Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ranjang Yang Ternoda (Reborn)

Status
Please reply by conversation.
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
cerita favorit ane setelah eliza semoga suhu bisa memberikan warna dam ide yg berdeda dari cerita sebelumnya
ditunggu apdetnya hu :konak:
 



Lidya


Pak Hasan

Pak Hasan adalah mertua Lidya dan ayah kandung Andi. Usianya sudah 58 tahun, bertubuh agK gemuk, berambut klimis dan sudah menduda sejak 12 tahun terakhir. Setelah kehilangan rumahnya yang berada di desa karena tidak bisa membayar hutang yang menumpuk, Pak Hasan sedianya akan ditampung sementara oleh Andi dan menantunya Lidya yang sama-sama baru berusia 26 tahun sebelum nantinya mendapat rumah kontrakan yang baru.

Pak Hasan mengetuk pintu depan dan menantunya yang ayu segera menyambutnya. Si seksi itu hanya mengenakan daster tipis yang menerawang, khas baju ibu-ibu rumah tangga. Tapi entah kenapa, saat Lidya yang mengenakan baju itu, terlihat sangat menggairahkan. Lidya terlihat sangat cantik dan segar.

“Lho? Bapak? Aku kira bapak baru akan datang besok lusa? Ayo masuk dulu,” kata Lidya sambil memutar badan. Walau tertutup daster, tapi Pak Hasan bisa melihat jelas lekuk pantat sempurna milik Lidya yang menerawang di balik daster. Lidya, seperti juga kakak-kakaknya memiliki kecantikan natural yang sempurna. Walaupun menantu Pak Hasan itu memiliki perangai yang manis, ceria dan suka bercanda, tapi sosok ayu dan seksinyalah yang membuat setiap lelaki ingin menidurinya.

“Mas Andi belum pulang, tapi sebentar lagi pasti datang.”

“Tadi aku naik bis yang sore.” kata Pak Hasan sambil mencari sofa untuk duduk.

“Oh begitu. Istirahat dulu, Pak. Anggap saja rumah sendiri.” Jawab Lidya sambil membungkuk untuk mengambil cangkir yang ada di meja di depan Pak Hasan. Karena daster yang dipakai Lidya sangat longgar, gerakan ini membuat Pak Hasan bisa mengintip celah buah dada putih ranum yang menggiurkan di balik BH Lidya.

Melihat keseksian menantunya, kemaluan Pak Hasan langsung mengeras. Mertua Lidya itu segera menyembunyikan tonjolan di selangkangannya karena malu. Setelah menata meja, Lidya duduk di depan Pak Hasan dan menyilangkan kakinya, seakan memamerkan kakinya yang putih, mulus dan jenjang dengan bulu-bulu halus yang menggairahkan. Pak Hasan harus konsentrasi penuh untuk mendengarkan pertanyaan Lidya.

“Jadi bagaimana perjalanannya? Capek yah, Pak?”

“Lumayan melelahkan. Lima jam perjalanan.”

Mata Pak Hasan bergerak menelusuri seluruh lekuk tubuh Lidya, dari atas sampai bawah, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Hampir 5 tahun sudah Pak Hasan tidak melakukan kegiatan seksual. Setelah kematian istrinya, Pak Hasan sering memanggil pelacur saat masih tinggal di desa. Tapi kemudian berhenti karena hutang-hutangnya kian bertumpuk dan dia tidak bisa membayar seorang pelacurpun. Lidya mulai sedikit rikuh dengan tatapan mata Pak Hasan yang seakan menelanjanginya.

“Aku naik dulu ke kamar ya, Pak. Mau mandi sebentar lalu aku siapkan makan malam. Bapak pasti sudah lapar kan? Anggap aja rumah sendiri,” kata Lidya sambil menaiki tangga. Mata Pak Hasan tidak lepas dari goyangan pantat menantunya yang aduhai sampai ke atas tangga. Walaupun sudah uzur, tapi Pak Hasan tetap laki-laki normal, dia butuh melepaskan hasrat birahinya. Dia ingin masturbasi untuk melepaskan gejolak nafsunya.

Saat itu telepon berbunyi. Pak Hasan mengangkatnya.

“Halo?”

“Halo, ini Bapak ya?”, tanya suara di ujung, yang rupanya suara Andi.

“Iya, ini Bapak, Ndi,” kata Pak Hasan.

“Pak, aku minta maaf aku nggak bisa pulang hari ini, soalnya aku harus lembur di luar kota dan baru akan pulang sekitar hari Minggu sore. Mendadak banget dan tidak bisa ditunda. Tolong pamitin ke Lidya ya. Pesawatnya hampir berangkat, aku tidak bisa lama-lama. Maaf tidak bisa menemani Bapak. Aku telpon kalau sudah sampai di sana nanti.”

“Baik, Ndi. Nanti Bapak sampaikan. Iya.”

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Pak Hasan menutup telepon.

Pak Hasan berniat untuk membawa tas-tasnya yang berisi baju ke kamar atas. Perlahan dia menaiki tangga, melewati kamar utama — tempat tidur Lidya dan Andi. Terdengar deru suara air mengalir dari kamar mandi yang terletak di dalam kamar utama. Pak Hasan meletakkan tasnya di depan pintu kamar. Setelah berpikir keras, dia memutuskan untuk memasuki kamar tidur utama pasangan Andi dan Lidya.

Di atas ranjang terdapat celana jeans dan atasan kaos putih. Saat mengambil kaos itu Pak Hasan mendapati BH dan celana dalam tipis yang juga berwarna putih. Pak Hasan benar-benar tidak kuat lagi menahan birahinya. Diambilnya celana dalam Lidya, dibukanya celananya sendiri, dan mulailah ayah mertua Lidya itu coli dengan menggesekkan celdam Lidya di kontolnya yang mulai keriput.

Detak jantung Pak Hasan makin cepat karena ia tahu menantunya sedang mandi sementara dia coli menggunakan celana dalam yang akan dipakai Lidya. Gerakan Pak Hasan makin meningkat cepat karena saat coli Pak Hasan membayangkan enaknya menikmati tubuh Lidya di ranjang dan bagaimana rasanya memeluk menantunya yang cantik itu. Pak Hasan membayangkan asyiknya melihat tubuh molek Lidya terhentak-hentak didera sodokan penisnya.

Pak Hasan mengintip sedikit ke kamar mandi. Lidya rupanya lalai dan membiarkan pintu kamar mandi sedikit terbuka, memudahkan akses bagi mertuanya mengintip. Pak Hasan mendapati Lidya sedang menyabuni buah dadanya yang besar dan kenyal.

“Wow. Tubuh si Lidya benar-benar indah. Sangat seksi,” batin Pak Hasan. “Seandainya mungkin, aku ingin masuk ke dalam sana dan mengenthu menantuku yang aduhai itu.”

Pak Hasan meneruskan colinya di celdam Lidya saat menantunya itu membungkuk untuk menyabuni kakinya yang jenjang dan pahanya yang mulus. Tak lama kemudian, Lidya bersandar pada dinding sementara air shower membilas tubuhnya yang putih mulus. Tangan kiri Lidya menangkup buah dadanya yang indah. Jari jemarinya mulai mengelus dan menowel-nowel pentilnya. Pak Hasan terpana melihat menantunya itu memainkan payudaranya. Tangan kanan Lidya menuruni perutnya yang langsing dan masuk ke selangkangannya.

“Aaaaahhhhhh,” Lidya mendesah kecil.

Tangan kiri Lidya yang penuh gelembung sabun itu kini memilin dan meremas-remas pentil payudaranya hingga mengeras, lalu meremas buah dadanya bergantian. Tangan kanan Lidya masih berada di selangkangannya. Semakin mencondongkan tubuhnya ke belakang, Lidya membentangkan kakinya sedikit. Pak Hasan bisa melihat jari jemari lentik tangan menantunya keluar masuk memeknya sendiri. Pak Hasan terpesona melihat si cantik Lidya menggunakan jempolnya untuk menggosok dan menggerakkan daging menonjol yang ada di ujung atas bibir vaginanya.

“Ah! Ah! Ah! Ehm! Ehm! Ooooohhh!!!” kaki Lidya melengkung saat si jelita itu melenguh perlahan. Akhirnya tangan kirinya turun lemas ke samping badannya, sementara jari-jarinya tangan kanannya berhenti bergerak, namun tetap berada di dalam liang vaginanya.

Pak Hasan merasakan air maninya membanjir. Tangannya belepotan sperma dan ia membersihkannya menggunakan celana dalam Lidya. Terdengar suara shower dimatikan dan Lidya mulai keluar dari shower. Secepat kilat Pak Hasan meletakkan celdam Lidya seperti sediakala dan meninggalkan kamar itu. Pak Hasan menutup pintu kamar, namun masih membuka sedikit celah. Saat sudah beranjak meninggalkan tempat itu, terlihat Lidya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang terlilit di tubuhnya yang indah.

Pak Hasan sebenarnya bisa langsung orgasme hanya dengan melihat Lidya setengah telanjang dan hanya mengenakan handuk, ternyata mertua mesum itu jauh lebih beruntung daripada yang dia kira. Tak sengaja, Lidya menjatuhkan handuknya ke lantai. Tanpa sepengetahuan wanita ayu itu, sang ayah mertua yang nafsu birahinya sedang memuncak ada di luar kamar sedang mengawasi tiap gerak-geriknya yang molek. Karena memunggungi pintu, Pak Hasan bisa menyaksikan pantat putih mulus Lidya yang sempurna.

Perlahan-lahan Lidya berbalik dan Pak Hasan hampir tak kuat menahan nafsu. Baru kali inilah dia menyaksikan keindahan tubuh Lidya secara langsung tanpa sehelai benangpun. Rambut di atas kemaluan Lidya terlihat terawat karena dipotong rapi dan sangat lembut, sementara payudara Lidya yang montok sangat ranum dan besar. Si molek itu mengambil handuk lalu mengeringkan rambutnya yang dikeramas. Karena bergerak cepat, buah dada Lidya bergoyang ke kanan dan ke kiri dengan erotis. Pak Hasan meletakkan satu tas kresek yang dibawanya dan mulai mengocok kontolnya lagi.

Saat Lidya usai mengeringkan rambut, istri Andi itu mengambil celana dalamnya dengan sedikit membungkuk. Tentu saja Pak Hasan makin puas karena bisa melihat lebih jelas ke arah lubang anus sang menantu. Untung saja Pak Hasan kuat menahan diri, bisa saja ia masuk ke dalam dan menyetubuhi Lidya dari belakang dengan paksa. Warna merah muda anus mungil milik menantunya itu sangat mengundang selera sang pria tua. Pak Hasan berandai-andai apakah anaknya si Andi pernah menyodomi istrinya. Lidya mulai mengenakan celana jeansnya dan kembali payudara si cantik itu bergoyang-goyang. Pemandangan erotis ini makin lama makin memuaskan Pak Hasan. Tak perlu waktu lama, sperma pria tua itu akhirnya meledak di dalam celana.

Pak Hasan mengambil semua tasnya dan berjalan kembali ke kamar untuk berganti pakaian. “Situasinya menarik sekali!”, batin laki-laki tua itu sambil membersihkan tangan dengan tissue. “Aku sendirian di rumah selama beberapa hari dengan menantuku yang cantik jelita dan sangat seksi itu! Aku harus mendapatkan tubuh Lidya! Aku harus menanamkan penisku di memeknya yang wangi secepatnya!”

Entah apa yang akan dilakukan Andi seandainya dia mengetahui rencana ayah kandung pada istri yang dicintainya.

###

Setelah mandi dan membersihkan diri, Pak Hasan kembali turun ke ruang keluarga. Dia duduk di sofa dan menonton berita di televisi, berharap bisa sejenak melepaskan hasrat birahinya yang liar kepada menantunya sendiri. Tidak lama kemudian, Pak Hasan mendengar suara lembut dari atas tangga.

“Pak, siapa tadi yang telepon?”

“Oh, itu si Andi dari bandara,” jawab Pak Hasan. “Katanya dia harus langsung lembur dan berangkat ke luar kota malam ini juga. Baru pulang hari Minggu sore. Untuk keperluan bisnis atau yang lain, Bapak kurang paham.”

Pak Hasan mendengar gerutu kecil dari Lidya tentang kebiasaan Andi yang jarang pulang dan lain sebagainya. Tak lama kemudian Lidya turun ke ruang keluarga. Pak Hasan hanya bisa menatap takjub penampilan menantunya yang indah itu. Lidya memakai baju putih tanpa lengan yang membuat buah dadanya yang besar terlihat menonjol menantang dan celana jeans yang hampir-hampir tidak sampai ke pinggulnya. Dari belakang, Pak Hasan bisa mencuri pandang belahan pantat Lidya.

Pak Hasan mulai terangsang lagi saat membayangkan Lidya menggunakan celdam yang tadi digunakan oleh Pak Hasan untuk coli. Rambut indah panjang Lidya diikat kucir kuda dan membuat si cantik itu tampak lebih muda. Pak Hasan menahan diri dan kembali menatap layar televisi.

Lidya mulai menyiapkan makan malam sementara Pak Hasan menyusulnya ke dapur untuk melihat apakah dia bisa membantu Lidya. Sekitar dua puluh menit memasak dan bercakap-cakap, makanan pun siap. Tak disadari oleh Lidya kalau sedari tadi Pak Hasan memanjakan matanya dengan mengamati setiap lekuk tubuh Lidya dari atas sampai bawah sementara Lidya memasak. Pantatnya yang bulat dan montok itu makin terlihat sempurna karena ketatnya celana jeans yang dikenakan. Saat mengambil bumbu di atas lemari, celana dalam putih yang dipakai Lidya sedikit terangkat dan terlihat oleh Pak Hasan. Lelaki tua itu puas melihat menantunya memakai celdam yang sama yang dia gunakan untuk coli.

Pak Hasan langsung membayangkan nikmatnya menubruk tubuh Lidya, membungkukkan tubuh si cantik itu ke depan, dan melesakkan kontolnya ke dalam memek Lidya sementara tangannya meremas-remas susunya. Lamunan itu sirna begitu Lidya berbalik dan menghidangkan makan malam.

###

Lidya sudah hampir terlelap ketika dirasakannya angin semilir masuk melalui selimutnya yang tebal. Baru disadarinya ternyata selimut itu diangkat oleh seseorang. Lidya yang masih terpejam tersenyum gembira, ternyata Andi tidak jadi berangkat ke luar kota.

Saat membalikkan badan, barulah disadari bahwa bukan Andi melainkan Pak Hasan yang berada di samping tubuhnya! Karena sangat mengantuk, Lidya lambat bereaksi, dan dengan cekatan Pak Hasan langsung memeluk tubuh menantunya.

Gesekan tubuh telanjang mereka menyadarkan Lidya akan gawatnya situasi yang sedang dihadapi. Lidya pun segera mendorong tubuh Pak Hasan dan berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Pak Hasan hanya tersenyum sinis dan menelikung tangan Lidya hingga dia tidak bisa berkutik. Tubuh keriput Pak Hasan menindih tubuh mulus Lidya sehingga istri Andi itu terengah-engah. Semakin Lidya memberontak dan mencoba melepaskan diri sergapannya, semakin Pak Hasan terangsang.

“Bapak! Lepaskan aku! Apa yang bapak lakukan di sini?” tanya Lidya.

###

“Itu pertanyaan bodoh, menantuku sayang,” Kata Pak Hasan. “Kurasa kau tahu pasti apa yang sedang aku lakukan. Birahiku sedang tinggi dan aku bosan onani. Aku pengen memek yang enak, jadi aku masuk ke sini.”

“Gila!! Aku ini menantumu!!” protes Lidya. “Ini tidak mungkin! Bapak tidak bisa…”

“Memangnya siapa yang akan menghentikan aku?” tanya Pak Hasan. “Tidak ada orang lain di sini. Kamu boleh berteriak kalau mau tapi aku yakin tidak akan ada orang yang akan masuk dan menjebol tembok untuk menyelamatkanmu. Dan kau lihat sendiri, aku juga jauh lebih kuat daripada kamu.”

“Jika bapak memperkosaku, aku akan lapor pada polisi!” ancam Lidya.

“Bisa saja kau lakukan itu. Tapi menurutmu, bagaimana perasaan Andi?”

“Apa maksud bapak?”

“Seandainya kamu berani pergi ke polisi dan mengaku diperkosa oleh ayah mertuamu sendiri, Andi akan hancur perasaannya. Istrinya yang cantik dan mempesona diperkosa oleh ayahnya sendiri. Apalagi aku akan mengarang sebuah cerita kepadanya kalau istrinya, Lidya yang jelita merayu ayah mertuanya. Bahkan jika dia mencoba untuk tidak mempercayai ceritaku, dia tidak akan pernah percaya lagi padamu. Aku, tentu saja akan menceritakan bagaimana enaknya menyetubuhimu dan membuatmu orgasme. Semua detail akan aku ceritakan. Semua kenikmatan yang tidak pernah ia bisa berikan kepadamu. Oh ya, sayang. Jika kau cerita pada Andi atau polisi tentang perkosaan ini, kau akan menghancurkan hidupnya.”

Lidya terdiam dan tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya menganga lebar karena tiap perkataan Pak Hasan ada benarnya.

“Bapak tidak peduli pada Andi? Apa yang akan dirasakannya?” tanya Lidya dengan lirih. “Bapak benar-benar ingin menyakiti putra bapak sendiri?”

“Bukan aku yang akan menyakitinya. Kamu yang akan menyakiti perasaannya. Aku sih cuma pengen ngentotin kamu. Kalau kamu tidak cerita apa-apa sama dia, semua beres. Semua senang.”

“Kecuali aku.”

“Oh, kalau sampai kamu tidak puas bercinta denganku, namaku bukan Hasan.” Kata lelaki tua itu dengan bangga. Dengan berani dia mencium bibir Lidya.

Ciuman yang disosorkan oleh Pak Hasan bukanlah ciuman mesra seperti yang biasa diberikan oleh Andi pada Lidya. Ciuman Pak Hasan sangat kasar dan penuh nafsu, dengan buas Pak Hasan memaksa lidahnya masuk ke mulut Lidya, lalu mengeluarmasukkan lidahnya dengan cepat. Gerakan lidah Pak Hasan seirama dengan gerakan pinggulnya yang mendorong ke depan. Sekali lagi Lidya berusaha mendorong tubuh Pak Hasan. Kali ini usahanya hampir berhasil. Pak Hasan yang tidak siap terdorong mundur. Namun saat Lidya berusaha lari dari ranjang, Pak Hasan menarik kaki sang menantu dan merentangkannya lebar-lebar. Pria tua yang sudah kehilangan akhlak itu menarik lutut Lidya dan menjepitkan pinggangnya di antara dua paha Lidya.

Si cantik itu bisa merasakan jembut kasar Pak Hasan menyentuh bibir kemaluannya. Memek Lidya yang lama kelamaan basah bisa dirasakan oleh kulit Pak Hasan yang langsung menyentuh selangkangan Lidya. Istri Andi itu berusaha mendorong mundur mertuanya. Tak henti-hentinya Lidya memukul dan menampar Pak Hasan, tapi apa daya seorang wanita lemah? Pak Hasan tidak mempedulikan perlakuan Lidya dan meremas payudara sang menantu. Pria tua itu tidak lagi berlaku lembut pada buah dada Lidya. Dengan kasar diremas-remas dan dipelintirnya pentil susu Lidya. Lidya merasa malu saat kemudian puting susunya malah makin mengeras. Pak Hasan tidak melewatkan hal ini dan memelintir pentil Lidya dengan jari-jari tangannya. Lidya tidak berkutik, sambil merem melek dia melenguh keras. Pak Hasan mencium pentil Lidya dan menjilatinya dengan penuh nafsu.

Hangatnya mulut Pak Hasan terasa begitu nikmat sehingga Lidya lupa melawan. Dengan sadis Pak Hasan memangsa buah dada Lidya dengan lidahnya, sesuatu yang sudah dia idam-idamkan sejak lama. Pak Hasan menjilati pentil Lidya lalu menciumi buah dadanya. Kenikmatan yang dirasakan oleh Lidya begitu tinggi sehingga istri Andi itu melenguh keras dan menjambak rambut Pak Hasan. Dengan wajah senang dan puas, Pak Hasan tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.

“Susumu bagus sekali, nduk,” kata Pak Hasan. “Aku selalu memperhatikan buah dadamu dan bertanya-tanya bagaimana rasanya kalau dijilati. Tidak begitu besar dan tidak terlalu kecil. Cukupan. Sempurna. Pentilnya juga mempesona, lumayan besar.”

Lidya yang tersinggung oleh ejekan itu mulai melawan Pak Hasan lagi, kali ini si cantik itu bahkan berteriak-teriak meminta tolong. Sia-sia saja, tidak ada yang mendengar teriakan Lidya. Pak Hasan tertawa-tawa dan terus meremas payudara Lidya. Dijilati dan digigitinya susu putih Lidya, pria tua yang sangat nafsu itu berusaha menelan seluruh buah dada Lidya ke dalam mulutnya. Dia bahkan meremas payudara Lidya dan berusaha menelan keduanya bersama-sama. Walaupun tindakannya kasar, tapi Lidya mulai merasakan sensasi kenikmatan yang aneh dan kesulitan menolak Pak Hasan.

Pak Hasan mengagetkan Lidya saat mertuanya itu berbalik dan berlutut di atas tubuhnya. Kepala Pak Hasan menghilang di antara paha Lidya dan kontol Pak Hasan bergelantung di atas wajah cantiknya. Penis Pak Hasan sangat berbeda dengan milik Andi. Milik Pak Hasan jauh lebih pendek dan tebal, warnanya juga lebih hitam kemerahan. Lidya bergidik saat membayangkan kontol Pak Hasan memasuki tubuhnya. Rasa ngeri dan ketakutan membuat Lidya mengeluarkan cairan pelumas yang membanjir di selangkangannya. Lidya menggigit bibirnya saat tiba-tiba saja mulut Pak Hasan menjelajahi selangkangannya yang basah. Pak Hasan mulai mencium, menjilat dan menghisap memek sang menantu. Tangan Pak Hasan merenggangkan kaki jenjang Lidya supaya mendapatkan akses bebas ke vaginanya. Direntangkannya lebar-lebar sehingga Lidya tidak bisa menolak perlakuan ini.

Pak Hasan dengan mahir menggunakan lidahnya menjilati klitoris Lidya, lalu pada bibir vagina dan akhirnya lidah Pak Hasan menjelajah ke dalam liang cinta Lidya. Ia menjilat dengan gerakan memutar dan menusuk, membuat Lidya menggelinjang keenakan. Pak Hasan bahkan menggunakan giginya untuk menggigit-gigit kecil klitoris Lidya. Istri Andi itu masih terus berteriak dan melawan, bergerak mengelilingi tempat tidur dengan sekuat tenaga. Tapi Lidya sudah tidak tahu lagi, apakah teriakannya itu teriakan takut atau teriakan penuh nikmat. Tiba-tiba saja Lidya mengalami orgasme. Kenikmatan menguasai tubuh indahnya, Lidya bergetar hebat saat mencapai puncak. Sebuah kenikmatan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Tubuh Lidya tergolek lemas. Tapi bahkan saat orgasme itu sudah menghilang, Pak Hasan belum selesai menikmati tubuh molek Lidya.

Pak Hasan membalikkan badan dan sambil menarik pinggul Lidya, dilesakkannya kontolnya yang besar ke dalam nonok sang menantu. Lidya merem melek karena tidak bisa menahan kenikmatan yang diberikan oleh mertuanya. Seluruh memeknya seakan terulur sampai batas dan terisi penuh oleh kontolnya. Lidya bisa merasakan denyutan demi denyutan kontol sang mertua di dalam liang cintanya. Vaginanya terus memeras penis sang mertua yang keluar masuk dengan cepat. Tiap kali digerakkan, seakan tusukan Pak Hasan makin ke dalam, membuat Lidya mendesah-desah karena tak tahan. Desahan si cantik itu membuat Pak Hasan makin cepat memompa vagina Lidya.

Akhirnya Lidya mencapai puncaknya lagi, tubuhnya yang sempurna melejit karena mengeluarkan cairan cinta. Lidya bisa merasakan air mani Pak Hasan juga tumpah di dalam rahimnya.

Pak Hasan jatuh menimpa Lidya, tubuh mereka menggigil dan bermandikan keringat. Akhirnya dia berdiri dan keluar dengan santai dari kamar Lidya, meninggalkan istri Andi itu terlentang telanjang di kasur.

Saat Pak Hasan akhirnya tertidur, Lidya memutuskan untuk mandi keramas dan mengganti seprei yang baru saja dipakainya untuk melayani nafsu ayah mertuanya. Dia mencoba melupakan apa yang terjadi tapi getaran yang terasa di tubuhnya tak kunjung menghilang. Lidya tahu dia tidak mungkin mengatakan sejujurnya apa yang terjadi pada Andi ataupun pada pihak yang berwajib. Lidya tak punya bukti apapun dan dia takut kalau Andi bertanya padanya apakah Lidya menikmati bersetubuh dengan ayah mertuanya. Andi selalu tahu saat Lidya berbohong jadi dia pasti tahu kalau Lidya mendapatkan sensasi kenikmatan lain saat bersetubuh dengan Pak Hasan. Lidya tidak akan menceritakan apapun pada suaminya.

Saat membersihkan kamar keesokan paginya, Lidya menemukan sepucuk kertas di atas meja riasnya. Surat dari Pak Hasan.

“Aku berharap bisa tidur denganmu lagi, Lidya sayang. Kalau aku sudah tidak kecapekan tentunya. Membayangkannya saja sudah membuatku nafsu. Aku berjanji akan lebih perkasa.”

Walaupun Lidya berharap Pak Hasan hanya mengancam, tapi dia tahu mertuanya itu bersungguh-sungguh. Istri Andi itu gemetar ketakutan. Dia membayangkan ayah mertuanya akan menyetubuhinya lagi setiap ada kesempatan dan tidak ada satupun yang bisa dilakukan si cantik itu untuk menghentikannya.
 
Berubah lagi ini hu.. jd RYT (Reborn). :confused:
 


Pak Pramono


Dina

Dina Febrianti sedang resah menghitung tagihan bulanan yang bertebaran di atas mejanya. Wanita cantik berusia 32 tahun yang masih terlihat seperti remaja belasan tahun itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan membolak-balik kertas berisi angka-angka. Tagihan listrik, telepon, air, credit card, cicilan motor, cicilan mobil, pembayaran kredit kontrak rumah dan cicilan kredit biaya rumah sakit mertua. Jumlah terhutang sangatlah besar, dan tiap bulannya seakan jumlah itu selalu bertambah besar karena bunga yang ditanggung juga meningkat.

Karena stress, Dina menarik nafas panjang, menyisihkan surat-surat tagihan dan mengambil sebuah amplop besar berwarna coklat yang berisi tagihan kredit pinjaman pembangunan rumah. Anton dan Dina tengah membangun sebuah rumah di kawasan pinggir kota karena sudah bosan selama ini mengontrak terus. Sayangnya, rumah yang sedang mereka bangun menurut Dina terlalu besar dan mewah untuk ukuran mereka. Dina sering membujuk Anton agar berhemat karena dia tahu untuk membangun rumah seperti yang diinginkan Anton akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan seandainya mereka mengambil kredit, maka biaya berikut bunganya akan sangat besar. Anton hanya tertawa dan mengatakan istrinya terlalu banyak khawatir. Saat menyesuaikan keuangan rumah tangga dan tagihan hari ini, Dina merasa kekhawatirannya menjadi kenyataan.

Untungnya jumlah uang yang mereka kumpulkan bulan ini cukup untuk membayar semua tagihan, Dina menarik nafas lega. Paling tidak mereka bertahan sampai bulan depan. Dina berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih hati-hati dalam hal keuangan. Dia berniat memaksa Anton untuk lebih bijaksana. Paling tidak mereka bisa memotong anggaran untuk credit card dan kembali ke pembayaran cash. Bunga yang ditarik oleh bank untuk credit card sangatlah besar dan membuat mereka mengalami defisit. Sayangnya permintaan Dina selalu ditampik oleh Anton.

“Biarlah yang terjadi esok hari, terjadi esok hari. Yang penting kita hari ini bisa bertahan.” Kata Anton setiap kali Dina mengajukan usulan. Seandainya Dina sadar kalau kata-kata Anton itu bagaikan ramalan, dia seharusnya lebih cemas lagi.

Kalau mengesampingkan kesulitan finansial yang dialami keluarganya, kehidupan Dina sangatlah sempurna. Dia amat mencintai Anton dan suaminya itu memang memiliki gaji yang lumayan untuk menghidupi keluarga. Bersama kedua putranya yang masih kecil, ibu muda yang cantik ini memiliki segala yang mereka inginkan. Hanya sayangnya, mereka tidak punya tabungan di bank seandainya sewaktu-waktu diperlukan pengeluaran mendadak.

Dina tersenyum saat teringat pada kedua anak kebanggaannya. Dani, putranya yang paling besar sudah kelas 5 SD, sedangkan Dion baru masuk ke kelas 1 SD. Mengingat kebutuhan mereka yang semakin besar, senyum Dina memudar. Alat tulis, buku dan seragam makin hari makin mahal. Belum lagi si Dani sudah waktunya disunat, tentu biaya yang dibutuhkan akan sangat besar kalau mereka mengadakan syukuran.

Dina mencari amplop berisi uang belanja bulanan yang biasa diberikan Anton. Begitu menemukannya, Dina langsung menghitung uang yang diberikan Anton bulan ini. Betapa kagetnya Dina begitu tahu jumlah pemberian uang belanja bulan ini sangat sedikit. Tidak akan mencukupi kebutuhan rumah tangga selama sebulan! Dina tidak meminta uang belanja yang berjuta-juta, cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja sudah bersyukur. Tapi jumlah uang yang mepet itu ternyata masih dipotong lagi oleh Anton. Dina memutuskan untuk menelepon suaminya. Ibu rumah tangga yang kebingungan itu segera memencet nomor HP Anton.

Sayangnya HP Anton tidak aktif. Dina menelepon ke kantor. Menurut Desi sekretaris Anton, suami Dina itu sudah meninggalkan ruangannya.

Dina meletakkan gagang telepon dengan terheran-heran. “Kemana lagi dia? Bukannya pulang malah keluyuran?”

Tanpa sepengetahuan Dina, Anton memiliki penghasilan lain yang tidak halal. Sudah bertahun-tahun Anton membohongi Dina. Anton adalah seorang pemain judi. Bahkan saat ini pun dia sedang berada di arena taruhan. Suami Dina itu sedang menyobek-nyobek kupon taruhannya karena lagi-lagi kalah memasang nomor. Perhitungannya meleset jauh padahal jumlah uang yang dijadikan taruhan tidak sedikit.

Saat Anton pulang ke rumah dan ambruk di ranjang, dia beruntung Dina tidak sedang dalam kondisi bad mood. Dina segera menanyakan perihal jumlah uang belanjanya yang berkurang, senyum Anton yang menawan membuat hati si cantik itu luluh. Dina sangat mencintai suaminya dan dia tahu Anton juga memujanya. Memangnya kenapa kalau suaminya itu sedikit boros? Uang belanja adalah uang Anton juga, sehingga kalau dia memang memerlukannya, tidak ada salahnya Dina rela. Apalagi Anton sudah memberikan banyak hal untuk Dina dan anak-anaknya. Anton sudah membuai mereka dengan harta benda.

“Shhh, anak-anak belum tidur. Jangan ribut,” Bisik Dina pada suaminya yang tiba-tiba saja ‘menyerangnya’.

“Oh, masa aku nggak boleh ngentotin istriku sendiri?”

“Anton Hartono! Bahasanya kok jorok gitu? Kampungan!”

“Hm, kalau tahu aku dulu akan menikahi perempuan lugu, aku pasti protes keras pada almarhum Bapak dan Ibumu,” canda Anton. “Mereka membesarkan seorang anak perempuan yang cantik jelita namun sangat naif.”

“Tidak lucu. Aku bukan perempuan lugu.”

Anton mengamati istrinya – rambutnya dipotong ala Dian Sastrowardoyo presenter acara kuis berhadiah 3 Milyar rupiah, matanya indah dengan bulu mata yang lentik, pipinya halus mulus tanpa bercak ataupun jerawat, kulitnya putih mulus bagai susu, buah dadanya masih membusung kencang dan tidak melorot, pinggang langsing, pinggul sempurna di atas pantat yang bulat merangsang dan kaki jenjang yang sangat menawan. Dulu pernah sekali waktu, seorang agen iklan meminta Dina menjadi model iklan sabun mandi terkenal, namun Dina menolaknya. Anton mengagumi keindahan istrinya yang hampir sempurna. Tangan-tangannya yang nakal menjelajahi perut Dina. Masih seperti perut seorang gadis remaja, walaupun kenyataannya Dina sudah melahirkan dua orang anak.

“Baiklah, kalau begitu wanita konservatif,”

“Maksudnya?” Dina mulai gusar.

Anton menyesal memulai percakapan ini. Dina sangat lugu dan naif dalam hal bercinta dan berpenampilan. Pakaian yang dikenakan istrinya selalu sopan dan tidak pernah menonjolkan kemolekan tubuhnya. Dina juga bukan seorang petualang di ranjang. Dia pemain seks yang konservatif dan monoton. Berciuman, saling menggesek dan bercinta dengan posisi missionary. Selalu begitu. Sekali dua kali, Anton bisa melakukan doggie style, tapi istri Anton itu tidak pernah mengijinkan sang suami menyentuh anusnya dalam kondisi apapun. Walaupun Dina pernah mengatakan kalau doggie style itu juga merendahkan diri sama seperti binatang, namun dalam kondisi ‘panas’ Dina biasanya menyerah pada keinginan suaminya.

Di awal pernikahan mereka, Anton pernah mencoba melakukan oral seks pada organ kemaluan Dina, tapi istrinya itu langsung menjerit dan melonjak-lonjak marah. Dia langsung menghardik Anton dan mengatakan kalau kemaluan mereka kotor. Dina tidak pernah mengerti kenapa Anton ingin menjilati bibir kemaluannya yang merupakan sumber penyakit. Sebaliknya pun begitu. Suatu ketika sesaat setelah Anton meminta Dina mengulum penisnya, istrinya itu langsung mengunci diri di dalam kamar mandi dan tidak mau keluar selama dua jam. Anton tidak pernah meminta posisi yang aneh-aneh lagi.

“Jadi? Ayo katakan saja! Kenapa aku ini wanita konservatif?”, lanjut Dina. “Apa karena aku ini bukan wanita murahan? Bukan pelacur?”

“Sudahlah. Lupakan saja.”

“Tidak mau. Kau yang memulai percakapan ini, jadi aku ingin mendengar lanjutannya.”

“Yah, kamu kan memang tidak ingin mencoba hal-hal baru saat bercinta denganku?”

“Aku melakukan apa yang menjadi tugasku,” kata Dina penuh emosi. “Aku seorang istri yang baik, setia, penurut dan telah memberimu dua orang anak!”

“Maafkan aku, sayang. Kamu benar,” Anton mengalah. Dia berusaha mengembalikan mood sang istri yang nampaknya mulai naik pitam.

“Aku sedang tidak ingin melakukannya,” kata Dina sambil melepaskan tangan Anton yang meremas payudaranya. Dina mematikan lampu dan menarik selimut.

Anton memahami nada suara istrinya yang tinggi dan memiringkan badan untuk mengecup bibir Dina. Setelah mencium bibir Anton, Dina membalikkan badan dan memunggunginya. Si cantik itu segera terlelap. Anton bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.

Entah kenapa, setelah 12 tahun menikah dan hapal dengan sifat-sifat Dina, dia dengan tololnya memutuskan untuk membicarakan hal yang menyinggung perasaan istrinya. ‘Dasar sial’ batin Anton. Suami Dina itu terpaksa coli di kamar mandi untuk melepas hasrat birahinya malam itu.

###

Dina duduk di kamar santai dan menyalakan televisi. Tapi ibu muda yang cantik itu tidak menonton tayangan sinetron di televisi. Dina terus memijat-mijat tangannya dengan gelisah di pangkuan dan bertanya-tanya apa yang diinginkan oleh Pak Pramono, bos kerja Anton. Pak Pramono telepon tadi pagi dan bertanya apakah dia boleh datang berkunjung. Pak Pramono mengatakan ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan. Anehnya, saat ini Anton justru tengah dinas keluar kota. Apa yang ingin disampaikan Pak Pramono padanya? Dina selalu merasa rikuh saat berhadapan dengan Pak Pramono.

Walaupun sudah tua, tapi pria yang rambutnya sudah beruban semua itu sangat besar dan masih terlihat gagah. Kulitnya yang hitam dan kumisnya yang lebat menambah sangar penampilan Pak Pramono. Dia lebih mirip seorang perwira militer ketimbang bos perusahaan IT. Dina bertanya-tanya dalam hati apa yang ingin dibicarakan oleh Pak Pramono saat kemudian bel pintu berbunyi.

Dina buru-buru membukakan pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. Dia mengantarkan sang tamu ke ruang duduk di mana mereka berdua akhirnya berhadapan. Dina merasa sedikit grogi berbincang-bincang dengan pimpinan suaminya. Sangat jarang pimpinan Anton berkunjung kemari, bahkan bisa dibilang ini baru pertama kalinya mereka berdua berhadapan langsung.

“Bagaimana kabar anda?” tanya Pak Pramono memulai percakapan.

Dina cukup terkejut dengan pertanyaan sopan ini. Pak Pramono bukan orang yang suka berbasa-basi dan wajahnya cenderung menyeramkan. Satu-satunya pertemuan empat mata antara Dina dan Pak Pramono berlangsung di sebuah pesta perusahaan. Saat itu Pak Pramono bahkan tidak tersenyum pada siapapun. Sebaliknya Bu Pramono adalah seorang istri yang sangat ramah. Dina memutuskan untuk tidak memasang wajah kaku dan berlaku santai. Dia duduk dengan tenang.

“Baik, terima kasih. Bagaimana kabar anda sendiri, dan Bu Pramono, sehat-sehat saja kan?” Dina menjawab ramah.

“Baik. Baik. Ibu juga baik baik saja. Semua sehat.”

Dina melihat wajah Pak Pramono mengeras, sehingga perasaan tegang kembali menyelimutinya. “Pasti Bu Anton bertanya-tanya kenapa saya ingin menemui ibu?”

“Betul Pak, saya cukup terkejut dengan telpon dari anda… apalagi saat ini Mas Anton sedang keluar kota dan…”

“Akan lebih baik kalau dia tidak ada di sini. Saya ingin berbincang-bincang soal serius pada Bu Anton perihal bapak.”

“Tentang suami saya? Apa ada masalah di tempat kerja?

“Pertama, apakah ibu tahu soal kebiasaan Pak Anton berjudi?”

Dina terkejut dan hampir pingsan, tapi setelah beberapa saat berdiam, dia mencoba menguasai dirinya sendiri dan menjawab. “Mas Anton tidak pernah berjudi, tidak tepat kalau disebut ‘kebiasaan’, Pak Pramono.”

Pak Pramono membuka tas kerjanya dan mengambil secarik amplop manila. Dia membukanya dan mengeluarkan beberapa carik kertas dari dalamnya. Memisahkan sebagian dan mengambil beberapa lagi. Dia lalu menunjukkannya kepada Dina. Kertas-kertas itu adalah foto. Dina duduk terdiam. Dia hampir pingsan.

“Ini buktinya,” kata Pak Pramono tenang.

Dalam foto-foto itu tergambar kegiatan Anton saat dia sedang di meja judi. Entah itu saat bermain kartu atau berbagai jenis kegiatan judi lain. Ada foto-foto saat Anton sedang memasang nomor taruhan, ada foto saat Anton merobek nomernya yang kalah dengan kesal dan ada foto Anton saat dia sedang minum bir bersama beberapa bandar.

“Darimana anda mendapatkan foto-foto ini?” tanya Dina kebingungan.

“Itu tidak penting. Jadi patut diketahui oleh ibu, kalau kami selalu melakukan penyelidikan mendetail pada seluruh karyawan, termasuk Pak Anton. Dalam kasus ini, kami memang mencurigai beliau.”

“Mencurigai! Kenapa?”

“Saya baru hendak menyampaikan alasannya. Auditor kami menemukan catatan sejumlah besar dana yang telah diselewengkan oleh seorang karyawan. Hal itu membuat kami harus memulai langkah penyelidikan. Setelah langkah-langkah diambil, semua bukti yang ada mengarah pada Pak Anton, suami ibu. Kami menghubungi pihak yang berwajib dan mereka mengirim beberapa intel untuk, mm, mematai-matainya.”

“Ini pasti kesalahan besar. Anton tidak mungkin mencuri. Dia tidak pernah berjudi!” Dina mulai gusar, matanya mulai basah.

“Tentunya, seperti yang terbukti dari foto-foto ini, suami ibu jelas-jelas berjudi.” Pak Pramono mengeluarkan beberapa foto lagi dari amplop manilanya. “Bahkan kami punya bukti kalau Pak Anton juga telah melakukan korupsi dan menggelapkan uang perusahaan untuk kegemarannya itu.”

Dina yang shock duduk dengan mulut terbuka lebar karena terheran-heran. Ruang tamunya seakan berputar dan perlahan menjadi gelap. Dina pingsan.

###

Saat kemudian terbangun, Dina sedang berbaring di sofa dan Pak Pramono duduk di sampingnya.

“Anda ingin saya ambilkan segelas air?” tanya Pak Pramono.

“Apa yang terjadi? Ya Tuhan, saya ingat. Tidak mungkin. Anton tidak akan melakukan itu semua. Apa yang akan anda lakukan?”

“Itulah sebabnya hari ini saya memutuskan kemari dan menemui Mbak Dina. Saya punya penawaran.” Kata Pak Pramono.

“Penawaran? Untuk saya? Apa yang bisa saya lakukan?”

Pak Pramono tersenyum nakal. “Begini, Bu Anton, atau boleh saya panggil Mbak Dina saja supaya akrab? Anda terlalu muda dan cantik untuk dipanggil ibu.”

Dina mengangguk.

“Baiklah, Mbak Dina. Anda bisa membantu suami, dalam hal ini Mas Anton, dan juga seluruh keluarga Mbak Dina. Saya punya bukti-bukti kuat yang akan menggiring Pak Anton ke penjara untuk jangka waktu yang sangat lama. Saat melakukan penyelidikan, kami juga menerima berkas-berkas laporan keuangan dan bon tagihan bulanan keluarga anda.”

Dina sudah siap memprotes, tapi kemudian terdiam dan membiarkan Pak Pramono meneruskan keterangannya.

“Memang apa yang saya lakukan bersama tim terdengar ilegal, tapi saya bersumpah apa yang kami lakukan sah sesuai hukum. Saya memberitahu anda saat ini karena ingin anda mengerti posisi kami. Dari apa yang kami dapatkan, kami menemukan bukti bahwa keluarga anda telah berfoya-foya dengan membeli berbagai peralatan elektronik dan…”

“Berfoya-foya? Kami tidak minta apa-apa! Itu semua Mas Anton yang membelikan!” teriak Dina panik.

“Kami minta maaf, tapi saya tetap pada pernyataan saya. Suami anda menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan seiring dengan kegiatan judi yang dia lakukan dan banyaknya hutang yang dia tanggung dari kegiatannya itu, saya rasa anda tidak sanggup mengeluarkan lebih banyak lagi dana dari anggaran belanja anda. Pak Anton harus kehilangan pekerjaan dan mendekam di penjara.”

“Ya Tuhan, lalu apa yang akan terjadi kalau anda melakukan itu?! Kami akan kehilangan rumah! Anak-anak! Apa yang terjadi pada mereka? Sekolah dan lain-lain!”

“Benar sekali. Itu sebabnya saya disini. Saya bukan pendendam. Saya memang sangat marah saat tahu Pak Anton telah mencuri uang perusahaan, tapi saya lalu teringat pada Mbak Dina dan… ahh, saya punya penawaran menarik.”

“Apa yang anda maksud… penawaran menarik?”

“Apakah anda berniat membantu Pak Anton mempertahankan pekerjaannya dan menjauhkan suami anda dari jeruji penjara?”

“Tentu saja.”

“Apa yang anda akan lakukan untuk itu?”

“Apa saja.”

Tentunya Dina bermaksud membayar kembali hutang Anton pada perusahaan, bahkan jika dia harus menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci untuk melakukannya.

Dina akan sangat terkejut saat Pak Pramono melanjutkan niatnya.

“Saya sangat lega anda berpendapat demikian, Mbak Dina. Tahu tidak, anda sungguh sangat cantik jelita. Sangat mempesona.”

“Terima kasih. Tapi sebaiknya kita tetap pada pokok permasalahan.”

“Itulah yang sedang saya lakukan. Saya ingin menolong keluarga anda keluar dari kesulitan ini. Dengar baik-baik apa yang hendak saya sampaikan: saya orang yang sangat kaya, jadi saya bisa melupakan uang yang dicuri suami anda dari perusahaan hanya jika… jika anda berlaku ‘baik’ terhadap saya.”

“Pak Pramono, apa saya tidak pernah berbuat baik pada anda? Apa pernah saya berlaku tidak sopan pada anda?”

“Mbak Dina. Anda selalu sopan terhadap saya. Tapi itu bukan ‘kebaikan’ yang saya maksudkan. Apa anda tahu maksud saya?”

“Mohon maaf, tapi saya tidak tahu. Pikiran saya sedang kalut dan saya tidak bisa berpikir jernih. Apa yang anda maksud?”

“Baiklah. Saya akan terus terang saja. Kalau kamu ingin aku melupakan kelakuan suamimu dan kerugian yang diderita perusahaan, aku ingin kamu melayaniku. Tidur denganku. Aku ingin menggauli tubuh indahmu.”

Mulut Dina menganga tak percaya. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat pasi dan dia duduk di kursi dengan menggigil ketakutan. Akhirnya, setelah mengumpulkan semua kekuatan karena shock, Dina berteriak kencang. “Keluar dari rumahku! Pergi! Orang tua tidak tahu diri!”

Pak Pramono perlahan memindahkan foto-foto yang berada di amplop manila dan meletakkannya di dalam tas kerja. Sengaja dia meletakkan tas itu dengan keras di atas meja sehingga membuat Dina terperanjat. Pak Pramono berdiri, membalikkan badan dan perlahan berjalan ke arah pintu. Setelah lima langkah, Pak Pramono berhenti dan melirik ke belakang.

“Penawaran ini tidak akan aku ulangi,” kata Pak Pramono dingin. “Saat aku melangkah keluar dari rumah ini tanpa kau turuti kemauanku, pihak yang berwajib – kepolisian, akan segera aku hubungi. Segera.”

Dina meloncat dari kursinya dan berusaha menahan kepergian Pak Pramono. “Tunggu! Saya mohon, Pak! Berhenti dulu!” Dina sangat kebingungan. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang sebaiknya ia perbuat? Seluruh tubuhnya bergetar karena takut dan dia tidak dapat berpikir jernih. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa banyak berpikir, Dina mengganguk lemah. “Baiklah. Anda menang.”

“Apa itu artinya kamu mau melakukan semua yang aku minta?”

Dina ragu-ragu sesaat, matanya menatap ke lantai dengan hampa dan akhirnya dengan suara lemah dia menjawab. “Iya. Saya tidak punya pilihan lain.”

“Bagus. Kalau begitu ayo kita buktikan saja.” Pak Pramono duduk di sofa dan menunggu dengan santai. Saat Dina berdiri terdiam, Pak Pramono pun tersenyum puas.

“Buka bajumu.” Perintah Pak Pramono.

###

Tangan Dina bergetar hebat saat dia melepaskan kancing bajunya. Pandangan mata Pak Pramono tidak lepas dari payudara Dina yang masih tertutup kemeja, menunggu dengan penuh harap untuk menyaksikan susu Dina dalam kondisi tidak tertutup sehelai benang pun. Dina ingin berhenti, tapi terus membuka kancing dan melepas bajunya. Bh dan isinya yang putih mulus dan montok menjadi perhatian utama Pak Pramono. Dina meraih kancing BH di belakang dan melepaskannya. Saat BH itu menggantung di atas payudaranya, Dina mulai ragu-ragu dan berusaha menggunakannya menutup buah dadanya. Dina melepaskan celananya sambil masih memegang BH.

Pak Pramono jelas menikmati pertunjukan ala striptease ini. Sudah jelas bagi pria tua itu bagaimana malunya perasaan Dina, yang tentu malah menambah nikmat rangsangannya. Saat buah dada Dina keluar dari BH, Pak Pramono bisa melihat pentil payudara Dina sudah membesar, tentu karena udara dingin. Saat melepas celana panjang, Pak Pramono memperhatikan celana dalam yang dipakai Dina. Celana dalam putih biasa saja. Hal ini justru menambah minat Pak Pram. Lebih jelas lagi kalau Dina adalah seorang ibu rumah tangga yang sederhana dan mungkin orang yang pernah melihat Dina dalam kondisi setengah telanjang hanyalah Anton dan dirinya sendiri.

Dina menggigil ketakutan. Wanita cantik itu berdiri setengah telanjang di hadapan pria asing yang juga bos dari suaminya. Satu tangan mengapit BH yang sudah hampir copot agar tetap menutupi payudara dan tangan yang satu lagi menangkup selangkangannya. Dengan satu gerakan dilemparkannya BH ke samping sehingga Pak Pramono bisa menyaksikan tubuh bugil istri pegawainya.

Pak Pramono menatap si cantik Dina dan menikmati ketidaknyamanan wanita itu. Tapi dia kemudian menjadi tidak sabar. Pak Pramono membuka tasnya dan melambaikan amplop manila ke arah Dina. Istri Anton itu tahu apa yang dimaksud Pak Pramono dan mengambil nafas sekaligus keberanian ganda. Dina menarik celana dalamnya ke bawah secepat mungkin dan langsung menutup selangkangannya kembali dengan tangannya. Dina kini sudah berdiri tanpa sehelai benangpun di hadapan Pak Pramono, dan berusaha keras menutupi payudara dan vaginanya.

“Letakkan tanganmu di samping,” kata Pak Pramono dingin.

Dina tahu inilah saatnya. Saat-saat penentuan. Apakah dia akan menunjukkan tubuh telanjangnya pada laki-laki di hadapannya ini? Setelah mempertimbangkan resiko tidak melakukannya, Dina menarik nafas panjang dan menyerah. Berdiri tegap dan bergetar hebat, Dina akhirnya mempersembahkan keindahan tubuh telanjangnya yang luar biasa mempesona pada pria selain suaminya. Dina membenci pandangan asusila Pak Pramono pada dirinya, dia membenci pandangan laki-laki tua yang sedang memuaskan diri dengan menjelajahi sekujur tubuh Dina.

“Berbaliklah… perlahan,” kata Pak Pramono.

Dina menurut, dia berbalik memutar badan. Pantatnya yang mulus terangkat merangsang di hadapan Pak Pramono. Dina terus memutar sampai dia kembali berhadapan dengan Pak Pramono.

“Aku tadi bilang berbalik. Bukan memutar,” kata Pak Pramono galak.

Sekali lagi Dina memutar badan, tapi kali ini dia berhenti saat pantatnya berada di depan Pak Pramono. Ruangan itu menjadi sunyi dan bagi Dina semuanya menjadi lebih parah karena tidak bisa melihat ke arah Pak Pramono. Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan laki-laki tua itu. Bagi ibu muda yang cantik dan sederhana itu, kesunyian ini seakan berlangsung amat lama.

“Renggangkan kakimu,” suruh Pak Pramono. “Bagus. Sekarang membungkuklah dan lihat kemari melalui sela-sela kakimu.”

Dina menahan nafas saat dia melihat ke arah Pak Pramono di antara sela-sela kakinya. Celana panjang sekaligus celana dalam Pak Pramono sudah copot dan penisnya yang mengeras bagaikan menantang langit. Tidak hanya keras, sepertinya kontol Pak Pramono juga lebih besar – lebih besar dan panjang – daripada milik Anton. Dina juga sadar kalau memeknya bisa dilihat jelas oleh Pak Pramono. Angin semilir membelai bibir vaginanya yang terbuka menantang. Sebelum ini belum ada satu orangpun yang pernah menyaksikan liang kemaluannya seperti ini, bahkan suaminya sendiripun belum pernah.

Saat Pak Pramono memintanya mendekat, Dina berdiri tegak dan menarik nafas lega. Tapi ketika dia berdiri di samping bos Anton itu dengan bertelanjang bulat, wajah cantik Dina langsung memerah karena malu. Dina melompat mundur ketika jari jemari Pak Pramono mengelus bagian dalam paha mulusnya.

“Kembali ke sini dan buka kakimu lebar-lebar!”

Dina berjalan gontai ke arah kursi tempat Pak Pramono duduk dan memejamkan mata saat jari jemari Pak Pramono masuk ke vaginanya. Kali ini walaupun tubuhnya menggigil, Dina tidak beranjak seinci pun.

“Memekmu kering. Aku pengen memekmu basah, masturbasi dulu!”

Dina tidak tahu seberapa jauh lagi dia bisa menahan malu. Bos suaminya tengah memasukkan sebuah jari ke dalam memeknya dan menyuruhnya bermasturbasi. Dina pertama kali bermasturbasi saat dia masih remaja. Dina tahu perbuatan ini tidak baik untuk pertumbuhan mental sehingga dia berhenti melakukannya. Tapi kini seorang pria asing memerintahkannya bermasturbasi langsung dihadapannya.

Dina mencari lubang kemaluannya dengan jari tengah dan menggosoknya dengan gerakan pelan. Wanita cantik yang dipermalukan itu kemudian merasakan desakan jari jemari Pak Pramono di dalam memeknya pada saat dia bermasturbasi. Dina tidak tahu mana yang lebih memalukan – saat mata Pak Pramono menatap jari tengahnya atau wajahnya. Kini jari jemari Pak Pramono makin bebas keluar masuk liang vagina Dina karena cairan pelumas dinding vaginanya mulai mengalir.

Pak Pramono mencabut jari jemarinya dan berkata. “Duduk di pangkuanku.”

Dina lega saat Pak Pramono menarik jemarinya sehingga Dina bisa berhenti bermasturbasi. Dina mencoba duduk di pangkuan Pak Pramono dengan sesopan mungkin, dia berusaha menutup kedua kakinya dengan rapat. Tapi Pak Pramono menggeleng dan kaki Dina segera dibuka lebar-lebar. Wanita cantik itu mencoba berdiri ketika melihat penis Pak Pramono berdiri tegak menantang.

Pak Pramono tersenyum saat melihat Dina memalingkan wajah dan berkata, “Masukkan ini ke dalam memekmu.”

“Kumohon, Pak Pramono! Aku tidak bisa melakukan ini! Aku sudah menikah! Ini- ini akan menjadi skandal! Ini zinah!”, Dina merengek.

“Masukkan ini ke dalam memekmu, atau…”

Dina tahu dia tidak punya pilihan lain. Duduk di pangkuan Pak Pramono, Dina mencoba melesakkan penis laki-laki mesum itu ke dalam memeknya tanpa menyentuh batang kemaluan bos Anton itu. Tapi usaha Dina gagal. Ibu rumahtangga yang cantik itu mendesah kecewa dan dengan tertunduk malu meraih batang zakar Pak Pramono dan menaikkannya ke atas. Dina memposisikan vaginanya di atas kontol yang sudah menghadap ke atas lalu perlahan melesakkannya sambil duduk di pangkuan Pak Pramono. Dina bisa merasakan kontol yang besar dan gemuk itu meraja di liang rahimnya. Dina dan Pak Pramono saling bertatapan saat kontol Pak Pramono melesak seluruhnya ke dalam memek Dina.

Tangan Pak Pramono meraih buah dada Dina. Dielus dan diremasnya buah dada putih mulus, molek dan montok itu. Jemarinya menjepit pentil susu Dina dan memutar-mutarnya dengan kasar. Dina merasa sangat malu saat pentil itu mulai membesar. Dina berusaha keras menahan dirinya agar tidak terangsang dengan remasan dan perlakuan Pak Pramono pada buah dadanya, tapi gagal. Payudara Dina menegang dan pentilnya membesar.

Tangan Pak Pramono melepaskan buah dada Dina, tapi kini giliran mulutnya yang nyosor ke susu putih mulus si Dina. Saat Pak Pramono mengelamuti satu pentilnya, Dina bisa merasakan jari jemari Pak Pramono menangkup bulat pantat Dina. Diangkat, lalu diturunkan, lalu diangkat lagi, berulang-ulang. Pak Pramono bergeser ke pentilnya yang lain, lalu menikmatinya untuk beberapa saat.

Setelah bosan, Pak Pramono menyandarkan kepala ke belakang dengan menggunakan lengan sebagai bantalannya. Dengan posisi relaks, Pak Pramono tersenyum sinis.

“Sekarang, genjot kontolku!”, perintah Pak Pramono.

Mulut Dina menganga tak percaya, dia telah dilecehkan, dihina dan diperdaya. Tapi wanita jelita itu melakukan apa yang diminta oleh Pak Pram. Karena membutuhkan sandaran, Dina meraih pundak Pak Pram dan perlahan mengangkat tubuhnya. Saat seluruh penis Pak Pram hampir keluar dari memeknya, Dina menghentakkan tubuh ke bawah dan kembali ke pangkuan Pak Pram. Lalu Dina naik lagi, lalu turun, lalu naik, turun, naik turun, naik turun berulang-ulang.

Dina mengentoti Pak Pramono, bosnya Anton. Dinalah yang bergerak naik turun, meskipun Pak Pram sekali-kali menggoyang pinggulnya untuk menumbuk gerakan turun tubuh Dina, tapi ibu muda itulah yang bekerja keras. Dinalah yang saat ini sedang menyetubuhi Pak Pram! Meskipun hal itu saja sudah memalukan, tapi Dina kian tak punya muka saat merasakan kehangatan yang nikmat merajai liang vaginanya. Penis Pak Pram yang jauh lebih besar dari penis suaminya menjejal liangnya yang sempit dan memenuhinya dengan nikmat. Gerakan naik turunnya menjadi lebih cepat.

Pak Pramono mulai melihat perubahan pada wajah Dina. Pada awalnya, Dina bersetubuh dengan perasaan malu dan sakit hati, tapi kemudian perasaan itu berubah menjadi birahi. Pak Pram tahu Dina mulai menikmati dientoti oleh pria tua itu. Bukan maksud hati Dina untuk bersetubuh dengan Pak Pramono, tapi tubuh Dina mengkhianatinya karena lama kelamaan ibu muda yang cantik itu mulai merasa kenikmatan yang tiada tara walaupun awalnya dia dipaksa untuk melayani bandot tua ini.

Pak Pramono mulai menelusuri tubuh istri Anton dengan satu tangan dan akhirnya mencapai ujung kelentit kemaluan Dina. Saat Pak Pramono menggosok klitoris Dina, mata istri Anton itu terbelalak dan menatap Pak Pram tak percaya. Tapi Dina tetap meneruskan gerakannya, naik turun dan membiarkan kontol Pak Pram menusuk tiap jengkal ruas liang kemaluannya. Pak Pram tidak berhenti menggosok klitoris Dina. Tak lama kemudian, Pak Pramono merasakan kuku jari Dina menancap makin dalam di pundaknya. Gerakan Dina makin lama makin cepat hingga Pak Prampun tidak sanggup lagi merangsang klitoris Dina. Dina melepaskan lenguhan keras dan tubuhnya bergetar hebat sebelum akhirnya berhenti. Dia sudah mencapai klimaks.

Pak Pramono menunggu Dina sampai si cantik itu membuka matanya. Wajah Dina yang dilanda kepuasan memerah karena malu. Pak Pramono menganggukkan kepalanya sebagai tanda agar Dina meneruskan pekerjaannya. Maka wanita cantik itu kembali menggunakan memeknya untuk memeras penis Pak Pramono. Dina kembali menyetubuhi pria tua yang telah membuatnya orgasme. Tadi Pak Pramono memang ingin memuaskan Dina agar ibu muda yang cantik itu malu, tapi kini Pak Pramono hanya menginginkan kepuasannya saja. Pak Pramono menarik bokong Dina dan membimbing tubuhnya naik turun batang kemaluannya dengan lebih cepat. Dia mendorong tubuh Dina turun ke pangkuannya dengan kasar sementara pinggulnya bergerak sembari menggoyang si manis itu. Makin lama makin cepat. Pak Pramono makin tersengal-sengal karena keenakan.

Tak lama kemudian Pak Pramono orgasme. Dina duduk di pangkuan Pak Pramono saat pejuh pria tua itu membanjiri liang senggamanya. Dina merasa malu, dia merasa dirinya sangat rapuh karena menyerah pada Pak Pramono. Dina merasa diperkosa, tapi lebih malu lagi, karena Dina merasa dirinyapun telah mencapai titik klimaks yang belum pernah dirasakannya selama ini. Walaupun awalnya terpaksa, Dina kini juga merasa bersalah pada Anton. Dia merasa dirinya telah ternoda dan bersalah karena mencapai orgasme.

Dina duduk terdiam penuh rasa malu pada diri sendiri saat Pak Pramono mulai kembali sadar dari kenikmatan orgasmenya. Perempuan molek itu itu bisa merasakan penis Pak Pramono mulai mengecil dan keluar perlahan dari memeknya sementara dia duduk di paha sang pria tua. Dengan posisi kaki terbentang, Dina bisa merasakan pula cairan mani Pak Pramono meleleh keluar dari lubang memeknya. Dina tidak bergerak sama sekali karena takut pada pria tua yang bengis itu. Pak Pramono membuka matanya dan tersenyum puas. Dia mendorong tubuh Dina ke samping.

Mengambil nafas dalam-dalam, Pak Pramono berkata. “Aku berterimakasih atas kerja samanya. Selama kamu terus menerus memberikan kepuasan padaku, maka aku jamin Pak Anton tidak akan pernah disentuh oleh pihak yang berwajib. Heh heh heh. Besok, datanglah ke Hotel Elok di Jalan Surabaya jam dua siang dan masuk ke kamar 224. Aku akan menunggu Mbak Dina untuk kesepakatan kita selanjutnya.”

Dina hanya memandang diam ke arah Pak Pramono saat pimpinan Anton itu mengenakan baju kerjanya dan bangkit. Dina duduk di ranjang tanpa berkeinginan untuk menutupi ketelanjangannya. Untuk apa? Dia baru saja bersenggama dengan pria tua ini dan Pak Pramono sudah melepaskan pejuh di dalam rahimnya. Apa akan ada perbedaan berarti kalau sekarang Pak Pram melihatnya bugil?

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Pak Pramono meletakkan amplop dan celana dalam milik Dina ke dalam tas kerja lalu berjalan pergi meninggalkan rumah Anton dan Dina.
 
om buronan mertua udah ketangkep mungkin jadi gak bisa lanjut :getok:

lanjutkan om, dan bikin lebih hot 3 bersaudara ini
 
Dari dulu nunggu lanjutan yg seri 12 tp ga muncul2. Semoga suhu bs menyelesaikannya. Alya jg favorit saya dicerita ini :)
 
siiip cerita yg ane demen nih??? meskipun baca bolak balik masih pengen baca lagi.yg paling ane suka cerita ini pas ceritanya dina. kalo bisa cerita dina di explor dikembangin lagi!!! apalagi yg anton diikat dikantor??? uuhhhh gimana gitu rasanya??? ane tunggu yg bagian dina ya suhu!!!! kembangin lebih menyakitkan buat anton, karna kecerobohan dia! dina jadi budak bosnya????
 
kalo bisa buat hamil dinanya hu!!! tapi anton tidak bisa berbuat apa2??? geeeerrrrrr!!!!!!
 
Bimabet
ane penasaran nanti alya gimana ama paidi nasibnya,,
apalagisuami allya kayaknya kalo gak salah udah tahu hubungan alya ama paidi,,,
jadi gak sabar,,,
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd