rhoma. Wajah serius pemuda itu... kok rasa-rasanya itu bukan wajah main-main ya?! Wajahnya berbeda dengan yang sejak tadi ia saksikan, atau saat dia sedang ngobrol sendiri dengan penontonnya, ini wajah yang berbeda. Seakan-akan ia sungguh-sungguh sedang menembak Rizka untuk menjadi kekasihnya. Tatapan mata tajam Rhoma menatap Rizka dengan pandangan serius. Di saat-saat seperti ini konon seorang wanita bisa merasakan aura ketulusan seseorang dan Rizka bisa merasakan itu keluar dari Rhoma.

Jangan-jangan si kang cilok ini beneran naksir dia?

“Kok diem aja?” tanya Rhoma.

“Berikan aku waktu untuk berpikir.”

“Berpikir pun kamu cantik.”

“Ish. Gombal.” Rizka memejamkan mata, mencoba menghilangkan semua perasaan yang muncul dan mengembalikan jiwa profesionalnya. Ini cuma akting. Ini akting. Ingat kalau ini akting. “Aku... sebenarnya aku ini orangnya simpel, aku butuh seorang kekasih yang setia, jujur, tanggung jawab, dan perhatian. Kamu sanggup tidak menjadi orang itu untuk aku?”

“Sanggup.”

Dasar cowok.

Sekarang pasti bilang sanggup, besok belum tentu. Ah sudahlah, jangan berpikir yang aneh-aneh. Ini pekerjaan, harus dilakukan secara profesional. Saatnya mengeluarkan jurus akting Ikatan Cinta Bawang Putih yang Tersanjung oleh Panji Manusia Millenium Yang Tertukar.

“Aku... sebenarnya juga nyaman jalan bareng sama kamu, main bareng sama kamu. Bisa dibilang kalau dari kebersamaan kita, aku juga jadi care banget sama kamu. Ada hari-hari di mana aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu.” Rizka menunduk malu. Ketahuan ga ya aktingnya? Berasa busuk banget kalimat-kalimatnya.

“Ja-jadi... kamu mau?”

Rizka tersenyum manis, semanis toblerone tanpa kacang. Ia mengangguk.

Rhoma langsung melonjak-lonjak dan meninju udara di atasnya, seakan-akan dia baru saja memenangkan hadiah ratusan juta rupiah hasil undian yang diumumkan lewat SMS hoax. Beberapa orang yang mengamati kejadian itu langsung bertepuk tangan. Mbak kasir geleng-geleng, dia sedang mempertanyakan kenormalan kedua mata Rizka yang mungkin agak ngeblur sewaktu melihat penampilan Rhoma.

Sumpah, Rizka jadi malu sendiri jadi pusat perhatian. Sesaat kemudian Rhoma terdiam, lalu mendekati Rizka dan menatapnya dengan pandangan serius. “Eh, kamu beneran kan? Mau menerima aku jadi pacarmu kan?”

“Iya beneran.”

“Ja-jadi ini berarti kita resmi...”

“Iya, kita jadian.”

“Oh wow! Gilaaaak!! Yes! Yeeeesss!! Yessss!! Gengs! Aku diterima, Gengs! Aku diterimaaaa!” Dia melonjak-lonjak lagi. Tapi sesaat kemudian terhenti karena kakinya kesandung kabel. “Eh... eh... eh... kalau sudah jadian... aku mau ngasih sesuatu buat kamu dong.”

Dengan berani Rhoma memegang jemari lentik dan halus milik Rizka. Mau tidak mau Rizka menerimanya, namanya juga akting. Dia berharap sekali mudah-mudahan Raka dan teman-temannya tidak pernah menonton vlog si Kapurbarus ini. “Mau ngasih apa, Mas?”

“Tatap mataku dalam-dalam.”

Rizka menatap Rhoma. Berasa nggilani sih. “Terus?”

“Kamu lihat kesungguhan di kedua bola mataku?”

“Li-lihat...”

Eh tapi bener lho, kok Rhoma liatinnya gitu amat ya? Jangan-jangan bocah ini beneran serius nembaknya? Rizka jadi ragu-ragu dengan aktingnya sendiri. Ini aslinya Rhoma yang jago akting, atau dia beneran nembak Rizka? Rizka meneguk ludah. Ia bertatapan dengan Rhoma tanpa mengetahui perasaan sebenarnya si Youtuber somplak itu.

“Kamu sayang sama aku?” tanya Rhoma.

“Iya. Aku sayang sama kamu...” deg-degan Rizka saat mengucapkannya untuk laki-laki lain, karena kalimat itu sesungguhnya hanya pernah ia ucapkan untuk Raka sang suami. Ugh, begini amat cari duit ya. Dia harus menahan muntah.

“Diam dan jangan bergerak,” ucap Rhoma lembut. Tangannya masih terus menggenggam jemari lentik istri Raka itu.

“Kamu mau ap...”

Rhoma berdiri dan mengecup kening Rizka.

Tiba-tiba terdengar musik mengalun dari kafe. Lagu Beautiful in White.

Istri Raka itu pun langsung bergetar, antara merasa risih, jengah, tapi juga terkejut. Surprise sekali! Dia sama sekali tidak menyangka Rhoma akan melakukan hal itu. Dulu Raka menembak dengan cara yang biasa-biasa saja, hanya bilang – jadian yuk, udah. Beda sekali dengan perlakuan Rhoma yang tidak disangka ternyata cukup romantis juga.

Lumayan lah.

Rizka tersenyum dengan wajah memerah.

Jadi... dia sekarang pacaran sama Rhoma nih?





.::..::..::..::.







“Ini Pak, maaf ya seadanya, maklum sebenarnya saya tidak bisa masak. Hanya pura-puranya saja bisa masak. Hihihi. Mudah-mudahan bisa dinikmati.”

“Wah, ini dari baunya yang harum sudah ketahuan kalau enak sekali. Terima kasih banyak, Bu...”

“Lho, kok masih Bu manggilnya?”

“Ehm... maksud saya... Rima.” Pak Rebo nampak kikuk saat wanita jelita di hadapannya menatapnya sambil tersenyum luar biasa manis. Bagaimana mungkin ada laki-laki yang bisa mengatasi pesona semacam ini? Rima baru saja mengetuk pintu rumahnya dan saat ia keluar menemui sang bidadari ternyata Rima sedang membawa rantang berisi roti dan lauk makan.

Mata laki-laki tua itu menatap keindahan di depan matanya tanpa berkedip, penuh rasa yang terlalu memuja yang sebaiknya ia simpan untuk diri sendiri saja. Mana mungkin ia ungkapkan rasa kagum ini di depan si cantik itu? Pak Rebo tidak paham lagi, bagaimana mungkin ada makhluk yang seindah ini di dunia? Senyum Rima benar-benar membius dan penuh pesona, tak heran sampai-sampai ada orang yang hendak melecehkannya karena ingin menikmati keindahan yang ditawarkan oleh sang ibu muda jelita itu.

“...Pak Rebo...?”

Pak Rebo masih bengong.

“Pak Rebo...?”

“Eh! I-iya... maaf... maaf...” Barulah pria tua itu tersadar dari lamunannya. “Maafkan saya. Jadi ngelamun malah barusan. Jujur saya merasa agak canggung memanggil nama secara langsung, seperti tidak sopan. Oh iya, sekali lagi terima kasih makanannya. Sebenarnya tidak perlu repot-repot.”

“Saya tidak merasa keberatan dan kerepotan, Pak. Justru sebaliknya. Kita telah menjadi tetangga yang rumahnya berhadap-hadapan sejak lama, tapi baru sekarang akhirnya bisa ngobrol. Seharusnya kita bisa lebih akrab dari yang sebelum-sebelumnya. Pak Rebo tidak perlu sungkan-sungkan kalau butuh bantuan dari saya atau suami. Kami berdua pasti akan membantu Pak Rebo kapanpun diperlukan.”

“Begitu ya.”

Rima mengangguk dan tersenyum. “Baiklah kalau begitu, selamat menikmati. Mudah-mudahan enak. Saya pamit dulu ya, Pak.”

“Baiklah. Terima kasih, Bu... eh, maksud saya... Rima.”

Rima tertawa dan meninggalkan Pak Rebo.

“Ehm, Rima...”

Rima agak terkejut ketika Pak Rebo tiba-tiba saja memanggilnya. Wanita berkerudung yang cantik itu menengok ke belakang dan menatap Pak Rebo. “Iya, Pak?”

“Hari ini saya harus menghadiri satu acara yang saya tidak begitu percaya diri untuk menghadirinya, apalagi saya tidak punya teman atau kerabat yang bisa menemani. Apakah kira-kira Rima berkenan menghadiri acara tersebut bersama sa...” Pak Rebo terdiam dan menggelengkan kepala, “Ah, rasanya tidak sopan meminta tolong untuk hal seperti ini. Maaf, lupakan saja.”

Rima menghela napas dan tersenyum, “Apa sih, Pak? Kok belum-belum sudah merasa bersalah seperti itu? Saya mau kok. Asalkan tujuannya jelas dan tidak membuat orang berpikiran aneh-aneh. Memangnya Pak Rebo mau mengajak saya ke mana?”

“Mantan adik ipar saya anaknya menikah hari ini.”

“Eh?”

Sebentar-sebentar... Pak Rebo ngajakin Rima datang ke kondangan?

“Jujur saya sebenarnya tidak pengen datang. Tapi saya tidak ingin membuang kesempatan untuk menawarkan roti-roti saya ke saudara lama juga, meski itu hanya dengan menyebarkan kartu nama. Ah, memang tidak sopan saya ini. Lupakan saja yang baru saja ya. Saya akan datang sendiri saja – ini kebutuhan saya – tidak perlu melibatkan Rima, maaf tadi saya keceplosan.”

Orang ini semalam telah menyelamatkannya dari nasib buruk yang jauh lebih mengerikan daripada kematian.

Rima berdehem.

Wajahnya memerah. Sungguh ia malu. Tapi kalau hal ini bisa membayar sedikit dari hutang budi-nya kepada Pak Rebo, maka sepertinya tidak akan jadi masalah, asal mereka berdua tetap berada di jalur masing-masing yang aman.

“Saya bersedia, Pak. Asal pulangnya sesuai dengan jam pulang sekolah anak saya dan saya boleh membawa Radja ikut serta ke acara tersebut.”

“Ha?” Pak Rebo melotot.

“Jadi... kita berangkat jam berapa?”

Sekarang giliran Pak Rebo yang terkejut.





BAGIAN 3 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4


NO QUOTE
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd